The Soccer Traveller

Soccer

THE

Soccer Traveller

THE

Traveller

Hardimen Koto

HARDIMEN KOTO

THE SOCCER TRAVELLER

i

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

27 Juni 2018 Bersama Achsanul Qosasi, President Madura United FC di Otktitie Arena, alias Spartak Stadium, Moscow, Rusia.

ii

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Soccer Traveller

THE

HARDIMEN KOTO

Traveller

Hardimen Koto

Ini buku tentang kisah perjalanan saya sebagai jurnalis sepakbola dan sebagai penikmat sepakbola di banyak tempat, di berbagai pelosok dunia.

Buku dengan kisah-kisah yang seru, unik, lucu di sejumlah negara. Ada pengalaman ketika menjadi jurnalis Indonesia pertama yang meliput Piala Afrika di Tunisia; atau cerita bagaimana saya harus antri tiga jam di London untuk dapetin satu nama ini: Pele.

Di Spanyol, kisah-kasih sepakbola tak cuma soal Barcelona, Madrid tapi juga Valencia, Costa Brava dan El Rastro--- fleamarket yang unik itu.

Tahu Rostov On-Don? Di kota yang ditempuh 22 jam naik kereta dari Moskow itu, saya juga pernah terpasah. Dan mengasyikkan.

Ada banyak kisah lainnya, dari Thailand hingga Italia, dari Prancis hingga Cina, dari Jepang hingga Qatar, dari Kamboja hingga Belanda, dari Arab Saudi hingga Vietnam, dari Singapura hingga Rusia.

Simak juga kisah lolosnya Indonesia ke Piala Asia di Uni Emirat Arab, atau pertemuan dengan Ali Daei, maestro Iran di Beirut, Lebanon.

Dan semua hanya untuk satu kata ini: sepakbola! Insya Allah renyah, indah dan mengalir.

Selamat membaca.

THESOCCER SOCCERTRAVELLER TRAVELLER THE

1

1

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Kata Pengantar : Yon Moeis

DI GREAT WALL HARDIMEN KOTO MULAI MELANGKAH

M

USIM gugur sedang menyelimuti Cina.

Waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim, itu, ditandai dengan mulai turunnya hujan; di Negeri Tirai Bambu itu, meski daun-daun mengering, warnanya tetap terlihat indah.

Ketika menikmati Great Wall, di gerbang utama, di Badaling – sekitar satu setengah jam naik kereta api dari Stasiun Huangtudian --, tiba-tiba saya melihat punggung seorang lelaki yang saya kenal baik. Cepatcepat saya mendekat dan

2

THE SOCCER TRAVELLER

membisikkan sesuatu di telinganya. “Ini pasti orang Minang pertama yang berada di Great Wall,” kata saya.

Lelaki itu terkejut dan membalikkan badan. Dia adalah Hardimen Koto dan seketika dia meledakkan tawa.

“Angin telah membawa kita pergi jauh hingga ke Cina dan bertemu di Tembok Cina,” kata Hardimen. Kami pun saling berpelukan.

Saya tidak bertemu Hardimen di Forbidden City di Distrik Dongcheng. Juga tidak di Tiananmen Square; lapangan bersejarah yang

Soccer

THE

terletak di luar pintu selatan Istana Kuno Dinasti Ming dan Qing. Tapi di halaman Stadion Buruh, Beijing, saat pembukaan Asian Games Beijing 1990. Pesta olahraga Asia yang berlangsung 22 September – 7 Oktober yang, bertepatan dengan musim gugur tiba, itu, dibuka oleh Presiden Cina Yang Shankun.

Pertemuan 31 tahun lalu itu, buat saya, sangat berkesan. Di sana, saya leluasa mengenal lebih jauh Hardimen Koto; sosok yang bersahaja, lelaki yang berpikir serta melangkah jauh; beratusratus kilometer yang kelak ia tempuh. Wartawan cerdas dan berani sesuai yang ingin ia raih. Diam-diam saya mengaguminya. Dia adalah kawan baik, sahabat yang mengasyikkan, dan saudara yang menyenangkan.

Hardimen tak hanya unggul membuat laporan dari liputanliputan kemana ia ditugaskan, tapi cakap dan mampu menulis hasil pengamatan dan penglihatannya. Bahasa tulisnya sama baiknya dengan

bahasa lisannya; dia bisa menari-nari di kertas putih yang bakal disesaki kalimatkalimat yang mudah dipahami.

Dia merangkai kata demi kata menjadi narasi; pengisahan suatu cerita atau kejadian yang membuat jantung pembacanya seperti tertusuktusuk.

Sebagai wartawan olahraga – khususnya sepak bola --, Hardimen adalah “Sepak Bola Brasil”, yang mengutamakan keindahan.

“The Soccer Traveller” adalah perjalanan sepak bola Hardimen Koto. Buku ini berisi catatan-catatan HK di banyak negara di berbagai belahan dunia. Kisah-kisah perjalanan ini ia tulis dengan rapi dan memikat sejak dari kata pertama.

Hardimen Koto tak hanya menulis pengalamannya ketika menjadi jurnalis Indonesia pertama ke Tunisia, meliput Piala Afrika 2004, pergi ke Spanyol tuk mengisahkan kota-kota sepak bola, sebut saja, Barcelona, Madrid, Valencia.

Traveller

Hardimen Koto

Hardimen Koto kiri, Yon Moeis (Jaket Merah) dan sejumlah jurnalis Indonesia di Beijing, Cina

Dia juga pergi dan menulis di sejumlah negara sepak bola; Italia, Prancis, Australia, Jepang, Qatar, Cina, Belanda, Arab Saudi, Inggris, Rusia, Thailand, Vietnam, Singapura, Uni Emirat Arab, hingga Lebanon.

Saya kembali mengingat pertemuan dengan Hardimen Koto di Great Wall, Cina, 31 tahun lalu. Jika dulu dia

mengatakan bersama saya dibawa angin pergi jauh hingga ke Cina, hari ini saya harus menyambut, juga memberikan penilaian penuh dengan mengatakan; “Angin telah membawa Hardimen Koto ke banyak negara dan menulis catatancatatan perjalanan dengan indah. Dia yang menulis dengan hatinya .... “

THE SOCCER TRAVELLER

3

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Kata Pengantar : Hasril Chaniago

HARDIMEN KOTO

SAHABAT YANG FENOMENAL S aya pertama kali mengenal (tepatnya melihat) Hardimen Koto –tapi dia belum kenal dengan saya– pertengahan tahun 1983. Waktu itu saya menonton pertandingan sepakbola PS Arseto Solo dengan PS Semen Padang di Stasion H. Agus Salim Padang. Saya sengaja datang dari Bukittinggi –pos pertama saya sebagai wartawan Singgalang– untuk menonton pertandingan tersebut karena ingin bertemu dengan Asmawi Jambak, kiper PS Arseto.

Menurut cerita kawan-kawan saya, Asmawi adalah alumni

4

THE SOCCER TRAVELLER

Sekolah Teknik Negeri (STN ) 1 Bukittinggi, sekolah menengah pertama asal saya. Ketika saya masuk, Asmawi sudah tamat dan meneruskan di STM Negeri Solok.

Untuk bisa bersalaman dengan Asmawi seusai pertandingan, saya harus berebut dengan para wartawan yang berkerubut mewawancarai kiper yang juga pemegang band kapten PS Arseto itu. Salah satu wartawan yang penampilan dan pertanyaannya berbeda adalah Hardimen Koto. Saya tahu namanya karena ia memperkenalkan diri: “Saya

Hardimen Koto dari Harian Semangat,” katanya.

Saya ingat persis, salah satu pertanyaan Hardimen adalah: “Siapa pesepakbola idola Anda.”

Tanpa perlu berpikir, Asmawi spontan menjawab: “Peter Shilton!”

Dua bulan kemudian,

kami dipertemukan dalam arena “pendidikan” jurnalistik di Universitas Andalas yang diselenggarakan perguruan tinggi itu bekerjasama dengan Departemen Penerangan RI dan PWI Pusat. Saya dari Harian Singgalang dan Hardimen Koto dari Harian Semangat. Selama tiga bulan

Soccer

THE

(Agustus – Desember 1983) kami sama-sama menjadi “mahasiswa” pendidikan non-gelar (non-degree course) yang diikuti 30 wartawan seSumatera Barat. Berkebetulan, di akhir masa pendidikan, kami berdua sama-sama memperoleh predikat sebagai “lulusan terbaik”. Maka bersama-sama pulalah kami tampil ke depan menerima “ijazah” dari Rektor Universitas Andalas Prof. Drs. Mawardi Yunus.

Dua-tiga tahun kemudian, saya dipromosikan jadi redaktur, lalu Redaktur Pelaksana Harian Singgalang di Padang. Salah satu program kerja saya adalah meningkatkan kualitas liputan olahraga, khususnya sepakbola yang banyak pembacanya. Tak ada pilihan lain, saya pun “membajak” Hardimen pindah ke Harian Singgalang. Setahundua dia menjadi redaktur merangkap reporter olahraga, liputan olahraga khususnya sepakbola di Harian Singgalang meningkat jauh

lebih baik. Pembaca koran pun meningkat. Ini berkat pembaruan yang dilakukan Hardimen.

Tapi saya menyadari, liputan spesialisasi, seperti olahraga apalagi sepakbola, tidak menyediakan lahan yang luas untuk berkembang di koran daerah. Karena itu, ketika Hardimen kemudian menyatakan niatnya ingin mengembangkan karier ke Pulau Jawa, ke grup media besar, saya tak keberatan.

Malahan mendukungnya.

Maka ia pun kemudian berlabuh di grup KompasGramedia. Pertama ditempatkan di Harian Surya di Surabaya, kemudian Hardimen betul-betul menemukan habitatnya ketika ditarik ke Tabloid BOLA Jakarta.

Bagaimana kiprah dan sepak terjang Hardimen Koto selanjutnya tak perlu saya ulas di sini, karena banyak yang lebih tahu daripada saya. Hanya saja, hal yang selalu saya ingat, setiap berbicara mengenai sepakbola di Indonesia (artinya juga

sepakbola dunia), Hardimen akan selalu menjadi buah bibir.

Kalau saya bertemu dengan teman yang penggemar sepakbola, dan tahu saya seorang wartawan, maka sering saya menerima pertanyaan: “Kenal dengan Hardimen Koto!?”

Sesungguhnya pertanyaan seperti itu sudah menggambarkan bagaimana reputasi Hardimen di depan publik, khususnya publik pencinta sepakbola. Selain menjadi wartawan olahraga –khususnya sepakbola– yang hebat, dia juga seorang presenter dan komentartor sepakbola di berbagai stasiun televisi. Juga penulis kolom di banyak media. Bukan hanya itu. Ia bahkan sudah jauh melangkah sampai ke dunia bisnis sepakbola. Di antaranya sebagai agen pemain-pemain asal Afrika yang bermain di klub-klub Liga 1 Indonesia.

Hardimen adalah tipe sahabat yang selalu menjaga hubungan silaturahim. Dalam istilah Minang dikatakan, cadiak indak membuang

Traveller

Hardimen Koto

kawan (orang pintar yang tidak melupakan kawan). Beberapa kali kami bertemu, di Surabaya, Jakarta dan entah di mana lagi, Hardimen selalu men-service saya.

Hardimen menurut saya adalah wartawan yang fenomenal. Memulai karier di daerah, kemudian sukses meniti karier di Ibukota.

Hanya sedikit orang yang bisa dipersandingkan dengan Hardimen. Salah satunya, yang saya juga kenal baik, adalah Asro Kamal Rokan. Ia juga memulai karier dari daerah (Medan), lalu hijrah ke Jakarta sebagai wartawan olahraga Harian Merdeka. Di Ibukota Asro terus mencapai puncak karier, antara lain pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, Pemred Harian Republika dan Pemimpin Umum LKBN Antara.

Selamat, Men, atas terbitnya buku Anda ini: The Soccer Traveller. Pasti menarik dan enak dibaca!

Salam, Hasril Chaniago

THE SOCCER TRAVELLER

5

Content

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

2

Kata Pengantar: Di Great Wall, Hardimen Koto Mulai Melangkah

10

Barcelona, Tempat Anda Bisa Menemukan Cinta

4

Kata Pengantar: Hardimen Koto: Sahabat yang fenomenal

14

Antri 3 Jam Di London, Untuk Satu Nama Ini: Pele.

16

Ajax, Amsterdam, & Cafe Gay Itu..

Cavern Club, Pernah 30 The 38 Saya Pesona Lain dari Terpasah Kesini:

Johan Cruyff di Tokyo, Cruyff ArenA di Jepang

Liga Thailand Rastro, Flea 32 T1, 40 El yang Bergairah & Market-nya kota

‘Bertemu’ Jules Rimet di Parc des Princes

1998: 34 Prancis Misteri Ronaldo

18 22 8

6

Big-Match, Big Journey Buku ini adalah catatan pribadi, penggalan pengalaman dalam 30 tahun perjalanan jurnalistik saya yang indah-- dengan sederet pasang surutnya.

THE SOCCER TRAVELLER

24

PSSI PrimaveraBaretti, ProKontra Sebuah Proyek

28

Piala Afrika, Aroma Perancis Dan Kenangan Keren Di Tunisia

Liverpool!

Industrialis

Stade de France & Cerita Jurnalis Indonesia

Rostov-on-Don

Madrid!

Den Haag Aku 42 Ke Datang..

Dua 44 Jumpa Legenda Hidup Iran di Beirut

Mesti 36 Lille, Kesana, Ke Ujung Utara Prancis

Dulu dan 46 Qatar, Kini

Soccer

THE

70

48 Rusia, Sensasi Lewat Dua Kota Besar Label Rusia, tadinya, adalah negara seram. Orangorangnya dingin, sedingin bangunannya. Belum lagi stereotype yang dilekatkan: mafioso, pemabuk, geng kartel dan sebagainya.

Mon 52 Hiroshima, Amour

54 Beckenbauer, Football Expo dan Gairah Industri Sepakbola

1996, Piala 62 UEA Asia Pertama Indonesia dan Tomislav Ivic

Moscow Kota dengan 10 Klub

76

Nuansa Jepang Di Sepakbola Kamboja

78

Gelar Juara Indonesia di Ho Chi Minh via PSM

Paris 80 C’est (St. Germain)

Widodo dan 68 Gol Memori di Sheikh Zayed, Abu Dhabi

(Bukan) 84 Milan Surga Belanja!

Jinan, 88 Beijing, Guang Zhou dan Obsesi Panjang China

Hardimen Koto

Blanc, 92 Prancis, Keegan dan

Dahsyatnya Monsieur Roger

Brava dan 94 Costa Pesta Bola di Pesisir Timur Barcelona

Ini satu lagi perjalanan anti-mainstream saya: berkunjung ke tempat yang tidak biasa.

vs 96 Feyenoord Sparta Derby

104

yang 98 PKNS, ‘Tergusur’

Legenda 106 Memburu Liverpool Hingga

Tendensius Rotterdam

Selangor

Gelar Juara Sesaat Marseille

Magnet Kempes

dari Tokyo

72

64 Muenchen: Goethals dan

Terjauh: 56 Destinasi Ke Mestalla Genoa, Tavarone, 66 -Valencia Karena Roma dan Tunisia Cup, 60 Toyota Sebuah Impresi

King Fahd Cup Cerita Ceria dari Riyadh, Arab saudi

Traveller

Cerutu Kuba dari Seorang Hombreng

Santiago Bernabeu

Dingin di Tokyo Pele Putih 110 100 Zico, dingin di London dan Jepang

102

Bergkamp & Kluivert Vs Vogts & Sammers

Hari 112 Suatu di Pasar Pagi

THE SOCCER TRAVELLER

7

Big-Match,

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Big Journey

B

uku ini adalah catatan pribadi, penggalan pengalaman dalam 30 tahun perjalanan jurnalistik saya yang indah-- dengan sederet pasang surutnya.

Pastinya banyak cerita, sesuatu yang mengesankan, atau kisah-kisah unik, lucu dan kocak selama saya hinggap di banyak tempat, disudut-sudut dunia.

Ada banyak sahabat yang mendorong lahirnya buku ini, meski di beberapa kejadian

8

THE SOCCER TRAVELLER

kurang didukung foto-- atau kalau pun ada, fotonya heritage-style.

Saya memang terkesan nekad menerbitkan buku ini.

Sama nekadnya dengan kisah traveling luar negeri pertama saya menuju Thailand 1985.

Ya, itu mungkin lebih seru ketimbang SEA Games sendiri. Naik bus Padang – Medan, nyebrang pakai ferry Belawan – Penang, nyambung dengan taksi Penang – Haatyai, lalu naik bus 18 jam untuk tiba di Bangkok.

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Butuh empat hari untuk tiba di Bangkok, termasuk sekali digerebek tentara Thai di jalur Selatan. Butuh spirit lebih. Butuh senyum lebih lebar ketika tau uang saku saya hanya 10 % dari uang saku teman-teman dari media ibukota.

Tapi, SEA Games Bangkok 1985 memberi banyak makna: hidup, selain soal perencanaan, juga soal passion!

Tentang bagaimana mendesign liputan, menyusun itinerary-- menentukan flight, hotel, drama dalam liputan, dan paling penting adalah sikap imparsial.

Saya pun hadir di event besar: Piala Asia, Piala Eropa, Piala Dunia, Piala Toyota, Piala Konfederasi, Liga Champions, Piala UEFA (kini Europa League).

Bahkan saya menjadi jurnalis Indonesia pertama yang meliput Piala Afrika, di tiga kota di Tunisia 1994.

Saya juga hadir di sederet multi-event; delapan kali di SEA Games dan tiga kali di Asian Games--- termasuk Hiroshima 1994, momentum ketika Hardimen menjadi salah satu pendiri organisasi Asian Soccer Journalist.

THE SOCCER TRAVELLER

9

Hardimen Koto

10

Soccer

THE

Traveller

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

o c r Ba e l Na

Tempat Anda Bisa Menemukan Cinta

P

ergilah ke Barcelona dan saya yakin: Anda bakal jatuh cinta. Ini memang kota seksi. Sensualitasnya benar-benar menggoda siapa saja. Termasuk saya.

Lima tahun terakhir, dalam setiap trip saya ke Eropa, ibukota orang-orang Catalan ini selalu menjadi destinasi wajib saya. Kapan pun. Mau musim dingin, juga musim panas.

Terlalu banyak yang bisa dan harus diceritakan tentang Barcelona. Tentang kotanya, tentang Las Ramblas, surga pejalan kaki yang tersohor di seantero dunia itu, tentang Sagrada Familia,

Plaza Catalonia, Monumen Colombus di tepi pantai yang kece banget atau juga tentang sederet bangunan karya arsitek terkenal Gaudi.

Kalau Anda shopaholic, Anda pun bisa ke suburban Barcelona. Namanya La Roca, berkendera sekitar 30 menit dari jantung kota. Ini pusat barang-barang branded yang out of season dan dijual dengan banting harga gila.

