PABITARA VERSI XVI

Pabitara

MAJALAH BUDAYA SULAWESI TENGGARA EDISI XVI - 2018

TAMPA WARISANO BUDAYA NIBOKOLINO KASULTANA BUTON SITUS CAGAR BUDAYA PENINGGALAN KESULTANAN BUTON

Kombu bhe Robhine Rongi Kombu dan Perempuan Rongi

Pengantar Redakasi Salam senyum, Pabitara Majalah Budaya Sulawesi Tenggara Pengarah dan Penanggung Jawab Kepala Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara Pemimpin Redaksi Firman A.D. Tim Redaksi Heksa Biopsi Puji Hastuti Mulawati Zakiyah M. Husba Penyunting Uniawati Sukmawati Desain Grafis Nina Ekawati Putut Tedjo Saksono Fotografer La Ode Yusri Ilustrator Aridal Sekretaris Redaksi Riskawaty Nurmiyanti Penulis Firman A.D. Mulawati La Ode Yusri Anakia Amiruddin Ena Rahmawati Sukmawati Uniawati Heksa Biopsi Puji Hastuti Dermawan Suryananda Penerjemah Evaria Amiruddin Ena Samlan Dermawan Suryananda Nur Aida Habubu La Untu Nisa Nasyra Rezki Nur Aida Habubu Sarpin Foto Sampul La Ode Yusri Foto Isi La Ode Yusri Aqsa Sumber lainnya Alamat Redaksi Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja Anduonohu, Kendari 93231 Telepon (0401) 3135289, 3135287 Faksimile (0401) 3135286 Pos-el: majalahpabitara.kbhs@gmail.com ISSN: 2088-1614

Majalah Pabitara kembali hadir di tengah pembaca dengan semangat yang tidak pernah luntur untuk mengembangkan dan menyebarkan informasi budaya, bahasa, dan sastra.

Ucapan syukur menjadi kalam utama untuk meluapkan perasaan bahagia dari tim redaksi Majalah Pabitara. Terbitnya edisi XVI ini menjadi bukti kekonsistenan tim redaksi dalam mengemban tugas untuk terus melestarikan dan mengembangkan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tenggara. Tulisan-tulisan dalam majalah ini dikemas dalam dua versi bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Hadirnya bahasa daerah dalam majalah ini menjadi ciri pembeda dengan majalah budaya lain.

Majalah Pabitara tetap konsisten untuk mendukung promosi dan penyebarluasan informasi budaya, bahasa, dan sastra daerah di Sulawesi Tenggara. Informasi yang disajikan pun dalam setiap edisi sangat bervariasi. Kami berupaya menyajikan informasi budaya yang melingkupi semua budaya, etnis, dan penutur bahasa yang ada di Sulawesi Tenggara. Melalui tulisan-tulisan yang tersaji dalam majalah ini diharapkan masyarakat dapat memberikan andil dalam melestarikan budaya, bahasa, dan sastra yang mereka miliki.

Beberapa tulisan yang tersaji dalam kolom-kolom Pabitara menyajikan beragam informasi.

Topik-topik lokalitas Sulawesi Tenggara tetap menjadi perhatian utama. Informasi mengenai warisan bangunan Kesultanan Buton termuat dalam “Situs Cagar Budaya Peninggalan Kesultanan Buton” yang ditulis oleh Firman A.D. Berikutnya, “Kombu dan Perempuan Rongi”, ditulis oleh Mulawati, mendeskripsikan perempuan Rongi yang masih memanfaatkan kombu dalam melakukan aktivitas. Tulisan unik selanjutnya dapat dibaca dalam “Mereka yang Berkawan dengan Bunian” yang diracik oleh La Ode Yusri. Tulisan ini berusaha menelusuri keberadaan manusia bunian di Buton. Kepedulian Anakia terhadap alam dan lingkungan dapat dibaca dalam artikelnya yang berjudul “Menjaga Kawasan Seribu Mata Air Tahura Nipanipa”.

Selanjutnya, Amiruddin Ena membawa pembaca dalam sebuah kisah cerita rakyat “Tegasu Malei” yang sarat dengan nilai moral. “Tarian Tradisional dalam Tradisi Matagalampa di Rongi” ditulis oleh Rahmawati membawa pembaca ke suasana pelaksanaan upacara adat di Rongi.

Tulisan selanjutnya membawa pembaca lebih mengenal salah satu permainan rakyat Muna, “Kaghati Kolope, Permainan Tradisional Masyarakat Muna”, yang ditulis oleh Sukmawati.

