2 JURNAL GURU Yang Tegas Dong Pak! Oleh: Zuhlifar Arrisandy PERNYATAAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kisruh Polri dan KPK, sama sekali tak memuaskan. Ketegasan presiden yang diharapkan rakyat Indonesia, bisa menghentikan pertikaian dua lembaga penegak hukum itupun ibarat jauh panggang dari api. Sikap presiden ini langsung memantik reaksi, bahwa dia tak berpihak sepenuhnya pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Padahal, hampir seluruh komponen masyarakat di negeri ini mulai satu suara ramai-ramai menyuarakan #SAVEKPK, SAYAKPK, dan lain sebagainya. Maka jangan salahkan jika kemudian, peristiwa penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri, benar-benar merefleksikan babak awal cicak vs buaya jilid III. Kendati, dibantah keras oleh petinggi Polri, yang menganggap penangkapan itu personal dan tak ada hubungannya dengan kedudukan BW di KPK, publik terlanjur menganggapnya sebagai upaya balas dendam. Utamanya, terkait kegigihan BW menyidik persoalan rekenening gendut Komjen Budi Gunawan. Inilah ujian sebenarnya bagi Presiden Jokowi. Jika tetap membiarkan kriminalisasi terhadap KPK, kepercayaan rakyat terhadapnya pasti akan kembali terjun bebas. Performa ketegasan Presiden Jokowi, sebenarnya bertaburan jempol, ketika tak bergeming melakukan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba, Minggu (18/1). Apalagi, Presiden Jokowi sama sekali tak terpengaruh tekanan dari negara asing, yang warga negaranya dieksekusi. Ironisnya tak sampai sepekan, acungan jempol itu kembali terkepal. Ketidaktegasan Presiden Jokowi menyelesaikan penangkapan BW, dianggap membiarkan kriminalisasi pada lembaga antirasuah. Tak salah pula, lalu ada yang membandingkan sikap Presiden Jokowi dengan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghentikan polemik ‘cicak vs biaya I’ dan ‘cicak vs buaya II’. Perseteruan antara KPK dengan Polri memang bukan kali ini saja terjadi. Di masa pemerintahan SBY, pernah dua kali terjadi kasus yang akhirnya dianalogikan dengan cicak vs buaya itu. Pertama Juli 2009, berawal dari isu penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim saat itu, Komjen Susno Duadji. Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi, saat Bareskrim Polri menahan dua Wakil Ketua KPK; Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi. Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, SBY pun angkat bicara. Menurut SBY ada sejumlah permasalahan di ketiga Lembaga Penegak Hukum saat itu yakni Polri, Kejaksaan Agung dan KPK. Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu, langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brimob mengepung gedung KPK. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara. Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, maka kasus cicak vs buaya jilid II tidak akan terjadi. Hari ini kasus cicak vs buaya kembali terulang. Sebelas hari setelah KPK menetapkan Komjen Budi sebagai tersangka, Kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto. Ketegasan Presiden Jokowi sebagai kepala negara dinanti seluruh rakyat. Akankah kasus cicak vs buaya berakhir? Semoga. (*)
BAGI guru yang ingin karya tulisnya diterbitkan di halaman ini, bisa dikirim melalui email rateg2000@yahoo.com. Sertakan juga foto dengan pose santai. Terima kasih.