Sebuah tas bermerk yang dibandrol Rp 20 juta di Jakarta, Anda bisa dapatkan lebih murah 70 persen di La Roca.

Atau bisa juga ke kawasan El Barrio Ghotic dengan sederet toko souvenir yang

tersebar di area Barrio Gotico dan La Ribera.

Soal kuliner? Barcelona juga surga. Hampir di semua spot bertebaran dengan tempat nongkrong asyik punya. Di kawasan Sagrada Familia, Ghotic, juga di Las Ramblas. Paella, nasi goreng khas Spanyol, wajib Anda coba. Snack khas Spanyol juga bisa ditemui di La Boqueira di kawasan Las Ramblas.

Jika lidah Anda belum go internasional, ada restoran ‘Betawi Indonesia’ lho.

Pemiliknya anak Cempaka Putih, Jakarta. Tapi chef dan para pelayannya dominan dari Filipina. Jadi, kalau mau

THE SOCCER TRAVELLER

11

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

melepas kangen nasio goreng, lumpia, sambel terasi, kerupuk, gado-gado, silakan mampir ke resto Betawi di Jalan Montsio— hanya 250 meter dari Plaza Catalonia.

Nah, ini kisah tentang summer-time saya di kota multi etnis yang sangat friendly itu. Sebuah perjalanan musim panas yang tidak kalah serunya kalau kita menginjak Barcelona saat musim dingin mendera.

Sebuah perjalanan langsung, dari Jakarta ke Amsterdam via Kuala Lumpur, dan berlanjut ke Barcelona. Hanya 35 menit saja dari Schipol Amsterdam untuk kemudian landing di El-Prat, bandara Barcelona yang ciamik, yang hanya membutuhkan 30 menit saja untuk mencapai pusat kota.

Ada ribuan hotel di kota seksi ini. Dari level bintang

12

THE SOCCER TRAVELLER

lima hingga hostel atau penginapan bed and breakfast, sampai apartment dan rumahrumah tumpangan yang kini sedang booming. Dimana pun Anda menginap, jangan kuatir karena didukung sistem transportasi yang tertata bagus.

Camp Nou, markas FC Barcelona, tentu menjadi destinasi wajib. Menuju stadion megah dan mewah

Soccer

THE

ini pun gampang. Ada banyak cara dan moda transportasi menuju Camp Nou. Naik trem lebih murah.

Tapi, sebetulnya, aroma FC Barcelona sebetulnya juga kental di pusat kota. Kita bisa menemukan sejumlah spot

yang napasnya FCB banget.

Bahkan, hampir semua hotel yang menyediakan paket-paket tur ke Camp Nou. Asyik memang. Termasuk saat summer-time, ketika koper-koper kita tidak disesaki pakaian tebal dan menyita

Traveller

Hardimen Koto

ruang. Simpel karena ‘modal wardrobe’ hanya kaos dan celana pendek. Kalau Anda solo-traveller, maka Anda tidak akan direpotkan.

THE SOCCER TRAVELLER

13

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Antri 3 Jam Di London Untuk Satu Nama Ini: Pele.

Ia lahir dengan nama Edson Arantes do Nascimento.

Keluarga memanggilnya Edson, juga Dico.

N

ama Pele mencuat di sekolah gara-gara teman-temannya salah menyebut panggilan kiper Vasco da Gama, Moacir Barbosa Nascimento atau Bile.

Sesungguhnya, Edson

14

THE SOCCER TRAVELLER

tak suka dipanggil Pele.

Dia juga tak tau artinya apa.Tapi nama Pele itu terlanjur dekat dan lekat, hingga sekarang.

Alkisah, Pele beberapa kali diterpa berita hoax: dikabarkan meninggal.

Yang teranyar dengan hashtag: #breaking; legenda Brasil Pele meninggal.

“Saya gak kaget sebab itu bukan kali pertama,” ujarnya. Pernah ada cerita, seekor gajah dengan nama Pele meninggal. Masyarakat heboh: Pele meninggal.

Karenanya, keluarga gelisah. Tapi Pele di ujung telepon bilang; “Dengar, Pele meninggal, tapi Edson masih

hidup!” Ahaha..

Pele yang saya ceritakan ini, memang, ibarat buku rekor: 541 gol dari 560 caps di level klub; 1279 gol dari 1363 untuk

total match, didalamnya ada 77 gol via 92 match bersama Brasil.

Lahir 23 Oktober 1940-hari ini 80 tahun silam dari pasangan miskin DodinhoCeleste Arantes, usia 15 tahun Pele mengubah wajah kelam kehidupan mereka: moncer bersama Santos, masuk timnas Brasil lalu juara di Swedia 1958 saat usia masih 16 tahun.

Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Begitulah.

Sampai suatu saat-beberapa tahun silam, pada sebuah perhelatan sepakbola di Inggris, saya mendapat kesempatan menemui Pele.

Itu di jantung kota London,

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Hampir tiga jam saya antri. Mesti sabar. Harus sabar. Maklum mau ketemu legenda hidup dunia.

pada sebuah acara peluncuran kartu kredit.

Awalnya, saya harus register. Lalu masuk daftar tunggu. Hampir tiga jam saya antri. Mesti sabar. Harus sabar.

Maklum mau ketemu legenda hidup dunia.

Sampai saatnya datang.

Saya dipanggil, lalu berbincang dan berfoto bersama dewa sepakbola itu di jantung kota London.

Berkesan. Menggetarkan.

“Aaaa, Jakarta. I was been there,” ujarnya (mengenang kunjungan Santos pada Desember 1974 itu), begitu saya memperkenalkan diri.

Saat itu, Pele masih energik. Tawanya lebar. Saya yang kagok.

Kini, Pele di usia rentanya terkesan tak lagi percaya diri ketika hari-harinya ditopang kursi roda.

“Tapi semua berjalan normal, meski dengan keterbatasan pisik,” kata Edson, eh Pele.

Baiklah. Panjang umur legenda.

THE SOCCER TRAVELLER

15

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

, x a Aj sterdam, .

Am& Cafe Gay Itu.

S

eorang soccer traveller biasanya rileks, tapi maksimal dalam pemanfaatan waktu. Itinerary yang dibikin dilakoni mulus, tapi santai.

Ini nukilan perjalanan saya dan kawan-kawan ke Spanyol dan Belanda pada 2015. Lebih tajam saya cerita tentang Amsterdam.

16

THE SOCCER TRAVELLER

Destinasi utama: Amsterdam ArenA, markas Ajax-- stadion terbesar dan termegah. Waktu itu adalah kunjungan ketiga saya, pasca 2013 dan 2014.

Kami terkagum-kagum dengan detailing stadion yang atapnya terkenal karena portable itu. Setiap sudut menarik, dari press-room hingga ruang memorabilia---

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Saya dan teman-teman di depan Hard Rock Cafe Amsterdam. Ada Endri Erawan, Momor, Joni Makmur, dan Augie Bunyamin ada Simon Tahamata lho.

Dari Ajax, waktu itu, kami kembali ke hotel Eden Amsterdam di kawasan Amstel. Rehat, lalu bersiap mau ke Hard Rock Cafe Amsterdam.

Saya dan dua teman stand-by dekat hotel, di

Quee** Cafe sembari chat dengan teman yang tinggal di Belanda. Saya kasi tau kalau lagi nunggu teman di Quee** Cafe.

Tiba-tiba teman itu telpon.

“Brooo, ati-ati lo. Itu kan cafenya kaum gay...”

Hah? Pantesan dari tadi

ada beberapa cowok dari meja sebelah larak-lirik manja.

Maka, buru-buru kami angkat pantat. Kami bergerak ke tempat lain, menyusuri kanal-kanal Amsterdam dan hinggap di Hard Rock Cafe.

THE SOCCER TRAVELLER

17

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

C r n u a y f h o J di Tokyo, f cruyff arena

di amsterdam Inilah satu nama legendaris dunia yang, akhirnya, bisa saya temui. Namanya Hendrik Johannes Cruyff, atau lebih dikenal dengan Johan Cruyff.

18

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

C

ruyff, legenda hidup sepakbola Belanda, sekaligus kapten timnas der Oranje di Piala Dunia 1974-- timnas yang disebut-sebut terbaik dengan peragaan total football-nya.

Traveller

Hardimen Koto

Saya menjumpainya di Stadion Nasional Tokyo, pada Desember 1992 yang adem.

Hari itu adalah latihan resmi Barcelona, tim yang diasuh Cruyff, sebelum esoknya berlaga kontra Sao Paulo dari Brasil.

Cukup leĺuasa saya berbincang. Bahkan usai saya memberinya souvenir Batik Indonesia, Cruyff banyak bertanya kepada saya.

Cruyff juga mengenalkan Hristo Stoichkov (Bulgaria), Ronald Koeman (Belanda) dan Michael Laudrup (Denmark) pada saya. Mereka adalah punggawa Barcelona untuk laga versus Sao Paulo.

THE SOCCER TRAVELLER

19

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller Dan, sore itu di Tokyo berubah menjadi sore semringah buat saya, bisa berbaur dengan nama-nama besar. Semua itu berkat Cruyff.

Lalu, belasan tahun kemudian, saya bolak-balik ke Belanda pada interval 2013 hingga 2016.

20

THE SOCCER TRAVELLER

Stadium visit adalah satu kebiasaan saya, dan itu juga berlaku untuk Amsterdam ArenA, stadion megah dan terbesar di Belanda.

Di stadion ini pula Cruyff berhasil membawa Ajax Amsterdam menjadi juara Liga Champions Eropa selama tiga kali berturut-turut, sejak tahun 1971 sampai 1973.

Setelah mengantarkan Ajax menjadi juara Eropa, Cruyff membela Barcelona mulai dari tahun 1973 sampai 1978 dan mencetak 48 gol dari 143 penampilan.

Selain menjadi pemain, Cruyff pun mengabdikan dirinya sebagai pelatih di Barcelona sejak tahun 1988 sampai tahun 1996.

Di Barca, ia meraih sukses dengan mengantarkan juara La Liga mulai tahun 1991 sampai tahun 1994, plus gelar juara Liga Champions Eropa pada tahun 1992--- tahun dimana saya menjumpainya di Tokyo.

Sampai kematiannya pada 24 Maret 2016, di usia yang ke-68 tahun, Cruyff memilih tinggal di Barcelona.

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

“

Saya Menjumpainya Di Stadion Nasional Tokyo, Pada Desember 1992 Yang Adem.

Hari Itu Adalah Latihan Resmi Barcelona, Tim Yang Diasuh Cruyff, Sebelum Esoknya Berlaga Kontra Sao Paulo Dari Brasil.”

Tapi otoritas sepakbola Belanda menghormati Cruyff.

Stadion Amterdam ArenA diubah namanya menjadi Cruyff ArenA sejak 2018.

Di situ, di Cruyff ArenA, saya tercenung, mengenang kepergian seorang legenda.

Legenda Belanda. Legenda dunia.

THE SOCCER TRAVELLER

21

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

‘Bertemu’ Jules Rimet di Parc des Princes Tolong, jangan bantah, Prancis adalah satu destinasi ‘soccer traveling’ yang menarik. Banyak pilihan, banyak temuan dan semuanya menggoda.

D

ari Marseille yang epik, Bastia yang ‘lebih’ Italia, Montpellier yang berasa Afrika, Lyon yang keren atau Bordeaux yang ‘Prancis banget’.

Itu di Selatan. Di kawasan Utara juga bertebaran pilihan soccer travelnya. Dari Lens, 0, Saint Denis dan tentu saja Paris.

22

THE SOCCER TRAVELLER

Luas wilayah Prancis memang luas, terluas kedua di Eropa setelah Jerman. Jadi, satu kali kunjungan saja tidak cukup.

Saya, sejak 1997, sudah berulang kali menginjak Prancis untuk sederet tema. Dari Piala Konfederasi, Tournoi de France, Piala Dunia, Piala Eropa hingga Champions League.

Soccer

THE

Ini salah satu nukilan traveling saya pada 2014 lalu, saat saya dan beberapa teman mengunjungi empat negara di belahan barat Eropa.

Dan Paris, pasti, salah satu destinasi kami.

Saat itu kami terbang dari Madrid dengan low cost carrier, Ryan Air. Landing di Charles de Gaulle, kami menuju down town Paris sambil menggigil kedinginan.

Maklum, ketika itu April sedang dingin banget.

Salah satu tujuan kami; menuju Parc des Princes, home-base Paris St.Germain.

Dan disitu ada sebuah area yang dinamai ‘Place Jules Rimet’.

Tidak begitu besar, dengan sebuah penanda seperti rambu-rambu.

Oke. Saya sedikit bercerita.

Jules Rimet, seperti kita tahu, adalah seorang administrator sepak bola berkebangsaan Prancis yang menjadi Presiden ke-3 FIFA, masa bakti 1921 hingga 1954.

Dia Presiden FIFA terlama yang menjabat yakni selama 33 tahun. Ia juga menjabat

Traveller

Hardimen Koto

Saya pertama kali berkunjung dan menonton di Parc des Princes pada 1997. Tapi penamaan ‘Place Jules Rimet’ di kawasan Paris-16 itu baru 1998.

Hingga sekarang.

sebagai presiden Federasi Sepak bola Perancis dari tahun 1919 hingga 1946.

Atas inisiatifnya, Piala Dunia FIFA diselenggarakan untuk pertama kalinya dalam tahun 1930. Sebagai penghormatan, trophy-nya diberi nama Jules Rimet.

Saya pertama kali berkunjung dan menonton di Parc des Princes pada 1997.

Tapi penamaan ‘Place Jules Rimet’ di kawasan Paris-16 itu baru 1998. Hingga sekarang.

Rimet meninggal di Suresnes, Perancis tahun 1956, dua hari setelah

ulang tahunnya yang ke83. Pada tahun 2003 ia dianugerahi sebagai anggota kehormatan FIFA. Penamaan dan ‘ramburambu’ di area Parc des Princes, mungkin kecil, tapi sangat berarti untuk mengenang kontribusi besar Jules Rimet.

Saya membayangkan jika nama besar Sutjipto Soentoro, Rudy Hartono, Susi Susanti, Taufik Hidayat-dan banyak lagi, diabadikan di kawasan Gelora Bung Karno.

Mereka kan juga memorable!

THE SOCCER TRAVELLER

23

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

PSSI Primavera-Baretti Pro-Kontra Sebuah Proyek Indonesia pernah punya proyek ambisius: PSSI Binatama, PSSI Garuda I dan II dan PSSI Primavera dan Baretti, serta SAD Uruguay.

I

tu proyek-proyek yang ambisius, yang disigi banyak orang dengan kacamata masing-masing: positif ataupun negatif.

Baiklah. Itu soal persepsi.

Yang pasti, buat saya--terutama setelah meninjau langsung program Primavera di Italia, proyek ambisius yang

24

THE SOCCER TRAVELLER

didanai pengusaha Nirwan D. Bakrie ini berdampak positif buat sepakbola kita.

Adalah Enrico Mantovani, Presiden Sampdoria waktu itu, sepakat dengan Nirwan D. Bakrie untuk pelatihan anak-anak muda Indonesia, sekaligus berkompetisi di negeri Spaghetti itu.

Soccer

THE

Karena ikut kompetisi Primavera, proyek ini dinamai PSSI Primavera. Semua program via Sampdoria, dari tangan Sven-Goran Eriksson dan dijalani asistennya asal Swedia juga, Tord Grip.

Grip dibantu Romano Matte, orang Italia serta sederet pelatih Indonesia: Danurwindo, Harry Tjong dan Suhatman Imam. Nama terakhir ini, belakangan mengundurkan diri.

Traveller

Hardimen Koto

Tim, seperti kita tahu, membuka markas di Tavarone, 80 Km dari pusat kota Genoa, dengan segala fasilitas penunjang. Bahkan, kitchenset saja bertuliskan ‘Indonesia Primavera’.

Kesinilah, ke Tavarone, Italia, saya berkunjung pada 1994 lalu, melihat keseharian, termasuk cara mereka latihan dan cara mereka menghabiskan waktu kalau liburan.

THE SOCCER TRAVELLER

25

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Saya datang bersama Rayana Djakasuria. Kami dari Roma, terbang ke Genoa, dijemput Danurwindo-Harry Tjong dan bergerak menuju Tavarone yang berlika-liku, penuh tanjakan dan indah.

Tavarone, sejatinya distrik kecil. Ini menjadikan pemain fokus ditempa. Kalau pun ‘ke bawah’, turun ke Sestri Levante ataupun Genoa, sesekali saja.

26

THE SOCCER TRAVELLER

Proyek ini lumayan booming. Bahkan sejumlah media asing ikut menyorot, termasuk Onze Mondial dari Prancis dan La Gazetta dello Sport dari Italia.

Waktu itu terdapat sederet nama, macam Kurnia Sandi, Ari Supriarso (kiper), Gusnedi Adang, Anang Maruf, Eko Purjianto, Yeyen Tumena, Dwi Prio Utomo, Fauzi Irfan, Supriono, Bima Sakti, Nurul

Liputan Majalah Prancis, Onze Mondial tentang PSSI Primavera

Soccer

THE

Huda, Frido Yuwanto, Trimur Vedayanto, Dedy Umarella, Ismayana, Ilham Romadhona, Arisandi, Dian Irsandi, Ferry Taufik, Kurniawan Dwi Yulianto, Indriyanto Nugroho, Asep Dayat, dan Irwan Fahrezie.

Sebagian besar dari namanama itu berkibar di tanah air, pada masanya menjadi tulang punggung klub dan tim nasional.

Traveller

Hardimen Koto

Bahkan sekarang ada namanama.yang menjulang menjadi pelatih top. Sebutlah Indriyanto Nugroho, Kurniawan, Yeyen Tumena, Bima Sakti dan Ilham Romadhona.

Jadi, dalam kacamata saya, proyek Primavera tetaplah bagus ketika Federasi tak jua bisa mengelaborasi kompetisi usia muda dengan apik, baik dan benar.

Bahkan hingga sekarang.

Saya, Rayana, dan Romano Matte di depan mess PSSI Primavera di Tavarone Italia

THE SOCCER TRAVELLER

27

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

PIALA AFRIKA AROMA PERANCIS DAN KENANGAN KEREN DI TUNISIA

Y

a, ini salah satu kenangan keren saya: menjadi jurnalis sepakbola Indonesia pertama yang meng-cover Piala Afrika. Itu di Tunis dan Sousse-- dua kota di Tunisia, Afrika Utara.

Foto saya yang sendiri ini, belasan tahun silam, persisnya 1994, diambil di Stade Olympique de Sousse di kota Sousse, 147 Km dari ibukota Tunis--- home-base saya

28

THE SOCCER TRAVELLER

selama tiga pekan di negeri Maghribi ini.

Sousse, kota wisata dekat Teluk Hammamet itu, saya capai dari Tunis hanya 1.5 jam perjalanan dengan mobil pabrikan Eropa yang dipinjami KBRI Tunisia.

Beruntung juga punya driver cekatan-- anak Bukittinggi yang menjadi staf lokal di KBRI Tunisia dan dia hafal betul kapan pasir gurun Sahara berarak menghalangi pandangan mata.

