Inovasi-Vol11-Jul2008

Page 1


Majalah INOVASI ISSN: 0917-8376 Volume 11/XX/Juli 2008 EDITORIAL

1

TOPIK UTAMA 1.

50 Tahun hubungan Indonesia-Jepang: Refleksi terhadap Implementasi ODA Jepang

3

di Indonesia 2.

Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepang dalam Sektor Perikanan

15

3.

Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Jepang dan Proposal Pengembangan IKM

21

Nasional 4.

Golongan Karya dan the Liberation Democrat Party: Sebuah Telaah Singkat

25

Perbandingan the Rulling Party di Indonesia dan Jepang 5.

Sistem, Proses dan Perkembangan Anggaran Pemerintah Jepang: Apa yang bisa

36

dipelajari? 6.

Transfer Teknologi pada Sektor Industri Manufaktur Indonesia: Menelaah 50 Tahun

41

Hubungan Persahabatan Indonesia-Jepang

IPTEK 1.

Potensi Kerjasama Indonesia - Jepang di Sektor Industri dan Energi Khususnya untuk

46

Pengembangan Industri Photovoltaic 2.

Prospek Energi dari Sekam Padi dengan Teknologi Fluidized Bed Combustion

54

3.

Potret Dan Hambatan E-Government Indonesia

60

KESEHATAN 1.

Lession Sterilization and Tissue Repair Therapy: Revolusi dalam Pengobatan Gigi

66

2.

Induced Pluripotent Stem-cells

70

3.

Chimera

73

NASIONAL 1.

Hukum Kewarganegaraan dan Status Orang Asing di Jepang

78

2.

Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengelolaan Dana Pensiun dan Sistem Perpajakan

84

3.

Ketidakberdayaan terhadap Suap

87


HUMANIORA 1.

Toponimi, Bukan Hanya Tata Cara Penulisan Nama Unsur Geografis

91

2.

Bekerja Di Perusahaan Jepang

95

LIPUTAN 1.

Wawancara dengan Bapak Jusuf Anwar, Duta Besar RI Untuk Jepang

98

2.

50 Tahun Kita Bersahabat

102

3.

Laporan Workshop Studi Potensi Minyak Dan Gas Di Pantai Barat Nanggroe Aceh

104

Darussalam 4.

SAST 2008 : dari EPA Indonesia-Jepang, Fitur Kebijakan Pangan Negara-negara ASEAN, Perspektif Lingkungan dalam Pertanian, hingga Pengembangan SDM Pertanian

108


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

EDITORIAL

50 Tahun Hubungan Indonesia-Jepang Oleh: Sorja Koesuma Tahun 2008 menandai hubungan Indonesia Jepang yang telah berumur 50 tahun. Momentum bersejarah ini dimulai pada tanggal 20 Januari 1958, ketika kedua negara bersepakat untuk menjalin hubungan diplomatik. Peringatan 50 tahun Hubungan Indonesia – Jepang digelar di Sasono Langen Budaya Taman Mini Indonesia Indah pada Hari Minggu, 20 Januari 2008 yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta istri, Ibu Ani Yudhoyono dan Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito. Sejarah mencatat sejumlah kerjasama menguntungkan dalam berbagai bidang yang telah dilakukan kedua negara. Dengan potensi kekayaan alam yang dimilikinya, juga populasi penduduk yang besar, Indonesia merupakan negara sumber pemasok bahan dasar industri sekaligus pangsa pasar produk Jepang. Sebaliknya, Jepang sebagai negara dengan kepesatan laju teknologinya dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam mengembangkan teknologi untuk mempercepat laju pembangunannya. Majalah INOVASI ONLINE edisi kali ini mengangkat tema peringatan 50 tahun hubungan Indonesia Jepang yang disajikan dalam beberapa artikel menarik dalam Rubrik Topik Utama. Bagaimana memandang bijak hubungan kerjasama yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dianalisa secara menarik dan seimbang dengan menyajikan sisi positif dan negatif yang muncul dari bentuk kerjasama selama ini. Bantuan pendanaan kegiatan pembangunan yang diberikan Jepang selama ini telah menempatkannya sebagai negara penyumbang terbesar bagi Indonesia. Salah satu bentuk bantuan tersebut adalah Official Development Assistance (ODA). Analisa terhadap sejarah keberadaan ODA menjadi bahasan yang menarik, dengan adanya fakta bahwa secara kuantitatif menunjukkan nilai ODA meningkat namun secara kualitatif tidak demikian. Selain itu dengan besaran nilai ekspor kekayaan laut Indonesia ke Jepang, perlu dicermati dengan kemungkinan munculnya dampak negatif dan krisis kelangkaan kekayaan laut sebagai akibat pemanfaatan yang tidak bijak. Sebagai negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang cepat, Jepang dapat menjadi wacana dalam pengelolaan ekonomi nasional Indonesia. Analisa tentang sistem penyususnan anggaran belanja negara di Jepang menunjukkan adanya keunikan karena tidak mengikuti standar internasional. Terlepas dari adanya kelemahan sistem ini, banyak kelebihan yang bisa dipelajari dan dipikirkan kemungkinan pengembangannya di Indonesia. Kemajuan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Jepang yang menopang pertumbuhan ekonomi nasionalnya adalah wacana yang menarik untuk pengembangan IKM di Indonesia. Untuk itu studi tentang hal ini sangat diperlukan. Penandatanganan Japan-Indonesia Partnership Agreement (JIEPA) pada bulan Agustus 2007, menandai era baru yang memperkuat hubungan bilateral kedua negara. Tidak saja dalam tercapainya kesepakatan pengaturan mobilisasi tenaga kerja kedua negara, tetapi cakupan kerjasama meluas dengan perjanjian ini. Termasuk di dalamnya kerjasama dalam bidang teknologi. Kupasan tentang transfer teknologi dari Jepang kepada Indonesia dikaitkan dengan budaya, tradisi dan nilai-nilai sosial yang dimiliki kedua negara disajikan secara ringan. Dalam bidang politik terlihat adanya kesamaan dalam gerakan dan aktivitas partai di Jepang dan Indonesia. Analisa menarik tentang Partai Golkar dan LDP di Jepang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

1


EDITORIAL

INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

memperlihatkan bahwa kedua negara dapat bersama-sama saling mengisi untuk menjadi dewasa dalam membawakan suara rakyat dalam ranah politik. Seperti biasa, Majalah INOVASI juga menyajikan beberapa tulisan menarik dari aspek IPTEK, kesehatan, , hukum, dan humaniora. Rubrik IPTEK kali ini menyajikan tiga tema menarik tentang pengembangan dan pemanfaatan renewal energy, mengingat kelangkaan energi menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia. Kemungkinan kerjasama pengembangan energi tenaga surya atau photovoltaic dikupas secara rinci. Tulisan kedua masih berkaitan dengan penghematan energi dan upaya pengurangan emisi CO2 dengan memanfaatkan energi biomassa dari sekam padi. Upaya penghematan dan pengefisiensian kinerja tidak saja dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam pelayanan publilk. Kajian tentang pengembangan e-government di Indonesia dikemukakan dengan menampilkan kekiniaannya. Rubrik Kesehatan menampilkan tiga tulisan yaitu, pengembangan revolusioner metode pengobatan gigi yang dikembangkan di Niigata University, penemuan terbaru dalam bidang mikrobiologi yaitu pengembangan iPS cell yang berfungsi untuk mengubah sel kulit menjadi stem cell, yang kelak akan dapat dikembangkan pula menjadi sel-sel organ tubuh lainnya, dan tulisan terakhir dalam rubrik ini tentang sebuah fenomena medis yang langka dan bersejarah, fenomena chimera. Rubrik Nasional menyajikan wacana tentang upaya perbaikan pelayanan publik di kedua negara, yaitu uraian tentang sistem kewarganegaraan di Jepang, pengelolaan pajak dan dana pensiun yang nyata kemajuannya dan manfaatnya di negara maju seperti Jepang, juga sebuah fakta menarik tentang suap menyuap dalam penegakan keadilan dan hukum di Indonesia yang disajikan dalam tulisan terakhir pada rubrik ini. Kelangkaan suap menyuap di Jepang hendaknya dapat menjadi teladan bagi politikus di Indonesia untuk mengedepankan fairness dan transparansi dalam penegakan hukum. Rubrik Humaniora menampilkan ulasan menarik tentang toponimi, tata cara penamaan wilayah yang dikaitkan dengan kajian antropologi, geografis, budaya dan sejarah. Pemekaran daerah dalam era OTDA di Indonesia selayaknya diikuti dengan penamaan yang memperhatikan unsur-unsur tersebut. Sebuah tulisan ringan tentang budaya bekerja antara orang Jepang dan Indonesia mengungkapkan adanya ketidaksepahaman yang muncul karena perbedaan budaya antar kedua pihak. Oleh karena itu perlu restruktrurisasi manajemen untuk menjembatani perbedaan budaya tersebut. Edisi kali ini juga memuat liputan seputar wawancara tentang 50 tahun hubungan Indonesia Jepang dengan Bapak Dubes RI untuk Jepang, laporan pandangan mata tentang kegiatan peringatan 50 tahun hubungan Indonesia Jepang di Nagoya yang ditulis oleh seorang Jepang, peminat dan pelopor pengembangan budaya Indonesia, khususnya tari Bali yang berlokasi di Nagoya. Dua buah liputan workshop/seminar, yaitu Workshop Studi Potensi Minyak dan Gas Bumi di Aceh yang diselenggarakan oleh PPI Nagoya, dan Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) yang diselenggarakan oleh Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA) Tokyo di University of Agriculture, Tokyo, Jepang disajikan di bagian akhir rubrik ini. Persahabatan antara kedua negara yang sudah berusia 50 tahun selayaknya merupakan persahabatan yang dilandasi oleh kearifan dan kedewasaan. Hubungan yang tidak saja sekedar hubungan bisnis yang saling menguntungkan, tetapi sudah sepantasnya dikembangkan kepada persahabatan di level yang lebih substantial, yaitu pemahaman yang baik antara budaya dan karakter rakyat kedua negara. Selamat membaca !

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

2


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

UTAMA 50 TAHUN HUBUNGAN INDONESIA-JEPANG: REFLEKSI TERHADAP IMPLEMENTASI ODA JEPANG DI INDONESIA Asra Virgianita Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI & Peneliti di Pusat Studi Jepang UI E-mail :asrahiui@ui.ac.id /asra_virgianita@yahoo.com 1. Pendahuluan Tahun 2008 merupakan momen penting bagi hubungan Indonesia-Jepang, karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun hubungan kedua negara. Tak dapat dipungkiri bahwa Jepang, melalui kebijakan bantuan luar negerinya khususnya Official Development Assistance (ODA), berperan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Begitupun sebaliknya, Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi Jepang, negara penyedia minyak, gas bumi dan sumber daya alam telah menempatkannya sebagai negara yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Jepang. Selain itu, sebagai salah satu negara yang berpenduduk cukup besar dan berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mempunyai arti penting bagi Jepang dalam kerangka keamanan kawasan. Lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang bukan merupakan waktu yang singkat dan dilewati dengan mudah. Pasang surut juga mewarnai perjalanan hubungan kedua negara. Berkaitan dengan ODA, sejak tahun 1989 jumlah bantuan Jepang melebihi jumlah bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat yang notabene adalah negara super power. Jepang merupakan satu-satunya negara di Asia yang menjadi donor terbesar hingga saat ini. Walaupun demikian, sorotan terhadap ODA Jepang terus berlangsung, baik yang menyangkut kompleksitas administrasi/birokrasi, motif pemberian, trennya maupun berbagai kontroversi terhadap implementasi ODA Jepang baik di tingkat domestik maupun internasional. Sebagai salah satu negara penerima ODA Jepang terbesar, praktek ODA Jepang di Indonesia cukup banyak mendapatkan sorotan. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisa implementasi kebijakan ODA Jepang ke Indonesia, dengan memfokuskan pada distribusi bantuan ODA Jepang di Indonesia berdasarkan tipe dan sektor dengan membagi analisa pada dua pokok bahasan yaitu implementasi ODA di masa pemerintahan Soeharto dan setelah jatuhnya Soeharto. Tulisan ini diharapkan akan memberikan pemahaman tentang bagaimana kebijakan ODA Jepang di Indonesia, bagaimana respon, perubahan atau penyesuaian dalam menghadapi gejolak perubahan di tingkat domestik baik di Indonesia maupun Jepang, dan kondisi global. 2. Perspektif Bantuan Luar Negeri dan ODA Jepang The Development Assistance Committee (DAC) mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai aliran dana yang diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk membantu mengurangi keterbatasan dalam melakukan pembangunan. Keterbatasan tersebut mencakup keterbatasan keahlian (skill limitation), keterbatasan tabungan (saving limitation) dan keterbatasan dalam nilai tukar mata uang asing/keterbatasan pada cadangan devisa (foreign i exchange limitation). Dengan membantu mengurangi keterbatasan tersebut melalui aliran dana, negara penerima bantuan diharapkan dapat melakukan pembangunan ekonomi yang maksimal. Poin ini memberikan justifikasi bagi negara maju untuk memainkan peran dalam pembangunan negara berkembang melalui kebijakan bantuan luar negeri (foreign aid policy). Fenomena bantuan luar negeri banyak dianalisis dari berbagai sudut pandang. Kaum idealis melihat secara positif bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu keharusan bagi negara-negara maju untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan terbelakang. Di sisi lain, kaum realis melihatnya secara sinis bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu implementasi dari national interest negara donor, atau dengan kata lain sebagai alat bagi negara donor untuk mencapai tujuan ekonomi dan politik. Sementara itu kaum

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

3


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

strukturalis memandang bahwa bantuan luar negeri sebagai a tool of control untuk menjaga hubungan sosial dan politik yang tidak seimbang antara negara donor dan negara penerima bantuan. Implementasi ODA Jepang juga tidak luput dari kritik. David Arase memaparkan bahwa Jepang menggunakan ODA sebagai alat buying power atau membeli kekuasaan. Arase juga menggunakan istilah asli di Jepang untuk menyebut ODA yaitu keizai kyouryoku (kerjasama ekonomi), untuk memperlihatkan bahwa Jepang tidak melihat ODA sebagai bantuan (aid/assistance), tapi merupakan kerjasama ekonomi yang sarat dengan kepentingan bisnis dan ii ekonomi Jepang. Sementara itu, Sudarsono Harjosoekarto menyimpulkan bahwa ODA, investasi dan perdagangan merupakan komponen penting pembentuk hubungan ekonomi yang asimetris antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dikarenakan ketergantungan Indonesia kepada Jepang lebih besar daripada ketergantungan Jepang kepada Indonesia. Hubungan asimetris tersebut dicirikan oleh status Jepang sebagai donor ODA terbesar di Indonesia, Jepang sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta Jepang sebagai sumber investasi asing dan teknologi iii yang penting bagi Indonesia. Berbeda dengan Sudarsono, Thee Kian Wie melihat interaksi antara bantuan dengan investasi asing dari Jepang dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia. Selain itu program pinjaman yang dianggarkan oleh Overseas Economic Cooperation Fund (telah berganti nama menjadi Japan Bank for International Cooperationa/JBIC) dialokasikan juga untuk membantu pembiayaan bagi sektor swasta Jepang iv yang akan berinvestasi pada proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia. Sedangkan dalam hal kerjasama teknis dan hibah, melalui institusi yang dinamakan JICA (Japan International Cooperation Agency), selain menyediakan pinjaman berbunga rendah, JICA juga menyediakan bantuan pelaksanaan survey dan konsultasi teknis bagi sektor swasta yang akan menanamkan inverstasinya di Indonesia. Bagi Thee, program-program tersebut pada akhirnya membantu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang berusaha menarik investor-investor asing dalam rangka mengembangkan industri berorientasi ekspor. Hampir senada dengan Thee, Ohno juga menggambarkan secara positif kebijakan ODA Jepang. Menurut Ohno, ada dua faktor historis yang membuat visi bantuan dan pembangunan Jepang berbeda dengan negara donor lainnya, yaitu, pertama, Jepang merupakan satu-satunya negara donor yang non barat dengan sejarah kesuksesan industrialisasi. Jepang berhasil mengatasi kehancuran setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dengan menguatkan manufacturing base yang berkontribusi dalam perdagangan dan investasi yang kemudian mampu mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan. Kedua, keputusan Jepang setelah perang untuk menolak penggunaan kekuatan militer menekan ODA berperan sebagai v alat diplomasi. Jepang juga mempunyai keunikan dalam pembagian distribusi ODA yang besar, yaitu berupa pinjaman. Hal ini didasari argumen bahwa loan aid dapat memobilisasi sumber daya yang lebih besar seperti membiayai proyek infrastruktur yang berskala besar. Di saat bersamaan, dituntut juga kedisiplinan negara penerima dalam mengatur kemampuan hutang (debt management capacity) dan tanggung jawab donor untuk menjamin keberlanjutan proyek yang dijalankan. Lingkup waktu dari hubungan donor-resipien relatif lebih lama di bawah skema vi loan aid, yang menuntut pembagian tanggung jawab negara donor-resipien. Selain itu di antara berbagai negara donor di dunia, ODA Jepang memiliki paling tidak 2 vii kekhasan, yaitu menganut prinsip sel help effort dan small government.

1. Self Help Effort Prinsip ini dapat dikatakan merupakan karakter paling penting yang dimiliki oleh ODA Jepang. Kemunculan asas ini didasarkan pengalaman Jepang dalam membangun perekonomiannya dengan penerapan asas self help. Adapun yang dimaksud dengan asas self help adalah pemberian bantuan atas permintaan negara resipien (request based aid), dan tidak ada unsur politik (conditionality). Akan tetapi mengingat bahwa bantuan luar negeri juga dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan negara donor, pelaksanaan request based aid sesungguhnya perlu dipertanyakan, apakah benar-benar telah dilaksanakan berdasarkan kebutuhan negara Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

4


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

penerima bantuan. Kasus pembangunan waduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah tahun viii ix 1985-1989 dan proyek bendungan di Koto Panjang, Padang yang di danai oleh ODA Jepang dan selesai dibangun pada tahun 1997, merupakan dua contoh kasus yang dipandang lebih bernuansa bisnis yang sarat dengan praktek korupsi, ketimbang mementingkan kebutuhan negara penerima bantuan. Terkait dengan penerapan conditionality dalam pemberian bantuan, tidak seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang sangat kental dengan political aid x conditionality , Jepang termasuk negara yang dalam pelaksanaan ODA tidak memberlakukan prasyarat atau kondisi-kondisi tertentu (non conditionality). Hal ini seringkali menuai kritik, karena Jepang dianggap tidak serius dalam menerapkan ODA Charter tahun 1992, dengan jelas menyebutkan bahwa ODA Jepang akan mempertimbangkan pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negara penerima bantuan. Seperti pada peristiwa Dili tahun 1991, sementara negara donor lainnya seperti AS mengancam akan menghentikan bantuannya ke Indonesia, Jepang malahan meningkatkan bantuannya pada tahun berikutnya. 2. Small Government Small government yang dimaksud disini adalah kecilnya persentase dana yang disediakan oleh pemerintah Jepang untuk pelaksanaan ODA yaitu hanya 0,35% dari pendapatan pemerintah. Hal ini berarti pendapatan pemerintah bukan merupakan sumber utama ODA Jepang. Sebagian besar dana ODA berasal dari pajak, dana pensiun dan tabungan pos. Dana-dana masyarakat ini dipinjam oleh pemerintah dengan bunga rendah, dan karena itu harus dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi tidak adanya praktek pemutihan utang dalam konsep ODA. Selain itu konsekuensi lain adalah komposisi ODA Jepang untuk proyek-proyek komersial jauh lebih besar daripada proyek-proyek sosial, hal ini xi dikarenakan proyek-proyek komersial dapat memberikan imbalan dengan cepat. Dalam pendistirbusiannya, ODA terdiri dari beberapa bentuk/tipe yaitu hibah (grants) dan pinjaman (loan). Hibah merupakan bentuk bantuan yang tidak harus dikembalikan atau tidak dikenakan bunga pembayaran), terdiri dari bantuan hibah (grant aid), kerjasama teknis (technical cooperation), dan kontribusi ke institusi international. Sedangkan pinjaman adalah bentuk xii bantuan yang mensyaratkan pengembalian dengan bunga dalam jangka waktu tertentu. Dalam menganalisa performa ODA, Nishigaki menyarankan pengukuran dilakukan dengan xiii memperhatikan beberapa elemen yaitu: 1. Performa kuantitatif, dengan menganalisa kuantitas ODA yang disalurkan dari waktu ke waktu (dinamika aliran dana ODA yang dialirkan dari negara donor ke negara penerima). 2. Performa kualitatif.; melakukan perbandingan proporsi ODA berbentuk hibah dengan ODA berbentuk pinjaman dari total dana ODA yang disalurkan. Semakin besar proporsi hibah dibandingkan pinjaman, maka makin tinggi kualitas bantuan tersebut. Pengukuran ini, seringkali terlihat sebagai suatu pengukuran yang sederhana yaitu hanya melakukan perbandingan antara jumlah pinjaman dan hibah yang diberikan, tanpa mengeksplorasi proses dan dampak proyek yang dibiayai dengan pinjaman dan hibah. Akan tetapi, pengukuran seperti ini minimal bisa memberikan gambaran tentang karakter negara donor. 3. Keterikatan bantuan; hal ini dikaitkan dengan penetapan persyaratan yang dilakukan negara donor kepada negara penerima, apakah negara donor mewajibkan penerima ODA untuk mengimpor barang dan jasa dari negara donor (tied aid) atau bisa dibeli dari negara donor maupun negara berkembang lainnya (partially untied) atau membebaskan negara penerima donor membeli barang dan jasa dari negara manapun. 4. Distribusi geografis; meninjau distribusi ODA di berbagai wilayah, sehingga dapat terlihat kawasan-kawasan yang mendapatkan porsi ODA terbesar, sedang, kecil atau tidak sama sekali. Khusus untuk ukuran ini, penulis melihat bahwa ukuran ini agak sulit diberlakukan dalam implementasi ODA Jepang, khususnya di Indonesia mengingat ODA Jepang dapat dikatakan tidak memiliki preferensi geografis. Preferensi ODA Jepang lebih pada kepentingan ekonomi, yaitu di mana ada peluang bisnis di situlah investasi akan ditanamkan. 5. Distribusi sektoral; meninjau distribusi ODA di negara penerima dengan melihat sektor-sektor (sosial, ekonomi, produksi, dan sebagainya) yang menjadi fokus penyaluran ODA suatu negara. Semakin besar nilai dan persentase ODA di suatu sektor, maka negara

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

5


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

donor tersebut dapat disimpulkan menfokuskan bantuannya dan memiliki interest pada sektor tersebut. 3. Implementasi ODA Jepang ke Indonesia 3.1 Masa Pemerintahan Soeharto (1967-1998) Dalam kebijakan pemerintahan Soeharto, ODA ditempatkan sebagai salah satu sumber dana yang penting dalam APBN. Kontribusi ODA mencapai seperlima dari jumlah total pendapatan negara, dan Jepang tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia dengan mengalokasikan 16% dari total ODA Jepang ke Indonesia. Sejak tahun 1987, Indonesia xiv termasuk negara terbesar yang menyerap ODA Jepang. Tabel 1 akan memperlihatkan pasang surut ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1967-1998. Tabel 1. Distribusi ODA Jepang di Indonesia 1966-1998 Hibah (Grants) Tahun Jumlah 1966

% dari Total/Tahun

0

(dalam milyar yen) Kerjasama Teknis Total/Tahun (Technical Cooperation)

Pinjaman (Loans)

0

Jumlah

% dari Total/Tahun

10.80 N/A

Jumlah

% dari Total/Tahun

N/A

Jumlah N/A

N/A 1967

0

0

34.38 N/A

Cumulative 1954-68: 0.86 N/A

29.47 N/A

N/A

1968

1.80 N/A

1969

3.60

10.79

29.32

87.88

0.44

1.32

N/A 33.36

1970

3.60

8.94

36.00

89.40

0.67

1.66

40.27

1971

3.60

4.61

73.59

94.32

0.84

1.07

78.03

1972

2.56

3.64

66.52

94.32

1.44

2.04

70.52

1973

2.88

1.96

142.78

96.99

1.54

1.05

147.20

1974

0.00

0.00

60.00

97.20

1.73

2.80

61.73

1975

0.74

1.14

61.62

95.20

2.37

3.67

64.73

1976

1.99

2.75

67.25

93.07

3.01

4.17

72.25

1977

3.53

5.59

55.50

88.02

4.03

6.39

63.06

1978

4.51

4.56

90.05

91.09

4.30

4.35

98.86

1979

5.78

5.84

88.00

89.00

5.10

5.15

98.87

1980

4.15

5.10

71.23

87.48

6.04

7.42

81.42

1981

6.41

9.09

58.00

82.28

6.08

8.63

70.49

1982

4.47

5.93

63.17

83.94

7.62

10.13

75.26

1983

8.06

9.73

67.50

81.47

7.29

8.79

82.85

1984

8.13

9.23

71.60

81.28

8.36

9.49

88.09

1985

8.12

8.82

75.40

81.93

8.51

9.25

92.03

1986

7.77

8.18

80.00

84.21

7.23

7.61

95.00

1987

8.27

7.93

88.00

84.37

8.04

7.71

104.30

1988

7.15

3.33

197.63

92.01

10.02

4.67

214.80

1989

8.15

4.16

178.41

90.93

9.64

4.91

196.20

1990

8.31

4.13

181.58

90.30

11.21

5.57

201.10

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

6


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

1991

9.69

5.34

161.25

88.93

10.38

5.72

181.31

1992

7.67

3.97

174.25

90.12

11.42

5.91

193.35

1993

7.60

4.32

158.04

89.80

10.35

5.88

175.99

1994

7.08

4.00

157.97

89.11

12.22

6.89

177.27

1995

6.72

3.56

170.07

90.07

12.03

6.37

188.82

1996

7.12

3.41

190.05

91.06

11.54

5.53

208.71

1997

9.33

3.94

215.25

90.87

12.31

5.20

236.89

1998 20.88

7.96

230.48

87.87

10.93

4.17

262.29

4.95

3,435.14

89.64

207.54

5.42

3832.34

Total

189.66

* N/A: Not Available Sumber: untuk hibah dan pinjaman, lihat Wagakuni no Seifu Kaihatsu Enjo: ODA Hokusho (ODA Annual Report), sedangkan untuk kerjasama teknis,lihat Kokusai Kyoryoku Jigyodan Nenpo (JICA Annual Report) 1969 – 1999, lihat Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor, 17.

Distribusi ODA Jepang ke Indonesia diawali pada tahun 1967, ketika pemerintahan Soeharto menerima ODA Jepang dalam bentuk pinjaman sebesar 10,80 milyar yen. Jumlah ini kemudian terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari data pada Tabel 1, secara keseluruhan proporsi pinjaman selalu mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia pada periode tersebut. Sementara kerjasama teknis dan hibah secara bergantian menempati prioritas kedua dan ketiga dalam pendistribusian ODA Jepang. Bahkan tercatat pada tahun 1974, porsi pinjaman mencapai 97% dari total ODA Jepang yang disalurkan ke Indonesia, sementara hibah sama sekali tidak mendapatkan porsi. Hal ini kemudian direspon oleh masyarakat anti Jepang dengan melakukan protes atas kebijakan tersebut. Pemerintah Jepang merespon protes tersebut dengan mengeluarkan doktrin Fukuda, yang diluncurkan oleh PM Takeo Fukuda. Doktrin Fukuda berisi inisiatif untuk mempererat hubungan antara Jepang dan negara-negara xv ASEAN. Pada tahun berikutnya ODA Jepang kemudian mengalami peningkatan yang signifikan, akan tetapi peningkatan tersebut tetap didominasi pinjaman yang mendapat alokasi 91% dari total bantuan di tahun 1978. Di tahun 1980, pemerintah Jepang memperkenalkan konsep comperehensive security policy (sogo anzen housho), yang menekankan penggunaan bantuan ekonomi sebagai alat untuk menjamin keamanan Jepang. Konsep ini semakin memperjelas fungsi dan motif ODA bagi Jepang, dan tentu saja membawa dampak pada pelaksanaannya. Periode ini kemudian ditandai dengan semakin besarnya ODA Jepang yang diarahkan ke negara-negara Asia Timur dan Tenggara. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode perluasan kepentingan ekonomi Jepang. Tidak hanya itu, secara politik, bantuan ekonomi Jepang pada periode ini juga ditujukan untuk membangun citra Jepang sebagai negara yang bersahabat. Di awal tahun 1990, seiring dengan berakhirnya perang dingin dengan kekalahan pada blok komunis, Amerika Serikat (AS) kemudian menjadikan isu demokrasi sebagai kunci kebijakan luar negerinya dan negara-negara sekutunya, termasuk dalam penyaluran ODA. Political conditionality menjadi prasyarat bagi negara-negara dalam menyalurkan bantuannya ke negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya adalah terlaksananya prinsip demokrasi, good governance dan hak asasi manusia. Jepang sebagai salah satu negara sekutu AS, mau tidak mau harus mengikuti kebijakan tersebut, yaitu dengan merumuskan ODA Charter tahun 1992 yang menyebutkan �Full attention should be paid to efforts for promoting democratization and introduction of a market oriented economy and the situation xvi regarding the scuring of basic human rights and freedom in the recipient countries.� ODA Charter 1992 kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Jepang dengan mengumumkan The Partnership for Democratic Development (PPD) pada bulan Juni 1996. Tujuan inisiatif tersebut adalah membantu negara resipien untuk mengembangkan berbagai aspek yang mendukung demokratisasi seperti

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

7


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

pengembangan sistem hukum dan pemilu serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Dengan PPD ini, pemerintah Jepang telah meluaskan bantuan keuangan dan teknis ke beberapa negara yaitu Kamboja, Filipina, Vietnam, xvii Uzbekistan, Pakistan, Polandia, El Savador dan Korea Selatan. Akan tetapi perumusan Piagam ODA dan keterlibatan Jepang dalam PPD kelihatannya tidak memberikan dampak pada distribusi ODA Jepang di Indonesia. Tabel 2 menunjukkan kegiatan-kegiatan pada sektor public works and utilities mendapatkan jumlah proyek yang lebih besar (54,12% dari total proyek) untuk bantuan dalam bentuk pinjaman pada tahun 1993-1998, daripada sektor-sektor lain, seperti kesehatan masyarakat (0% dari total proyek), pengembangan sumber daya manusia (9% dari total proyek), sektor jasa sosial (4% dari total proyek) dan 0,91% untuk program jaringan pengaman sosial.

Tabel 2. ODA Jepang di Indonesia Berdasarkan Sektor (1993-1998) Sektor

Jumlah Proyek 14

Pinjaman % Jumlah Bantuan 12,84 780.6

%

Jumlah Proyek 6

(dalam 100 juta yen) Hibah % Jumlah % Bantuan 9,83 56.56 9.43

Agriculture, 6.94 Forestry, and Fisheries Aid for food 0 0 0 0 7 11,4 102 17.01 Production* 7 Commerce and 1 0,91 95.06 0.85 1 1,64 0.5 0.08 Tourism Emergency relief 0 0 0 0 4 6,55 40.77 6.79 Energy 10 9,17 759.77 6.76 0 0 0 0 Food Aid 0 0 0 0 2 3,27 23 3.83 Human Resources 10 9,17 700.46 6.23 17 27.8 84.4 14.07 Development 6 Mining and Industry 1 0,91 4.18 0.03 0 0 0 0 Planning and 0 0 0 0 0 0 0 0 Administration Public Health and 5 4,58 441.77 3.93 6 9,83 59.23 9,87 Medicine Public Works and 59 54,12 5,303.62 47.2 12 19,6 90.67 15.12 Utilities 7 Sector Program 8 7,33 2,700.14 24.02 0 0 0 0 Loan Social Welfare 0 0 0 0 0 0 0 0 Others (Social 1 0,91 452 4.02 6 9,83 142.49 23.76 Safety Net) Total 109 100 11,237.60 100 61 100 599.62 100 Sumber: Wagakuni no Seifu Kaihatsu Enjo: ODA Hokusho (ODA Annual Report),1997 & 1999, lihat juga Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor, 22-27.

Sementara itu untuk hibah, sektor pengembangan sumber daya manusia menempati prioritas keempat berdasarkan total hibah yang diberikan. Akan tetapi, bila dilihat dari jumlah proyek, sektor tersebut mendapatkan jumlah proyek terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sektor tersebut telah menjadi prioritas, karena dibandingkan dengan jumlah anggaran untuk sektor energy, public works and utilities, dan mining and industry, sektor-sektor tersebut tetap menjadi tujuan utama dana hibah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam implementasinya, ODA Jepang tidak mengalami perubahan signifikan dalam pengalokasian anggarannya. Sektor-sektor non komersial, seperti pengembangan sumber daya manusia, sektor sosial menduduki prioritas lebih rendah daripada sektor-sektor komersial.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

8


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Inisiatif untuk memprioritaskan bantuan pada kegiatan-kegiatan yang mendukung pembangunan sosial & politik lebih dipengaruhi oleh faktor perkembangan dunia international, daripada keinginan pemerintah Jepang sendiri. Kebijakan yang dibuat seolah-olah hanya untuk mendapatkan pengakuan internasional, tanpa menformulasikan program yang lebih jelas untuk pengimplementasiannya. Selain itu faktor domestik dalam negeri Indonesia ikut memberikan andil mengingat pemerintahan Soeharto saat itu tidak memberikan ruang bagi pembangunan politik, dan hanya menfokuskan kebijakannya pada pembangunan ekonomi yang bertumpu pada indutrialisasi. Dalam hal distribusi geografis bantuan, Pulau Jawa menempati posisi pertama dengan 39% proyek pinjaman. Sementara itu, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Irian Jaya dan Maluku mendapatkan porsi 18,6%; 5,9%, 4,9% dan 0,1%. Bahkan Nusa Tenggara tercatat tidak xviii mendapatkan dana pinjaman ODA Jepang. Penyebaran georafis ODA Jepang ini didukung oleh kebijakan pembangunan Pemerintahan Soeharto yang memusatkan pembangunan di Pulau Jawa dan Sumatera. Terkait dengan status keterikatan bantuan, tercatat bahwa pada periode awal penyaluran bantuan, persentase pinjaman terikat cukup tinggi yaitu 71,35% dibandingkan dengan bentuk pinjaman mengikat sebagian dan pinjaman yang tidak mengikat sama sekali. Akan tetapi, kondisi ini terus mengalami perubahan, hingga pada periode xix 1982-1998 jumlah pinjaman yang tidak mengikat mencapai nilai 99,8%. Peiode ini kemudian diakhiri dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang didahului dengan terjadinya krisis keuangan di Asia pada pertengahan tahun 1997. Indonesia, dalam mengatasi krisis keuangan, mendapatkan bantuan dari berbagai pihak terutama Jepang. Ada dua alasan yang bisa menjelaskan hal tersebut, pertama, Jepang mempunyai investasi yang cukup besar di Indonesia. Pemerintah Jepang khawatir situasi ekonomi yang tidak terkendali akan menimbulkan ketidakstabilan politik yang bisa menimbulkan chaos. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak pada berbagai kegiatan investasi/usaha ekonomi Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang sangat aktif membantu dan mempertahankan kestabilan ekonomi di Indonesia saat itu. Alasan kedua adalah, pemerintah Jepang ingin menunjukkan tanggung jawab dan partisipasi aktif sebagai komunitas internasional dalam menanggulangi masalah regional/ global (international responsibility). 3.2. Periode Pasca Soeharto Jatuhnya Soeharto, membawa perubahan cukup besar dalam sistem perpolitikan Indonesia. Tekanan agar pemerintah Indonesia segera melakukan reformasi politik dan ekonomi gencar dilakukan oleh masyarakat domestik dan internasional. Hal ini juga turut mempengaruhi kebijakan ODA Jepang setelah jatuhnya Soeharto. Secara umum tren ODA Jepang tahun 1997-2005 dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Jumlah ODA Jepang, Alokasi & Perbandingan dengan GNP 1997 - 2005 Tahun

Jumlah ODA (Juta US$)

Jumlah ODA (milliar Yen)

Alokasi Dana Bilateral (%)

Alokasi Dana Multilateral (%)

ODA/GNP (%)

1997 9,358 1,132 70 30 0,22 1998 10,640 1,393 80 20 0,28 1999 15,323 1,745 68 32 0,35 2000 13,508 1,456 72 28 0,28 2001 9,874 1,196 76 24 0,23 2002 9,283 1,162 72 28 0,23 2003 8,880 1,029 29 0,20 ďź‘ 2004 8,922 965 66 34 0,19 2005 13,147 1,447 79 21 0,28 Sumber: DAC-OECD Statistics dalam Direktorat Pendanaan Bantuan Luar Negeri, Bappenas RI, Profil Singkat Kerjasama Pembangunan Indonesia-Jepang, 2005.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

9


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tabel 3 memperlihatkan sangat dinamisnya ODA Jepang baik dalam jumlah, alokasi maupun persentase terhadap GNP. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik maupun internasional. Misalnya tahun 1998-2000, jumlah ODA Jepang yang disalurkan cukup signifikan yaitu 0,35% dari ODA per GNP. Hal ini sebagai dampak diberikannya bantuan untuk economic recovery setelah krisis ekonomi mengguncang Asia. Kemudian tahun berikutnya sampai tahun 2004 terjadi penurunan, karena perekonomian Jepang yang tidak cukup baik perkembangannya, dan pada tahun 2005 meningkat kembali, karena perekonomian mulai membaik dan kelihatannya hal tersebut juga merupakan upaya menghadapi pengaruh pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina. Pemerintah Jepang khawatir bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, akan meningkatkan pengaruh politik Cina terutama di kawasan Asia. Selain itu dalam periode ini juga terjadi peristiwa besar yaitu serangan di World Trade Center, Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001, yang telah memaksa Jepang untuk melakukan revisi ulang ODA Charter 1992. Poin penting yang ditambahkan dalam revisi ini adalah penekanan pada peace settlement. Serangan 11 September 2001 ini telah menjadi jalan justifikasi bagi Pemerintahan Koizumi saat itu untuk mengikuti kebijakan Amerika menangani masalah terorisme dengan mengirimkan militer Jepang ke luar negeri seperti yang terjadi di Irak dan Afgahanistan. Berkaitan dengan hal tersebut, Prof Murai menekankan agar Pemerintah Jepang berhati-hati dalam menggunakan ODA untuk “peace settlement� karena hal tersebut xx sangat mudah dicampuradukkan dengan tujuan militer. Khusus untuk Indonesia, peristiwa serangan tersebut semakin menempatkan Indonesia pada posisi kunci bagi Jepang mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia diharapkan dapat memainkan peran dalam membantu menangani masalah terorisme ini, yang diyakini oleh kalangan dunia barat dilakukan oleh para penganut Islam radikal. Berkaitan dengan komitmen ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1999-2006 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. ODA Jepang di Indonesia Berdasarkan Tipe (1999-2006) (dalam juta dollar)

Tahun

Hibah

%

Pinjaman

%

Kerjasama Teknis

%

Total/Tahun

1999

100.54

6,26

1,374.49

85.59

130.8

8,14

1,605.83

2000

49.79

5,18

773.43

80,61

136.15

14,19

959.37

2001

45.16

5.24

697.64

81.07

117.68

13.67

860.48

2002

63.54

12.22

348.31

67.02

107.8

20.74

519.65

2003

82.36

7.2

938.76

82,2

120.66

10.56

1,141.78

2004

25.47

4,36

452.52

77,49

105.96

18,14

583.96

2005

172.21

12.82

1,072.18

79.84

98.4

7,32

1,342.79

2006

60.67

5,86

882.83

85,33

91.1

8,80

1,034.60

Total

599.74

7.45

6,540.16

81,26

908.55

11.28

8,048.43

Sumber: Wagakuni no Seifu Kaihatsu Enjo: ODA Hokusho (ODA Annual Report), 2000 - 2007

Mengacu pada data Tabel 4, pada tahun 1999-2002 ODA Jepang di Indonesia menurun secara signifikan sebagai dampak dari memburuknya perekonomian Jepang, dan mulai difokuskannya ODA Jepang ke wilayah lain seperti Afrika dan Timur Tengah. Hal ini juga seiring dengan menurunnya jumlah investasi Jepang ke Indonesia pasca krisis ekonomi. Indonesia yang pada masa sebelum krisis ekonomi menduduki peringkat pertama negara tujuan investasi Jepang di kawasan Asia Tenggara, maka setelah krisis ekonomi & politik, Indonesia hanya berada pada posisi ketiga negara tujuan investasi Jepang, dengan mendapatkan porsi 21%. (lihat Tabel 5).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

10


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tabel 5. FDI Jepang di Negara ASEAN 1991-2004 (dalam juta dollar AS) Negara

7 Tahun Sebelum Krisis (1991 – 1997)

7 Tahun setelah Krisis (1998 – 2004)

Indonesia

11,974 (33.7%)

4,610 (21.0%)

Thailand

7,271 (20.5%)

6,375 (29.1%)

Singapore

7,105 (20.0%)

5,086 (23.1%)

Malaysia

5,064 (14.3%)

2,205 (10.0%)

Philippines

3,038 (8.5%)

3,200 (14.6%)

Vietnam

1,062 (3.0%)

488 (

2.2%)

Sumber:Kementerian Keuangan Jepang

Yang menarik pada periode ini adalah, pada tahun 1999 Jepang memberikan bantuan di bidang politik yaitu bantuan untuk melaksanakan Pemilu, baik dengan memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia maupun ikut serta mengirimkan pemantau pemilu internasional. Hal ini merupakan yang pertama dalam sejarah ODA Jepang di Indonesia. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pada saat Pemilu 1999, Jepang adalah negara yang termasuk lambat memberikan respon atas permintaan dukungan Indonesia untuk menyelenggarakan Pemilu. Alasan yang dikemukakan adalah saat itu Pemerintah Jepang sedang mencari dan merumuskan skema dana yang harus digunakan karena sebelumnya tidak ada alokasi dana untuk bantuan pelaksanaan xxi Pemilu di Indonesia. Walau terkesan agak lambat dalam merespon tuntutan reformasi politik di Indonesia, Pemerintah Jepang mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung demokratisasi seperti melibatkan NGO sebagai partner. Selain itu, dalam Country Assistance Strategy for Indonesia tahun 2004, pemerintah Jepang juga dengan nyata menempatkan penciptaan masyarakat yang demokratis dan adil (“creation of a democratic and equitable xxii society�) sebagai pilar kedua dalam prioritas area bantuan. Adapun kegiatan yang didesain sebagai bagian dari pilar kedua tersebut adalah pengentasan kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja melalui pembangunan pertanian dan perikanan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, meningkatkan jasa publik di bidang pendidikan, kesehatan dan obat-obatan; reformasi pemerintah di bidang hukum (judiciary), polisi (police service), bantuan untuk xxiii desentralisasi; serta pemeliharaan lingkungan dan pencegahan bencana. Akan tetapi bila diamati data pada Tabel 4, maka akan ditemukan tidak adanya pergeseran yang signifikan dalam komposisi bantuan berdasarkan bentuk/tipenya. Dari data tersebut, terlihat porsi pinjaman tetap menempati prioritas utama bentuk bantuan Jepang ke Indonesia. Walaupun mengalami penurunan sebesar kurang lebih 9-10% dari periode sebelumnya, porsi pinjaman tetap mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia dengan mengarahkan 80% dari total proyek pada sektor public works and utilities, sementara sektor sosial hanya mendapatkan xxiv 10% dari total proyek. Dibandingkan dengan negara Amerika latin seperti Mexico yang memberikan porsi 39,3% proyek di sektor tersebut, Peru 35,6% dan Brazil 29,1%, maka Indonesia termasuk negara yang memberikan porsi lebih kecil (8,3%) untuk sektor sosial. Begitupun bila dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand yang xxv memberikan porsi 20% dan 10,3% di sektor yang sama. Sementara itu dalam hal distribusi geografis, walaupun sampai saat ini masih banyak proyek-proyek yang dipusatkan di Pulau Jawa, terlihat adanya pergeseran dalam pengalokasian proyek berdasarkan wilayah. Inisiatif untuk melaksanakan proyek di beberapa daerah Indonesia bagian timur seperti proyek dengan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam rangka mendukung terlaksananya otonomi daerah dapat dinilai sebagai langkah positif ODA Jepang dalam upaya

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

11


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

melakukan penyebaran/pemerataan perkembangan domestik Indonesia. 4.

proyek

pembangunan,

dan

dalam

merespon

Kesimpulan

Secara keseluruhan performa ODA Jepang di Indonesia dapat dinilai secara positif dan negatif. Dalam hal performa kuantitiatif terjadi penyaluran dana yang berkesinambungan setiap tahun, akan tetapi komposisi pinjaman yang mencapai 80%-90% di kedua periode yang telah dibahas, menunjukkan performa kualitatif ODA Jepang di Indonesia masih rendah. Hal ini sekaligus menunjukkan besarnya pinjaman dan ketergantungan Indonesia kepada Jepang. Dalam hal distribusi sektoral, implementasi ODA Jepang di kedua periode belum menunjukkan perubahan yang berarti, dimana masih terfokusnya bantuan pada sektor infrastruktur, dan minimnya alokasi dana ODA Jepang pada sektor-sektor pengembangan sosial dan politik. Sektor-sektor komersial tetap menjadi tujuan utama ODA Jepang. Hal ini bisa dipahami mengingat dua karakter yang dimiliki oleh ODA Jepang yaitu self help effort dan small government, yang konsekuensinya menuntut Pemerintah Jepang memberikan alokasi dana yang lebih besar pada proyek-proyek komersial. Mengingat kondisi Indonesia pada sektor-sektor sosial masih lemah, misalnya tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran masih tinggi, diperlukan upaya untuk membantu pembangunan sektor tersebut. Jepang dapat berperan membantu pembangunan sektor sosial melalui peningkatan alokasi dana ODA untuk proyek pengembangan sumber daya manusia baik melalui pelatihan di dalam/luar negeri maupun upaya penciptaan lapangan kerja serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat yang harus segera diwujudkan termasuk melibatkan civil society/NGOs dalam berbagai program. Implementasi ODA Jepang pasca Soeharto mulai menunjukkan perubahan seiring dengan terjadinya perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik. Selain itu beberapa peristiwa bencana alam yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini seperti di Aceh, Yogya dan Jawa Tengah, menempatkan Jepang sebagai negara pemberi bantuan terbesar dalam membantu menangani akibat bencana tersebut. Di bidang politik, Jepang terlihat mulai menformulasikan berbagai kegiatan/program yang mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan makmur, seperti bantuan untuk pelaksanaan pemilu, desentralisasi, reformasi pemerintahan, dan berbagai kegiatan lainnya. Akan tetapi apabila dicermati dari pembahasan di atas, Jepang terkesan sangat hati-hati dalam mengimplementasikan proyek pembangunan di bidang politik (demokratisasi). Kepercayaan bahwa pembangunan masyarakat yang demokratis akan menuntut ketidakstabilan politik, merupakan salah satu alasan mengapa Jepang terlihat lambat merespon tuntutan demokratisasi atau reformasi politik di Indonesia. Mengingat besarnya investasi Jepang di Indonesia, ketidakstabilan politik tentu tidak dikehendaki oleh Jepang. Alasan lain adalah Jepang menjadikan aid policy sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonominya dan memberikannya tanpa memberlakukan conditionality. Mengingat conditinality dapat dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi negara donor terhadap negara penerima bantuan, kebijakan bantuan Jepang yang terfokus pada kerjasama ekonomi daripada menekankan kepentingan politik, memiliki aspek positif . Hal ini menjadikan ODA Jepang berbeda dengan bantuan dari negara donor lainnya seperti Amerika Serikat dan Perancis yang menggunakan bantuannya untuk �mempromosikan� apa yang mereka anggap dan pahami sebagai nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang universal. Selain itu, secara positif dapat dikatakan pula bahwa besarnya bantuan ODA Jepang di Indonesia menunjukkan kepercayaan Jepang kepada Indonesia dan sekaligus mengindikasikan nilai strategis Indonesia baik di bidang ekonomi maupun keamanan bagi Jepang. Hal ini menandakan bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia dan Jepang adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi. Akan tetapi mengingat Jepang sebagai negara pemberi donor terbesar di Indonesia, sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta sumber utama investasi asing dan pembangunan teknologi, maka hubungan antara kedua negara ini mengindikasikan hubungan interdependensi yang asimetris. Walaupun demikian, kekhawatiran bahwa suatu saat pemerintah Jepang akan dapat melakukan intervensi kebijakan ekonomi, politk, dan keamanan terhadap pemerintahan Indonesia akibat ketergantungan Indonesia kepada ODA Jepang, merupakan kehawatiran yang agak berlebihan. Jepang dalam aid policy-nya telah menekankan penggunaan prinsip non conditionality. Di satu sisi, pemerintah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