“Legenda La Ode Wuna”, yang ditulis oleh Uniawati, menceritakan fenomena munculnya ular besar yang dikaitkan dengan cerita rakyat. Berikutnya, tradisi masyarakat Rongi untuk bersilaturahmi termuat dalam “Matagalampa, Momen Orang Rongi Berhimpun”, ditulis oleh Heksa Biopsi P.H. Berpantun juga tidak lepas dari keseharian masyarakat Wawonii. Artikel terkait dapat dinikmati dalam “Syarat dan Cara Membuat Pantun Wawonii” dan “Inilah Contoh Pantun Wawonii” yang ditulis oleh Dermawan Suryananda.

Sajian beberapa tulisan tersebut dapat menambah dan melengkapi informasi pembaca mengenai Sulawesi Tenggara. Bagi peminat, pemerhati, dan peneliti bahasa, keberagaman bahasa daerah dalam Majalah Pabitara dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji, dianalisis, dan diurai. Dukungan foto dan ilustrasi yang tertata apik menjadi salah satu daya tarik.

Kami menyampaikan terima kasih kepada para penyumbang tulisan, para penerjemah, kontributor foto dan pemilik foto, illustrator, percetakan Salsa Grafika yang telah membantu menata secara elegan Majalah Pabitara, dan para pembaca. Unsur-unsur inilah yang membangun dan menopang Pabitara sehingga masih dapat eksis sampai hari ini. Dukungan, partisipasi, dan kritikan dari semua unsur tersebut tetap kami harapkan demi kesempurnaan edisi-edisi berikutnya.

Melalui kerja kreatif dan kerja literasi yang berkesinambungan, kami meyakini bahwa budaya, seni, wisata, bahasa, dan sastra daerah Sulawesi Tenggara akan tetap lestari dan jadi kebanggaan.

Selamat menyelami budaya Sulawesi Tenggara dan salam literasi.

2

Pabitara

Redaktur

Daftar Isi

4

10

TAMPA WARISANO BUDAYA NIBOKOLINO KASULTANA BUTON

16 MIYA MO’ANDEANO MAYI BUNIAN

KOMBU BHE ROBHINE RONGI KOMBU DAN PEREMPUAN RONGI

MEREKA YANG BERKAWAN DENGAN BUNIAN

Penulis: Mulawati Penerjemah Bahasa Muna: Samlan

SITUS CAGAR BUDAYA PENINGGALAN KESULTANAN BUTON

Penulis: La Ode Yusri Penerjemah Bahasa Ciacia: Sarpin

Penulis: Firman A.D. Penerjemah Bahasa Ciacia: Sarpin

20

24

TULATULA: TEGASU MALEI

MODAGAI KAWASAN ASOSOWU MATAIWOI TAHURA NIPA-NIPA

TEGASU MALEI (KEPITING KENARI)

MENJAGA KAWASAN SERIBU MATA AIR TAHURA NIPANIPA

Penulis: Amiruddin Ena

Penulis: Anakia

Penerjemah Bahasa Wolio: Amiruddin Ena

Penerjemah Bahasa Tolaki: Nur Aida Habubu

32

TARIAN TRADISIONAL YITRADISI MATAGALAMPA YI RONGI

36

40

KAGHATI KOLOPE KALAALAMBU NGKODAU MIENO WUNA

TE TULA-TULA LA ODHE WUNA LEGENDA LA ODE WUNA

KAGHATI KOLOPE PERMAIAN TRADISIONAL MASYARAKAT MUNA

TARIAN TRADISIONAL DALAM TRADISI MATOGALAMPA DI RONGI

Penulis: Uniawati Penerjemah Bahasa Wakatobi: La Untu

Penulis: Sukmawati Penerjemah Bahasa Muna: Samlan

Penulis: Rahmawati Penerjemah Bahasa Wolio: Evaria

61

54

SARA RONGA CARANO MOMBEWEU PANTO LARONO TAE TO WAWONII

MATAGALAMPA, SABABUNO KAI PEKOMPULU MIANO I RONGI MATOGALAMPA, MOMEN ORANG RONGI BERHIMPUN

SYARAT DAN CARA MEMBUAT PANTUN WAWONII

Penulis: Heksa Biopsi Puji Hastuti

Penulis: Dermawan Suryananda

Penerjemah Bahasa Moronene: Nisa Nasyra Rezki

61

Penerjemah Bahasa Kulisusu: Dermawan Suryananda

YAHAKO IRAMO CONTOCONTONO PANTO WAWONII (INILAH CONTOH PANTUN WAWONII)

Penulis : Dermawan Suryananda Penerjemah Bahasa Kulisusu : Dermawan Suryananda

Pabitara MAJALAH BUDAYA SULAWESI TENGGARA EDISI XV - 2018

Pabitara

3

TAMPA WARISANO BUDAYA NIBOKOLINO KASULTANA BUTON SITUS CAGAR BUDAYA PENINGGALAN KESULTANAN BUTON Penulis: Firman A.D. Penerjemah Bahasa Ciacia: Sarpin

Menjelang Salat Jumat di Masjid Keraton Buton Foto : La Ode Yusri

4

Pabitara

K

esultanan Buton ane’e ilalono wutano Buton, kotaro Tanggara wutano Sulawesi.

I awaluno kongea Kerajaan Buton hadimo nomaso Isilamu nogantimo pijare Kesultana nokongea siemo’ana Kesultana Buton.

Yasono sajara kajumayano Karajaan/Kesultana Buton imolengono ane’epo jari tamita’e sakara’ana. I kota Bau-Bau, pusatno pamarinta Kesultana, ane’e picu lawa mayi puluno uka i wuta kokodi i lepelepeno wutano Buton. rike’e yari nojari buktii wutano Buton jari tangumea siye Liwu Ariwu Lawa.

Lawa Keraton Wolio Ane’e uka kajumayano amea karajaan/ kasultana mina’aso notade lawa aso mijarino pusati pamarintahan, tampa pihoko’yano miya mina’aso sarangano bhali, mayi tampa komingkuyano miyanto’aru.

Lawa Keraton Wolio yarii lawa kumapoyino lawa-lawa kokodi mane’eno i lalono. Lawa iya’ari nobangue mina’aso jamanino pamarintahano Sultani Buton III, La Sangaji (abad15). Nopo’oli bangue i’jamanino pamarintahano Sultani Buton VI, La Buke, i’taku 1634. Molengono, lawa iya’ari pijari

K

Sejarah

esultanan Buton terletak di Pulau Buton, bagian tenggara Pulau Sulawesi.

Pada awalnya bernama Kerajaan Buton dan setelah masuknya Islam berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Jejak-jejak sejarah kejayaan Kerajaan/Kesultanan Buton masa lalu masih dapat dilihat sampai saat ini. Di Kota Baubau, sebagai pusat pemerintahan kesultanan, terdapat tujuh benteng dan puluhan lainnya tersebar di berbagai pulau kecil di sekitar Pulau Buton. Hal tersebut dapat menjadi bukti bahwa Pulau Buton layak dijuluki sebagai Negeri Seribu Benteng.

Benteng Keraton Wolio Salah satu bentuk kejayaan sebuah kerajaan/kesultanan adalah dengan didirikannya benteng yang menjadi pusat pemerintahan, tempat perlindungan dari serangan musuh, dan tempat berlangsungnya aktivitas masyarakat. Benteng Keraton Wolio merupakan benteng yang melingkupi semua benteng-benteng kecil yang ada di dalamnya. Benteng tersebut dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton III, La Sangaji (abad ke-15).

Pembagunannya rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton VI, La Buke, pada 1634.

Dahulu, benteng tersebut menjadi pusat kegiatan

Pabitara

5

pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar Islam. Kegiatan syiar Islam terjadi tepatnya setelah bentuk pemerintahan di wilayah ini berubah dari kerajaan menjadi kesultanan pada masa pemerintahan Raja Buton VI, Lakilaponto, yang berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.

Selain pusat pemerintahan, bagian dari benteng tersebut juga menjadi lokasi permukiman. Hal tersebut dimungkinkan karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400 ribu meter persegi dan dikelilingi dinding sepanjang 2740 meter. Tinggi tembok benteng antara 2—8 meter dan lebarnya 1—2 meter.

Ada beberapa benteng penyangga dari Benteng Keraton Wolio, di antaranya Benteng Sorawolio.

Benteng Sorawolio I Benteng Sorawolio I terletak di Kelurahan Bukit Wolio Indah, lingkungan Wurahabake, sekitar 3 km arah selatan pusat Kota Baubau.

Benteng ini mempunyai batas sebelah utara dengan lembah dan perkampungan penduduk, sebelah timur dengan jalan raya, sebelah selatan dengan Benteng Sorawaolio II dan sebelah barat dengan Kali Baubau.