Sousse adalah kota kecil yang indah--- meski beberapa tahun setelah kedatangan saya sempat heboh dengan teror militan ISIS yang menewaskan puluhan turis.

Posisi Sousse juga lumayan strategis. Jarak ke Tripoli, ibukota Libya, hanya 1 jam terbang.

Soccer

THE

Sama seperti kalau terbang ke Valletta di Malta atau ke Palermo, Sicilia di Italia. Pernah satu kali, dalam traveling saya ke Genoa, saya jumpa opa-opa Italia tapi mereka menolak disebut Italiano.

“Tunis.. Tunis,” ucap mereka.

Baik. Kembali ke cerita di Sousse. Tiba disana, saya bergabung dengan sahabat saya dari Jepang, Tadashi Itoga dan kami menjadi dua jurnalis Asia yang berada di stadion, menyaksikan anak2 Pantai Gading meredam Ghana 2-1 dalam perempat-final yang seru!

Kok bisa di pinggir lapangan? Iya, sebab dalam

Traveller

Hardimen Koto

media-accreditation saya tidak register sebagai writer, tapi fotografer--- biar lebih ‘indepth’ ceritanya. Hmm..

Anyway, selama tiga minggu di Tunisia, aroma Prancis memang berasa sekali. Maklum, mayoritas negara-negara di Afrika adalah bekas jajahan Prancis.

Juga di ibukota, di Tunis, tempat dimana saya bergaul dengan puluhan jurnalis peliput Piala Afrika. Saya bertemu dengan mereka, di media center, di tribun, di zona mixed zone dan mayoritas berbahasa Prancis.

Atmosfir yang asing, tapi menyenangkan.

What a journey!

THE SOCCER TRAVELLER

29

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

The Cavern Club PESONA LAIN DARI LIVERPOOL!

A

nda penggila bola? Anda penggemar Liverpool FC? Anda sudah berkunjung ke stadion magis, Anfield? Anda terkagum-kagum dengan John Lennon, Paul McCartney?

Klop. Berkunjunglah ke Inggris, landing di bandara Heathrow London dan lanjut naik kereta 2,5 jam ke Lime Street, Liverpool.

Ini kota asyik, kota pelabuhan yang kosmo, independen dan demokratis.

Juga friendly, hangat.

30

THE SOCCER TRAVELLER

Di Liverpool, sepak bola dan musik juga punya peran penting membentuk kepribadian masyarakat lokal.

Kolaboratif.

Nah, saya ke sini, ke Liverpool untuk dua hal: menonton tim pujaan saya, Liverpool FC dan mengunjungi The Cavern Club.

Saya lebih bercerita tentang The Cavern Club, klub yang terkenal di seantero dunia karena The Beatles lahir di tempat ini.

Soccer

THE

Itu sebabnya, suatu waktu, dalam perjalanan saya dari London-Aston-Manchester hingga tiba di Liverpool, lagu-lagu John Lennon dan The Beatles terus terngiangngiang: Woman, Imagine, I Want to Hold Your Hand, Penny Lave, Don’t Let Me Down, Love Me Do, Hey Jude, Yesterday.

Lokasi The Cavern Club di 10 Mathew Street. Saya cek lokasi, cuma butuh waktu 25 menit jalan kaki dari stasiun Lime Street.

Hari itu, masuk tanpa cover charge. Begitu masuk, olala, ada anak tangga ke bawah dan jarak antara panggung dan audience hanya 2 meter.

Suasananya hangat. Plus tata cahaya minimalis.

Disinilah John Lennon, bersama The Quarrymen menabrak pakem jazz di klub ini dengan dominan memainkan musik-musik rock n roll.

Keberanian yang menandai John bersama Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr-- empat

pemuda Liverpool yang juga dikenal sebagai The Fab Four, membidani lahirnya The Beatles.

Waktu itu saya menikmati segelar beer, berdua dengan sahabat saya dari Singapura, Stanley, dan pelayan The Cavern Club berkisah banyak.

Termasuk soal The Beatles yang manggung ratusan kali pada kurun 1961-1963, lalu

Traveller

Hardimen Koto

mulai menjelajahi panggung musik dunia dan melahirkan fenomena Beatlemania.

Saya sangat merekomendasi, usai nonton Liverpool FC di Anfield, pergilah ke sini, ke Cavern Club.

Bersenandunglah, sambil menenggak beer dan menghisap sebatang rokok.

Imagine...

THE SOCCER TRAVELLER

31

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

T1, LIGA THAILAND YANG BERGAIRAH & INDUSTRIALIS Klub yang baik tentu saja well-design, wellmanaged, dengan SDM yang punya passion ekstra untuk industri sepakbola.

J

ika sudah begini, klub menjadi marketable karena ditopang manajerial yang bagus, yang paham industri sepakbola, dan jeli serta berani harus bikin apa.

Ya, sesuatu yang proyektif, yang saleable, hingga ujungnya adalah noktah biru: profit-center. Bukan lagi costcenter.

Baiklah. Ini salah satu kisah perjalanan di sejumlah tempat di Thailand, 2017 lalu.

Dari Bangkok, kota yang ekonominya tak pernah berhenti menggeliat, penetratif,

32

THE SOCCER TRAVELLER

juga ke Thammasan, Lak Si dan Suphanburi.

Kecuali Suphanburi, dua jam perjalanan dari pusat Bangkok, kota-kota lain berada di Greater Bangkok.

Disini bermarkas sejumlah klub yang beredar di T1, sebutan untuk Thai Premier League level atas.

Komunitas sepakbola di Negeri Gajah Putih menyebutnya dengan Bangkok Metro Area tim.

Sedikitnya ada tujuh tim dari 18 klub yang beredar di T1. Ada Bangkok United FC, BG Pathum United , Muang

Thong United, Port FC, Super Power Samut Prakan, dan Police Tero--- klub hasil.merger dengan BEC Tero.

Klub lainnya bermarkas di luar Bangkok Metro. Dua klub besar ini saya pikir familiar dengan Anda: Buriram FC dengan kapten Suchao Nutnum (eks Persib) dan Chonburi FC yang dilatih mantan bintang Thailand, Thersdak Chaiman.

Soccer

THE

Ada juga Nakorn Ratchasima yang dihuni satusatunya pemain Indonesia di Thailand: Victor Igbonefo. Di jantung Thailand ada Sukoshai yang naik daun. Di ujung Utara ada Chiang Rai United, butuh 3 jam terbang ke sana. Mereka jadi buah bibir ketika membeli Tanaboon Kesarat senlai Rp 20 Miliar dari Muang Thong.

Saya juga harus menyebut nama Suphanburi FC yang pernah dibela Sergio van Dijk.

Dan, tentu saja, PT Prachuap-klub yang kini dibela Yanto Basna.

Liga Thailand memang

hebat. Kali ini saya coba menulis sisi infrastruktur yang mereka miliki dengan manajemen yang detail.

Contoh penting adalah Suphanburi FC. Di Bangkok saja mereka menembus mall papan atas untuk melakukan brand-activation. Luar biasa.

Lalu, markas mereka di Suphanburi Provincial Stadium sangat apik, tertata dan keren.

Pelataran empat sisi di luar stadion diatur detail: tempat parkir bus tamu, suporter tamu, merchandise store, cafetaria area, mobil toilet, pemadam kebakaran, hingga

shuttle bus yang mengangkut penonton ke gate yang dituju.

Semua dibikin nyaman.

Semua menjadi tertib. Dan yang menarik: no space for smoker!

Masuk stadion? Ini juga standard: antri, tiket discanning, tangan di stempel dan menuju kursi duduk dianter cewek cakep hingga nomer. kursi.

Half-time, penonton bisa keluar, menuju toilet yang jumlahnya memadai, bersih dan wangi. Kalau mau merokok, siap-siap keluar area ring road!

Cara Suphanburi ini juga standar diberlakukan banyak

Traveller

Hardimen Koto

klub lain, termasuk di markas Bangkok United yang jauh lebih.mewah ketimbang Suphanburi.

Dalam hati saya bergumam: InsyaAllah secepatnya Indonesia juga begini.

THE SOCCER TRAVELLER

33

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

PRANCIS 1998:

MISTERI RONALDO, STADE DE FRANCE & CERITA JURNALIS INDONESIA Sudah cermati foto di atas? Ya, itu kami, sejumlah jurnalis olahraga Indonesia di Stade de France, di kawasan Saint Denis, di pinggiran Paris.

34

THE SOCCER TRAVELLER

S

aya jelaskan ya. Dari kiri: alm Syamsil Ajirismandiar (Republika), Boy Noya (antv), Asdedy Mansyur (antv), Ronny Pangemanan (Suara Pembaruan) dan paling kanan saya.

Itu foto diambil sehari sebelum final Piala Dunia 1998: Prancis vs Brasil.

Hari itu, ya, kami menonton, mencermati official training kedua tim finalis sambil berburu materi.

Piala Dunia, memang, selalu menjadi magnet banyak media di tanah air. Eventnya seksi, dan mediumnya memberi banyak pelajaran penting dan berharga: tentang manajemen waktu, menyusun itinerary, memilih match, menentukan moda transportasi antar-kota, memutuskan hotel dan tentu: disiplin dengan deadline!

Soccer

THE TRAVELLER THE SOCCER

Traveller

Prancis 1998, pastinya, juga memberi pelajaran dan kesan banyak buat saya.

Maklum, saat itu, Indonesia sedang dilanda krisis moneter parah!

Rata-rata, saya dan juga teman2, berangkat dengan kondisi yang ‘tidak biasa’.

Budget liputan dari kantor, apapun-- uang saku, uang makan, uang jamuan, uang hotel, transportasi lokal-dipangkas hampir separuhnya!

Itu sebabnya, pertama kali dalam petualangan jurnalistik

saya, memilih tidak menginap di hotel. Saya dan 5 teman, antara lain Nanang Setiawan (Pikiran Rakyat), Anton Sanjoyo (Kompas), Agus Robot (Bali Post), alm. Barry Sihotang (Berita Buana), patungan menyewa apartemen tiga kamar di Paris 11, agak pinggiran.

Lebih murah. Lebih nyaman pula karena pemilik apartemen bersedia memasak untuk kami berenam dengan menu Indo. Hampir setiap hari,

kecuali jika dari kami ada yang traveling keluar Paris.

Kawan2 saya dari antv, selain Boy dan Asdedy juga ada Lutfi Zulkarnain, lebih memilih hotel Abaca Meisidor di area Rue de Vaugirar.

“Ini Piala Dunia pertama, sekaligus yg terakhir buat saya. Benar2 mengesankan,” kenang Asdedy, sportbroadcaster senior di tanah air itu.

Selama Piala Dunia, saya hanya beberapa kali keluar Paris. Paling jauh ke Marseille di Selatan Prancis, menonton Brasil vs Belanda, dan yang terdekat ke Bordeaux, atau Lens dan Saint Denis tentunya.

Pada saat final di Stade de France yang megah, saya duduk di press-seat bersama sederet jurnalis tulis lainnya.

Salah satunya Barry.

Kick-off masih dua jam lagi, tapi kami di area pressseat sudah ‘ribut’. Mengapa?

Ini: kami tiga kali mendapat lembaran starting line-up dari runner yang men-service para jurnalis.

Hardimen Koto

Intinya, soal starter Brasil.

Yg pertama, ada nama Ronaldo. Yg kedua, tidak ada Ronaldo. Yg ketiga, nama Ronaldo muncul lagi.

Itulah yg kemudian jadi misteri dan hingga beberapa tahun kemudian selalu jadi perbincangan.

Sudah tau kan, jawabannya? Dan, sudah tau juga kan berapa skor final saat itu?

What a journey!

THE SOCCER TRAVELLER

35

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

LILLE,

Mesti Kesana, Ke Ujung Utara Prancis

P

ercayalah, traveling adalah soal perencanaan.

Mesti detail. Mesti ‘berani’ bersikap juga. Apalagi kalau Anda adalah solo-traveller, ketika perasaan Anda lebih dominan, mengikuti kata hati— dengan sederet pertimbangan.

36

THE SOCCER TRAVELLER

Saya juga. Ketika Euro 2016 digelar di 12 kota di Prancis yang luas, saya menyiapkan segalanya jauh-jauh hari, empat bulan sebelum Euro kick-off bulan Juni.

Saya mengurus ID-Card, visa Schengen, merencanakan perjalanan, memilih airlines, memilih kota home-base, menentukan jenis penginapan, mengatur moda transportasi: bus atau kereta atau bla-bla

car yang lagi booming.

Semuanya mesti korelatif dengan pertandingan-pertandingan yang akan saya tonton.

Ribet? Tidak. Saya terbiasa dan sejak 15 tahun lalu sudah membiasakan diri untuk detail dalam men-design setiap soccertraveling saya. Kemana pun, dimana pun.

Nah, untuk Euro 2016 di Prancis, Anda mungkin kaget ketika saya memilih home-base bukan di negara tuan rumah. Alasan saya sederhana: mahal. Kenaikannya hampir 300 persen, di kota apapun!

Jadi, saya memilih home-base di Belgia. Tepatnya di kota Brussel. Dan kota ini dekat dengan beberapa kota penyelenggara Euro 2016. Antara lain Lille, Paris, Saint Denis dan Lens.

Hotel level bintang 3 harganya hanya sepertiga untuk hotel dengan level yang sama di Lens, Lille, atau juga Paris.

Nah, kali ini saya bercerita tentang soccer-travel saya ke Lille.

Ada banyak moda transportasi ke Lille. Naik bus cukup 1 jam. Naik mobil aplikasi agak ribet. Saya memilih naik kereta. Ada dua jenis kereta, regular dan cepat dengan

Soccer

THE

destinasi akhir yang berbeda di Lille.

Kalau naik kereta cepat, stasiun terakhir di Lille-Europe.

Harganya lebih mahal, pasti.

Selain langsung, hanya 25 menit, fasilitasnya juga lebih mewah. Pilihan naik kereta regular lebih asyik.

Lebih murah, bahkan kalau beruntung hanya dengan 9 Euro saja (sekitar 135 ribu rupiah), bisa menikmati beberapa kota kecil di Belgia dan Prancis dan durasi tempuh hanya 40 menit saja.

Landing-nya di Lille-Flandres,

sekitar 10 menit jalan kaki dari Lille-Europe.

Lille ini kota seksi. Aroma Prancis tidak begitu terasa karena kota ini dikitari bangunan yang justru mirip Amsterdam atau Antwerpen atau bahkan Muenchen.

Itu sebabnya, banyak penggila bola lebih suka menghabiskan waktu di beberapa titik kota sebelum menuju Stade Pierre-Mauroy di suburb Villeneuve d’Ascq, 12 menit naik trem lokal dari pusat kota.

Cukup variatif pilihan tempat untuk menghabiskan waktu di Lille. Sepanjang Rue Nationale atau di Grand Place, bertebaran café-café.

Anda bisa memesan segelas panache, minuman khas Prancis, sambil menikmati polah para supporter bola.

Saya pun memilih Grand Place. Tempatnya melingkar dengan air mancur ditengahtengahnya.

Banyak penggila bola nongkrong disini, bercengkrama dan, mungkin, ada yang memadu kasih.

Dari Lille-Flanders, Anda harus membeli tiket trem menuju lokasi Stadion PierreMauroy. Hanya 10 menit perjalanan dengan tiket 2 Euro saja. Tiba di Villeneuve, butuh jalan kaki sekitar 12 menit dan kita pun tiba di stadion megah

Traveller

Hardimen Koto

yang dibangun selama tiga tahun (2009-2012).

Pierre Mauroy dengan kapasitas 50.000 tempat duduk punya atap yang bisa dibuka tutup hanya dengan durasi 20 menit saja. Bahkan, separuh permukaan lapangan juga bisa diangkat hingga 30 meter, lalu bergeser menutupi separuh lapangan lainnya.

Dari separuh lapangan yang terangkat akan muncul lapangan lain lengkap dengan kursi penonton. Ini disebut dengan Boite Spectacles dan disini bisa dipakai untuk cabang basket, tenis hingga pertunjukan music. Rihanna pernah konser disini!

Keren.. Kalau Anda punya waktu lega, pergilah kesana, ke Lille..

THE SOCCER TRAVELLER

37

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Saya Pernah Terpasah Kesini: ROSTOV-ON-DON

Perjalanan ke stadion, Rostov Arena

38

THE SOCCER TRAVELLER

I

ni adalah destinasi anti-mainstream saya, berkunjung ke sebuah kota yang, mungkin, terasa asing bagi kebanyakan orang Indonesia.

Ya, saya ke Rostov. Ini sebuah kota kecil di Rusia sana. Mengapa? Mengapa bukan ke St. Petersburg misalnya, atau Grozny atau Kazan yang jauh lebih akrab di kuping kita?

Rostov--- kota dengan peringkat ke-10 di Rusia, dengan populasi hampir 1.5 juta jiwa dan dihuni puluhan etnis: dari Armenia, Ukraina hingga etnis Kazakh itu.

Rostov-on-Don nama lengkap kota di Selatan Rusia itu, hampir 1000 kilometer dari Moscow. Saya kesini melakoni traveling yang tak biasa, tapi menjadi harus sebab laga ini: Jepang vs Belgia dalam medium 16-Besar Piala Dunia 2018.

Soccer

THE

Ada banyak moda transportasi. Sewa mobil, hajar lewat darat, atau kereta api, atau udara. Lewat darat, waktu tersita, lebih kurang 20 jam. Ufh! Maka kemudian, saya memilih naik pesawat dari Moscow, cuma 120an menit dari Bandara Domodedovo untuk landed di Bandara Plotov, Rostov.

Sebelum ke Stadion, Rostov Arena yang megah di sisi Selatan sungai Don, saya bersama teman-teman menikmati kota dulu.

Di dalam Stadion Rostov Arena

Traveller

Hardimen Koto

Landing di bandara Plotov, Rostov on-don Kami pergi kuliner.

Pilihannya di Pushkinskaya Ulitsa, kawasan yang begitu ‘hidup’ di Rostov.

Baru usai itu, besoknya, pelan-pelan, jalan kaki, kami menuju Rostov Arena di sisi Selatan kota Rostov, melintas Sungai Don dengan jembatan panjang diatasnya.

Saya duduk di kelas utama di Rostov Arena dan bangga melihat Haraguchi dan Takashi Inui bikin Jepang leading 2-0.

Di tribun, suporter Jepang tak henti-hentinya bersorak, tapi skuad Roberto Martinez

tetap cool, lalu menyeimbangkan skor via Vertonghen dan Fellaini. Injury time, Nacer Chadli mencuri gol dan Belgia ke perempatfinal.

Saat itu, salut Di salah satu pusat kota Rostov melihat totalitas anak-anak Jepang. Bermain apik, sempat unggul, tapi Sungguh, sebuah kemudian menyerah dalam kenangan keren dari Rostov detik-detik penghabisan.

Arena yang megah di Rostov, Sakit memang. Tapi kota pertemuan antara budaya hidup harus tetap berjalan, Barat dan Timur itu. semestinya.

Pengen kesana lagi...