12


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Indonesia harus berupaya menjaga dan menaikkan posisi tawar dengan Jepang (termasuk dengan negara donor lainnya) untuk menggeser hubungan interdependensi yang asimetris ini menjadi hubungan simetris. Salah satunya dengan pemanfaatan dana ODA Jepang (plus bantuan luar negeri lainya) seefisien mungkin, dan digunakan untuk mendukung sektor-sektor yang menjadi tujuan utama pembangunan Indonesia. Pemerintah Indonesia harus terus menerus mengupayakan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan ODA Jepang dan bantuan luar negeri lainnya, baik perbaikan pada aspek kebijakan, kelembagaan maupun sumber daya manusia. Terjaganya kredibilitas Indonesia di mata negara donor termasuk Jepang akan menaikkan posisi tawar Indonesia. Dengan demikian, hubungan saling membutuhkan dan saling mengisi yang sudah terjalin selama 50 tahun antara Indonesia dan Jepang akan menjadi landasan kuat bagi tercapainya kemitraan strategis (strategic partnership) yang nyata .

i Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan’s ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 199-240 ii Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers. iii Sudarsono Harjosoekarto, 1993. Japan’s Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 40. iv Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33. v Setelah serangan 11 September 2001, kemudian terjadi penyerangan ke Afghanistan dan Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dimana Pemerintah Jepang memberikan dukungan terhadap serangan tersebut dan mengalokasikan dana ODA sebagai salah satu sumber dana operasional. ODA Jepang dikritik baik oleh masyarakat Jepang sendiri maupun internasional karena Jepang dianggap telah menggunakan ODA tidak hanya untuk kepentingan bisnis tetapi juga telah berperan di bidang militer, lihat http://www.kotopan.jp/Eng.html vi Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7. vii Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 48-60. viii Proyek waduk Kedung Ombo dibiayai USD 156 juta dari dana Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jeapng, dan APBN. Waduk mulai diairi pada 14 Januari1989 dengan menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali dan Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk tersebut. ix Proyek Bendungan Koto Panjang didanai dengan pinjaman ODA Jepang sebesar USD 300 juta. Dampak dari pembangunan bendungan ini adalah ditenggelamkannya 12,400 hektar tanah dan 23,00 orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. x Political aid conditionality adalah syarat yang diberlakukan oleh negara donor kepada negara penerima bantuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi termasuk menghargai hak asasi manusia. xi Setianingtyas, Op.Cit. xii Ibid, 86. xiii Akira, Nishigaki & Yasutami, Op.Cit. 199-240. xiv ODA Jepang telah disalurkan sejak tahun 1958 yang dimulai dalam bentuk Repatriation War Program, yaitu program pengembalian harta pampasan perang yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang kepada negara-negara bekas jajahannya. Lihat Ministry of Foreign Affairs. 1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report. xv Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5. xvi Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report, 33. xvii www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html xviii Mengingat porsi pinjaman mencapai 89,64%, maka persebaran georarifs pinjaman diyakini dapat mewakili persebaran geograifs ODA Jepang di Indonesia, lihat Mesi Purnamasari. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 93-96. xix Ibid. xx Prof. Murai Yoshinori, Japan’s ODA to Indonesia, dapat diakses melalui: www.nindja.org/modules/news2/print.php?storyid=1 xxi Interview dengan Staf Japan International Cooperation Agency (JICA) Divisi Asia Tenggara, Tokyo, 11Juni, 2003. xxii Pilar pertama adalah “sustainable growth driven by the private sector” dan pilar ketiga adalah “peace and stability”, Country Assistance Strategy for Indonesia, October 2004, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Interview dengan Staf JICA Pusat, untuk wilayah Asia Tenggara, Tokyo, 29 Januari, 2007. xxiii Ibid. xxiv www.jbic.or.id/oeco.php xxv Japan Bank International Cooperation Annual Report, 2002.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

13


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Daftar Pustaka Buku, Jurnal dan Laporan [1] Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan’s ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 199-240 [2] Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor, 22-27. [3] Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers. [4] Harjosoekarto, Sudarsono. 1993. Japan’s Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 40. [5] Japan Bank International Cooperation. 2002. Annual Report. [6] Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report). [7] ----------------------------------.1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report. [8] Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5. [9] Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7. [10] Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi. Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 48-60. [11] Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33. [12] Purnamasari, Mesi. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi. Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 93-96. Website

www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html www.nindja.org/modules/news2/print.php?storyid=1 www.jbic.or.id/oeco.php

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

14


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

UTAMA REFLEKSI 50 TAHUN HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA-JEPANG DALAM SEKTOR PERIKANAN Suadi Mahasiswa United Graduated School of Agric. Science, Tokyo University of Agric. & Technology Peneliti di Jurusan Perikanan UGM E-mail: suadi@ugm.ac.id 1. Pendahuluan Ketertarikan Jepang akan sumberdaya ikan Indonesia dan Asia Tenggara umumnya bukanlah hal baru, tetapi memiliki faktor kesejarahan yang panjang. Sebelum pendudukkan Jepang di tanah air, laut nusantara dan perairan lainnya di wilayah ini telah menjadi “ladang� ikan bagi nelayan Jepang. Eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan di dalam negerinya mendorong para nelayan melakukan ekspansi keluar negeri, seperti yang dilakukan oleh para nelayan Okinawa setelah Perang Dunia I ke Asia Tenggara [1]. Bahkan, selama perang pasifik (Perang Dunia II) Jepang sekurang-kurang menanamkan modalnya untuk perikanan sekitar \45,8 juta atau 3.7% dari total investasi Jepang di Indonesia [2]. Dengan produktivitas perikanan lebih dari 25 kali lipat nelayan lokal seperti dilaporkan Hiroshi Shimizu [1], nelayan-nelayan pendatang ini tidak hanya mampu memperbaiki ekonominya di daerah yang baru tersebut tetapi juga bagi daerah asal yang mereka tinggalkan.

Tentu saja ekspansi model di atas akan sangat sulit ditemukan saat ini karena dua alasan: 1.

Sejak lahirnya UNCLOS di tahun 1982 banyak negara pantai membatasi pergerakan industri perikanan asing di wilayahnya yang tentu saja berimbas besar pada aktivitas perikanan Jepang.

2.

Industri perikanan Jepang saat ini juga menghadapi masalah domestik dengan menurunnya peminat pada usaha ini serta menumpuknya kelompok nelayan usia tua dalam industrinya (hampir separuh nelayan Jepang berusia di atas 60 tahun).

Kondisi seperti ini tentu saja menuntut pemerintah dan/atau pengusaha perikanan Jepang untuk mencari berbagai jalan keluar untuk dapat mencukupi kebutuhan hasil perikanan dalam negerinya yang bisa dikatakan sangat besar (per kapita suplai ikan Jepang mencapai lebih dari 60 kg/kapita/tahun, sedangkan rata-rata suplai ikan dunia hanya sekitar 16.7 kg/kapita/tahun). Kerjasama pengembangan sektor perikanan ataupun penanaman modal di negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar seperti Indonesia menjadi pilihan utama. Tulisan ini sekilas memaparkan dinamika hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam sektor perikanan selama lima dekade terakhir, serta prospek dan tantangan ke depan.

2. Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan Tanggal 20 Januari 1958 atau setengah abad yang lalu merupakan momentum terpenting dalam perbaikan hubungan Indonesia-Jepang pasca penjajahan. Proses menuju ini bukanlah proses yang mudah, apalagi tuntutan ganti rugi karena berbagai kerusakan yang ditinggalkan Jepang terbilang sangat besar. Menurut catatan Hindley [3] gugatan awal mencapai $17.300 juta. Sehingga momentum 50 tahun yang lalu sekurang-kurangnya menghasilkan tiga peristiwa penting bagi kedua negara: 1.

Penandatanganan perjanjian damai atau Treaty of Peace seperti tertuang dalam United Nation Treaty Series No. 4688, yang dikuti dengan

2.

Kesepakatan tentang kompensasi perang (Reparations Agreement) yang bernilai sekitar US$ 223 juta (UN Treaty Series No. 4689), dan

3.

Pertukaran nota kesepakatan tentang hutang dan investasi(UN Treaty Series No. 4691).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

15


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Terkait dengan kompensasi perang tersurat bahwa kompensasi diberikan dalam bentuk produk dan jasa selama 12 tahun atau dengan nilai sekitar US$ 20 juta per tahun. Kompensasi ini meliputi seluruh sektor termasuk transportasi dan komunikasi, pertambangan, pertanian dan perikanan, serta jasa dan sektor lainnya. Dalam sektor perikanan diketahui proyek pengembangan kapal ikan menjadi salah satu bentuk proyek kompensasi.

Momentum 1950an dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh Perdana Menteri Yoshida Shigeru dalam promosi kerjasama Jepang-Amerika Serikat dalam pembangunan Asia Tenggara serta dua kunjungan perdana menteri Kishi Nobusuke di tahun 1957, menjadi peristiwa penting bagi upaya Jepang untuk kembali ke wilayah ini. Dengan disepakatinya kompensasi perang dalam bentuk jasa dan kemudian barang menjadi jalan licin dan landasan kuat bagi masuknya kembali barang dan perusahaan Jepang yang sebelumnya sulit melakukan penetrasi ke wilayah ini [4]. Kepentingan Jepang (yang tentu saja menjadi kepentingan Amerika Serikat) selain di bidang ekonomi, adalah memenangkan pertarungan politik di wilayah ini khususnya dalam menangkal perkembangan komunisme. Dengan demikian, proyek reparasi tersebut tidak hanya bermakna investasi ekonomi tetapi juga politik atau dalam bahasa kiasan Asahi Shimbun seperti dikutip Suehiro [4] “With reparations, we can kill two birds with one stone�

Selama Orde Lama, bantuan dan investasi Jepang tidak terlalu besar, dibandingkan dengan beberapa negara lain khususnya Rusia dan eropa timur. Namun demikian, Jepang mendapat tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal [5]. Sebagai hasilnya, aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam perekonomian Orde Baru. Jepang sampai sekarang masih berada di kelompok teratas negara-negara yang menginvestasikan modalnya di Indonesia dan juga menjadi parter dagang utama Indonesia.

Pertambangan dan migas, kehutanan, dan perikanan merupakan beberapa sektor yang dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 [6]. Jepang merupakan investor terbesar perikanan tersebut dengan dua komoditi utama sebagai sasaran yaitu udang dan tuna. Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri penangkapan udang dan ikan khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Perusahaan-perusahan Jepang ini tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya ikan dengan hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor ikan Indonesia meningkat fantastis dengan nilai hanya dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada tahun 1971 (84% diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa ekspor Jepang mencapai 77.6% dari total nilai [7].

Tuna adalah komoditi kedua setelah udang yang menjadi andalan Indonesia dan menjadi salah satu sumberdaya yang diminati Jepang. Berdasarkan data online yang dilaporkan oleh JBIC [8] diketahui sejak tahun 1972 dana ODA sekitar \19.116 juta pada sub-sektor perikanan secara umum dialokasikan untuk pengembangan industri perikanan tuna seperti melalui Tuna Fishery Development Project di Sabang dan Benoa pada era 1970an, kemudian Enginering Services and Jakarta Fishing Port Development di pertengahan 1980an, 1990an dan 2004, dan Enginering Services for Bitung Fishing Port Development Project di pertengahan tahun 1990an. Karena itu, dari total ekspor tuna Indonesia selama tiga dekade terakhir, lebih dari 70% ditujukan untuk pasar Jepang khususnya untuk komoditas tuna segar dan tuna yang melalui proses pendinginan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

16


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dari sisi ekonomi, periode antara 1970an sampai menjelang pertengahan 1990an dapat dikatakan periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini. Berkembang pesatnya budidaya udang windu yang juga disokong oleh dana hutang luar negeri di awal tahun 1980an menjadikan Indonesia sebagai eksportir utama untuk udang, paling tidak sampai pertengahan 1990an. Sayangnya, berbagai kegagalan budidaya udang karena imbas praktek budidaya yang tidak sehat seperti penyakit dan penurunan kualitas serta kerusakan lingkungan membuat tampilan industri udang nasional terpuruk. Posisi Indonesia pun kemudian ditempati oleh Thailand yang menjadi produsen dan pemasok udang dunia terbesar saat ini. Perkembangan yang tidak meyakinkan selama dekade 1990an menyebabkan posisi Indonesia juga terlewati oleh Vietnam yang kini bahkan menjadi suplier utama kebutuhan udang Jepang.

Hubungan persahabatan Indonesia-Jepang bagaimanapun tidak semuanya berjalan mulus. Walaupun tidak secara langsung terkait dengan perikanan, peristiwa Malari di tahun 1974 (Malapetaka 15 Januari 1974) yang berawal dari protes dan berakhir pada kerusuhan di tahun tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap dominasi investasi asing, terutama Jepang yang menjadi sorotan utama saat itu. Peristiwa ini bahkan menjadi arus balik kepempimpinan presiden Soeharto karena dengan peristiwa itu ia melakukan perombakkan orang-orang di sekitarnya dan membuat paket kebijakan baru yang membatasi aktivitas gerakan mahasiswa serta partai politik [9]. Berbagai konflik berdarah antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl yang terjadi di tahun 1970an juga tidak dapat dilepaskan dari pola pembangunan yang hanya mengejar dolar dari ekspor hasil perikanan. Apakah kondisi seperti mengendorkan hubungan kedua negara? Nampaknya tidak demikian, karena untuk menjaga roda ekonomi yang bertumpu pada bantuan atau hutang dan investasi asing, pemerintah juga memiliki kepentingan melindunginya. Hal ini paling tidak terbaca pada kasus pelarangan pukat harimau (trawl). Ketika banyak konflik antar nelayan akibat kebijakan introduksi alat tangkap ikan tersebut, pemerintah terpaksa mengeluarkan paket kebijakan pelarangan trawl di perairan Indonesia (seperti tertuang dalam Keppres 39/1980 dan Kepmentan No. 545/Kpts/Um/8/1982). Namun demikian, bagi 11 perusahan joint venture di bidang perikanan antara Indonesia dan Jepang mereka diberi ijin untuk menangkap ikan khususnya di perairan di wilayah barat Papua.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa eksploitasi sumberdaya alam seperti halnya perikanan telah memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Namun demikian, dampak sosial dan lingkungan akibat pola pembangunan yang diterapkan sungguh mengkhawatirkan. Jauh hari di awal Orde Baru berkuasa, Krisnandhi [6] telah memaparkan keprihatinannya akan dampak model pembangunan perikanan terutama keberadaan investasi asing terhadap sumberdaya ikan dan usaha perikanan domestik. Akhir-akhir ini, deplesi sumberdaya ikan bahkan semakin terasa dan tengah sedang menjadi satu faktor kunci penyulut berbagai konflik perikanan di nusantara. Hutan mangrove pun misalnya, akibat konversi untuk berbagai kepentingan salah satunya untuk tambak udang telah mengakibatkan kita kehilangan hampir lebih dari separuh luasan yang tercatat sekitar 4,2 juta hektar di tahun 1980 dalam tiga dekade terakhir. Tentu saja, peran negara donor dalam krisis lingkungan seperti ini telah menjadi bahan kritik para analis [baca misalnya 10-11]. Namun demikian, kenyataan lain seperti perilaku korup yang melekat pada rejim yang ada juga telah memperburuk pengelolaan sumberdaya alam. Hal inipun sebenarnya telah disadari oleh negara donor, bahkan dalam salah satu laporan studi JBIC dikemukakan buruknya pengelolaan negara di beberapa wilayah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Karena itu, era baru dengan kesepakatan baru melalui “Japan Indonesia Partnership Aggreement� (JIEPA) perlu mempertimbang-kan faktor-faktor non-ekonomi tersebut. Kerjasama pengembangan perikanan yang lebih berkelanjutan dapat menjadi tema besar sektor perikanan ke depan. Tema ini tentu saja akan tepat dengan peran yang tengah disandang Jepang sebagai leader gerakan lingkungan hidup global saat ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

17


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

3. Bersaing di tengah Pasar Jepang yang sedang Surut: Prospek dan Tantangan Walaupun masih memimpin di kelompok teratas penanam investasi terbesar di Indonesia, minat investasi Jepang dalam tahun-tahun terakhir nampak sedang bergeser turun. Survey Report on Overseas Business Oportunity by Japanese Manufacturing Companies pada tahun yang lalu menempatkan Indonesia pada Ranking 8 sebagai ladang bisnis menjanjikan dalam jangka menengah, tetapi posisi ini turun drastis dari No. 3 dan 4 masing-masing pada tahun 1995 dan 2002. Pemerintah melalui JIEPA yang telah bergulir sejak awal kepemimpinan presiden SBY, tentu saja mengharapkan dapat mendongkrak minat Jepang ke tanah air lagi. Untuk sektor perikanan catatan berikut dapat menjadi beberapa acuan kondisi perikanan saat ini, serta prospek dan tantangannya ke depan: 1) Bagi industri perikanan Indonesia, pasar Jepang masih akan menjadi pasar yang utama. Hal ini misalnya bisa dilihat dari satu indikator bahwa hampir separuh ekspor udang kita masuk ke pasar Jepang dan angka yang lebih tinggi pada pasar ikan tuna segar. Namun demikian, laju impor ikan Jepang menjelang akhir dekade 1990an terus melambat, baik volume maupun nilai dibandingkan dua dekade sebelumnya. Bahkan, pertumbuhan impor ikan Jepang dalam periode 2000-2006 telah berbalik ke negatif. Pada saat bersamaan, ekspor hasil perikanannya justru merambat naik. Walaupun para ahli ekonomi perikanan dalam pertemuan Asosiasi Ekonomi Perikanan Jepang pada tanggal 1 Juni yang lalu masih bertanya-tanya apakah kecenderungan ekspor tersebut akan menjadi berita gembira atau pertanda tidak baik ditengah berbagai masalah domestik, kencenderungan seperti ni patut menjadi perhatian bagi industri perikanan nasional. Dari sisi konsumsi, adalah satu tantangan bagi Indonesia ketika konsumen Jepang perlahan-lahan beralih ke produk-produk HMR (home meal replacement; aitu produk-produk yang bergizi tetapi siap saji baik disantap, dihangatkan, atapun langsung dimasak), misalnya Indonesia masih mengandalkan diri pada ekspor produk yang belum diolah. Thailand dan Vietnam nampak mendominasi produk yang mempunyai nilai tambah seperti ini. 2) Persaingan industri perikanan, khususnya udang, ke depan yang juga pasar utamanya adalah Jepang akan lebih ketat. Komoditi perdagangan udang dunia saat ini telah bergeser dari 5-6 species menjadi 2-3, terutama dengan meluasnya budidaya udang introduksi seperti vanamei. Industri budidaya udang nasional juga sedang bergeser dari spesies lokal (udang windu) ke vanamei. Dari sisi pasar, keseragaman spesies menyebabkan persaingan terjadi hanya pada tingkat harga. Bahkan harga udang dunia saat ini telah bergeser turun dari rata-rata US$ 11,2/kg pada tahun 2000 menjadi US$ 6,5 di tahun lalu [dihitung dari data yang dilaporkan 12]. Tentu saja negara-negara yang mampu memproduksi udang dengan harga yang lebih murah akan menjadi pemain utama dan China saat ini sedang bergairah dengan mulai mendominasi pasar udang dunia. Namun demikian, isu-isu keamanan pangan dan kecurangan dalam perdagangan akan tetap menjadi faktor penentu berikutnya. Pengalaman terpentalnya produk udang China di pasar Amerika dan riaknya sampai ke tanah air tentu dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengusaha perikanan nasional. Tentu saja, faktor sejenis juga menjadi pusat perhatian Jepang. 3) Untuk tuna, peluang pasar tetap terbuka bagi para produsen tuna. Namun demikian ada empat tantangan: (1) tekanan harga bahan bakar minyak akan membatasi kemampuan produksi tuna Indonesia. (2) Pada saat bersamaan tekanan masyarakat dunia yang menginginkan ekploitasi tuna yang lebih bertanggungjawab juga akan semakin kencang. Komunitas masyarakat perikanan international seperti CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) misalnya, bahkan telah berhasil memaksa Jepang menurunkan kuotanya untuk tuna sirip biru dari selatan ini dari 6000 ton per tahun menjadi hanya separuh tahun 2006 yang lalu. Imbasnya dikhawatirkan akan mengalir pada jenis dan negeri lainnya termasuk industri tuna kita. (3) Persaingan di tingkat wilayah juga semakin ketat karena negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia sudah mengalokasikan dana untuk perikanan tuna dan bahkan berani menarik industri tuna nasional dengan subsidi BBM jika bersedia pindah ke Malaysia [13]. Thailand juga telah berancang-ancang dengan akan selesainya pembangunan pelabuhan perikanan Puket. Vietnam dengan dukungan Jepang juga merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan tuna modern dengan nilai mencapai US$ 5 juta [14]. Kitapun tentu masih menaruh prioritas yang besar pada industri tuna seperti dapat dibaca pada dokumen Program Revitalisasi Perikanan 2005-2009. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

18


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sayangnya, (4) struktur industri perikanan tuna kita sangat lemah, bahkan sangat tergantung pada aktivitas perikanan dari negara lain. Lebih disayangkan lagi aktivitas perikanan asing ini sulit dibedakan antara yang berijin dan yang mencuri. Tidaklah mengherankan jika kita sering berkeluh kesah tentang pencurian ikan yang merugikan negara triliunan rupiah. Karena itu, dalam kerangka kerjasama kedua negara upaya mengurangi permasalahan dan aktivitas yang dikenal dengan istilah IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) ini dapat menjadi salah satu agenda bersama. Kerjasama bilateral dan mungkin regional dapat juga dilakukan baik dengan memberi tekanan pada para penangkap dan penjual hasil ikan curian tersebut juga dari sisi teknis. 4) Bagi industri perikanan nasional, pilihan ditengah melemahnya minat pasar Jepang saat ini tentu saja salah satunya adalah diversifikasi ekspor baik komoditi ikan, produk, maupun negara tujuan. Adalah berita baik ekspor udang Indonesia sudah cukup bergeser dari pasar tunggal Jepang, ke beberapa negara akhir-akhir ini, termasuk dengan masuknya pasar China sebagai tujuan baru. Sebagai ilustrasi, lebih dari 70% ekspor udang Indonesia ditujukan ke Jepang sampai tahun 1989, dan kini turun hanya separuh. Dengan kecenderungan tersebut kebijakan revitalisasi perikanan yang saat ini hanya mengkosentrasikan diri pada tiga komoditi perikanan saja yaitu udang, tuna dan rumput laut perlu dikaji ulang. 5) Namun demikian, satu hal yang patut dan yang terpenting untuk dipertimbangan oleh Indonesia adalah isu-isu domestik seperti isu sosial ekonomi perikanan dan lingkungan. Faktor ini tentu perlu mendapat tempat yang lebih baik dalam kebijakan pembangunan perikanan saat ini dan akan datang. Apalagi belajar dari pengalaman yang lalu, karena orientasi yang terlalu fokus ke luar (export-oriented) yang ditempuh dalam pembangunan perikanan telah menghasilkan beban masalah domestik yang berat seperti kerusakan sumberdaya, lingkungan dan masalah sosial ekonomi.

4. Catatan Penutup Walaupun telah banyak keuntungan ekonomi dalam lima puluh tahun perbaikan hubungan Indonesia-Jepang, kita juga menemukan dampak sosial dan permasalahan lingkungan hidup. Bahkan, kekhawatiran Krisnandhi [6] empat puluh tahun yang lalu juga telah banyak terbukti. Karena itu berkaca pada pengalaman yang lalu, Indonesia perlu mengkaji dengan lebih baik agar berbagai kerjasama dengan negara lain bisa memberikan hasil yang seimbang, tidak hanya sisi ekonomi. Apalagi, telah disadari bahwa eksploitasi sumberdaya ikan kita saat ini cenderung mengarah pada krisis perikanan. Eksploitasi sumberdaya secara berlebihan bahkan seperti sedang berjalan beriringan dengan kemiskinan di pesisir. Bagi penulis, satu hal yang menarik dari para pengambil kebijakan perikanan Jepang adalah kegigihan memperjuangkan kepentingan perikanan domestik, walau dalam tekanan internasional sekalipun seperti yang bisa kita baca dalam isu subsidi perikanan, penangkapan ikan paus, tuna dan isu-isu lainnya. Komitmen seperti ini juga yang kita harapkan dari pengambil kebijakan di tanah air. Apalagi tantangan dan masalah domestik Indonesia ke depan semakin berat. Kita tentu berharap, ikan tetap menjadi pangan yang terus dapat terjangkau, ditengah harga pangan dunia dan domestik yang terus melambung.

5. Daftar Pustaka [1] Shimizu, H., 1997. The Japanese Fisheries Based in Singapore, 1892-1945. Journal of Southeast Asian Studies (28): 324-345. [2] Hikita, Y. 1996. Japanese companies' inroads into Indonesia under Japanese military domination in P. Post and E. Touwen-Bouwsma eds. Japan, Indonesia and the War the Royal Institute of Linguistics and Anthropology: 134-176.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

19


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[3] Hindley, D., 1863. Foreign aid to Indonesia and its political implications. Pacific Affairs 36(2): 107-119. [4] Suehiro, A. 1999. The Road to Economic Re-entry: Japan's Policy toward Southeast Asian Development in the 1950s and 1960s. Social science Japan Journal 2 (1): 85-105. [5] Malley, J. 1989, Soedjono Hoemardani and Indonesian-Japanese Relations 1966-1974. Indonesia 48 (Oct., 1989): 47-64. [6] Krisnandhi, S., 1969. The Economic Development of Indonesia’s Sea Fishing Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 5(1: Maret 1969): 49-72. [7] UNSD Comtrade Database, SITC Rev.1 code 03: Fish and fish preparations. [8] http://www.jbic.go.jp/ [9] Adam, A.M., 2002. Meninjau Kembali http://www.sinar-harapan.co.id/berita/0201/18/opi01.html.

Kasus

“Malari”

1974.

[10] Taylor, J. 1999, Japan's global environmentalism: rhetoric or reality. Political Geography 18: 53-562. [11] Hall, D., 2001, Japan's Role in the Asian Environmental Crisis: Comparing the Critical Literature and the Environmental Agency's White Papers. Social science Japan journal 4(19): 95-102. [12] Josupeit, H., 2008. FAO presentation on commodity trade development. http:// www.globefish.org. Mei 2008. [13] Menjual Tuna di Negeri Jiran, Tempo Edisi. 42/XXXIV/12 - 18 Desember 2005 [14] http://www.globefish.org/. Mei 2008

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

20


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

UTAMA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM) DI JEPANG DAN PROPOSAL PENGEMBANGAN IKM NASIONAL Tim Peneliti, Working Group for Technology Transfer (WGTT) Fauzy Ammarii, Wempi Saputraii, Budhi Setiawaniii

1. Potret Industri Nasional Kontribusi sektor industri pengolahan domestik dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah dirasakan semakin tinggi dan hampir mencapai 30% dari total PDB, paling tidak selama iv kurun waktu 2004-2007. Dari kontribusi ini, sektor industri bukan migas menjadi penyumbang utama dengan total rata-rata 80% dalam kurun waktu yang sama. Sedangkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kita ketahui bahwa peranan sub-sektor industri makanan, minuman dan tembakau; sub-sektor tekstil, barang kulit dan alas kaki; sub-sektor pupuk, kimia dan barang dari karet; serta sub-sektor alat angkut, mesin dan peralatannnya, mencapai sekitar 80% dari total kontribusi sektor industri bukan migas nasional. Pertumbuhan sektor industri pengolahan mencapai rata-rata 5% (2004-2007) dan pertumbuhan industri bukan migas mencapai sekitar 6% dalam periode yang sama. Sayangnya, dari agregat pertumbuhan sektor industri nasional, hanya sektor industri pengangkutan dan komunikasi yang menyumbang pertumbuhan dua-digit (sekitar 12% selama periode 2004-2007), sedangkan sektor industri lainnya rata-rata hanya 5-8%. Adapun pertumbuhan industri pertanian dan peternakan, dan industri migas menunjukkan trend yang semakin menurun. Dari sisi siklus pertumbuhan selama era sebelum krisis ekonomi dan setelah krisis (Gambar 1), kita dapat melihat betapa pertumbuhan sektor industri pengolahan (bukan migas) sebelum krisis yang rata-rata mencapai 13% (1994-1996) jauh melampaui pertumbuhan setelah krisis (rata-rata 5% selama 1999-2006), hal yang tentunya v menjadi perhatian utama formulasi strategi pengembangan industri nasional. Kenyataan yang kurang menguntungkan seperti dalam uraian di atas, ditambah dengan iklim usaha yang kurang kondusif (regulasi yang overlap dan tidak efisien, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan, dll), terkonsentrasinya industri di Pulau Jawa, pemanfaatan teknologi yang masih rendah di tengah persaingan industri dunia yang semakin tajam, serta masih lemahnya peranan sektor industri kecil dan menengah (IKM) merupakan beberapa tantangan utama pengembangan industri nasional yang layak diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Bila kita cermati lebih jauh, tantangan utama ini bertitik fokus pada 2 (dua) bagian besar,yaitu peranan kebijakan makroekonomi dan rendahnya pemanfaatan teknologi dalam proses produksi dan distribusi, yang merupakan permasalahan internal industri. Dalam hubungannya dengan IKM di Indonesia, formulasi kebijakan makroekonomi dan kendala pemanfaatan teknologi juga merupakan fokus utama strategi pengembangan industri ini. Masalah lanjutan pemanfaatan teknologi adalah rendahnya standarisasi mutu produk yang memenuhi kriteria pasar manca negara dan rendahnya nilai tambah produk jadi. Penerapan Gugus Kendali Mutu (GKM) industri nasional, khususnya kepada IKM di Indonesia yang sudah berlangsung sejak 16 tahun lalu (sampai dengan tahun 2007) masih dirasakan kurang optimal. Hal ini karena terbentuknya 3,833 gugus pada 3,417 perusahaan IKM selama periode 16 tahun dirasakan kurang proporsional bila dibandingkan dengan jumlah IKM di Indonesia yang vi mencapai 3,5 juta unit yang tersebar di 400 kabupaten/kota. Fenomena di atas memperjelas fakta (di tengah kemampuan IKM menyerap 9,2 juta tenaga kerja dan menghasilkan nilai ekspor sebanyak US$8,7 miliar) betapa sumbangan IKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri hanya mencapai 38%, jauh lebih rendah dibandingkan kontribusi industri besar yang mencapai 62%.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

21


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sumber: Op.cit hal. 6 Gambar 1. Pertumbuhan sektor industri di Indonesia (1994-2006) Melihat kondisi ini, dirasa perlu untuk melakukan kaji ulang, reidentifikasi potensi dan kendala, formulasi strategi dan reformulasi kebijakan IKM yang menunjang pengembangan prioritas industri nasional yang tangguh. Tahapan ini dapat dilakukan dengan melakukan studi komparatif, analisis sektor IKM di negara-negara industri maju dan secara simultan memformat strategi transfer teknologi yang memungkinkan dalam menunjang pengembangan industri nasional. Salah satu negara industri maju yang dapat dijadikan tolok ukur adalah Jepang, yang memiliki segudang pengalaman di bidang pengembangan IKM berbasis teknologi tinggi dan penetrasi pasar manca negara yang luas. 2. IKM di Jepang: Sebuah Ringkasan vii

IKM di Jepang bukanlah sesuatu dengan perkembangan yang sekejap. Paling tidak perkembangan IKM di Jepang telah melalui 6 (enam) tahapan dalam kurun waktu sekitar 60 tahun. Dimulai dengan tahapan rekonstruksi (1945-1954), Jepang membangun konsep dasar IKM yang meliputi penyiapan organisasi, keuangan dan manajemen, dan pada akhirnya di tahun 1948, terbentuklah badan IKM. Tahapan kedua dan ketiga ditandai dengan periode pertumbuhan (1955-1962 dan 1963-1972). Dalam periode pertumbuhan pertama, sistematisasi IKM (meliputi organisasi, keuangan dan manajemen) dan respon terhadap struktur tenaga kerja dalam hubungannya dengan perusahaan sub-kontrak diselaraskan kembali dalam rangka meletakkan secara benar posisi IKM dengan perusahaan besar. Periode pertumbuhan kedua adalah periode modernisasi IKM yang ditandai dengan pembentukan Undang-undang (UU) Dasar IKM di tahun 1963. Basis hukum ini dipergunakan untuk melakukan penguatan modal dan promosi modernisasi IKM. Periode keempat adalah periode pertumbuhan yang stabil (1973-1984) yang ditandai dengan intensifikasi dan perluasan pengetahuan dan sumber-sumber manajerial dimana terjadi pembentukan pusat-pusat informasi IKM baik di pusat maupun di daerah. Dua periode terakhir adalah periode transisi (1985-1999 dan 2000-sekarang). Periode transisi pertama adalah periode perubahan struktural dan agglomerasi industri. Ini ditandai dengan pembentukan UU sementara tentang upaya-upaya dalam mendorong pembentukan IKM baru dan UKM lainnya dengan aktivitas bisnis yang kreatif (pembuatan produk/jasa baru melalui proses penelitian dan pengembangan (Litbang) dengan tujuan komersialisasi). Sedang periode

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

22


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

transisi kedua merupakan periode penguatan terhadap perubahan kondisi ekonomi yang dilandasi oleh amandemen UU Dasar IKM tahun 1963. Bila kita telaah lebih jauh, kebijakan pengembangan IKM di Jepang ini dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian penting yaitu: pertama, proses dan promosi pemanfaatan teknologi terkini dalam rangka menunjang inovasi bisnis dan efisiensi produksi; kedua, proses dan promosi peningkatan kemampuan manajerial dalam bentuk penempatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tepat dan program Litbang yang baik; dan ketiga, proses dan promosi kebijakan pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan (melalui saham, obligasi, dll), insentif kemudahan pembentukan unit usaha baru dan fasilitasi pemasaran produk dan jasa ke pasar domestik dan manca negara. Dalam perkembangannya sampai tahun 2007, jumlah IKM di Jepang telah mencapai 4,69 juta unit dibandingkan dengan jumlah perusahaan besar (13 ribu unit). Kesemuanya mampu menyerap tenaga kerja sekitar 30 juta orang dan menghasilkan nilai ekspor sebesar 137 miliar yen (lihat Gambar 2).

Jumlah perusahaan

Jumlah karyawan

Nilai eskpor

Sumber: http://www.chusho.meti.go.jp/sme_english/outline/07/01.html

Gambar 2. Kondisi IKM di Jepang tahun 2007 Dari gambaran ini, kita bisa memperkirakan besarnya kontribusi IKM di Jepang terhadap pembangunan ekonomi negara ini. Lebih lanjut, bila kita amati lebih mendalam, ternyata industri pengolahan (manufacturing), pedagang eceran (retail) lah yang menjadi primadona jumlah terbesar unit IKM (lihat Tabel 1). Sayangnya, karena keterbatasan waktu dan data, kami belum dapat mendeskripsikan profil masing-masing industri IKM tersebut secara lengkap.

Industri Pengolahan Pedagang besar Eceran Jasa Total

Tabel 1. Pendirian dan Sensus Perusahaan di Jepang (2001) IKM Perush. Besar Total Jumlah % dari Jumlah % dari Jumlah % dari perush. Total perush. Total perush. Total 1,498,351 99.8 3,294 0.2 1,501,645 100.0 255,587

99.1

2,394

0.9

257,981

100.0

1,743,848 1,191,823 4,689,609

99.8 99.7 99.7

4,000 3,742 13,430

0.2 0.3 0.3

1,747,848 1,195,565 4,703,039

100.0 100.0 100.0

Sumber: http://www.chusho.meti.go.jp/sme_english/outline/07/01.html Compiled from Ministry of Public Management, Home Affairs, Posts and telecommunications, Catatan: jumlah perus. = jumlah unit usaha (sesuai dengan UU Dasar IKM) dan perush. perseorangan

3. Proposal Pengembangan IKM nasional Hal penting yang ingin diusulkan dalam proposal studi ini adalah bahwa pengembangan IKM di Indonesia sangat dimungkinkan untuk ditingkatkan sampai ke tahap yang diinginkan dengan kriteria: a. Tumbuhnya IKM dengan keluaran yang berdaya saing tinggi dan berorientasi ekspor; Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

23


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

b. c.

Seimbangnya kontribusi IKM terhadap PBD dibandingkan dengan industri besar; Pertumbuhan IKM yang menunjang strategi pengembangan industri prioritas masa depan yang berbasis teknologi.

Untuk menunjang hal tersebut di atas, perlu dilakukan langkah-langkah secara sistematis, sinergis, dan ilmiah. Proposal studi ini merupakan bagian kecil dari kontribusi ilmiah yang kami arahkan kepada analisis deskriptif clustering (pengelompokkan) IKM di Jepang dengan penguatan pada porsi kebijakan IKM, perkembangan dan pemanfaatan teknologi dalam proses produksi dan pemasaran, dan potensi pengembangan jaringan IKM di Jepang dengan IKM di Indonesia. Analisis akan difokuskan pada pengelompokkan IKM di Jepang berdasarkan area (regional atau prefektur atau kota), jenis industri, jenis produk, tingkat teknologi, jangkauan pemasaran dan distribusi dan hubungan dengan mitra kerja bisnis antar negara. Secara rinci, metode pencarian data dan analisis adalah sebagai berikut: Tahap 1. 1. Survei jenis IKM, perusahaan dan karakteristik perusahaan dalam IKM (produk, produksi/proses, kapasitas, pemasaran, financial data, inter-relasi) 2. Menyusun direktori perusahaan IKM di Jepang berdasarkan area, jenis industri, lokasi, produk, technology, company capacity, management dan struktur organisasi, jenis badan usaha, group perusahaan, marketing (local dan Internasional), dan histori perusahaan. Produk dari tahap 1 adalah adanya analisis ketersediaan data karakteristik perusahaan IKM di Jepang secara proporsional dan representatif. Tahap 2. 1. Konfirmasi informasi yang sudah dikumpulkan dalam tahap 1 dengan sumber informasi perdagangan antara Indonesia-Jepang. 2. Penyebaran kuesioner kepada perusahaan-perusahaan IKM di Jepang untuk menggali informasi tentang potensi mitra bisnis dan atau keinginan berinvestasi di Indonesia. 3. Rekomendasi potensi industri yang yg bisa diterapkan di indonesia dan pembuatan jaringan kerjasama investasi (misalnya dengan: workshop tentang kebijakan investasi terkini, peraturan perpajakan dan kepabeanan, dan pameran industri IKM). 4. Analisis kuantitatif struktur industri IKM di Indonesia dan studi komparatif dengan IKM di Jepang, dengan melihat masing-masing sisi kelebihan dan kelemahannya. Produk keluaran tahap 2 adalah tersedianya rekomendasi kebijakan struktur industri IKM dengan penguasaan teknologi yang memadai dan sumber-sumber informasi mitra bisnis di Jepang yang berpotensi. 4. Penutup Perlunya analisis struktur industri IKM telah dirasakan semakin mendesar ditengah upaya pemerintah untuk membangun dan mengimplementasi kebijakan industri prioritas masa depan. Sebuah langkah ilmiah dalam bentuk studi ini kiranya perlu dilakukan sebagai bentuk kontribusi nyata dalam rangka memberikan porsi informasi yang relevan dan produktif untuk menunjang pengembangan IKM di Indonesia. Dr. (Eng) Fauzy Ammari adalah Direktur Working Group for Technology Transfer (WGTT) Jepang (http://wgtt.org/) ii Koordinator Bid Pendidikan & Budaya PPI Jepang, Mahasiswa S3 di Graduate School of Economics, Nagoya Univ., Jepang. iii Manager/IT Specialist, Working Group for Technology Transfer (WGTT) dan Post Doctoral fellow Gifu University, Jepang. iv Sumber: “Reidentifikasi Sektor Industri Potensial: Menangkap Pembiayaan Pasar Modal�, Presentasi Menteri Perindustrian RI pada Seminar Indonesia Investor Forum 2, tanggal 30 Mei 2007. v Op. cit. hal. 6 vi Pidato Menperin pada Konvensi Nasional Gugus Kendali Mutu (GKM) Industri Kecil Menengah (IKM), 6 Desember 2006, Manado, Sulawesi Utara. vii http://www.chusho.meti.go.jp/sme_english/outline/01/01.html i

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

24


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

UTAMA GOLONGAN KARYA DAN THE LIBERATION DEMOCRAT PARTY: SEBUAH TELAAH SINGKAT PERBANDINGAN THE RULING PARTY DI INDONESIA DAN JEPANG MS Akbar Faculty of Law, Niigata University E-mail: msakbar2006@yahoo.co.id

1. Pendahuluan Ada fenomena menarik akhir-akhir ini dalam dunia perpolitikan di Indonesia dan Jepang. Fenomena ini melibatkan the ruling party (partai yang berkuasa) di kedua negara tersebut, Partai Golongan Karya (Golkar) dan the Liberation Democrat Party (LDP). Di Indonesia, Golkar sebagai partai mayoritas di parlemen mengalami kekalahan di dua pilkada secara berturut-turut, Jabar dan Sumut. Sementara itu, LDP sebagai juga partai mayoritas di majelis rendah (semacam DPR) akhir-akhir ini mengalami kekalahan yang cukup telak. Pertama pada saat pemilihan anggota majelis tinggi (the House of Councillors) Jepang, LDP dikalahkan oleh rivalnya, the Democratic Party of Japan (DPJ) dan paling terakhir pada saat pemilihan anggota majelis rendah untuk pemilihan Yamaguchi Prefecture pada bulan April 2008, kandidat dari LDP dikalahkan oleh 1 kandidat dari DPJ dengan cukup telak di daerah konstituen kedua terbanyak di Jepang . Yang menarik dari fenomena diatas adalah kekalahan kedua partai dialami oleh keduanya setelah cukup lama menikmati sebagai partai berkuasa di kedua negara tersebut. Apakah fenomena ini merupakan titik balik bagi kedua partai tersebut pada pemilu yang akan datang? Akan tetapi tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tulisan ini lebih melihat pada dasarnya kedua partai tersebut, selain kekalahan berturut diatas, memiliki banyak persamaan dalam segala hal. Kita bisa melihat dalam beberapa aspek antara lain: sejarah pendirian kedua partai tersebut dan juga karakteristik kedua partai. Secara umum, terdapat kesamaan dalam hal latar belakang dan platform dari kedua partai tersebut. 2. Definisi partai berkuasa (the ruling party) Sebelum membandingkan antara kedua partai tersebut, alangkah baiknya dijelaskan dulu definisi dari partai berkuasa (the ruling party). Persamaan persepsi dibutuhkan karena terdapat pendapat yang menyatakan bahwa Golkar bukan merupakan partai berkuasa di Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada: Partai Golkar bukan merupakan mayoritas tunggal di DPR dan Presiden RI sekarang bukan merupakan anggota Partai Golkar. Pada hakekatnya istilah partai berkuasa lebih cocok digunakan untuk negara yang menganut sistem Parlementer. Pada sistem parlementer, pemilu dilaksanakan untuk memilih perwakilan di majelis rendah dan majelis tinggi (sistem ini berlaku di Jepang dan pelaksanaanya dilakukan pada waktu berbeda). Partai yang berkuasa biasanya memegang kekuasaan di majelis rendah, atau yang lebih dikenal sebagai parlemen, baik sebagai mayoritas tunggal (single majority) maupun berkoalisi dengan partai lain. Kekuasaan di legislatif akan berlanjut pada kekuasan di pemerintahaan, hal ini disebabkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahaan akan dipilih biasanya dari anggota partai yang berkuasa di parlemen. Sementara itu, pada negara dengan sistem presidensial, pemilu untuk perwakilan di parlemen dan presiden sebagai kepala pemerintahaan, dilakukan pada waktu yang berbeda. Sebuah partai yang berkuasa dapat dikatakan apabila memperoleh mayoritas kursi di parlemen dan juga Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

25


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

pemerintahaan melalui presiden. Akan tetapi walaupun presiden sebagai kepala pemerintahaan tidah harus berasal dari partai yang berkuasa, dengan menguasai legislatif, untuk keadaan tertentu, ia dapat mempengaruhi presiden dalam setiap kebijakannya. Berdasarkan teori tersebut diatas maka, dapat dikatakan bahwa LDP dan Golkar merupakan partai yang berkuasa di kedua negara tersebut, dengan menguasai majoritas kursi di parlemen. Hal ini sudah berlangsung dengan kurun waktu yang lama, sejak pendirian partai, walaupun ada dalam masa tertentu keduanya mengalami kekalahan dalam pemilu. Akan tetapi pada akhirnya keduanya dapat kembali memperoleh kekuasaannya dalam pemilu selanjutnya. 3. Tujuan dan karakteristik sebuah Partai Politik Pertanyaan selanjutnya, adalah apa yang disebut partai politik? Untuk tujuan apa partai politik tersebut didirikan dan apa yang membedakan satu partai politik dengan partai politik lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak dikemukakan terbebih dahulu, untuk mendefinisikan sebuah partai politik. Hal ini diperlukan mengingat ada saat suatu organisasi masa pada saat didirikan tidak menyebut dengan jelas sebagai partai politik akan tetapi pada kenyataanya organisasi untuk memperoleh kekuasaan disuatu negara dengan mengukuti pemilu di negara tersebut. Kondisi ini berlaku untuk partai golkar yang pada saat pendiriannya tidak menyebutkan diri sebagai partai politik. Para pendiri partai Golkar pada saat itu mempunyai persepsi yang negatif tentang partai politik. Akan tetapi pada saat Golkar mengikuti pemilu di tahun 1971, ia dapat dikategorikan sebagai partai politik. Hal ini disebabkan secara teori, Golkar dapat disebut sebagai partai politik. Partai Politik adalah suatu organisasi politik yang ditujukan mendapatkan kekuasaan dalam 2 pemerintahaan dengan jalan biasanya mengikuti pemilihan umum . Pada dasarnya sebuah partai politik dapat terdiri dari berbagai macam bentuk, tetapi pada hakekatnya fungsi utama sebuah partai politik: menempatkan anggotanya dalam posisi pemerintahaan; mengatur para anggotanya tersebut dalam pelaksanaan dan pembuatan kebijakan publik, dan melakukan fungsi mediasi antara masyarakat dan pemerintahnya 3 . Oleh karena itu, dengan jelas didefinisikan bahwa apapun bentuk suatu organisasi selama fungsi utamanya sebagai partai politik dan ingin memperoleh kekuasaannya disuatu negara dengan cara mengikuti pemilu maka ia dapat disebut partai politik. Dengan ini jelas bagi partai Golkar yang tidak secara jelas menyatakan sebagai partai politik pada awal pendiriannya dan juga tidak menamakan dirinya suatu partai politik tapi pada kenyataanya ia menjalankan fungsi sebagai partai politik. Untuk partai Golkar ungkapan yang disampaikan oleh William Shakespear amatlah tepat: “What’s in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet�. Sementara itu, berbagai macam latar belakang dalam hal pendirian suatu partai politik, diantaranya untuk mendukung suatu figur politik tertentu, menyebarkan suatu kebijakan tertentu atau suatu ideologi tertentu, mendanai suatu kelompok masyarakat hingga alasan politik praktis belaka. Para ilmuan mengelompokan partai politik berdasarkan ideologi yang melatar belakangi pendiriannya. Salah satunya dengan mempertimbangkan berdasarkan spektum politik, dimana partai politik dapat dibedakan berdasarkan ideologi yang dianutnya. Untuk itu kita mengenal Partai Politik yang beraliran kiri (Left-Wing) dan beraliran kanan (Right-Wing). Pada hakekatnya definisi left wing and right wing suatu partai politik berbeda-beda untuk suatu tempat dan periode sejarah. Di Jepang sendiri untuk mendefinisikan partai politik beraliran kanan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

26


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

dan kiri dapat ditentukan, walupun dalam hal tertentu terdapat pengecualian. Perbedaan rigt dan left ditentukan dalam hal: internasionalisme vs nasionalisme, pengendalian (planning) vs (free) market, individualism vs order/ community, equality vs freedom, secularized vs ecclesiastial, and 4 emancipation vs solidarity . Sementara itu di Indonesia hampir tidak pernah mendefinisikan partai politi dalam istilah tersebut, pengelompokan partai politik dengan spektrum politik tersebut lebih banyak dilakukan oleh para ilmuan. Perbedaan karakter partai politik disuatu negara juga dapat ditentukan bedasarkan sistem politik di suatu negara. Untuk itu kita dapat membedakan karakter partai politik di negara yang menganut noncompetitive atau one-party system dengan negara yang menganut competitive system termasuk didalamnya two-party system dan multyparty system. Pada dasarnya struktur dan karakter partai politik suatu negara sangat ditentukan berdasarkan sejarah budaya dan politik negara tersebut. 4. Partai Golongan Karya Golkar sudah menjadi partai berkuasa sejak era pemerintahan Soeharto (1966-1998) dan saat ini pun Golkar menjadi partai berkuasa dengan suatu koalisi di parlemen Indonesia. Walaupun berdasarkan hasil pemilu 2004, perolehan suara golkar tidak menghasilkan angka mayoritas tunggal tetapi Golkar berhasil memenangkan pemilu tersebut dengan meraih 128 dari 550 kursi di parlemen. (lihat tabel 1). Tabel 1 5 Hasil perolehan kursi di DPR dalam pemilu 2004

No.

