Jambi Independent | 27 September 2010

Page 23

Jambi Independent

Senin, 27 September 2010

PUBLIK INTERAKTIF Melalui rubrik ini, Anda bisa menyampaikan informasi tentang ­peristiwa atau data penting untuk dikembangkan menjadi sebuah berita. Atau, Anda juga bisa memberi masukan tentang berita-berita apa yang sebaiknya dimuat di Jambi Independent. Melalui rubrik ini pula, silakan kirim pertanyaan, keluh kesah, urun-pikir dan pendapat Anda atas semua masalah yang dihadapi, terutama terkait pelayanan umum (seperti ketertiban/keamanan, kebersihan/keindahan lingkungan, pengurusan izin di kantor-kantor pemerintah, PDAM, telepon, listrik dan sebagainya). Sampaikan semua aspirasi itu via SMS ke no HP 081274730224. Atau kirim langsung ke redaksi Jambi Independent, d/a: Gedung Graha Pena Jambi Independent, Jalan Jenderal Sudirman No.100, Thehok, Kota Jambi. Aspirasi Anda akan dikonfirmasikan dengan istansi/pihak terkait. Saat dimuat, no HP pengirim tidak ditulis sepenuhnya.

OPINI Silakan kirim opini atau artikel Anda ke rubrik ini. Opini Anda mesti ditulis maksimal 1.000 kata, atau maksimal tiga kertas kuarto dengan ketikan huruf Times New Roman ukuran 12 spasi 1.5. Kirim opini Anda ke email opini_injam@yahoo.com. Atau langsung ke redaksi Jambi Independent, d/a: Gedung Graha Pena Jambi Independent, Jalan Jenderal Sudirman No.100, Thehok, Kota Jambi. Sertakan opini Anda dengan data dan foto diri (maaf, kalau yang dikirim foto KTP tidak akan dimuat, meski cakep), dan nomor telepon/HP Anda yang bisa dihubungi.

Kita di Antara Bigot BOM meledak di perayaan Al Quds kaum Syiah di Pakistan, Alquran hendak dibakar di Amerika Serikat, pelarangan pemakaian burqa di depan publik resmi diundangkan di Prancis, dan aktivis gereja ditusuk di Indonesia. Di hadapan berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang pekan lalu itu, kita seolah digiring untuk percaya bahwa kita kini hidup di antara para bigot. Bigot. Tidak jelas benar asal kata itu. Ada yang menyebut dari Jerman: bei dan gott. Tetapi, bisa jadi juga dari Inggris, by god. Mungkin pula dari Spanyol bigote. Atau Latin, visigoth. Entah, mana yang benar secara etimologis. Yang pasti, sejak pertama digunakan pada 1598 yang bermakna “pengkhianat agama”, berabad kemudian kata itu menjelma menjadi sesuatu yang lebih mengerikan: seseorang yang sangat intoleran (baca: membenci) mereka yang dianggap berada di “luar pagar”, baik secara agama, kelompok etnis, kebangsaan, ataupun orientasi seksual. Nah, bukankah itu yang terjadi di sekitar kita belakangan yang diwakili serangkaian peristiwa sepanjang pekan lalu tadi? Mengafirkan segala yang tidak sepuak, menginjak si minoritas, dan menutup tafsir beragam kemungkinan. Di Pakistan, tepatnya Quetta, barat daya Lahore, tidak lama setelah pengeboman di perayaan Al Quds yang menewaskan 65 orang, Qari Hussain Mehsud, pemimpin Taliban Pakistan yang beraliran Sunni garis keras, dengan terbuka mengakui bertanggung jawab atas pengeboman tersebut. Alasannya? “Sederhana” saja: “Sebab, mereka (Syiah) bukan dari kelompok kami.” Kita bisa membayangkan hidup seperti apa yang dialami oleh mereka yang beragama lain di Pakistan kalau terhadap sesama muslim saja, Taliban berani berbuat sekeji itu. Tetapi, kita juga bisa membayangkan betapa tidak mudahnya menjadi muslim di Prancis, Swiss, atau Belanda saat ini. Burqa, yang awalnya hanyalah sebuah bentuk adaptasi para perempuan yang hidup di kawasan gurun terhadap terpaan angin dan debu, berubah menjadi simbol paranoia tidak berdasar mereka yang berkuasa di Prancis terhadap Islam. Begitu juga menara masjid di Swiss. Apa boleh buat, kita berada di era ketika pencitraan mengalahkan realita. Dengan mencomot sejumlah peristiwa keke­ rasan yang kebetulan melibatkan muslim, politikus Belanda Geert Wilders mengonstuksi Islam seolah-olah sebagai sebuah bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Jualan politis itu lantas membawa dia ke parlemen. Pencitraan bahwa kelompok etnis Tutsi adalah pengkhianat sehingga karena itu golongan etnis Hutu harus memusnahkannyalah, yang juga kemudian membakar Rwanda pada 1994. Afrika Selatan juga bertahun-tahun hidup dalam segregasi antara kulit putih dan kulit hitam. Hitler memusnahkan Yahudi karena tidak ingin ras Arya terkotori. Kini justru Israel yang berlaku sama: menepuk diri sebagai bangsa pilihan di tanah yang dijanjikan dan, karena itu, berhak berbuat semaunya terhadap Palestina. Kita memang tidak pernah belajar dari sejarah. Karena itulah, bigot terus ada, bahkan mungkin terus bertambah jumlahnya. Padahal, dari masa ke masa, banyak contoh yang semestinya menyadarkan kita bahwa kita diciptakan berbeda-beda justru untuk saling mengenal, saling berangkulan. Mulai Nelson Mandela sampai Lembah Dumoga. Mandela, kita tahu, begitu berkuasa, namun memilih merangkul, bukan melampiaskan dendam. Di Lembah Dumoga, di pelosok Sulawesi Utara sana, umat Kristen dan, Islam hidup rukun berdampingan. Karena itu, kita seharusnya tidak menyerah. Bigot mungkin akan selalu ada. Tetapi, akan selalu ada mereka yang menyinarkan harapan bahwa kita semestinya bisa berjabat tangan dengan segala yang tampak beda.(*)

