
10 minute read
Aula FEB: Saksi Bisu Sejarah Unsyiah
U
AULA FEB: SAKSI BISU SEJARAH UNSYIAH
Advertisement
Di sini..kami belajar.., memperkaya iman... Di sini..di sini..di tempat tercinta, Universitas Syiah Kuala. Fajar menyingsing di tanah Aceh; itulah cita-cita kami…
(W.S. Rendra)
ntaian kata demi kata dari sang legenda Rendra terasa begitu indah. Selama puluhan tahun, puisi sang ‘burung merak’ yang digubah menjadi Hymne Universitas Syiah Kuala oleh Muchtar Embut pada 1 Juli 1970 ini telah menghiasi relung hati kita. Syairnya kerap didengungkan pada acara-acara resmi seperti orientasi pengenalan kampus bagi mahasiswa baru maupun ketika melepas para sarjana dalam acara wisuda. Pesannya telah menginspirasi dan menyemangati jiwa-jiwa yang menggerakkan pembangunan Aceh selama enam dekade terakhir. Sebagai kampus tertua di Aceh, kiprah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dalam pembangunan Aceh selama ini tak dapat dipungkiri. Melalui tangan dingin para guru yang berdedikasi, ribuan generasi emas Aceh telah dilahirkan dari kampus yang dulu popular disebut Fekon (Fakultas Ekonomi-red). Kiprah dan pengabdian puluhan ribu alumninya tersebar luas di berbagai bidang. Mulai dari kalangan birokrat, legislatif, professional, maupun swasta. Gagasan dan karya nyata mereka telah mewarnai, setidaknya, wajah pembangunan Aceh seperti saat ini. Tidak hanya di daerah, kiprah alumninya pun telah merambah tingkat nasional dan bahkan
Aula FEB tempat Peusijuk Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA sebagai Menteri Pangan/Kabulog RI, 25 Mei 1993.
internasional. Sebut saja beberapa misalnya Aminullah SE.Ak, MM dan Dalimi, SE. Ak yang masingmasing menjabat Walikota Banda Aceh dan Wakil Ketua DPRA saat ini. Ada pula Gus Irawan Pasaribu, SE, mantan Direktur Utama Bank Sumut yang sekarang menjabat Ketua Komisi VII DPRRI. Demikian pula Ir. Azwar Abubakar, MM; mantan Plt. Gubernur Aceh yang terakhir menjabat Menteri PAN dalam kabinet Presiden SBY. Juga Rina Meutia, SE. Ak, MA; disaster risk management specialist di World Bank, Washington, Amerika Serikat. Ada juga yang berkecimpung di organisasi kemanusiaan seperti Armaen, SE.Ak, MA, mantan kepala kantor International Office for Migration (IOM)
Aula FEB memberi kenangan tersendiri bagi setiap mahasiswa baru

di Mombassa, Kenya yang kini bertugas membantu mata pencarian (livelihood) ratusan ribu migran korban perang Syiria di Turki. Tidak ketinggalan, Dr. Syurkani, SE, MA, Direktur Asian Development Bank (ADB) yang berbasis di Manila. Tak kalah pentingnya, ada Ismail Rasyid, SE; Direktur sekaligus founder PT. Transcontinental, perusahaan multimoda internasional yang memiliki cabang di lebih 25 negara di dunia. Juga ada Ayub Meulila Abdy, SE, pengusaha sukses dari Sumatera Utara yang menulis buku ‘Bagaimana Meloby Tuhan.’ Namun jika melihat sepak terjang alumni selama ini, kita tak akan pernah bisa menduga. Siapa nyana, mereka hanyalah lulusan ‘kampus kebun kelapa.’ Generasi terdahulu belajar dengan fasilitas yang serba terbatas. Adalah Aula FEB Unsyiah yang masih berdiri gagah hingga kini, menjadi saksi bisu perjuangan para alumni dari generasi ke generasi. Bagaimana tidak, gedung
pertama FEB yang menjadi cikal bakal Unsyiah ini menjadi satu-satunya gedung kuliah kala itu. “Dulu, kuliahnya ramai-ramai di Aula, ratusan orang jumlahnya. Selain belum ada ruang, dosennya juga terbatas. Sebagian besar diisi oleh dosen terbang dari Universitas Indonesia,” kenang alm. Prof. T. A. Hamid, MAB, Guru Besar Fekon Unsyiah, mantan anggota MPR-RI, sekaligus mantan Kepala Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Sabang, mahasiswa angkatan pertama yang lulus paling cepat. “Dulu ada kuliah gabungan Fekon dan FH untuk mata kuliah dasar umum (MKDU) seperti: Pancasila, Hukum Dagang, Teori Ekonomi Nasional, dll. Tempat kuliahnya di aula,” tambah Drs. Alfian Ibrahim, MS, alumni Fekon angkatan 1965 yang juga mantan Rektor Universitas Teuku Umar, Meulaboh. Fekon Unsyiah yang awalnya berafiliasi dengan Universitas Sumatera Utara (USU) atau disebut Fakultas Ekonomi USU di Kutaradja, didirikan tanpa staf pengajar tetap. “Panitia persiapan pembangunan Fakultas Ekonomi hanya mempersiapkan fasilitas fisik semata, tidak profesornya. Oleh sebab itu, saya terpaksa pergi ke Medan, Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta, menjumpai temanteman lama untuk mencari dosen yang mau mengajar di Aceh, namun usaha saya sia-sia. Tak ada seorangpun yang mau mengajar ke Aceh waktu itu. Malah saya yang ditawari untuk mengajar di sana,” kenang Dr. T. Iskandar, Dekan pertama Fekon dengan nestapa. Upaya mendatangkan dosen professional baru teralisir tiga tahun kemudian. Drs. A. Madjid Ibrahim, dosen sekaligus mantan Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas Indonesia (UI) rela kembali ke Aceh menggantikan posisi Dekan yang ditinggalkan Dr. T. Iskandar di tahun 1963. Di masa inilah, pakar-pakar ekonomi Indonesia seperti Prof. Soemitro Djoyohadikusumo, Prof. Ali Wardhana, Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Emil Salim, dan sejumlah ekonom besar lainnya mau mengisi kuliah di Fekon Unsyiah selama beberapa tahun lamanya. Demikian pula Prof. Hadibroto dari Universitas Sumatera Utara, salah seorang akuntan kawakan Indonesia di era 80-90an. “Di masa kami dulu, dosen-dosennya sudah lebih banyak, sekitar 25 – 30 orang. Kuliah jadi lebih enak karena mendapat dosen-dosen senior yang handal. Saya ingat, Prof. Dr. Soemitro menggunakan mimbar di Aula Fekon Unsyiah tahun 1965 untuk menyampaikan pidato ilmiah
(pada saat Dies) setelah berada bertahun-tahun di pengasingan di berbagai negara di Asia usai peristiwa PRRI,” kenang Drs. Alfian Ibrahim, MS. “Dulu, setiap kuliah asistennya juga hadir di kelas. Dosen yang masuk hampir semua guru besar. Pak Ibrahim asistennya Pak Malik. Pak Saptari (Direktur BNI 46) mengajar akuntansi, asisten beliau Lahmuddin Lubis dan Pak Taher Tab. Ir. Hayatun Yusuf mengajar matematika, asistennya Jakfar Ahmad,” tambah Drs. Azhar Puteh, MS, mantan PD III periode 1997 – 2000 dan 2001 - 2004. Aula Fekon begitu melegenda. Di Aula Fekon inilah para begawan ekonomi tersebut pernah mengajar. Di aula ini pula ratusan mahasiswa Unsyiah pernah merasakan sulitnya membuka ‘kopekan’ ketika ujian karena dikawal beberapa pengawas sekaligus. Di gedung ini pula, hampir semua mahasiswa baru Fekon merasa ‘teraniaya’ dalam ospek yang meruntuhkan ego dan kesombongannya. Meski demikian, di gedung ini pulalah bersemi aneka romantisme indah masamasa kuliah bagi kebanyakan mahasiswa.