THE SOCCER TRAVELLER

39

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

El Rastro

FLEA MARKET-NYA KOTA MADRID!

A

nda pasti sering dengar flea-market.

Harafiahnya, ini pasar loak. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai pasar unik, pasar antik, pasar yang menjual segala hal yang kerap menyodorkan kejutan: aneh, lucu, geli, kagum, takjub, tak percaya.

Setiap traveling, kemana pun, usai melakoni tugastugas rutin, saya sebisanya menyisakan waktu berkunjung ke flea-market di kota yang saya kunjungi.

Asyik memang: ramai dan riuh dengan segala keunikan masyarakat lokal.

Di situ ada ‘harta karun’.

40

THE SOCCER TRAVELLER

Dari kartu pos, kepala ikat pinggang, buku kuno, perhiasan, berbagai jenis lampu, perabotan, aksesoris, lukisan, karpet, bed-cover, furniture, botol, celemek, gantungan kunci, hingga produk-produk fashion.

Namanya saja flea-market, jadi tidak ada yang baru. Tapi gak semuanya rombeng. Saya bilang, nilai seninya tinggi, selain aneh, antik, langka dan unik.

Saya pernah ke Haraj bin Qassim, flea marketnya Riyadh, Arab Saudi meski pasar ini didominasi produk-produk sandang yang dijajakan imigran-imigran dari Afrika Barat.

Di Bangkok ada Chatuchak Weekend Market yang luas, dengan 2000-an gerai yang heboh dan kerap dikunjungi wisatawan mancanegara.

Saya dan teman-teman di El Rastro Chatuchak juga menjadi menampung hingga 400 ribu ‘tempat wajib kunjung’ turis turis per harinya. Gelo! asal Indonesia.

Di Beijing saya pernah Grand Bazaar di Istanbul, terpasah ke Panjiayuan, Turki, lebih heboh. Lebih flea market yang terkenal arsitektural, lebih luas dengan dengan benda-benda seni harus menutup 58 jalan bernilai tinggi. Atau juga di dengan atap dan mampu GuangZhou, persisnya di

Soccer

THE

‘Beijing Lu’ yang ramainya ampun-ampunan.

Kalau Ho Chi Minh City di Vietnam punya Ben Thanh market, maka Hongkong punya Temple Street Market yang juga favorit buat saya.

Maklum, barang-barang yang ada lebih maskulin dan tempatnya lebih cozy. Sama seperti Covent Garden Market di London, yang menjadi area favorit turis dengan sederet café, bar dan streetperformance yang menggoda.

Dua tahun lalu, di Paris, saya berkunjung ke Le Puces di distrik Saint Ouen. Ini pasar loak dengan segala keunikannya yang, konon, terbesar di Eropa. Le Puces sudah ada sejak abad ke-18 dan tetap eksis hingga kini.

Anda berpikir mau beli apa di flea market? Pikirkanlah, dan sepertinya ada di situ. Juga ketika saya pernah berkunjung ke El Rastro, flea market-nya Madrid, Spanyol. Itu tahun 2015.

Turun taksi, hal pertama yang menari-nari adalah ini: batu akik! Ada gak yaaaa…

Eiiits, ternyata ada! Maklum tak paham akik, sebab belakangan saya dengar banyak juga yang dipalsukan, saya cuma larak-lirik doang.

Hehheee..

El Rastro adalah kawasan yang panjang, di antara segitiga Calle Embajadores, Ronda de Toledo dan Plaza de Cascorro.

Bukanya cuma hari Minggu saja, dengan ribuan pedagang

yang menjual ribuan benda antic-unik-aneh-langka. Ada barang baru, tapi dominan barang bekas namun bernilai seni tinggi.

Traveller

Hardimen Koto

Dalam konteks sepakbola, di El Rastro saya bisa menemukan poster Atletico Madrid tahun 1960-an, atau tiket salah satu pertandingan La Liga musim 1953, atau juga bros Real Madrid tahun 1942 sebelum Los Galacticos memakai logo saat ini.

Teman saya dapat pajangan kulit ‘Route 66’ yang memorable banget. Ada juga yang dapat poster Matador in Action berbahan kulit sapi.

Atau celemek dengan design wanita Mediteranian lagi bikin tapas, kuliner lokal yang ngetop itu. Ahahaaa..

El Rastro juga punya sejumlah area rehat. Ada banyak café dengan gedunggedung kuno yang eksotis, menikmati kuliner dengan harga terjangkau. Hmmm…

Saking asyiknya, setengah hari pun gak cukup di sini, di El Rastro.

Jadi, Madrid bukan hanya Bernabeu, Vicente Calderon, Wanda Metropolitano atau Palace Cibelles, atau Puerta del Sol, Plaza del Mayor, atau juga Gran Via yang hedonis.

Tapi juga El Rastro.

THE SOCCER TRAVELLER

41

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Ke DEN HAAG

Aku Datang...

B

elanda kecil, sekitar 17 juta--- kurang lebih sama dengan penghuni Jakarta di siang hari, punya 3000 klub dengan 1.2 juta pemain yang beredar di 5000an pertandingan setiap pekannya.

Hebat. Itu berarti 1 dari 15 penduduk Belanda aktif bermain setiap pekannya dan terorganisir.

Tidak salah kalau sepakbola Belanda maju.

Hampir di semua sudut, tertata, terpola dan banyak

42

THE SOCCER TRAVELLER

memunculkan talenta hebat.

Jadi, satu yang saya yakini, sepakbola di Belanda tak hanya soal PSV Eindhoven, Ajax Amsterdam, atau Feyenoord Rotterdam. Tapi banyak lagi.

Salah satunya klub hebat dari Den Haag. Namanya ADO Den Haag atau biasa juga dikenal dengan FC Den Haag.

Ini klub tua dan sudah berusia satu abad lebih. Suatu waktu, saat saya menghadiri Euro 2016 di Prancis, tiba-tiba saya ingin ke sana; ke Den Haag (The Haque).

Soccer

THE

Soal traveling, ini bukan pekerjaan sulit. Ketika itu saya berhome-base di Brussels, Belgia. Posisinya di tengahtengah, diapit Prancis dan Belanda.

Jarak tempuh juga tidak begitu jauh. Jalur transportasi juga sangat mudah dengan varian moda yang juga beragam.

Saya lalu membeli tiket kereta Brussels-Rotterdam. Di kota ini saya dipick-up teman yang sudah lama bermukim di Schiedam, tak jauh dari Rotterdam.

Bersama dia kami kemudian berkendera ke Den Haag, kota pemerintahan Belanda, menikmati Nasi Padang sambil rehat.

Telpon sana-sini, buka akses, kami lalu meluncur ke markas ADO Den Haag, member Eredivisie di Stadion Kyocera.

Hanya 7 menit saja dan kami disambut beberapa officer ADO, kub Eredivisie milik konsorsium Tiongkok -- United Vansen Internasional Sport Company itu.

Buat yang terbiasa

Traveller

Hardimen Koto

melakukan stadium visit ke markas klub-klub besar, dan itu mainstream, berkunjung ke markas ADO Den Haag sebetulnya juga asyik.

Kyocera, markas mereka, adalah stadion modern berkapasitas 15.000 tempat duduk yang juga multi fungsi.

(Sekadar catatan, setahun pasca saya kesana, 2017 lalu nama Stadion berganti jadi Cars Jeans Stadion, merujuk pada ‘stadium naming’.)

Puas melakukan tour di dalam dan luar stadion, saya dan dua teman lalu berkunjung ke kota Delft.

Tak jauh dari Den Haag.

Di Delft, kota pelajar yang juga disesaki anakanak Indonesia itu, kami nongkrong di sebuah restoran Indonesia yang dikelola anak Manado.

Dan tau gak? Di situ ada rendang lho.. Harganya juga terbilang murah: 100 ribuan rupiah per porsi.

Hmm, gurih, sama seperti gurihnya sepakbola Belanda.

THE SOCCER TRAVELLER

43

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Jumpa Dua Legenda Hidup Iran di Beirut

Saya harus memberi garis bawah tebal untuk nama ini: Ali Daei. Jangkung, 192 cm, ganas di lapangan, religius di luar lapangan.

A

Saya dan Ali Daei (Iran) di Beirut, Lebanon

44

THE SOCCER TRAVELLER

li Daei, nama yang fenomenal-- kelak menjadi pemain pertama yang menembus “100 gol bersama tim nasional, sudah menggoda saya sejak 1993.

Ketika itu, di Doha, Qatar, saya hadir meliput putaran final Piala Dunia 1994, dan Iran salah satu kontestan.

Sayang, saya gagal jumpa Daei.

Tiga tahun kemudian, peluang ketemu muncul di Uni Emirat Arab, saat Iran juga menjadi kontestan Piala Asia 1996.

Sebab saya lebih sering nge-pos di kota Abu Dhabi, dan Ali Daei bersama Iran dominan di kota Dubai, peluang berjumpa kembali terbuang.

Pasca UEA 1996 kita juga tahu kalau Daei juga menjadi topscorer.

Akhirnya, Ali Daei saya ‘tangkap’ di Beirut, Lebanon.

Bahagia rasanya, apalagi saat itu Ali Daei makin berkibar bersama Hertha Berlin SC setelah musim sebelum membela Bayern Muenchen.

Kepada Ali Daei saya cerita tentang keinginan lama saya bertemu, termasuk kegagalan

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Ali Daei saya ‘tangkap’ di Beirut, Lebanon. Bahagia rasanya, apalagi saat itu Ali Daei makin berkibar bersama Hertha Berlin SC setelah musim sebelum membela Bayern Muenchen. bersua di Qatar dan UEA. Saya juga kagum dengan sosok jangkungnya. Di lobi hotel di Beirut, kami berbincang akrab.

Saat itu juga ada legenda hidup Iran lainnya, Mehdi Mahdivikia, nama yang juga banyak berkiprah di Jerman.

Kembali ke Ali Daei, perjumpaan dengan salah satu maestro di Piala Asia 2000 di Lebanon itu, cukup berkesan.

Kini Ali Daei terjun sebagai

pengusaha, punya apparel pabrikan bernama Daei Sport yang menguasai pasar Iran.

Rekor dia sebagai pemain pertama yang menembus ‘Club 100’ untuk gol-gol internasional -- total 109 gol dari 149 laga, baru bisa diikuti Cristiano Ronaldo dengan 101 gol dari 165 laga.

Kelak, belakangan, seperti Ronaldo, Ali Daei juga banyak berkecimpung di sektor sosial.

Luar biasa.

Saya bersama Mehdi Mahdivikia THE SOCCER TRAVELLER

45

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Qatar

Dulu dan Kini

M

embandingkan Qatar dulu dan kini, bak bumi dan langit. Secara infrastruktur tentu, dengan perubahanperubahan yang evolutif disana.

Saya pertama kali ke Qatar tahun 1993, dalam kaitan dengan kualifikasi zona Asia putaran final Piala Dunia 1994.

Ada Jepang, ada Saudi, ada Korea, ada Iran dan sejumlah tim lain dengan membawa sederet bintang mereka.

Kota Doha, yang kecil dan sepi, waktu itu lumayan heboh.

Jalanan lengang. Resto fast food juga cuma satu.

46

THE SOCCER TRAVELLER

Saya di Doha, Qatar tahun 1993 ketika kualifikasi Piala Dunia 1994, putaran final zona Asia

Saya juga diincar sejumlah media lokal tentang komentar saya seputar sepakbola Asia.

Masuk koran, dan karenanya sejumlah orang Indonesia yang bekerja di Qatar Petroleum mengundang saya ke rumah mereka.

Asyik juga meliput event besar Asia di negara kecil Qatar, dan dengan service lumayan bagus.

Saya misalnya dihadiahi sejumlah souvenir, dari tas hingga jam tangan. Sebab registrasi saya adalah fotografer, maka di Khalifa Stadium saya diservice roll film.

Tahun 2006 saya kembali ke Qatar, untuk pesta multi event Asian Games.

Saya hanya menonton satu cabang; sepakbola, karena Indonesia ikut meski kandas di grup, juru kunci dibelakang Irak, Syria dan Singapura.

Tapi saya mau cerita, infrastruktur Qatar sudah melaju pesat dibanding ketika 13 tahun lalu saat saya datang pertama kali.

Soccer

THE

Ada stadion Al-Wakrah, Al-Ahli, Al-Saad, Al-Gharafa, Al-Rayya hingga Qatar SC, termasuk Khalifa International Stadium yang direnovasi pada 2005.

Khalifa, milik Qatar Football Assocation, akan jadi leblh moncer, bersanding dengan sederet stadion baru lainnya.

Ya, stadion yang megah, full AC, tersebar di negara kecil seluas dua kali pulau Bali itu.

Maklum, 2022, nyaris 30 tahun sejak kedatangan pertama saya, Qatar akan jadi tuan rumah Piala Dunia.

Gila!? Ya, gelo..

Traveller

Hardimen Koto

Saya di Khalifa International Stadium, Doha, Qatar

Khalifa, milik Qatar Football Assocation, akan jadi leblh moncer, bersanding dengan sederet stadion baru lainnya”

Delapan stadion terbaru di Qatar untuk Piala Dunia 2022

THE SOCCER TRAVELLER

47

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Label Rusia, tadinya, adalah negara seram. Orangorangnya dingin, sedingin bangunannya. Belum lagi stereotype yang dilekatkan: mafioso, pemabuk, geng kartel dan sebagainya.

C

Rusia,

erita FC Anzhi Makhachkala, klub kaya dari Dagestan yang harus berhome-ground di Moskow-- 3 jam perjalanan udara, demi keamanan tim, kerap menari-nari.

Sensasi Lewat Dua Kota Besar

48

THE SOCCER TRAVELLER

Jadi, tidak pernah membayangkan saya bisa tiba di negara terluas di dunia dengan 11 zona waktu itu (bandingkan dengan Indonesia, 3 zona waktu).

Sampai pada akhirnya, saya dikasih Tuhan kesempatan pergi ke Rusia, Juni-Juli 2018, bersama teman-teman.

Bisa tebak? Ya, momentum itu adalah Piala Dunia

Soccer

THE

2018, dan saya dipercaya mengatur semuanya: memilih kota home-base, memilih pertandingan, memilih moda transportasi lokal, dan memilih akomodasi. Visa otomatis kalau, minimal satu match di tangan.

Akhirnya, kami terbang dengan Emirates. Delapan jam terbang, transit di Dubai, UEA, lanjut lima jam untuk landing di Bandara Demodedovo.

Traveller

Hardimen Koto

Dan, inilah Moskow, satu gerbang masuk Rusia yang riuh. Sempat meregang badan, dengan jogging di seputar apartemen, sesudahnya adalah eksplorasi Moscow yang epic banget.

Orang bilang, jantungnya Moscow adalah Red Square, seluas 7 hektar, lokasi St. Basil Cathedral, Mausoleum Lenin, Ivan the Great Bell Tower, dan sebagainya.

THE SOCCER TRAVELLER

49

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Bisa maklum, sebab ada Piala Dunia, Red Square ramai dikunjungi. Saya pun tidak ketinggalan dengan pose-pose di Red Square dengan nuansa Piala Dunia.

Tak jauh dari Red Square, ada Bolshoi Theatre. Ini tempat pertunjukan opera atau balet, dan sudah berusia 200 tahun.

Kalau Red Square adalah

50

THE SOCCER TRAVELLER

jantungnya Moscow, maka jiwa kota adalah Arbat Street.

Ini kawasan pedestrian sepanjang 1 km, terkenal dan menjadi ajang nongkrong.

Saya masuk ke sebuah resto Rusia di Arbat yang legendaris milik etnis dari Tatarstan, dengan sajian menu ala Piala Dunia.

Asyik banget. Apalagi banyak pelayan mereka pada

nanyain kami: dari Indonesia ya? Muslim ya? Bisa bahasa Arab?

Moscow memang seksi, seseksi stasiun bawah tanah Metro Moscow. Ketika saya disitu, Moscow punya 214 stasiun dengan total panjang 364,9 Km-- terpanjang ketujuh di dunia dan hampir semuanya indah. Keindahan tersembunyi di bawah tanah.

Soccer

THE

Pemandangan indah ini juga saya alami ketika naik kereta cepat Sapsan ke kota kedua terbesar di Rusia, Saint Petersburg.

Leningrad. Ini nama lama St. Petersburg, sebuah kota yang seksinya sama selain juga bersih.

Ada match Kolombia vs Senegal di Kristovsky, tapi saya tidak begitu tertarik. Blue mosque, alias Masjid Soekarno jauh lebih menggoda dan saya pun kesana.

Dari sana, kami menuju museum Hermitage di Palace Square. Ini adalah salah satu museum seni terbesar dan tertua di dunia yang dibangun pada tahun 1764.

Bikin takjub.

Oya, saya juga sempat berkunjung ke stadion Krestovsky-- sekarang ganti nama menjadi Gasprom Stadium, dan digunakan sebagai markas FC Zenit.

Itu sisi lain dari dua kota ini: Moscow dan St. Petersburg: sensasional.

Traveller

Hardimen Koto

Moscow memang seksi, seseksi stasiun bawah tanah Metro Moscow.

Ketika saya disitu, Moscow punya 214 stasiun dengan total panjang 364,9 Km-terpanjang ketujuh di dunia dan hampir semuanya indah”

THE SOCCER TRAVELLER

51

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

HIROSHIMA, MON AMOUR I

ni cerita tentang kota yang pernah luluh lantak diterjang bom atom: Hiroshima, 800 kilometer dari ibukota Tokyo.

Kota yang, pelan tapi pasti, bangkit dari keterpurukan.

Kota yang move-on berkat satu kata ini: cinta dan persahabatan!

Itu, paling tidak, yang saya lihat dan saya rasakan saat mengunjungi Hiroshima dalam tiga kesempatan, beruntun, pada 1992, 1993 dan 1994.

Tahun 1992, usai meliput Piala Toyota di Tokyo, saya ke Hiroshima. Sendirian, naik Shinkansen-- kereta cepat mewah Jepang, dengan durasi tempuh 5 jam.

52

THE SOCCER TRAVELLER

Saya mau ke Sanfrecce Hiroshima, satu cara pendalaman liputan ketika Jepang bersiap menggulirkan J.League-- kompetisi profesional mereka yang amat detail.

Di Hiroshima saya disambut ramah Kazumi, officer cewek Sanfrecce di kantornya yang apik. Dari situ saya diajak ke Yoshida Park, training ground Sanfrecce di area perbukitan dengan city car dia.

Kazumi yang ramah, sangat banyak membantu.

Impresi awal, ia adalah potret orang-orang Hiroshima yang lebih terbuka dibanding manusia ‘gila kerja’ di Tokyo.

Lebih touchy.

Di Hiroshima Dome

Soccer

THE

Dengan jurnalis Indonesia pasca Deadline Asian Games 1994 Saya juga main ke Genbaku Dome, monumen bom atom di Hiroshima yang terletak di tengah-tengah kota.

Tahun 1993, saya datang lagi. Kali ini liputan Pra-Asian Games dan saya berkunjung ke kantor OC Asian Games, diajak ke stadion dan berfoto dengan mascot Poppo dan Cuccu.