Nama Partai

Total Pemilih

Total Kursi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

PNI PBSD PBB MERDEKA PPP PDK PIB PNBK DEMOKRAT PKPI PPDI PNUI PAN PKPB PKB PKS PBR PDIP PDS GOLKAR PANCASILA PSI PPD PELOPOR Total

923.159 636.397 2.970.487 842.541 9.248.764 1.313.654 672.952 1.230.455 8.455.225 1.424.240 855.811 895.610 7.303.324 2.399.290 11.989.564 8.325.020 2.764.998 21.026.629 2.414.254 24.480.757 1.073.139 679.296 657.916 878.932 113.462.414

1 0 11 0 58 5 0 1 57 1 1 0 52 2 52 45 13 109 12 128 0 0 0 2 550

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

27


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa pada dasarnya tidak terdapat partai yang dominan di parlemen. Sebagai partai pemenang pemilu Golkar hanya memperoleh 23, 27 % sementara itu PDI-P pada posisi kedua, memperoleh 19,8%. Dengan kata lain untuk menjadi partai yang berkuasa, Golkar harus melakukan koalisi dengan partai lain. Secara informal, Golkar seringkali melakukan koalisi dengan Partai Demokrat (10,36%), partai yang didirikan oleh Presiden Bambang Yudhoyono. Koalisi ini sangat dibutuhkan oleh pemerintahan sekarang mengingat ketua Golkar, Muhamad Yusuf Kalla, juga sebagai wakil Presiden RI. Pada kenyataannya Golkar seringkali menjadi partai penentu penentu setiap kebijakan yang diambil oleh parlemen. Kenyataan politik Golkar sebagai partai berkuasa tidak hanya dibuktikan melalui parlemen, tetapi juga melalui jalur birokrasi. Walapun Presiden RI berasal dari Partai Demokrat tetapi Wakil Presiden RI merupakan ketua Golkar. Kenyataan lain dapat dilihat, 5 dari 36 menteri di kabinet yang berasal dari Golkar. Sejarah Golkar dibentuk sejak 20 Oktober 1964 dengan nama awal sebagai Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pada saat pendirian, golkar dibentuk dengan dukungan para pemimpin TNI (ABRI pada saat itu), salah satunya Jendral Soeharto dan 97 organisasi non pemerintah. Selanjutnya organisasi masyarakat yang bernaung di bawah Golkar berkembang menjadi 220 organisasi. Sebagaimana telah dijelaskan, pada awal pendirian Golkar menyatakan tidak bertujuan politik. Penggunaan nama Sekber membuktikan bahwa Golkar berusaha menghindarkan sebagai Partai Politik. Pada saat itu, hal tersebut bukan merupakan masalah, mengingat dengan kekuasaan Presiden Soeharto, dengan mudah Golkar dapat disamakan sebagai partai politik untuk dapat mengikuti pemilu. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya UU Nomer 3 tahun 1975 yang mengatur tentang Partai Politik dan Golkar. Latar belakang pendirian pada dasarnya disebabkan terjadi ketidakpuasan dikalangan para petinggi militer tentang kestabilan politik dan perekonomian di Indonesia. Hal tersebut disebabkan seringkalinya pertikaian dikalangan partai politik untuk memperebutkan kekuasaan. Sebagai gambaran, pemilu pertama tahun 1955 diikuti oleh 28 partai politik. Ditambahkan lagi, Partai Komunis Indonesia (PKI) mejadi partai kelima terbesar hasil pemilu 1955. Pengaruh PKI juga semakin dirasakan di masayakat. Akibatnya terjadi pertikaian ideologi antar partai yang menyebabkan pertikaian dikalangan anggota partai dibawahnya. Tahun 1965 terjadi percobaan kudeta oleh PKI, yang itu semua akhirnya mendorong beberapa kelompok militer dan organisasi sipil memformulasikan Sekber Golkar menjadi suatu partai politik. Federasi ini yang merupakan cikal bakal Partai Golkar dimasa datang. Pada bulan Maret 1968, Jendral Soeharto secara resmi dipilih menjadi Presiden kedua oleh MPR. Didasari dengan latar belakang militer, Soeharto pada saat itu tidak terafiliasi oleh partai politik tertentu. Pada dasarnya ia tidak tertarik dengan partai politik, tetapi dengan menyadari bahwa untuk dapat dipilih kembali dibutuhkan dukungan partai politik. Pada awalnya ia tertarik dengan 6 Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang didirikan oleh mantan presiden Soekarno , tetapi untuk menjaga jarak dengan rejim orde lama pada akhirnya ia menggunakan Golkar sebagai kendaraan politiknya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

28


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Setelah dibawah kontrol Soeharto, Golkar berubah dari suatu federasi yang terdiri dari NGO menjadi partai politik dan mengikuti pemilu. Pada akhirnya Golkar juga mulai mengidentifikasikan sebagai pemerintah, memaksa para pegawai negeri untuk memilih sebagai bentuk loyal kepada pemerintah. Dengan kombinasi beberapa kekuatan, Soeharto, militer, pegawai negeri, sangat mudah bagi Golkar untuk memenangkan pemilu. Oleh karena itu sejak pemilu 1971 hingga 1997 Golkar selalu memenangkan pemilu. Pada masa tersebut Golkar menikmati sebagai non competitive atau one-party system, dimana Golkar selalu keluar sebagai one single party di parlemen. Sekali Golkar mengalami kekalahan dari PDIP dalam pemilu 1999 tetapi pada pemilu berikutnya kembali menjadi pemenang. (lihat table 2). Table 2 7 Perolehan kursi Golkar 1971-2004

Tahun Pemilihan 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004

Perolehan Kursi (%) 62.80 62.11 72 64.01 47.77 74 25,99 23.27

Fraksi dalam Internal Partai Sebagaiman telah dijelaskan bahwa Golkar dibentuk oleh 220 organisasi tetapi melalui hasil pertemuan umum partai pada November 1965 dan November 1967, organisisasi tersebut dikelompokan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO). Ketujuh KINO tesebut adalah Kosgoro, Soksi, MKGR, Profesi, Ormas Hankam dan Gerakan Pembaharuan. Pada akhirnya, dibawah rejim Orde baru (Pemerintahan Soeharto) Golkar semakin menjadi partai politik terkuat di Indonesia dan fraksi dalam Golkar dibagi menjadi tiga jalur: (1) Fraksi Militer, terdiri dari anggota militer yang diketuai oleh panglima ABRI dan lebih dikenal sebagai jalur A (2) Fraksi Birokrasi, terdiri dari anggota Golkar yang merupakan birokrasi pemerintahan dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, lebih dikenal sebagai jalur B (3) dan Fraksi Golongan, terdiri dari anggota Golkar yang bukan merupakan anggota jalur A atau B. Fraksi ini diketuai oleh Ketua Golkar dan lebih dikenal sebagai jalur G. Ketiga fraksi tersebut bekerja secara bersama untuk mendapatkan suara di pemilu dan juga mereka selalu membuat suatu kesepakatan untuk mendistribusikan jabatan politik dan birokrasi diantara anggota fraksi. Selama masa orde baru, fungi pembagian kekuasaan untuk menjaga kestabilan kekuasaan di Golkar berada ditangan Suharto sebagai Ketua Dewan Pembina. Karakter Golkar Ada sedikit kesulitan untuk mendefinisikan karakter dari partai Golkar yang didasari spektrum politik, partai sayap kiri atau kanan. Berdasarkan sejarah, Golkar didirikan sebagai penengah dari berbagai idelogi politik yang ada pada saat itu.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

29


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Pada dasarnya pembagian karakter ideologi suatu partai politik di Indonesia, dapat dibedakan sebagai berikut: Partai Politik beraliran kiri dikategorikan sebagai partai dengan ideologi nasionalisme atau sosialis. Pada sisi yang lain, Partai Politik beraliran kanan dikategorikan sebagai partai politik dengan latar belakang ideologi keagamaan atau berdasarkan agama tertentu. Untuk keadaan tertentu, Golkar dapat dikategorikan sebagai kecenderungan beraliran centreright8. Walaupun Golkar tidak dapat dikategorikan sebagai partai berdasarkan religi tetapi Golkar juga sulit dikategorikan sebagai berideologi sosialis. Akan tetapi Golkar selalu dikelompokan sebagai partai nasionalis, pengelompokan ini hanya untuk membedakan sebagai partai berdasarkan keagamaan (right wing). Pada dasarnya Golkar berasaskan Pancasila dan melihat dari visi, Golkar lebih menfokuskan dalam perkembangan dan kestabilan ekonomi serta agenda-agenda non-ideological dibandingkan dengan latar belakang ideologi tertentu. Kondisi Terkini Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto di bulan Mei 1998, Golkar dicap sebagai mesin politik pendukung rejim Soeharto. Pada saat itu masyarakat menuntut pembubaran dari Golkar. Akan tetapi, Golkar secara cepat berdaptasi dan mereformasi dirinya. Di bulan Juli 1998, melalui sebuah Kongres Nasional diadakan pemilihan ketua baru Golkar. Ini merupakan untuk pertama kalinya Golkar melakukan pemilihan ketua umumnya secara demokratis, dimana pada masa sebelumnya selalu ditunjuk oleh Ketua Dewan Pembina Golkar. Terjadi berbagai perubahan mendasar dalam tubuh Golkar, termasuk menghapus jabatan Ketua Dewan Pembina dan diganti dengan Dewan Penasihat. Perubahan yang paling mendasar lainnya adalah Golkar mengklaim dirinya menjadi sebuah Partai Politik dengan nama Partai Golongan Karya9. Dalam masa gonjang ganjing politik tersebut, di pemilu 1999 Golkar dikalahkan oleh PDIP sebagai partai yang berkuasa. Beberapa perubahan terjadi, walaupun sulit untuk suatu perubah total setelah lebih dari 30 tahun dibawah kontrol Soeharto. Diantaranya dalam hal internal fraksi ditubuh Golkar. Dengan adanya peraturan baru, militer dan pegawai sipil dilarang untuk terlibat dalam partai politik. Akan tetapi sampai sekarang kita masih mendapati keterlibatan militer dan pegawai negeri untuk mendukung 10 Golkar dalam bentuk yang lain . Dan ini dilakukan tidak secara langsung dan formal, masih terdapat usaha-usaha dari petinggi Golkar untuk melibatkan keduanya sebagai usaha mempertahankan posisi sebagai partai berkuasa. Berkaitan dengan fraksi internal partai, sistem ini masih dipertahankan oleh Golkar. Berdasarkan pasal 25 Anggaran Dasar Golkar disebutkan beberapa sayap organisasi partai Golkar, yang beberapa jalur tradisional jalur G dimasa lalu.

5. The Liberal Democratic Party (LDP) LDP atau Jimintoo, dalam bahasa Jepang, adalah sebuah partai politik konservatif dan terbesar di Jepang. LDP menjadi partai berkuasa hampir secara terus menerus sejak Jepang lepas dibawah kekuasan pasukan sekutu yang dipimpin oleh US.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

30


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dalam pemilu terakhir, tahun 2005, LDP memenangkan 295 kursi, sebuah perolehan terbesar sejak masa setelah perang. Dengan berkoalisi dengan partai New Komeito, koalisi tersebut menguasai 2/3 kursi di majelis rendah. (lihat tabel 3). Tabel 3 11 Hasil pemilu tahun 2005 Party

Single member

PR

Total

LDP

219

77 (25,887,798 / 38.18%)

296 (+59)

DPJ

52

61 (21,036,425 / 31.02%) 23 (8,987,620 / 13.25%) 9 (4,919,187 / 7.25%) 6 (3,719,522 / 5.49%) 2 (1,183,073 / 1.74%) 1 (1,643,506 / 2.42%) 1 (433,938 / 0.64%)

113 (-64) 31 (-3) 9 (0) 7 (+1) 4 (+4) 1 (+1) 1 (+1) 18 (+59) 480

Kōmeitō

8

JCP

0

SDP

1

PNP

2

NPJ

0

Shintō Daichi

0

Lain –lain Total

18 300

180 (67,811,069)

Data tersebut diatas mencerminkan bahwa pada tahun 2005, LDP sangat didukung oleh konstituen. Pada saat itu, LDP tengah gencar-gencarnya melakukan proses reformasi dalam perpolitikan Jepang termasuk didalamnya privatisasi Kantor Pos Jepang. Sesungguhnya, pemilu tahun 2005 adalah pemilu yang dipercepat pelaksanaannya 2 tahun. Hal tersebut terjadi akibat dari gonjang ganjing politik akibat reformasi yang dilakukan Perdana Menteri pada saat itu, Junichiro Koizumi. Koizumi melakukan percepatan pemilu mengingat proposalnya tentang privatisasi Kantor Pos ditolak oleh Majelis Tinggi, termasuk pula penolakan dikalangan internal LDP sendiri. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat secara tradisional, Kantor Pos Jepang, sebagai institusi pos dan keuangan milik pemerintah merupakan konstituen utama LDP dan juga acapkali menjadi sumber dana politik bagi tokoh-tokoh politik Jepang. Sejarah Pendirian LDP didirikan pada tahun 1955 sebagai gabungan dua partai politik yang saling beroposisi pada waktu itu, the Liberal Party (Jiyutoo) dan the Japan Democratic Party (Nihon Minshutoo). Gabungan kedua partai politik pada saat itu merupakan partai konservatif sayap kanan yang kemudian beroposisi dengan Japan Sosialist Party (JSP, yang pada akhirnya berganti nama dengan the Social-Democratic Party/ SDP) JSP sendiri merupakan gabungan dua partai politik, pada saat itu the Japanese Socialist Movement, terbagi menjadi dua sayap, sayap kiri dan kanan. Tapi pada akhirnya di bulan Oktober 1955, keduanya bergabung membentuk JSP. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

31


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dengan demikian secara jelas dapat disimpulkan bahwa pementukan LDP merupakan reaksi dari pembentukan JSP. Hal tersebut mengingat LDP sendiri dibentuk pada bulan November 2005, satu bulan setelah terbentuknya JSP.12 Pada kenyataan memang tidak hanya terdapat satu alasan terbentuknya LDP. Masaharu Kohno, dalam bukunya “Japan’s Postwar Party Politic menyatakan13: “The creation of the LDP has been interpreted as a product of basic demand within the Japanese society that transcended the accumulated mistrust between the long-standing rival parties, the Liberal and the Democrats. However, although the socio-ideological factors may have been at work, such factors alone cannot account for the details of the actual process by which the LDP was ceated”. Dalam bukunya tersebut, ditambahkan pula bahwa faktor yang lain yang mendukung terbentuknya LDP adalah dorongan dari pelaku bisnis di Jepang. Pelaku bisnis berperan besar dalam mendorong dan sebagai mediasi merger kedua partai konservatif. Alasan yang utama dari tindakan tersebut adalah Japan butuh suatu kestabilan politik untuk memulihkan ekonominya pasca Perang Korea. Kestabilan politik sangat dibutukan pada saat itu untuk mengembangkan kegiatan kapitalisnya. Terdapat sebuah slogan terkenal pada saat itu sebagai suatu tekanban untuk proses merger tersebut, “abandon small difference and concentrate on larger similarities!” Dalam situs web LDP sendiri, proses merger kedua partai tersebut, dinyatakan sebagai: “a unification of both parties would it be possible to establish a firm foundation for healthy parliementary democracy, stabilize politics, and build a stong national economy and welfare 14 system. Hal tersebut terbukti, setelah proses unifikasi LDP memenangkan pemilu secara mayoritas, dilanjutkan dengan terbentuknya untuk pertama kali pemerintahan Jepang yang konservatif di tahun 1955. Sejak itu LDP berhasil mempertahankan kemenangan secara mayoritas dalam pemilu hingga tahun 1993. Pada tahun 1993 terjadi berbagai skandal politik dan ekonomi dan juga akhir dari keajaiban ekonomi Jepang. LDP gagal mendapatkan kursi mayoritas tunggal walaupun masih sebagai partai terbesar di parlemen. Peristiwa tersebut mengakhiri 38 tahun pemerintahan di Jepang. Partai oposisi pada saat itu membentuk pemerintahan baru dibawah the Liberal Renewal Party. Pemerintahan dipimpin oleh Morihiro Hasokawa, ketua Japan New Party 15 (JNP) sebagai Perdana Menteri . Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, di tahun 1996 LDP kembali memegang kekuasaan sebagai partai mayoritas. Kembali LDP menjadi partai yang mendominan dalam perpolitikan Jepang. Hal tersebut berlangsung hingga tahun 1998 saat terbentuknya partai oposisi Democratic Party (the Democratic Party of Japan/ DJP). Sejak itu partai oposisi itu selalu berhasil mengurangi dominasi LDP dalam peta perpolitikan di Japang. Bahkan pada saat pemilu terakhir untuk majelis tinggi (the House of Councillors) tanggal 29 Juli 2007, DJP berhasil memperoleh kursi mayoritas di majelis tersebut. Fraksi Dalam Partai Dalam tubuh LDP sendiri terdiri dari beberapa fraksi, yang dalam bahasa Jepang disebut habatsu. Selama masa kekuasaannya yang panjang sebagai one-party rule dalam politik Jepang, terdapat sebuah persaingan yang dinamis diantara fraksi-fraksi tersebut. Hal tersebut dikenakan, fraksi yang dominan di LDP secara tidak langsung akan memegang kendali pemerintahan Jepang.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

32


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Pada akhirnya fraksi tersebut bukan hanya merupakan bagian-bagian dalam tubuh LDP dan menjadi semacam pusat organisasi partai, Masaru Kohno meyebutkan sebagai berikut: “Soon after the inception of LDP these faction began to take shape beyond original party division and 16 became the central organizational units within the party”. Saat ini terdapat lima fraksi utama dalam LDP. Hampir semua fraksi mempunyai jabatan resmi tetapi biasanya media masa Jepang meyebutkan fraksi tersebut dengan nama ketua fraksinya saat itu. Adapun urutan-urutan fraksi dari yang paling berpengaruh di LDP adalah: 1. Heisei Kenkyuukai (Fraksi Tsushima) yang diketuai Yuji Tsushima sejak September 2005. 2. Seiwa Seisaku Kenkyuukai (Fraksi Machimura) yang diketuai mantan menteri luar negeri Nobutaka Machimura. 3. Shisuikai (Fraksi Ibuki) yang diketuai Bunmei Ibuki. 4. Koochikai (Fraksi Koga) yang diketuai Makoto Koga. 5. Koochikai (Fraksi Tanigaki) yang diketuai Sadakuzu Tanigaki. 6. Kinmirai Seiji Kenkyuukai (Fraksi Yamasaki) yang diketuai Taku Yamasaki. 7. Banchoo Seisaku Kenkyuujo (Fraksi Komura) yang diketuai Masahiko Komura. 8. Tayuukai (Fraksi Kono) yang diketuai Yohei Kono. 9. Atarashii Nami “New Wave” (Fraksi Nikai) yang diketuai Toshihiro Nikai. 10. Anggota parlemen yang terafiliasi dengan fraksi.

Karakteristik LDP Pada dasarnya LDP adalah partai sayap kanan yang utama dan konservatif di Jepang. Hal ini didasari pada prinsip-prinsip partai dengan konservatif sebagai aliran utamanya, antara lain: bekerjasama dengan erat dengan US, respek dengan Tennoo-System (sistem monarki), mengutamakan ekonomi dibanding pertahanan (preference for butter than cannon) atau yang lebih jelas kebijakan disebutkan dengan istilah: rapid, export-based economy growth is better 17 than military . Berbeda dengan partai beraliran sayap kiri di Jepang, LDP tidak menyakatan secara jelas idiologi atau filosopi partai. Walaupun demikian pengamat politik Jepang mengatakan bahwa secara spektrum politik maka LDP berada dalam karangka antara right-wing hingga social-democratic.18 Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas, secara jelas kita dapat menyimpulkan bahwa Golkar dan LDP banyak memiliki banyak kesamaan termasuk dalam hal sejarah pendirian, karakter partai dan fraksi dalam tubuh partai. Apabila kita baca sejarah maka kita melihat bahwa LDP didirikan lebih dahulu dibanding Golkar. Apakah hal ini membuktikan bahwa para pendiri Golkar, Soeharto dalam hal ini, mengikuti pola dan terinspirasi oleh LDP?. Hal ini mengingat, Soehato dalam masa awal pemerintahan sangat dekat dengan Jepang dan bahkan beberapa kebijakannya banyak mencontoh Jepang dalam setiap kebijakannya. Memang dibutuhkan penelitian yang mendalam tentang hal ini, akan tetapi secara sederhana kita melihat beberapa kesaamaan mendasar antara Golkar dan LDP. Tabel berikut merangkum beberapa kesamaan antara kedua partai :

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

33


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Hal Kekuasaan

Sejarah

Partai Golongan Karya

Liberal Democratic Party

Sebagai partai berkuasa sejak pendirian, sekali dikalahkan pada tahun 1999.

Sebagai partai berkuasa sejak pendirian, sekali tidak memegang pemerintahan di tahun 1993 dan tahun 2007 kalah di majelis tinggi.

Sejak pendirian hingga tahun 1999 dalam kondisi noncompetitive atau one-party system dalam perpolitikan Indonesia.

Sejak pendirian hingga tahun 1998 dalam kondisi noncompetitive atau one-party system dalam perpolitikan Jepang

Dimasa lalu pegawai negeri merupakan konstituen utama.

Pegawai negeri konstituen utama.

Dibentuk untuk mencounter pengaruh PKI yang sedang meningkat

Dibentuk untuk menandingi pembentukan Japan Socialist Party.

Terdapat ketidakpuasan dikalangan militer akan ketidakstabilan politik dan ekonomi.

Keinginan adanya kestabilan politik untuk mengembangkan capitalist activities.

Merupakan sebuah federasi dari 97 NGO yang akhirnya berkembang menjadi 220 organisasi.

Merupakan merger the Liberal Party (JiyutĹ?) dan the Japan Democratic Party (Nihon MinshutĹ?),

Fraksi dalam internal Partai

Sebelum tahun 1998 terdapat tiga fraksi, militer, birokrasi, dan golongan. Saat ini tinggal fraksi golongan yang masih ada.

Karakteristik

Pancasila, dalam spektum politik dapat dikelompokan dalam midle-right wing walaupun pada hakekatnya tidak memiliki filosofi dan ideologi lebih menfokuskan pada pertumbungan dan kestabilan ekonomi dibandingkan mengedepankan ideologi.

merupakan

Terdiri dari lima fraksi utama dan beberapa fraksi kecil lainnya antara lain: Fraksi Tsushima, Fraksi Machimura, Fraksi Ibuki, Fraksi Koga, Fraksi Tanigaki, Fraksi, Fraksi Komura, Fraksi Kono, Fraksi Nikai), anggota parlemen yang terafiliasi dengan fraksi. Dapat dikelompokan sebagai rigth-wing walaupun tidak menyatakan jelas filosofi atau ideologi partai lebih mengutamakan ekonomi. (preference for butter than cannon or rapid, export-based economic growth is more better than military)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

34


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Daftar Pustaka [1] Hitoshi Abe, Muneyuki Shindoo, and Sadafumi Kawato,”The Government and Politics of Japan”, University of Tokyo Press, 1994. [2] Masaharu Kohno,”Japan’s Postwar Party Politics”, Princeton University Press, 1997. [3] Morio Hyodo and Yasuki Masui, Introduction to Japanese Politics (2007), a material for lecture in The Graduate School of Modern Society and Culture-Niigata University. [4] Sarwono Kusumaatmadja, “Partai Golkar: Dari Mana Mau Kemana , 2005. www.golkar.or.id. [5]

http://education.yahoo.com.

[6] www.golkar.or.id [7] www. Jimin.jp. [8] www.kpu.go.id. [9] www.wikipedia.org.

Catatan kaki 1

www.japantoday.com www. wikipedia.com 3 http://education.yahoo.com 4 Morio Hyodo and Yasuki Masui, “Introduction to Japanese Politics (2007)”, bahan pengajaran pada The Graduate School of Modern Soceity and Culture di Niigata University, hlm 52. 5 www.kpu.go.id. 6 www.wikipedia.org. 7 www.kpu.go.id dan berbagai sumber. 8 www.wikipedia.org. 9 Hal ini juga merupakan persyaratan suatu partai politik bedasarkan UU nomer 31 tahun 2002 tentang Partai Politik. 10 Pada kenyataannya tidak hanya Golkar yang melakukan tindakan tersebut, termasuk juga PDI-P dan juga partai-partai politik yang lain. 11 www.wikipedia.org. 12 Hitoshi Abe, Muneyuki shindoo dan Sadafumi Kawato, “The Goverment and Politics of Japan”, University of Tokyo Press, 1994, Hlm 115. 13 Masaharu Kohno, “Japan’s Postwar Party Politics”, Priceton University Press, 1977. Hlm 76-77 14 The formation of the Liberal Democratic Party. www.jimin.jp. 15 Masaru Kohno, opcit. Hlm 8. 16 Masaru Kohno, opcit., hlm. 90 17 Morio Hyodo dan Yasuki Masui, opcit. Hlm 53 18 Ibid. 2

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

35


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

UTAMA SISTEM, PROSES DAN PERKEMBANGAN ANGGARAN PEMERINTAH JEPANG: APA YANG BISA DIPELAJARI? Wawan Juswantoi Graduate School of International Development, Nagoya University E-mail: wawanjus@yahoo.com

Sebuah analisa yang kurang tepat jika membandingkan kondisi perekonomian Jepang dan Indonesia, mengingat perbedaan skala dan kematangan ekonomi kedua negara yang cukup jauh. Membandingkan kondisi perekonomian Jepang dengan kondisi Indonesia ibarat membandingkan kemampuan intelektual seorang mahasiswa dengan seorang siswa sekolah dasar. Namun demikian, mencoba untuk mempelajari dan mengambil hikmah dari apa yang telah dan sedang di lakukan oleh Jepang (seorang mahasiswa) untuk nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Indonesia (seorang siswa sekolah dasar) dalam rangka menuju suatu perekonomian yang lebih maju merupakan analisa yang mungkin masih dapat di terima secara logis. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan secara singkat mengenai kebijakan fiskal yang telah dan sedang dilaksanakan pemerintah Jepang. Kebijakan fiskal dapat di definisikan sebagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola anggaran pendapatan dan belanja ii negara . Di Jepang, kebijakan fiskal mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan perekonomian. Hal ini salah satunya diindikasikan dari peran anggaran terhadap pembentukan PDB Jepang yang mencapai lebih dari 35 persen. Informasi mengenai karateristik, kinerja dan tantangan yang di hadapi anggaran pemerintah Jepang, diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca tentang kebijakan fiskal di Jepang sekaligus dapat dijadikan bahan pemikiran bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola anggaran yang lebih baik kedepan. Tulisan ini akan di bagi menjadi 5 (lima) bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang sistem anggaran pemerintah Jepang, di bagian kedua membahas proses pengajuan anggaran, dilanjutkan pada bagian ke tiga mengulas mengenai perkembangan dan kondisi terkini. Pada bagian keempat akan dijelaskan mengenai 2 masalah utama yang dihadapi pemerintah Jepang yaitu mengenai jaminan sosial dan akumulasi obligasi pemerintah yang sudah sangat besar. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan. Bagian 1 Sistem Anggaran Pemerintah Jepang Tahun Fiskal Tahun anggaran atau sering disebut juga tahun fiskal di Jepang di mulai sejak 1 April dan di akhiri pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Jenis Anggaran Pemerintah Jepang menggunakan 3 jenis anggaran dalam mengelola keuangan negara yaitu General Account Budget, Special Account Budget dan Government-affiliated Agencies Budget. General Account Budget mencatat penerimaan dan pengeluaran pemerintah secara umum. Sisi pengeluaran dalam general account budget dikategorikan berdasarkan bidang atau kegiatan pokok yang dilakukan pemerintah misalnya bidang pekerjaan umum, jaminan sosial, pendidikan dan ilmu pengetahuan, pertahanan nasional, dan lain-lain. Sementara itu, penerimaan pajak dan hasil penjualan obligasi pemerintah merupakan bagian dari sisi penerimaan dalam general account. Secara umum, general account memperlihatkan ringkasan dari keseluruhan kebijakan fiskal yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun berjalan. Selain general account, pemerintah Jepang juga mempunyai apa yang disebut dengan special account budget (SAB). Special account budget dibuat untuk mengelola keuangan berbagi kegiatan khusus dan account ini dipisah dari general account. Paling tidak saat ini, ada tiga jenis special account yaitu (i) special account yang digunakan untuk mengelola proyek khusus, (ii) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

36


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

special account untuk fund management dan (iii) special account untuk kegiatan lainnya. Jumlah special account berubah setiap tahun disesuaikan dengan program-program khusus yang akan di lakukan oleh Pemerintah pada tahun bersangkutan. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Jepang mendapat banyak kritik tentang keberadaan special account ini, karena dianggap tidak effisien dan kurang transparan. Hal ini menyebabkan masyarakat luas sulit untuk mengetahui besarnya anggaran pemerintah secara keseluruhan. Untuk itu, pemerintah Jepang berupaya mengurangi jumlah special account secara bertahap dari tahun ke tahun. Jenis account lainnya yang dimiliki oleh pemerintah Jepang adalah account untuk mencatat kegiatan-kegiatan dari government-affiliated agencies. Agency ini dibuat oleh pemerintah Jepang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Agency-agency tersebut di buat berdasarkan udang-undang khusus dan dipisah dari manajemen pemerintahan, namun 100 persen merupakan milik pemerintah.. Fiscal Invesment and Loan Program (FILP) FILP adalah sebuah sistem yang dibentuk untuk melaksanakan berbagai kebijakan fiskal dengan memanfaatkan sumber dana komersial yang dihimpun dari masyarakat. FILP memberikan pinjaman maupun investasi ke FILP agency yaitu government-affiliated agencies, government financial institution, public corporations dan pemerintah daerah. Menggunakan dana FILP, FILP agency melaksanakan proyek-proyek yang sifatnya jangka panjang dan umumnya sulit dilakukan atau tidak menarik bagi pihak swasta seperti perumahan, pembiayaan usaha kecil menengah, sosial infrastructute, pendidikan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan sosial, pengembangan teknologi, pembangunan daerah dan kerjasama internasional. Sebelum tahun 2001, sumber pembiayaan FILP berasal dari tabungan pos, dana pensiun serta surplus dari special account dan agency pemerintah. Namun sejak 1 april 2001 pembiayaan FILP berasal dari 3 sumber (i) dana yang dihimpun oleh pemerintah melalui penerbitan obligasi FILP (ii) devidend dari Electric Power Development Company Ltd, Japan Tobacco Inc, Nippon Telegraph and Telephone Corp, dan surplus Japan Bank for International Cooperation dan (iii) obligasi yang diterbitkan oleh FILP agency dengan jaminan (garansi) dari pemerintah.

Bagian 2 Proses Pengajuan Anggaran Pemerintah Jepang Proses pengajuan anggaran pemerintah Jepang diawali dengan pembuatan kerangka dasar kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dan manajemen kebijakan fiskal. Pembuatan kerangka dasar ini dibuat setelah mendapat masukan dari Fiscal System Council (FSC) dan Council on Economic and Fiscal Policy (CEFP). Kedua Dewan (council) tersebut dibentuk untuk melakukan kajian dan memberikan masukan ke pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang ekonomi dan fiskal. FSC beranggotakan para peneliti, jurnalis, eksekutif perusahaan, sementara CEFP beranggotakan para menteri senior termasuk perdana menteri dan menteri keuangan, gubernur bank central Jepang, profesor dari berbagai universitas ternama dan kalangan eksekutif perusahaan. Tahap berikutnya adalah proses penyusunan anggaran yang meliputi beberapa tahap antara lain pembuatan proposal, pengajuan dan penjelasan anggaran oleh masing-masing kementrian, dilanjutkan dengan negosiasi untuk kemudian dilakukan penyesuain-penyesuain terhadap besaran anggaran yang diajukan oleh masing-masing kementrian. Rangkain proses ini menghasilkan draft pertama. Draft pertama tersebut selanjutnya dipresentasikan oleh departemen keuangan di sidang kabinet dan dilanjutkan dengan negosiasi di tingkat menteri. Tahapan ini menghasilkan keputusan kabinet tentang draft anggaran yang untuk selanjutnya diajukan ke parlemen. Proses negosiasi antara pemerintah dan parlemen tentang anggaran biasanya berlangsung relatif cepat. Hal ini dikarenakan pada setiap tahap penyusunan anggaran pada dasarnya sudah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

37


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

melibatkan berbagai kalangan termasuk didalamnya para politisi, sehingga draft anggaran yang disampaikan ke parlemen sudah mengakomodir keinginan dan pendapat dari partai politik. Bagian 3 Perkembangan dan Kondisi Terkini Kebijakan Fiskal di Jepang Perkembangan Kebijakan Fiskal di Jepang Pasca perang dunia II hingga tahun 1965, pemerintah Jepang secara ketat menerapkan anggaran berimbang. Artinya, anggaran dijaga agar jumlah pengeluaran sama persis dengan jumlah penerimaan dalam tahun bersangkutan. Memasuki tahun 1965, pemerintah Jepang tidak lagi menerapkan kebijakan anggaran berimbang. Hal ini karena sejak tahun 1965, berdasarkan undang-undang keuangan negara, pemerintah diperbolehkan untuk menerbitkan atau menjual obligasi. Namun demikian, dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1974, undang-undang hanya memperbolehkan pemerintah mengeluarkan obligasi infrastuktur. Hasil penjualan obligasi infrastuktur hanya boleh digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai sarana dan prasarana publik. Salah satu contoh sarana yang dibiayai oleh obligasi ini adalah jalur kereta api super cepat (shinkansen). Peningkatan harga minyak pada tahun 1973, atau di negara-negara pengimpor minyak seperti halnya Jepang dikenal sebagai oli crisis, telah menyebabkan goncangan pada perekonomian dalam negeri Jepang, yang pada akhirnya mengurangi penerimaan perpajakan. Untuk itu, Jepang melakukan amandemen terhadap undang-undang keuangan negaranya dan memperbolehkan pemerintah untuk menerbitkan tidak hanya obligasi infrastruktur namun juga obligasi yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran dan belanja pemerintah atau dikenal dengan istilah deficit-financing bond. Amandemen undang-undang tersebut telah menyebabkan iii rasio obligasi terhadap total pengeluaran mencapai puncaknya pada akhir dekade 1970 an menjadi 34,7 persen. Mengingat rasio obligasi terhadap total pengeluaran yang sudah begitu besar di akhir dekade 70an maka memasuki tahun anggaran 1980, pemerintah Jepang mulai melakukan upaya-upaya untuk mengurangi jumlah deficit-financing bond yaitu antara lain dengan menerapkan batas anggaran untuk masing-masing sektor serta reformasi di bidang fiskal dan sistem administrasi. Salah satu reformasi yang dilakukan adalah reformasi sistem jaminan sosial pada tahun 1983 dan privatisasi Japan National Railway. Adanya upaya-upaya tersebut ditambah dengan peningkatan penerimaan perpajakan dalam akhir dekade 1980an sebagai dampak dari bubble iv economy membuahkan hasil yang cukup memuaskan yaitu di tahun anggaran 1990 pemerintah Jepang tidak menerbitkan deficit financing bond untuk pertama kalinya sejak tahun 1974. Namun demikian, kondisi yang cukup kondusif pada dekade 1980an tidak berlanjut pada dekade 1990an. Pada awal dekade 1990an Jepang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat ambruknya masa-masa bubble economy. Menghadapi kelesuan ekonomi, pemerintah Jepang berupaya mengairahkan perekonomian antara lain dengan cara penciptaan mega proyek dan pemotongan pajak secara signifikan. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi peningkatan defisit yang cukup tajam yang pada akhirnya harus ditutup dengan penjualan obligasi pemerintah. Dalam tahun anggaran 1996 penjualan obligasi pemerintah mencapai puncaknya kembali yaitu sebesar 22 triliun yen. Krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1997 turut memperburuk kondisi perekonomian Jepang. Untuk itu, pada tahun anggaran 1997 pemerintah v Jepang melakukan upaya-upaya konsolidasi fiskal yaitu dengan menaikan pajak pertambahan nilai dari 3 % menjadi 5 % dan melakukan review dan penghematan di sisi pengeluaran. Upaya tersebut akhirnya dapat mengurangi nilai penjualan obligasi menjadi hanya sebesar 16.7 triliun yen pada tahun anggaran 1997. Dalam kurun waktu 1998-2000, pemerintah Jepang masih di hadapkan pada kondisi perekonomian domestik maupun kawasan yang masih kurang menguntungkan dan berbagai upaya untuk mengairahkan perekonomian atau economic recovery terus dilakukan. Selanjutnya, memasuki awal abad ke 21 pemerintah Jepang mulai Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

38


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

merubah tujuan kebijakan fiskalnya dari pemulihan ekonomi menjadi reformasi struktural yang didasarkan pada “reformasi struktural perekonomian Jepang : kebijakan dasar manajemen ekonomi makro�. Kondisi Terkini Kebijakan Fiskal di Jepang Permasalahan utama dalam struktur penerimaan anggaran Jepang dalam beberapa tahun terakhir adalah peran obligasi pemerintah yang masih relative besar terhadap total penerimaan negara. Sementara itu, semakin besarnya beban pembayaran manfaat jaminan sosial dan pembayaran pokok dan bunga utang merupakan dua masalah utama di sisi pengeluaran. Grafik 1 menunjukkan bahwa di sisi penerimaan, meskipun penerimaan pajak menunjukkan trend peningkatan dan penjualan obligasi menunjukkan trend sebaliknya namun ketergantungan penerimaan negara dari penjualan obligasi masih relative besar yaitu berkisar 30 sampai dengan 50 persen selama kurun waktu 2004 – 2008. Sementara itu, di sisi pengeluaran, lebih dari 50 persen anggaran digunakan untuk membayar manfaat jaminan sosial serta pokok dan bunga utang. Sementara porsi pengeluaran lainnya, termasuk di dalamnya pengeluaran untuk pembangunan hanya berkisar 30 persen dari total anggaran.