grafis:jatmiko/jambi independent

Tuntutan Reformasi Kejaksaan SILANG pendapat tentang suksesi jaksa agung dari internal (karir) atau eksternal (nonkarir) tidak penting dipertajam. Jelasnya, entah dari karir atau nonkarir, yang didambakan masyarakat saat ini adalah jaksa agung yang memiliki nyali dan kapabilitas untuk melaksanakan reformasi di tubuh kejaksaan. Yakni, berani menolak intervensi, berani menindak tegas bawahan yang tidak profesional, berani mengambil alih tanggung jawab, dan berani membela bawahan yang benar tapi teraniaya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyisakan persoalan-persoalan prospektif kejaksaan secara keseluruhan. Artinya, terlepas dari dipatuhi-tidaknya putusan MK oleh presiden, persoalan yang tidak kalah penting adalah penggantian jaksa agung menuntut kaitan dengan reformasi kejaksaan. Reformasi kejaksaan menjadi niscaya karena sampai berakhirnya kepemimpinan Hendarman Supandji kejaksaan masih dilumuri praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Setidak-tidaknya dalam kasus Artalyta, kasus Anggodo, dan kasus Gayus, selain kasus di daerah-daerah yang menandai citra buruk kejaksaan. Sebagai representasi kepentingan publik, baik pada tataran penyidikan untuk tindak pidana tertentu (khusus) maupun penuntutan untuk tindak pidana umum, citra buruk kejaksaan tersebut menjadi sinyal adanya problem jaminan keadilan dan persamaan dalam hukum bagi masyarakat itu sendiri. Meski citra buruk tersebut lahir dari tindakan individu jaksa, tidak bisa diingkari institusi telah terseret dan setiap orang menjadi gamang untuk berurusan dengan kejaksaan. Reformasi dan Instrumentasi Melakukan reformasi kejaksaan harus bermuara pada sumber daya manusia di dalamnya, mulai seleksi jaksa agung sampai para jaksa yang baru memulai

O l e h

Tjandra s. Pradjonggo* karir. Proses seleksi yang tidak melibatkan atau dipilih oleh publik itulah yang sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya akuntabilitas pada masyarakat yang kepentingannya diwakili. Jaksa agung yang diangkat presiden berdasar keppres dan tidak dipilih melalui seleksi yang terbuka, dengan demikian, juga dapat menjelaskan bahwa dia sulit menolak intervensi presiden dalam proses penegakan hukum kendati secara normatif penyidikan tindak pidana khusus atau penuntutan tindak pidana umum sepenuhnya menjadi wewenang kejaksaan. Berbeda dari pengisian jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski seleksi awal dilakukan melalui panitia seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh pemerintah, proses berikut juga melibatkan DPR sebagai wakil rakyat. Bila dibanding perspektif instrumentalisme, pengisian jabatan jaksa agung dan ketua KPK akan menuntun pada harapan instrumentalisasi hukum oleh masing-masing institusi secara berbeda. Jaksa agung yang diangkat presiden dan ketua KPK (bahkan komisioner KPK secara keseluruhan) yang dipilih melalui seleksi terbuka bisa menghasilkan warna penegakan hukum yang berbeda. Tidak mengherankan jika selama ini dalam penyidikan kasus korupsi, KPK terkesan mendayagunakan hukum lebih keras daripada kejaksaan, meski UU Antikorupsi-nya sama. Bukan karena KPK diberi kewenangan lebih daripada kejaksaan, namun karena persoalan beban akuntabilitas publik yang berbeda. Mengikuti teori Donald Black, variasi hukum berdasar organisasi, stratifikasi, morfologi, maupun budaya lebih kecil ketika hukum digerakkan KPK daripada oleh Kejaksaan Agung. Artinya, diferensiasi hukum oleh KPK lebih kecil

dibanding oleh kejaksaan. Karena itu, KPK terkesan lebih dapat mewujudkan hukum yang lebih kuat, namun bersandar pada prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) dan keadilan. Persoalannya, bagaimana kejaksaan menggerakkan hukum tanpa dibebani kekhawatiran tekanan dari presiden yang mengangkat jaksa agung? Karena itu, dalam penggantian jaksa agung, presiden niscaya memilih orang yang tidak saja memiliki kapabilitas (kemampuan/pengetahuan) yang memadai. Namun, yang tidak kalah penting adalah memiliki akseptabilitas publik dan kredibilitas. Tanpa syarat akseptabilitas, kapabilitas, dan kredibilitas tinggi dalam pengangkatan jaksa agung, reformasi kejaksaan tidak dapat diharapkan muncul dari dalam kejaksaan. Padahal, reformasi yang diusung dari luar lazimnya memperoleh resistansi. Persoalan lebih jauh yang akan dihadapi jaksa agung baru adalah masih munculnya praktik penyidikan atau penuntutan oleh jaksa-jaksa dengan menjadikan hukum sebagai instrumen individu. Alih-alih kepentingan penegakan hukum secara adil dan tidak berpihak, penyidikan atau penuntutan tidak juga dilakukan untuk kepentingan institusi. Ada dua hal yang menjadi pekerjaan rumah serius bagi jaksa agung yang baru. Yaitu, lemahnya sistem pengawasan dan minimnya anggaran, baik kesejahteraan personel maupun operasional lapangan. Jaksa Agung Progresif Penggantian jaksa agung sebenarnya juga dibebani tuntunan progresivitas hukum melalui kerja kejaksaan. Mendinamisasi hukum dalam ruang progresif masih sering hanya dialamatkan untuk pengadilan. Seakan-akan, kejaksaan tidak memiliki porsi untuk melakukan penyidikan atau penuntutan dengan

konsep-konsep hukum progresif. Itu berarti, tumpuan pada kejaksaan untuk dapat menggerakkan hukum progresif masih juga problematis. Hal tersebut terkait dengan kapasitas argumentasi hukum ketika jaksa penuntut umum menangani perkara, baik dalam hubungan dengan hakim maupun advokat (penasihat hukum). Model argumentasi hukum yang menjelaskan sikap progresif dengan keluar dari nalar ortodoks justru dapat menjadi risiko tugas bagi jaksa. Dengan demikian, perkembangan hukum melalui argumentasi yang progresif jarang diharapkan lahir dari jaksa selaku penyidik atau penuntut umum. Sebenarnya, kejaksaan memiliki satu contoh baik, yaitu ketika terbit SKPP dalam kasus Bibit-Chandra yang menunjukkan bahwa progresivitas kejaksaan yang tampak melalui argumentasi sosiologis justru dapat menjadi eksperimentasi dalam proses-proses peradilan pidana atas pemenuhan kepentingan-kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan sosial (social interesis). Terlepas dari apakah dipaksakan atau tidak, argumentasi itu seakan-akan menjungkirbalikkan paradigma yang selama ini melingkupi nalar para jaksa pada umumnya, terutama di daerah-daerah. Kondisi tersebut hanya dapat tumbuh subur dalam kasus-kasus lain bila jaksa agung memiliki perspektif instrumental yang progresif. Yaitu, kejaksaan mendayagunakan hukum untuk memenuhi kepentingan-kepentingan sosial yang selalu dinamis dan menawarkan kategori-kategori keadilan yang selalu bergerak.(*) *) Dr KPHA Tjandra Sridjaja Pradjonggo SH MH , praktisi dan akademisi hukum

Jembatan Desa Jelatang Perlu Dibenahi Pertanyaan: Yth. Bupati Merangin. Tolong lihat jembatan Sungai Merangin yang ada di Desa Jelatang, Kecamatan Pamenang. Kondisinya sudah memprihatinkan. Kami sangat membutuhkan bantuan. Terimakasih. 081274497xxx

- Kinerja pansus batubara dipertanyakan + Tanyakan juga berapa yang harus disetor pengusaha batubara... - Pemasok ganja suami istri dilacak

Jawaban: Terimakasih atas informasinya. Untuk diketahui, Pemkab Merangin sudah memantau keberadaan Jembatan Desa Jelatang, Kecamatan Pamenang, Merangin. Namun, karena jembatan tersebut merupakan kewenangan provinsi, kita akan menyurati Pemprov Jambi. Harapannya, tentu saja jembatan tersebut segera dibenahi. Terima Kasih.

+ Yang terpenting itu aksi nyata setelah berhasil dilacak…

Harian Pagi Jambi Independent SIUPP: No.169/SK/Menpen/SIUPP/A, tanggal 26 April 1986 Alamat Redaksi/Sirkulasi/Iklan: Graha Pena Jambi Jl. Jenderal Sudirman No 100 Thehok Kota Jambi Telp Redaksi 0741 35272, Faks 0741 35267; Iklan/Pemasaran 0741 23330, 35265, Fax 0741 23740 Perwakilan Jakarta: Graha Pena Jakarta.

Nalim Bupati Merangin

grafis:Djatmiko/jambi independent

Perintis: H Syamsul Watir (alm), General Manager: Ali Fauzi, Wakil Ge­neral Manager/Pemimpin Perusahaan: Dulpiah, Pemimpin Redaksi: Joni Rizal, Redaktur Pelaksana: M. Surtan, Paisal Khumar, Koordinator Liputan: Paisal Khumar, Redaktur: Darmanto Zebua, Joni Rizal, M. Surtan, Paisal Khumar, Staf Redaksi: Alpadli Monas, Fachrul Rozi, Jumeidi, Fitrili­dia, Risza SB, Surya Elviza, Finarman, Siti Masnidar, Yusnaini Copy Edi­tor: MH. Abid, Fotografer: Rolanda Hasibuan, Eddy Junaedy, Event Organizer: Rahmad Hidayat, Sekretaris Redaksi: Eniwati, Grafis/Ilustrator: Djatmiko, Wartawan di Daerah: Chandra Purnomo (Tanjab Barat), Musrip Hulaimi (Tanjab Timur), Franciscus (Muarojambi), Johan Iswadi (Tebo), Dwi Setyowati (Bungo), Nova Diansyah (Merangin), Lukman Hakim (Sarola­ngun). Bagian Pracetak: Safarudin Aris, Ishak, Adam Surata, Asep Syaefudin. Bagian Iklan: Munawir (Kabag), Etika Utama, N Permana (Desain), A Ridwan, Setiadi, Wita. Bagian Pemasaran: Prawoto (Kabag), Tareju, Sarjono, Hamsir . Bagian Keuangan: Novita KS (Accoun­ting), Megawati (Kasir), Liza Elvistia, Bagian Umum & Personalia: Soleh Rofiki (Kabag), Rusanna Watir, Edi Erlani, Wahyu Harga Langganan: Rp 87.500,- per bulan (dalam kota), Harga Eceran: Rp 3.500,- (Luar kota tambah ongkos kirim). Tarif Iklan Umum/Display Hitam Putih: Rp 30.000,- per mm kolom, Iklan Full Colour: Rp 40.000,- per mm kolom, Iklan Full Colour Halaman 1: Rp 92.000,- per mm kolom, Iklan Baris: Rp. 9.000 per baris. Nomor Rekening PT Jambi Independent Press; BNI Cabang Jambi No: 0069879445, BCA Cabang Jambi: 119.1327000, Danamon Cabang Jambi: 008251019, BII Cabang Jambi : 3564. Penerbit: PT Jambi Independent Press, Komisaris Utama: HM Alwi Hamu, Komisaris : Ny Hj Miarni S Watir, Ny Hj Sri Nurbani Retno Watir, Dwi Nurmawan, Direktur Utama: H Suparno Wonokromo, Direktur: Ali Fauzi. Percetakan: PT Jambi Press Intermedia. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

jambi_inde@yahoo.com npECERAN: Rp. Independent 3.500,Wartawan Jambi dilarang menerima uang maupun barang dari sumber berita

p Wartawan Jambi Independent dibekali ID card/surat tugas yang selalu dikenakan saat bertugas

www.jambi-independent.co.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.