RADAR TEGAL SABTU, 24 JANUARI 2015 website: radartegal.com, epaper: epaper.radartegal.com
Etika Penunjukan Pejabat Publik Oleh: Masdar Hilmy TINDAKAN Jokowi mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman menuai banyak kritik dan tanggapan. Tindakan tersebut dinilai banyak pihak dapat mencederai rasa keadilan. Namun demikian, tidak banyak yang menilai tindakan Jokowi sebagai mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) untuk menangkal intervensi dan hegemoni politik dari pihak-pihak tertentu yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Jika dirunut ke belakang, pencalonan BG sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari cerita sukses Jokowi menjadi RI1. Sebagaimana dimaklumi, dalam dunia politik berlaku adagium ’’nothing is free lunch’’ (tidak ada yang gratis dalam dunia politik). Tentu saja naiknya Jokowi tidak bisa dilepaskan dari dukungan tim suksesnya, termasuk para petinggi parpol. Dalam konteks inilah, Jokowi berada pada posisi dilematis, antara menerima dan menolak BG yang konon diaspirasikan salah seorang petinggi parpol. Dalam konteks ini, mungkin saja Jokowi secara pribadi tidak berkeinginan mencalonkan BG sebagai Kapolri. Dia bukan tidak tahu sama sekali rekam jejak BG dengan kepemilikan rekening gendut dan sejumlah transaksi ilegalnya. Namun, karena tekanan dari berbagai arah, dia tidak kuasa
menolak pilihan yang bukan pilihannya. Dengan kata lain, pencalonan BG dapat dimaknai sebagai ’’perlawanan elegan’’ terhadap tekanan-tekanan dimaksud. Dia tahu pilihannya pasti akan menghadapi tembok tebal KPK. Artinya, dengan sadar Jokowi telah ’’mengorbankan’’ reputasinya demi idkhal al-surur (baca: menghibur) pihak-pihak yang berkepentingan. Alhasil, Jokowi telah mengambil langkah tepat untuk menyelamatkan wibawa hukum dengan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Namun demikian, Jokowi masih membutuhkan satu langkah lagi untuk melakukan penyelamatan sempurna: membatalkan pencalonan BG untuk kemudian memilih dan melantik Kapolri definitif yang tidak tersangkut kasus hukum. Pencalonan BG menegaskan bahwa politik tidak pernah bebas dari tarik-menarik kepentingan dan intervensi ’’tangan-tangan tak tampak’’ (invisible hands). Para penyokong Jokowi di parpol merasa telah ’’berinvestasi’’ atas kemenangan Jokowi sebagai RI-1 dan sekaranglah saatnya mereka menagih janji atas jasa-jasa yang telah ditanamkan. Salah satu cara paling populer untuk menagih janji adalah ’’meminta’’ posisi tertentu di struktur pemerintahan seperti posisi menteri atau posisi di lembaga-lembaga negara lainnya.
Pada susunan Kabinet Kerja, misalnya, PDIP sebagai parpol pengusung Jokowi merasa kecewa karena hanya mendapatkan jatah empat menteri, sama dengan PKB dan Nasdem (Jawa Pos, 27 Oktober 2014). Menurut salah seorang anggota Fraksi PDIP di DPR, Tubagus Hasanudin, sebagai parpol pemenang pemilu PDIP mestinya memperoleh lebih banyak jatah menteri ketimbang dua parpol tersebut. Berdasar perolehan suara DPR pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP meraih 109 kursi, sementara PKB ’’hanya’’ meraih 47 kursi dan Nasdem 32 kursi. Kekecewaan semacam ini bisa saja menstimulasi sejumlah elite PDIP untuk mengintervensi presiden dalam penunjukan pejabat publik. Intervensi parpol dalam penunjukan pejabat publik mengindikasikan belum dewasanya elite parpol kita. Jabatan publik masih dimaknai sebagai bagi-bagi kekuasaan yang sebanding dengan perolehan suara di DPR. Mestinya parpol menyadari bahwa era sudah berbeda. Konsekuensinya, jabatan publik merupakan amanah yang harus ditunaikan secara bertanggung jawab dan akuntabel, bukan untuk dibagi-bagi. Pemahaman semacam ini penting bagi elite parpol mengingat posisi Kapolri bukan jabatan yang pertama dan terakhir, tetapi akan ada banyak jabatan publik lain yang proses pemilihannya melalui