Saya juga berkenalan dengan Harry Yoshirada, pria Jepang blasteran Amerika yang bekerja di Hiroshima

Library. Ia ramah, ramah sekali, cerdas.

Tahun 1994, Hiroshima kembali memanggil. Ini semua seolah-olah seperti Hiroshima, Mon Amour (Hiroshima, Cintaku), film percintaan berselimut perang yang booming tahun 1960an.

Film yang dibintangi aktris Prancis Emmanuelle Riva dan aktor Jepang Eiji Okada itu bercerita bahwa cinta jauh lebih dahsyat ketimbang perang.

Cinta pula yang menjadikan sebuah ‘warung’ sebagai markas jurnalis Indonesia usai deadline selama Asian Games.

Warung yang menjual segala makanan Jepang, digawangi seorang ibu yang baik dan ramah dan setiap siapa pun yang mau bayar, dihadiahi boneka kayu yang boleh pilih sendiri. Begitu terus, setiap malam, hingga Asian Games usai.

Begitu si ibu menjelaskan persahabatannya kepada siapa pun, termasuk jurnalis Indonesia.

Seperti Asian Games Hiroshima yang juga friendly, menjadi ajang debut lima negara pecahan Uni Soviet: Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgistan dan Uzbekistan.

Dan saya beruntung menyaksikan final sepakbola tatkala Uzbekistan meredam Cina 4-2 di stadion Regional Park.

Begitulah kenangan Hiroshima. Berharap, suatu saat, saya kembali.

Traveller

Hardimen Koto

Di Training Ground Sanfrecce Hiroshima

THE SOCCER TRAVELLER

53

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

S

epakbola tak hanya soal 2x45 menit-- plus extratime, plus adu penalti, kalau ada.

Sepakbola lebih dari itu, sebuah kompleksitas yang ruwet, melibatkan tak sekadar 22 nama, riuh, ruwet tapi asyik.

Itu sebabnya, bisnis sepakbola selalu asyik dicermati dan diikuti karena selalu, dan selalu berkembang.

Football Expo adalah medium menarik yang mempertemukan para stake-

holders dengan para pelaku industri sepakbola.

Sejumlah Event Organiser yang menggelar Expo bahkan udah mulai segmented, main zona: Asia, Eropa, Amerika atau Afrika.

Biasanya sekali enam bulan dengan rotasi.

Bahkan, yang juga baru muncul adalah Soccerex, singkatan dari Soccer Expo.

Hakekatnya sama: membawa sepakbola terus tumbuh pesat dengan sederet temuan yang inovatif.

Biasanya, football expo digelar tiga hari dengan thema besar macam konferensi, broadcasting, safety-security-fans education, desain produk merchandising, technical study group, revenue generation, digital marketing, bahkan juga rebranding klub.

Masing-masing thema, itu berbiaya. Kecuali untuk

Beckenbauer, Football Expo dan Gairah Industri Sepakbola

54

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

thema-thema umum yang dicharge lewat registration fee.

Sekali waktu saya ikut Football Expo di Singapura.

Ada banyak pesohor lapangan hijau hadir.

Ada Franz Beckenbauer, yang datang membawa bendera Bayern Mueñchen, ada Bobby Charlton dengan bendera Premiere League.

Saya sempat menemui mereka, dan berbincang cukup leluasa. Saya banyak dapat hal dan yang pasti, Football Expo untuk satu tujuan: demi gairah sepakbola. Dan itu bikin asyik.

THE SOCCER TRAVELLER

55

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

DESTINASI TERJAUH

Genoa, Tavarone, Roma dan Tunisia M

elintas di tiga benua.

Inilah satu kisah perjalanan saya yang seru dan, tentu, mengasyikan.

Ya, saya berpendar di Asia, Eropa dan Afrika. Persisnya, melintasi sederet kota ini: Jakarta, Bangkok, Roma, Genoa, Tavarone, Tunis dan Sousse.

Semua, dalam satu garis perjalanan, untuk tiga destinasi utama: PSSI

56

THE SOCCER TRAVELLER

Primavera-Barretti, Sampdoria UC dan Piala Afrika di Tunisia.

Mengapa PSSI PrimaveraBarreti? Sebab inilah proyek mercusuar PSSI yang terheboh, yang mampu menyedot dua media sepakbola terkenal, Onze Mondial dan La Gazzetta dello Sport menyajikan liputan khusus.

“Saya harus kesana,” bathin saya, ketika itu.

Soccer

THE

Mengapa Sampdoria?

Haa, ada dua alasan.

Proyek mercu suar Primavera-Barretti adalah kerjasama dua pengusaha besar: Nirwan Dermawan Bakrie (Indonesia) dan Enrico Mantovani (Italia).

Dan, semua konsep dan program Primavera-Barretti dirancang Sven-Goran

Traveller

Hardimen Koto

Eriksson (Swedia) dengan pelaksana Tord Grip, asisten Eriksson asal Swedia plus Romano Matte, asal Italia.

Alasan kedua, saya pengen menjumpaì dua nama ini: David Platt (Inggris) dan Ruud Gullit (Belanda), dua nama yang menjadi ikon Sampdoria, dan Italia tentunya.

Lalu, mengapa Tunisia?

Sebab, saya ingin merasakan atmosfir langsung sebuah event yang diincar banyak orang: Piala Afrika-- arena banyak talenta hebat dari benua hitam.

Dan saya pun ingin menjadi jurnalis Indonesia pertama yang meliput Piala Afrika

dan tempatnya di Negeri Maghribi, di kawasan ‘Afrika Putih’, di Tunis dan Sousse.

Maka, saya pun merancang program liputan, apa yang harus saya lakukan di Tavarone, mengejar siapa saja, butuh foto seperti apa, dan interview siapa saja.

THE SOCCER TRAVELLER

57

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Saya juga menyusun rencana kerja untuk kunjungan ke Sampdoria di Genoa dan Piala Afrika di dua kota, Tunis dan Sousse.

Seluruh pihak terkait saya hubungi, agar semuanya aman. Saya kontak pelaksana program Primavera, menghubungi media officer Sampdoria plus organizing committee Coupe du Afrique.

Lalu, saya pun menyusun itinerary, booking pesawat, hotel di Roma, Genoa, Roma lagi dan terakhir di Tunis.

Saya tulis Asia, sebab saya melintas Bangkok, transit disana, sebelum terbang menuju bandara Leonardo da Vinci di Roma.

Di Roma, saya dijemput sahabat saya, Rayana Djakasurya, menginap semalam sambil urus visa masuk Tunisia.

Baru esoknya, dengan pesawat, kami terbang menuju Genoa, kota keenam terbesar di Italia, sekaligus seksi-menurut saya.

58

THE SOCCER TRAVELLER

Di aeroporto Christopher Colombus, Genoa, saya dan Rayana dijemput dengan semringah oleh Danurwindo dan Harry Tjong, dua nama yang bertanggungjawab untuk Proyek PSSI PrimaveraBarretti.

Kami naik mobil, sejauh 80 Km, naik, berliku, menanjak dengan pemandangan seru dan indah di sisi kiri kanan.

Dan, akhirnya, kami tiba di Tavarone, disergap musim dingin tahun 1994.

Tiga hari yang padat, buru sana buru sini, saya meninggalkan Tavarone dan kembali ‘ke bawah’, ke Genoa, persisnya ke Bogliasco, training center Sampdoria di pinggiran Genoa.

Selain Rayana, saya juga ditemani rekan Wing Wiryanto Soemarsono (Jawa Pos), yang memilih tinggal di Italia.

Seru juga di Bogliasco.

Saya menonton latihan Sampdoria dari jarak dekat, dekat sekali. Saya berbincang

Soccer

THE

akrab dengan Eriksson.

‘Buruan’ saya, Ruud Gullit, juga ada. Dia latihan, tapi wajahnya tidak friendly. Konon, Gullit pasang wajam masam karena pers Italia membongkar skandalnya dengan seorang presenter.

Usai latihan, masuk ruang bilas, Guĺlit keluar dan ngacir meninggalkan Bogliasco dengan mobil mewahnya.

Kabar bagusnya, addeto stampa (media officer) Sampdoria sukses

menghadirkan David Platt buat saya. Dan, Platt sangat hangat.

“Grazie, bella,” ucap saya pada officer cewek Sampdoria itu.

Singkat cerita, kisah perjalanan berlanjut. Dari Genoa, saya kembali ke Roma.

Maklum, flight saya ke Tunis, ibukota Tunisia, dari sini.

Saya menginap dulu ibukota Italia ini. Cuci mata dan saya ke Trevi Fontain, air mancur yang manjur sebelum cuss ke Tunis, ibukota Tunisia.

Ini perjalanan lintas benua, Eropa-Afrika. Dan akhirnya, jarak Roma-Tunis yang ditempuh lebih kurang dua jam, saya menapakkan kaki pertama kali di benua Afrika.

BIenvenue à la Coupe d’Afrique, en Tunisie.

Selamat datang di Piala Afrika, di Tunisia.

Itu kata-kata selamat datang dari liasion-officer Piala Afrika yang mengalungkan sebuket bunga di bandara Tunis-Carthage International.

Traveller

Hardimen Koto

Ini perjalanan lintas benua, Eropa-Afrika. Dan akhirnya, jarak Roma-Tunis yang ditempuh lebih kurang dua jam, saya menapakkan kaki pertama kali di benua Afrika.

Itu nukilan kenangan dari sebuah perjalanan terjauh saya: melintas tiga benua dalam satu tarikh perjalanan.

What a journey.

THE SOCCER TRAVELLER

59

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

TOYOTA CUP

Sebuah Impresi dari Tokyo

E

ra 1990-an hingga awal 2000-an, banyak jurnalis (sepakbola) Indonesia akrab dengan turnamen ini: Toyota Cup. Ini ‘kejuaraan dunia antarklub’, yang mempertemukan dua juara dari dua benua: Eropa vs Amerika Latin.

Lebih tepatnya, ini adalah turnamen dari pemuncak Liga Champions Eropa versus peraih mahkota Piala Libertadores di Amerika Latin.

Piala Toyota adalah nama berikut, sejak 1980 hingga 2004, setelah

60

THE SOCCER TRAVELLER

sebelumnya bernama Piala Intercontinental.

Yang menarik, Piala Toyota digelar setiap bulan Desember, saat musim dingin menyergap

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Tokyo dan di Stadion Nasional, di setiap pintu masuk terkadang dibagikan busa pemanas duduk.

Saya kebagian meliput Piala Toyota 1992, saat Pep Guardiola cs dengan jubah Barcelona jumpa Zeti dan kawan-kawan dari Sao Paulo.

Ini duel bagus, laga sarat bintang dengan pelatih sangar dari kubu kedua tim: Johan Cruyff versus Tele Santana.

Laga digelar 12 Desember 1992. Sehari sebelumnya ada official-training.

Saya sendiri tiba di Tokyo tiga hari sebelumnya, dengan sejumlah perencanaan.

Apalagi saya bekerja di tabloid, yang mesti beda, mesti dalam dan mesti eksklusif.

Saya sukses mendapatkan Tele Santana, kapten Toninho Cerezo dan Rai Oliveira-- yang akhirnya jadi Man of the Match.

Dari Barcelona saya bisa berbincang akrab dengan Johan Cruyff, selain Michael

Laudrup, Ronald Koeman dan Hristo Stoichkov.

Sebagian dari mereka saya dapatkan di hotel dan sebagian lagi saya temui di stadion.

Asyik juga pengalaman saya di Tokyo, dengan organisasi penyelenggaraan yang rapi.

Kini, Piala Toyota sudah tidak ada lagi. Jubah berganti menjadì FIFA World Club Cup.

THE SOCCER TRAVELLER

61

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

UEA 1996,

PIALA ASIA PERTAMA INDONESIA DAN TOMISLAV IVIC

K

ita flash-back: Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab, pertama kali tim nasional Indonesia beraksi di putaran final.

Kisah lolosnya Indonesia juga dramatis: berkat kiper India, Arpan Dey, kena kartu merah dan posisi dia di bawah mistar diganti kapten sekaligus striker top India, Baichung Butia.

Alkisah, ceritanya bermula dari kualifikasi Piala Asia Grup 4 yang dihuni Malaysia, India dan Indonesia. Seluruh pertandingan dimainkan di

62

THE SOCCER TRAVELLER

Kuala Lumpur.

Game pertama, 2 Maret 1996, Indonesia dan Malaysia imbang 0-0. Dua hari kemudian, Indonesia jumpa India dan tertinggal 0-1 berkat gol

T. Kumar menit 11. Semenit kemudian, Indriyanto Nugroho bikin gol penyeimbang.

Lalu, datanglah drama itu: kiper India Arpan Dey kena kartu merah dan Butia menggantikannya.

Sejak itu, gol demi gol meluncur ke gawang India lewat Rochy Putiray (2), Indriyanto, Ansyari Lubis (2) dan

Peri Sandria. Indonesia unggul 7-1.

Game terakhir, 6 Maret 1996, Malaysia hanya bisa menang 5-2 atas India dan ini meloloskan Indonesia ke UEA 1996.

Uji coba di Piala Tiger 1996 di Singapura, hanya bisa menjadi semifinalis, timnas

Soccer

THE

dengan sejumlah pelatih, antara lain Bernard Schumm (Jerman) dan Tomislav Ivic (Kroasia, saat itu pelatih UEA).

“Indonesia main teratur, spartan dengan memakai dua sayap. Ini bagus dan bakal menyulitkan kami nanti,” ucap Ivic memuji.

UEA, kemudian, memang susah payah menundukkan Indonesia. Skornya 4-2, sama seperti Korea Selatan-- yang diperkuat Shin Tae-yong dengan kemenangan yang sama.

Tapi, paling tidak, aksi perdana timnas kita tidak

Indonesia lalu dipersiapan di Italia.

Widodo C. Putro dan kawan-kawan pemanasan kontra Moldova di Genoa, kalah 1-2 walau sempat unggul lewat sepakan Bima Sakti.

Dari Italia, timnas terbang ke Vilnius dan ujicoba versus tuan rumah Lithuania. Hasilnya: kalah 4-0.

Sebelum masuk UEA, Sudirman cs. kembali uji coba.

Traveller

Hardimen Koto

jelek-jelek amat di putaran final Piala Asia pertama mereka.

Paling tidak, itu yang bisa saya rekam di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab 1996.

Inilah skuad Indonesia di UEA 1996: Kurnia Sandy, Hendro Kartiko, Sudirman, Widodo C. Putro, Ronny Wabia, Bima Sakti, Suwandi HS, Aples Gideon, Ritham Madubun, Supriono, Marzuki Badriawan, Indriyanto Nugroho, Agung Setyabudi, Yeyen Tumena, Budiman, Anshar Razak, Charis Yulianto, Francis Wewengkang, Chris Yarangga,

Kali ini vs Irak di Genoa, dan kalah 4-0. Lalu melawan Arab Saudi di Damman dan menyerah 1-4.

Cukup variatif lawan-lawan timnas dan ini menjadikan aksi perdana skuad Danurwindo di Abu Dhabi lumayan mengejutkan: imbang 2-2 versus Kuwait, bahkan sempat leading 2-0 via gol Widodo dan Ronny Wabia.

Inilah kemudian yang menjadi bahan diskusi saya

THE SOCCER TRAVELLER

63

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

MUENCHEN: GOETHALS DAN GELAR JUARA SESAAT MARSEILLE

I

ni kisah traveling saya ke salah satu ‘ibukota’ sepakbola Eropa: Muenchen, Jerman. Tepatnya ke Olympiastadion, menyaksikan laga Olympique Marseille kontra AC Milan.

Itu final Liga Champions edisi perdana, setelah title turnamen berubah dari Piala Champion.

Final sendiri dilangsungkan 26 Mei 1993 di Olympia, stadion terbesar di Utara Muenchen yang juga jadi markas Bayern Muenchen--kelak pindah ke Allianz Arena yang baru kelar 2006.

Saya tiba di Muenchen tiga hari sebelum laga bersama

64

THE SOCCER TRAVELLER

dua jurnalis Indonesia lainnya: Ronny Pangemanan (Sinar Harapan) dan Gerard Rungkat (Tribun).

Kami beredar di pusat keramaian Muenchen, berbaur dengan suporter Milan dan Marseille.

Oya, kami menginap di kawasan Marienplatz, distrik turis di Muenchen dan tiap hari makan di Restoran Bali yang maknyos.

Singkat cerita, partai final tersaji. Saya ambil akreditasi sebagai writer journalist dan kebagian duduk di press-seat dengan sederet fasilitas.

Dalam final itu, skuad Raymond Goethals punya

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Alen Boksic, Abedi Pele dan Rudi Voeller di depan serta ada Angloma, Basile Boli serta Marcel Desailly di belakang.

Adapun Milan mengandalkan ketajaman Massaro dan Marco van Basten di depan, Frank Rijkaard di tengah serta kuartet belakang: Tassoti, Costacurta, Baresi dan Maldini.

Gol tunggal Marseille muncul menit 43, lewat sundulan Boli, defender berdarah Pantai Gading.

Marseille jawara, tim Prancis pertama di tahta Champions League. Pesta sudah dimulai anak-anak OM.dari lapangan, kamar ganti dan hotel.

Usai match, saya ikut press conference, mengejar Goethals. Pelatih asal Belgia (sekarang sudah almarhum) bilang: “This is nice story for us,” ucapnya.

Tapi, belakangan terungkap, itu justru story jelek. Pasalnya, praktek suap mereka terungkap di liga

domestik pasca President Marseille Bernard Tapie ketahuan menyuap sejumlah pemain Valenciennes.

Alhasil, gelar Liga Champions Marseille hanya berhenti sampai usai final di Muenchen. Ke depannya, Didier Deschamps cs dilarang tampil di Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub.

Bahkan, Marseille dipaksa absen di Champions League tahun berikut. Di Liga Prancis, mereka juga turun kasta.

Kasihan.

THE SOCCER TRAVELLER

65

Hardimen Koto

Soccer

THE

KE

Traveller

Mestalla - Valencia

KARENA MAGNET KEMPES

M

ario Kempes! Ini bintang Argentina yang fenomenal di Piala Dunia 1978. Kempes pun pernah berkarir di Indonesia, menjadi punggawa Pelita Jaya era 1990-an. Kempes pula yang menjadi magnet penting, mengapa saya kemudian ingin traveling ke Valencia, kota dengan arsitektur indah yang dibelah sungai Turia.

Ya, Valencia. Ini kota industri dan seni yang keren itu juga punya Oceanorium, gedung opera, dan teater tiga dimensi. Satu lagi: Valencia CF, klub yang berada di bawah bayang-bayang Real Madrid dan Barcelona.

Di klub inilah El Toro, julukan Mario Kempes

66

THE SOCCER TRAVELLER

bermain selama delapan musim—dengan dua kali meraih El Pichici, anugerah top skorer La Liga.

Bagaimana untuk ke Valencia?

Ada dua versi: dengan bus atau kereta. Saya ketika itu memilih naik kereta murah, namanya Renfe, dari Barcelona Sants-- stasiun kereta api di Barcelona. Saya pilih membeli pulang pergi. Lumayan murah, 62 Euro, sekitar 1 juta rupiah.

Waktu tempuhnya3.5 jam untuk jarak 340an km.

Saya menikmati perjalanan panjang itu, melewati beberapa kota, plus hamparan kebun jeruk. Tiba di Estacio del Nord, stasiun kereta utama di Valencia dengan bangunan

Soccer

THE

artistik nan megah, saya lega disodori pemandangan memukau.

Jalan kaki 5 menit menuju pusat kota, saya tiba di Plaza del Ayuntamiento, alunalun kota. Hotel saya dekat sini, dengan belasan café dan resto disekitar. Mandi, beberes, isi perut dengan paella (baca: paeya)-- nasi goreng tradisional khas Spanyol yang memang berasal dari Valencia.

Berbekal peta, saya dapat gambaran kalau Valencia itu bak lingkaran, dengan city-center terletak

dalam lingkaran itu. Cukup mudah untuk adaptasi. Dari Ayuntamiento, saya terpasah di El Palacio de Comunicaciones, gedung kantor pos utama. Tak jauh dari situ, ada bus turis hop on hop off. Keliling Valencia hanya dengan 17 Euro saja, berlaku 24 jam dan bisa turun naik di semua shelter.

Ada tiga rute untuk bus hop on hop off ini: Historical, Maritime dan Albufuera.

Semuanya dengan servis audio guide dalam beberapa bahasa: Spanyol, Valencia, Inggris, Jepang, Jerman, Prancis, Italia dan Portugis.

Nah, kalau mau ke Estadia Mestalla, kita ambil rute Historical dan turun di area Mestalla. Jalan kaki 3 menit, maka kita akan tiba di stadion yang menjadi markas Valencia CF itu. Stadion megah itu didominasi warna merahhitam. Megah dan ciamik.

Yang menarik, di satu sisi stadion, dipajang fotofoto pemain legendaris yang pernah membela Valencia CF. Salah satunya, tentu, Mario Kempes. Duh senangnya.

Di sekitar stadion Mestalla, ada sederet café yang bisa memupus penat kita. Pesan

Traveller

Hardimen Koto

snack ringan, minuman kaleng, sambil menikmati keindahan stadion. Kalau beruntung, Anda bisa ikut Stadium Tour sambil menikmati latihan Valencia CF. Bagi para penikmat bola, tajuk stadium-visit tentu salah satu agenda traveling yang menarik. Dan Spanyol, dengan budaya sepakbola yang kental, menyodorkan banyak pilihan. Estadia Mestalla salah satunya. Apalagi, di kota ini, tim nasional Indonesia U-19 pernah berlatih beberapa minggu pada tahun 2014 lalu.

THE SOCCER TRAVELLER

67

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

C

atat tanggal ini: 4 Desember 1996. Hari itu, Rabu, di Stadion Sheikh Zayed, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 24 tahun kemudian akan dikenang dalam tinta emas perjalanan sepakbola kita.

Hari itu, dalam aksi perdana tim nasional Indonesia di putaran final Piala Asia, Indonesia bermain imbang 2-2 versus Kuwait dan satu dari dua gol Indonesia jadi memori indah.

Ya, itu adalah gol salto Widodo Cahyono Putra,

GOL WIDODO dan Memori di Sheikh Zayed, Abu Dhabi

menit ke-20, hasil assist silang Ronny Wabia. Gol yang kemudian mendunia dan jadi buah bibir dimana-mana.

“Itu gol kungfu,” sebut Milan Macala, pelatih Kuwait saat

68

THE SOCCER TRAVELLER

itu, tentang aksi spektakuler Widodo: membalikkan badan, melompat dan melakukan salto.

Milan mengungkapkan rasa takjubnya dalam postmatch conference.

Gol itu juga saya bahas bersama sejumlah pelatih papan atas pada esok harinya, termasuk bersama Sutan Harhara dan Tomislav Ivic, pelatih Uni Emirat Arab asal Kroasia.

Lalu, 24 tahun kemudian, Oktober 2020, gol indah Widodo itu dijadikan sebagai gol terbaik versi Federasi Sepak Bola Asia (AFC) dalam ajang AFC Bracket Challenge.

Soccer

THE

Widodo C. Putro menang dalam final voting suporter setelah mengalahkan gol Abbas Chahrour asal Lebanon ke gawang Irak di ajang yang sama, Piala Asia 2000.

Saya, sekali lagi, beruntung menjadi salah satu saksi hidup untuk gol Widodo itu di Sheikh Zayed. Saya

bahkan berada di belakang gawang Kuwait saat itu. Ada juga Sunyoto dan Tjandra M. Amin, dua jurnalis Indonesia dengan akreditasi fotografer.

Saat itu, Widodo yang membelakangi gawang Kuwait, melakukan gerakan salto, menyongsong umpan silang terukur Ronny Wabia.

“Itu yang ada dalam pikiran: melompat, membelakangi gawang dan mengayun kaki,” ungkap Widodo, senang, saat itu.

Itu gol pertama Indonesia di ajang (putaran final) Piala Asia. Widodo sendiri mengemas gol kedua, sama seperti Ronny Wabia-keduanya versus Korea Selatan, untuk semua empat gol Indonesia dari tiga laga.

Semuanya dikemas di stadion Sheikh Zayed, Abu Dhabi dan saya, sekali lagi, beruntung menjadi saksi langsung.

Sungguh, sebuah memori indah.

Traveller

Hardimen Koto

Saya, sekali lagi, beruntung menjadi salah satu saksi hidup untuk gol Widodo itu di Sheikh Zayed. Saya bahkan berada di belakang gawang Kuwait saat itu THE SOCCER TRAVELLER

69

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

KING FAHD CUP CERITA CERIA DARI RIYADH, ARAB SAUDI

70

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Saya datang ke Riyadh, hadir meliput King Fahd Cup yang diikuti Arab Saudi, Denmark, Jepang, Argentina, Meksiko dan Nigeria.

T

ahu Piala Konfederasi?

Itu turnamen antar-juara benua plus tuan rumah, dan biasanya digelar setahun sebelum Piala Dunia.

Sebelumnya, Piala Konfederasi pernah bernama King Fahd Cup, Raja Arab Saudi dan otomatis digelar disana, di ibukota Riyadh.

Saya datang ke Riyadh, hadir meliput King Fahd Cup yang diikuti Arab Saudi, Denmark, Jepang, Argentina, Meksiko dan Nigeria.

Semua match dilangsungkan di King Fahd Stadium, Riyadh. Saya meliput dengan gembira karena

sederet perencanaan saya jalan dengan baik.

Saya sukses wawancara eksklusif dengan dua pemain Meksiko, kiper fenomenal Jorge Campus serta bomber Luis Garcia-- yang kemudian jadi top scorer.

Daei Denmark, yang keluar sebagai juara-mengalahkan Argentina 2-0, saya mendapatkan interview eksklusif dengan Brian Laudrup. Saya juga bisa berbincang dengan Daniel Amokachi, bintang Nigeria.

What a journey. Benarbenar cerita ceria dari Riyadh, Arab Saudi.

THE SOCCER TRAVELLER

71

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

MOSCOW

Kota dengan 10 Klub S

epakbola Rusia benarbenar menggoda keingintahuan saya.

Dari klub kaya FC Anzhi Makhachkala di Dagestan yang pernah memboyong Roberto Carlos, FC Rostov yang terletak di garis batas Asia-Eropa, hingga juara bertahan Zenit dari kota kedua terbesar, St. Petersburg.

Tapi, tetap saja ibukota Moscow yang seksi. Kota terbesar di Rusia ini, dengan penduduk hampir 17 juta jiwa, menjadikan sepakbola sebagai hiburan paling favorit.

72

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Sedikitnya ada sepuluh tim yang eksis di Moscow dan beredar di beberapa divisi.

Ya, di kota ini ada Spartak Moskow, CSKA Moskow, Lokomotiv Moskow, Dynamo Moskow, Torpedo Moskow, FC Ararat Moskow, Chertanovo Moskow, Zelenograd Moskow, Solyaris Moskow dan Strogino Moskow.

Banyak ya. Namun hanya lima tim yang memiliki tradisi panjang dan sejarah hebat: Spartak, CSKA, Lokomotiv, Dynamo dan Torpedo.

THE SOCCER TRAVELLER

73

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Empat klub pertama menghuni strata teratas, Russia Premier League dan Torpedo di kasta kedua, Football National League, bersama-- antara lain Ararat dan Chertanovo.

Nah, pada 2018 lalu, saya ke Moscow dan berkunjung ke stadion yang jadi markas klubklub top-tier tersebut.

Saya berkunjung ke markas Dynamo Moscow di VTB Arena atau disebut juga sebagai Lev Yashin Stadium-- maklum Yashin adalah legenda mereka.

Ini satu stadion keren yang berlokasi di kawasan Leningradsky Prospect.

Dan di VTB Arena juga ada. indoor, retail complex, hotel bintang 5, parkir bawah tanah, perkantoran, apartment, area konferensi dan pusat Academy Dynamo Moscow.

CSKA Moscow terkadang main di VEB Arena, di kawasan Khodynka Field. Tapi mereka lebih sering memakai Luzhniki Stadium, stadion terbesar di Rusia.

74

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Saya berkunjung ke markas Dynamo Moscow di VTB Arena atau disebut juga sebagai Lev Yashin Stadium-- maklum Yashin adalah legenda mereka."

Jika CSKA, klub tertua di Moscow terlibat derby kontra Spartak, maka Luzhniki jadi panggung perang. Seru!

Akan halnya Spartak, mereka pun bermarkas di stadion yang tak kalah megahnya, Otkrytiye Arena, yang juga dikenal dengan Spartak Arena.

Saya bahkan dua kali berkunjung dan menikmati Spartak Arena, bahkan menurut saya suasana di dalam stadionnya lebih ‘hangat’.

Tim-tim lain yang bermarkas di greater Moscow juga punya stadion, meski tak sebagus tiga stadion besar yang ada.

Kira-kira, keberadaan Luzhniki, VTB Arena (Lev Yashin Stadium), Spartak Arena dan VEB Arena di greater Moscow mungkin sama dengan sederet stadion di greater Jakarta: GBK Senayan, Patriot Bekasi, Wibawa Mukti Cikarang dan Pakansari Cibinong.

Ahaaai.

THE SOCCER TRAVELLER

75

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

NUANSA JEPANG Di Sepakbola Kamboja S

epakbola Kamboja? Mau bicara apa? Bukankah ini tim selalu jadi lumbung gol di kawasan Asia Tenggara?

Bukankah tim nasional Indonesia pernah mencukur Kamboja 10-0 di SEA Games Chiang Mai 1995, 9-2 di kualifikasi Piala Asia 2000 dan 8-0 di Piala AFF 2004?

Ya, itu dulu. Sekarang Kamboja sudah beda. Sudah mengkilap. Sudah menyeruak ketidakmungkinan. Sudah bisa meredam Malaysia. Sudah bisa mengalahkan Thailand.

Tengok peringkat FIFA mereka: 173, sama dengan Indonesia (per November 2020).

76

THE SOCCER TRAVELLER

Tengok skuad Kamboja U19, lolos pertama kali ke putaran final Piala Asia 2020, setelah terakhir lolos pada 1974.

Sayang memang Piala Asia 2020 ini dibatalkan karena pandemi corona. Kita tahu Kamboja satu grup dengan Indonesia, Iran dan tuan rumah Uzbekistan.

OK. Sekarang pertanyaannya adalah: mengapa Kamboja melaju pesat?

Tahun 2019, saya ke Phnom Penh, bersama sahabat saya, Agus Siswanto.

Setiap sore, saya banyak bicara dengan banyak pelaku

Soccer

THE

sepakbola Kamboja di Stadion Olimpiade Phnom Penh yang keren.

Dan, inilah benang merah dari sederet jawaban yang muncul: sentuhan ala Jepang!

C-League, Liga Kamboja yang dihuni 13 tim itu

(season 2020), punya kuota 5 asing dan 4 bisa main. Nah, sebagian besar klub memakai pemain asing asal Jepang.

Bahkan Soltilo Angkor, klub milik Keisuke Honda-mantan bomber AC Milan, yang bermarkas di Siem Reap, punya empat Jepang sekaligus: Kento Fujihara, Fumiya Kogure, Unno Tomoyuki dan Motoyama Kota.

Soltilo Angkor adalah muara dari Soltilo Soccer Academy yang dibangun Honda, dan Kamboja negara ke-9, untuk menciptakan peluang bagi anak-anak muda yang punya mimpi besar.

Sentuhan ala Honda ini benar-benar sampai ke akar.

Dia bilang, melalui sepakbola, dia bisa memberi enerji untuk masa depan Kamboja.

(Orang-orang) Jepang, di berbagai kesempatan selama saya di Phnom Penh, memang dipuja orang-orang Kamboja.

Jauh sebelum Honda-yang juga ditunjuk menukangi timnas, ada sosok Jepang lainnya, Kazanuri Ohara

yang sempat menjadi pelatih Kamboja.

Ada satu nama Jepang lainnya, Koji Gyotoku, pelatih Kamboja muda. Dialah yang meloloskan Kamboja ke Piala Asia U19 2020 yang batal itu.

Hebat. Bisa jadi itu proses yang dibangun Gyotoku

Traveller

Hardimen Koto

dengan, antara lain, menempa skuad muda Kamboja kedalam tim Bati Youth dan diturunkan di C-League.

Bisa jadi juga, skuad muda Kamboja diturunkan di SEA Games Vietnam 2021, cikal bakal senior dan, boleh jadi, menelikung Indonesia di peringkat FIFA. Saya merenung di kawasan pedestrian Phnom Penh, di area Preah Sisowath Quay: why not, kalau federasi kita belum juga terobosan fenomenal.

THE SOCCER TRAVELLER

77

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Gelar Juara Indonesia

di Ho Chi Minh via PSM

I

ni kenangan bagus dari Ho Chi Minh City, kota kedua terbesar di Vietnam.

Kenangan ketika bisa menjadi saksi, anak-anak Indonesia muncul sebagai juara.

Dan itu dipersembahkan via PSM Makassar Plus.

Mereka memuncaki turnamen Ho Chi Minh City-LG Cup episode 2001.

Mengapa Plus? Sebab ada sederet pemain yang menambah kekuatan PSM. Ada Edu Ivakdalam, Seto Nurdiantoro, Achmad Junaidi, Eko Purjianto, Suwandhi HS dan Aples Tecuari.

Mereka menginduksi skuad emas PSM yang dihuni, antara

78

THE SOCCER TRAVELLER

lain Bima Sakti, Kurniawan, Miro Baldo Bento dan Hendro Kartiko.

Saya merasakan skuad PSM Plus saat itu paling solid, disiplin dan habis-habisan.

Duet Nurdin Halid-Kadir Halid, dengan Andi Bahdar Saleh dan Syamsul Qomar di jajaran suporting, benar-benar membantu Syamsudin Umar di kursi pelatih.

Partai pertama, PSM Plus jumpa Melbourne Knights dari Australia di Stadion Thong Nat. Syamsuddin sebagai pelatih kekeuh mengusung pola 3-6-1 dengan menebalkan lini tengah.

Hasilnya, PSM menang dua gol tanpa balas lewat gol Miro Baldo Bento dan Ivakdalam.

Di partai kedua menantang jagoan tuan rumah Song Lam Nghe An, Syamsuddin memainkan pola 3-5-2. Di laga ini, PSM menang 1-0 berkat gol Aples Tecuari.

Soccer

THE

Pola terakhir ini diterapkan pada semifinal, kontra Malaysia U23 hasil gol Edu Ivakdalam, Suwandi dan Bento.

Kini final. Boss PSM, Nurdin Halid datang didampingi M. Zein, memompa motivasi Bima dkk. Maklum, di final sudah menunggu Ho Chi Minh City XI yang meredam Melbourne Knights di semifinal.

Traveller

Hardimen Koto

Hasilnya? Gol tunggal Edu memenangkan PSM Plus. Happy sekali suasana pemberian trophy di Stadion Thong Nat saat itu, 18 Agustus 2001.

“Benar-benar mengesankan, luar biasa,” ucap Syamsudin Umar, sambil toast dengan saya di Thong Nat.

THE SOCCER TRAVELLER

79

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Ini cerita tentang Paris.

Saya mulai dari ChampsElysees, jalanan tersohor di Paris, memanjang lurus, yang sesak dengan butik papan atas, coffee shop, hotel, restoran dan toko-toko cendera mata.

C’EST PARIS

(St. Germain)

80

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

C

hamp-Elysees adalah jalanan terindah kedua di dunia, setelah Fifth Avenue di New York City, yang menjadi surga.pejalan kaki.

Banyak orang dari berbagai etnik berseliweran disini, berbagai gaya, menikmati hidup dengan segala hal yang berbau borjuis.

Tak heran, di ChampElysees juga ada bisnis persewaan mobil-mobil mewah macam Bugatti,

THE SOCCER TRAVELLER

81

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller Ferrari, Lamborghini. Pakai 30 menit, lalu foto-foto deh.

“C’est Paris,” kata Fouda Ntsama, anak Kamerun, mantan pemain PSM yang tinggal di Paris.

Maksudnya: Ini Paris!

Champ-Elysees, jalanan sepanjang 2 Km ini berawal dari Place de la Concorde dan berakhir di Place Charles De Gaulle. Di tengah kawasan, berdiri bangunan menara Arc de Triomphe.

Inilah sederet bangunan yang ikonik di Paris, selain Museum Lovre dan Menara Eiffel-- hal yang menjadi destinasi wajib kalau berkunjung ke Paris.

Saya pun kesana dalam beberapa kali kunjungan ke Paris tahun 1997, 1998, 2013, 2014 dan 2016.

Tapi, buat saya, ada yang lebih ikonik: Parc de Princes.

Maklum, napas saya sporty.

Lebih ke sepakbola. Ahai.

Sebelum direnovasi, Parc des Princes tahun 1997 tetap menawan. Markas Paris St.

82

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Germain ini tetap jadi magnet siapa saja, termasuk saya dan menyempatkan berfoto di depan club store.

Setelah renovasi, apalagi.

Manajemen Paris St. Germain, yang menjadi operator, mengelola stadion lebih keren.

Ada sejumlah spot menarik, dari tempat kongkow, cafe hingga resto.

Dan inilah C’est Paris (St. Germain), dengan poster raksasa di depan stadion yang jadi home-base raja Lique-1 itu.

Wow. THE SOCCER TRAVELLER

83

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Milan

(Bukan) Surga Belanja!

L

ho, kok? Bukankah Milan kota mode, kota belanja, gudangnya fashionista?

Bukankah rumah-rumah busana, butik-butik eksklusif, yang kerap menjadi trendsetter, semuanya ada di Milan?

Iya, benar. Dan surga belanja itu ada di sekitaran Piazza del Duomo. Yang menarik, di sini area dibagi menjadi dua kawasan, yakni barang-barang kelas medium dan premium.