Benteng Sorawolio I mempunyai bentuk denah dasar persegi tidak beraturan yang pola dasarnya mengikuti kontur tanah menghadap ke timur. Dinding benteng dibuat dari susunan batu gunung karang berpori besar dengan perkiraan menggunakan bahan pasir dan kapur. Pada dinding bagian utara, barat, dan selatan terdapat bastion berbentuk segitiga dan dinding sebelah timur bagian tengah terdapat bastion persegi empat. Di dalam benteng terdapat beberapa makam kuno yang bercorak Islam. Pada bagian luar dinding benteng sebelah timur terdapat parit pertahanan dengan lebar 3 meter, kedalaman 2 meter yang sudah mengering dan diperkirakan bersambung dengan parit di depan dinding Benteng Sorawolio II. Benteng Sorawolio II Jarak Benteng Sorawolio II kurang lebih 150 meter dari Benteng Sorawolio I ke arah selatan dengan

6

Pabitara

pusatino pamarintahan, podaga’a, pikampoa, mayi pangajara’ano Isilamu. pi’ajara’ano Isilamu mina’aso pamarintahano liwu iya’ana ciganti mina’aso karajaan pijari kasultanan ijamani pamarintahano Raja Buton VI, Lakilaponto, noganti ngea pijari Sultani Murhum Kaimuddin Khalifatul. Ciano wite pusati pamarintahan, i lawa iya’ari uka tampa horota’ano miya.

Rike’eyari cia namo’apa sie pantea ane’e lawa mahewa, ayipo 400 riwu metere palici’isie karindi kako’ata 2740 metere. Kacinggino karindino lawa ayipo ane’e 2-8 metere mayi kalewa 1-2 metere. Ane’e uka lawa sumorano Lawa Keraton Buton, kongeasiye Lawa Sorawolio.

Lawa Sorawolio I Lawa Sorawolio i lalono Kaluraha Bukit Wolio Indah, lingkungano Wurahabake, ayipo 3 km poyaro salata Kota Baubau. Lawa iya’ana pobatasi aso mayi gunu mayi kampunga, kotaro cimburu mayi sitarati, kotaro salata mayi Lawa Sorawolio II mayi kotara bhara mayi we’e wuluno Baubau. Lawa Sorawolio I ane’e mayi pandasi cia ci’atoro nohokolo wutano poyaro cimburu. Karindino lawa mina’aso lokono gunu kokalomba to’owa ayipo mina’aso hone mayi kapuru. I karindi kotarono utara, bara, mayi salata ane’e bastion mangkoko’ata. Ilalono lawa ane’e mayikoburu molengo isilamu. Iluarano karindino lawa kotaro cimburu lomayi ane’e ka’ela kalewa 3 metere, kakondalo 2 metere nokari’imo ayipo’yari nopolosa mayi ka’ela i haroyano Lawa Sorawolio II. Lawa Sorawolio II Kambilaino Lawa Sorawolio II ayipo 150 metere mina’aso Lawa Sorawolio I porope salata mayi batasino tampa poita mayi Lawa Sorawolio I. Pandasino lawa pato wala bamangkoko’ata poyaro cimburu. karindino lawa uka cisusu pake lokono gunu kokakalomba ayipo mina’aso kapuru mayi hone. I karindi cimburu kotarono pinggiri utara mayi pinggiri salata ane’e bastion mabobolu mayi ane’e kambabalono aso tampano maria.

Kahompo masoa ane’e dorua, ikotaro

Sejarah batas situs sama dengan Benteng Sorawolio I. Bentuk denah dasar benteng adalah empat persegi panjang menghadap ke timur. Dinding benteng juga disusun menggunakan jenis batu gunung karang berpori besar dengan perkiraan menggunakan bahan kapur dan pasir. Pada dinding timur sudut utara dan sudut selatan terdapat bastion berbentuk lingkaran dan diberi jendela sebagai tempat

tonga, amea-amea ane’e ikarindi cimburu mayi bara. Ampalingano’yari, karindi ikotarono lalo pake turap aso lala malici aso pijaga’a. I kotaro cimburu karindino lawa ane’e uka ka’ela kalewa 3 metere mayi kakondalo 2 metere.

Masigi Molengo Sorawolio Masigi Molengo Sorawolio itontongano Lawa Sorawolio I mayi

meriam. Pintu masuk benteng ada dua, yaitu pada bagian tengah, masing masing ada di dinding timur dan barat. