11 minute read

Haru Biru Sarjana Muda Pertama

Next Article
Profil Penulis

Profil Penulis

S

HARU BIRU SARJANA MUDA PERTAMA

Advertisement

ejak berdirinya Unsyiah, kegiatan akademik di Fekon semakin padat saja. Maklum, hanya Fekon yang memiliki aula dan gedung permanen ketika itu. Sebagai satu-satunya ‘gedung megah’ dengan kapasitas yang sangat besar, Aula Fekon selalu dipenuhi mahasiswa dari berbagai fakultas yang mengambil mata kuliah dasar umum seperti Pancasila, Sosiologi, Pengantar Ekonomi, dan Antropologi. Di sisi lain, tanggung jawab dan beban kerja Dekan T. Iskandar juga semakin bertambah. Megingat kesibukan Presiden Unsyiah Kol. M.

Dosen dan para sarjana muda foto bersama

Yasin yang juga merupakan Panglima Kodam Iskandar Muda, ia tidak dapat ‘duduk’ di kampus setiap hari. Maka penyelenggaraan kegiatan harian Unsyiah mutlak berada di pundak T. Iskandar selaku sekretaris. “Sebagai seorang tentara sekaligus Panglima Kodam, Kol. M. Yasin selaku Presiden Unsyiah hanya datang sebulan sekali untuk memimpin Rapat Universitas,” jelas Iskandar yang juga merangkap Dekan Fekon dan FH sekaligus. Kondisi seperti ini terpaksa dilakoninya mengingat terbatasnya

Prof. Dr. Teuku Iskandar

sumber daya yang ada. Situasi serba terbatas ini dialami oleh Iskandar hingga tiga tahun lamanya. Untungnya, kegiatan belajar-mengajar di Fekon masih berjalan lancar. Meski minim pengalaman, Drs. Ibrahim Hasan yang baru diangkat sebagai sekretaris fakultas pada awal tahun 1962 sedikit banyak turut membantu. Tanpa terasa, pada pertengahan Oktober 1962, Fekon Unsyiah berhasil meluluskan sarjana muda yang pertama. Suasana haru biru pun membuncah, meliputi segenap civitas academica Fekon dan Unsyiah pada umumnya. Kebahagiaan ini menambah semangat sekaligus memberi tantangan baru, yakni perlunya membuka jenjang pendidikan tingkat sarjana. Namun, kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Secara tiba-tiba, Dr. T. Iskandar mengosongkan rumahnya dan bersama keluarga terbang meninggalkan Aceh menuju Jakarta. Di Jakarta, selain melakukan beberapa urusan pribadi, ia sempatkan diri untuk menjumpai dan membujuk Drs. A Madjid Ibrahim, dosen FEUI, agar mau pulang ke Aceh untuk menggantikannya sebagai Dekan Fekon. Rupanya T. Iskandar sudah berniat untuk tak kembali. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya dan menetap di Malaysia sebagai Profesor di University of Malaya.

Kepergian T. Iskandar yang tiba-tiba menimbulkan kegalauan di kampus. Semua orang pada bingung, tidak ada yang tahu pasti mengapa ia pergi. Dalam otobiografinya, Ibrahim Hasan menduga bahwa kepergian Dr. Teuku Iskandar diakibatkan oleh rasa ketidaknyamanan selama tinggal di Darussalam karena minimnya sarana dan prasarana, seperti listrik dan air bersih.

Ibrahim Abdullah (Baju batik dua kiri)

“Listrik menjadi barang mewah kala itu, karena hanya ada di seputar Merduati saja, tidak sampai ke Darussalam,” tulis Ibrahim Hasan yang menjadi Sekretaris Dekan waktu itu. Masalah keamanan juga menjadi salah satu penyebab kepergian T. Iskandar. “Ban ta adee ija ka gadoh (kain baru dijemur, sudah hilang),” ungkapnya pada Ibrahim Hasan tentang pengalamannya sewaktu kehilangan jemuran. Ketidakharmonisan hubungan dengan pejabat pemerintahan kota juga disinyalir menjadi salah satu faktor kepergiannya. “Dulu ada bantuan kenderaan dinas untuk Dekan dari pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Aceh Kongsi. Tapi entah karena alasan apa, Walikota mengambil kenderaan tersebut. Hal-hal inilah yang membuat Dr. Iskandar marah,” ungkap Ibrahim Hasan. Menanggapi perdebatan tentang kepergiannya, T. Iskandar mengisahkan panjang lebar tentang pengalamannya mengabdi di Darussalam. Intinya, ia merasa bahwa sumbangsihnya tidak banyak berarti di mata segelintir elit yang justru memiliki peran penting dalam menunjang kemajuan Fakultas Ekonomi dan Unsyiah pada umumnya. Disamping itu, ia sadar bahwa isu politik menjelang pemilihan Gubernur Aceh yang menyudutkannya dengan kata-kata kasar ‘neo kolonialisme’ dan “feodal” membuatnya sakit hati. Dari Nyak Yusda - anggota DPRD, ia dengar namanya digadang-gadang sebagai salah seorang kandidat Gubernur Aceh waktu itu. Isu ini sampai menimbulkan perselisihan faham antara