Vittorio Emmanuele adalah toko yang menjadi tujuan utama di kawasan ini.

Kelasnya premium.

84

THE SOCCER TRAVELLER

Vittorio Emanuele juga sering disebut sebagai salah pusat perbelanjaan tertua di dunia. Bangunan bergaya art deco ini sudah menjadi rumah bagi banyak butik eksklusif kelas dunia.

Semua ada, apapun ada. Sebutlah Prada, Furla, Michael Kors, Desigual, Esprit, Loccitane, Ferrari, Samsonite, Rocco Barocco, Replay.

Ada pula Corso Buenos Aires, area yang menampung sekitar 350 toko-toko independen dengan barangbarang yang tak kalah kualitasnya.

Surga benar, sungguh. Tapi semua itu hanya buat orang-

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

orang berkantong tebal. Tidak buat saya.

Ya, Vittoria Emmanuele bukan surga belanja. ‘Surga belanja’ sesungguhnya, buat saya, ada di San Siro.

Tahun 2014, ketika saya datang pertama kali ke Milan--- mendarat di Bandara Malpensa setelah terbang 2 jam dari Madrid, San Siro adalah destinasi utama saya.

Sekali lagi, San Siro, tempat dimana AC Milan bermain, tempat dimana Inter Milan bermain dengan nama Giuseppe Meazza.

THE SOCCER TRAVELLER

85

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Itu lebih dari cukup buat saya. Bisa melakukan stadium visit ke kandang dua tim besar dari kota Milan.

Lebih dari sekadar mode sebab perasaan jadi tenang, terpuaskan dan sejuk. Kalau pun ke Duomo, ke Vittoria Emmanuele, saya hanya sanggup memesan secangkit Espresso, sepotong pizza di Spizico, menikmati malam di Milan.

Teman saya kala itu pernah bilang: lo kalau shopping pergilah ke Seravalle, di pinggiran Milan dengan produk branded dan diskonnya bisa sampai 70%.

Seravalle kayak factory outlet. Semua lengkap. Tapi berkunjung ke San Siro Stadium lebih dari belanja.

86

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

THE SOCCER TRAVELLER

87

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Beijing, Jinan, Guang Zhou dan Obsesi Panjang China

C

hina, atau Tiongkok, buat saya asyik. Di negara besar dengan penduduk nomer satu itu, segalanya ditata dari nol, total, dan habishabisan.

Mereka disiplin, bahkan sedikit kaku dalam melakoni sesuatu. Tapi hasilnya bisa diduga: China terbaik dalam banyak hal.

Saya masuk China pertama kali tahun 1990, tahun dimana hubungan diplomatik Indonesia-China dibuka lagi setelah dihentikan pada 1967.

Itu untuk Asian Games, yang digelar di ibukota Beijing, dimana Indonesia dapat tiga emas: satu via Pino Bahari dan dua dari Yayuk Basuki.

Yang menarik buat saya adalah sikap tentara-tentara

88

THE SOCCER TRAVELLER

Soccer

THE

muda China yang terkesan kaku dalam menjaga keamanan--- misal di Beijing Workers Stadium.

Di Continental Grand Hotel, Beijing, tempat saya dan teman-teman menginap, saya merasakan bagaimana intelintel China terus menguntit kami.

Lepas dari itu, Beijing memang menyodorkan

Traveller

Hardimen Koto

pesona. Tak cuma Tembok Besar, Tiannamen, juga Kota Terlarang sambil menyaksikan atlet-atlet China pesta pora dengan 153 medali emas.

Sebelas tahun kemudian, pada 2001, saya kembali ke Beijing. Tapi hanya transit.

Tujuan utamanya ke Jinan, markas Shandong Luneng Taishan, 3 jam terbang dari Beijing.

THE SOCCER TRAVELLER

89

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Di situ, di Jinan saya mendampingi skuad PSM Makassar dalam perempatfinal Liga Champions Asia.

Mereka dijamu Shandong Luneng di Jinan Olympic Sport Center.

Ini stadion bagus dengan empat kamar ganti full-service termasuk papan strategi yang keren, dan saya berfoto di situ.

Abanda Herman dan kawan-kawan dari PSM Makassar akhirnya kalah 1-3 dalam laga itu, tapi ada banyak pelajaran mahal dari mereka.

90

THE SOCCER TRAVELLER

Satu yang menarik, kantor Shandong Luneng yang megah dikelilingi 16 buah training-ground. Mereka serius, hingga tak heran Marouane Fellaini (Belgia) dan Graziano Pelle (Italia) bergabung.

Sepakbola di China memang maju pesat. Setahuh setelah saya dari Jinan, saya kembali ke China. Persisnya ke Guang Zhou, ibukota Guang Dong, untuk live-broadcast Piala Thomas dan Uber 2002.

Saya waktu itu siaran dari kawasan Tianhe-- sport

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

China fokus. China total.

Dan, 2034 nanti, mereka bersiap-siap ikut bidding Piala Dunia. Sebuah obsesi panjang yang dibangun dari kapan tau! complex keren, selain indoor tempat bulutangkis, juga ada stadion keren.

Disinilah Guangzhou Evergrande Taobao FC bermarkas. Sekarang, klub yang dimiliki Evergrande dan Alibaba Group ini ditukangi Fabio Cannavaro, setelah sebelumnya dilatih Marcello Lippi Shandong dan Guang Zhou adalah potret penting kemajuan China, dan juga militansi mereka untuk juga berjaya di sepakbola.

China fokus. China total.

Dan, 2034 nanti, mereka bersiap-siap ikut bidding Piala Dunia. Sebuah obsesi panjang yang dibangun dari kapan tau!

THE SOCCER TRAVELLER

91

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Prancis, Blanc, Keegan

dan Dahsyatnya Monsieur Roger Milla

M

asih ingat Roger Milla? Masih inget dengan ‘Si Penari Perut’ di Tiang Sudut itu?

Milla, yang namanya melambung bersama Kamerun di Piala Dunia Italia 1990 itu, sekali waktu, tahun

92

THE SOCCER TRAVELLER

2016, pernah ‘marah’ sama saya.

Ketika itu saya ke Prancis untuk Euro 2016. Saya memilih home-base di Brussels, Belgia dengan alasan tarif hotel lebih bersahabat dengan kantong saya.

Alasan lain, saya sepanjang Euro 2016 memang lebih fokus nonton pertandingan di Paris, St. Denis, Lille, dan Lens.

Kota-kotanya berdekatan, bisa ditempuh paling jauh 90 menit saja.

Prancis yang besar gak

kuat dikitari dengan waktu pendek dan dengan kantong yang pas-pasan. Ahai.

Jadi, sebelum berangkat ke Prancis, itinerary saya mesti ketat dan detail serta hanya beredar di Paris, Lille, St. Denis dan Lens. Semua kota, semua

Soccer

THE

stadion dan ujungnya balik ke Brussels.

Capek? Iya sih, tapi terbayarkan dengan perjalanan asyik dan dimana-mana saya dapat teman baru.

Suatu ketika, Milla-- bekas pemain Pelita Jaya dan Putra Samarinda itu kontak saya.

“Koto, kamu di Prancis ya? Kamu kenapa gak kontak saya,” sergap Milla di ujung telepon.

Saya gelagapan. Tapi Milla bisa mengerti alasan

saya. Lagi pula, saat Euro 2016 itu, Milla berada di kota Montpellier, di ujung Prancis, di tempat kediaman anaknya, Mahouve Marcell.

Hubungan saya dan Milla lumayan dekat, memang.

Saking dekatnya, Milla mau saya dandani pakai foto dengan adat Minang untuk kepentingan cover di media saya bekerja, waktu itu.

Milla pula yang banyak membantu saya untuk sebuah eksklusivitas liputan

saat berlangsung Tournoi de France tahun 1997-- turnamen pemanasan sebelum World Cup. Ketika itu, saya sedang liputan di kota Montpellier, di Stade de la Mosson, ketika Inggris meredam Prancis 1-0.

Milla di situ. Dan dia, sangat kharismatis, bisa membawa saya masuk ke ruang makan.

Saya dipertemukan dengan kapten Prancis saat itu, Laurent Blanc. Saya juga

Traveller

Hardimen Koto

leluasa berbincang dengan Paul Scholes dan pemain paling asyik, Kevin Keegan.

Semua itu berkat Milla.

Merci, Monsieur.

THE SOCCER TRAVELLER

93

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

COSTA BRAVA

dan Pesta Bola di Pesisir Timur Barcelona

I

ni satu lagi perjalanan anti-mainstream saya: berkunjung ke tempat yang tidak biasa. Kemana?

Ini dia: saya ke Platja d’Aro, sebuah kota kecil di kawasan Costa Brava, di pesisir timur Barcelona.

Costa Brava, di sebelah timur laut Barcelona, memang tak populer untuk

94

THE SOCCER TRAVELLER

turis Indonesia. Tapi untuk penikmat bola, Costa Brava lumayan memikat.

Di sini ada turnamen sepakbola yang mendunia.

Namanya Mediterranian International Cup (MIC).

MIC adalah turnamen tahunan. Ada banyak kategori usia. Biasanya setiap April, ketika suhu musim dingin

sedang hebat-hebatnya. Tapi peminatnya luar biasa. Dari manca negara. Dari lima benua.

Banyak akademi dari klubklub besar, dari Atletico Madrid, Real Madrid, Manchester United, Gamba Osaka, Guangzhou Evergrande, Santos, Arsenal, Marseille, Borussia Dortmund, hingga PSV Eindhoven, ikut berlaga.

MIC pula yang banyak mementaskan talenta-talenta hebat. Neymar Jr antara lain lahir dari sini, dari turnamen yang menyedot atensi banyak scouters dari klub-klub besar itu.

Begitulah. Dan saya ngotot memilih ke sana, nonton MIC, sekaligus berlibur menikmati kota-kota kecil yang indah di kawasan Costa Brava. Selain Platja d’Aro, juga ada Girona yang menggoda--- kota tua yang membuat kita sulit keluar dari sana.

Bagaimana cara ke Costa Brava?

Dulu, saya mencapai Platja d’Aro di Costa Brava langsung dari Barcelona. Mahal? Tidak.

Soccer

THE

Di kawasan Plaza Catalunya, saat saya menikmati kopi sore, saya berkenalan dengan anak Belanda, pria yang ternyata punya restoran Indonesia di Costa Brava.

Saya lalu minta agar mengajak saya kesana. Dia berkenan, tapi dia minta saya membayar bahan bakar mobil Peugeot-nya dia. Saya setuju.

Jadilah saya ke Platja d’Aro dengan ongkos minimum, tidak sampai 25 Euro. Hanya dengan waktu tempuh 45 menit, saya tiba di sana, di Platja d’Aro yang banyak didominasi resort mewah.

Platja d’Aro memang beda dengan kota metro seperti Barcelona. Kecil,

apik, jauh lebih friendly.

Ada banyak pantai di sini.

Maklum, Costa Brava punya garis pantai sepanjang 200 km yang membentang dari Blanes hingga ke Emporda di perbatasan Prancis.

Satu yang bikin saya terkesan adalah organisasi penyelenggaraan MIC yang rapi, cekatan, well-prepare.

Bayangkan, satu tim tamu hanya dilayani seorang panitia saja yang sangat trampil meng-handling banyak hal.

Turnamen MIC sendiri berlangsung heboh karena peminatnya dari kategori usia 12 tahun hingga 19 tahun.

Pada 2013 saat saya kesitu, edisi ke-27, tercatat

lebih dari 5000 pemain yang datang dari 40 negara di lima benua memainkan 595 pertandingan selama 5 hari di 29 stadion yang tersebar di 22 kota-kota kecil di kawasan Costa Brava. Salah satunya di Platja d’Aro. Keren, dan kalau Anda kesana --- setiap April, Anda akan merasakan pesona

Traveller

Hardimen Koto

liburan yang berbeda. Jauh dari hiruk pikuk kota metro, tapi dengan suasana yang sangat bersahabat.

Datanglah kesana, sekali lagi pada bulan April, melihat Mediterranian International Cup. Di situ, ya, ada banyak pemain membangun masa depannya.

THE SOCCER TRAVELLER

95

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

FEYENOORD

VS SPARTA DERBY TENDENSIUS ROTTERDAM

B

erkali-kali dan banyak cerita tentang Ajax Amsterdam, tim asal ibukota Belanda.

Seringkali juga Akademi Ajax, De Toekomst dimunculkan, jadi panutan, sebab memang fenomenal di jagad raya.

Belakangan, nama stadion yang jadi home-

96

THE SOCCER TRAVELLER

base Ajax, Amsterdam ArenA, juga ramai dibincangkan. Pasalnya, untuk menghormati legenda Belanda, Johan Cruyff, nama stadionnya diubah menjadi Cruyff ArenA. Baik. Tapi, jika bertanya kota apa yang kehidupan sepakbolanya paling heboh di Belanda?

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Jawabannya: Rotterdam.

Kota ini, satu jam dari Amsterdam jika pakai kereta, punya tiga tim: Feyenoord, Sparta dan Exelcior dan pernah satu divisi.

Musim ini, 2020-2021, hanya tersisa Feyenoord dan Sparta. Ini derbi paling seru, tendensius yang dijuluki Selatan vs Utara.

Saya berkunjung ke Rotterdam tahun 2016 lalu, menginap dua malam di kawasan Schiedam-- tak jauh dari Rotterdam.

Dari sini, tiap hari saya ke Stadion De Kuip, stadion terbesar kedua di Belanda di belahan Selatan Rotterdam, dan anti buat pendukung Sparta hadir.

Markas Sparta sendiri ada di bagian Barat Rotterdam, di Sparta Het Kasteel, stadion yang keren dan dicintai pendukung Sparta.

THE SOCCER TRAVELLER

97

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

PKNS, YANG ‘TERGUSUR’ SELANGOR S

aya kenalkan PKNS FC. Singkatan dari Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor yang beredar di negeri tetangga, Malaysia.

PKNS FC, yang lahir 1967, dikenal banyak melahirkan bintang yang kemudian jadi legenda. Ada Rajagobal, Soh Chin Aun hingga Mokhtar Dahari.

Saya sempat datang ke PKNS Sport Complex, training ground mereka di Petaling Jaya.

98

THE SOCCER TRAVELLER

Pada 2019, saya berbincang dengan Dato’ Rajagobal, mantan pelatih timnas Malaysia, yang saat itu jadi Direktur Teknik PKNS. Tapi, penghujung 2019, saya dapat kabar; PKNS FC diganti jubah menjadi Selangor FC II dan diproyeksikan jadi feeder club bagi Selangor FA yang bermain di Liga Primer Malaysia. Training ground pun pindah ke Selangor FA, juga di PJ.

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Keputusan itu telah dibuat melalui Kongres Luar Biasa FAS (FA Selangor) dan dihadiri oleh 47 anggota di Shah Alam, Selangor, Malaysia, ujung tahun 2019.

PKNS yang punya sejarah panjang dikabarkan tidak setuju dengan keputusan FA Selangor. Tapi FAS tak bergeming.

Dato’ Rajagobal saya dengar meninggalkan kursi Direktur Teknis PKNS. Ia kini menjadi pelatih di timnas Brunei Darussalam.

THE SOCCER TRAVELLER

99

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

ZICO,

Pele Putih dan Jepang

D

ua kali saya bertemu dan berbincang dengan Zico dan keduanya terjadi di negeri yang juga dicintainya, Jepang.

Pertemuan pertama di kota Kashima, kota industri yang menjadi home-base Kashima Antlers.

Itu tahun 1992, saat saya

100

THE SOCCER TRAVELLER

keliĺing sejumlah kota di Jepang--- bagian dari persiapan menyiapkan laporan khusus jelang bergulirnya J.League.

Kota Kashima berjarak dua jam naik bus dari Tokyo, dan Zico saat itu menjadi pemain asing Kashima.

Pertemuan pertama saat itu terjadi di ruang VIP klub, di

stadion Kashima Ibaraki. Awalnya agak kaku tapi kemudian cair setelah saya menyebut kontribusi hebatnya membawa Flamengo menghajar Liverpool 3-0 dan memboyong Piala Toyota ke Brasil dengan status Man of the Match.

Kami bertukar souvenir dan Zico memberi saya jas

panjang. “Kasian kamu, dingin,” katanya.

Ada satu jam kami ngobrol, sebelum berpisah dan staff klub Kashima Antlers mengantar saya ke shelter bus terdekat.

Pertemuan kedua dengan pemilik nama asli Arthur Antunes Coimbra ini terjadi 10

Soccer

THE

Traveller

Hardimen Koto

Zico dan Jepang memang ‘ditakdirkan’ bersama. Banyak cerita kalau bicara hubungan emosional, seperti area kecil di pinggiran Tokyo yang banyak dihuni anak-anak Brasil. tahun kemudian, 2002, ketika Zico sudah menjadi pelatih timnas Jepang.

Itu di Tokyo, persisnya di Tokyo Prince dan Zico awalnya ‘biasa-biasa’ saja ketika saya samperin.

Begitu saya ingatkan tentang pertemuan pertama di Kashima, Zico baru ‘ngeh’ dan

lantas merangkul saya lebih erat. Pelukan yang hangat.

“Apa kabar kamu,” kata Arthur Antunes Coimbra, nama lengkap Zico, yang juga dijuluki Pele Putih itu.

Zico dan Jepang memang ‘ditakdirkan’ bersama. Banyak cerita kalau bicara hubungan emosional, seperti area kecil di

pinggiran Tokyo yang banyak dihuni anak-anak Brasil.

Setelah menjadi Man of the Match di Tokyo pada Piala Toyota 1981, ia lalu menjadi marquee-player di musim pertama J.League bersama Kashima Antlers, 1992 hingga 1994.

Pemain yang pernah

beredar di tiga Piala Dunia itu gantung sepatu pada 1999, dan langsung menjadi pelatih untuk Kashima.

Tiga tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai juru taktik timnas Jepang. Ia sukses mengantarkan Negeri Sakura meraih gelar juara Piala Asia 2004 di China THE SOCCER TRAVELLER

101

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

BERGKAMP & KLUIVERT Vs VOGTS & SAMMERS I

ni pengalaman hunting seru sebuah cerita dari dua tim yang, memang, saya incar: Belanda dan Jerman.

Mengapa Belanda, sebab Der Oranje adalah favorit saya.

Benar-benar.

Mengapa Jerman, sebab saya feeling mereka akan bersinar dalam Euro 1996 di Inggris.

Maka, demi kedalaman liputan dan eksklusivitas, Belanda dan Jerman saya hunting.

Dapat kabar, anak-anak Belanda latihan di Aston, 3 jam dari London. Saya kesana dan yak: latihan Belanda masih berlangsung. Dari jauh saya melihat Guus Hiddink mengawasi.

102

THE THESOCCER SOCCERTRAVELLER TRAVELLER

Lewat lobi dengan mediaofficer Belanda, saya bisa mewawancarai tiga pemain: Dennis Bergkamp, Danny Blind dan Patrick Kluivert Saya memberi penekanan untuk Bergkamp dan Kluivert.