hak prerogatif presiden. Dalam konteks inilah perubahan paradigmatik dalam melihat entitas politik menjadi sine qua non bagi para elite politik kita. Politik bukan lagi medan untuk meraih kekuasaan, tetapi ’’the authoritative allocation of values’’ (David Easton, 1953: 129). Artinya, politik tiada lain adalah sarana menebarkan nilai-nilai adiluhung kepada masyarakat luas melalui pos-pos yang ada di struktur pemerintahan atau kenegaraan. Yang dimaksud dengan nilai-nilai adiluhung adalah keadilan, kejujuran, kesederajatan, persamaan hak, penghargaan terhadap sesama manusia, toleransi, dan semacamnya. Dengan memahami posisi Jokowi dalam mencalonkan BG, bukan berarti tindakan tersebut dapat dibenarkan secara etika politik. Sebelum Jokowi menempuh prosesproses pengajuan nama, harus ada mekanisme pra pencalonan yang dapat memverifikasi tingkat kelayakan nama tersebut. Artinya, pengajuan BG sebagai calon tunggal Kapolri merupakan tindakan politik yang tidak etis. Mestinya, sebelum mengusulkan BG, Jokowi mengambil langkah serupa ketika menyusun anggota Kabinet Kerja dengan mengklarifikasi rekam jejak BG kepada KPK dan PPATK. Tetapi, langkah itu tidak dilakukan Jokowi. Buntutnya, muncullah kritik dan kontroversi.
Demi memenuhi prinsipprinsip etis, presiden semestinya perlu mempertimbangkan tiga klaster kriteria dalam setiap penunjukan pejabat publik; (1) integritas; (2) kompetensi, dan (3) loyalitas. Prinsip integritas meliputi analisis yang serius dan mendalam terhadap rekam jejak seorang calon pejabat; apakah ditemukan unsur-unsur pelanggaran hukum selama yang bersangkutan menempati posisi sebelumnya. Ini menjadi prinsip fundamental yang dapat mengalahkan prinsip kedua, kompetensi, karena keberlangsungan hidup institusi yang dipimpinnya terletak sepenuhnya di pundak sang calon. Jika dalam analisis presiden ditemukan unsur-unsur yang melawan hukum, presiden dapat segera mengambil tindakan tegas berupa pembatalan atau pencoretan sebelum pencalonan. Yang patut disayangkan, Jokowi bukan tidak tahu sama sekali rekam jejak BG. Tetapi, mengapa dia bersikeras mencalonkannya? Hanya ketika seorang calon pejabat publik lolos uji integritas, presiden bisa masuk ke klaster kedua, kompetensi. Pada poin ini, presiden dapat memeriksa kecakapan seorang calon pejabat publik dalam melaksanakan tugas-tugas kelembagaannya. (**) *) Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Tahun Pembuktian Ekonomi Rakyat (Bag.2-Habis) Oleh: Mukhamad Misbakhun*) DALAM RAPBNP 2015, pemerintah memperkirakan pendapatan perpajakan mencapai Rp 1.484.589,3 miliar. Perkiraan itu meningkat Rp 104.597,7 miliar atau 7,6 persen jika dibandingkan dengan target APBN 2015. Hal itu cukup menggembirakan, mengingat penerimaan pajak menjadi salah satu nomenklatur penting dalam postur APBN. Dalam satu dekade terakhir ini, hanya tiga kali realisasi penerimaan pajak mencapai target APBN, yakni 2004, 2005, dan 2006. Selebihnya, sejak 2007, penerimaan pajak tidak kunjung mencapai target. Bahkan, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak 2014
jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya berkisar 10 persen. Kebijakan pendapatan perpajakan dalam PDB sebesar 13,5 persen sebenarnya masih berada di bawah tax ratio negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income countries) yang mencapai 17,7 persen. Masih rendahnya tax ratio menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak selama ini dari sektorsektor ekonomi belum optimal. Sementara itu, penerimaan pajak yang rendah akan berimplikasi terhadap kebijakan fiskal, terutama dalam
pembiayaan program-program strategis seperti jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Untuk mencapai target, pemerintah berencana melakukan beberapa terobosan kebijakan. Yakni; 1) perbaikan administrasi pendapatan pajak melalui penerapan e-tax invoice dan pengawasan PKP serta intensifikasi penanganan pengguna dan penerbitan faktur pajak fiktif; 2) perbaikan regulasi yang terkait dengan penerimaan pajak, khususnya PPh, PPN, dan PPnBM; 3) peningkatan penegakan hukum melalui intensifikasi dan perbaikan pemeriksaan atas wajib pajak serta sektor usaha
tertentu; 4) ekstensifikasi tambahan wajib pajak baru dan PPN kegiatan membangun sendiri; juga 5) optimalisasi pelaksanaan kebijakan kepabeanan dan cukai sebagaimana dalam APBN 2015 (patut diapresiasi seiring dengan peningkatan kapasitas perekonomian Indonesia). Meski demikian, apresiasi atas upaya pemerintahan Presiden Jokowi tersebut perlu didukung dengan langkahlangkah strategis, rasional, dan terukur, khususnya dalam rangka mengawal kebijakan sektor perpajakan. Langkah pertama adalah penguatan kelembagaan perpajakan. Kedua, reformasi ke-
bijakan. Diperlukan revisi terhadap UU Perpajakan, terutama diarahkan pada, antara lain, penggalian potensi penerimaan pajak dengan memperluas subjek dan objek pajak, perbaikan sistem transparansi dan pelayanan pajak, serta penyesuaian tarif. Juga penguatan integritas dan kode etik aparatur pajak; penguatan kelembagaan; penguatan sistem pengawasan secara internal maupun eksternal; pencegahan praktik tax avoidance, tax evasion, dan transfer pricing; serta penguatan sistem pengadilan pajak. (**)
Diaku Mboten Sih?
Baru Diperbaiki, Rusak
ta melas nemen. Wis gajie sacuil di bawah UMR, seneng-seneng olih sertifikasi, kepala sekolae saenake dewek kabeh. Perangkat ora diurusi sekolah, ditanggung dewek-dewek kabah.
Terus olih sertifikasi dikon bantu iuaran gedung. Jaluke maning ora kira-kira. Tulung oh Bunda Sitha sing apik ati, ditulungi ndele. Matur suwun. 081911572699
Assalamualaikum wr. wb. Badhe nderek ngresula, Balai Desa Sidaharja Kecamatan Suradadi tah sae nglankungi saene kantor kecamatan. Tapi margi sak lere balai dusun, kalih galeng teng sawah malah sae galenge. Pripun nggih, kok mboten kesentuh sekedik mawon penggalihe bapak-bapak sing nggagem pakean dines niku. Nopo melih, sakniki menawi jawoh ageng sekedik, mesti kebanjiran. Herane malih, rakyat kebanjiran kalih kesusahan mboten ketang supermi setuggal mboten wonten sing maringi. Dongen diaku nopo mboten nggih. Matur nwun. 082226704554
Yth Kabid Binamarga Brebes, jalan arah ke Sawojajar sebagian sudah diperbaiki. Tapi kok sebagian lagi masih seperti kubangan kerbau? Yang ditambal, saat ini aspalnya sudah mengelupas. Padahal belum lama pengerjaannya. Bagaimana nih Pak? Coba dicek di lapangan. 08122740429
*) Anggota Komisi XI DPR
Sakepenake Dewek Numpang lewat Kang Jon. Jebule dadi guru swas-
Anda pernah merasa tidak puas dengan pelayanan publik? Anda pernah kecewa karena mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya dari instansi tertentu? Layangkan perasaan Anda ke rubrik Ngresula ini via SMS ke 082220810043, email rateg2000@yahoo.com atau melalui surat ke Radar Tegal Jalan Perintis Kemerdekaan No. 32 Tegal. Tulis dengan bahasa yang sopan atau bisa juga menggunakan bahasa Tegalan. Isi ngresula mutlak menjadi tanggung jawab pengirim SMS, email, dan surat. Dapatkan Kaos Ngresula, yang berisi SMS Ngresula pilihan (hanya Rp 60.000/pcs). Pendiri: H. Mahtum Mastoem (Alm), Penasihat: Dahlan Iskan, Komisaris Utama: HM Alwi Hamu, Komisaris: Lukman Setiawan, Dwi Nurmawan, Dirut: Yanto S. Utomo, Direktur: Moh. Sukron. Pemimpin Umum: Moh. Sukron. Pemimpin Redaksi: M. Sekhun. Wakil Pemimpin Redaksi: Wawan Setiawan. Redaktur Pelaksana: Zuhlifar Arrisandy. Koord. Liputan: M. Fathurrohman. Redaktur: Embong Sriyadi, Khikmah Wati, Laela Nurchayati, Adi Mulyadi. Kota Tegal: Rohman Gunawan, Abidin Abror, Agus Wibowo, K. Anam Syahmadani. Brebes: Harian Pertama Kebanggaan Wong Tegal Hervianto, Ismail Fuad. Bumiayu: Teguh Supriyanto. Slawi: Hermas Purwadi, Yeri Novelli, Muh. Fatkhudin. Pemalang: Moh. Khasanudin (Kepala Perwakilan), Agus Pratikno, M. Ridwan, Siti Maftukhah. Pekalongan: Ade Asep Syarifuddin. Pracetak: Feri Setiawan (Koordinator), M Yahya, Dedy Irawan, Dwi Nanda P, Asep Ariadi S, Rizki Fauzan. Desain Iklan: A.Sekhudin. Iklan: Taufiq Ismail (Manager), Kharisma Dewi, Arifudin Yunianto, Riyanto Harjo, Teguh Widodo Nawawi, Agus Mutaalimin, Indani Dwi Oktina, Wahyudi. Event/Off Print: Wahyu Suroto. Pemasaran: Sunarjo (Manager), Wahyu Subagyo, Umaman Sahareka, Muslih, Zaenal Muttaqin, Rokhim. Keuangan: Yela Ramadiah (Manager), Dwi Titi Lestari (Perpajakan), Lita Rahmiati, Astri Prayudita, Syafriani Maulidah, Mubin, Djuhaeri Effendi, Moh. Erlin, Imron Rosyadi. HRD: Hesti Prasetyani. Manager Cetak Komersil: M. Abduh. Alamat Redaksi/Pemasaran/Tata Usaha: Jl. Perintis Kemerdekaan Tegal telp. (0283) 340900 (hunting), fax (0283) 340004. Jakarta: Ferdinansyah, Eko Suprihatmoko. Alamat: Komp. Widuri Indah Blok A-3 Jl. Palmerah Barat No 353, Jakarta 12210 Telp (021) 5330976, 5333321 Fax: (021) 5322629. Eceran: Rp 3.000/eks. Percetakan: PT Wahana Java Semesta Intermedia Kompleks LIK Dampyak -Tegal. Tarif Iklan: Umum/Display: Rp 30.000/mm kolom, Sosial/Keluarga: Rp 17.000/mm kolom, Iklan Baris Laris: Rp 20.000/baris, Iklan Colour: Rp 40.000/mm kolom. Semua wartawan Radar Tegal dilengkapi tanda pengenal/ Iklan halaman 1 (depan): Rp 80.000/ mmk. Tarif + 200%, Creative ad: Tarif + 50%. NPWP: No: 01.994.052.7-511.000. Bank: Bank Mandiri Cab. Tegal a.n. PT surat tugas dan tidak dibenarkan meminta/menerima Wahana Semesta Tegal No. Rek: 139.0002152787. Bank Jateng Cab. Tegal No. Rek: 1.004.02598.5 a.n. PT Wahana Semesta Tegal. imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber. Percetakan Radar Tegal menerima cetak komersil untuk koran, tabloid, majalah, buku, LKS, dll.