----oo0oo---Kini, di usianya yang ke enam puluh tahun, wajah komplek pemuda, pelajar dan mahasiswa (Koppelma) Darusalam tampak semakin indah. Tak terkecuali kampus Fekon yang berada persis di pintu masuk sebelah kiri gerbang Unsyiah, tampak semakin megah. Dengan hamparan rumput hijau dan pohon flamboyan rindang di halaman depan dibingkai pohon palem yang berjajar rapi dan pilar-pilar kuning keemasan di fasad depan, serta pintu masuk kaca otomatis menambah kesan modern dan mewah. Dari gerbang Unsyiah, tampak jelas masjid Al-Mizan yang diapit Aula, gedung akademik dan diploma-3 turut menyinari lingkungan di sekitarnya. Ini merupakan masjid pertama yang dimiliki fakultas di lingkungan Unsyiah. Di masjid yang diinisasi Dekan Drs. Thabrani Ibrahim pada medio 1980-an inilah program pendampingan mata kuliah agama (PPA) untuk mahasiswa Unsyiah digagas. Sebagaimana cita-cita para perintis, kehadiran Fekon Unsyiah bak mentari pagi yang menghangatkan gairah pembangunan daerah. Kebun kelapa yang gersang telah tumbuh menjadi kawasan yang dinamis. Tidak hanya geliat pendidikan, Koppelma Darussalam telah menjadi pusat hiruk-pikuk interaksi sosial, ekonomi, dan budaya bagi ratusan ribu warga setiap harinya. Mulai dari aktifitas akademik oleh dosen, pegawai, dan mahasiswa, juga kegiatan usaha warga yang
menyediakan jasa hotel, rumah sewa, kost-kost-an, laundry, percetakan dan photocopy, cuci-cetak photo, rental komputer, warung makan, serta jajanan makanan ringan, dan bahkan tukang parkir. Mereka semua telah menjadi bagian dari denyut jantung kehidupan Darussalam yang dinamis. “Dulu kawasan ini sangat rawan dan terpencil, hanya kebun kelapa dengan kubangan lumpur yang ditumbuhi kangkung liar. Tidak banyak gedung, Aula Fakultas Ekonomi adalah gedung pertama yang dibangun. Tidak ada listrik, apalagi telefon. Setiap harinya, ratusan sapi berkeliaran melahap rumput dan tanaman yang tumbuh liar. Bila malam tiba, pasukan DI/TII kerap datang ke Darussalam meminta makanan, kopi, ataupun rokok. Memang mereka datang dengan baik-baik, namun kita tetap merasa takut,” kisah Dr. T. Iskandar, Dekan pertama Fekon.

Hari ini, enam puluh tahun silam, merupakan hari kebangkitan Aceh. Bangkit dari kebodohan dan ketertinggalan. Bangkit dari kemiskinan dan perpecahan akibat perang saudara berkepanjangan. Inilah yang melandasi tekad bulat para perintis pembangunan Fekon Unsyiah. Sebagai bentuk syukur dan kebanggaan masyarakat atas lahirnya lembaga pendidikan tinggi yang pertama di Aceh ini, tanggal 2 September telah ditambalkan sebagai Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) Aceh. Seperti tahun-tahun sebelumnya, upacara menyambut Hari Pendidikan Aceh tahun ini pun tampak meriah. Panitia telah mempersiapkan beberapa paket acara untuk menyemarakkan suasana. Meskipun angin kencang kerap menyelimuti hari jadi Unsyiah yang jatuh pada musim Barat, Tugu Darussalam tetap berdiri gagah. Sederetan papan bunga warna-warni tumpah ruah menghiasi jalanan, menyesaki pintu gerbang utama. Selama enam dekade, kehadiran Unsyiah di Darussalam benar-benar telah menjadi jantong hatee (jantung hati, red) rakyat Aceh. Untuk menghindari tumpang tindih acara, Dies Natalis FEB Unsyiah ke 60 kali ini akan dilangsungkan tiga minggu kemudian. Meski waktu acara sedikit bergeser, namun tidak sedikitpun mengurangi nilai sejarah, kenangan, dan kegembiraan yang ditawarkan. Pada hari-H, meski masih pagi sekali, suasana syahdu telah terasa sejak memasuki pintu gerbang kampus Darussalam. Gema azan subuh yang bersahutan dari corong pengeras suara mesjid perlahan mulai menghilang. Warga Darussalam masih larut dalam ibadah. Lampu-lampu mulai padam seiring sinar mentari jingga tampak di ufuk timur. Gedung FEB Unsyiah nampak begitu megah. Panggung utama dan beberapa tenda telah tersusun rapi di halaman depan aula. Sound system pun telah siap terpasang. Beberapa orang petugas tampak bergegas usai shalat berjamaah di Mesjid Al Mizan yang megah, sumbangan para alumni dan civitas academica. Peringatan Dies kali ini tampak lebih semarak. Selain memperingati perjalanan enam puluh tahun FEB Unsyiah, panitia juga mengemas ajang silarutahmi dan reuni akbar para alumni. Hari ini menjadi momen refleksi pengabdian panjang FEB Unsyiah selama enam dekade. Menorehkan guratan indah pada sejarah panjang almamater. Menyemai benih pengetahuan di negeri nan permai. Satu, sepuluh, seratus bahkan ribuan alumni silih berganti. Satu persatu guru dan tauladan telah pergi mendahului. Tak terhitung budi yang mereka semai. Tak terbilang buah yang kita tuai.
Prof. Ali Hasjmy dilahirkan di Seulimeum, Aceh Besar pada 28 Maret 1914. Di masa mudanya, ia merupakan idola dan panutan di kalangan pemuda karena kecerdasan, jiwa kepemimpinan, ketekunan dalam beribadah, serta ketampanannya. Drs. M. Asyek Ali, mantan Kepala Kantor Wilayah Perdagangan Provinsi Aceh yang merupakan salah satu anak buahnya dalam pasukan Tentara Pelajar mengisahkan rasa hormatnya yang besar kepada Ali Hasjmy. “Sejak masa mudanya dulu, beliau sudah menjadi idola dan panutan di kalangan pemuda dan pemudi saat itu. Ia menjadi teladan bagi anak laki-laki dan menjadi pusat perhatian bagi anak perempuan. Banyak gadis-gadis yang menaruh hati padanya,” tutur Asyek Ali. Semasa hidupnya, alumnus pondok pesantren Thawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat tahun 1935 ini menaruh perhatian amat besar terhadap dunia pendidikan. Hasjmy yang haus ilmu inipun sempat menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan tahun 1952—1953. Mantan guru pada Perguruan Islam di Seulimeum, pemimpin umum Aceh Shimbun dan Semangat Merdeka ini pernah dipenjara oleh Pemerintah Orde Lama di Jl. Listrik, Medan karena dianggap membantu perjuangan DI/TII. Karena tidak terbukti, ia dikeluarkan dari penjara dan kemudian terpilih menjadi Gubernur Aceh pada 27 Januari 1957-1964.
Menurut Asyek Ali, ide mendirikan Fekon Unsyiah berasal dari A. Hasjmy sendiri. Sepengetahuannya, sejak masa mudanya, A. Hasjmy yang sangat tekun belajar, menginginkan berdirinya lembaga pendidikan tinggi di Aceh. Cita-cita ini semakin membara sewaktu ia menjabat Gubernur Aceh. Namun karena waktu itu Aceh tengah dalam konflik, ia cenderung mendorong Letkol. Sjamaun Gaharu, Penguasa Perang Aceh sebagai Ketua Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Ekonomi Kutaradja. Nama Syiah Kuala sendiri diangkat dari nama seorang guru sekaligus ulama besar yang pernah hidup di Aceh dan menjadi penasihat Sultan Iskandar Muda, Raja Kerajaan Aceh yang berkuasa pada waktu itu.
Prof. Dr. T Iskandar, mantan Dekan Fekon yang pertama meyakini bahwa logo Unsyiah yang terdiri dari lima lembar daun seulanga juga dirancang oleh A. Hasjmy, sedangkan desain tugu Unsyiah dirancang oleh Kolonel Hamzah. Usai mendirikan Unsyiah, Ali Hasjmy juga menjadi pionir bagi berdirinya IAIN Jami`ah Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh, dimana ia kemudian diangkat menjadi rektor pada tahun 1963-1965.
Semasa hidupnya, Ali Hasjmy banyak menulis buku, puisi dan novel. Dia telah mengarang tidak kurang dari 40 judul buku, meliputi Seni Budaya, Sejarah, Politik, Tata Negara, Dakwah dan Pendidikan. Karya-karyanya antara lain: Kisah Seorang Pengembara (1936), Sayap Terkulai (1936), Bermandi Cahaya Bulan (1937), Melalui Jalan Raya Dunia (1939), Dewan Sajak (1940), Dewi Fajar (1940), Suara Azan dan Lonceng Gereja (1940), Di Bawah Naungan Pohon Kemuning (1940), Puisi Islam Indonesia (1940), Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman (1951), Rindu Bahagia (1960), Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963), Semangat Kemerdekaan dalam sajak Indonesia (1963), Jalan Kembali (1964), Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (1971), Ruba’i Hamzah Fansyuri (1976), Tanah Merah (Digul Bumi Pahlawan Kemerdekaan Indonesia) (1980), Sejarah Kebudayaan Islam, Di Bawah Pemerintahan Ratu, Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia, dan Semangat Merdeka (1985).
Ali Hasjmy meninggal di Banda Aceh pada tanggal 18 Januari 1998, menjelang ulang tahunnya yang ke 84. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman keluarga yang kemudian diwakafkan menjadi pemakaman umum di Desa Geuce Kayee Jato, Jl. Sudirman, Banda Aceh. Di bekas kediamannya, didirikan sebuah perpustakaan Ali Hasjmy yang menyimpan banyak buku koleksinya dan catatan sejarah pembangunan Aceh. [ ]
Dharma bakti FEB Unsyiah telah ditorehkan putera-puteri terbaik negeri. Terpancang megah di bumi Serambi Mekkah. Semerbak mewangi sampai ke pelosok negeri. Masa telah mencatat sederetan panjang para pengabdi. Yang telah mencurahkan hidup dan pemikiran untuk kemakmuran negeri. Mulai dari generasi pendiri, perintis, pembangun, hingga tokoh pengembangan dewasa ini. Bagaimanapun juga, figur Prof. Ali Hasjmy dan Kolonel Sjamaun Gaharu tidak dapat dipisahkan dari sejarah FEB Unsyiah dan Provinsi Aceh pada umumnya. [ ]