
4 minute read
Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing
Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing
Jerih payah mendirikan fakultas terbayar sudah. Namun, mempertahankan eksistensi lembaga tidaklah mudah. Dr. T. Iskandar berusaha sekuat tenaga mengatasi berbagai kendala yang ada. Mulai dari minimnya infrastruktur, ketiadaan staf pengajar, kondisi keamanan yang belum stabil, dan berbagai tantangan lainnya. Hanya tekad kuat dan tanggung jawab untuk memajukan Aceh menjadi motivator dan modal dasar untuk terus maju dan berkembang hingga saat ini. Meskipun ada sekretaris, Dekan T. Iskandar praktis harus bekerja sendiri. Anwar Abubakar, yang juga merupakan salah satu direksi pada Bank of Sumatra tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai Sekretaris karena kesibukannya di Medan. T Iskandar memikul hampir semua beban pekerjaan dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan tanpa mengenal lelah. Kendala utama yang paling dirasakan kala itu adalah ketiadaan staf pengajar, peralatan dan perlengkapan kuliah, serta dana operasional. Dosen yang ada pada waktu itu hanya 8 orang yakni Dr. T. Iskandar, Mr. Eddymurthy Abdulkadir, Miss Elaine M. Wills B.A., Dra. Dalipah Sjamsuddin, A.T. Baros M.Sc. Drs. Toga Tobing, Drs. Barus Siregar, dan S. Suwargadi yang kemudian digantikan T. Sembiring karena harus berangkat ke Amerika. Di antara 8 orang dosen ini, hanya 2 orang yang menetap di Kutaradja, yakni Dr. T. Iskandar dan Mr. Eddymurthy Abdulkadir yang bertugas di Kodam I Iskandar Muda, sedangkan yang lainnya tinggal di Medan. “Mr. Eddymurthy pun tidak bisa bekerja penuh di fakultas. Sebagai seorang pejabat militer, ia juga banyak kesibukan. Otomatis tinggal saya sendiri yang harus mengelola fakultas,” kenang Iskandar. “Sungguh sulit membangun suasana akademik dan membina mahasiswa dengan kondisi seperti ini,” ungkap Iskandar. “Kondisi Fakultas Ekonomi bak sekuntum bunga yang baru mekar, tumbuh di atas tanah yang gersang yang senantiasa harus dipupuk dan disiram agar dapat terus hidup,” katanya dalam sambutan Dies Natalis Fekon pertama. Mantan Ketua Program Pasca Sarjana Program Ilmu Studi Pembangunan, Prof. Dr. Jakfar Ahmad, MA, mengenang peristiwa kuliah dulu dengan penuh canda. “Perkuliahan waktu itu tidak seperti saat ini yang sudah teratur rapi. Dulu kami terpaksa menunggu dosen berjam-jam di bawah-bawah pohon. Ada tidaknya kuliah tergantung pesawat. Kalau ada
Advertisement
Menpangan/Kabulog RI, Prof. Dr. Ibrahim Hasan didampingi Dekan Prof. Zulkifli Husin dan Rektor Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud serta Guru-guru Besar Fekon lainnya.
suara pesawat mendarat di Blang Bintang weingzzzzzz....., berarti ada kuliah karena dosennya sudah datang dan mereka pun bergegas ke ruang belajar,” kenang Ja’far sambil tersenyum. Prof. T. A. Hamid, MAB mengisahkan sebagian mahasiswa menunggu di Staisiun Kereta Api di deretan Toko Sinbun Sibreh. “Kalau ada suara pesawat wuueeingzz...serentak mahasiswa mengayuh sepedanya seperti sedang balapan,” kenangnya sambil tersenyum riang. Tidak dapat dipungkiri bahwa bantuan staf Penghubung KDMA di Medan dan Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) di Kutaradja dalam mengatur perjalanan dosen ‘terbang’ ini sangat menentukan kelancaran kuliah pada saat itu. Sungguh merupakan perwujudan komitmen dan semangat gotong royong yang mulai jarang kita temukan dalam kehidupan dunia modern dewasa ini.
Sederet nama-nama besar seperti: Prof. T.A. Hamid, MAB, Prof. Dr. Jakfar Ahmad, Prof. Dr. Ali Basyah Amin, Prof. Nadir Abdul Kadir, Drs. Syamsunan Mahmud, dll. Merupakan alumni angkatan pertama Fekon. Mereka lahir dari segenap keterbatasan kampus Darussalam. Saat itu belum ada ruang kuliah tetap. Kuliah perdana, pada September 1959 dilakukan di Aula SMA Negeri Darussalam. Belakangan gedung ini dijadikan Gedung FKIP dan sekarang telah dibangun gedung bertaraf internasional, Gedung Academic Activity Center (AAC) Prof. Dr. Dayan Dawood, MA. Administrasi perkantoran dan akademik dilaksanakan oleh hanya 4 orang pegawai honor antara lain: M. Yusuf Amin, M. Thaib Kaoy, M. Yasin Ishak (terakhir, ketiganya tercatat sebagai pensiunan Fekon), dan Pocut Zubaidah (berhenti). Sementara itu, pekerjaan pembantu umum atau kini populer disebut office boy dilakukan oleh Tgk. Hadjad dan Tgk. M Yunus Husin. Menyadari minimnya ruang belajar, para pendiri Unsyiah terus berupaya menggalang dukungan. Sarana dan prasarana kuliah secara perlahan terus ditingkatkan. Bantuan demi bantuan terus mengalir, antara lain yang bersumber dari Aceh Kongsi yang disalurkan melalui Yayasan Pembangunan Darussalam (YPD) yang juga dipimpin Ali Hasjmy. Selang setahun, tepatnya akhir tahun 1960, gedung Fakultas Ekonomi (kini gedung utama) berhasil didirikan. Sejak saat itu, kegiatan belajar mengajar mulai terpusat dan tertata baik. Upaya meningkatkan kualitas akademik terus dilakukan. Pada awal tahun 1961, Dekan T. Iskandar menemui Rektor UI Prof. Dr. Sjarief Thayeb di Salemba-Jakarta. Kebetulan, Prof. Sjarief Thayeb juga merupakan seorang putra Aceh yang sangat peduli terhadap dunia pendidikan. Sontak saja, tokoh pendiri Universitas Trisakti ini segera memanggil beberapa asisten serta mahasiswa tingkat akhir ke ruang sidang Rektorat untuk bertemu dengan Dr. T. Iskandar dan meminta mereka untuk menjadi staf pengajar di Fakultas Ekonomi yang baru didirikan di Kutaradja. “Waktu itu kita janjikan kepada mereka untuk langsung diangkat menjadi Dosen penuh dan diberi tunjangan daerah sebesar gaji,” jelas Iskandar. Meskipun tidak serta merta memperoleh respons, namun Iskandar cukup berbesar hati. Akhirnya, salah seorang putera terbaik daerah berhasil dibawa pulang ke Aceh pada bulan September tahun itu juga, yakni Drs. Ibrahim Hasan (Prof. Dr., MBA) yang baru saja menyelesaikan sarjananya dan menjadi asisten Prof. Dr. M. Sadli.