Grafik 1. Rincian Pendapatan dan Belanja Negera Jepang 2004-2008 % thd total penerimaan

% thd total pengeluaran

100.00

100.00

90.00

90.00

80.00

80.00

70.00

70.00

60.00

60.00

50.00

50.00

40.00

40.00

30.00

30.00

20.00

20.00

10.00

10.00

0.00

0.00 2004

2005

2006

2007

2008

Pajak

Non-pajak

Construction Bonds

Special Deficit Financing Bonds

Jaminan Sosial

Pembayaran bunga dan pokok utang

Transfer ke daerah

lainnya

Sumber : Ministry of Finance, Japan, diolah. Bagian 4 Jaminan Sosial dan Obligasi Pemerintah Seperti telah di sampaikan sebelumnya bahwa beban anggaran pemerintah Jepang untuk pembayaran manfaat jaminan sosial dan pembayaran pokok serta bunga utang sudah sangat berat. Beban pembayaran manfaat jaminan sosial diperkirakan akan terus semakin berat. Hal ini terutama disebabkan kondisi masyarakat Jepang yang telah memasuki super-aged society dan diperkirakan akan terus semakin tua di masa-masa mendatang. Pada tahun 2005, 20 persen dari jumlah penduduk telah berusia lebih dari 65 tahun dan diprediksikan pada tahun 2025 vi sebesar 29 persen serta tahun 2050 sebesar 35 persen . Kondisi masyarakat yang sudah sangat tua ini disebabkan karena angka kelahiran yang sangat rendah di satu sisi dan angka harapan hidup yang sangat tinggi di sisi lainnya. Terdapat 4 jenis jaminan sosial yang berlaku di Jepang yaitu jaminan hari tua , asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja dan dana anak. Dari keempat jenis tersebut lebih dari 80 persen anggaran jaminan sosial digunakan untuk membayar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

39


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

uang pensiun dan asuransi kesehatan, dan terutama asuransi kesehatan ini banyak di manfaatkan oleh penduduk lanjut usia (senior citizen). Permasalahan lain yang sudah cukup berat adalah akumulasi utang atau obligasi pemerintah yang sudah sangat besar. Pada tahun 2007 jumlah obligasi pemerintah (outstanding) mencapai 547 triliun yen atau lebih dari 150 persen dari GDP. Pembayaran bunga dan pokok utang ini telah menyerap lebih dari 25 persen anggaran pemerintah Jepang. Kondisi ini menyebabkan anggaran pemerintah sangat rentan terhadap perubahan suku bunga, karena sampai dengan saat ini pemerintah masih menikmati tingkat bunga pembayaran utang yang relatif rendah, namun apabila terjadi peningkatan suku bunga akan menyebabkan beban anggaran untuk pembayaran utang pemerintah meningkat sangat pesat. Bagian 5 Kesimpulan Ada beberapa catatan atau kesimpulan yang bisa diperhatikan dan dipelajari dari pengalaman pemerintah Jepang dalam mengelola keuangan negara yaitu (i) pemerintah Jepang tidak mengikuti standard internasional pencatatan keuangan pemerintah. Hal ini, terutama, dapat dilihat dengan dimasukannya penjualan obligasi pemerintah sebagai penerimaan anggaran. Menurut standard pencatatan keuangan pemerintah, hasil penjualan obligasi atau utang seharusnya dimasukkan sebagai pembiayaan. (ii) Pengajuan rancangan anggaran oleh pemerintah ke parlemen dilakukan dalam tahap akhir proses penyusunan anggaran dan proses negosiasi dengan parlemen berlangsung relatif cepat. Hal ini bisa terjadi karena dalam penyusunan rancangan anggaran telah melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk di dalamnya partai politik, sehingga rancangan yang diajukan pada dasarnya sudah mengakomodir keinginan atau pendapat dari masing-masing partai politik. (iii) Akumulasi utang atau obligasi pemerintah sudah sangat besar, sekitar 10 kali lipat dari pendapatan pajak pertahun. Akumulasi utang ini merupakan warisan beban bagi generasi masa datang. (iv) Beban pembayaran manfaat jaminan sosial sudah dan akan terus semakin berat seiring dengan tingginya jumlah penduduk usia tua.

i

Penulis adalah PNS Departemen Keuangan RI, saat ini sedang mengikuti program Doktor di Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan. Untuk pertanyaan dan saran silahkan kontak ke wawanjus(at)yahoo(dot)com . Isi tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat dan tanggung jawab pribadi penulis dan bukan merupakan pandangan institusi Dep. Keuangan RI maupun Nagoya University. Topik ini dipersentasikan oleh penulis pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, kantor perwakilan Tokyo, Jepang pada tanggal 16 April 2008. ii Untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan digunakan kata anggaran untuk menggantikan kalimat anggaran pendapatan dan belanja negara. iii Total penjualan obligasi pemerintah dibagi dengan total pengeluaran pemerintah dalam tahun yang sama. Rasio ini menunjukkan seberapa besar peran (share) penjualan obligasi terhadap total pengeluaran pemerintah. iv Kondisi dimana suatu perekonomian mengalami Pertumbuhan pesat diluar kebiasaan dan hanya bersifat sementara, biasanya di tandai dengan peningkatan harga surat-surat berharga. v Kondolidasi fiksal adalah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan anggaran di satu sisi dan pada saat yang bersamaan berupaya untuk mengurangi atau menghemat pengeluaran disisi lain, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi defisit anggaran. vi Menurut definisi United Nation suatu masyarakat dikategorikan masyarakat tua (aging-society) jika 7 persen dari jumlah penduduknya berusia lebih dari 65 tahun, telah tua (aged society) jika 15 persen dan telah sangat tua (super-aged society) jika lebih dari 20 persen penduduknya berusia lebih dari 65 tahun

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

40


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

UTAMA TRANSFER TEKNOLOGI PADA SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA: MENELAAH 50 TAHUN HUBUNGAN PERSAHABATAN INDONESIA-JEPANG Erkata Yandri

Technology Transfer Manager Working Group for Technology Transfer Kurono Kopo 125, Furuichiba 32-1, Gifu-shi, Gifu-ken, Japan 501-1121 Email: erkata.yandri@wgtt.org

PENDAHULUAN Dengan persaingan global yang semakin terbuka luas, Indonesia, mau tidak mau harus lebih giat meningkatkan ekspor, meningkatkan investasi yang membangun infrastruktur, memacu sektor industri yang menumbuhkan sektor pertanian, memperbanyak dan meningkatkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM), meningkatkan usaha eksplorasi energi, yang pada akhirnya akan membuka lapangan kerja dan menurunkan angka kemiskinan. Untuk usaha tersebut, sangat dibutuhkan sekali suatu proses transformasi yang sangat pesat dan efektif di segala sektor. Tentu saja rencana ini menjadi suatu daya tarik sendiri bagi negara lain untuk berkontribusi di Indonesia. Hal inilah yang semakin membuka peluang peningkatan hubungan kemitraan yang makin luas antara Jepang dan Indonesia, tentunya dengan prinsip saling membutuhkan dan menguntungkan. Jepang sudah tepat memilih Indonesia sebagai mitra karena potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang merupakan tempat yang cocok bagi investasi Jepang yang dengan pertumbuhan ekonominya yang sudah stagnant. Indonesia masih menjadi tempat favorit bagi investasi Jepang, khususnya di sektor manufaktur dan sektor pendukung lainnya. Begitu juga sebaliknya, Indonesia juga sudah tidak salah lagi memilih Jepang sebagai mitra pembangunannya dengan melihat teknologi dan potensi investasi yang dimiliki oleh Jepang. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Japan’s Bank for International Cooperation (JBIC) pada than 2004, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah China dalam investasi Jepang di luar negeri, yaitu sebesar 24% di China, 16% di Indonesia, Thailand 14%, Singapura dan Malaysia 9%. Kemitraan Indonesia-Jepang, sudah terjalin sejak lama, tanpa terasa sudah mencapai ke usia 50 tahun saja. Jepang adalah salah satu mitra dagang dan bisnis Indonesia yang menduduki posisi paling penting dan strategis. Saat ini, ada sekitar 1.200 perusahaan Jepang di Indonesia, mayoritas mendominasi sektor Industri manufaktur yang mampu memberikan lapangan pekerjaan tidak kurang dari 200.000 orang Indonesia. Banyak diantara mereka yang menduduki posisi penting sebagai Manager dan bahkan ada yang menjadi Direktur. Tentu ini merupakan sesuatu keuntungan yang sangat positif bila melihat kenyataan dengan tersedianya lapangan kerja, alih teknologi maju Jepang ke Indonesia, dan budaya manajemen Jepang yang sarat filosofi budaya kerjanya dengan produktifitasnya yang tinggi. Pada tanggal 20 Agustus 2007, bertempat di Jakarta, hubungan persahabatan Indonesia-Jepang ini sudah memasuki suatu babak baru dengan ditanda-tanganinya Japan and the Republic of Indonesia for an Economic Partnership (JIEPA) oleh Perdana Menteri Jepang waktu itu, Shinzo Abe dan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Ada sebanyak 7 butir kesepakatan pada JIEPA ini, yang pada intinya adalah untuk meningkatkan kerjasama kedua negara di segala bidang, seperti: industri manufaktur, pertanian, kehutanan, perikanan, perdagangan dan investasi, pengembangan sumber daya manusia, jasa keuangan, pengadaan barang pemerintahan, lingkungan, energi dan sumber daya mineral, dan bidang lainnya. Khusus untuk pengembangan sektor industri manufaktur, kedua belah pihak untuk jangka panjang akan mengembangkan berbagai sub sektor, seperti: perlogaman, teknik pembuatan cetakan, teknik pengelasan, konservasi energi, dukungan promosi industri kecil dan menengah, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

41


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

promosi eksport dan investasi, suku cadang otomotif, peralatan elektronik, baja dan produk baja, tekstil, petrokimia, pelatihan, makanan dan minuman. Bentuk implementasi dari kerjasama ini termasuk; studi dasar, bantuan tenaga ahli, penyediaan peralatan, pelatihan, seminar dan workshop, kunjungan perusahaan Jepang. Khusus kerjasama pada sektor industri manufaktur, bentuk kegiatan pada studi dasar lebih difokuskan pada sektor perlogaman, teknik pencetakan, teknik pengelasan, produk baja, tekstil, petrokimia, dll. Bantuan tenaga ahli difokuskan pada sektor teknik pencetakan, konservasi energi, suku cadang otomotif. Pelatihan difokuskan pada sektor teknik pencetakan, suku cadang otomotif, peralatan elektronik, dan tekstil. Sedangkan seminar dan workshop difokuskan pada teknik pencetakan, konservasi energi, produk baja, dan tekstil. Jepang akan memberikan bantuan teknis, melalui pusat pengembangan industri manufaktur kepada perusahaan manufaktur Indonesia untuk memenuhi standar kualitas internasional. Tentu saja, sektor otomotif dan suku cadang, elektrikal dan barang-barang elektronik menjadi focus utama bantaun kerjsama teknis ini. Perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki, dan Daihatsu akan menempatkan Indonesia sebagai pusat produksi untuk beberapa komponen utama yang ditujukan untuk pasar ASEAN. Pusat produksi di Indonesia ini akan terhubung dengan unit produksinya di Negara ASEAN yang lain seperti Thailand, Malaysia, Philippine. Hal yang sama juga diterapkan pada industri sepeda motor, elektrikal dan barang-barang elektronika lainnya. Jepang juga menyediakan bantuan teknis untuk membantu badan sertifikasi Indonesia agar perusahaan-perusahaan tersebut memenuhi standar industri Jepang pada sektor pertanian dan produk perikanan. Dalam percaturan perdagangan global, masalah tarif bukanlah menjadi masalah utama, melainkan masalah kualitas yang termasuk di dalamnya keselamatan dan kesehatan kerja yang berpotensi untuk menjegal ekspor Indonesia jika masalah ini tidak diselesaikan dengan serius. Beragam tanggapan dari berbagai pihak mengenai perjanjian JIEPA ini, banyak yang positif tetapi tidak sedikit juga yang menanggapinya dengan nada skeptis. Yang bernada negatif skeptis lebih menanggapinya dengan menyorot masalah pembebasan tarif bea masuk barang Jepang ke Indonesia dan ketidaksiapan perusahaan dalam negeri karena kurang terbentengi dengan kesepakatan tersebut. Yang bernada positif optimis lebih membahas ke masalah pengembangan capacity building dan adanya peningkatan kepercayaan diri Jepang untuk lebih masuk berinvestasi di Indonesia. Semua orang bebas menanggapi perjanjian kerjasama baru tersebut dan sebaiknya biarkan saja! Soalnya, ada masalah yang tidak kalah pentingnya yang akan dibahas dalam tulisan sederhana ini. PERMASALAHAN Dengan hubungan persahabatan Indonesia – Jepang yang sudah memasuki usia 50 tahun ini, tentu sudah banyak kemajuan yang dicapai di segala bidang dalam kurun waktu tersebut. Yang paling terasa dan terlihat sekali adalah kemajuan di sektor industri manufaktur. Nah, kalau berbicara soal industri manufaktur, sepertinya tidak bisa melepaskan diri dari kata “Transfer Teknologi”. Transfer teknologi selalu menjadi pokok bahasan yang menarik dari berbagai pihak, mulai dari pemerintahan, pembuat kebijaksanaan, badan pendanaan Internasional, kampus perguruan tinggi, lembaga penelitian, pelaku bisnis dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang erat sekali antara transfer teknologi dengan pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa pertanyaan yang cukup menarik untuk dibahas di sini, seperti, “Sudah sejauh mana status transfer teknologi dari Jepang ke Indonesia dalam kurun waktu 50 tahun ini? Mungkin kita pernah mendengar juga dengan pertanyaan seperti ini,”Kenapa Indonesia masih tetap saja dijadikan sebagai tempat perakitan dan pemasaran produk Jepang?” atau yang ini, “Akankah status sebagai tempat perakitan barang Jepang masih tetap dipertahankan?” Mungkin juga yang ini, “Dimana letak permasalahan transfer teknologi ini di Indonesia?” Pertanyaan di atas mungkin sah-sah saja di sini dengan menyadari waktu 50 tahun yang sudah dijalani bersama Jepang. PEMBAHASAN Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

42


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sebaiknya, kita bahas masalah transfer teknologi pada sektor industri manufaktur ini saja agar lebih fokus dan tidak usah jauh-jauh melebar ke sektor lain. Kelihatannya ini cukup menarik untuk dibahas. Jepang selama ini di Indonesia sudah merintis industri manufakturnya di sektor otomotif, elektronik, kimia, perlogaman, tekstil, dan lain sebagainya. Yang terbesar sudah pasti di sektor otomotif dan elektronik. Sudah bisa diduga di sini bahwa bagi Jepang, bentuk kerjasama di atas lebih ditujukan untuk bagaimana mengamankan mata rantai sektor industri manufakturnya yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia. Jepang mencoba mengarahkan bagaimana kerjasama tersebut lebih bermanfaat dan menguntungkan untuk investasi Jepang untuk jangka panjang di Indonesia. Untuk perluasan lapangan kerja dan peningkatan perekonomian, Indonesia sudah pasti akan mendapatkan manfaatnya di situ, tetapi kembali kepada permasalahan kita tadi yaitu soal transfer teknologinya. Tentu saja beberapa pertanyaan di atas tadi perlu segera dicari jawaban, kalau perlu solusinya sekalian, jika memang Indonesia tidak mau lagi memperpanjang statusnya sebagai tempat perakitan produk Jepang. Harus diakui di sini bahwa sebenarnya Jepang masih mengincar biaya tenaga kerja dan energi Indonesia yang masih cukup murah jika dibandingkan berinvenvestasi di negara lain. Salah satu tujuannya adalah untuk menghadapi dominasi produk China yang sangat murah. Jika Indonesia cukup hanya dijadikan sebagai basis perakitan, maka tidak perlu bersusah payah membangun Indonesia sebagai basis R&D karena di situlah letak kunci teknologinya. Keberadaan produk manufaktur Jepang di pasar dunia terletak pada R&D nya. Ada beberapa pertimbangan Jepang dengan belum memusatkan basis R&D nya di Indonesia, seperti biaya yang mahal, waktu peluncuran produk baru yang ketat, ketakutan akan pencurian teknologi atau pelanggaran hak cipta, dan lain sebagainya. Mari kita ulas sedikit apa itu transfer teknologi. Banyak definisi tentang transfer teknologi ini. Secara umum, transfer teknologi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menggunakan teknologi, keahlian, pengalaman dan fasilitas agar bisa dikembangkan lebih lanjut atau berinovasi secara komersial sehingga dapat bermanfaat secara ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Ini mempunyai pengertian bahwa teknologi yang berasal dari suatu sektor bisa beradaptasi dan diaplikasikan ke berbagai sektor yang lain. Ada dua tempat kejadian transfer teknologi yang kita bahas di sini. Pertama adalah transfer teknologi pada perusahaan Indonesia skala kecil dan menengah yang memakai teknologi Jepang. Kedua adalah transfer teknologi kepada orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan Jepang di Indonesia. Keberadaan teknologi Jepang pada industri kecil dan menengah di Indonesia boleh dibilang baru menjalankan setengah dari proses transfer teknologi tersebut. Mengapa terjadi demikian? Hal ini dikarenakan belum mampunya mereka untuk sampai pada tahap inovasi atau menghasilkan suatu teknologi yang sudah melalui proses utilisasi dan adaptasi. Perusahaan kecil dan menengah yang memakai teknologi Jepang ini lebih mengangap bahwa teknologi Jepang tidak lebih daripada sekedar mesin-mesin yang dibuat oleh Jepang atau peralatan-peralatan yang mampu menciptakan peluang ekonomi. Pendapat seperti ini lahir karena Jepang tidak dilibatkan dalam hal know how, skill, desain, inovasi atau pengembangan lebih lanjut tentang teknologi tersebut. Perusahaan kecil dan menengah di Indonesia lebih dianggap sebagai end consumer atau end user saja dari teknologi Jepang tersebut. Memang harus diakui, teknologi Jepang telah berkontribusi banyak dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, tetapi yang menjadi masalah di sini adalah tidak terciptanya industrialisasi yang hebat dari transfer teknologi Jepang ini. Banyak yang beranggapan bahwa teknologi Jepang lebih cenderung menghasilkan operator yang tergantung pada teknologi tersebut daripada menghasilkan Innovator yang mampu menciptakan teknologi setelah melewati proses transfer teknologi yang benar. Bisa dilihat di sini bahwa kebanyakan perusahaan kecil dan menengah Indonesia tidak mampu membuat barang yang benar-benar kompetitif dan tidak mampu menciptakan teknologi alternatif. Dimana letak masalahnya? Sederhana saja, masalahnya terletak pada kemauan. Kemauan untuk melakukan proses transfer teknologi yang benar tersebut. Perusahaan kecil dan menengah di Indonesia harus melakukan suatu terobosan agar mampu menggunakan informasi dan know how yang didapat dari teknologi tersebut sehingga akan mampu juga memilih, melakukan adaptasi, utilisasi, inovasi, dan pada akhirnya akan menciptakan dan mengembangkan teknologi itu tersendiri.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

43


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Bagaimana dengan transfer teknologi kepada orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan Jepang di Indonesia? Rata-rata perusahaan Jepang di Indonesia menempatkan beberapa orang Jepang pada posisi manajemen kunci. Disamping direktur yang pada umumnya masih dipegang oleh orang Jepang, ada beberapa posisi manajer yang masih dipegang oleh orang Jepang. Kebutuhan akan transfer teknologi di perusahaan Jepang ini sudah tidak bisa ditahan lagi. Sudah ada suatu keberanian dari pihak Jepang untuk memberikan posisi kunci kepada orang Indonesia yang sebelumnya dipegang oleh orang Jepang. Hal ini masuk akal mengingat begitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan mempekerjakan orang Jepang. Bahkan posisi Direktur sudah mulai diberikan kepada kepada orang Indonesia. Walaupun kelihatannya agak terlambat, tetapi sudah cukup memperlihatkan adanya keinginan dari pihak Jepang untuk segera melakukan transfer teknologi kepada orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Jepang tersebut. Bentuk transfer teknologi di sini seperti manajemen teknologi, manajemen kualitas, manajemen produktifitas, dan lain sebagainya. Kendala yang dihadapi selama ini dengan staf manajemen Jepang adalah terletak pada faktor bahasa dan budaya. Begitu juga dengan kemampuan staff Jepang dalam hal manajemen yang kurang, yang lebih kuat pada teknikalnya saja. Hal ini disebabkan bahwa kebanyakan posisi manajemen yang dipegang oleh orang Jepang ini ditangani oleh orang Jepang yang di Jepang sendiri (mungkin) belum mencapai posisi Manajer, rata-rata mereka sudah melewati masa produktif kerja atau sudah tua dan (mungkin) bukan dari lulusan perguruan tinggi. Faktor perbedaan budaya juga tidak bisa dianggap remeh dalam hal ini. Dari beberapa masalah di atas menyebabkan sering terjadinya salah komunikasi, salah persepsi, dan mungkin juga menjadi salah instruksi. Rata-rata perusahaan Jepang lebih memilih untuk mempekerjakan lulusan D3 dan S1 Fresh Graduate yang akan dipersiapkan untuk mengisi posisi yang lebih tinggi, seperti menjadi Supervisor, Assistant Manager, dan juga Engineer. Inilah yang menjadi masalah dalam hal transfer teknologinya, dari pihak Jepang yang dengan stafnya dengan kualifikasi seperti yang sudah dijelaskan di atas berhadapan dengan fresh graduate yang haus akan ilmu dan pengalaman kerja. Transfer teknologi yang tidak sesuai dengan prosesnya mengakibatkan tidak sedikit fresh graduate tersebut yang frustasi dan pada akhirnya mengundurkan diri setelah mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Tingginya tingkat turn over untuk fresh graduate pada perusahaan Jepang ini sangat bertolak belakang sekali dengan di Jepang yang menganut paham kerja untuk seumur hidup pada satu perusahaan. Inilah salah satu kendala dalam agenda transfer teknologi antara staff Jepang dan staf lokal. Transfer teknologi berjalan tidak efektif karena prosesnya yang sering terputus yang disebabkan oleh gonta-ganti orang karena masa kerja yang singkat pada suatu perusahaan. Segalanya menjadi serba tanggung dan tidak matang! Terlepas dari motivasi orang yang beragam untuk pindah kerja dan susah untuk ditebak, masalah ini cukup disayangkan. Sekarang mari kita bicara transfer teknologi yang sederhana saja dulu, tidak usah yang terlalu tinggi atau rumit. Mari kita libatkan sedikit tentang hal-hal yang popular, seperti 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) yang terkenal ampuh untuk menciptakan kebersihan, kerapian, kenyamanan, dan efisiensi di tempat kerja. Begitu juga dengan Kaizen atau bahasa Inggrisnya Continuous Improvement yang terkenal mampu membangkitkan semangat untuk selalu meningkatkan kualitas dan efisiensi biaya produksi terus menerus. Ada lagi yang namanya TPM atau Total Productive Maintenance, yang mampu meningkatkan kesadaran dan kepedulian dari Operator mesin produksi untuk selalu menjaga kondisi mesin dengan “self maintenance� agar mesin tetap prima sehingga mampu menghasilkan produk sesuai standar kualitas yang ada dengan produktifitas yang tinggi. Untuk masalah kualitas, ada juga namanya QCC (Quality Control Circle) yaitu sistem pengontrolan kualitas yang selalu mencari secara detail akar permasalahan yang ada. Sistem ini telah dikembangkan menjadi Lean Manufacturing, Total Quality Management, dan juga Six Sigma. Di perusahaan Jepang yang di Jepang, semua sistem yang dijelaskan di atas adalah suatu hal yang biasa karena sudah menjadi suatu budaya kerja sehari-hari. Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah hal yang di atas juga sudah menjadi suatu budaya kerja? Walaupun hal tersebut kelihatannya mudah, tetapi sangat sulit sekali diterapkan di Indonesia, termasuk juga pada perusahaan Jepang sekalipun. Kalaupun ada yang menjalankan, belum tentu benar-benar menjalaninya menjadi suatu budaya, lebih banyak dijalankan dengan merasa sebagai beban. Jadi, sungguh amat disayangkan, kerjasama yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

44


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

sudah 50 tahun ini, transfer teknologi yang sederhana inipun juga masih sulit untuk dilakukan, apalagi untuk yang rumit-rumit. Jika hal ini saja belum bisa untuk direrapkan, jangan berharap banyak dengan teknologi transfer terjadi dengan mulus. Jadi, masalahnya ada dimana? Masalah utamanya ada di kita, mental orang Indonesia! KESIMPULAN Dari uraian di atas, maka Indonesia seharusnya tidak perlu cengeng dan merengek-rengek seperti anak kecil kepada Jepang agar Jepang dengan senang hati memberikan semua teknologinya kepada Indonesia. Kata kunci untuk teknologi transfer ini adalah terletak pada semangat kreatifitas, kepedulian, ketekunan, dan kedisiplinan yang tinggi yang telah menjadi suatu budaya kerja sehari-hari, sebagaimana yang diperlihatkan dan dibuktikan oleh Jepang. Kebutuhan dan kemampuan akan transfer teknologi mengharuskan Indonesia untuk melakukan sesuatu perubahan yang mendasar dalam menghadapi tekanan kompetisi internasional, khususnya pada sektor industri manufaktur dalam menghadapi globalisasi ekonomi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

45


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

IPTEK

POTENSI KERJASAMA INDONESIA - JEPANG DI SEKTOR ENERGI KHUSUSNYA PENGEMBANGAN INDUSTRI PHOTOVOLTAIC Erkata Yandri Researcher: Hi Tech Research Centre – Solar Energy Research Group Dept. Vehicle System Engineering - Faculty of Creative Engineering Kanagawa Institute of Technology, Atsugi – Japan E-mail: yandri@ctr.kanagawa-it.ac.jp Abstract Jepang adalah negara yang minim sumber daya alam seperti energi, tetapi dengan kekuatan ekonomi dan didukung oleh ketangguhan manusianya, dan dengan penguasaan teknologi, Jepang dapat memposisikan diri sebagai negara maju. Sementara, Indonesia adalah negara kaya sumber daya alam, tetapi masih belum mampu mengelolanya dengan teknologi dan tekad yang sebaik yang dimiliki Jepang. Hubungan persahabatan Indonesia - Jepang yang sudah berjalan selama 50 tahun ini, bisa saling menguatkan, saling menguntungkan, dan diharapkan akan mendorong kesejahteraan kedua belah pihak. Bagi Indonesia, persahabatan ini diharapkan dapat memacu percepatan pembangunan bangsa. Terfokusnya semua negara di dunia dengan efek pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas yang dihasilkan dari pembakaran fossil fuel mengharuskan Jepang untuk menurunkan emisi karbonnya sesuai dengan kesepakatan Kyoto Protocol, maka hal ini bisa menjadi titik arah penguatan kerjasama kedua negara di sektor energi, khususnya Renewable Energy (RE) dengan fokus kepada pengembangan industri Photovoltaic (PV). Penguasaan teknologi RE oleh Jepang dapat dimanfaatkan oleh kedua negara untuk menciptakan berbagai peluang seperti terbukanya peluang kerja, ketersediaan energi, dan penguasaan teknologi masa depan 1. Pendahuluan 1.1. Babak Baru Perjanjian Kerjasama Indonesia Jepang Hubungan persahabatan Indonesia – Jepang memasuki usia ke 50 pada tahun 2008. Dalam hubungan yang panjang tersebut banyak kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai bidang oleh kedua negara terutama di bidang ekonomi, perdagangan, industri dan teknologi. Sebagai salah satu negara industri dan manufaktur yang maju, Jepang sangat terkenal dengan sistem perindustrian yang berkesinambungan dan saling menunjang dari hulu sampai ke hilir, seperti industri kimia dan industri baja, yang menunjang keberadaan industri kendaraan bermotor, industri elektronika, industri tekstil, industri permesinan (untuk pertanian, perikanan), dan lain sebagainya. Sebagai salah satu strategi penguasaan pasar, Jepang sudah lama melebarkan sayap industrinya berupa investasi ke luar negeri. Salah salah satu negara yang dipilih adalah Indonesia. Ada beberapa pertimbangan mengapa Indonesia terpilih sebagai mitra investasi dan industri, yaitu karena upah tenaga kerja yang murah, adanya dukungan politik dari pemerintahan yang berkuasa, daya serap pasar yang besar dengan potensi ekonomi Indonesia dan negara sekitarnya, juga tersedianya energi sebagai penggerak mesin-mesin industri tersebut. Pada tanggal 20 Agustus 2007, bertempat di Jakarta, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang waktu itu, Shinzo Abe, telah menandatangani sebuah perjanjian yaitu, Japan – Indonesia Economic Partnership Agreement, yang disingkat JIEPA. Perjanjian ini memperkukuh kerjasama Indonesia – Jepang yang sudah terjalin sejak tahun 1958. Perjanjian ini mencakup hampir segala bidang, seperti sektor industri manufaktur, pertanian/kehutanan/perikanan, promosi perdagangan dan investasi, pengembangan sumber daya manusia, pariwisata, jasa keuangan, pemerintahan, dan energi/sumber daya alam. Khusus untuk kerjasama di sektor industri manufaktur akan diimplementasikan di bawah program “Initiative for Manufacturing Industry Development Center” yang meliputi: Studi dasar (yang meliputi permetalan, teknik pencetakan, teknik pengelasan, suku cadang otomotif, produk baja, tekstil, petrokimia, non logam, dll), bantuan tenaga ahli (di sektor teknik pencetakan,

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

46


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

energi konservasi, suku cadang otomotif), pelatihan (di sektor teknik pencetakan, suku cadang otomotif, peralatan elektronika, tekstil), dan seminar/praktek (di sektor teknik pencetakan, energi konservasi, produk baja, tekstil). Khusus di sektor energi dan sumber daya alam, kerjasama akan dititikberatkan pada pengembangan energi panas bumi di Indonesia, kerjasama proyek pada pengembangan dan pelatihan untuk pemantauan power plant yang berwawasan lingkungan, formulasi studi untuk energi konservasi, proyek pengembangan teknologi penambangan batubara, pendataan dan evaluasi penambangan batubara bawah tanah di Indonesia, proyek pendidikan dan pelatihan pada manajemen energi, pengembangan pencairan batubara di Indonesia, pengembangan peningkatan kualitas batubara muda di Indonesia, dan perubahan batubara menjadi gas methan di Indonesia [8]. Kerjasama di sektor industri manufaktur dan energi menjadi fokus utama bagi Jepang. Alasan mengapa Jepang lebih tertarik kepada sektor ini sebenarnya sudah bisa ditebak. Salah satu alasannya adalah keperluan timbal balik antara kedua belah negara, yaitu bahwa industri manufaktur sudah lebih serius digarap oleh Jepang dan membutuhkan jaminan ketersediaan pasokan bahan baku untuk industri tersebut, seperti batubara dan gas. Pihak Indonesia terbantu pula dengan saling berbagi teknologi manufaktur. Sudah bisa ditebak juga tujuan lain untuk ekspansi bisnis pemasaran mesin-mesin pembangkit energi Jepang ke Indonesia. Khusus untuk kerjasama sektor energi, tampaknya Jepang lebih fokus untuk mengembangkan potensi batubara yang masih tersimpan sebanyak 5,476 juta ton di perut bumi Indonesia [3] dan panas bumi sebesar 27 GW [1], walaupun potensi dari pengembangan Renewable Energy lainnya tidak kalah penting, seperti yang terlihat pada Tabel 1 yaitu; Tenaga Air (Hydropower) 76.17 GW, Biomassa 49.81 GW, Tenaga Angin (Wind Power) dengan laju rata-rata 3-6 meter/detik, dan Tenaga Surya (Photovoltaic) dengan rata-rata radiasi matahari sebesar 4.8 2 kWh/m -hari. Potensi Tenaga Angin di Indonesia tidak terlalu besar dan itupun hanya terdapat di beberapa pesisir pantai saja, tetapi potensi Tenaga Surya sangatlah besar karena posisi Indonesia yang teletak di daerah khatulistiwa. Dalam hal pengembangan RE, Jepang bisa dikategorikan sebagai negara yang sudah maju dalam semua teknologi RE yang tidak kalah dengan negara maju lainnya seperti Jerman dan Amerika Serikat. Table 1. Potensi Pengembangan Renewable Energy di Indonesia [1] Jenis Hydropower Geothermal Biomass Wind Solar

1.2.

Potensi 76.17 GW 27.00 GW 49.81 GW 3-6 m/detik 2 4.8 kWh/m -hari

Kapasitas Terpasang 4,284 MW 807.00 MW 445.00 MW 0.6 MW 8.00 MW

Strategi Jepang dalam menghadapi situasi energi dunia

Menurut data laporan yang dikeluarkan oleh IEA [6], pada tahun 2005, jumlah penduduk Jepang hampir setengahnya dari penduduk Indonesia, yaitu sekitar 127.76 juta jiwa sedangkan Indonesia 220.56 juta jiwa, tetapi dari segi GDP, Indonesia hanya mencapai 207.74 juta/kapita sedangkan Jepang 4.999 juta/kapita. Jepang hanya mampu menghasilkan energi sebesar 99.77 juta ton setara minyak sedangkan Indonesia menghasilkan energi sebesar 263.39 juta ton setara minyak, yang dengan kondisi ini Indonesia masih surplus energi sebesar 83.5 juta ton sedangkan Jepang sangat jauh kekurangan energi sebesar 438.98 juta ton setara minyak. Berdasarkan jenis energi fossil, Jepang sangat tergantung sekali dengan minyak bumi yang mencapai 58%, disusul batubara 25% dan gas alam 17%, sedangkan Indonesia tergantung sebanyak 25% kepada minyak bumi, 43% untuk batu bara, dan 32% untuk gas alam, seperti yang terlihat pada Tabel 2. Pada Tabel 3 terlihat bahwa Indonesia sudah mulai mengimpor minyak bumi karena jumlah konsumsi minyak bumi Indonesia melebihi jumlah yang bisa dihasilkannya. Untuk gas alam, Indonesia merupakan penghasil peringkat ke 7 dan untuk batubara peringkat ke 2. Jepang adalah pengimpor minyak bumi kedua terbesar setelah Amerika Serikat, yaitu sekitar 9% dari total impor minyak bumi dunia, menempati posisi ketiga untuk gas alam sebesar 10% dan posisi pertama untuk impor batubara sebesar 22% [6]. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

47


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Table 2. Perbandingan Indikator Energi Indonesia dan Jepang, 2005 [6] Indikator Energi

Unit

Indonesia

Jepang

Populasi GDP Produksi Energi Import Energi Net Total Kons. Energi Primer Konsumsi Energi Listrik Emisi Karbon Dioksida (C02)

Million billions 2000$ Mtoe Mtoe Mtoe TWh Mt of CO2

220.56 207.74 263.39 (83.50) 179.51 112.33 340.98

127.76 4,994.13 99.77 438.98 530.46 1,051.90 1,214.19

Table 3. Perbandingan Konsumsi Energi Indonesia dan Jepang, 2005 [6] Jenis Energi Minyak Bumi Batubara Gas Alam Total

Konsumsi (10 Indonesia 2.62 1.056 1.44 5.116

51% 21% 28% 100%

15

BTU) Japan

10.88 4.596 3.22 18.696

58% 25% 17% 100%

Produksi (10 Indonesia 2.23 3.9 2.841 8.971

25% 43% 32% 100%

15

BTU) Japan

0.014 0 0.203 0.217

6% 0% 94% 100%

Sebagai salah satu negara industri maju yang berpenduduk cukup padat, tetapi memiliki sumber daya energi sangat terbatas, sehingga sangat tergantung dengan pasokan energi dari negara lain, Jepang selalu diliputi kecemasan jika terjadi krisis energi dunia. Untuk aspek energi, Jepang memfokuskan kepada 3 pilar kebijakan energi yang disebut dengan “3E”, yaitu: Economic Growth – yaitu memastikan pertumbuhan ekonomi Jepang, Energi Security – yaitu memastikan keamaman ketersediaan energi, dan Environmental Protection – yaitu perlindungan terhadap lingkungan untuk menanggapi isu pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran energi fosil. Untuk mewujudkannya ada empat hal yang sedang dilakukan Jepang, yaitu: memperkuat pengukuran konservasi energi, mempromosikan dan memperkenalkan energi baru, mempromosikan pengembangan energi nuklir, dan perluasan pemakaian gas alam. Walaupun sudah banyak yang dicapai Jepang dalam hal tersebut, masalah energi masih tetap disadari sebagai hal yang serius di masa datang, sehingga memaksa Jepang untuk fokus dengan Energi Security, Energi Sustainability dan Energi Stability. Kementerian Lingkungan Jepang pada bulan Oktober 2006 mengeluarkan pernyataan tentang angka emisi karbon yang telah meningkat sebesar 8.1% jika dibandingkan pada tahun 1990 sebagai tahun acuan Jepang untuk Kyoto Protocol yang mengharuskannya untuk menurunkan emisi karbon sebesar 6%, yang terbagi atas 0.6% untuk pengurangan dari domestik, 3.8% dari penyerapan oleh hutan, dan 1.6% dari pembelian Certificate Emission Reduction atau CER. Proyeksi suplai dan permintaan energi Jepang sampai tahun 2030 yang berhubungan dengan emisi terbagi atas 4 skenario, yaitu; 1). Skenario Acuan: adalah bisnis berjalan seperti biasanya dengan tanpa adanya terobosan teknologi yang berarti, 2). Skenario dengan pertimbangan adanya kemajuan pada teknologi energi: yaitu adanya kemajuan teknologi cukup berarti yang dapat dipakai secara luas yang dapat dibagi atas dua hal yaitu kemajauan pada konservasi energi dan kemajuan energi baru, 3). Skenario pengembangan energi nuklir, yaitu: adanya peningkatan suplai energi nuklir yang dapat terdiri dari dua hal yaitu kasus nuklir tinggi dengan beroperasinya 16 PLTN baru dan kasus nuklir rendah dengan 7 PLTN baru, 4). Skenario dengan pertimbangan faktor luar: yaitu memanfaatkan pertumbuhan ekonomi dan harga minyak dunia sebagai dasar analisa dengan beberapa sub analisa yaitu kasus pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan rendah, dan harga minyak tinggi dan harga minyak rendah [7]. 2.

Permasalahan

Dengan potensi teknologi RE yang dimiliki Jepang saat ini, khususnya kemajuan dalam bidang PV, didukung dengan modal pengalaman kerja sama yang sudah berlangsung lama antara Indonesia – Jepang di sektor industri manufaktur, kemudian adanya keharusan Jepang untuk

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

48


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

menurunkan emisi karbonnya, maka kedua negara mempunyai potensi yang sangat besar pada pengembangan industri PV. Pengembangan industri PV justru luput dari fokus pengembangan kerjasama di kedua negara sebagaimana tidak tertuangnya poin ini di dalam isi perjanjian JIEPA tersebut. Tulisan ini akan membahas perkiraan alasan tidak termasuknya pengembangan industry PV dalam JIEPA, potensi kedua negara dalam hal pengembangan industri PV, yang akan difokuskan kepada potensi pengembangan industri PV di Indonesia, manfaat yang akan didapat, khususnya dalam hal ketersediaan lapangan kerja dan juga jaminan ketersediaan bahan baku murah untuk pengembangan industri PV. 3. Pembahasan 3.1. Kemajuan Industri PV Jepang Tulang punggung dari industri PV di Jepang didukung oleh kemajuan industri dalam bidang R&D. Saat ini, sudah ada 13 perusahaan yang berkecimpung di dalam industri PV. Seperti Sharp, Sanyo, Kyocera, Mitsubishi, Kaneka dan lainnya. Kemajuan industri PV Jepang didukung oleh berkembangnya pasar di dalam negeri sendiri dengan meningkatnya permintaan PV di sektor perumahan. Pertumbuhan pasar dan industri PV memicu pertumbuhan industri pendukung seperti industri material silicon, industri ingot dan waver silicon, inverter, dan frame aluminium untuk modul PV.

Grafik.1a.Produksi PV Dunia [4]

Grafik.1.b. Produsen PV Jepang 2005 [9]

Jepang adalah salah satu negara yang paling sukses sebagai produsen, konsumen, pengekspor PV. Pada tahun 2005, Jepang mampu menghasilkan PV sebanyak 635 MWp, atau sekitar 45% dari total produksi dunia. Dari total produksi tersebut, Sharp menguasai produksi sebesar 46%, disusul oleh Kyocera 17%, Sanyo 15%, Mitsubishi 12%, Koneka 3%, dan beberapa produsen kecil lainnya digabung menjadi 7% [4]. Dibandingkan dengan total produksi PV dunia, maka Sharp mempunyai kontribusi sebesar 24.3%, Kyocera 8.1%, Sanyo 7.1%, Mitsubishi 5.7% [9]. Ada beberapa alasan mengapa Jepang sangat maju dalam industri PV ini, yaitu, kebijaksanaan pemerintahan yang agresif dan kemampuan melihat peluang jauh ke depan untuk mempromosikan PV untuk memenuhi Kyoto Protocol, kolaborasi R&D yang ketat antara industri, pemerintahan, dan universitas, pemanfaatan PV yang mayoritas untuk ekspor menyebabkan biaya PV menjadi lebih murah di Jepang. Pemerintahan Jepang menargetkan untuk meghasilkan energi listrik sebesar 10% dari PV hingga tahun 2030. Ini adalah salah satu solusi bagi Jepang yang terikat dengan Kyoto Protocol untuk menurunkan emisi karbonnya yang banyak berasal dari pemakaian energi fosil. Penjelasan lebih jelas tentang sejarah, fokus produk PV, kapasitas produksi, dan lainnya dari perusahaan-perusahaan Jepang yang bergerak dalam industri PV adalah [5]: FUJI ELECTRIC: Fuji adalah salah satu perusahaan yang sudah mengembangkan solar cell pada lapisan kaca (glass substate). Pada tahun 2004, Fuji Electric System (FES) memasuki pasar PV dengan modul Amorphous Silicon-nya yang dirancang untuk instalasi atap. Pada tahun 2005, FES memulai produksi Amorphous Silicon PV pada lapisan plastic (substate plastik). KANEKA: Kaneka solar division adalah perusahaan terbesar yang menghasilkan PV pada lapisan tipis (thin film). Kaneka yang berdiri tahun 1949 pada awalnya bergerak di bidang industri

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

49


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

kimia dan memulai penelitian mengenai PV sejak 1980 dan produksi massal sejak awal tahun 2000 sebesar 20 MW dan telah mencapai 50 MW pada tahun 2005. Kaneka juga memproduksi hybrid PV cells (a-Si dan x-Si) dan PV cells transparan. KYOCERA: Kyocera adalah penghasil PV modul terbesar kedua setelah Sharp. Produksinya pada tahun 2004 sebesar 105 MWp dan 240 MWp pada 2005. Perusahaan ini memulai penelitian tentang PV cells sejak tahun 1975. Kyocera mempunyai pabrik assembly modul PV di China dengan 20 MWp produksi. MITSUBISHI: Mitsubishi melahirkan dua perusahaan untuk PV. Perusahaan pertama yaitu Mitsubishi Heavy Industries (MHI) yang menghasilkan Amorphous PV modul yang pada tahun 2006 mencapai produksi 25 MWp. Perusahaan kedua yaitu Mitsubishi Electric Corporation yang menghasilkan Crystalline PV modul yang mampu menghasilkan 90 MWp modul pada tahun 2004 dan pabrik berikutnya mampu berproduksi sebesar 135 MWp pada tahun 2005. SHARP: Sharp corporation adalah penghasil PV cell yang terbesar dan tercepat di dunia yang menghasilkan Mono-chrystalline, Poly-chrystalline, dan saat ini Amourphous modul, dengan produksi 315 MWp pada tahun 2004 dan 500 MWp pada tahun 2005. SHARP memperluas produksi assembly dengan membuka pabrik di Tennsessee, USA, berkapasitas sebesar 20 MWp modul. SANYO: Sanyo adalah salah satu perusahaan tertua penghasil PV yang mengembangkan Amorphous Silicon sejak 1975, yang mempunyai kapasitas produksi 60 MWp dengan teknologi heterojunction with intrinsic thin layer, hybrid amorphous silicon, monocrystalline silicon PV modul, dengan efisiensi yang mampu mencapai 19,5%. 3.2.

Menciptakan Peluang Industri PV di Indonesia

Ada dua permasalahan yang perlu dipikirkan oleh Pemerintah Indonesia agar mampu mengembangkan industri PV dengan mengajak Jepang untuk berinvestasi di Indonesia. Masalah yang pertama terletak pada Indonesia sendiri yaitu mampukah menyusun kebijakan energi listrik masa depan Indonesia yang mendukung pemanfaatan RE, termasuk pemanfaatan PV sebagai penghasil energi listrik, sehingga akan menciptakan pasar tersendiri di Indonesia dan sisanya bisa untuk diekspor. Permasalahan kedua terletak pada pihak Jepang yaitu bagaimana menghasilkan produk PV yang lebih murah dengan kualitas konversi energi yang tinggi yang mampu menghasilkan energi listrik dengan biaya yang dapat bersaing dengan jenis energi listrik lainnya. Ada dua contoh berkaitan dengan kebijakan energi yang dapat diambil sebagai pelajaran berharga dalam mengembangkan industri PV, yaitu pengalaman Jepang dan Jerman yang tidak lepas dari dukungan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 1990, Kementerian Industri Jepang (METI) memulai proyek ambisius jangka panjang yang mengingkankan Jepang menjadi market leader dalam industri PV. Sistemnya adalah dengan adanya pendanaan sebagian dari pemerintah sebagai insentif agar menarik minat masyarakat untuk mempunyai unit PV. Program ini terbukti sangat sukses yang terlihat dengan meningkatnya jumlah instalasi PV dan produksi unit PV di Jepang. Demikian juga halnya dengan Jerman yang pada tahun 1999 melancarkan 100.000 roof top program yang merupakan program insenstif yang dibiayai oleh sebuah lembaga pendanaan Jerman (KFW). Program ini juga terbukti berhasil dengan meningkatnya instalasi PV dan produksi PV di Jerman. Indonesia harus melakukan sebuah terobosan berupa kebijakan pasar PV. Potensi pasar PV di Indonesia bisa diciptakan dengan meniru program insentif seperti yang dicontohkan oleh Jepang dan Jerman. Program insentif ini bisa diarahkan untuk semua sektor, baik industri, rumah tangga, maupun bisnis (hotel, pusat perbelanjaan,dll) yang kesemuanya dapat berbentuk bangunan yang bisa diarahkan dengan sistem terkoneksi dengan jaringan daya (grid connected system). Sistem ini layaknya seperti Power Plant mini yang mampu menghasilkan energi listrik di saat penyinaran matahari berlangsung cukup di siang hari. Permasalahan utama dari industri RE umumnya dan industri PV khususnya adalah pada masalah biaya harga energi akhir yang dihasilkannya yang masih kalah bersaing dengan hanya membeli energi langsung dari perusahaan utility yang menghasilkan energi listrik dari bahan bakar non RE, seperti minyak bumi, batubara, gas alam, dan lain sebagainya. Biaya ini juga Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

50


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

tergantung dari biaya instalasi unit PV dan ketersediaan radiasi matahari yang akan dikonversi oleh PV menjadi energi listrik. Radiasi matahari adalah sesuatu yang tidak bisa diperbaharui ketersediaanya, sehingga tindakan yang perlu dilakukan adalah menekan biaya instalasi unit PV. Biaya instalasi unit PV mencakup 70% untuk modul, 15% untuk inverter, dan sekitar 15% untuk unit pendukung lainnya. Pengembangan industri PV mencakup industri yang menyediakan bahan baku silicon, industri yang menghasilkan PV Cell, dan industri yang menghasilkan modul PV. Industri pendukung berpotensi sekali dikembangkan yaitu inverter dan industri alat pendukung lainnya seperti net metering, dll. Tentu saja, biaya instalasi per unit PV berpotensi diturunkan jika segala ketersedian material yang dibutuhkan dan industri PV nya terletak dalam lokasi yang berdekatan dan saling mendukung. Tentu, akan lebih terasa sekali penurunan biayanya jika investasi industri PV ini dalam satu rantai produksi secara keseluruhan, yaitu dari industri penyediaan bahan silicon, industri PV cell, industri Inverter, dan industri pendukung lainnya. 3.3. Potensi Penyedian Energi dan Pembukaan Lapangan Kerja Baru Dengan skenario energi yang dibuat oleh Indonesia, termasuk pemanfaatan teknologi PV untuk menghasilkan energi listrik, maka potensi radiasi sinar matahari di Indonesia yang sangat besar 2 sekitar 4.8 KWh/m .hari [1] akan sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Industri PV yang dikembangkan di Indonesia, dengan dukungan kebijakan, tersedianya bahan baku dan sumber daya manusia, dan pendukung lainnya, tentu akan membuat harga PV semakin murah, khususnya bagi Indonesia sendiri. Yang harus dipikirkan selanjutnya adalah strategi yang bertujuan untuk menekan harga pemakaian atau pembelian teknologi ini, sehingga terjangkau oleh masyarakat awam atau dunia usaha. Strategi ini dapat berupa subsidi silang dengan pemanfaatan dana bantuan internasional untuk pengembangan energi berwawasan lingkungan, penjualan Certificate Emission Reduction (CER) dan lain sebagainya.

Tabel 4. Instalasi Tahunan dan Tersedianya Lapangan Kerja Baru di Dunia , 2003 – 2006 [1] Instalasi PV (MWp) 594 815 1,397 1,877

Tahun 2003 2004 2005 2006

Lapangan Kerja Baru Produksi 8,144 9,027 9,733 12,589

Retail/Inst. 17,451 22,568 29,199 37,768

Job/MWp (MWp) 594 815 1,397 1,877

Produksi 8,144 9,027 9,733 12,589

Retail/Inst. 17,451 22,568 29,199 37,768

Pada Tabel 4, diketahui bahwa instalasi PV di dunia pada tahun 2006 mencapai 1,877 MWp, mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 3,974, dengan perincian lapangan kerja baru sebanyak 12.589 produksi, 37,768 (26%) dari Retail dan Instalasi (65%), dan Maintenance sebanyak 5,338 (9%). Dengan mengambil rata-rata dari tahun 2003 – 2006, memberikan rata-rata sekitar 40 lapangan kerja baru untuk setiap MWp PV yang diinstalasi.

Tabel 5. Data Pelanggan, Daya Terpasang, dan Konsumsi Listrik PLN Tahun 2005 [2] Item Jumlah Pelanggan Daya Terpasang Konsumsi Listrik

Unit Pelanggan

Industri 882,508

R. Tangga 1,455,884

Bisnis 32,174,485

Lain-lain 46,476

% GW % MWh %

2.55% 12,961 25.56% 42,448,356 39.66%

4.2% 25,006 49.3% 41,184,286 38.5%

93.1% 9,321 18.4% 17,022,837 15.9%

0.1% 3,429 6.8% 6,376,748 6.0%

Jumlah 34,559,3 53 100% 50,717 100% 107,032,228 100%

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

51


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tabel 5 menjelaskan data pelanggan, daya terpasang, dan konsumsi listrik PLN tahun 2005. Pada tahun tersebut, jumlah pelanggan PLN mencapai 34,559,353 pelanggan yang terdiri atas 882,508 pelanggan sektor Industri (2.55%), sektor Rumah Tangga sebanyak 1,455,884 pelanggan, sektor bisnis sebanyak 32,174,884 (4.2%) pelanggan, dan lainnya sebesar 46,476 (0.1%) pelanggan. Semua kategori pelanggan tersebut adalah pasar yang potensial untuk PV sistem. Pelanggan rumah tangga lebih cocok dengan modul 2 kWp PV system, sedangkan pelanggang industri dan bisnis lebih cocok dengan modul 100 kWp PV system, seperti halnya di Jerman dan di Jepang atau pasar PV dunia lainnya [4]. Dengan mengacu kepada data tahun 2005, jika seandainya, pemerintah menargetkan sebanyak 20% dari masing-masing sektor selama 20 tahun untuk beralih menggunakan PV system pada bangunannya, yang berarti masing-masing 1% per tahun, maka akan ada setiap tahunnya instalasi PV system sebanyak: 883 MWp untuk sektor Industri, 437 MWp untuk sektor Rumah Tangga, dan 32,174 MWp untuk sektor Bisnis dengan total 33,494 MWp, yang mampu memberikan sebanyak 1,339,750 lapangan kerja baru. Indonesia belum terlambat untuk memikirkan secara jauh ke depan penyediaan lapangan kerja baru sebagai pengganti berkurangnya usaha penambangan minyak bumi di masa depan karena semakin berkurangnya cadangan minyak bumi Indonesia, yang sekaligus akan berefek kepada berkurangnya lapangan kerja di sektor pertambangan minyak bumi. Pengembangan industri PV di Indonesia dapat menciptakan peluang lapangan kerja baru di Indonesia. 4.

Kesimpulan

Jepang walaupun miskin sumber daya energi bisa membuktikan keperkasaan ekonomi dan teknologinya yang mampu memberikan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi rakyatnya. Sementara itu, Indonesia dengan diberikan kekayaan alam yang melimpah ruah masih tertinggal jauh dalam hal ekonomi dan kemajuan teknologi jika dibandingkan dengan Jepang, sehingga masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah kesejahteraan, walaupun Indonesia sudah menjalin kerjasama dengan Jepang setengah abad pada tahun 2008 ini. Dengan bermodalkan kerjasama yang sudah berusia 50 tahun dalam pengembangan industri manufaktur, dan melihat potensi pengembangan teknologi PV yang cukup besar di Indonesia, juga posisi Jepang sebagai pemimpin dalam teknologi dan produksi PV di dunia, maka tidak ada alasan bagi Indonesia dan Jepang untuk tidak mengembangkan industri PV di Indonesia. Pengembangan industri PV di Indonesia mempunyai potensi untuk menyediakan energi listrik nasional di masa depan sebagai pengganti berkurangnya produksi minyak bumi yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2020 nanti. Disamping itu, pengembangan industri PV berpotensi untuk memberikan lapangan kerja baru yang sangat besar, yaitu tersebar pada bagian produksi, retail dan instalasi, dan pemeliharaan. Untuk mewujudkan semua ini, pemerintah Indonesia harus mulai memikirkan skenario dan strategi yang tepat dalam mengajak Jepang untuk berinvestasi di sektor industri PV ini. Industri PV khususnya dan industri RE umumnya menjadi unik yaitu karena pasarnya timbul dengan adanya rangsangan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apa yang dilakukan Jerman dan Jepang yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang mendorong secara intensif kepemilikan PV yang telah sukses mendongkrak perkembangan industri PV, merupakan model yang dapat diterapkan di Indonesia. Kebijakan pajak emisi konsumsi energi fosil juga bisa ditempuh yang tujuannya adalah membuat harga RE semakin kompetitif. Segala permalasahan tersebut perlu segera dikaji oleh Indonesia. Tanpa adanya kebijakan yang mendorong pemanfaatan teknologi PV, sangat mustahil bagi Indonesia untuk mengajak Jepang untuk menanamkan investasi industri PV di Indonesia. Potensi besar ada di depan mata Indonesia dan tinggal bagaimana meraih dan memanfaatkannya. Sudah saatnya gerakan penghematan energi dari sumber tidak terbarukan dengan mengurangi pemakaian dan mengurangi penjualan ke negara lain serta memberdayakan sumber energi terbarukan mulai dikampanyekan di Indonesia. Daftar Pustaka [1] DJPEL, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Energi Listrik, Dept. Pertambangan dan Energi – RI, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 -2025 Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

52


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[2] DJPEL, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Energi Listrik, Dept. Pertambangan dan Energi – RI, Statistik Ketenagalistrikan dan energy www.djlpe.esdm.go.id/modules.php?mod=aplikasi_statistik&sub=statistik_tabel [3] EIA, Energy International www.eia.doe.gov/

Administration,

International

Energy

Annual

2005

[4] EPIA, European Photovoltaic Industry Association Report, Solar Generation – Solar Electricity for over One Billion People and Two Million Jobs by 2020, September 2006 [5] Foster, R., Japan Photovoltaic Market Overview, Southwest Technology Development Institute, New Mexico State University, USA, October 2005 [6] IEA, International EnergyAgency, Key Energy Statistic, 2007 www.iea.org [7] METI, Ministry of Economy, Trade & Industry - Japan, “2030 Energi Supply and Demand Projection”, 2005 [8] MOFA, Ministry of Foreign Affair – Japan, Joint Statement at the signing of the agreement between Japan and Republic of Indonesia for an Economic Partnership http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/epa0708/joint.html [9] Waldau, A.J., PV Status Report 2006 – Research, Solar Cell Production and Market Implementation of Photovoltaics, August 2006

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

53


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

IPTEK

PROSPEK ENERGI DARI SEKAM PADI DENGAN TEKNOLOGI FLUIDIZED BED COMBUSTION I Nyoman Suprapta Winaya Alumni Niigata University, Dosen Fakultas Teknik Mesin Universitas Udayana E-mail: ns_winaya@yahoo.com

Disamping untuk mendapatkan sumber energi baru, usaha yang terus menerus dilakukan dalam rangka mengurangi emisi CO2 guna mencegah terjadinya pemanasan global telah mendorong penggunaan energi biomasa sebagai pengganti energi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Bahan bakar biomasa merupakan energi paling awal yang dimanfaatkan manusia dan dewasa ini menempati urutan keempat sebagai sumber energi yang menyediakan sekitar 14% kebutuhan energi dunia. Seperti halnya sekam padi, biomasa mengkonsumsi CO2 selama proses pertumbuhan dan dalam jumlah yang sama akan dilepas selama proses konversi energi, sehingga biomasa dikenal sebagai energi bebas CO2. Energi terbaharukan yang bersumber dari sekam padi telah lama dilirik penggunaannya dan bahkan telah dikonversi menjadi listrik di beberapa negara seperti China dan India. Salah satu alasan kenapa bahan bakar sekam padi masih jarang dipakai sebagai sumber energi yaitu karena kekurang-cukupan informasi tentang karakteristik dan emisi yang dihasilkannya. Artikel pendek ini berisikan bahasan singkat tentang prospek sekam padi dijadikan energi dengan memakai teknologi fluidized bed combustion (FBC). 1. Energi potensial pada sekam padi Sekam padi adalah salah satu sumber energi biomasa yang dipandang penting untuk menanggulangi krisis energi belakangan ini khususnya di daerah pedesaan. Ketersediaan sekam padi di hampir 75 negara di dunia diperkirakan sekitar 100 juta ton dengan energi potensial 9 1] berkisar 1,2 x 10 GJ/tahun dan mempunyai nilai kalor rata-rata 15 MJ/kg . Indonesia sebagai negara agraris mempunyai sekitar 60.000 mesin penggiling padi yang tersebar di seluruh daerah dengan kisaran produksi sekam padi 15 juta ton per tahun. Untuk kapasitas besar, beberapa mesin penggiling padi mampu memproduksi 10-20 ton sekam padi per hari. Tidak seperti sumber bahan bakar fosil, ketersedian energi sekam padi tidak hanya jumlahnya berlimpah tetapi juga merupakan energi terbaharukan. Beberapa sumber energi biomasa mempunyai kendala akan besarnya biaya investasi untuk pengumpulan, transportasi dan penyimpanan. Akan tetapi untuk energi sekam padi, biaya-biaya diatas relatif lebih kecil karena lokasinya sudah terkonsentrasi pada pabrik-pabrik penggilingan padi. Jika suatu teknologi tersedia, bahan bakar sekam padi ini akan bisa dikonversi menjadi energi thermal untuk kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan. 2. Sifat dan karakteristik sekam padi Dibandingkan bahan bakar fosil, sifat dan karakteristik bahan bakar biomasa lebih kompleks serta memerlukan persiapan dan pemrosesan yang lebih khusus. Sifat dan karakteristik meliputi 3 berat jenis yang kecil sekitar 122 kg/m , jumlah abu hasil pembakaran yang tinggi dengan temperatur titik lebur abu yang rendah. Abu hasil pembakaran berkisar antara 16-23% dengan 2] kandungan silika senbesar 95% . Titik lebur yang rendah disebabkan oleh kandungan alkali dan alkalin yang relatif tinggi. Kandungan uap air (moisture) pada biomasa umumnya lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil, akan tetapi kandungan uap air pada sekam padi relatif sedikit

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

54


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

karena sekam padi merupakan kulit padi yang kering sisa proses penggilingan. Sekam padi mempunyai panjang sekitar 8-10 mm dengan lebar 2-3 mm dan tebal 0,2 mm. Karakteristik lain yang dimiliki bahan bakar sekam padi adalah kandungan zat volatil yang tinggi (high-volatile matter) yaitu zat yang mudah menguap. Kandungan zat volatilnya berkisar antara 60-80% dimana bahan bakar fosil hanya mempunyai 20-30% untuk jenis batu bara medium. Energi konversi yang dihasilkan lebih banyak berasal dari zat volatil ini dibandingkan dengan 3] bara api (solid residue) biomasa . Uap air adalah komponen zat volatil pertama yang muncul sesaat setelah temperatur mencapai o o 100 C untuk rentang temperatur operasi sampai 900 C. Selanjutnya, komponen H2, CO, dan CO2 akan terbentuk bersamaan dengan formasi hidrokarbon dalam jumlah yang banyak seperti CH4 sampai tar. Biasanya, jelaga (soot) akan terbentuk selama proses divolitisasi dimana elemen N dan S akan muncul dalam bentuk NH3, HCn, CH3CN, H2S, COS dan CS2. Kalau terjadi ketidaksempurnaan pembakaran sebagai akibat cepatnya evolusi zat volatile akan mengakibatkan deposisi tar, formasi dioxin di backpass dan atmosfir seperti NOx, CO, SO2 dan 4] N2O . 3. Teknologi Fluidized Bed Combustion Teknologi fluidized bed combustion (FBC) adalah salah satu teknologi terbaik untuk menkonversi sekam padi menjadi listrik karena mempunyai keunggulan mengkonversi berbagai jenis bahan bakar baik sampah, limbah, biomasa ataupun bahan bakar fosil berkalori rendah. FBC o mempunyai temperatur pengoperasian antara 800-900 C sehingga merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi ini telah diperkenalkan sejak abad keduapuluhan dan telah diaplikasikan dalam banyak sektor industri dan pada tahun-tahun belakangan ini telah diaplikasikan untuk mengkonversi biomasa menjadi energi. Efisiensi pembakaran yang lebih tinggi bisa diperoleh dari teknologi FBC dibandingkan dengan sistem pembakaran konvensional karena perpindahan panas yang sangat bagus di dalam sistem. Pada proses pengkoversian energi dengan teknologi FBC, awalnya ruang bakar dipanasi secara eksternal sampai mendekati temperatur operasi. Material hamparan (bed material) fluidisasi yang lumrah dipakai untuk mengabsorbi panas adalah pasir silika. Pasir silika dan bara api bahan bakar bercampur dan mengalami turbulensi di dalam ruang bakar sehingga keseragaman temperatur sistem menjadi terjaga. Pada temperatur yang tinggi dengan media transfer panas pasir silika akan mampu memberi garansi konversi energi yang cepat dengan kondisi temperatur isothermal. Selanjutnya, dengan bidang kontak panas yang luas disertai turbulensi partikel fluidisasi yang cepat menyebabkan FBC teknologi bisa diaplikasikan untuk mengkonversi segala jenis bahan bakar bahkan dengan ukuran yang tidak seragam seperti bahan bakar sekam padi. Gambar skematik FBC bisa dilihat pada gambar 1.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

55


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Gambar 1. Skematik diagram FBC untuk bahan bakar sekam padi Kwalitas fluidisasi adalah faktor paling utama yang mempengaruhi efisiensi sistem FBC. Umumnya, sekam padi sangat sulit difuidisasi mengingat bentuknya yang silindris, berupa butiran dan berlapis. Beberapa penelitian untuk mengkontrol kwalitas fluidisasi telah dilakukan dengan merubah kecepatan masuk fluidisasi pada limit tertentu sesuai dengan besarnya ukuran partikel pentransfer panas yang digunakan. 4. Peningkatan performansi FBC sekam padi Bila bahan bakar sekam padi dimasukkan pada ruang pembakaran FBC, evolusi zat volatil akan terjadi sangat cepat. Ini dikarenakan oleh tingginya laju perpindahan panas oleh material hamparan di dalam ruang bakar sehingga zat volatil hanya berevolusi di sekitar tempat pemasukan bahan bakar (fuel feed point). Karena ketidakcukupan oksigen di bagian atas ruang bakar (freeboard) maka pembakaran sempurna sering tidak terwujud. Formasi hidrokarbon sering terjadi dan diantisipasi akan memunculkan dioksin pada gas buang. Evolusi volatil secara lokal juga menyebabkan temperatur sangat tinggi di sembarang tempat pada ruang bakar dan kondisi ini akan menyebabkan formasi NOx. Keseragaman temperatur pada sistem pembakaran adalah hal yang sangat penting untuk menjaga kestabilan pembakaran disamping berguna untuk mengurangi emisi dari polutan seperti hidrokarbon dan NOx sebagai akibat hasil pembakaran yang tidak sempurna. Untuk mecapai hal tersebut, usaha-usaha telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti seperti: menurunkan temperatur operasi dan mengurangi kecepatan gas fluidisasi untuk memperkecil laju pemanasan 4] selama pembakaran ; mengontrol volume pemasukan bahan bakar supaya fluktuasi evolusi zat 5] volatil menjadi menurun ; memasang penyekat (baffle) di ruang atas reaktor agar pencampuran 6] udara dengan zat volatil meningkat . Cara lain untuk menghindari hal tersebut yaitu dengan menggunakan partikel yang berpori seperti pasir alumina sebagai pengganti pasir silika yang biasa digunakan sebagai media partikel 7,8,9] yang difluidisasi . Dengan menggunakan media berpori maka hidrokarbon akan tertangkap pada pori-pori partikel seperti terlihat pada gambar 2.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

56


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Partikel berpori HC Pori

K arbon deposit Gambar 2. Hidrokarbon (HC) terperangkap di dalam pori sebagai karbon deposit Karbon yang tertangkap akan terfluidisasi bersama material hamparan ke seluruh ruang reaktor sehingga terjadi pencampuran yang baik yang menyebabkan formasi stoikimetrik dan temperatur pengoperasian pada reaktor menjadi seragam. Hal ini akan mengakibatkan dioksin dan emisi menjadi berkurang dan juga mampu meningkatkan konversi karbon menjadi energi sehinga efisiensi sistem meningkat. Konversi karbon lebih banyak terjadi ketika pasir alumina MS yang berpori dipakai sebagai material hamparan dibandingkan pasir silika QS seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Total C concentration [%]

10

5

QS MS 0 0

40 80 120 Distance from left wall [mm]

160

Gambar 3. Perbandingan konversi karbon pada MS dengan QS Keutamaan lain dari penggunaan partikel berpori adalah untuk menghindari penggumpalan/aglomerasi antara abu hasil pembakaran dengan partikel pasir silika yang biasa digunakan sebagai media pentransfer panas. Aglomerasi terjadi karena bahan bakar biomasa mengandung alkalin yang bisa bersenyawa dengan silika membentuk ikatan yang kalium silikat. Aglomerasi harus dihindari karena akan mengganggu fluidisasi dan bahkan pada kejadian paling buruk akan menyebabkan sistem berhenti secara mendadak. Tabel 1 menunjukkan aglomerasi tidak terjadi dan jumlah karbon yang terbakar lebih banyak bila menggunakan pasir alumina yang 8] berpori MS dibandingkan dengan pasir silika QS .

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

57


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Table 1. Total jumlah karbon yang terbakar dan aglomerasi yang terjadi

5. Kesimpulan Karakteristik yang melemahkan bahan bakar sekam padi untuk dijadikan energi antara lain tingginya kandungan zat yang mudah menguap dengan titik lebur abu hasil pembakaran yang rendah. Hal ini akan berdampak pada performasi sistem seperti; tidak meratanya temperatur pada ruang bakar dan terjadinya penggumpalan abu hasil pembakaran yang menyebabkan kegagalan mesin yang sedang beroperasi. Teknologi FBC telah banyak diaplikasikan dan terbukti sangat efektif untuk menkonversi biomasa, limbah dan sampah menjadi energi yang bersih dan ramah lingkungan. FBC berbahan bakar sekam padi bisa ditingkatkan performansinya salah satunya dengan menggunakan pasir alumina berpori yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah karbon yang terbakar sehingga efisiensi meningkat dan juga untuk menghindari aglomerasi. Artikel ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan yang berharga akan kelayakan sekam padi bila digunakan sebagai energi listrik. Daftar Pustaka [1] M. Fang, L. Yang, G. Chen, Z. Shi, Z. Luo, K. Cen, Experimental study on rice husk combustion in a CFB. Fuel Processing Technology 85;2004:1273-82. [2] E. Natarajan, A. Nordin, A.N. Rao, Overview of combustion and gasification of rice husk in fluidized bed reactors. Biomass and Bioenergy 1998;14( 5-6):533-546. [3] T. Ogada, J .Werther, Combustion characteristics of wet sludge in a fluidized bed: release and combustion of the volatiles. Fuel 1996;75:617–626. [4] N. Fujiwara, M. Yamamoto, T. Oku, K. Fujiwara, S. Ishii, CO reduction by mild fluidization for municipal waste incinerator. In: Proc. of 1st SCEJ Symposium on Fluidization. Tokyo, Japan: SCEJ; 1995.p.51-5. [5] K. Koyama, M. Suyari, F. Suzuki, M. Nakajima, Combustion technology of municipal fluidized bed technology. In: Proc. of 1st SCEJ Symposium on Fluidization. Tokyo, Japan: SCEJ; 1995.p.56-63. [6] T. Izumiya, K. Baba, J. Uetani, H. Hiura, M. Furuta, Experimental study of combustion and gas flow at freeboard of fluidized combustion chamber for municipal waste. In: Proc. of 3rd SCEJ Symposium on Fluidization. Nagoya, Japan: SCEJ; 1997.p.210-5.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

58


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[7] H.J. Franke, T. Shimizu, A. Nishio, H. Nishikawa, M. Inagaki, W. Ibashi, Improvement of carbon burn-up during fluidized bed incineration of plastic by using porous bed materials. Energy & Fuels 1999;13:773-7. [8] T. Shimizu, T. Nemoto, H. Tsuboi, T. Shimoda and S. Ueno, Rice husk combustin in A FBC using porous bed material, In: Proc of 18th�International Conference of FBC, Canada 2005. [9] I. N. S. Winaya, T. Shimizu, Y. Nonaka, K. Yamagiwa, Model of combustion and dispersion of carbon-loaded solids prepared by capacitance effect during bubbling fluidized bed combustion. Fuel 2007;article in press.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

59


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

IPTEK

POTRET DAN HAMBATAN E-GOVERNMENT INDONESIA Ali Rokhman Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto E-mail: alirokhman@unsoed.ac.id 1. Pendahuluan Sejak John Naisbitt mempublikasikan bukunya yang sangat monumental pada tahun 1982 yang berjudul Megatrends 2000, teknologi informasi dan komunikasi sampai sekarang telah menunjukkan perkembangan yang begitu cepat. Sebagian besar aspek kehidupan manusia hampir pasti bersinggungan dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), baik yang sifatnya privat maupun publik. Karena itulah lahirlah transformasi kehidupan manusia yang serba berbasis TIK. E-government adalah salah satu bukti transformasi area kehidupan dalam sektor publik yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah seiring dengan semakin bertambahnya penetrasi internet, sebagai bagian dari TIK, sekarang sangat mungkin meninggalkan prosedur lama yang terkesan kaku dan harus berbasis tatap muka. Seperti yang dialami oleh salah seorang tentara Amerika ketika memperpanjang Surat Ijin Mengemudi (SIM) sebagaimana termuat dalam bukunya David Holmes di bawah ini: An American soldier renewed his Virginia state driver’s license on Tuesday in December 1999. No big deal---except that it was six o’clock in the morning and he completed the procedure in seconds without leaving the army base where he was stationed, across three state boundaries in i Fort Benning, Georgia…etc.. Fenomena di atas menunjukkan bahwa dengan e-government masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik dapat menikmati pelayanan yang lebih baik karena pelayan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kantor pelayanan publik buka selama 24 jam dan dapat diakses dari manapun. Pelayanan publik di Indonesia yang telah banyak dinilai oleh banyak kalangan belum menunjukkan kinerja yang memuaskan sangatlah mungkin diperbaharui melalui e-government. Apalagi dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hal ini menambah peluang bahwa transaksi pelayanan publik diperbolehkan melalui e-government. 2. Terminologi E-Goverment Definisi tentang e-government telah banyak dikembangkan baik oleh kalangan praktisi maupun akademisi sehingga definisi yang ada mengandung perspektif yang berbeda-beda. The World Bank Group (2001) mendefinisikan E-government sebagai penggunaan teknologi informasi oleh instansi pemerintah (seperti Wide Area Networks (WAN), internet, Mobile computing) yang dapat digunakan untuk membangun hubungan dengan masyarakat, dunia usaha, dan instansi ii pemerintah lainnya . Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa e-government adalah penggunaan teknologi informasi untuk membuka pemerintah dan informasi pemerintah untuk memungkinkan dinas-dinas pemerintah untuk berbagi informasi demi kemanfaatan publik, untuk memungkinkan terjadinya transaksi secara online dan untuk mendorong pelaksanaan iii demokrasi . Selanjutnya variasi tentang definisi e-government dapat disajikan sebagai berikut:   

E-government applies concepts of electronic commerce (e.g. information and marketing iv through Web sites, selling to customers on-line) to government operations. Refers to the federal government’s use of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) to exchange information and services v with citizens, businesses, and other arms of government. Government activities that take place by digital processes over a computer network

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

60


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

   

usually use the Internet, between the government and members of the public and entities in the private sector, especially regulated entities. These activities generally involve the electronic exchange of information to acquire or provide products or services, to place or receive orders, to provide or obtain information, or to complete financial transactions. The anticipated benefits of e-government include reduced operating costs for government institutions and regulated entities, increased availability since government services can be accessed from virtually any location, and convenience due vi to round-the-clock availability. It is the process of transforming government, so that the use of the internet and vii electronic processes are central to the way that government operates. Electronic government services over the Internet (e.g. application forms, driving licenses, viii etc.) The range of electronic services that enable transactions with the Government or electronic voting or improved interactive communication between the Government and ix the citizen. The term (in all its uses) is generally agreed to derive from "electronic government" which introduces the notion and practicalities of electronic technology into the various x dimensions and ramifications of government.

Dari berbagai definsi di atas sebenarnya dapat disarikan ke dalam kata yang lebih singkat yakni xi Bring the government service to the Web . Sedangkan definisi formal dari pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana diatur oleh Depkominfo adalah pelayanan publik yang diselenggarakan melalui situs pemerintah dimana domain yang digunakan juga menunjukkan domain pemerintah xii Indonesia yakni go.id . Sehingga berdasarkan definsi formal ini, walaupun ada website yang secara real dikelola oleh pemerintah dan digunakan untuk pelayanan publik namun apabila tidak ber-domain go.id maka tidak masuk klasifikasi e-government. 3. Manfaat E-Government E-Government merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.

Tabel 1. Pergeseran Paradigma dalam Penyampaian Pelayanan Publik. Paradigma Birokratis

Paradigma e-government

Orientasi

Efisiensi biaya produksi

Proses organisasi

Merasionalisasikan peranan, pembagian tugas dan pengawasan hirarki vertikal Manajemen berdasarkan peraturan dan mandat (perintah)

Fleksibel, pengawasan dan kepuasan pengguna (customer). Hirarki horisontal, jaringan organisasi dan tukar informasi

Prinsip manajemen

Gaya kepemimpinan

Memerintah dan mengawasi

Komunikasi internal

Hirarki (berperingkat) dan top-down

Komunikasi eksternal

Terpusat, formal dan saluran terbatas Dokumen dan interaksi antar personal Terstandarkan, keadilan dan sikap adil

Cara penyampaian pelayanan Prinsip-prinsip penyampaian pelayanan

Manajemen bersifat fleksibel, team work antar departemen dengan koordinasi pusat. Fasilitator, koordinatif dan entrepreneurship inovatif. Jaringan banyak tujuan dengan koordinasi pusat dan komunikasi langsung. Formal dan informal, umpan balik langsung, cepat dan banyak saluran Pertukaran elektronik dan interaksi non face-to-face. Penyeragaman bagi semua pengguna dan bersifat personal.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

61


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Implementasi e-government adalah sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan xiii pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pemerintahan . Paradigma pelayanan pemerintah yang bercirikan pelayanan melalui birokrasi yang lamban, prosedur yang berbelit, dan tidak ada kepastian berusaha diatasi melalui penerapan e-government. Paradigma pelayanan publik bergeser dari paradigma birokratis menjadi paradigma e-government yang mengedepankan efisiensi, transparansi, dan fleksilbiltas, yang akhirnya bermuara pada kepuasan pengguna layanan publik. Pergeseran paradigma ini telah dikaji oleh xiv Alfred (2002), yang disajikan dalam Tabel 1 : 4. Level Pengembangan E-Government Pengembangan e-government dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas pengembangan dan fasilitas yang disediakan untuk melayani masyarakat. Beberapa institusi dan pakar telah mengemukakan pendapat tentang level pengembangan e-government, namun pada intinya level pengembangan e-government terdiri dari 4 level yaitu: 1. Level informasi; dimana e-government hanya digunakan untuk sarana publikasi informasi pemerintah secara on-line, misalnya profil daerah, peraturan, dokumen, dan formulir. 2. Level interaksi; dimana e-government sudah menyediakan sarana untuk interaksi dua arah antara pejabat pemerintah dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik, misalnya dalam bentuk sarana untuk menampung keluhan, forum diksusi, atau hotline nomor telepon atau email pejabat. 3. Level transaksi; di mana e-government sudah menyediakan sarana untuk bertransaksi bagi masyarakat dalam menggunakan layanan publik, yakni transaksi yang melahirkan kesepakatan (deal) yang dapat disertai dengan pembayaran sebagai akibat dinikmatinya layanan publik yang telah digunakan. Misalnya trasaksi untuk pembayaran pajak atau retibusi. 4. Level integrasi, dimana semua pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah disamping disediakan secara konvensional juga disediakan secara online melalui e-government. 5.

Kebijakan Pengembangan E-Government

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang dijiwai oleh nilai-nilai good gevernance, Pemerintah RI dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika pada tahun 2003 telah mengeluarkan beberapa panduan berkenaan dengan pengembangan e-government yang xv ditujukan kepada setiap instansi pemerintah antara lain: 1. Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah 2. Panduan Manajemen Sistem Dokumen Elektronik Pemerintah 3. Panduan Penyusunan Rencana Pengembangan E-Government Lembaga 4. Pedoman Penyelenggaraan Diklat ICT dlm Menunjang E-Government 5. Pedoman tentang Penyelenggaraan Situs Web Pemerintah Daerah Selanjutnya pada tahun 2004 Depkominfo juga mengeluarkan enam panduan berupa: 1. Standar mutu dan jangkauan pelayanan serta pengembangan aplikasi (e-services) 2. Kebijakan tentang kelembagaan, otorisasi, informasi dan keikutsertaan swasta dalam penyelenggaraan 3. Kebijakan pengembangan kepemerintahan yang baik dan manajemen perubahan 4. Panduan tentang pelaksanaan proyek dan penganggaran e-government 5. Standar kompetensi pengelola e-government 6. Blue-print aplikasi e-government pemerintah pusat dan daerah Kemudian pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan pemanfaatan TIK di negara kita yang secara tidak langsung memperkuat kebijakan dalam pengembangan e-government. Kebijakan tersebut adalah pembentukan Dewan Teknologi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

62


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas). Dewan yang dibentuk Presiden SBY melalui Keppres No. 20, 11 November 2006. Dewan ini diberi amanah untuk merumuskan kebijakan umum dan arahan strategis pembangunan nasional, melalui pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Selain itu Dewan juga diminta untuk melakukan pengkajian dalam menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam rangka pengembangan TIK. Melakukan koodinasi dengan instansi pemerintah pusat/daerah, BUMN/BUMD, dunia usaha dan lembaga profesional dalam rangka pengembangan TIK juga menjadi tugas Dewan, selain memberikan persetujuan atas pelaksanaan program TIK yang xvi bersifat lintas departemen agar efektif dan efisien (Majalah e-Indonesia, 2007) . 7.

Potret E-Government Indonesia

Berbagai panduan yang telah dikeluarkan Depkominfo tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah RI serius dalam mengembangkan e-government, di mana instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah didorong untuk mengembangkannya. Namun keberhasilan pengembangan e-government belum signifikan, terbukti dari E-government Readiness kita masih menempati ranking bawah di antara negara lain di Asia Tenggara apalagi e-government reaadiness secara global, peringkat Indonesia lebih rendah lagi. Posisi Indonesia dalam E-Government Readiness baik di lingkungan Asia Tenggara dapat dijelaskan dalam Tabel 2. Tabel 2. Global E-Government Readiness No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Country Singapore Malaysia Thailand Philipines Brunei Darussalam Viet Nam Indonesia Cambodia Myanmar East Timor Lao, P.D.R

2004 8 42 50 47 63 112 85 129 123 174 144

Global Rank in 2005 2008 7 23 43 34 46 64 41 66 73 87 105 91 96 106 128 139 129 144 144 155 147 156 xvii

Sumber: Global E-Govermnet Readiness 2005

xviii

dan 2008

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia pada tahun ini menempati posisi ke tujuh di bawah Brunei Darussalam dan Vietnam, dan hanya satu tingkat lebih tinggi daripada Kamboja. Sedangkan untuk tataran global, posisi Indonesia juga tidak mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 berada pada posisi ke 85, tahun 2005 menempati ranking 86, kemudian pada tahun ini posisi Indonesia merosot lagi menjadi ranking 106. Fenomena di atas menarik dikaji untuk mengetahui permasalahan e-government di Indonesia. Oleh karena itu penulis telah melakukan review terhadap website pemerintah daerah mulai tanggal 2 sampai dengan 6 Mei 2008. Propinsi Jawa Tengah dijadikan sampel secara purposive karena e-government kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Tengah pernah mendapatkan penghargaan nasional dari Warta Ekonomi, yaitu e-government Kabupaten Kebumen pada tahun 2004-2005 dan Sragen pada tahun 2007. Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 30 kabupaten dan enam kotamadya. Masing-masing website kabupaten dan kota telah diakses dan dikaji melalui aspek level pengembangan dan menu dan fasilitas yang disediakan. Berdasarkan hasil survei beberapa temuan yang menarik adalah sebagai berikut. 1. Dari 30 kabupaten dan enam kota, hanya 24 kabupaten (80%) dan lima kota (83%) yang sudah mempunyai website yang dapat diakses, selebihnya setelah dilakukan pencarian dengan menggunakan search engine Google dan Yahoo, website kabupaten dan kota yang bersangkutan tidak ditemukan. Mayoritas website pemerintah kabupaten dan kota yang sudah dapat diakses masuk dalam level pertama yakni

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

63


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

hanya mempublikasikan informasi seputar profil daerah tersebut, dan kebanyakan terdiri dari menu utama: (1) profil daerah, (2) prosedur pelayanan publik, dan (3) berita daerah bersangkutan yang sumbernya sebagian besar bukan dari kabupaten atau kota sendiri tapi hanya mengambil dari media lain. Berita yang ditampilkan juga tidak selamanya ter-update dengan baik karena ada daerah yang menyajikan berita yang sudah basi. 2. Dari 24 kabupaten dan lima kota yang websitenya dapat diakses, hanya 12 dari website kabupaten (40%) yang dapat dikategorikan pada level interaksi. Sedangkan lima website kota semuanya (100%) sudah ber-level interaksi. Aplikasi fasilitas interaksi yang disediakan antara lain: (1) Buku tamu, (2) forum, (3) chatting, (5) link kontak, dan (6) polling. Hasil survei menunjukkan fasiltas tersebut kurang berfungsi dengan baik dibuktikan dengan: a. Buku tamu hanya menampilkan keluhan masyarakat tanpa ada respon dari pejabat atau staf briokrasi terkait ataupun dari admin website. Bahkan ada buku tamu yang hanya ditujukan kepada admin hanya bersifat interaksi satu arah. b. Forum diskusi juga masih kosong tidak ada aktivitas. Beberapa website baru membuat topik diskusi namun sama sekali tidak ada aktivitas c. Fasilitas chatting yang disediakan hanya untuk chat antar user, bukan chat dengan pejabat atau staf birokrasi terkait berkaitan dengan pelayanan publik. d. Website yang menyediakan fasilitas polling belum dapat dimanfaatkan untuk menjaring aspirasi masyarakat terhadap isu daerah yang bersangkutan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan pemerintah daerah. 3. Dari website kabupaten dan kota yang telah mengembangkan e-government tidak ada satu pun yang termasuk level ketiga yakni level transaksi untuk pelayanan publik. Ada beberapa kabupaten/kota yang sudah menyediakan menu Layanan Publik, tapi masih berifat informatif saja, sekedar menampilkan persyaratan dan prosedur layanan. 8.

Hambatan Birokrasi Pengembangan

Hambatan pengembangan e-government jika ditinjau dari perspektif birokrasi sebagai penyelenggara layanan publik melalui elektronik adalah sebagai berikut 1. Peopleware. Sumberdaya manusia yakni kemampuan para pejabat birokrasi maupun staff dalam menggunakan internet yang masih sangat terbatas. Hal ini terbukti dari masih sangat tergantungnya birokrasi dalam pengembangan e-government terhadap pihak luar. Operasionalisasi e-government juga tidak berjalan lancar ditandai dengan sarana interaksi yang disediakan tidak ada aktivitas yang berarti. 2. Hardware, yakni berkaitan dengan teknologi dan infrastuktur. Terbatasnya hardware dan software serta masih sedikitnya instansi pemerintah yang terhubung pada jaringan baik lokal (LAN) maupun global (Internet) menyebabkan perkembangan e-government tidak dapat berjalan lancar. 3. Organoware. Hambatan birokrasi, seringkali instansi pemerintah dalam mengoperasionalkan e-government menemui kendala dalam aspek organisasi. Kendala ini ditandai dengan tidak fleksibelnya Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) birokrasi yang dapat mewadahi perkembangan baru model pelayanan publik melalui e-government. Para admin e-government di beberapa daerah yang selalu memonitor pengaduan masyarakat tidak mempunyai wewenang dan kemampuan untuk langsung berinteraksi dengan masyarakat misalnya dalam memberikan jawaban. Sedangkan untuk meminta pejabat atau pegawai yang terkait untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan masyarakat, para admin tersebut tidak mempunyai wewenang. Hambatan birokrasi lainnya adalah belum adanya regulasi yang mengijinkan transaksi melalui media elektronik dapat dianggap sah. Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE namun belum ada Juklak dan Juknis. Disamping SOT dan regulasi, hambatan organoware berikutnya adalah terbatasnya dana yang tersedia untuk pengembangan dan operasionalisasi e-government di daerah. Pemerintah pusat hanya menyediakan kerangka kebijakan dan panduan tidak disertai dengan alokasi dana sehingga harus ditanggung oleh daerah yang bersangkutan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

64


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Berdasarkan hambatan-hambatan di atas sangat logis jika potret e-government di negara kita mayoritas masih dalam level yang paling dasar yaitu level informasi, sedangkan yang sudah masuk level kedua pun (interaksi) belum bisa berfungsi dengan baik. 9.

Kesimpulan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menawarkan solusi untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang lebih berbasis good governance. Pemanfaatan e-government bagi birokrasi diharapkan dapat menjadi alternatif bagi reformasi birokrasi menuju pelayanan yang lebih baik. Walaupun sejak tahun 2003 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai e-government namun pada kenyataannya potret e-government kita masih dalam level rendah baik level pengembangannya maupun level dalam Global E-Government Readiness. Keadaan ini disebabkan oleh tiga hambatan utama yakni sumberdaya manusia, hardware, dan birokrasi. Daftar Pustaka [] i

Holmes, Douglas (2001), E-Gov E-Business Strategies for Government, Nicholas Brealey Publishing, London. ii [ ] World Bank. 2002. The e-government handbook for developing countries. A project of infodev and the center for democracy and technology. http://www.infodev.org/files/ 841_file_eGovernment_Handbook.pdf [12-04-2006]. iii [ ] http://www.govtech.net/magazine/channels.php/17 diakses tanggal 5 Juni 2006 iv [ ] www.communication.gc.ca/glossary.html diakses tanggal 6 April 2005. v [ ] www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2004/print/glossary.html diakses tanggal 6 April 2005. vi [ ] www.dir.state.tx.us/taskforce/Surveys/State_Survey/app_b.htm diakses tanggal 6 April 2005. vii [ ] www.agimo.gov.au/publications/2001/11/ar00-01/glossary diakses tanggal 6 April 2005. viii [ ] www2.automation.siemens.com/meta/ebusiness/html_76/glossar/glossar_e.htm diakses tanggal 6 April 2005. ix [ ] www.canterbury.gov.uk/cgi-bin/buildpage.pl diakses tanggal 6 April 2005. x [ ] en.wikipedia.org/wiki/E-government diakses tanggal 6 April 2005. xi [ ] Rokhman, Ali. Paradigma Baru Pelayanan Publik melalui E-Government, Seminar Nasional Electronic Governance yang bertemakan “Mengusung Paradigma Baru”, diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP UNSOED, 7 April 2005. xii [ ] Hadwi Soendjojo, Kondisi Situs Web Pemerintah Daerah, http://www.depkominfo.go.id [xiii] Brown, Mary M (2007), Understanding E-Government Benefits: An Examination of Leading-Edge Local, The American Review of Public Administration, Sage Publication, Vol 37 p. 195. xiv [ ] Alfred, Tat-Kei Ho. 2002. Reinventing local government and the e-government initiative. The Premier Journal of Public Administration Review (PAR). July-August. 62(4): 434-444 xv [ ] Djoko Agung Harijadi, Kebijakan Dan Strategi Pengembangan E-Government, Seminar Nasional Electronic Governance yang bertemakan “Mengusung Paradigma Baru”, diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP UNSOED, 7 April 2005. [xvi] Majalah e-Indonesia, Edisi No. 22/2, Available at http://www.majalaheindonesia.com/detiknas-ed22_2.htm xvii [ ] United Nations (2005), Global E-Government Readiness Report 2005: from E-Governemnet to E-Inclusion availabled at http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan021888.pdf xviii [ ] United Nations (2008), UN E-Government Survey 2008: From E-Government to Connected Governance, availabled at http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN028607.pdf Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

65


KESEHATAN

INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

LESION STERILIZATION AND TISSUE REPAIR THERAPY: REVOLUSI DALAM PENGOBATAN GIGI Tetiana Haniastuti Mahasiswa Program Doktor Bidang Mikrobiologi Oral, Universitas Niigata, Jepang Dosen Bagian Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada Email: haniastuti@yahoo.com

1. Pendahuluan Pernahkah anda mengalami sakit gigi berdenyut yang sangat mengganggu dan harus bolak-balik ke dokter gigi untuk perawatannya? Kunjungan berulang kali ke dokter gigi bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang menjengkelkan. Namun sekarang bila mengalami hal tersebut, anda tidak perlu datang ke dokter gigi berulang kali. Cukup dengan sekali kunjungan maka perawatan sudah selesai. Metode pengobatan gigi yang baru ini diperkenalkan oleh seorang ahli Mikrobiologi, Profesor Hoshino Etsuro dari Universitas Niigata, Jepang. Sejak dua dasa warsa terakhir, kelompok peneliti di bawah bimbingan Profesor Hoshino telah melakukan berbagai penelitian, baik klinis maupun laboratoris untuk membuktikan efektivitas metode ini. Uji klinis telah dilakukan di berbagai negara, khususnya Asia antara lain Indonesia, Thailand, dan Bangladesh. Akan tetapi, metode yang dinamakan Lesion Sterilization and Tissue Repair 3Mix-MP SavePulp therapy (LSTR) ini tampaknya akan banyak mendapatkan tentangan dari kalangan praktisi kedokteran gigi karena mengubah banyak hal mengenai paradigma penanganan sakit gigi. 2. Perbedaan Prinsip Metode LSTR dengan Metode Konvensional Rasa sakit spontan yang dirasakan terus-menerus sehingga mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien ketika datang ke tempat praktek dokter gigi. Dalam dunia kedokteran gigi, rasa sakit tersebut merupakan gejala utama dari pulpitis. Pulpitis adalah reaksi inflamasi pada pulpa gigi. Sebagian besar kasus pulpitis diakibatkan oleh infeksi bakteri-bakteri terutama bakteri anaerob baik yang bersifat fakultatif maupun obligat misalnya Streptococcus, Propionibacterium, Eubacterium dan Actinomyces (Hoshino, 1985). Pada kasus ini, biasanya gigi mengalami karies yang dalam dan luas yang melibatkan struktur dentin maupun pulpa (Levin, 2003). Perawatan yang biasa dilakukan oleh para dokter gigi (metode konvensional) untuk menangani kasus tersebut adalah perawatan saluran akar gigi, berupa pulpektomi atau pulpotomi. Berikut uraian mengenai perbedaan prinsip antara metode konvensional dan LSTR: a. Metode Konvensional Para dokter gigi selama ini berpendapat bahwa rasa sakit berdenyut pada gigi yang timbul secara spontan dan dirasakan secara terus-menerus oleh pasien sebagai pertanda terjadinya reaksi inflamasi yang parah, yang merupakan gejala khas dari pulpitis yang bersifat irreversible. Karena sifatnya yang irreversible, maka diyakini bahwa jaringan pulpa gigi tidak mungkin mengalami regenerasi yang pada akhirnya vitalitas gigi tidak mungkin dipertahankan (Bindslev and Løvschall, 2002). Oleh karena itu, pada saat ini para dokter gigi biasanya melakukan terapi radikal, baik itu berupa perawatan saluran akar gigi ataupun pencabutan gigi untuk menangani kasus tersebut (Sigurdsson, 2003).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

66


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Terapi radikal tersebut biasa dilakukan karena apabila jaringan pulpa yang mengalami infeksi/inflamasi tidak diambil, dikhawatirkan infeksi akan semakin menyebar ke seluruh jaringan gigi sehingga menyebabkan gangren pulpa. Pada perawatan saluran akar gigi, dilakukan pengambilan seluruh jaringan pulpa (meliputi antara lain pembuluh darah, serabut syaraf, dan jaringan ikat) dan diganti dengan bahan pengisi saluran akar, misalnya gutta percha. Dampak dari perawatan ini adalah gigi menjadi non vital sehingga struktur jaringannya lebih rapuh, dan apabila menerima tekanan yang besar, gigi mudah patah (Sigurdsson, 2003). Di Indonesia, karena keterbatasan peralatan, pencabutan gigi merupakan hal yang lumrah dilakukan apabila dokter gigi menjumpai pasien dengan kasus pulpitis. Bahkan sebagian besar pasien dengan keluhan sakit gigi yang datang ke dokter gigi minta agar giginya dicabut. Kebanyakan orang awam berpikir bahwa dengan mencabut gigi yang sakit, persoalan sudah selesai. Padahal, gigi ompong juga merupakan awal dari sederet permasalahan lain, misalnya hilangnya ruang untuk erupsi gigi permanen apabila hal tersebut terjadi pada gigi susu atau bila terjadi pada gigi permanen mengakibatkan maloklusi dan poket periodontal yang dapat berakhir dengan tanggalnya gigi (Camp, 1994). b. Metode LSTR Berbeda dengan metode konvensional, prinsip dari metode LSTR adalah mempertahankan vitalitas gigi, dengan upaya disinfeksi lesi-lesi pulpa yang bertujuan membunuh bakteri-bakteri yang menginfeksi pulpa menggunakan kombinasi tiga macam antibiotik yaitu metronidazole, ciprofloxacin dan minocyclin. Ketiga serbuk antibiotik tersebut dicampur dengan macrogol dan prophylene glycol yang berfungsi sebagai bahan pembawa, diletakkan pada area sekitar lesi, sebelum dilakukan penumpatan. Metode LSTR ini juga mensyaratkan restorasi akhir yang bersifat tight sealing, untuk menghindari kebocoran mikro di sekitar tumpatan yang dapat mengakibatkan karies sekunder (Hoshino dan Takushige, 1998). Inflamasi merupakan reaksi fisiologis pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing yang menginfeksi tubuh kita. Pada saat inflamasi, terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi, misalnya leukosit polimorfonuklear dan makrofag yang berfungsi untuk mengeliminasi bakteri-bakteri, antara lain dengan fungsi fagositosisnya. Namun, pada saat yang bersamaan mereka juga akan mensintesis substansi-substansi yang apabila diproduksi dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan host (MjĂśr, 2002; Smith, 2002). Prinsip metode LSTR adalah membunuh bakteri-bakteri yang menginfeksi pulpa. Apabila bakteribakteri tersebut dapat terbunuh, maka inflamasi akan mereda, sehingga memberi kesempatan pada sel-sel pulpa gigi untuk melakukan regenerasi yang memungkinkan repair jaringan gigi (Hoshino dan Takushige, 1998). 3. Penelitian-Penelitian yang Berkaitan dengan LSTR Berbagai penelitian untuk menguji efektivitas LSTR sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Berdasarkan penelitian laboratoris dengan metode in vitro maupun in situ diketahui bahwa kombinasi tiga antibiotik (metronidazole, ciprofloxacin dan minocycline) yang digunakan dalam metode LSTR terbukti efektif membunuh bakteri-bakteri oral yang ditemukan pada karies maupun lesi-lesi endodontik (Hoshino dkk., 1996; Sato dkk, 1996). Macrogol dan prophylene glycol terbukti mampu membawa zat-zat aktif tersebut sehingga dapat berpenetrasi ke tubuli dentinalis dan mencapai lesi (Cruz dkk., 2002).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

67


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Secara klinis, penelitian yang dilakukan oleh Takushige dkk. (2004) menunjukkan bahwa gigi susu dengan lesi-lesi periradikular termasuk yang mengalami resorpsi akar secara fisiologis, berhasil dirawat dengan metode LSTR dengan satu kali kunjungan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa fistula dan gingival swelling hilang setelah beberapa hari dan pemeriksaan radiografik menunjukkan gambaran yang normal. Pada penelitian tersebut juga diketahui bahwa gigi permanen pengganti bisa erupsi secara normal. Pada kasus pulpitis pada gigi permanen, hasil pemeriksaan paska perawatan dengan metode LSTR menunjukkan bahwa keluhan rasa sakit hilang, vitalitas gigi tetap terjaga, dan gigi berfungsi secara normal. Hal itu menunjukkan tercapainya parameter keberhasilan perawatan dengan metode LSTR. Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian dengan teknik immunohistokimiawi yang dilakukan oleh penulis (unpublished data) yang membuktikan bahwa paska perawatan pulpitis dengan metode LSTR, serabut syaraf dan juga sel-sel odontoblast pada pulpa gigi tetap vital. Odontoblast merupakan sel yang berfungsi untuk membentuk dentin. Apabila odontoblast masih vital, maka gigi akan mampu membentuk dentin tersier sehingga terjadi repair jaringan gigi (Tziafas, 2004). 4. Keunggulan Metode LSTR Dibandingkan Metode Konvensional Apabila dibandingkan dengan metode konvensional, metode LSTR mempunyai banyak keunggulan, antara lain: a. Mempertahankan vitalitas jaringan pulpa gigi Prinsip dari metode LSTR memungkinkan vitalitas gigi tetap dipertahankan, sehingga fungsi gigi secara normal tetap terjaga. Metode ini dapat diterapkan untuk merawat gigi susu maupun gigi permanen. Adapun dampak dari perawatan dengan metode konvensional adalah gigi menjadi non vital sehingga strukturnya rapuh. b. Teknik yang sederhana Di Indonesia, praktek endodontik pada umumnya dikerjakan oleh seorang dokter gigi spesialis konservasi gigi. Teknik perawatan ini membutuhkan keterampilan dan instrumen kedokteran gigi yang khusus. Adapun teknis perawatan LSTR dapat dikerjakan oleh seorang dokter gigi umum, tanpa memiliki keahlian khusus dan juga tidak membutuhkan instrumen kedokteran gigi yang khusus. c. Ekonomis Apabila dibandingkan dengan teknik endodontik konvensional, total biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah, baik dari segi material yang digunakan untuk perawatan, biaya kunjungan ke dokter gigi, maupun biaya transport pasien untuk datang ke tempat praktek dokter gigi. d. Perawatan memakan waktu yang singkat Banyak pasien mengeluh ketika harus datang berulang kali ke dokter gigi. Betapa banyak waktu terbuang untuk datang berulang kali ke tempat praktek dan juga ketika harus antri menunggu giliran untuk dirawat. Berbeda dengan metode endodontik konvensional yang memerlukan kunjungan berulang, teknik perawatan dengan metode LSTR membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat. 5. Penutup Mengingat kelebihan-kelebihan metode ini seperti yang telah penulis uraikan dan juga peta penyebaran dokter gigi spesialis yang sangat tidak merata, akan sangat berguna apabila teknik ini bisa dikembangkan secara luas di Indonesia. Pada saat ini sudah dilakukan upaya-upaya untuk memperkenalkan metode ini pada para dokter gigi di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa kendala, yaitu: Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

68


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

a. Teori yang sudah diyakini selama bertahun-tahun yang menyebabkan perbedaan paradigma penanganan sakit gigi di kalangan praktisi kedokteran gigi, menyebabkan konsep LSTR belum bisa sepenuhnya diterima sebagai alternatif pengobatan gigi di Indonesia. b. Keterbatasan material yang diperlukan untuk melakukan perawatan dengan metode LSTR, terutama macrogol. Di Indonesia, bahan ini masih belum bisa didapat secara mudah. Referensi: [1] Camp, J.H., 1994, Pediatric endodontic treatment dalam Cohen S., Burns R.C., eds. Pathways of the pulp, 6th ed, Mosby co., St Louis, USA, 633-671 [2] Cruz, E.V., K. Kota, J. Huque, M. Iwaku, E. Hoshino, 2002, Penetration of prophylene glycol through dentine, Int. Endod. J., 35, 330-336

[3] Hoshino, E., 1985, Predominant obligate anaerobes in human carious dentine, J. Dent. Res., 64, 1195-1198 [4] Hoshino, E., N. Kurihara-Ando, I. Sato, H. Uematsu, M. Sato, K. Kota, M. Iwaku, 1996, In vitro antimicrobial susceptibility of bacteria taken from infected root dentine to a mixture of ciprofloxacin, metronidazole and minocycline, Int. Endod. J., 29, 125-30 [5] Hoshino, E., T. Takushige, 1998, LSTR 3Mix-MP method – better and efficient clinical procedures of lesion sterilization and tissue repair (LSTR) therapy, Dental Rev., 666, 57-106 [6] Hørsted-Bindslev, P., H. Løvschall, 2002, Treatment outcome of vital pulp treatment, Endod. Top., 2, 24-34 [7] Levin, L.G., 2003, Pulpal irritants, Endod. Top., 5, 2-11 [8] Mjör, I.A., 2002, Pulp-dentin biology in restorative dentistry, Quintessence Publishing co., Chicago [9] Sato, I., N. Kurihara-Ando, K. Kota, M. Iwaku, E. Hoshino, 1996, Sterilization of infected rootcanal-dentine by topical application of a mixture of ciprofloxacin, metronidazole and minocycline in situ, Int. Endod. J., 29, 118-124 [10] Smith, A.J., 2002, Pulpal responses to caries and dental repair, Caries Res., 36, 223-232 [11] Sigurdsson, A., 2003, Pulpal diagnosis, Endod. Top., 5, 12-25 [12] Takushige, T., E.V. Cruz, A.A. Moral, E. Hoshino, 2004, Endodontic treatment of primary teeth using a combination of antibacterial drugs, Int. Endod. J., 37, 132-138 [13] Tziafas, D., 2004, The future role of a molecular approach to pulp-dentinal regeneration, Caries Res., 38, 314-320 Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

69


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

KESEHATAN

INDUCED PLURIPOTENT STEM-CELLS Ahmad Faried, MD, PhD Postdoctoral fellow, Department of Neurosurgery, Graduate School of Medicine, Gunma University, Japan Email: afaried@med.gunma-u.ac.jp

1.

Pendahuluan 1,2

Belum lama rasanya kita berdecak kagum akan penemuan RNA interference (RNAi), yang membuka lembaran baru dalam ilmu biomolekular dan aplikasinya dalam ilmu kedokteran terkini, khususnya pada modifikasi terapi penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan (seperti penyakit-keganasan, -degenerasi, HIV, dan lain-lain). Agaknya, sekali lagi kita harus berdecak kagum untuk temuan terbaru dibidang biomolekular yang dapat mengubah sel kulit menjadi sel-yang menyerupai dan berfungsi sebagai stem cells, induced pluripotent stem-cells, atau yang 3 dikenal dengan sel iPS. Bila kita berbicara mengenai embryonic stem cells (ESCs), di samping potensinya yang sangat baik dalam regenerasi sel, masih banyak perdebatan serta penolakan penggunaan jenis stem cells ini seputar isu etika dan moral mengenai cara menciptakannya (baca: mengorbankan embrio, gambar 1). Satu-satunya cara untuk menciptakan ESCs dari sel-dewasa (adult stem cells, ASCs) adalah dengan teknik yang disebut nuclear transfer. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan inti sel dewasa ke dalam sel telur (ovum) yang inti selnya telah dibuang sebelumnya. Sel telur ini kemudian akan memprogram ulang inti sel dewasa menjadi ESCs. Teknik ini disebut dengan therapeutic cloning jika dilakukan pada manusia, akan tetapi belum pernah ada yang berhasil melakukannya hingga sekarang.

Gambar 1. Proses mendapatkan ESCs (sumber gambar: www.reeve.uci.edu/anatomy/stemcells) 2. Induced Pluripotent Stem cells (iPS) Penemuan sel iPS ini pertama kali diperkenalkan oleh Professor Shinya Yamanaka dari 3 Universitas Kyoto di Jepang tahun 2006. Hanya dengan memasukan empat jenis gen saja sel ini dapat memprogram ulang inti-sel dewasa (baca: sel kulit orang dewasa) menjadi ESCs. Publikasi tentang sel iPS ini mengundang banyak perhatian dari seluruh dunia. Beberapa peneliti dari Amerika (dipimpin oleh R. Jaenisch, K. Plath, K. Hochedlinger, dan J.A. Thomson), ditugaskan untuk mengulangi dan membuktikan hasil penemuan Prof. Yamanaka, baik secara perseorangan maupun secara tim. Dalam artikelnya pada majalah Nature, Cell, Stem Cell serta

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

70


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008 4-6

Science, seluruh tim berhasil membuktikan bahwa dengan memasukan empat gen yang di‘resepkan’ oleh tim Jepang tadi memang dapat mengubah sel dewasa menjadi ESCs. Hal ini sekaligus mengkonfirmasi keabsahan temuan Prof. Yamanaka. Terdapat beberapa perbedaan tentang cara pembuatan sel iPS antara tim Jepang dan tim 6 Amerika, di antaranya: 1. Tim Jepang memakai sel kulit orang dewasa, sedangkan salah satu tim Amerika memakai sel kulit bayi yang notabene masih mengandung banyak sel pluripoten. 6 2. Tim Jepang dapat membuat ~200 koloni dari jumlah sel kulit sebanyak 10 . Tim Amerika hanya dapat membuat ~100 koloni dari jumlah sel yang sama. 3. Tim Amerika memodifikasi cara membuat sel iPS dengan menambahkan faktor transkripsi 6 lain yaitu NANOG. Sel iPS sangat mirip dengan ECS; baik secara morfologi, kemampuan pertumbuhan, antigen dipermukaan sel, ekspresi gen, status epigenetik yang khas dan aktivitas telomerase-nya. Seandainya teknik ini dapat diterapkan pada manusia maka akan sangat mudah untuk dilakukan dibandingkan dengan teknik nuclear transfer. Lebih jauh lagi, teknik ini tidak mahal serta tidak mengundang kontroversi karena tidak mengorbankan sel telur. Perdebatan panjang tentang isu etika dan moral mengenai cara menciptakan ESCs akan pupus dengan adanya teknik pembuatan sel iPS ini. Para peneliti belajar menghasilkan ESCs diera tahun 90-an dengan menggunakan embrio bayi yang dibuang oleh klinik-klinik fertilitas. Hal tersebut mengundang banyak kritik dan menjadi kontroversi diseluruh dunia. Pada akhirnya penelitian di bidang ini menjadi sangat terhambat dengan dihentikannya dana penelitian dari pemerintah federal Amerika. Bahkan di sebagian negara-negara eropa, penelitian ESCs sudah dilarang. 3. Bagaimana menciptakan sel iPS? Penelitian panjang mengenai sifat-sifat sel embrio, kemampuan pluripoten-nya dan kemampuannya berubah menjadi berbagai jenis jaringan tubuh mengilhami Prof. Yamanaka untuk mengidentifikasi gen-gen apa saja yang penting dalam proses ini. Dengan teknik skrining yang ketat, beliau memilih 24 gen yang dianggap bertanggung jawab dalam menjaga sifat 3 pluripoten pada ESCs. Saat timnya memasukan ke-24 gen tadi kedalam sel kulit, tampak tanda-tanda sel kulit tadi berubah sifat pluripotensinya. Kemudian tim ini menelaah kembali gen-gen tersebut satu persatu, melihat gen-gen mana saja yang sangat dominan, dan memilih empat gen saja yang paling berperan untuk mengubah sel kulit menjadi ESCs, atau dikenal dengan sel iPS. Ke-empat gen tadi lalu ‘dipaket’ ke dalam virus untuk dimasukan ke dalam sel kulit, dan gen-gen ini akan aktif seiring dengan proses replikasi dari virus tersebut. Hasilnya, “Abrakadabra!!” sel kulit tadi dipaksa menjalani proses program ulang (re-program) untuk 3 menjadi ESCs. Gen-gen tersebut adalah: 1. Sox2 dan Oct3/4, yaitu gen-gen yang berfungsi sebagai faktor transkripsi serta menjaga kemampuan pluripotensi pada embrio dan ESCs. 2. c-Myc dan Klf-4, yaitu gen-gen yang berfungsi menjaga keutuhan phenotype dan pertumbuhan ESCs.

Gambar 2. Skematik dari gen-gen pembangun sel iPS (sumber: koleksi pribadi) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

71


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

4. Kendala dan tantangan dalam pengembangan sel iPS Tantangan terbesar yang dihadapi dari penemuan teknik pembuatan sel iPS adalah bagaimana caranya agar sel iPS ini dapat diaplikasikan secara klinis pada manusia. Beberapa kendala yang dihadapinya antara lain: 1. Dalam membuat sel iPS murni, pada tikus dapat diciptakan tikus chimera (interbred) yang secara organ spesifik akan menghasilkan iPS. Akan tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan pada manusia. 2. Teknik pembuatan sel iPS ini pada dasarnya menggunakan virus (yang membawa ke-empat gene tadi) dalam ‘memaksa’ sel kulit untuk berubah wujud menjadi ESCs, namun penggunaan virus untuk terapi di klinis sangat tidak ideal. 3. Dua dari ke-empat gene tadi adalah gen pencetus kanker (c-Myc dan Klf-4); yang dari hasil penelitian juga ditemukan pada tikus-chimera-iPS yang dihasilkan. Sebanyak 20% dari tikus 7 tersebut mati oleh karena adanya masa tumor di leher. Namun demikian, para peneliti ESCs sangat meyakini bahwa kendala-kendala tadi akan dapat dipecahkan. Beberapa modifikasi diciptakan oleh tim Jepang dengan membuat sel iPS tanpa menggunakan gen c-Myc (baca: oncogene). Tim ini berhasil membuat sel iPS dari sel kulit tikus 8 dan manusia tanpa menggunakan gen c-Myc, meskipun kemampuan pertumbuhannya menjadi berkurang dibandingkan dengan sel iPS yang dibuat dengan menggunakan gen c-Myc. Pada sel iPS yang dibuat tanpa menggunakan gen c-Myc, tidak ditemukan pertumbuhan sel tumor pada 8 hewan percobaan. Selain itu, tim Jepang saat ini juga sedang meneliti metode lain untuk ‘memaksa’ sel kulit menjadi sel iPS, di antaranya dengan menggunakan teknik yang disebut permeable recombinant protein. Teknik rekayasa genetika ini bertujuan untuk menciptakan protein tertentu yang kita kehendaki dengan cara penggabungan gen-gen yang bersangkutan. 5. Penutup Penemuan Prof. Yamanaka ini sangat revolusioner, mengingat sangat mudahnya kita mengubah suatu jenis sel menjadi sel baru yang pluripoten (baca: seperti embryonic stem cells). Selain biaya yang diperlukannya tidak semahal biaya pembuatan ESCs, setiap laboratorium ‘kecil’ pun dapat mempelajari dan membuatnya. Ditemukannya teknik pembuatan sel iPS menumbuhkan harapan dan semangat baru akan aplikasi ilmu dasar ini di klinis. Para peneliti dapat mengeksplorasi sel iPS, yang sangat menyerupai ESCs, dan mengubahnya menjadi sel-sel otak, otot jantung, dan lain-lain tanpa terhambat akan isu etika dan moral. Pada akhirnya diharapkan temuan sel iPS ini bisa diaplikasikan untuk mengobati sel-sel tubuh yang rusak tanpa kekhawatiran akan terjadinya reaksi perlawanan oleh system kekebalan tubuh penderita.

Daftar Pustaka: [1] Fire A., et al., 1998, Potent and specific genetic interference by double-stranded RNA in Caenorhabditis elegans. Nature 391: 806-811. [2] Faried A., 2007, RNA interference. Inovasi 9: 57-60. [3] Takahashi T and Yamanaka S., 2006, Induction of pluripotent stem cells from mouse embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors. Cell 126: 663-676. [4] Wernig M. et al., 2007, In vitro reprogramming of fibroblasts into a pluripotent ES-cell-like state. Nature 448: 318-324. [5] Maherali N., et al., 2007, Directly reprogrammed fibroblasts show global epigenetic remodeling and widespread tissue contribution. Cell Stem Cell 1: 55-70. [6] Yu J., et al., 2007, Induced pluripotent stem cell lines derived from human somatic cells. Science 318: 1917-1920. [7] Okita K., et al., 2007, Generation of germline-competent induced pluripotent stem cells. Nature 448: 313-317. [8] Nakagawa M., et al., 2008, Generation of induced pluripotent stem cells without Myc from mouse and human fibroblast. Nature Biotech 26: 101-106.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

72


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

KESEHATAN CHIMERA Ahmad Faried, MD, PhD

Postdoctoral fellow, Department of Neurosurgery, Graduate School of Medicine, Gunma University, Japan Email: afaried@med.gunma-u.ac.jp 1. Pendahuluan Mungkin sebagian besar dari kita masih sangat percaya akan cerita-cerita mitos atau legenda. Dari sekian banyak legenda yang ada, Chimera merupakan salah satu yang sangat menarik untuk disimak. Alkisah pada jaman dahulu, Chimera hidup dalam mitos Yunani kuno; suatu makhluk yang digambarkan sebagai seekor monster yang menyemburkan api dari mulutnya, dan memiliki tubuh yang terdiri dari kepala seekor singa, badan seekor kambing dan ekor seekor naga (Gambar 1).

Gambar 1. Chimera dalam mitos Yunani (Sumber: https://research.meei.harvard.edu/Chimera/) Sementara dalam dunia kedokteran, Chimera merupakan fenomena langka. Definisi Chimera adalah individu yang memiliki lebih dari satu set populasi DNA yang berbeda satu sama lainnya dan berasal dari zygote yang berbeda.1 Manusia pada umumnya hanya memiliki satu set populasi DNA; pada manusia Chimera terdapat “dua atau lebih individu� di dalam tubuhnya pada bagian tubuh yang berbeda. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Dan secepat apa kita harus berlari menghindar bila kita melihatnya? 2. Chimera 2.1. Kelainan Genetik Secara garis besar, keanehan genetik ini bisa digolongkan menjadi dua; Mosaic dan Chimera. Fenomena ini sudah dikenal sejak tahun 1980, yang dijelaskan oleh de Grouchy bahwa Chimera adalah hasil dari gabungan dua zygote (hasil pembuahan dari dua sperma dan dua sel telur yang berbeda) menjadi satu embrio, sedangkan Mosaic adalah hasil dari kesalahan yang terjadi pada 2 fase mitosis (post-zygotic) dalam satu embrio. Fenomena seperti Mosaic ini akan lebih mudah bila kita amati dari sisi klinisnya; Mosaic akan tampak pada penderita Turner’s Syndrome (X chromosome monosomy; dengan fraksi 46XX/45X). Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

73


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Contoh lainnya adalah penderita Klinefelter’s Syndrome (chromosome trisomies; dengan fraksi 46XY/47XXY) dan penderita Down’s Syndrome (chromosome 21 trisomies; dengan fraksi 46XX/47XX, +21). Sementara fenomena Chimera akan sangat sulit kita lihat, kecuali terdapat kelainan yang sangat mencolok seperti hermaphrodite (individu berjenis kelamin ganda). 2.2. Antara Fiksi dan Sains Keunikan fenomena Chimera juga menarik bagi para penulis cerita fiksi, film dan serial TV. Stephan Gallagher menulis novel “Chimera” yang menceritakan pembuatan spesies manusia baru, yang merupakan persilangan genetik antara manusia dan kera. Michael Crichton menulis novel berjudul “Next” yang bercerita tentang dunia genetic research serta penelitian tentang Chimera in vitro dan in vivo (catatan: Michael Crichton adalah seorang dokter, penulis novel Jurrasic Park dan penulis naskah serial TV Emergency Room, ER). Fenomena Chimera juga diabadikan sebagai nama virus dalam film yang dibintangi Tom Cruise, Mission: Impossible II. Beberapa serial TV juga mengekspos tentang Chimera, diantaranya: Star Trek: Deep Space Nine (season 7; episode DS9), The X-files: Chimera (season 7; 2002), medical drama House: Cane and Able (Season 3, episode 2) dan juga di CSI Vegas (Crime Scene Investigation): Bloodlines (season 4, episode 25). Pada serial TV CSI Vegas, Bloodlines, dikisahkan; seorang wanita bersaksi melihat orang yang memperkosanya. Sebagai barang buktinya adalah sisa sperma yang terdapat pada kemaluan wanita tadi (catatan: si pemerkosa tidak memakai kondom saat kejadian). Akan tetapi bukti DNA dari sperma tadi tidak cocok dengan DNA yang diambil dari epithelial mulut dan darah si pemerkosa. Singkat cerita si penyelidik, Grissom, menemukan bukti yang tidak sengaja didapatkannya saat dia memotret bagian punggung si tersangka pemerkosa dengan menggunakan lampu blitz. Grissom melihat alur kulit yang sangat unik; yang dalam ilmu kedokteran dikenal dengan Blaschko’s lines (dari nama seorang dermatologist asal Jerman), yang khas pada manusia Chimera (Gambar 2).

Gambar 2. Blaschko’s lines (Sumber: http://www.thetech.org/genetics/)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

74


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Pada akhir cerita Bloodlines, Grissom mendapatkan bukti tambahan yaitu adanya rambut kemaluan si pemerkosa yang tertinggal ditubuh korbannya. Kemudian dia juga mendapatkan izin dari pengadilan untuk mengambil contoh sperma si pemerkosa; yang kemudian terbukti keduanya cocok dengan kode genetik si pemerkosa. Cerita fiksi ini menjelaskan bahwa pada manusia Chimera terdapat dua set profil kode genetik yang berbeda (profil DNA dari epilthelial mulut dan darah berbeda dengan profil DNA dari rambut pubis dan sperma). Dengan kata lain; terdapat dua individu di dalam tubuh si pemerkosa. 2.3. Identitas Ganda Tiga belas tahun lalu di Inggris, dilaporkan bahwa seorang anak lelaki terbukti secara genetik merupakan dua orang individu (anak ini terbentuk dari dua sel telur dan dua sperma yang berbeda, bergabung menjadi satu embrio dalam kandungan ibunya). Saat anak ini beranjak dewasa, dokternya mendapatkan bahwa anak ini adalah hermaphrodite (berjenis kelamin ganda). Awalnya anak lelaki ini didiagnosis menderita undescended testis (testisnya tidak turun ke kantung skrotum), namun kemudian setelah diperiksa dengan teliti ditemukanlah ovarium (kandung telur), tuba falopii (saluran telur) dan sebagian uterus (rahim). Pada laporan akhir, dipastikan bahwa anak lelaki ini, pada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya secara genetik adalah wanita akan tetapi di bagianbagian lainnya adalah lelaki.3 Kasus manusia Chimera banyak ditemukan pada pemeriksaan darah (blood typing). Kabanyakan human blood Chimera ditemukan pada anak kembar yang tidak identik (non-identical twins) yang berbagi suplai darah dalam kandungan. Contoh yang klasik, pada tahun 1980 seorang wanita di Inggris tidak tahu bahwa dirinya kembar sampai suatu saat melakukan pemeriksaan darah saat kehamilannya dan mendapatkan bahwa ada populasi sel type chromosome lelaki di dalam darahnya.4 Kasus lainnya pada tahun 1998, seorang wanita berusia 52 tahun asal Amerika dinyatakan bukan ibu kandung dari dua anaknya (walaupun dicatatan medisnya, ia mengandung dan melahirkan ketiga anaknya). Pada awalnya, wanita tadi melakukan tes darah pada semua anggota keluarganya untuk mendapatkan donor yang cocok baginya guna transplantasi ginjal. Hasilnya sangat mengejutkan, secara genetik dia bukan ibu kandung dari anak yang dilahirkannya. Tim dokter yang menanganinya kemudian mengambil sempel DNA dari rambut, kulit, epitel kandung kemih dan epitel mulut wanita ini, tetapi tidak ada kecocokan dengan DNA kedua anaknya. Saat dilakukan skrining dari kelenjar tiroidnya, baru didapatkan kecocokan DNA pada keduanya. Dengan pemeriksaan selanjutnya, terbukti bahwa wanita ini adalah 46,XX/46/XX human tetragametic Chimera, dimana butuh waktu dua tahun bagi tim dokter dari Boston ini memecahkan teka-teki 5 genetik tadi. Kasus serupa dilaporkan di majalah Nature tahun 1979, yang menjelaskan bahwa pada seorang wanita, setelah menjalani tes genetik, bukan ibu kandung dari ke-empat anak yang 6 dilahirkannya. Pada tahun 2002, kasus manusia Chimera juga muncul dan sampai kemeja hijau di Washington, Amerika. Saat seorang wanita, 26 tahun, yang sedang mengandung anak ketiganya, mendaftarkan permohonan untuk mendapatkan tunjangan anak dari suami yang akan menceraikannya. Untuk mendapat tunjangan tadi diperlukan bukti otentik tentang hubungan darah antara suami, istri dan anak-anaknya, salah satunya dengan tes DNA. Hasilnya didapatkan bahwa wanita tadi bukan merupakan ibu kandung dari kedua anak yang dilahirkannya. Wanita tadi kemudian diseret kemeja hijau dengan dakwaan penipuan atau mengambil keuntungan untuk mendapatkan uang tunjangan dari anak yang bukan darah dagingnya. Pada persidangan, semua bukti atas kelahiran kedua anaknya, termasuk dokter kandungan yang menanganinya menjelaskan bahwa kedua anak tadi merupakan anak kandung dari wanita yang bersangkutan. Tetapi tes DNA membuktikan lain, sehingga siwanita tetap menjadi tersangka. Hakim akhirnya memerintahkan jaksa penuntut umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

75


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

untuk hadir saat wanita ini melahirkan anak ketiganya diruang persalinan dan segera mengambil sampel darah bayi tadi untuk dicocokan dengan DNA ibunya.

Gambar 3. Derivation of various tissues from human chimera.5 Dua minggu kemudian, hasil tes DNA menunjukan bahwa DNA bayi tadi dan ibu yang melahirkannya tidak cocok. Singkat cerita, pengacara wanita ini secara tidak sengaja membaca 5 artikel tentang manusia Chimera yang dilaporkan dari Harvard Medical School, Boston. Dan mendapatkan izin dari pengadilan untuk melakukan pemerisaan menyeluruh pada wanita tadi. Sampel dari kulit, rambut dan serviks wanita ini diisolasi dan ditemukan hanya sampel dari serviks wanita tadi yang cocok dengan profil DNA dari ketiga anaknya.7 Bila bukan dari artikel kedokteran Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

76


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

yang melaporkan tentang manusia Chimera tadi, wanita ini dipastikan akan kehilangan ketiga anaknya untuk selamanya dan meringkuk dalam penjara. 2.4. Phenomena dari Kesalahan dalam Proses Pembuahan Manusia Chimera berawal dari kehamilan anak kembar, yang pada fase pembentukan embrio berakhir dengan menyatunya dua embrio tadi menjadi satu embrio saja, dengan mekanisme yang belum diketahui. Bila embrio anak kembar ini sama jenis kelaminnya maka akan terjadi true human Chimera. Dilain pihak, bila embrio anak kembar ini berbeda jenis kelaminnya akan kita dapatkan hermaphrodite human Chimera. 3. Penutup Manusia Chimera ditemukan 30 kali dalam sejarah yang tercatat di jurnal kedokteran. Dari 30 kelahirannya kebanyakan mati saat lahir (stillborn) atau pada usia yang sangat muda. Saat ini hanya empat manusia chimera yang masih hidup dengan masalah medis. Penegakan diagnosis untuk Chimera ini memang masih sangat sulit dan membutuhkan tehnologi medis terbaru serta menjadi tantangan bagi praktisi di bidang genetik. Namun demikian, setelah mengetahui apa itu manusia chimera, tentunya kita tidak perlu ambil langkah seribu bila bertemu dengan salah satu di antaranya.

Daftar Pustaka: [1] Anderson D, et al., 1951, The use of skin grafts to distinguish between monozygotic and dizygotic twins in cattle. Heredity 5: 379-397. [2] de Grouchy J., 1980, Jumeaux Mosaiques Chimeres et autres aleas de la fecundation humaine. Medsi [3] Strain L, et al., 1998, A true hermaphrodite chimera resulting from embryo amalgamation after in vitro fertilization. N Engl J Med 338: 166-169. [4] Bird G, et al., 1982, Another example of haemopoietic (twin) chimaerism in a subject unaware of being a twin. Immunogenet 9: 317-322. [5] Yu N, et al., 2002, Disputed maternity leading to identification of tetragametic chimerism. N Engl J Med 346: 1545-1552. [6] Mayr W, et al., 1979, Human chimaera detectable only by investigation of her progeny. Nature 277: 210-211. [7] ABC NEWS Aug 15, 2006. She’s her own twin. Available at http://abcnews.go.com/

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

77


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

NASIONAL HUKUM KEWARGANEGARAAN DAN STATUS ORANG ASING DI JEPANG Azhar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya PPA, FBEPS, UBD E-mail: aazhar_2000l@yahoo.com 1. Pendahuluan Akhir-akhir ini, warga negara asing yang mengunjungi Jepang dan warga negara Jepang yang berpergian keluar negeri meningkat secara drastis. Jumlah orang asing yang mengunjungi Jepang mengalami peningkatan dua kali lipat dalam dekade 10 tahun terakhir. Hal ini dikarenakan adanya kemajuan di bidang internasionalisasi dan globalisasi masyarakat dunia maupun perkembangan sarana komunikasi dan transportasi. Warga negara asing diperbolehkan memasuki dan tinggal di Jepang dengan syarat untuk melakukan kegiatan sesuai dengan status tinggal dan jangka waktu tertentu seperti yang telah diputuskan oleh pejabat pemeriksa imigrasi pada saat kedatangan di bandara atau pelabuhan. Disamping itu, apabila penduduk asing ingin mengubah status kependudukannya setelah tinggal di Jepang atau memperpanjang masa berlaku untuk tinggal di Jepang atau untuk mendapatkan izin melakukan kegiatan di luar status yang ia miliki sewaktu mendapatkan status penduduk terdahulu atau izin masuk kembali dan lain-lain, mereka diwajibkan menyampaikan permohonan untuk perubahan status di Kantor Imigrasi yang terdekat. Kantor Imigrasi setempat akan mempertimbangkan permohonan tersebut apakah bisa diizinkan atau tidak. Status kepenpendudukan seseorang dan jangka waktu tinggal di Jepang dibuat untuk menjamin hak yang bersangkutan sehubungan dengan kehidupan bermasyarakat di Jepang secara adil, dan juga dalam rangka mengawasi keberadaan mereka di Jepang. Oleh karena itu keberadaan orang asing dapat bermanfaat bagi orang Jepang maupun orang asing itu sendiri[1]. 2. Pembahasan Berdasarkan dari uraian diatas, maka dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang: a. Bagaimana hukum kewarganegaraan di Jepang; b. Bagaimana status orang asing; c.

Bagaimana hukum imigrasi dan perubahannya di Jepang

2.1. Hukum kewarganegaraan di Jepang Pengaturan tentang kewarganegaraan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan [2]. Undang-Udang Kewarganegaraan (UUK) ini diubah pada tahun 1984 dalam rangka memenuhi persyaratan konvensi terhadap pembatasan segala macam 1 bentuk diskriminasi terhadap wanita di Jepang yang diratifikasi pada tahun 1980 [3]. Seseorang memiliki kewarganegaraan Jepang apabila ia : (1) pada saat lahir, salah satu orangtuanya warga negara Jepang, (2) Ayahnya yang meninggal sebelum yang bersangkutan lahir adalah warga negara Jepang, (3) Seorang anak lahir di Jepang dan kedua orangtuanya tidak diketahui, atau orangtuanya tanpa kewarganegaraan [4]. Kewarganegaraan Jepang didapat melalui pengesahan atau naturalisasi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

78


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sebelum adanya perubahan terhadap UUK tahun 1984, UUK tahun 1950 menegaskan bahwa jika bapaknya warga negara Jepang pada saat anak lahir, maka anak tersebut warga negara Jepang. Namun, hal ini tidak berlaku, apabila ibu si anak warga negara Jepang sedangkan bapaknya bukan warga negara Jepang. Oleh karena itu jika seorang laki-laki warga negara Jepang menikah dengan wanita bukan warga negara Jepang, maka anaknya menjadi warga negara Jepang. Sebaliknya jika Ibu warga negara Jepang dan bapak bukan warga negara Jepang maka anaknya berhak atas kewarganegaraan Jepang. Hal ini dianggap tidak adil dan sesuatu yang sangat menjengkelkan, bilamana di negara bapak anak tersebut menganut prinsip ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), maka anak tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam sebuah kasus, seorang anak yang lahir dari ibu warga negara Jepang yang menikah dengan warga negara Amerika, maka registrasi si anak akan ditolak karena tanpa kewarganegaraan. Pengadilan negeri menolak alasan bahwa ketentuan hukum yang berlaku terhadap Hukum Kewarganegaraan bertentangan 2 dengan perlindungan yang sama yang terdapat dalam Konstitusi Jepang tahun 1946 [5]. Undang-undang tentang Kewarganegaraan diubah pada tahun 1984 terutama terhadap ketentuan yang mengatur perlakuan yang berbeda berdasarkan jenis kelamin [6]. Kewarganegaraan Jepang bisa didapat melalui pengesahan, yaitu apabila seorang anak yang tidak sah tidak mendapat status anak sah melalui perkawinan orangtuanya. Pengakuan secara terpisah oleh bapak anak tersebut harus dilakukan. Adalah sah, seorang anak di bawah umur duapuluh tahun mendapatkan kewarganegaraan Jepang, dengan dasar ibu atau bapaknya yang mengakui anak tersebut adalah warga negara Jepang pada saat anak tersebut lahir dan baik masih sebagai warga negara Jepang, atau telah menjadi warga negara Jepang pada saat ia meninggal [7]. UUK juga mengatur tata cara naturalisasi sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kewarganegaran Jepang. Naturalisasi harus mendapat izin dari Kementerian Kehakiman Jepang dan memenuhi persyaratan minimum untuk naturalisasi, yaitu pemohon harus telah tinggal di Jepang lebih dari lima tahun tanpa terputus, harus berumur duapuluh tahun atau lebih, dan mempunyai kapasitas hukum yang diperbolehkan di negara asalnya. Dia harus memperlihatkan ‘karakter dan prilaku yang baik,’ dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya (termasuk kemungkinan didukung oleh keahlian atau harta benda isteri atau suami yang tinggal bersamanya), tidak punya kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya, dan tidak pernah berencana atau menghasut untuk menentang Konstitusi dan Pemerintahan Jepang atau ikut berpartisipasi terhadap organisasi yang terlarang [8]. Bagi seseorang yang mempunyai hubungan dengan Jepang, misalnya telah menikah dengan warga negara Jepang, persyaratannya dipermudah. Bagi suami atau isteri warga negara Jepang yang telah berdomisili atau bertempat tinggal di Jepang tidak kurang dari tiga tahun tanpa terputus dan pada saat berdomisili di Jepang dia dapat memohon untuk bisa mendapatkan kewarganegaraan Jepang. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang telah menikah dengan warga negara Jepang tidak kurang dari tiga tahun dan bertempat tinggal di Jepang untuk satu tahun atau lebih [9]. Seseorang yang mempunyai multi kewarganegaraan diharuskan memilih salah satu kewarganegaraannya dalam waktu dua tahun. Jika yang bersangkutan di bawah duapuluh tahun, yang bersangkutan harus memilih kewarganegaraannya sebelum yang bersangkutan berumur duapuluh dua tahun [10]. Pilihan kewarganegaraan dengan penolakan atau dengan pengikraran pilihan terhadap kewarganegaraan Jepang dan penolakan terhadap kewarganegaraan asing [11]. Pernyataan tersebut dibuat dengan mengisi formulir yang disediakan di kantor kecamatan, tempat yang bersangkutan tinggal.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

79


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Warga negara Jepang yang lahir di negara asing dan mendapatkan kewarganegaraan negara asing karena kelahiran diharuskan didaftarkan sebagai warga negara Jepang semenjak tiga bulan semenjak dilahirkan. Jika tidak, anak tersebut terancam kehilangan kewarganegaraan Jepangnya. Tapi anak tersebut bisa mendapatkan kembali kewarganegaraan Jepangnya jika ia di bawah dua puluh tahun dan berdomisili di Jepang, dengan mengisi surat pemberitahuan kepada Menteri Kehakiman Jepang [12]. 2.2. Status Orang Asing Pada umumnya warga negara asing diperbolehkan untuk tinggal di Jepang berdasarkan hak alami yang ada dalam perlindungan hak asasi dan kebebasan yang diwujudkan dan dilindungi oleh Konstitusi Jepang. Mahkamah Agung Jepang membenarkan prinsip ini, seperti dalam kasus McLean, seorang warga negara asing dyang itolak perpanjangan visanya oleh Kementerian Kehakiman. Mahkamah Agung memenangkan permohonan yang diajukan oleh Mclean untuk perpanjangan visanya [13]. Lebih kurang 560,000 orang Korea dan Taiwan telah berdomisili di Jepang dari sebelum berakhirnya Perang Dunia Kedua. Status mereka diatur secara tersendiri dalam undang-undang tentang pengaturan imigrasi terhadap orang yang hilang kewarganegaraan Jepangnya dikarenakan Perjanjian Damai San Fransisco[14]. Perjanjian ini dibuat pada tanggal 8 September 1951 di San Fransisco antara Jepang dan Amerika dalam rangka mengembalikan hak-hak, keuntungan dan kedaulatan Negara-negara bekas jajahan Jepang seperti Korea Selatan, Taiwan dan Cina. Di dalam perjanjian damai tersebut diatur juga bahwa sebelum Perang Dunia Kedua, orang Taiwan dan Korea merupakan warga negara Jepang karena kedua negara tersebut dijajah oleh Jepang. Mereka yang dulunya termasuk warga negara Jepang dikembalikan kewarganegaraannya ke negara mereka masing-masing. Status hukum orang asing tergantung apakah dia penduduk permanen berdasarkan undangundang tentang pengaturan imigrasi dan pegakuan terhadap status pengungsi, atau hanya sebagai pengunjung sementara [15]. UU Nomor 100 Tahun 1991 Tentang Pemilihan Umum begitu juga UU nomor 67 Tahun 1947 Tentang Pemerintah Daerah memberikan hak untuk memilih hanya kepada warga negara Jepang. Akhir-akhir ini, karena dipengaruhi oleh hukum beberapa negara Eropa, adanya wacana bahwa warga negara asing dengan status permanen residen harus diberikan hak untuk memilih dalam pemilihan lokal dan juga kemungkinan pemilihan umum nasional. Namun, Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa bukanlah hal yang bertentangan dengan Konstitusi untuk memberikan hak pilih kepada penduduk yang berkewarganegaraan asing [16]. Pada umumnya pegawai kantor pemerintahan diharuskan warga negara Jepang. Beberapa pemerintah daerah mengizinkan warga negara asing untuk bekerja di kantor pemerintahan daerah yang tidak dilibatkan dalam melakukan kewenangan khusus.

Apakah hak-hak sosial diberlakukan terhadap warga negara asing menjadi masalah? Dalam suatu kasus seorang warga negara Jepang keturunan Korea diabaikan haknya untuk mendapatkan tunjangan sosial sebagai orang cacat. Pemohon mendapatkan kewarganegaraan Jepang tahun 1970, tetapi telah cacat sebelum proses naturalisasi. Undang-undang yang relevan mensyaratkan bahwa hanya bagi orang yang setelah menjadi warga negara Jepang dan pada saat bersamaan dia berada dalam keadaan cacat yang berhak atas tunjangan sosial. Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa pemerintah diperbolehkan memberikan prioritas kepada warga negara Jepang dalam memberikan kesejahteraan sosial karena keterbatasan sumber keuangan [17]. Perlu diingat bahwa setelah Jepang meratifikasi Perjanjian terhadap

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

80


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Status Pengungsi, hukum yang berhubungan dengan tunjangan sosial diubah dan persyaratan penerima tunjangan sosial harus warga negara Jepang dihapus. 2.3. Hukum Imigrasi dan Perubahannya Pada dekade terakhir, masyarakat Jepang sangat kawatir adanya peningkatan gangguan terhadap ketertiban umum yang salah satu penyebabnya adalah pendatang haram/ pendatang gelap/illegal foreign residents. Untuk itu banyak sekali permohonan dari berbagai lapisan masyarakat Jepang kepada pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam rangka mengurangi jumlah pendatang gelap, yang diperkirakan berjumlah 250,000 jiwa, diperlukan usaha pelaksanaan pengontrolan imigrasi dan secara mendasar melaksanakan penahanan terhadap pendatang gelap [18]. Diperlukan juga usaha dan langkah untuk mendorong pendatang gelap mengakhiri tindakannya untuk tinggal di Jepang dengan status pendatang gelap dan pulang ke negara asalnya secara sukarela, dan membatasi pendatang asing yang berpura-pura sebagai pendatang yang sah setelah memasuki Jepang dengan izin masuk ke Jepang yang didapat secara tidak sah atau bertentangan dengan hukum. Setelah hampir 30 tahun berlalu, semenjak adanya pengakuan terhadap status pengungsi di Jepang mulai tahun 1981, banyak sekali perubahan di dalam berbagai hal yang mempengaruhi sistem pengakuan terhadap pengungsi di Jepang sejalan dengan perubahan akhir-akhir ini di tingkat dunia. Sistem pengakuan terhadap pengungsi harus direvisi dari sudut perlindungan terhadap pengungsi secara manusiawi dan melalui prosedur yang benar. Pada Agustus 1999, Konsil Promosi Bantuan terhadap orang cacat memutuskan untuk merevisi ketentuan yang mengatur tentang orang cacat, yang berkemungkinan menghalangi orang cacat ikut berpartisipasi dalam aktivitas sosial. Oleh karena itu perlu merevisi ruang lingkup warga negara asing yang akan ditolak untuk memasuki Jepang, termasuk orang cacat mental, yang tidak bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Sehubungan dengan hal tersebut di atas telah diadakan perubahan terhadap Hukum Imigrasi dan pengakuan terhadap pengungsi. Terhadap pendatang gelap /illegal resident yang memasuki Jepang, misalnya dengan menggunakan paspor palsu atau masuk secara diam-diam, orang asing yang masa ijin tinggalnya telah habis, kemudian orang asing yang tinggal di Jepang dengan status sebagai mahasiswa dan bekerja sebagai pegawai di tempat hiburan orang dewasa, maka akan dikenakan sanksi minimal 300.000 yen hingga 3 juta yen. Sedangkan bagi pekerja gelap seperti orang asing yang secara gelap tinggal di Jepang atau yang tidak boleh bekerja karena statusnya, melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum, atau mendapat status orang asing bagi perusahaan lain atau tempat kerja lain, maka akan dikenakan hukuman minimal 2 juta yen hingga 3 juta yen. Bagi orang asing yang tinggal di Jepang dengan status pra mahasiswa telah bekerja tambahan tanpa mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan tersebut di luar yang diizinkan sebagai penduduk dapat dikenakan sanksi minimal 200,000 yen hingga 2 juta yen. Pemerintah Jepang akan memberlakukan suatu sistem untuk mengizinkan tinggal sementara adalah bertujuan untuk menjamin kepastian status hukum bagi penduduk yang illegal yang telah mengajukan permohonan untuk diakui sebagai pengungsi. Di bawah sistem ini, bagi yang telah diberikan izin untuk tinggal sementara di Jepang, akan ditunda proses deportasinya apabila telah melakukukan proses pengakuan sebagai pengungsi. Namun, izin tinggal sementara tidak akan diberikan kepada orang yang dicurigai dengan berbagai alasan sehingga masuk dalam kategori orang yang akan dideportasi seperti mereka yang telah melamar untuk diakui sebagai pengungsi setelah enam bulan tiba di Jepang, mereka secara tidak langsung masuk ke Jepang dari suatu wilayah yang berbahaya, dan bagi mereka

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

81


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

yang pernah dihukum setelah masuk ke Jepang, kurungan badan atau dipenjara karena melakukan tindak pidana dalam hukum pidana Jepang atau hukum lainnya. Pemberian izin tinggal sementara akan diberikan kepada mereka karena alasan yang tidak dapat dihindarkan seperti gagal mengajukan permohonan dalam enam bulan atau terhadap orang asing yang telah tinggal dan memohon ke negara sebelumnya, namun tidak diberikan status pengungsi. Pemberian izin untuk tinggal di Jepang diberikan secara menyeluruh bagi yang diakui sebagai pengungsi, karena memenuhi persyaratan, dengan tujuan untuk menjamin status hukum mereka. Dalam rangka meningkatkan persamaan dan kenetralan dalam prosedur terhadap pengakuan pengungsi, Konselor pemeriksaan untuk pengungsi akan ditunjuk, dan pihak ketiga akan dilibatkan dalam pemeriksaan tingkat banding. Dalam melaksanakan prosedur terhadap pengakuan pengungsi, karena kesulitan dalam mengumpulkan bukti-bukti dari luar negeri untuk menunjang pengakuan status pengungsi, disyaratkan untuk mendapatkan fakta-fakta sebagai dasar pengakuan dengan mengevaluasi bukti-bukti yang terbatas secara benar, mempertimbangkan situasi internasional dalam pemeriksaan dan keputusan secara akurat, dan mengintepretasikan perjanjian dan konvensi yang berkaitan secara menyeluruh. Dikarenakan kebutuhan yang sedemikian, konselor pemeriksa akan ditunjuk dari (1) praktisi hukum yang mempunyai kemampuan dalam memutuskan fakta-fakta, (2) mereka yang mempunyai kemampuan dalam masalah regional dan internasional seperti mereka yang pernah bekerja di misi diplomatik atau perusahaan perdagangan, koresponden luar negeri, akademisi dalam bidang politik internasional, mantan pegawai Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan (3) ahli dalam hukum internasional, hukum luar negeri, dan hukum administrasi dan sebagainya. 3. Kesimpulan Di dalam Hukum Kewargananegaraan Jepang telah dihapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita di Jepang sesuai dengan Kovensi terhadap pembatasan segala macam bentuk diskriminasi terhadap wanita pada tahun 1980. Dilain pihak, masyarakat Jepang menghendaki bahwa sistem pengaturan terhadap orang asing direvisi dalam rangka menjamin keselamatan dan kepentingan masyarakat Jepang secara utuh, sehingga masyarakat Jepang dapat meningkatkan dan mempererat kehidupan berdampingan dengan orang asing secara damai. Sehingga perlu merevisi undang-undang keimigrasian dan memperberat sanksi khususnya terhadap pendatang gelap, orang asing yang tinggal di Jepang dan telah habis masa berlaku izinnya, orang asing yang tinggal di Jepang dengan status mahasiswa dan orang asing yang bekerja ditempat hiburan untuk orang dewasa. Selain itu merevisi dan memperketat peraturan tentang status pengungsi dalam rangka menjamin kepastian status hukum bagi penduduk illegal yang telah mengajukan permohonan untuk diakui sebagai pengungsi. 4. Daftar Pustaka [1]

Minister of Justice Japan (MOJ). Retrieved from: http://www.moj.go.jp/ENGLISH/IB/ib02.html. <Accessed on March 25th 2008>

[2]

Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan.

[3]

Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan.

[4]

Pasal 2 Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan.

[5]

Keputusan Pengadilan Negeri Tokyo, 30 Maret, 1981 (Hanji 1363-68).

[6]

R. Yamada dan F. Tsuchiya, 1985, An Easy Guide to the New Nationality Law, (Bimbingan yang Simple terhadap Hukum Kewarganegaraan) Tokyo, hlm.2-15.

[7]

Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

82


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[8]

Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[9]

Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[10]

Pasal 14 ayat 1 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[11]

Pasal 14 ayat 2 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[12]

Pasal 12 dan 17 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[13]

Keputusan Mahkamah Agung, 4 Oktober, 1978 (Minshu 32-7-1223; Mc Lean case).

[14]

Undang-undang Nomor 71. tahun 1991 tentang Penanganan Khusus terhadap Pengaturan Imigrasi.

[15]

K. Tezuka, 1995, Gaikokujin to Ho (Orang Asing dan Hukum), Tokyo, hlm.298-303.

[16]

Keputusan Mahakamah Agung Jepang, 28 Februari, 1995 (Minshu 49-2-639).

[17]

Keputusan Mahkamah Agung Jepang, 2 Maret, 1989 (Hanji 1363-68; Shiomi case).

[18]

Ministry of Justice of Japan (Kementerian Kehakiman Jepang).

1

Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan banyak sekali diskriminasi terhadap wanita Jepang antara lain, tidak mempunyai hak mewarisi harta orangtua maupun saudaranya, tidak mempunyai hak untuk memilih dan dipilih bahkan tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri seperti memilih pasangan hidupnya. Sebelumnya masih berlaku sistem yaitu anak laki-laki tertua yang mempunyai kewenangan dalam sebuah rumah. 2 Konstitusi Jepang tahun 1946 Pasal 11 berbunyi “Tidak dibenarkan menghalagi seseorang untuk menikmati hak-hak yang mendasar.� Hak-hak yang mendasar meliputi hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak untuk hidup, berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat dan juga mendapatkan kewarganegraan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

83


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

NASIONAL MENINGKATKAN EFEKTIFITAS SISTEM PENGELOLAAN DANA PENSIUN DAN SISTEM PERPAJAKAN Bobby Adhytia Mahasiswa Program S2 - Keio University) E-mail: bobadhytia@hotmail.com 1. Pendahuluan Kebutuhan sistem dana pensiun sangat berkaitan dengan perkembangan demografi dan sosioekonomi suatu negara. Penduduk di banyak negara maju bergantung pada sistem jaminan sosial (social security system) yang dijalankan pemerintah, disamping juga sistem pensiun yang ditawarkan perusahaan tempat mereka bekerja, untuk membiayai kebutuhan hidup pada saat usia senja. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, keikutsertaan para pekerja dalam jaminan pensiun masih sangat rendah dan belum menjadi suatu kewajiban sebagaimana lazimnya di negara maju. Bilapun diwajibkan hanya untuk pekerja di sektor formal. Padahal di Indonesia dominasi sektor informal cukup besar. Ditambah dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi pemerintah saat ini, menyebabkan permasalahan dana pensiun belum menjadi prioritas utama. Padahal diperkirakan pada tahun 2020 akan terjadi ledakan jumlah pensiunan dari generasi pekerja saat ini. Tanpa adanya sistem pensiun yang mapan, hal ini dapat menyebabkan masalah sosial. Tulisan ini akan mencoba mengangkat tema pengelolaan sistem pensiun yang juga dikaitkan dengan sistem perpajakan. 2. Skema Dana Pensiun Skema sistem pensiun dapat dibagi menjadi dua, skema kontribusi dan skema hasil. Pertama, skema kontribusi yang ditentukan atau defined contribution / DC. Dalam hal ini penghitungan nilai pensiun ditentukan dengan formula yang umumnya berdasarkan pengalaman bekerja ataupun usia pekerja. Kedua, skema hasil yang ditentukan atau defined benefit / DB, yaitu nilai pensiun berdasarkan nilai yang disetorkan (kontribusi pekerja) dan hasil dari investasi yang ditanamkan (investment earnings). Isu-isu lain yang juga mempengaruhi dua skema di atas adalah mengenai bagaimana pengelolaan dana pensiun (manajemen yang dikelola oleh publik atau swasta), tipe investasi yang diperbolehkan untuk ditanamkan, serta bagaimana cara menambah rasio cakupan keikutsetaan dalam dana pensiun. Trend dari banyak negara telah menunjukkan beberapa perubahan yang signifikan (James, 2004). Pertama, perubahan pola defined benefit (DB) ke pola defined contribution (DC). Pola DC dianggap lebih baik daripada DB karena resiko partisipasi para pengikut asuransi lebih rendah dan pengelolaan aset juga dapat dilakukan secara lebih profesional. Hasilnya pola DC menawarkan jaminan pensiun yang menjanjikan dan lebih unggul daripada pola DB. Keutamaan lain dari pola DC adalah fleksibilitas pengaturan pola investasi yang telah ditanamkan terutama bagi mereka yang berpindah pekerjaan, dibandingkan dengan pola DB yang perhitungan pensiun menjadi kompleks ketika seseorang berpindah pekerjaan. Kedua, peralihan dari pola pay-as-you-go (pembiayaan pensiun konstan selama aktif bekerja) ke pola pre-funding (pembiayaan secara gradual dan terakumulasi). Keutamaan dari pre-funding adalah: (i) terhindar dari tanggunan transfer yang besar antara generasi dari pekerja dalam usia aktif dengan pekerja yang telah mendekati masa pensiun terutama ketika jumlah pensiunan mencapai puncaknya; (ii) ketergantungan akan progresif payroll tax (pajak orang pribadi) dapat berkurang. Seperti halnya di Jepang yang jumlah populasi lanjut usianya (aging population) besar, potensi kenaikan tarif pajak yang ditanggung pekerja pada usia produktif juga meningkat, yang pada akhirnya dibebankan pada pekerja pada usia produktif. Indonesia sendiri belum

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

84


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

menghadapi permasalahan seperti ini dikarenakan jumlah usia pekerja produktif yang masih besar. Namun demikian, seiring dengan jumlah pekerja yang memasuki masa pensiun mencapai puncaknya dalam dua atau tiga dekade ke depan, permasalahan di atas perlu juga kiranya dicermati; (iii) membantu untuk membangun tabungan nasional (national saving), terutama untuk jangka panjang (long-term saving). Tabungan ini memfasilitasi akumulasi kapital dan juga meningkatkan porsi Produk Domestik Bruro (PDB) dengan bertambahnya konsumsi setelah masa pensiun. Tabungan domestik ini dapat mengurangi ketergantungan dari arus kapital asing yang masuk dan dapat menjadi strategi jangka panjang untuk meningkatkan output dan produktivitas serta meningkatkan standar hidup terutama ketika jumlah pensiunan membengkak. Ketiga, peralihan dari investasi dari Surat Utang Negara (SUN) dan deposito bank ke portofolio investasi yang lebih terdiversifikasi. Diversifikasi resiko terhadap dana yang diinvestasikan adalah hal yang krusial yang memiliki trade off juga antara investasi yang menawarkan bunga yang lebih rendah tapi aman (bank deposito) dengan investasi yang memiliki resiko yang tinggi tapi juga menawarkan keuntungan yang lebih besar (seperti di pasar modal). Satu hal yang menyebabkan dana pensiun yang ditawarkan pihak swasta berkembang pesat karena keuntungan yang lebih menarik, dimana dana masyarakat disalurkan ke investasi yang menawarkan rate-of-return yang lebih besar dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajemen dari dana pensiun yang dikelola pemerintah dimasuki oleh kepentingan kelompok tertentu disertai dengan tidak transparannya pengelolaan dana tersebut. Investasi di luar negeri mungkin dapat menjadi salah satu alternatif terutama bila terjadi guncangan ekonomi di dalam negeri seperti yang dialami ketika masa krisis ekonomi diakhir tahun 90-an. Tentu saja untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan kajian yang lebih dalam. Peraturan pemerintah sendiri hingga saat ini belum mengizinkan untuk menempatkan dana pensiun masyarakat pada investasi di luar negeri.

3. Pelajaran dari Pengelolaan Dana Pensiun di Luar Negeri Perlu kiranya pengalaman positif negara lain dalam mengelola dana pensiun (Dapen) juga dicermati. Penulis mencoba mengangkat pengalaman dari dua negara, yang satu adalah negara berkembang (Chili) dan satu lagi adalah negara maju (Amerika). Chili mereformasi sistem dapen-nya pada tahun 1980 lewat sistem pre-funded defined contribution (James, 2004). Hasil dari sukses reformasi ini tercermin dari rata-rata keuntungan tahunan dari investasi yang mencapai 10%, jumlah keikutsertaan pekerja yang meningkat pesat ditandai juga dengan berkembangnya sektor formal dibandingkan dengan sektor informal, rasio aset terhadap hutang yang layak, dan terutama peningkatan kesejahteraan penduduk. Kunci dari keberhasilan dari sistem ini adalah: (i) adanya account pribadi bagi peserta pensiun dengan rasio kontribusi proporsional terhadap penghasilan. Jumlah yang diberikan kepada pensiunan terakumulasi dari tiap account pribadi, usia ekspektasi dan discount rate; (ii) adanya kompetisi yang sehat antar penyelenggara dana pensiun sehingga mereka menawarkan opsi yang lebih menguntungkan kepada publik; serta (iii) kebebasan yang ditawarkan kepada pekerja untuk memilih penyelenggara dana pensiun yang diminatinya. Aset pensiun yang disalurkan masyarakat dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan juga dipisahkan dari sisi akuntan dan legal hukum. Negara juga menjamin jumlah minimum pensiunan yang diberikan bagi pekerja yang cacat dan sanak keluarga yang ditinggalkan. Untuk menarik dana pensiun, Pemerintah Chilli menawarkan tiga alternatif: (i) dapen ditarik secara rutin (scheduled withdrawal); (ii) dapen ditarik sekali secara keseluruhan (life annuity); dan (iii) merupakan gabungan dari (i) dan (ii) dimana pensiunan memperoleh penghasilan temporer untuk waktu tertentu dan pada akhirnya mendapatkan dana yang ditarik secara keseluruhan. Sukses reformasi dana pensiun di Chili menjadi acuan reformasi di banyak negara, terutama di negara Amerika Latin (Peru, 1992; Kolombia dan Argentina, 1993; Uruguay, 1995; Mexico, Bolivia and El Salvador, 1996).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

85


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Amerika Serikat sendiri menawarkan sistem pensiun 401(k) yang merupakan peralihan dari pola DB menuju pola DC. Istilah 401(k) mengacu pada salah satu artikel dari otoritas pajak Amerika (Internal Revenue Service), ide untuk mendesain sistem pensiun berdasarkan atas “kualifikasi pajak”. Hal ini menggambarkan bagaimana peran penting dari regulasi perpajakan untuk menghasilkan sistem pensiun yang lebih menarik. Pemberi kerja (perusahaan) dan karyawan bersama-sama mengkontribusikan pajak awal yang dibayar ke dana pensiun (hingga ke batas tertentu) yang dapat mengurangi jumlah premi yang seharusnya dibayarkan. Adapaun keutamaan lainnya adalah adanya aspek keselarasan (matching aspect). Pola 401(k) didesain untuk memberikan insentif kemudahan kepada kelompok pekerja tertentu, seiring juga memberikan hukuman (penalty) bagi kelompok lainnya. Sebagai contoh, perusahaan dapat menanggung sebagian beban premi yang dibayarkan oleh karyawan yang telah lama mengabdi pada perusahaan tersebut sebagai wujud untuk menghargai loyalitas mereka. Sedangkan untuk karyawan yang memilih untuk tidak memberikan kontribusi penuh akan menerima total kompensasi yang lebih rendah. Penutup Keterkaitan sistem perpajakan terhadap pengelolaan dana pensiun bila ditelusuri sesungguhnya sangatlah erat. Pengelolaan seperti yang diterapkan di negara maju pun disadari tidak dapat sepenuhnya diterapkan dan harus disesuaikan dengan sosioekonomi masyarakat Indonesia yang kesadaran membayar pajak dan kepastian hukumnya masih rendah. Untuk itu dibutuhkan kajian-kajian yang lebih mendalam. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa sistem pensiun di Indonesia masih membutuhkan reformasi seiring dengan perubahan demografi penduduk serta perubahan sosioekonomi masyarakat. Di sini pajak dapat berperan dengan memfasilitasi kemudahan-kemudahan bagi peserta jaminan sosial yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak. Bila otoritas pajak dapat mengakses data para pekerja di sektor formal maupun informal yang menjadi peserta wajib jaminan sosial, diharapkan dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah wajib pajak individu. Sebagaimana sudah diketahui bahwa rasio wajib pajak terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih sangat rendah, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa data yang dapat diakses ini digunakan untuk kemaslahatan publik dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajak, bukan digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kunci dari semua ini adalah transparansi baik bagi otoritas pajak maupun pengelola dana pensiun. Prinsip dari pengelolaan terkait dengan good corporate governance adalah untuk memastikan objektivitas pengelolaan dana pensiun yang transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Operator pengelola dana pensiun bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil terkait dengan tercapainya tujuan pengelolaan dana pensiun yang tak lain adalah untuk mensejahterakan para anggotanya–yang tak lain juga adalah para pembayar pajak. Daftar Pustaka [1] Arifianto, A. (2004) ‘Social Security Reform in Indonesia: an Analysis of the National Security Bill (RUU Jamsosnas)’ Working Paper. SMERU Research Institute, Jakarta [2] James, Estelle (2004) ‘Reforming Social Security; What can Indonesia Learn from Other Countries?’ USAID [3] Okamoto, A and T. Tachibanaki (2002) ‘Integration of Tax and social security Systems: On the Financing Methods of a Public Pension Scheme in a Pay-As-You-Go System’ in Toshihiro Ihori and Toshiako Tachibanaki, eds. Social Security Reform in Advanced Countries. Routledge: London. 2002: pp 132-160 [4] Rachmatarwata, I. (2004) ‘Indonesia Pension System: Where to Go?’ International Conferences on Hitotsubashi Collaboration Center, Tokyo.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

86


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

NASIONAL

KETIDAKBERDAYAAN TERHADAP SUAP Rijanta Triwahjana Alumni Yokohama National University, bekerja di Departemen Keuangan E-mail: r_antok3@yahoo.com Keraguan terhadap kinerja pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat fit and proper test di DPR oleh beberapa kalangan, dijawab dengan runtutan peristiwa penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dan seorang anggota DPR yaitu Al Amin Nasution (AAN) yang keduanya sama-sama tertangkap tangan menerima suap untuk kasus yang berbeda. Selain itu berlanjut dengan ditahannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang lebih kurang 2 bulan sebelumnya telah menjadi tersangka sejak 27 Januari 2008 bersama dua bawahannya yaitu Direktur Hukum BI, Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro BI, Rusli Simanjuntak yang telah ditahan terlebih dahulu, serta KPK juga telah menahan Hamka Yamdhu anggota DPR dan Mantan anggota DPR Antony Zaidra Abidin (Wagub Jambi) dalam kasus yang sama. Gebrakan dari pimpinan KPK yang baru ini memang sempat membuat kejutan. Hal ini karena selama ini wilayah Senayan yang seakan-akan tidak dapat tersentuh oleh pihak luar dan selalu membantah keras bila ada berita ataupun laporan tentang korupsi dan aktivitas suap menyuap yang ada di lembaga DPR, akhirnya bisa di terobos oleh para penyidik KPK. Pada saat yang hampir bersamaan pula, DPR sedang mempertimbangkan untuk menggugat salah satu grup musik yang dianggap oleh sebagian anggota DPR ada sebuah lirik lagu yang sangat menyingung martabat anggota DPR. Tetapi kemudian ibarat peribahasa air di dulang terpercik ke muka sendiri, akhirnya Badan Kehormatan (BK) DPR merekomendasikan kepada pimpinan DPR agar membatalkan rencana gugatannya kepada grup musik tersebut. Dalam kasus jaksa UTG, penangkapannya dilakukan hanya dalam kurun waktu beberapa saat setelah pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) membuat press release yang isinya kurang lebih menyatakan bahwa tidak ada unsur kerugian negara dalam kasus BLBI. Padahal dari segi ekonomi makro Indonesia, dana talangan BLBI ini sangat membebani APBN dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa waktu sebelumnya KPK juga sempat membuat kejutan dengan menangkap Irawady Joenoes (IJ), seorang komisioner yang juga sekaligus merangkap sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) dalam kasus suap pengadaan tanah yang nantinya diatas tanah tersebut akan didirikan kantor Komisi Yudisial. Dari kesemua kasus penangkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut diatas, memperlihatkan kepada kita semua sekaligus sebagai bukti bahwa tidak hanya aparat penegak hukum kita tetapi juga seluruh komponen lembaga tingi negara sangat rentan terhadap segala bentuk dan aktifitas penyuapan. Bagi kalangan tertentu peristiwa penyuapan seseorang yang sedang terlibat dalam sebuah kasus kepada oknum aparat adalah merupakan sebuah common practice untuk bisa mendapatkan keringanan, bantuan, kelancaran atau bahkan pembebasan dari kasus yang sedang menimpanya. Demikian juga dalam aktifitas pengadaan atau proyek yang tidak terbatas hanya pada institusi pemerintah tapi juga swasta, peristiwa penyuapan agar bisa memenangkan tender kerap sekali terjadi. Dari berbagai macam dan banyak faktor, khusus untuk pihak aparat, ada tiga hal utama yang bisa menjadi trigger dalam aktifitas suap menyuap ini, yaitu kecilnya gaji yang tidak sebanding

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

87


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

dengan gaya hidup, mental dan moralitas, serta kondisi sosial masyarakat, tiga faktor yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah besaran gaji, sebuah masalah klasik yang secara general tidak hanya menjadi masalah bagi aparat penegak hukum, tapi juga dialami oleh hampir diseluruh lini pegawai pemerintah. Masalah klasik ini cenderung kepada ketidaksesuaian antara pendapatan dan gaya hidup. Gaya hidup bukan kebutuhan hidup, memang mirip tapi dalam konteks pelaksanaan, sangat jauh bertolak belakang. Lihat salah satu alasan yang di kemukakan oleh Jaksa Agung pada saat dengar pendapat dengan DPR, saat itu Jaksa Agung meyebutkan bahwa gaji jaksa UTG hanya sebesar kurang lebih rp. 3 juta. Tidak hanya itu, pada saat terungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) maraknya peredaran dan aktifitas perdagangan narkoba yang ternyata malah di kendalikan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan, lagi-lagi pihak DepkumHAM dalam hal ini direktorat jenderal pemasyarakatan juga mengungkapkan alasan yang tidak jauh berbeda. Fenomena ini sepertinya menjadi trend alasan bagi atasan kepada pihak luar mengapa aparat penegak hukum dibawahnya bersedia menerima uang suap. Tapi tentunya alasan ini tidak boleh menjadi alasan pembenar dari sang atasan bagi anak buahnya untuk menerima suap. Kebutuhan hidup memang tidak bisa tidak harus dipenuhi. Walaupun sangat sulit menyesuaikan antara gaji dengan kebutuhan hidup ditengah melonjaknya harga barang kebutuhan pokok, ongkos pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, seorang aparat penegak hukum tetap harus dapat bertahan dengan gaji resmi yang sesuai dengan ketentuan. Tidak ada solusi lain untuk hal yang satu ini karena kalau sudah berkreasi dengan mencoba mendapatkan sumber pendapatan lain, yang bersangkutan menurut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus bisa membuktikan bahwa pendapatan lain tersebut bukan dari hasil kegiatan korupsi. Seorang aparat penegak hukum tidak bisa dengan leluasa untuk mengikuti tren gaya hidup karena keterbatasan gaji. Jadi sungguh sebuah kejadian yang luar biasa bila ada aparat ataupun pegawai pemerintah lainnya dengan gaji yang 3 juta tetapi bisa mempunyai mobil inova terbaru yang cicilannya untuk periode 3 tahun saja sudah diatas 5 juta. Sah-sah saja kalau ada yang bilang hal itu berasal dari income lain seperti warisan, hibah ataupun usaha sampingan lainnya. Tetapi harus diingat pula dari penghasilan sampingan ini yang bersangkutan harus bisa membuktikan bahwa bukan berasal dari hasil korupsi atau suap. Jadi sungguh sangat tidak masuk akal kalau ada aktifitas bisnis permata ataupun yang lainnya yang baru berlangsung kurang dari setahun tapi sudah bisa menghasilkan keuntungan 6 milyar, sebagaimana alibi yang dikatakan oleh jaksa UTG. Yang hanya bisa meredam gejolak untuk menahan nafsu terhadap suap adalah pengendalian mental serta penguasaan moral yang tinggi. Tanpa kedua hal ini rusaklah tatanan hidup masyarakat Indonesia. Secara universal korupsi sekaligus suap adalah merupakan tindakan yang salah (penulis tidak menggunakan kosa kata penghalus “tidak benar dan tidak terpuji�) dan bagi yang beragama, apapun agamanya akan bilang bahwa korupsi dan suap itu adalah sebuah dosa. Sudah banyak contoh di Jepang pejabat yang ketahuan terlibat kasus korupsi ataupun suap selalu berakhir dengan pengunduran diri, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Lain halnya dengan apa yang terjadi di Indonesia, pejabat daerah yang jelas-jelas kasus korupsinya sudah diputus di Pengadilan Negeri dan dinyatakan bersalah, masih saja nekat mendaftar dalam pilkada berikutnya. Walaupun yang bersangkutan mengajukan banding, akan tetapi dari segi etika moral yang berlaku umum seharusnya aktifitas politik dan pemerintahan yang bersangkutan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

88


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

berhenti sementara menunggu hasil persidangan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Demikian juga dengan peristiwa runtutan penangkapan Pejabat BI, mantan anggota maupun angota aktif DPR RI yang oleh KPK semuanya mendapat simpati dari kolega dan bahkan oleh partai yang mengusung yang bersangkutan menjadi wakil rakyat di DPR dilindungi dan dibela. Sebuah anomali terhadap standar etika, moral dan mental yang berlaku secara universal. Khusus untuk AAN, ada sedikit perkembangan yang cukup mengembirakan karena begitu AAN ditangkap oleh KPK, partai tempat yang bersangkutan bernaung langsung menonaktifkan yang bersangkutan dari jabatannya sebagai ketua partai di propinsi Jambi. Walaupun begitu pembelaan atau sebut saja solidaritas dari koleganya tetap saja mengalir terutama dari sesama tim yang menangani konversi atau pembebasan lahan hutan lindung di DPR. Pembelaan yang ada unsur ketakutan bahwa AAN akan buka mulut tentang siapa-siapa saja yang ikut bermain dalam proses pengalihan hutan lindung di pulau Bintan. Ada sebuah mind set yang salah selama ini didalam benak para penegak hukum di Indonesia yaitu bahwa ada kecenderungan (walaupun sudah mengalami penurunan) menerima suap atau memeras tersangka karena rasa tidak percaya terhadap masing-masing institusi criminal justice system di Indonesia. Di pihak kepolisan mempunyai prasangka dari pada tersangka ini di“makan” oleh jaksa lebih baik di-“peras” duluan, di pihak jaksa, tersangka sebelum di-“mainkan” oleh hakim lebih baik di-“mainkan” terlebih dahulu, sedang hakim hanya bisa bilang “bagian saya mana nih”. Memang tidak semua polisi, jaksa atau hakim mempunyai pola pikir seperti diatas, tapi kenyataan yang terjadi dalam prakteknya seperti itu. Kalau ketiga institusi itu membantah tidak ada suap menyuap dalam aktifitas mereka tentunya tidak perlu ada lembaga khusus seperti KPK dan Peradilan Khusus Tipikor di Indonesia, atau bahkan kita tidak perlu mempunyai UU Anti Korupsi. Mind set ini seringkali timbul karena aparat tergiur dengan jumlah uang yang di salahgunakan oleh tersangka sehingga muncul dalam pikiran aparat untuk bagaimana bisa “kecipratan” juga uang hasil penyalahgunaan tersebut. Selain itu, untuk jaksa UTG dan anggota DPR AAN, keduanya mempunyai modus operandi yang sama yaitu keduanya sudah mengetahui terlebih dulu informasi tentang tidak ditemukannya indikasi kerugian negara dalam keputusan rapat di kejaksaan untuk kasus BLBI oleh UTG sedang untuk AAN, yang bersangkutan mengetahui bahwa tim independen bentukan Dephut menyetujui konversi lahan di Pulau Bintan sehingga pihak DPR dalam hal ini tim yang menangani konversi lahan tinggal ketok palu untuk mengesahkan keputusan pengalihan hutan lindung menjadi kawasan pusat pemerintahan kota Bintan. Kemudian keduanya menjual informasi ini kepada pihak-pihak yang berkepentingan seakan-akan atas jerih payah keduanya, mereka berhasil memperjuangkan kepentingan “klien” mereka. Penguasaan moral dan mental yang tinggi dalam hubungannya dengan tindakan suap dan korupsi tidak hanya di-maintenance melalui pendidikan baik umum maupun agama dan pengalaman hidup, tetapi juga harus ada penciptaan sebuah kondisi seperti vonis yang berat dari pengadilan serta yang tidak kalah penting adalah penanaman nilai dalam masyarakat bahwa suap dan korupsi adalah sebuah kegiatan yang merusak dan merugikan masyarakat. Dengan cara penyadaran kepada masyarakat bahwa seharusnya dana korupsi tersebut bisa didistribusikan untuk kepentingan masyarakat banyak, akan tetapi karena aktifitas suap dan korupsi dana masyarakat tersebut hanya jatuh kepada segelintir orang atau oknum saja. Tetapi sepertinya apa yang terjadi di Negara Indonesia tercinta ini adalah suatu hal yang sangat ironis. Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang permisif dan ambigu terhadap suap dan korupsi merupakan kendala yang besar dalam upaya memberantas suap dan korupsi ini. Contah gampang sekali bisa dilihat dari keseharian dimana kalau ada saudara, teman, tetangga atau kolega yang lain yang diterima sebagai PNS pasti ada komentar “wah enak nih bisa dapat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

89


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

“sampingan� kiri-kanan� atau komentar tentang institusi basah dan kering dan ungkapanungkapan senada yang lain yang pada intinya sudah ada gambaran dalam benak masyarakat Indonesia bahwa menjadi PNS selain gaji juga mendapat tambahan lain yang belum tentu jelas asal usulnya. Ditambah lagi dengan fanatisme lokal, kelompok, etnis bahkan agama yang kadang terlalu berlebihan sehingga sama sekali tidak mempedulikan asal usul dana sumbangan dari seseorang pejabat kepada kelompok masyarakat, atau agama menjadikan kontrol masyarakat menjadi lemah dalam menghadapi kasus suap dan korupsi ini. Ketiga faktor diatas bukan merupakan barang baru dalam mengupas permasalahan tentang aktifitas suap menyuap ini, tetapi ada sebuah kondisi yang tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan seorang pejabat dapat dengan mudah diukur. Gaji pokok ditambah tunjangan tetap dan tunjangan-tunjangan insidentil serta tidak tetap lainnya sudah ada peraturan dan ketetapannya, diluar itu perlu ditelusuri asal muasal dan cara perolehannya. Menjadi aparatur negara adalah sebuah pilihan, jadi kalau mau kaya atau menginginkan standar hidup yang lebih dari berkecukupan, tidak bisa diperoleh dengan menjadi PNS atau aparat pemerintahan. Karena semuanya sudah ter-ukur dan ada aturan mainnya. Satu hal lagi dari pihak pemerintah harus benar-benar menerapkan system reward and punishment yang tegas kepada seluruh jajarannya. Saat ini system ini tidak berjalan sebagai mestinya karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang memberi perlindungan kepada aparat atau pejabat yang melakukan kesalahan dikarenakan tidak ingin sistem birokrasi yang sengaja dibuat rumit dan tidak efisien ditata dengan benar. Karena dengan birokrasi yang rumit dan tidak efisien, proyekproyek dan pos-pos anggaran yang tidak perlu tetap bisa dipelihara untuk kepentingan kelompok tertentu dan tentu saja untuk kepentingan diri sendiri. Sebaliknya sungguh bertolak belakang dengan pejabat atau aparat yang jujur ataupun berani menjadi whistle blower. Nasib whistle blower sungguh sangat menyedihkan, banyak yang tersingkir, kehilangan jabatan atau bahkan harus terpaksa jadi tersangka karena adanya kesalahan kecil yang dikorek-korek dan dibesar-besarkan oleh pihak-2 yang merasa terancam dengan aktivitas si whistle blower ini. Memang untuk menjadi negara yang bebas suap dan korupsi 100% adalah sebuah utopia, Negara-negara dengan indeks korupsi yang rendah berdasarkan laporan ICW sekalipun belum bisa benar-2 mencapai angka ideal yang 100% bersih dari korupsi. Tetapi setidaknya usaha untuk memberantas bibit-bibit korupsi seperti suap ini harus benar-2 dijalankan dengan tegas dan tanpa pandang bulu. Untuk itu diperlukan kerja keras dan kejujuran si setiap lini jajaran birokrasi pemerintah dan seluruh lembaga tinggi negara lainnya. Bila tidak, sampai kapanpun Indonesia akan tetap seperti sekarang ini kondisinya. Referensi: Beberapa harian surat kabar yang memberitakan tentang kasus-kasus suap dan korupsi di Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

90


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

HUMANIORA TOPONIMI, BUKAN HANYA TATA CARA PENULISAN NAMA UNSUR GEOGRAFIS Agustan PTISDA – BPP Teknologi Anggota Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) Email: agustan@tisda.org Semangat otonomi daerah saat ini menghasilkan daerah-daerah baru sejalan dengan aspirasi untuk pemekaran wilayah. Salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemekaran wilayah adalah mengenai penamaan wilayah tersebut. Mungkin banyak yang tidak begitu perduli akan perbedaan makna dari penulisan Lhokseumawe atau Lhok Seumawe di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi atau tempat adalah suatu obyek yang termasuk dalam unsur geografis. Pengertian dari unsur geografis adalah suatu obyek (features) yang dapat diidentifikasi yang terdapat di bumi. Unsur geografis ini sendiri bisa dikategorikan dalam dua bagian besar yaitu unsur alam yang meliputi segala unsur di daratan dan di perairan, misalnya gunung, sungai, teluk; dan unsur buatan misalnya unsur pemukiman dan non-pemukiman. Unsur pemukiman misalnya desa, kampung dan kota, sedangkan kawasan perkebunan, bandara, jembatan adalah contoh dari unsur non-pemukiman. Hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi unsur geografis tersebut adalah dengan memberikan ‘nama’ yang berfungsi sebagai unit pengenal. Nama pada unsur geografis juga dapat menggambarkan suatu ‘sejarah peradaban’ yang terkandung padanya. Misalnya nama kota Jakarta yang akan berulang tahun yang ke-481, tentu saja mempunyai sejarah yang panjang sehingga kota tersebut bernama ‘Jakarta’. Kota Surabaya, yang berasal dari sebuah legenda akan pertarungan antara ikan hiu (sura) dan buaya. Kemudian satu lokasi di Sumatera Selatan yang bernama Prabumulih, tentu mempunyai makna sejarah yang menarik untuk diketahui. Juga nama Irian (yang sekarang sebagian wilayahnya diubah menjadi Papua) menurut ahli sejarah berasal dari singkatan ’Ikut Republik Indonesia Anti Netherland’ melambangkan dinamika proses perjuangan bangsa Indonesia pada awal tahun 1960-an. Toponimi: Sebuah Cabang Keilmuwan yang Melembaga Tata cara pembakuan Pemberian nama pada unsur geografis ternyata tidak sesederhana perkiraan banyak orang. Tata cara untuk menstandarisasi dan mengatur penamaan suatu unsur geografis dikaji dan diatur dalam suatu cabang ilmu yang dikenal sebagai Toponimi. Ilmu ini berkaitan erat dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan Kebudayaan. Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya peta (sehingga berkaitan dengan Kartografi) dalam peradaban manusia yang dimulai pada zaman Mesir kuno. Untuk memberikan keterangan (nama) pada unsur yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk ‘merekam’ dari bahasa verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol. Sejarah mencatat nama-nama Comtey de Volney (1820), Alexander John Ellis (1848), Sir John Herschel (1849) dan Theodore W. Erersky (1913) yang terus berusaha untuk membakukan proses penamaan unsur geografis pada lembar peta melalui berbagai metode. Pada akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC). Lembaga ini dalam konferensinya mengeluarkan resolusi penting, yaitu: ‘tiap negara harus membentuk suatu lembaga nasional yang bertanggung jawab akan kegiatan penamaan unsur-unsur geografis, termasuk prosedur baku dan resmi, mempublikasikan dalam peta dan gazetir secara naional dan internasional serta terus menjaga kekinian informasi tersebut secara berkesinambungan’. Saat ini, realisasi resolusi ini sudah dilaksanakan di negara lain misalnya di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

91


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Amerika Serikat melalui US Board of Geographycal Names, Selandia Baru melalui New Zealand Geographic Board atau Nga Pou Taunaha O Aotearoa. Kaidah Penulisan Nama Geografis Hal penting yang diatur dalam Toponimi ini adalah pembakuan tata cara penulisan nama unsur geografis. Secara baku, nama unsur geografis terdiri dari dua bagian yaitu nama generik dan nama spesifik. Yang dimaksud dengan nama generik adalah nama yang menggambarkan bentuk dari unsur geografis tersebut, misalnya sungai, gunung, kota dan unsur lainnya. Sedang nama spesifik merupakan nama diri (proper name) dari nama generik tersebut yang juga digunakan sebagai unit pembeda antarunsur geografis. Nama spesifik yang sering digunakan untuk unsur geografis biasanya berasal dari kata sifat, misalnya ’baru’, ’jaya’, ’indah’, ’makmur’ atau kata benda yang bisa mencerminkan bentuk unsur tersebut, misalnya ’batu’, ’candi’ dan lain sebagainya. Kaidah penulisan nama geografis secara umum mengikuti kaidah penulisan yang baku dalam bahasa Indonesia. Secara umum, ada dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu kaidah penulisan yang berkaitan dengan nama generik dan nama spesifik; dan kaidah penulisan yang berkaitan dengan transformasi dari bahasa daerah dan asing ke bahasa Indonesia. Kaidah penulisan nama geografis yang berkaitan dengan nama generik dan nama spesifik adalah selalu ditulis secara terpisah dan dalam huruf kapital. Sebagai contoh adalah penulisan Sungai Saddang (sebuah sungai di Sulawesi Selatan), sungai adalah nama generik, sedang Saddang adalah nama dari sungai tersebut. Apabila suatu nama tempat, misalnya kota, dimulai dengan nama generik yang bukan nama tempat, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya Bandarlampung dan Tanjungpinang. Nama spesifik ditulis sebagai satu kata apabila terdiri dari: pengulangan kata (misalnya Bagansiapiapi); terdiri dari 2 kata benda (misalnya Pagaralam); terdiri dari kata benda diikuti nama generik (misalnya Pagargunung); terdiri dari 3 kata, masing-masing 2 nama generik diikuti dengan kata sifat atau kata benda (misalnya: Muarabatangangkola, muara dan batang adalah nama generik dari unsur hidrografis dan angkola adalah nama benda); terdiri dari 4 kata atau lebih (misalnya Purbasinombamandalasena). Tetapi apabila suatu nama spesifik itu diikuti dengan kata sifat, bilangan atau penunjuk arah, maka ditulis terpisah, misalnya Kalimantan Tengah, Koto Ampek (ampek adalah empat dalam bahasa Minang). Bahasa daerah merupakan salah satu faktor penting dalam tata cara penulisan nama unsur geografis. Hal ini berkaitan dengan arti dari ‘istilah’ bahasa daerah tersebut yang mungkin tidak diketahui secara umum. Tentu saja ini merupakan tantangan bagi setiap ‘pemilik’ istilah tersebut untuk mensosialisasikan sehingga bisa terwujud ‘saling pengertian’ dalam bangsa yang besar ini. Istilah bahasa daerah tersebut bisa dijumpai dalam nama generik maupun nama spesifik. Misalnya untuk nama generik, beragam istilah digunakan dari Sabang sampai Merauke untuk mendeskripsikan sungai, misalnya krueng atau ie (Aceh), ci (Sunda), bengawan atau kali (Jawa), batang atau way (daerah Sumatera), je’ne dan salo (daerah Sulawesi). Contoh paling sederhana adalah penulisan Sungai Ciliwung. Selintas tata cara penulisannya benar karena sudah ditulis terpisah dan menggunakan huruf kapital, tetapi salah dari segi Toponimi. Sungai ini terdapat di daerah Jawa Barat, dan sebagian besar daerah ini didiami oleh etnis Sunda yang berbahasa Sunda, dan dalam bahasa Sunda dikenal istilah Ci untuk mendeskripsikan suatu unsur yang berbentuk air. Ci dalam pengertian ‘Ci-liwung’ adalah suatu nama unsur yang artinya sungai, sedang Liwung adalah nama spesifik dari ‘Ci’ atau sungai tersebut. Sehingga penulisan yang benar dari sungai tersebut adalah ‘Ci Liwung’ atau ‘Sungai Liwung’, tapi yang sudah dibakukan adalah ‘Ci Liwung’. Hal ini untuk menghilangkan kesalahan pengulangan makna dari unsur tersebut. Sama halnya jika menunjuk suatu gunung di daerah Sulawesi Selatan yang dikenal dengan nama Gunung Bulusaraung, padahal Bulu adalah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

92


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

gunung dalam bahasa setempat. Sehingga yang benar adalah ‘Bulu Saraung’, yaitu sebuah gunung yang berbentuk seperti topi petani (caping atau saraung dalam bahasa lokal) jika dilihat dari jauh. Lhokseumawe atau Lhok Seumawe? Keduanya benar dari segi tata cara penulisan, tapi berbeda dari segi makna. Lhok dalam bahasa Aceh adalah teluk, sehingga bisa dijadikan sebagai nama generik. Sehingga apabila nama generik digunakan bersama kata lain untuk dijadikan nama spesifik, maka harus ditulis terpisah. Misalnya, apabila digunakan untuk menunjuk suatu unsur pemukiman yaitu ‘kota’ (nama generik) maka harus ditulis dalam satu kata menjadi Lhokseumawe sehingga yang benar adalah Kota Lhokseumawe. Tetapi jika ditulis Lhok Seumawe, maka yang dimaksud adalah suatu teluk (nama generik) yang bernama Seumawe (nama spesifik). Selain itu Toponimi juga mengatur penulisan nama geografis yang dipengaruhi oleh bahasa asing misalnya Pelabuhan (nama generik) Tanjungperiuk (nama spesifik), bukan Pelabuhan Tanjong Priok; Malborough menjadi Malioboro dan Buitenzorg menjadi Bogor dan lain sebagainya. Toponimi di Indonesia Kegiatan Toponimi di Indonesia boleh dikatakan tidak ketinggalan dengan negara-negara lainnya di dunia melalui partisipasi aktif (utamanya dari Bapak Prof. Jacub Rais, mantan kepala Bakosurtanal) dalam UNGEGN dan juga Bapak Prof. I Made Sandy yang telah merintis atlas nasional Indonesia. Indonesia pernah sukses menyelenggarakan kursus Toponimi internasional pada tahun 1982 di Cisarua dalam koordinasi UNGEGN. Tetapi harus diakui secara umum dan kelembagaan, kondisinya masih ‘samar-samar’. Kegiatan Toponimi masih terbatas dalam kegiatan kecil dalam masing-masing instansi yang berkaitan dengan kegiatan spasial (keruangan). Lembaga Toponimi nasional sebagai salah satu resolusi dari UN Conference on Standardization of Geographical Names (UNSCGN) sudah saatnya direalisasikan untuk mengantisipasi berbagai tantangan ke depan. Berkaca pada negara yang telah membentuk lembaga ini, sebaiknya lembaga ini dikoordinir oleh Departemen Dalam Negeri yang beranggotakan ahli perpetaan, sejarahwan, antropolog dan ahli bahasa.

Gambar 1. Penulisan nama suatu daerah di Kabupaten Aceh Tengah. Sumber foto: koleksi pribadi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

93


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Penulisan yang sudah benar dan sesuai dengan kaidah Toponimi. Berdasarkan informasi dari masyarakat daerah tersebut, tanoh berarti tanah, merupakan nama generik dan depet yang berarti ’dempet’ yang merupakan nama spesifik dari kata sifat sehingga ditulis terpisah.

Gambar 2. Salah satu contoh penulisan nama yang bisa memberikan penafsiran ganda. Sumber foto: koleksi pribadi

Benteng Ujung Pandang pada penafsiran pertama adalah nama benteng tersebut adalah ’Ujung Pandang’ sehingga dalam hal ini penulisannya jadi benar karena tidak menyangkut unsur geografis, murni hanya nama suatu bangunan yang bernama ’Ujung Pandang’. Pada penafsiran kedua adalah benteng tersebut terletak di Kota Ujungpandang (sekarang bernama Makassar). Apabila ini yang dimaksud, maka penulisannya seharusnya Benteng Ujungpandang. Ujung merupakan nama generik yang berarti ’tanjung’ dan ’pandang’ merupakan nama spesifik kata benda yang berarti ’penglihatan yg tetap dan agak lama’ (sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia) sehingga harus ditulis satu kata. Jika berdasarkan studi antropologis, kata pandang dalam bahasa lokal berarti tambuhan pandan yang dulunya banyak terdapat pada tanjung tersebut sehingga juga merupakan kata benda dan kaidah penulisannya juga harus disatukan. Selain memberikan panduan, pandangan dan pengawasan tentang tata cara penulisan nama geografis, lembaga toponimi nasional harus mampu menyediakan basis data toponimi nasional yang akurat dan lengkap. Hal ini tentu mendukung kegiatan otonomi daerah bahkan ketahanan nasional. Misalnya untuk penamaan pulau-pulau yang telah diklaim oleh Indonesia yaitu sekitar 17.508 pulau, bahkan penelitian Coremap menyebut angka 18.306 pulau, tetapi Bakosurtanal dalam gazetirnya baru ‘memberi’ nama pada 6.489 pulau. Indonesia tentu tak ingin mengulangi sejarah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan akibat kurangnya kegiatan pada pulau-pulau kita termasuk kegiatan ‘penamaannya’. Ini baru kegiatan penamaan pada pulau-pulau, bagaimana dengan unsur lainnya, misalnya sungai, gunung, kota, teluk, muara dan lain sebagainya. Jadi, bisa dibayangkan ‘beratnya’ kegiatan Toponimi ini di Indonesia. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang telah ‘merambah’ dengan memberikan nama pada unsur di Bulan, Venus, Mars bahkan di Jupiter.

Referensi [1] Rais, J. Materi Kuliah Toponimi, Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung, 1996. [2] Rais, J. Komunikasi Personal [3] UNGEGN, http://unstats.un.org/unsd/geoinfo/documents.htm.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

94


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

HUMANIORA BEKERJA DI PERUSAHAAN JEPANG Hasanudin Abdurakhman Alumni Tohoku University, Direktur PT Osimo Indonesia E-mail: hasan@osimo.co.id Saya berdebat kecil dengan Prof. Yukiko Hirakawa dari Hiroshima University di satu sesi Joint Seminar on Technology Transfer yang diselenggarakan di ITB beberapa waktu lalu. Prof. Hirakawa mempresentasikan hasil survey yang dia lakukan terhadap pengusaha/professional Jepang tentang persepsi mereka terhadap tenaga kerja Indonesia. Dalam persepsi orang Jepang, menurut survey tersebut, tenaga kerja Indonesia tidak punya banyak keunggulan, kecuali bahwa upah mereka murah. Selebihnya, mereka dianggap punya kemampuan analitik yang lemah, etos kerja serta disiplin yang lemah. Untuk memuluskan proses transfer teknologi Prof. Hirakawa menantang dunia industri dan pendidikan Indonesia untuk berbenah. Pada diskusi itu saya tidak mencoba membantah data yang dia sajikan. Pertama karena saya sendiri juga tidak punya data tentang kualitas tenaga kerja kita. Kedua, bagaimanapun juga data yang disajikan itu adalah persepsi, sehingga masih perlu diuji kebenarannya di lapangan. Yang menarik dari situ justru bagaimana persepsi itu muncul. Saya ingatkan Prof. Hirakawa bahwa yang terjadi sebenarnya mungkin kurangnya kesepahaman antara ekspatriat Jepang yang ada di Indonesia dengan pekerja lokal. Akibatnya mereka bekerja dalam ruang strereotype masing-masing. Saya melihat diperlukan adanya pihak yang mampu menjembatani komunikasi ini. Prof. Hirakawa mengakui bahwa orang-orang Jepang yang dikirim ke luar negeri pada umumnya memang tidak dipersiapkan untuk keluar dari Jepang. “Waktu mereka kuliah dulu mungkin mereka tidak pernah berfikir akan dikirim bekerja ke luar negeri.� katanya setengah bercanda. Ia juga mengakui bahwa tidak sedikit kesan buruk terhadap ekspatriat Jepang, seperti arogan, cerewet, dan kasar. Sayangnya, meski setuju dengan pandangan saya, ia tetap bersikukuh bahwa kunci penyelesaiannya tetap ada di pihak Indonesia. Jepang, katanya, akan mencoba memperkecil jurang komunikasi tadi, tapi tidak akan menghabiskan banyak sumber daya untuk itu. Dalam banyak kasus, katanya, Jepang akan memilih negara di mana jurang tadi tidak demikian besar. Keterbatasan waktu seminar membuat debat kecil kami terhenti. Tapi saya melihat persoalan jembatan komunikasi ini penting bagi perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia, dan tentu saja bagi orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Kebetulan sebagai seorang pimpinan di perusahaan Jepang, salah satu peran saya adalah menjadi jembatan komunikasi tersebut. Mirip dengan hasil survey yang diungkapkan oleh Prof. Hirakawa, dalam berbagai kesempatan saya sering menampung keluhan ekspatriat Jepang tentang ketidakpuasan mereka terhadap pekerja lokal. Sebaliknya, saya juga sering menampung keluhan staf lokal tentang berbagai ketidakpuasan terhadap ekspatriat Jepang. Perusahaan Jepang yang berinvestasi ke Indonesia beragam skalanya. Ada perusahaan besar yang sistem manajemennya sudah mapan, seperti Toyota, Panasonic, dan sebagainya. Kemapanan manajemen mereka meliputi kesiapan mereka untuk berkiprah di negara-negara di luar Jepang, termasuk persiapan SDM untuk keperluan tersebut. Namun ada juga perusahaan Jepang skala kecil-menengah yang ikut menanamkan modal di Indonesia. Perusahaan ini dikelola dengan manajemen semi-tradisional, cenderung bercorak kekeluargaan. SDM yang dikirim untuk mengelola perusahaan tersebut biasanya SDM pada level menengah-bawah di perusahaan induknya. Kemampuan yang mereka miliki lebih cenderung hanya kemampuan teknis, bukan manajerial.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

95


INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

Pada perusahaan besar dengan sistem manajemen yang sudah mapan, masalah-masalah seperti perbedaan budaya boleh jadi sudah diantisipasi dengan berbagai pendekatan manajemen. Namun perusahaan skala menengah-kecil, dengan berbagai keterbatasannya, cenderung mengabaikan masalah-masalah itu. Bagi mereka yang penting produksi dapat berlangsung. Pengembangan manajemen organisasi, SDM, dan sebagainya digarap seadanya. Kembali ke data yang disajikan oleh Prof. Hirakawa tadi, saya sebetulnya bisa memahami kalau ada persepsi demikian di kalangan ekspatriat Jepang. Dari sudut pandang orang Jepang yang berdisiplin tinggi pemandangan di Indonesia boleh jadi akan terlihat tidak pada tempatnya. Contoh sederhananya adalah soal membuang sampah. Di perusahaan, kadang saya masih menemukan sampah-sampah kecil seperti bungkus permen yang dibuang sembarangan. Padahal perusahaan sudah menyediakan tempat sampah di berbagai tempat, dan selalu mengingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya. Pernah suatu ketika saya menemukan karyawan yang meletakkan sampah di samping tempat sampah yang disediakan, bukan langsung membuangnya ke dalam tempat sampah. Sebuah tindakan yang sulit dicerna oleh akal. Banyak hal, yang bagi orang Jepang merupakan common sense, ternyata sulit untuk dipahami oleh staf lokal. Atau kalau dibalik, banyak hal-hal yang bertentangan dengan common sense yang kita praktikkan dalam kehidupan kita, dan ajaibnya kita tidak merasa terganggu dengan itu. Pola fikir dan peri laku ini terbawa melekat ke tempat kerja. Manajemen sebenarnya adalah kumpulan common sense belaka. Karenanya pola fikir dan peri laku yang bertentangan dengan common sense itu adalah gangguan yang nyata pada sistem manajemen. Ganguan ini menghambat pencapaian tujuan. Sampai ke titik ini saya sebenarnya sepakat dengan pandangan Prof. Hirakawa tadi. Masalahnya adalah saya melihat orang-orang Jepang itu mau ambil mudahnya saja. Mereka berharap dapat mengumpulkan manusia-manusia qualified, siap pakai, baik dari soft skill maupun hard skill, lalu membangun sistem, dan sistem itu berjalan sesuai harapan. Idealnya memang seperti itu. Namun berinvestasi di dunia ketiga dengan harapan memperoleh SDM selevel negara maju jelas merupakan harapan yang berlebihan. Berinvestasi di negara berkembang seharusnya diiringi dengan kesiapan untuk menyisihkan investasi bagi keperluan pengembangan organisasi dan SDM. Yang lebih parah, tak jarang saya temukan ekspatriat Jepang yang menjadikan stereotyping sebagai dalih untuk melempar tanggung jawab. Tanpa mau menganalisa pola kepemimpinan dan komunikasi yang diterapkannya dia dengan gampang menimpakan kesalahan pada staf lokal atas ketidaklancaran proses dalam manajemen. Pada saat yang sama, staf lokal juga tidak mau begitu saja disalahkan. Maka lingkaran setan saling lempar tanggung jawab itu terus menerus menjadi duri dalam daging pada sistem manajemen. Saya memandang perlunya lapisan penyangga dalam manajemen perusahaan Jepang di Indonesia. Lapisan ini diisi oleh orang Indonesia yang mengerti budaya dan system manajemen Jepang. Yang kemudian mampu menerjemahkannya menjadi sesuatu yang bisa dipahami oleh staf lokal. Sebaliknya, lapisan ini pada saat yang sama juga perlu menjelaskan hal-hal yang merupakan karakteristik lokal kepada para ekspatriat Jepang. Pola inilah yang coba saya terapkan di tempat saya bekerja. Adalah sebuah kebetulan yang menguntungkan bahwa saya bergabung di perusahaan ini tepat ketika perusahaan sedang mempersiapkan diri untuk beroperasi secara komersial. Karenanya saya bisa turut terlibat merancang sistem manajemennya. Prinsip yang saya anut adalah bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang dianggap sebagai karakter khas budaya perusahaan Jepang tak lebih dari kumpulan common sense. Maka mengadopsi semua itu pada dasarnya bermakna bahwa kita sedang menghidupkan (kembali) common sense kita, bukan sekedar menjadi pengekor budaya asing. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

Sejauh ini sistem kecil yang saya bangun berjalan cukup baik. Mudah-mudahan ia bisa berjalan dengan baik pula ketika organisasi perusahaan membesar nanti. Kuncinya, sejauh yang saya sadari, adalah kepercayaan, baik dari pihak pemegang saham, manajemen di perusahaan induk, maupun karyawan yang merupakan bawahan saya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

LIPUTAN WAWANCARA DENGAN BAPAK JUSUF ANWAR, DUTA BESAR REPUBLIK INDONESIA UNTUK JEPANG: �TIGA TUGAS MAHASISWA: BELAJAR, BELAJAR DAN BELAJAR� Pada tanggal 28 Mei 2008, bertempat di Wisma Duta KBRI Tokyo, beberapa pengurus PPI Jepang yang dipimpin oleh Tatang Sopian; mewakili redaksi Inovasi, berhasil mewawancarai orang Indonesia nomor 1 di Jepang, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang, Bapak Dr. Jusuf Anwar.

Di tengah kesibukannya, Pak Dubes masih menyempatkan diri untuk bertemu langsung dan melayani wawancara Majalah Inovasi Online ini. Berikut hasil wawancaranya: Tatang Sopian (TS): Kami ingin tahu sedikit lebih jauh tentang latar pendidikan Bapak dari S1, S2 dan S3. Dr. Jusuf Anwar (JA): Saya S1 sama S3 di (Universitas) Pajajaran, S2 di Amerika, Vanderbilt University. S1 dan S3 saya ambil ilmu hukum, S2 ambil ilmu ekonomi. Ini sesuatu perpaduan ilmu sosial yang sangat erat berkaitan, hukum dan ekonomi. Dan ternyata dalam aplikasi kerja itu merupakan suatu hal yang bagus, perpaduan kedua ilmu itu. TS: Apakah Bapak ada kesulitan selama menempuh studi? JA: Alhamdulillah, tidak ada. Kalau ada kemauan, kan selalu ada jalan. Tadinya diperkirakan kalau dari hukum ke ekonomi agak sulit, tapi ternyata juga ya Alhamdulillah. Modalnya adalah kemauan. Jadi mahasiswa pun harus begitu. Kalau ada tekad, selalu kita temukan jalan keluarnya. TS: Setelah itu di dunia kerja bagaimana? JA: Pekerjaan juga Alhamdulillah. Saya mulai masuk di Departemen Keuangan tahun 1972 dan dari seangkatan saya yang masuk Departemen Keuangan tinggal saya sekarang yang masih aktif bekerja untuk pemerintah. Dan Alhamdulillah juga, bahwa karir saya lebih baik dari teman-teman seangkatan. Dan ini tentunya berkat doa semua orang dan juga usaha. Kalau kita dengan semboyan Ora et Labora, berdoa tapi juga berusaha. Karena buat saya kalau ada suatu niat dan niat itu baik, nawaitu baik, lalu kita berusaha sedapat mungkin, sekeras mungkin, do

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

98


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

your best, lalu hasilnya kita berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, Lillaahi Ta’ala, Insya Allah kita akan diridhoi usaha-usaha kita. Jadi perjalanan karier sampai ke Jepang ini, Alhamdulillaah. TS: Sebelum menjadi Dubes, Bapak adalah Menteri Keuangan, dan sebelumnya juga menduduki jabatan-jabatan penting. Kira-kira ada perbedaannya tidak? JA: Ya banyak sekali bedanya. Selama ini kan saya bekerja di eksekutif. Sekarang jadi diplomat. Saya sebagai teknokrat juga karena saya mengajar. Sampai sekarang saya masih mengajar di Unpad. Tapi karena saya sekarang sudah jadi Duta Besar, kelas saya diambil alih oleh asisten saya. Jadi saya selaku teknokrat. Di Departemen Keuangan juga jadi birokrat. Sekarang di Tokyo jadi diplomat, saya main akrobat. Karena banyak sekali urusannya. Urusannya lain, jenis pekerjaannya lain, variasinya macem-macem. Boleh saya bilang bahwa dari bom atom sampai hal yang kecilpun saya urusin. TS: Adakah hambatan selama menjadi duta besar? JA: Saya merasa tidak ada. Hambatan kecil-kecil selalu bisa diatasi karena kerjasama staf KBRI yang bagus-bagus. Coba bayangin saja, bagian Diknas aja Professor. Belum lagi kepala fungsi lain yang juga S3, doktor-doktor. Jadi tenaga-tenaganya bagus-bagus dan dedikasinya tinggi-tinggi, itulah yang membuat tugas Duta Besar menjadi enteng.

TS: Sekarang mengenai KBRI sendiri, dalam hal pelayanan terutama ini. Kita sudah dengar dari teman-teman juga bahwa KBRI sekarang lebih baik dari sebelumnya. Kira-kira dalam hal pelayanan ini, apa sih rencana KBRI ke depannya untuk semakin memperbaiki pelayanan, terutama bagi masyarakat Indonesia yang ada di Jepang? JA: Alhamdulillaah. Kita akan terus bekerja dengan pendekatan menjemput bola. Pelayanan diplomatik dan pelayanan kedutaan tidak hanya bisa dengan duduk-duduk melihat jendela keluar, di belakang meja. Sudah gak jamannya lagi orang itu harus sowan ke kita. Saya mengambil pendekatan kita harus menjemput bola. Jadi yang namanya bagian protokol, konsuler, yang mengurus soal-soal kewarganegaraan, keluarga-keluarga Indonesia yang tersebar di seluruh pelosok Jepang, tapi banyak keterbatasannya, terutama ekonominya. Lalu juga buruh-buruh, kensyuusei yang juga tersebar di seluruh jepang banyak juga keterbatasannya sekarang kita datangi, dan mereka sangat berterima kasih. Hari Kamis dan Jum’at kemarin saya minta Pak Amir dan Pak Nelson (perhubungan) ke Miyagi. Karena saya mendengar ada kesulitan beberapa warna negara di sana, langsung saya suruh ke sana. Hari Sabtu dan Minggu, jangan dikira kita nggak kerja, saya utus tenaga-tenaga senior keluar kota, karena ada warga negara yang kesulitan. Alhamdulillah dengan approach itu semuanya jadi beres dan mereka sangat berterima kasih. Malahan tidak mengira kedutaan begitu cepat, begitu telpon kita konfirmasi kita sudah utus orang ke sana. Hal-hal begitu yang menyebabkan masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi kepada pejabat-pejabat diplomat di Tokyo ini. Nantinya akan terus kita lakukan, terutama juga kita memperluas network dengan Jepang. Saya katakan kita harus mengambil pendekatan-pendekatan total diplomacy. Monyet, harimau, gajah pun jadi alat diplomasi. Main angklung juga jadi alat diplomasi. Budaya, tari-tarian, belum lagi tourism dan lain sebagainya. Semua kita jadikan alat diplomasi. Jadi itu yang disebut dengan total diplomacy. Jadi tidak hanya diplomat resmi saja seperti saya yang harus berdiplomasi. Andapun diplomat-diplomat. Artis, olahragawan yang datang ke sini itu juga para diplomat yang mengharumkan nama bangsa. Kalau mereka datang kan selalu disebut di pidato-pidato, Indonesia, Indonesia, Indonesia, itu saya alami sendiri. Baru-baru ini saya mendapat Doktor Honoris Causa dari Sooka University, itupun diplomasi. Mereka tidak sembarang mengasih. Tidak semua diplomat dikasih. Dan diplomat Indonesia pun baru saya yang dikasih. Itu juga suatu diplomasi. Sekarang di Sooka itu sudah terkenal dan mereka sudah tahu, Indonesia itu apa dan sebagainya. Hal-hal itu yang kita akan teruskan gelindingkan. Juga ke berbagai universitas.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

99


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Saya kemarin juga ke Hosei University, rektornya juga sangat menghargai kedatangan saya, kebetulan ada Atisari yang datang, dia adalah tokoh perdamaian Aceh, mantan presiden Finlandia. Jadi proaktif menjemput bola dan total diplomacy itu yang akan terus kita kerjakan. Dari mahasiswa Sooka University dan student union saya mendapat Friendship Award karena usaha-usaha saya dalam rangka mengembangkan persahabatan dengan orang-orang Jepang. TS: Bagaimana peran KBRI dalam menyelesaikan kasus-kasus tenaga kerja ilegal Indonesia? JA: Kita bantu penuh mereka agar hak-hak kewarganegaraan mereka terlindungi. Salah satu tugas KBRI adalah melindungi hak-hak kewarganegaraan orang Indonesia. Tapi kita tidak bisa mencampuri proses hukum Jepang. Yang ada di kepolisian kita datangi, yang ada di pengadilan kita dampingi. Buat overstay yang terjaring, kita bantu untuk berikan surat jalan agar bisa pulang. TS: Kemudian sehubungan dengan peringatan 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang, kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh KBRI di Jepang selain kerja sama antar kebun binatang di Indonesia dan Jepang dalam rangka konservasi satwa langka? JA: Itu sudah mulai, selain itu juga di kalangan bisnisman juga sudah mulai ada temu muka. Sebentar lagi ada simposium EPA oleh Keidanren. Lalu ada event-event lain yang mungkin mahasiswa tidak dengar karena tidak menyangkut mahasiswa. Tapi mahasiswa di berbagai daerah sudah demam, banyak festival Indonesia oleh mahasiswa, termasuk di Fukuoka, Oita itu semua oleh mahasiswa. Bagus juga diadakan Temu Ilmiah. Malah nanti di Tokyo Big Sight ada pameran Ecoproduct. Kemarin saya ketemu dengan seorang fashion designer yang terkenal di Jepang, bahkan dunia, Yamamoto Kansai, yang akan mengadakan supershow besar, kolosal di Garuda Wisnu Kencana di Bali tanggal 6 Desember, yang akan melibatkan ribuan orang. Kita harapkan itu akan menarik banyak turis termasuk juga Jepang. TS: Menurut Bapak, sekarang bagaimana pandangan Bapak tentang hubungan Indonesia-Jepang, khususnya dalam hal investasi Jepang yang akhir-akhir ini banyak yang ditujukan ke luar Indonesia. JA: Hubungan akan tetap baik, kunjungan-kunjungan pejabat teras kedua negara juga dilakukan, kunjungan-kunjungan itu meningkat ke level benefit dan kesetaraan. Masalah investasi itu masalah pilihan. Karena negara-negara tetangga kita juga sedang berberbenah diri. Mereka mempercantik diri dan kita kelihatannya kalah cepat cantiknya. Sekarang Vietnam, China, India dianggap lebih cantik, sehingga banyak investasi lari ke sana, dan Indonesia hanya jadi pilihan ke-7. Itu tidak akan tetap dan terus berubah. Suatu saat Indonesia akan di atas lagi. Kita juga terus berbenah supaya iklim investasi lebih kondusif. Bagaimanapun dari tahun 1967 sampai sekarang angka investasi Jepang ke Indonesia masih yang paling tinggi. TS: Dari sisi diplomatik, apa yang dilakukan agar investasi bisa kembali ke Indonesia? JA: Kita tetap mengadakan promosi. Dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kita sering mengundang pengusaha Jepang. Sebentar lagi di Jakarta ada pameran besar Industri Jepang bulan November. Ratusan pengusaha Jepang akan ke sana. Ini juga dalam rangka menarik investor ke sana, serta menyebarluaskan informasi yang paling uptodate mengenai keadaan dalam negeri yang kondusif untuk investasi, lalu peluang-peluang investasi terutama dalam TTI (Trade, Tourism, Investment). Kita (KBRI) adalah ujung tombak Indonesia di Jepang ini, yang melobi parlemen, keidanren dan berbagai institusi ekonomi dan industri, dan kelihatan awareness mereka terhadap Indonesia makin lama makin tinggi. TS: Mengenai EPA, implementasinya bagaimana, apakah sudah mulai? JA: Belum mulai, belum diteken. EPA nya sudah, tapi mengenai pelaksanaannya baru akan ditandatangani. Akan ada simposium besar dengan Keidanren, 400 pengusaha Jepang akan hadir, Mar’ie Pangestu juga akan hadir, lalu juga akan ada temu KADIN Indonesia dan Keidanren.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 100


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

TS: Apa visi KBRI sendiri untuk hubungan Indonesia-Jepang di masa depan? JA: Visi KBRI merupakan visi pemerintah Indonesia juga. Yaitu menjalin hubungan harmonis yang memberikan manfaat untuk kedua belah pihak. Juga tetap menjaga Republik Indonesia sebagai negara kesatuan, apapun juga prinsip itu tidak akan kita korbankan. TS: Tentang bidang pendidikan, apa yang akan dilakukan KBRI khususnya mengenai kesempatan bagi teman-teman Indonesia agar bisa datang belajar ke Jepang, karena porsi jumlah pelajar Vietnam meningkat, sedangkan jumlah pelajar Indonesia stagnan di situ. JA: Lihat trend, tidak pernah mahasiswa Indonesia sebanyak ini sebelumnya. Dulu tidak banyak yang ke Jepang, yang banyak ke Eropa atau Amerika. Kita tidak bisa memaksa orang untuk belajar di sini, tapi dalam beberapa hal kita juga mengupayakan supaya ada kesempatan-kesempatan orang Indonesia untuk belajar di sini melalui jalur-jalur beasiswa dan sebagainya. JICA, Gaimusho, lalu komitmen PM Abe untuk 6000 orang setiap tahun juga tetap ada. Pendidikan itu ada yang formal, tapi juga ada yang non-formal seperti pelatihan, training, kunjungan, dan sebagainya. Sebentar lagi 100 pelajar SMA homestay di sini, itu juga salah satu bagian dari education. Melihat langsung tertib dan bersihnya Jepang. Belum lagi program pertukaran kapal ASEAN, tenaga-tenaga muda yang pintar Indonesia berkumpul, berlayar selama 42 hari ke negara-negara ASEAN. Travel ke Jepang is education. Anda naik Shinkansen, nak subway juga belajar. Jangan jadi katak dalam tempurung. Yang kita lihat adalah nilai-nilai Islami, disiplin, cinta lingkungan, kerja keras, belajar baik yang dipraktekkan oleh orang-orang Jepang, mereka amalkan, kalau kita dipidatokan. Bawa dan terapkan ke orang lain di Indonesia. Orang Jepang juga taat pada pemimpin, dalam Islam pemimpin itu imam. Kitapun harus begitu, jangan �cerutak� sama pemimpin. Jangan hanya karena alasan demokrasi kita halalkan semua cara. Demokrasi itu ada aturannya. Demokrasi itu membawa prosperity, bukan membawa anarki. Sekarang kita lihat, urusan BBM sudah membawa anarki. TS: Mengenai hubungan PPI dengan KBRI, sebaiknya bagaimana, apakah kritik terus, apalagi tadi terkait dengan demokrasi? JA: Demokrasi itu juga ada pakemnya, ada tata kramanya. Kalau ada yang perlu dikritik, dikritik. Kritik itu harus membangun, jangan kritik yang merusak. Karena anda juga warga Indonesia, kalau ada yang perlu-perlu, kita siap bantu. Begitu juga kalau KBRI ada yang perlu dibantu, kita juga minta bantuan mahasiswa. Jadi saling pengertian yang mendalam, yang produktif perlu dikembangkan. Dan ingat mahasiswa itu ada 3 tugasnya. Belajar yang bagus, belajar yang baik, belajar yang giat. Jadi aman, Anda ke sini itu tugasnya untuk belajar, bukan untuk berpolitik. Belajar, cepat kembali, sumbangkan. Pemerintah sangat menghargai ilmu Anda. Tapi pada saat sekarang menghargainya baru bisa segitu, karena gak mampu. Belajar dan belajar.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 101


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

LIPUTAN 50 TAHUN KITA BERSAHABAT Pengantar Penggemar dan peminat budaya Indonesia di Jepang barangkali ada ratusan bahkan ribuan jumlahnya. Beberapa di antaranya mempunyai minat yang sangat dalam kepada tari-tarian tradisional Indonesia, termasuk Ibu Yoko Oshizumi, pendiri dan pelatih tari di Sanggar Tari Bali Surya Metu di Nagoya, Jepang. Sanggar tari ini pun dalam beberapa kegiatan yang terkait dengan PPI Jepang- komsat Nagoya kadang-kadang terlibat, misalnya dalam salah satu acara tahunan di Nagoya University, Festival Nagoya Univeristy atau Meidaisai. Perkenalan saya dengan Ibu Yoko diawali ketika beliau berniat untuk mempelajari Bahasa Indonesia, sekalipun sebenarnya beliau sudah sangat fasih berbahasa Indonesia. Dari beliau saya mendapat pelajaran yang berharga tentang budaya Indonesia. Kadang-kadang saya merasa malu karena beliau lebih paham daripada saya tentang adat istiadat Bali. Saya pun mendapat penjelasan lengkap tentang budaya Jepang dari beliau. Berikut ini adalah tulisan Ibu Yoko tentang peringatan 50 tahun Indonesia-Jepang di Nagoya yang berlangsung selama bulan April dan Mei 2008. Kami, sekalipun sangat terbatas semoga dapat menjadi jembatan kecil yang akan menopang berdirinya jembatan besar yang menghubungkan Indonesia Jepang. (Murni Ramli-Nagoya University, Japan).

TAHUN PERSAHABATAN INDONESIA-JEPANG DI NAGOYA Yoko Oshizumi Sanggar Tari Bali Surya Metu, Nagoya, Jepang

Kebun Higashiyama terletak di bagian timur Nagoya yang merupakan ibu kota prefektur Aichi. Kebun ini mengoleksi lebih dari 500 jenis fauna dan 7000 jenis flora , termasuk beberapa flora dan fauna asli Indonesia. Dalam rangka memperingati 50 tahun hubungan dipromatik Indonesia-Jepang, Kebun Higashiyama mengadakan peringatan bertema “Tahun persahabatan Indonesia-Jepang 2008”. Dalam kesempatan ini pula sanggar tari Bali yang saya kelola, Sanggar tari Bali “Surya Metu” ikut berpartisipasi untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia. Sanggar tari kami memutuskan untuk mementaskan tari-tarian yang menggambarkan kekayaan alam Indonesia, karena kami berharap pementasan ini dapat menambah pengetahuan masyarakat Jepang tentang budaya dan kekayaan alam Indonesia. Kami akhirnya memutuskan untuk mementaskan tiga macam tarian yaitu : 1) Tari Cendrawasih, yang menggambarkan tentang keelokan burung Cenderawasih yang mendiami bagian timur Pulau Lombok. Burung cenderawasih juga merupakan lambang Provinsi Papua. 2) Tari Tiying Gading, yaitu sebuah tarian tentang bambu suci yang dipakai dalam upacara Hindu Bali. 3) Tari Cilinaya, yang merupakan tarian yang menggambarkan gerakan janur (cili) yang digoyang oleh angin. Cili dibuat dari rangkaian daun kelapa muda. Selain ketiga tari di atas yang kesemuanya menggambarkan tentang kekayaan alam Indonesia, kami juga menampilkan tarian Gabor dan Legong Kraton, yang merupakan tarian utama dalam khazanah tari Bali. Tarian ini sekaligus menggambarkan adat istiadat Pulau Bali. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 102


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tari Gabor adalah tari penyambutan yang digambarkan dengan keriangan penari berlenggak-lenggok sambil memegang bokor yang berisi bunga dan melemparkan bunga ke sekitar panggung dan kepada penonton. Bunga merupakan asesoris wajib dalam adat istiadat Bali, dan lemparan bunga dalam Tari Gabor tidak saja bertujuan untuk mensucikan panggung tetapi sekaligus bermakna ucapan terima kasih kepada para penonton. Sedangkan Tari LegongKraton adalah tarian yang paling populer dalam khazanah tari tradisional Bali. Tari ini mengisahkan tentang Prabu Lasem dan Putri Langke Sari. Cuaca pada hari pementasan cerah, tetapi udara panas sekali, saya seakan merasakan suasana musim kemarau di Indonesia, ketika selama beberapa tahun saya tinggal di Surabaya dan Bali. Tetapi udara panas yang menyengat tidak mengurangi antusiasme penonton. Mereka berkumpul di sekeliling panggung terbuka yang dilatarbelakangi panorama hamparan bunga aneka warna. Banyaknya penonton barangkali disebabkan karena saat itu bersamaan dengan liburan seminggu di Jepang yang dikenal dengan sebutan “Golden Week� Sambutan penonton yang mengerumuni panggung kami, dan keindahan bunga-bunga di belakang kami. menyemangati kami untuk menari tanpa merasakan sengatan udara panas hari itu. Seperti biasa, untuk menjelaskan isi dan makna yang terkandung dalam tarian, pembawa acara menjelaskan sedikit kisah di balik tari sebelum pementasan. Dengan begitu, sedikit banyak penonton dapat mengerti dan menikmati rangkaian tarian yang kami bawakan. Kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti ini sangat menyenangkan bagi sanggar tari kami. Dengan persembahan tari-tarian tersebut, kami berharap penonton tumbuh minat dan ketertarikannya tehadap kebudayaan Indonesia. Sebab, banyak di antara penonton yang hadir barangkali tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang budaya Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 103


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

LIPUTAN LAPORAN WORKSHOP STUDI POTENSI MINYAK DAN GAS DI PANTAI BARAT NANGGROE ACEH DARUSSALAM Nagoya University, Japan, 5 Maret 2008 Laporan disusun oleh: Wempi Saputra (Graduate School of Economics, Nagoya University) Agustan (Graduate School of Enviromental Studies, Nagoya University) Pendahuluan Peristiwa gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang menimbulkan bencana tsunami, selain menelan korban jiwa terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia, di lain sisi juga mempunyai hikmah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Karena peristiwa inilah satu-satunya gempa besar yang tercatat secara lengkap dari berbagai instrumen modern, yaitu alat seismometer, gravimeter, pengamatan pasut, penentu posisi dan citra satelit. Dari peristiwa ini, ilmu kebumian menemukan momentum untuk sedikit memahami berbagai proses dinamika bumi. Berbagai survey, penelitian, ekspedisi, pemodelan dan konferensi ilmiah telah dilakukan khusus untuk memahami peristiwa gempa yang di dunia internasional dikenal dengan ’Sumatra-Andaman 2004 Earthquake’, bahkan direncanakan akan berlanjut sampai beberapa tahun ke depan. Survey, penelitian dan ekspedisi yang dilakukan mencakup kawasan daratan, perairan dan udara wilayah Sumatra yang tentu saja melibatkan berbagai wahana dan peralatan yang canggih serta biaya yang sangat mahal. Dari berbagai survey perairan di Samudra Hindia, salah satu hasil yang diperoleh adalah data seismik dan bentuk topografi dasar laut (batimetri) wilayah antara Pulau Simeulue dan pantai barat Sumatra. Dari data ini, beberapa interpretasi dapat dilakukan, dan salah satu di antaranya yang sempat ramai diberitakan di beberapa media cetak adalah ditemukannya potensi minyak dan gas yang sangat besar di wilayah ini. Bertepatan dengan kegiatan International Geodynamics Workshop on South-East Asia 2008 yang diprakarsai oleh Research Center for Seismology, Volcanology and Disaster Mitigation (RSVD) – Nagoya University, beberapa ahli kebumian Indonesia mendapat undangan khusus untuk memberikan gambaran tentang geodinamika Indonesia. Para pakar tersebut adalah:  Dr. Yusuf Surachman Djajadihardja, Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTISDA-BPPT) yang pertama kali menyatakan adanya potensi minyak dan gas terbesar di dunia terdapat di wilayah Aceh;  Bapak Ir. Cecep Subarya, Msurv. dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), yang telah menulis beberapa artikel di Nature dan jurnal ilmiah internasional lainnya tentang geodinamika;  Bapak Prof. Dr. Hasanuddin Zainal Abidin, guru besar ITB bidang Geodesi, penulis beberapa buku tentang Global Positioning System dan peraih beberapa award international dalam bidang survey pemetaan;  Bapak Dr. Fauzi, ahli gempa dan kebumian dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG); dan  Bapak Dr. Agus Handoyo, guru besar ITB dalam bidang Geologi yang juga sarat pengalaman dengan dunia perminyakan. Untuk itu Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang Komisariat Nagoya (PPI Nagoya) bekerjasama dengan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PPI Jepang, tentu saja tidak membuang kesempatan ini untuk mendapatkan gambaran secara langsung dari para ahli tentang fenomena ini melalui sebuah workshop yang diselenggarakan pada tanggal 5 Maret 2008.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 104


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Para pakar kebumian Indonesia berfoto bersama dengan anggota PPI Nagoya. Urutan duduk dari kiri: Pak Fauzi (BMG), Pak Cecep (Bakosurtanal), Pak Yusuf (BPPT), Pak Hasan (ITB) dan Pak Agus (ITB). Sumber foto: Hani Irwan

Potensi Minyak dan Gas di Aceh Pembicara: Dr. Yusuf Surachman Komentator: Dr. Agus Handoyo, Prof. Hasanuddin, Dr. Fauzi dan C. Subarya Msurv. Dimulai dengan Ekspedisi Sea Cause pada tanggal 21 Januari – 25 Februari 2006 yang dilakukan oleh BPPT dan mitra dari Jerman, Bundesanstalt fuer Geowissenschaften und Rohstoffe, yang bertujuan untuk mengetahui fracture zone (zona patahan atau wilayah yang ikut terpengaruh akibat suatu gempa) yang terjadi pasca gempa dan tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, ditemukan beberapa fakta sebagai berikut: 1. Hasil pemetaan sejauh 5.358 km (beberapa lintasan seismik), ditemukan adanya plate boundary (batas lempeng) di bawah Pulau Simeulue yang merupakan fracture zone. Tetapi fracture zone ini bukanlah hasil dari gempa dan tsunami Aceh, melainkan sudah terbentuk jauh sebelumnya (diperkirakan 45 juta tahun yang lalu). 2. Terdapat kemungkinan migrasi hydrocarbon (HC) dengan jarak migrasi 20-25 km dari kitchen area ke carbonate build up (CBU). 3. Kedalaman air di atas CBU diperkirakan 1.100 m dan kedalaman struktur dari dasar laut 500-800 m. Dari beberapa hasil riset di atas, dilakukanlah petroleum modelling, dengan tujuan untuk menentukan apakah hasil migrasi HC mendukung terbentuknya HC di area CBU tersebut. Petroleum modelling dilakukan dengan cara menguji apakah petroleum system requirements (syarat-syarat pembentukan cekungan migas) terpenuhi atau tidak.

Petroleum system requirements: 1. Adanya Trap (cebakan/reservoir): ini terpenuhi dengan ditandai adanya bright spot dan CBU. 2. Source rock (batuan induk) 3. Migrasi (perpindahan HC) 4. Seal (batuan penutup) 5. Suhu untuk pematangan HC.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 105


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Bandaaceh

Pulau Simeulue

Gambar 1. Ilustrasi lokasi daerah yang diindikasikan berpotensi mengandung hidrocarbon Berdasarkan analisis heat flow, diperkirakan di daerah tersebut terdapat suhu untuk pematangan HC (walaupun masih ada perdebatan tentang hal ini). Dr. Agus Handoyo menitikberatkan pada kondisi suhu pematangan ini yang menurut pengetahuan dan pengalaman beliau, tidak memungkinkan untuk mematangkan HC. Hal ini disebabkan bahwa area di bawah Pulau Simeulue merupakan fore arc basin dengan suhu yang amat rendah. Asumsi petroleum modelling: 1. Struktur carbonate membentuk closure 2. Dihitung dengan seismik 2D dan porositas 30% 3. Faktor elongansi tegak lurus terhadap seismik 2D, dengan nilai 0.5-1.5. Hasil petroleum modelling: 1. Bahwa terdapat ruang kosong di dalam CBU dengan volume 17.1 milyar m3 (faktor elongansi 0,5) sampai dengan 51 milyar m3 (faktor elongansi 1.5) 2. Bila benar ruang kosong tersebut berisi oleh HC, maka potensi volumenya sebesar 100-300 milyar barrel (1 m3 = 6,29 barrel) 3. Bisa saja ruang kosong tersebut berisi air/gas/biogenic/atau udara.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 106


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Kesimpulan: 1. Bahwa potensi (bukan cadangan) sumber migas yang berada di bawah Pulau Simeulue merupakan hasil petroleum modelling dan belum menjadi cekungan migas yang sudah terbukti. 2. Potensi tersebut perlu dibuktikan dengan drilling di daerah CBU (kesepakatan Dr. Yusuf dengan para panelis yang lain). Penutup Perlu upaya-upaya lanjutan untuk membuktikan kebenaran potensi cekungan migas tersebut diatas dengan beberapa langkah: 1. Survey seismik 2D dan 3D 2. Survey gravitasi 3. Geomagnetic 4. Bathimetry 5. Sampling sedimen 6. Geokimia 7. Deep penetration magneto technic 8. Exploration drilling Sayangnya biaya yang dibutuhkan untuk langkah-langkah ini sangatlah mahal (mis: biaya sewa kapal yang mampu untuk mengebor sedalam 2.500 m sebesar 500.000 USD per hari). Dr. Yusuf menekankan agar kita semua dan khususnya Pemerintah RI berani mengambil resiko untuk pembuktian penemuan di atas, apakah memang benar potensi tersebut ada atau tidak. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menjalin kerjasama dengan ’Chikyu’ Jepang yang mempunyai kemampuan melakukan pengeboran di laut dalam yang diharapkan dapat direalisasikan dalam beberapa tahun ke depan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 107


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

LIPUTAN SAST 2008: DARI EPA INDONESIA-JEPANG, FITUR KEBIJAKAN PANGAN NEGARA-NEGARA ASEAN, PERSPEKTIF LINGKUNGAN DALAM PERTANIAN, HINGGA PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN Tatang Sopian1,*, M. Nasrul Pradana2,*, Davin H. E. Setiamarga3, Widyanto Dwi Nugroho1, Subejo3 1

2

3

Tokyo University of Agriculture and Technology ; Tokyo University of Agriculture ; University of Tokyo ; * Tim liputan SAST 2008 E-mail: sast2008@yahoo.com ; iasa-online@gmail.com

Dengan membawakan tema ‘Optimizing national resources management to increase Indonesia’s international competitiveness: a perspective of the agriculture, environment science and technology’, pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2008, Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang Koordinator Daerah Kanto (PPI Kanto) bekerjasama dengan Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA) menyelenggarakan kegiatan ‘Symposium on Agriculture, Science and Technology’ tahun 2008 (SAST 2008), bertempat di Tokyo University of Agriculture, Tokyo, Jepang. Bagi IASA penyelenggaraan simposium ini merupakan penyelenggaraan yang kedelapan kalinya melanjutkan simposium sebelumnya tahun 2005 di tempat yang sama (baca: Inovasi Vol.4/XVII/Agustus 2005 SAS 2005 : "Indonesia adalah Pengimpor Produk Hortikultura").

Gb.1. Spanduk SAST 2008 di depan gedung (atas) dan di dalam gedung (bawah) tempat berlangsungnya simposium

Pada kesempatan simposium kali ini, empat orang pembicara utama ditampilkan dalam Pleanary Lectures, 27 buah makalah dipresentasikan dalam 2 kelompok Parallel Session, dan 10 buah makalah ditampilkan dalam Poster Session. Peserta yang berpartisipasi terdiri dari pelajar dan peneliti di beberapa universitas yang ada di wilayah Kanto – Jepang yaitu di antaranya University of Tokyo , Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMST), Ibaraki University, Utsunomiya University dan tuan rumah Tokyo University of Agriculture (TUA). Sebagian para peserta membawa nama afiliasi institusinya di Indonesia di antaranya yaitu Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga, Universitas Lampung, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Andalas, CIFOR, BAPPENAS, Departemen Perikanan dan Kelautan, serta instansi kehutanan daerah.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 108


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Gb.2. Rektor Tokyo University of Agriculture (kiri) dan Wakil Kepala Perwakilan RI (kanan) memberikan sambutan pembukaan

Dalam plenary session hadir Wakil Kepala Perwakilan RI, Ronny P. Yuliantoro dan pejabat di lingkungan KBRI-Tokyo, diplomat dari negara-negara ASEAN, pejabat dari Badan Litbang Departemen Perdagangan, pejabat dari Japan Agriculture Exchange Council (JAEC), Rektor dan para akademisi di lingkup TUA, serta undangan, donatur dan sponsor SAST 2008. Plenary session ini didahului dengan penyampaian laporan dari Ketua Panitia M. Nasrul Pradana, dan sambutan oleh Rektor Tokyo University of Agriculture, lalu dibuka secara resmi oleh Dubes RI untuk Jepang yang pembacaannya diwakili oleh Wakil Kepala Perwakilan RI. 1. IJ-EPA: Optimisme Penguatan Ekonomi Kedua Negara Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Indonesia-Jepang atau yang dikenal dengan sebutan IJ-EPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) yang telah ditandatangani tanggal 20 Agustus 2007 tahun lalu oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe, diharapkan akan mampu meningkatkan perekonomian kedua negara. Di pihak Indonesia, IJ-EPA ini diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke Jepang, meningkatkan investasi Jepang ke Indonesia, serta meningkatkan kapasitas dan kemampuan kompetitif industri Indonesia. Optimisme ini mengemuka saat pemaparan makalah utama dalam Plenary Lectures yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan Badan Litbang Departemen Perdagangan, Dr. Andin Hadiyanto. Dr. Andin Hadiyanto yang merupakan alumnus GSID Nagoya University, dalam pemaparan makalahnya, mengemukakan rincian yang merupakan hasil analisis simulasi model ekonomi. Dalam rincian tersebut, Dr. Andin Hadiyanto menyebutkan bahwa penghapusan atau pengurangan tarif perdagangan dalam kesepakatan yang tertuang IJ-EPA akan memberikan peningkatan GDP bagi Indonesia sebesar 3,01 persen dan Jepang sebesar 0,06 persen.

Gb.3. Dr. Andin Hadiyanto sedang menyampaikan makalahnya tentang IJ-EPA

Di samping itu diperhitungkan bahwa ekspor Indonesia akan meningkat sebesar 4,68 persen dan ekspor Jepang meningkat sebesar 0,41 persen. Sementara dari aktivitas bursa saham, Indonesia akan memperoleh peningkatan sebesar 5,38 persen dan Jepang memperoleh peningkatan sebesar 0,05 persen. Pemaparan dari Dr. Andin ini memberikan suasana persiapan menjelang diberlakukannya IJ-EPA yang jatuh pada tanggal 1 Juli 2008 yang akan datang.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

2. Perlunya Reformasi Kebijakan Pangan ASEAN Dalam Plenary Lectures SAST 2008 tampil berbicara pula Dr. Keishiro Itagaki, profesor bidang pembangunan pertanian internasional pada Tokyo University of Agriculture. Profesor Itagaki mengemukakan sebuah kasus tentang kebijakan reformasi pangan beras pada masa transisi di Asia umumnya dan ASEAN khususnya dalam makalah yang berjudul ‘Rice policy reform in Asia under transitional period: in reference to ASEAN economic community’. Berangkat dari keprihatinan meningkatnya harga pangan dunia termasuk beras yang berimplikasi pada instabilitas perekonomian di berbagai negara, Profesor Itagaki memaparkan pentingnya rencana aksi bersama negara-negara anggota komunitas ekonomi ASEAN atau AEC (ASEAN Economic Community) untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran pangan sekaligus stabilisasi harga pangan beras di wilayah regional ini.

Gb.4. Profesor K. Itagaki mengusulkan perlunya reformasi kebijakan pangan beras di ASEAN dalam pemaparan makalahnya

Dalam paparan makalahnya ini Profesor Itagaki memberikan tiga perspektif terkait kebijakan reformasi pangan beras AEC yaitu: 1) fitur-fitur perbandingan kebijakan pangan di negaranegara produsen beras AEC ; 2) kecenderungan umum kebijakan pangan beras AEC ; dan 3) kerjasama saling menguntungkan yang diperlukan dalam AEC. Menurut Profesor Itagaki, Indonesia, Malaysia dan Filipina memiliki fitur kebijakan beras yang cenderung memproduksi beras untuk kebutuhan sendiri, meningkatkan cadangan beras dan menurunkan beras impor, sedangkan di sisi lain pemerintah ketiga negara berusaha membantu ekonomi konsumen melalui stabilisasi harga beras. Kamboja, Laos dan Myanmar disebutkan oleh Profesor Itagaki, masih berada pada tahap pembangunan infrastuktur produksi padi seperti irigasi dan perluasan lahan, serta peningkatan kapasitas seperti sumber daya manusia (SDM) dan pembangunan institusi. Keenam Negara ASEAN ini memiliki kesamaan dalam hal upaya pemerintahnya menstimulasi keinginan berproduksi petani di negara-negara tersebut melalui dukungan penetapan harga beras, subsidi sarana produksi dan penyuluhan pertanian untuk menyebarkan informasi teknologi baru. Profesor Itagaki juga menjelaskan bahwa, dua negara lain di ASEAN yang merupakan eksportir utama beras dunia yaitu Thailand dan Vietnam mempunyai kecenderungan memperbesar pasar beras dunia, meningkatkan harga dengan berupaya meningkatkan kualitas beras, serta berkonsentrasi mendukung petani di pusat produksi utama secara politis maupun melalui sumber daya produksi. Hal lain yang disampaikan oleh Profesor Itagaki adalah peran Jepang dalam berkontribusi untuk ketahanan pangan beras di Asia umumnya. Jepang sebagaimana juga dengan Korea Selatan dan China diketahui merupakan negara yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Fitur kebijakan beras di ketiga negara ini adalah cenderung berkonsentrasi mendukung petani di pusat produksi utama secara politis maupun melalui sumber daya produksi. Pemerintah ketiga negara ini cenderung melepaskan keseimbangan permintaan dan penawaran pada mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah terkecuali jika terjadi penurunan harga beras, pemerintahnya langsung melakukan kebijakan pembayaran langsung (direct income payment). Sehubungan dengan fitur dan kecenderungan kebijakan negara Jepang, Profesor Itagaki memandang bahwa negara Jepang perlu mempertimbangkan pelayanan terhadap outlet pasar beras yang masuk ke Jepang, menyediakan modal untuk membangun cadangan beras yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

cukup untuk regional Asia, menyebarkan teknologi mengenai peningkatan produksi dan kualitas beras, memberikan saran dan bantuan rehabilitasi fasilitas irigasi, membangun basis data sumber daya genetik dan persediaan benih padi, mengumpulkan dan diseminasi informasi dini mengenai permintaan dan penawaran beras di Asia, serta membagi pengalaman kepada negara-negara di Asia tentang kebijakan pangan beras di Jepang dalam sisi positif dan negatifnya. 3. Perspektif Lingkungan dalam Pertanian dan Pengembangan SDM Dr. Taro Adati dan Mr. Ryoji Sakamoto melengkapi pembicaraan di dalam Plenary Lecture di SAST 2008 ini, dengan mengemukakan kasus yang dilakukan dalam pekerjaannya masingmasing. Dr. Adati, yang merupakan Asisten Profesor bidang perlindungan tanaman tropis Tokyo University of Agriculture, mengungkapkan studi kasus di berbagai negara di Afrika dan Asia (termasuk Indonesia) tentang perlindungan sumberdaya alam dalam perspektif ilmu pengetahuan alam, sedangkan Mr. Sakamoto, yang merupakan Kepala Divisi Operasional JAEC (Japan Agriculture Exchange Council) menyampaikan uraian tentang program pelatihan pemuda tani di Jepang sebagai bentuk kerjasama bilateral yang melibatkan pemuda-pemudi dari berbagai negara khususnya dari negara-negara ASEAN. Melalui makalah yang berjudul ‘Natural resources protection based on natural science perspective: functions of environmental conservation in indigenous agriculture’, Dr. Adati memberikan contoh pola pertanian indigenous tradisional seperti sistem chitemene di Zambia, tumpang sari (mixed cropping) di Nigeria dan Indonesia, dan strategi ‘push-pull’ di Kenya. Pola pertanian indigenous mempunyai nilai positif dan negatif khususnya dalam pengaruhnya terhadap lingkungan dan Dr. Adati menganggap bahwa pola pertanian indigenous masih sesuai di era pertanian modern ini.

Gb.4. Dr. T. Adati (kiri) dan Mr. R. Sakamoto sedang memaparkan makalahnya masing-masing

Mr. Sakamoto dalam makalahnya yang berjudul ‘ASEAN young farmers apprenticeship program: agricultural human resources development through “learning by doing”’ mencoba melaporkan program kedua yang dilaksanakan oleh JAEC untuk melatih petani muda dari ASEAN yang diharapkan menjadi pemimpin di bidang pertanian di negaranya masing-masing. Dalam program tersebut Mr. Sakamoto mendeskripsikan aktifitas yang dilakukan oleh para petani muda tersebut, yaitu : melaksanakan pelatihan dasar, melaksanakan penugasan dan praktek di lapangan pertanian, melaksanakan proyek mandiri penelitian pertanian, studi akademis tentang pertanian Jepang, melaksanakan program ekskursion, serta melaksanakan orientasi akhir dan membuat laporan. Penutup Penyelenggaraan SAST 2008 ini cukup mendapatkan apresiasi dari pihak tuan rumah Tokyo University of Agriculture sebagaimana disampaikan dalam penutupan kegiatan ini oleh Prof. Monma (advisor kegiatan SAST 2008) yang memandang bahwa penyelenggaraan simposium semacam ini tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan pertemuan perhimpunan ilmiah (‘gakkai’) di Jepang. Di samping itu pula isu-isu yang diangkat dalam plenary session cukup Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

sesuai dengan kondisi yang terjadi di dunia pada saat ini. Diharapkan kegiatan semacam ini dapat memberikan manfaat lebih nyata baik bagi peserta khususnya maupun masyarakat umumnya.

Gb.5. Wakil Kepala Perwakilan RI, Rektor Tokyo University of Agriculture, para pembicara utama dan undangan berfoto bersama dengan peserta (atas) dan panitia (bawah)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia


INOVASI Vol.10/XX/Maret 2008

Susunan Dewan Redaksi Inovasi

Penanggung Jawab

Ketua PPI-Jepang (Deddy Nur Zaman)

Pemimpin Redaksi

Sorja Koesuma

Redaktur Murni Ramli Bambang Widyantoro Nufransa Wira Sakti Agustan Konsultan Bahasa

Imelda

Produksi

Aries Setiawan

Cover

Atri Singgih (Foto) Nufransa Wira Sakti (Setting)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

113


Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.