Kol. Sjamaun Gaharu dan Let. Kol. M. Jasin yang mendiskreditkannya hendak merebut kekuasaan. Belum lagi perlakuan kurang layak yang ia terima dari Dewan Penyantun dan Dana Kesejahteraan Aceh yang menurutnya kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat universitas yang justru mereka dirikan. Sebaliknya, ia merasa mendapat penghargaan luar biasa tinggi dari pejabat pemerintah Indonesia di Jakarta, serta negara tetangga Malaysia dan

Para Dosen berpose

Brunei Darussalam. Berikut surat yang dilayangkan Prof. Dr. T. Iskandar menyangkut silang pendapat mengenai kepergiannya dari Darussalam. Kepergian T. Iskandar menimbulkan kekosongan kepemimpinan fakultas. Situasi ini membuat keadaan fakultas menjadi harap-harap cemas. Berharap akan memperoleh pengganti yang mampu meneruskan perjuangannya, cemas karena ketiadaan sosok penggantinya. Untuk menjaga kekosongan kepemimpinan, Asyek Ali menceritakan bahwa Ibrahim Abdullah (Utoh Him) banyak sekali mengambil peranan. “Beliau (Utoh Him-red) mengambil peranan penting untuk mengendalikan jalannya fakultas,” ungkapnya. “Secara defacto, Ibrahim Abdullah (Utoh Him) yang menjalankan tugas-tugas Kedekanan sepeninggal Pak Iskandar,” tambahnya lagi. “Ada hampir setahun masanya waktu itu,” katanya lagi sambil meminta persetujuan Utoh Him, sang arsitek pembangunan free port Sabang yang duduk di sebelahnya sambil termangut. Namun secara resmi, kedudukan dan peranan Utoh Him tidak pernah tercatat dalam buku sejarah. Kekosongan jabatan Dekan memunculkan beberapa nama staf pengajar luar biasa yang selama ini menaruh perhatian besar terhadap pengembangan Fekon. Sebut saja misalnya Ibrahim Abdullah, BSC, MIE, MA (Utoeh Him), yang selama ini sering bertindak sebagai pimpinan, terutama apabila Dekan atau Sekretaris tidak berada di tempat. Drs. M. Asyek Ali, Drs. Syafie Mochtar, Edi Murthy, SH,

Letkol. Sri Hardiman, BcHk, Mr. Machdar Daud, Drs. Sukardi Is, dan Drs. Marzuki Nyakman. Namun, proses pengisian jabatan ini membutuhkan pertimbangan yang matang. Dr. T. Iskandar sendiri merekom Drs. A. Madjid Ibrahim untuk menggantikan posisinya mengingat pengalamannya yang lebih luas dalam dunia akademis. A. Madjid yang baru kembali dari Columbia University, New York, USA pernah menjabat Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI pada tahun 1953 – 1958. Disamping mengajar di UI sebagai asisten Prof. Dr. M. Sadli pada tahun 1957 – 1962, ia juga mengajar sebagai dosen terbang di FE Universitas Syakiakirti, Palembang. “Mungkin beliau lebih serasi dengan suasana Darussalam pada masa itu,” kenang T. Iskandar ketika membujuk A. Madjid untuk menggantikan posisinya. Kekosongan posisi Dekan ini mendapat perhatian khusus dari Gubernur A. Hasjmy yang sejak awal memang sangat concern terhadap perkembangan Fekon Unsyiah. Bersama Ibrahim Hasan (Sekretaris Fekon kala itu), A. Hasjmy berangkat ke Jakarta dan berusaha meyakinkan Drs. A. Madjid Ibrahim. Sosok yang sangat dihormati teman-temannya di FEUI seperti Saleh Afif dan Emil Salim ini akhirnya bersedia wou u gampong (pulang kampung) menggantikan Dr. T. Iskandar. [ ]

Sekda Provinsi NAD Hasan Basri dan Pangdam M. Amin turut menghadiri acara wisuda pada tahun 1970

Sat, September 12, 2009 7:32:25 PM Kepada yth. Jeliteng Pribadi Dosen Fak. Ekonomi Unsyiah, Darussalam.

Assalamualaikum,

Terima kasih, email telah saya terima dengan selamat. Harap dimaafkan tak dapat saya balas lebih cepat karena sesampai saya di Leiden badan kurang sehat. Saya terima kabar samar2 pada bulan Agustus dari keluarga saya akan diundang ke Aceh oleh Fak. Ek. pada ulang tahun ke-50. Saya tahu Fak. Ek. dibuka pada 2 Sept. 1959, tetapi saya sangka tidak akan dirayakan ulang tahun dalam Bulan Puasa. Jadi saya rancang kepergian saya sesudah Hari Raya sehingga dapat saya gabungkan penerbangan saya dengan undangan ke Kuala Lumpur sesudah Bulan Puasa. Misalnya saya ambil ticket Amsterdam-KL-Medan-Banda Aceh-KL, beberapa minggu di KL, kemudian balik ke Leiden. Dengan jalan begini akan menguntungkan Fak. Ek. Tetapi yang bertubi2 saya kirim tidak memberi jawaban atas pertanyaan saya kapan saya akan diminta sampai di Aceh.

Sementara saya membaca 3 buku yang kebetulan ada di perpustakaan saya yang menyentuh Fak. Ekonomi dan Unsyiah. Saya merasa kecewa melihat nama dan peranan saya tidak disebut terutama dalam: 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan. Yang hanya disebut saya sebagai Dekan Fak. Ek. Sebab itu hampir setiap hari saya tulis email kepada keluarga saya di Aceh membentangkan recollection saya mengenai pengalaman saya dengan Fak. Ekon. dan Syiah Kuala. Agak terkejut saya mendengar dari seorang keluarga saya bahwa apa yang saya bentangkan dalam email2 mengenai diri saya bertentangan dengan yang disebut dalam Biografi Prof. Dr. Ibrahim Hasan. Memang sesudah saya terima scan dari beberapa episode biografi tsb. saya melihat perbedaan interpretasi dari kejadian2 tertentu.

Suasana yang dibicarakan dalam Biografi Prof. Ibrahim H. mengenai episode pendirian Fak. Ek. dan Unsyiah selama 3 tahun pertama, periode survival, bukan pengamatan beliau sendiri dan mungkin from heresay, diperoleh dari pendengaran yang tidak tepat karena beliau belum lagi berada di Aceh. Juga pada pengresmian Unsyiah pada 27 April 1962 beliau belum memegang peranan berarti baik dalam pimpinan Fak. Ek. maupun dalam pimpinan Unsyiah ataupun dalam Panitia Pendirian Universitas Syiah Kuala. Memang sejak pertama kali saya berjumpa dengan beliau saya sudah dapat melihat bright future beliau. Namun pada ketika saya berhenti pimpinan Fak. Ek. saya usulkan diserahkan kepada Prof. Drs. Majid Ibrahim yang lebih banyak pengalaman.

Pada tahun pertama pendirian Fak. Ek. kami tinggal di Lampriek daerah pertempuran pada waktu malam hari, sehingga kami acap kali tidur di atas lantai. Saya selalu mendapat ancaman membayar infak pada DI/TII, gedung Fak. Ek. digerebek dan isinya dilarikan dan dihancurkan, ditepi laut di belakang rumah kami motorbot diledakkan. Ini semua tidak menggerakkan hati kami untuk meninggalkan Darussalam. Juga sesudah kami menduduki rumah pertama di Darussalam hubungan kami dengan masyarakat di sekeliling baik. Wanita2 di sekitar datang mengambil kangkung dalam paya di belakang rumah kami, dan mereka mengobrol2 dalam bahasa Aceh dengan isteri saya. Dia sudah dapat berbicara sepatah dua kata dalam bahasa Aceh. Karena kekurangan tepung dan gula saya, sebab hubungan baik dengan masyarakat perdagangan, selalu mendapat sumbangan bahan2 ini dari mereka untuk pegawai universitas. Jika ada kelebihan juga dibagi2 pada orang2 kampung sekeliling. Ketika saya katakan saya hendak berhenti isteri saya terkejut, ini tak disangka2nya.

Kekecewaan saya teutama disebabkan tidak ada pengertian dari pimpinan (Dewan Penyantun, Dana Kesejahteraan Aceh dll.) terhadap kesejahteraan masyarakat universitas yang telah mereka dirikan, tetapi hanya memikirkan akan keuntungan diri sendiri. Kesejahteraan masyarakat universitas hanya dimulut saja.

Ketika sudah dekat pemilihan Gubernur baru maka ada suara di DPRD yang menyebut nama saya sebagai calon (ini saya dengar dari Nyak Yusda, anggota DPRD dan sekretaris bakal Unsyiah), suatu hal yang tidak pernah timbul dalam hati sanubari saya. Sesudah itu ada diantara calon yang benar2 dalam pidato2nya mengungkit2kan kajahatan kaum feodal jaman dahulu (saya pikir ini stasion yang sudah lewat sebab itu saya kembali ke Aceh untuk menyumbangkan tenaga bagi pembangunan). Hal ini menyinggung perasaan saya, apalagi sesudah desas-desus setelah timbul persenengketaan anatar

Kolonel Syamaun Gaharu dengan Lt. Kolonel Teuku Hamzah bahwa golongan feodal hendak mengambil alih kekuasaan.

Karena saya selalu ke Medan sebab Unsyiah dibawah naungan USU saya banyak berkenalan dengan pengusaha2 luar negeri di sana. Seorang anggota direksi SOCFIN memberitahu saya sebuah mobil kecil merk Citroen kepunyaan perusahaan tersebut tidak dipakai lagi dan hendak dijual. Jika saya mau boleh pergi melihat di Meulaboh dan boleh membelinya. Sekembali saya di Aceh terus ke Meulaboh. Sepeneninggal saya datang Walikota/Anggota Dewan Penyantun ke rumah mencari saya. Kata isteri saya, saya sudah ke Meulaboh hendak membeli mobil SOCFIN. Sepulang saya ke Banda Aceh mendapat telepon dari SOCFIN mobil tak jadi dijual. Akhirnya mobil itu ternyata milik Wali Kota/ Anggota Dewan Penyantun.

Mobil dinas saya jika rusak terpaksa dibawa ke Dana Kesejahteraan Aceh untuk mendapat surat izin boleh dibawa supir kebengkel dan ongkosnya dibayar oleh Dana Kes. Aceh. Pada suatu kali supir membwa langsung ke bengkel dan ternyata ongkosnya Rp. 50.000,-. Dana K.A. tak mau membayar karena tridak menurut prosedur. Karena bukan salah saya tetapi salah supir maka saya pecat supir, itupun tidak dibayar. Jadi dianggap saya yang bersalah perlu dihukum dengan membayar 10 bulan gaji saya.

Perlakuan2 yang serupa inilah yang membuat saya berpikir dalam dunia semacam ini tidak mungkin saya dapat hidup dan saya membujuk Drs. Majid Ibrahim agar pulang untuk menggantikan saya. Mungkin beliau lebih serasi dengan suasana Darussalam pada masa itu.

Sekianlah yang masih saya ingat dari pengalaman saya pada masa itu.

Wassallam,

T. Iskandar.

Sambungan

Dari Banda Aceh kami ke Jakarta melihat kemungkinan2 di sana. Banyak kerja yang ditawarkan pada masa di Belanda dan Aceh telah ditempati orang. Menteri meminta saya bekerja di Kementerian Perguruan Tinggi. Teuku Yusuf Muda Dalam (Menteri Keuangan?) mengusulkan saya kerja pada STANVAC sebagai orang Indonesia kedua (disamping Tahiya). Akhirnya kami ke Malaysia sebgai tujuan terakhir Leiden (pernah bekerja 9 tahun, 7 tahun asisten Prof.G.W.J. Drewes dan 2 tahun dosen/penyelidik untuk naskah2 Aceh. Dari penyelidikan ini terbit Dr. P. Voorhoeve & Dr.T. Iskandar: Catalogue of Achehnese Manuscripts, Leiden 1994). Tetapi sesampai di KL. pada bulan Agustus 1963 wang tak sampai2 dari Jakarta. Wang penjualan perkakas rumah tangga, yacht (perahu layar yang saya beli di Medan pada seorang Inggeris) sebanyak Rp 500.000,- yang saya titip pada seorang “kawan” untuk dikirimnya melalui bank accountnya di Londen ke KL tak sampai2. Kebetulan saya berjumpa dengan Des Alwi kawan lama ketika saya masih di Leiden dan dia bekerja pada kedutaan Indonesia di Londen. Dia rapat dengan Tengku Abdurrahman, PM Malaysia yang saya kenal sewaktu mewakili Unsyiah pada pembukaan University of Malaya (1961). Saya diundang dikediaman PM dan ditawarkan bekerja pada universitas atau pada perkamusan Malaysia, karena telah diminta seorang ahli pada UNESCO tetapi tak kunjung datang. Karena ada pengalaman dengan kamus Belanda-Aceh di Leiden saya pilih kamus sambil mengajar Malay Traditional Historigraphy pada Un. of Malaysia.

Dalam antara itu saya diminta turut mendirikan Universiti Brunei Darussalam karena mereka dengar saya turut mendirikan Unsyiah, tetapi karena telah ada commitment dengan Malaysia saya mohon maaf. Baru tahun 1993 saya ke Brunei tetapi hanya untuk mendirikan Malay Studies Department. Pada tahun 1968 selesai kamus dan saya diangkat Prof. pada Universiti Kebangsaan Malaysia.

Wassalam,

T. Iskandar.

This article is from: