6 minute read

Langkah Pertama

Next Article
Profil Penulis

Profil Penulis

Prijono meresmikan hasil kerja keras segenap lapisan masyarakat Aceh ini. “Untuk memenuhi hasrat masyarakat di Daerah Istimewa Aceh, guna mempertinggi kecerdasan Bangsa Indonesia dalam arti kata yang seluas-luasnya dalam berbagai ilmu pengetahuan, maka pada hari ini Rabu, tanggal 2 September tahun 1959, kami resmikan Fakultas Ekonomi di kota Darussalam, Kutaraja,” ujar Bung Karno bersemangat yang disambut antusias para hadirin dengan tepuk tangan yang meriah. Dalam sambutannya, Presiden Soekarno berpesan agar pendidikan ekonomi di Fakultas Ekonomi ini jangan mengajarkan ekonomi liberal, akan tetapi sesuai dengan semangat revolusi masyarakat kita dari Sabang sampai Marauke, yaitu sosial ekonomi, adil dan makmur dengan ekonomi terpimpin. Meskipun bukan kali pertama Soekarno datang ke Aceh, namun kunjungan kali ini sangat bermakna, menjadi momentum tonggak sejarah bangkitnya pendidikan di Aceh. Tonggak yang diawali dengan lahirnya Fakultas Ekonomi sebagai cikal bakal berdirinya Universitas Syiah Kuala. Sejarah dimana kini terdapat 35.000 mahasiswa yang tersebar di 12 fakultas, 6 jenjang studi D2, D3, S1, program profesi, S2, dan S3. Tidak kurang dari 1.500-an dosen bergelar Sarjana, Master, dan Doktor dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Tercatat 30.000 lebih alumni yang tersebar di seluruh pelosok nusantara dan bahkan di mancanegara. [ ]

Langkah Pertama

Advertisement

“The journey of a thousand miles begins with one’s step,” ungkap filsuf China termashur Lao-tzu (604 SM - 531 SM). Perjalanan seribu mil bermula dari langkah pertama seseorang, demikian kurang lebih terjemahan bebasnya. Apa yang diraih Universitas Syiah Kuala, khususnya Fakultas Ekonomi saat ini, tidak luput dari ide dan upaya Ali Hasjmy yang mendesak Dr. Teuku Iskandar untuk kembali ke Aceh. Putera Aceh kelahiran Trieng Gadeng, Pidie, 19 Oktober 1924 ini diminta untuk mempersiapkan pendirian Fakultas Ekonomi di Kutaradja. Waktu itu Iskandar masih bekerja sebagai asisten Prof. G.W. J. Drewes yang sedang menyusun Kamus Belanda-Melayu yang pertama. Ia memperoleh gelar Doktor dari Rijksuniversiteit Leiden, Belanda dalam bidang Sastra dan Sosial. Sarjananya juga diperoleh di sana dalam bidang administrasi dimana mata kuliah ekonomi merupakan pelajaran utama. Dapat dikatakan bahwa T. Iskandar merupakan putera Aceh

pertama yang berhasil memperoleh gelar Doktor, justru di luar negeri. Gubernur Ali Hasjmy sangat menghormatinya dan berkeinginan agar ia bisa kembali pulang membangun Aceh. Pada awal 1959, Iskandar pun kembali ke Indonesia. “Pertama kali kembali dari Belanda, Saya tidak langsung ke Kutaradja. Oleh panitia yang mengurus perjalanan, saya ditempatkan di Medan, diberikan rumah. Pada awalnya saya bekerja di Medan pada sebuah bank milik orang Aceh, Bank of Sumatra. Saya diangkat menjadi salah satu Board of Director di sana. Sambil bekerja, saya selalu datang ke Aceh untuk mempersiapkan pembukaan Fakultas Ekonomi. Gedung Aula sedang dikerjakan ketika pertama kali saya tiba di Darussalam. Pertempuran masih terus terjadi, terutama di malam hari. Panitia pendirian hanya memikir tentang pembangunan gedung-gedung yang tidak berjalan lancar,” kenang Iskandar dalam sebuah wawancara ekslusif sehari setelah detik-detik peringatan Dies Natalis Fekon Unsyiah ke-50 pada tanggal 4 September 2009, sepuluh tahun yang lalu.

Ali Hasjmy diruang kerjanya.

Pada Juli 1959, Iskandar mulai menetap di Aceh dan dimasukkan dalam struktur Panitia Pembangunan Universitas Syiah Kuala. Setelah melihat suasana pembangunan dari dekat, ia mengusulkan agar panitia menyusun prioritas, terutama menjelang kedatangan Presiden Soekarno pada 2 September. “Yang perlu dicari adalah dosen-dosen. Karena arti universitas sejak zaman Yunani kuno adalah masyarakat profesor dan mahasiswa. Memberi kuliah boleh di bawah pohon kelapa,” tambah Iskandar dengan nada prihatin mengenang keadaan waktu itu. Untuk itu, bersama seorang Hakim TNI (Iskandar lupa namanya, kemungkinan besar adalah Letnan I Mr. Darsosugondo, penasihat hukum KDMA-red) ia pun berangkat ke Medan, menjumpai teman-temannya sewaktu kuliah di Belanda seperti Tengku Mustafa (Dosen Fakultas Ekonomi USU), L. Tobing dan Barus Siregar (keduanya Dosen pada Fakultas Ekonomi Nommensen). “Mereka bersedia mengajar sebagai dosen terbang tapi menolak menjadi dosen tetap,” tutur Iskandar. Setelah itu, Iskandar melanjutkan perjalanan untuk mencari tenaga pengajar ke Jakarta, Bandung, dan Jogyakarta. “Di Jakarta saya diperkenalkan hakim tentara tersebut dengan profesornya. Namun penerimaan profesor tersebut dingin. Tidak seorang sarjanapun mau pergi ke Aceh meski dijanjikan mendapat tunjangan daerah sebesar gaji,” imbuh Iskandar pula. Perjalanan dilanjutkan ke Bandung, bertemu teman lama Iskandar, Prof. Mr. Utrecht. “Setelah memaparkan tujuan kedatangan kami, saya malah ditawari untuk bekerja di Bandung dan akan langsung diberikan rumah,” kenangnya. Demikian pula ketika bertemu bekas pelajar di Leiden asal Makassar. “Ia juga meminta saya menjadi Dekan Fakultas Sastra di Makasar karena Dekannya, Prof. Tobing, alumni Leiden telah berhenti karena berselisih dengan Rektor Mononutu. Alhasil, tak seorang sarjana pun mau ke Aceh, kecuali sarjana-sarjana asal Aceh. Itupun kalau langsung mendapat gelar Profesor, jabatan Dekan, atau Rektor,” paparnya lebih lanjut. Sambil menahan nafas, Iskandar mengambil kesimpulan sendiri. “Mungkin mereka enggan ke Aceh karena kondisi daerah yang belum stabil. Perang masih terus berkecamuk. Tidak terus menerus memang, tapi terus terjadi di beberapa daerah, khususnya di malam hari. Fasilitas umum dan kondisi masyarakat masih sangat menyedihkan. Listrik dan alat transportasi masih menjadi

barang langka kala itu,” imbuhnya perlahan. Kondisi ini juga dialami oleh Asyek Ali, Ibrahim Abdullah, Syamsuddin Mahmud, dll. yang memutuskan kembali ke Aceh usai menyelesaikan sarjananya di Pulau Jawa. Teman-teman mereka di Jakarta dan Medan selalu mengolok-olok. “Keu peu kah jak wou lam uteun nyang hana harapan (Untuk apa kamu kembali ke hutan yang tidak ada harapan),” ejek mereka