Mereka ramah banget. Setiap pertanyaan saya mereka jawab dengan dibarengi senyum.

Saya ingin membandingkan dengan dua buruan saya di skuad Jerman: Berti Vogts dan Mathias Sammer-- yang kemudian terpilih jadi pemain terbaik.

Mereka, skuad Jerman, saya dapati di arena latihan di Macclesfield, 1 jam berkeretaria dari Sheffield--- di kota ini saya meliput Denmark vs Portugal.

Soccer

THE

Situasinya memang crowded. Maklum, latihan Jerman dibikin terbuka untuk publik dan banyak suporter berbaur.

Boleh jadi ini alasan kenapa Berti Vogts enggan menjawab pertanyaan saya.

Beda tipis dengan Libero dari Timur, Mathias Sammer.

Satu-dua pertanyaan saya dia dijawab, meski pendek-pendek.

Dari Macclesfield, saya kembali ke Sheffield dan masuk ke Hillsborough Stadium. Ini stadion yang

menggetarkan, mengingat tragedi tewasnya 96 pendukung Liverpool pada 1989.

Saya kelilingi stadion ini, dari pinggir lapangan-- maklum ID-Card saya adalah fotografer.

Saya resapi prahara terburuk dalam sejarah olahraga Inggris yang terbentang dalam laga Liverpool vs Nottingham Forest di semifinal FA Cup 1989 itu.

Saya bayangkan

Traveller

Hardimen Koto

bagaimana fans Liverpool tewas terinjak-injak.

Hingga saya lupa berfoto bersama Eusebio, legenda Portugal yang juga ada di pinggir lapangan di Hillsborough.

Apes

THE SOCCER TRAVELLER

103

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Cerutu

Kuba DARI SEORANG HOMBRENG

I

nggris 1996. Ini Piala Eropa pertama saya, kejuaraan berkelas dengan tag-line terkenal: Football Comes Home.

Saya membuka markas di London, di Wisma Indonesia, bersama sederet jurnalis dari tanah air.

Tapi saya lebih sering “kabur’ keluar London, menguntit game yang sudah dipilih, mengejar latihan dan atau berharap status waiting list jadi sukses.

104

THE SOCCER TRAVELLER

Ada sejumlah cerita dari Euro 1996 ini. Yang pertama tentang ini: kisah sebatang cerutu Kuba dari seorang Hombreng.

Alkisah, saya meninggalkan London dengan dibekali sebungkus Dji Sam Soe oleh senior yang baik, Erwiyantoro.

“Gua tau rokok elu Marlboro, tapi ini buat jaga-jaga,” kata Toro.

Soccer

THE

hingga kereta hampir masuk Lime Street, stasiun terakhir di Liverpool.

Saya berdiri mengambil barang-barang di atas. Eh, tifosi juga berdiri dan tiba-tiba dia ‘mendaratkan’ ciuman.

Eiiits, apa-apaan ini. Saya kaget. Saya marah dan saya

Itu 13 Juni 1996, pagi hari. Dari London saya ke Birmingham, nonton favorit saya, Belanda-- dan dua gol dari Cruyff serta Bergkamp membungkam Swiss di Villa Park.

Dari Birmingham saya naik kereta ke Liverpool, mengincar Italia vs Ceko esoknya. Kereta lumayan ramai, terutama di gerbong smoking. Nah, ketika

Traveller

Hardimen Koto

mendorong dia, tifosi sialan itu.

“I am sorry my friend,” katanya.

“No. I am not your friend,” saya balik memaki dia, sambil mengumpat pake bahasa kampungnya: “Tu sei ma to.”

stop di Manchester, naiklah serombongan tifosi Italia.

Saya cool. Seorang tifosi mengajak saya ngobrol.

Asyik. Saya memberinya sebatang Dji Sam Soe bekal dari Toro. Senang banget dan dia juga memberi saya sebatang cerutu.

“From Kuba. Best one,” katanya. Obrolan kian seru, terutama peluang skuad Italia

THE SOCCER TRAVELLER

105

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

MEMBURU legenda liverpool HINGGA SANTIAGO BERNABEU

K

ata orang, cinta bisa bikin buta. Menjadikan hal-hal yang tidak mungkin menjadi nyata. Itu kejadian. Dan itu saya alami.

Cinta saya akan Liverpool, dengan segala kedalamannya, ‘meruntuhkan iman’ ketika seorang teman tiba-tiba merayu saya untuk terbang ke Spanyol. Padahal itu bulan

106

THE SOCCER TRAVELLER

Juni, ketika La Liga baru saja usai.

Tapi, nama Liverpool kemudian menggoda saya: Liverpool Legends.

Tajuknya menarik: Classic Match, Real Madrid Leyendas vs Liverpool Legends. Laga yang sarat dengan nama-nama besar itu digelar di Santiago Bernabeu, 14 Juni 2015.

Soccer

THE

Hati saya ‘panas’. Ahahaa.

Dua minggu sebelum terbang ke Spanyol, saya urus visa Schengen via Kedutaan Spanyol. Tiga hari beres.

Kami lalu terbang ke Madrid via Dubai dan mendarat di bandara Adolfo Suarez Barajas sehari sebelum kick-off.

Kami check-in di salah satu hotel, tak jauh dari Santiago Bernabeu.

Judulnya memang musim panas. Tapi untuk orang yang datang dari negeri tropis macam kami, Madrid tetap (agak) dingin. Angin lumayan kencang. Tapi sweater dan scarf sudah cukup untuk melindungi badan.

Menjelang kick-off, kami menghabiskan waktu di salah satu pusat kota Madrid.

Namanya Puerta del Sol. Tak jauh dari sana juga ada Plasa de Mayor.

Kami nongkrong di sebuah restoran milik orang Armenia. Lumayan asyik.

Sebagai satu titik yang paling sibuk di Madrid, kami bisa menikmati segalanya. Saya, sambil menikmati secangkir mocchacino dan sepotong

pizza kering, mencermati bagaimana media-media Spanyol yang berbasis di Madrid memblow-up classicmatch Real Madrid vs Liverpool ini.

“Ini laga yang excited,” kata James Douglas, ‘tetangga’ meja saya di café Armenia ini.

Dia Liverpudlian dan sengaja datang khusus ke Madrid menyaksikan laga yang dibalut

Traveller

Hardimen Koto

tajuk ‘Corazon Classic Match 2015: Your Tickets, Their Future’. Tiket Anda adalah Masa Depan Mereka.

Dada James bergetar karena nama-nama besar Liverpool Legend yang besok ‘come back’ ke lapangan hijau, di Santiago Bernabeu, seolah menghadirkan kenangan saat dia tak pernah berhenti memberikan dukungan ketika The Kops beraksi di Anfield.

THE SOCCER TRAVELLER

107

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

“Saya cinta mereka. Saya rindu mereka,” katanya.

James memang bicara dan sekaligus menjelaskan soal cinta, soal kecintaannya terhadap Liverpool--- siapa pun yang pernah beraksi dan berkontribusi untuk skuad dari kota pelabuhan itu.

108

THE SOCCER TRAVELLER

Legenda Madrid antara lain dihuni Roberto Carlos, Zinedine Zidane, Christian Karembeu, Jose Amavisca, Fernando Morientes, Clarence Seedorf, Claude Makelele, Michel Salgado, Fernando Hierro. Wow! Liverpool Legenda datang

dengan memboyong Si Burung Betet Ian Rush. Ada juga Robbie Fowler, Steve McManaman, Patrik Berger, Salif Diaou, Harry Kewell,Jason McAteer, Carragher, Dudek dan Garcia. Wow juga..

Pagi hari pada match-day, kami berhasil menemukan hotel Liverpool Legends.

Ternyata, tak jauh dari hotel kami. Tak juga jauh dari Bernabeu. Saya membathin: perburuan musti dilakukan.

Wajib!

Saya kasak-kusuk. Atas jasa baik seorang teman, kami dijanjikan akan diterima beberapa legenda Liverpool.

Tapi usai pertandingan. Dan itu di hotel mereka. Asyik..

Di Bernabeu, sore harinya, kami menikmati atmosfir yang tidak biasa. Di luar stadion, apa lagi di dalamnya ketika kami disodorkan atmosfir yang bikin tengkuk ‘merinding’.

Ah, sepakbola memang indah. Di situ ada cinta.Dan saya benar-benar ‘tenggelam’ di situ, menikmati bintangbintang Liverpool di jamannya kembali beraksi di lapangan.

Usai pertandingan, kami kembali ke hotel. Ada durasi 1 jam sebelum kami dipertemukan dengan para legenda Liverpool.

Celah itu kami maksimalkan untuk refreshment sebelum kami menuju hotel tempat para legenda Liverpool menginap.

Dan kami pun ke sana, menuju sebuah bar-lounge di hotel dimana para legenda Liverpool itu menginap. Suasana cair sekali.

Di situ, Ian Rush dan Carragher

Soccer

THE

ngobrol asyik. Ada Michael Owen yang menenggak bir ringan. Ada juga Patrik Berger yang brewokan.

Macca, sapaan akrab Steve McManaman, juga ada.

Kami saling tegur sapa.

Saya coba ngobrol dengan Owen. Sesekali kami tertawa ketika bicara soal kudakuda miliknya. Carragher, yang garang di lapangan, sesungguhnya ramah. Sangat ramah.

Traveller

Hardimen Koto

Puas ngobrol, saya menuju sebuah sudut. Di situ ada Diao, Berger plus Salgado yang tampak asyik berbincang dengan seorang teman. Ada juga Fowler, yang malam itu langsung balik ke London.

Bukan main senangnya saya. Bertemu dan berbincang dengan siapa pun.

Bahagia itu, ternyata, sederhana.

THE SOCCER TRAVELLER

109

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

Kenangan: Ronny Pangemanan

DINGIN DI TOKYO

Dingin di London D

ingin masih menyergap di Tokyo. Dari kawasan hotel kami di distrik Shibuya, kami melangkah menuju pusat perbelanjaan terdekat.

Niatnya mau sarapan pagi, dan yak, kami menemukan resto yang pas. Saya dan Hardimen memesan “ini itu”, yang penting perut hangat dan sedikit kenyang.

Giliran mau bayar, kami baru sadar: saya tidak punya mata uang Yen. Hardimen juga tidak. Gawat! Si pelayan Jepang ngamuk-ngamuk begitu kami tawarkan bayar pake dolar AS. Oalah.

Kami lalu dibiarkan keluar resto. Tapi, setelah ketemu

110

THE SOCCER TRAVELLER

money-changer, kami balik dan membayarnya. Senyum deh si Jepang.

Itu satu pengalaman uniklucu saya bersama Hardimen ketika kami liputan bersama di Tokyo, Jepang.

Suatu waktu, kami juga bareng meliput di Muenchen, Jerman dan pernah ‘terkencing-kencing’ saat jumpa Skin-head yang sangar dan rasialis. Kami

selamat setelah ngacir masuk toko.

Di London, suatu waktu, kami juga pernah membeli jaket kulit yang ditawari orang Italia. Bagus, tapi palsu ternyata. Ahaa.

Bersama Hardimen, saya punya banyak pengalaman selama liputan sepakbola.

Saya tahu, dia juga pecinta yang wangi-wangi dan klop sudah saat kami belanja

Soccer

THE

parfum di Torino: Boucheron!

Hidup rasanya singkat.

Perjalanan waktu menjadikan kami, saya dan Hardimen sebagai pundit. Sampai sekarang.

Tabek. Ingat terus satu kata ini: Namaste! Begitu pelayan Jepang mengumpat kami di Tokyo dan kami tidak pernah tau artinya.

Salam saya, Ronny Pangemanan

Traveller

Hardimen Koto

Bersama Hardimen, saya punya banyak pengalaman selama liputan sepakbola.

THE SOCCER TRAVELLER

111

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

KENANGAN: Rizal Marajo

Suatu Hari di Pasar Pagi S

uatu hari akhir September 2000, saya menemukan secarik kertas memo dari Pimpinan Redaksi terselip dibawah kaca meja kerja saya di Harian Singgalang, Padang. Isinya; “Harap Temui Bung Hardimen Koto di rumahnya di Pasar Pagi, sore ini.”

Hardimen Koto (HK), nama yang selama ini telah menggoda saya, sejak bergabung dengan harian tua di Sumbar itu. Sebagai wartawan magang, di desk

112

THE SOCCER TRAVELLER

olahraga pula, nama yang satu itu memang selalu itu diingatkan senior-senior di kantor. Jadilah seperti Hardimen Koto!

Karena banyak cerita dan kesaksian tentang orang itu terkait sosoknyo sebagai jurnalis olahraga jempolan.

Alumni Singgalang yang sudah punya jam terbang internasional, daya tarungnya sebagai peliput handal di berbagai negara, berkiprah di media-media besar olahraga seperti Bola, GO sport,

juga wajahnya yang sering nongol di layar kaca sebagai komentator sepakbola.

Hmmm..Saya pikir dia benar-benar seorang legend di koran ini. Semasa kuliah dan belum saya masuk ke Singgalang, saya juga sudah familiar dengan tulisan-tulisan, liputan eksklusifnya di media olahraga ibukota itu.

Sekarang, saya sebagai wartawan magang, harus menemui sosok yang selama ini saya kagumi tulisantulisannya. Ada sedikit rasa

kecut awalnya, merasa kecil, dan mengira-ngira seperti apa kira-kira tongkrongannya, gaya bicara, dan sifat seorang HK itu.

Ternyata dia sangat hangat, bicaranya lugas, berkelas sekali. Topik pembicaraan adalah tentang olahraga Sumbar yang baru saja ancur-ancuran di PON 2000 Jawa Timur. Sumbar menduduki posisi juru kunci, tanpa sekeping-pun medali emas di bawa pulang.

Sepertinya, rasa sebagai orang Minang-nya terlukai juga dengan capaian buruk itu. Dia sedikit “geram”, kecewa tentu saja, dan ujungnya diakhiri dengan sebuah pertanyaaan besar, ada apa dengan olahraga Sumbar?

“Tolong tulis ya, olahraga Sumbar harus direformasi total, kalau perlu revolusi. Ini sejarah buruk dan memalukan.

Saya berkali-kali meliput PON, saya selalu bangga dengan Sumbar, tapi kali ini benarbenar buruk sekali.”ujarnya dengan intonasi tinggi.

Soccer

THE

Itulah, pertemuan pertama saya dengan HK. Kesempatan itu tak saya sia-siakan untuk menyerap ilmunya.

Satu pertanyaan saya; Uda, bagaimana caranya menjadi wartawan olahraga hebat seperti uda?

Saya masih ingat, dia terperangah sejenak. Terdiam, lalu tersenyum menatap saya dalam-dalam. Lalu dia mulai memberikan ilmunya.

Lobi dan referensi, dua hal itu sangat vital kalau ingin jadi wartawan olahraga.

Anda harus punya lobi yang baik dengan semua orang, semua narasumber, dan harus mampu membangun link yang bagus dengan orang-orang di lingkaran liputan.

Kedua, referensi harus matang dan lengkap.

Jadi wartawan olahraga itu tak segampang yang dibayangkan. Ada seni dalam meliput, dan ada estetika dalam menuliskannya.

“Setidaknya untuk satu topik Anda harus punya 10 referensi, separoh diantaranya

berbahasa Inggris.”tegasnya.

Sebenarnya ada yang ketiga pesan HK, terjunlah ke liputan internasional.

Disana baru akan dirasakan bagaimana bertarung untuk sebuah liputan yang berkelas, penuh prestise, dan itu akan memberikan sebuah reputasi.

Tiga pesan yang semaksimal mungkin saya coba mengimplementasikannya setapak-demi setapak. Banyak hal yang saya eksplorasi dari seorang HK dalam perjalanan jurnalistik saya, khususnya untuk sepakbola, terutama style menulisnya yang bersemangat, dan kaya dengan istilah yang membuat sebuah tulisan jadi renyah untuk dibaca.

Ya, HK telah menjadi salah satu orang yang mempengaruhi saya dalam menulis, disamping dua wartawan hebat lainnya. Saya juga suka Bung Sumohadi Marsis yang gaya menulisnya yang kaya data, halus, dan menghanyutkan. Satu lagi,

Khairul Jasmi, wartawan senior asal Sumbar yang punya gaya lugas, simple, padat, dibumbui bahasabahasa Minang yang menarik.

Beberapa tahun kemudian, saya sudah mendengar dari sejumlah orang yang membaca tulisan saya, misalnya menyebut saya sebagai “Hardimen Koto Muda” atau “New Hardimen Koto”, “Foto Copy Hardimen Koto”, dan hal-hal seperti itu.

Terlalu jauh memang, bahkan mungkin berlebihan, tapi setidaknya saya telah menjadikannya sebagai sosok paling inspiratif dalam karir jurnalistik saya. Satu hal lagi, saya memulainya dari tempat yang sama di Veteran 17 Padang, dengan pilihan yang sama dari awal, Sport Jornalist!

Itulah Hardimen Koto, wartawan olahraga senior yang sudah kenyang makan asam garam dunia liputan olahraga. Pengalaman jurnalistik yang sudah membelah berbagai penjuru

Traveller

Hardimen Koto

planet ini.

Lebih dari itu, dia sosok yang selalu memandang sepakbola dengan satu kata, cinta. Quotes favoritnya dikutip dari manejer legendaris klub Liverpool, William “Bill” Shankly.

Itu kerap dikutipnya dalam setiap tampil di sebuah forum berbau sepakbola.

“Sepakbola bukan hanya soal kalah dan menang, tapi mainkanlah sepakbola dengan cinta”. Pria itu sangat “liar” kalau sudah bicara tentang ide-ide sepakbola.

Pria yang sudah mamainkan banyak big match dalam perjalanan jurnalistiknya di berbagai pentas sepakbola dunia. Lima benua sudah dijelajahinya; Piala Asia, Piala Eropa, Piala Dunia, Piala Toyota, Liga Champions, Piala EAFA, dan berbagai ajang multi iven seperti SEA Games dan Asian Games.

Sebuah Big Journey telah dilaluinya, dan itu bukan mimpi!

THE SOCCER TRAVELLER

113

Hardimen Koto

Soccer

THE

Traveller

THE WINNERSQUAD

TERIMA KASIH

S

etiap perjalanan adalah cerita.

Beragam. Bermacam. “Sudah sejauh itu dan sangat layak dijadikan buku,” ujar Marthin Sihombing, rekan saya, eks Bisnis Indonesia.

Maka, jadilah buku ini. Ada support hebat dari Pak Achsanul Qosasi, Endri Erawan, Guspardi Gaus, dan sahabat lain macam Agung Harsya, Harry BK. Saya, dengan tulus, mengucapkan terima kasih banyak untuk atensi hebatnya itu, sehingga buku ini terbit.

Buku yang dikemas ketika pandemi Corona-19 menerpa dunia, dan saya bisa fokus menuntaskannya.

Tentu, buku ini bisa bagus dengan sentuhan seni designer Junianto Bara, yang bekerja keras selama penyelesaian buku ini.

Terima Kasih.

114

THE SOCCER TRAVELLER