Dr. T. Iskandar di Leiden University sambil tertawa. Namun olok-olokan ini justru dijadikan cemeti untuk membuktikan

bahwa mereka mampu membangun Aceh. Minimnya tenaga pengajar yang tersedia tidak menyurutkan langkah Iskandar. Beberapa staf Pemda Aceh dikerahkan menjadi pengajar luar biasa. Demikian pula dari angkatan bersenjata yang dikomandoi Letkol. Sjamaun Gaharu. Tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah daerah yang dimotori Ali Hasjmy bekerja siang malam, bahu-membahu untuk segera mewujudkan impian mulia itu. Lambat laun, dukungan berdatangan bak mata air memancar dari celah pegunungan. Drs. M. Asyek Ali, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Jogyakarta mengisahkan dukungan Pemda Aceh untuk Fekon. “Waktu itu saya baru saja selesai sarjana dan akan diberangkatkan ke Wisconsin, Amerika Serikat, sebagai calon staf pengajar. Namun Gubernur A. Hasjmy meminta saya pulang ke Aceh membantu beliau. Pak Hasjmy meminta langsung kepada Menteri Perdagangan agar saya diangkat menjadi Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Perdagangan Aceh, tapi dengan syarat juga ditugaskan untuk mengajar di Ekonomi sebagai tenaga pengajar luar biasa. Setahun kemudian, saya merekomendasikan Pak Ibrahim Abdullah (kini Prof. Ibrahim Abdullah, BSC, MIE, MA, akrab dipangil Utoe Him) kepada Pak Hasjmy untuk membantu mengajar. Akhirnya, dengan cara yang sama, pada tahun 1961 Utoe Him juga diboyong ke Aceh dan ditempatkan sebagai Kepala Kanwil Departemen

Perindustrian sekaligus membantu mengajar di Fakultas Ekonomi,” paparnya panjang lebar dalam wawancara panjang di teras belakang rumahnya yang asri di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan pada tahun 2012 silam. “Saya mengajar analisa neraca dan marketing waktu itu. Belakangan mata kuliah marketing saya alihkan kepada Pak Ibrahim,” kenangnya sambil menunjuk Utoe Him yang duduk di sebelahnya sambil mengangguk-angguk. “Saya malah mengajar sampai delapan mata kuliah waktu itu,” timpal Utoe Him yang mengajar akuntansi, kalkulus, linier programming, ekonometrik, statistik,

Drs. M. Asyek Ali

marketing, sejarah perekonomian, dan seminar ekonomi. Dahlia, putri kelima Ali Hasjmy dari 6 bersaudara masih dapat mengenang sibuknya panitia persiapan pendirian Fekon kala itu. “Saya tidak begitu banyak tahu tentang pendirian Unsyiah karena saya masih kecil. Namun yang saya ingat, sering kali mereka (sambil menunjukkan tokoh-tokoh yang ada dalam foto) datang ke rumah sampai larut malam untuk berdiskusi,” kenangnya. Para politikus yang diprakarsai Ibrahim Abduh juga tak kalah semangatnya. Demikian pula andil para pengusaha. Beberapa perusahaan yang sangat besar kontribusinya terhadap pembangunan Darussalam antara lain CV. Aceh Kongsi, PT. Meiwa, PT. Puspa, PT. Bahruni, Persik Lsm, NV Permai, Sabang Co, Finex, dll. Salah satu gedung bersejarah yang sampai sekarang masih berdiri megah yang dibantu Aceh Kongsi yakni Aula Fekon dan Wisma Tamu Unsyiah. Di sebelah Wisma Tamu, Gedung Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) dibangun oleh NV Permai. Begitu pula antusiasme dan dukungan tenaga, moril dan material dari para tokoh pemuda dan pelajar bersatu padu bersama alim ulama, umara, dan orang-orang tua. Tercatat tokoh-tokoh muda yang sangat getol atas pembangunan ini seperti Drs. A. Gani Adam (menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian Prop. Aceh – kala itu). Semua bahu membahu, bergotong royong, menyumbangkan fikiran, tenaga, waktu, dan dana, dengan tujuan yang satu, berdirinya Fakultas

This article is from: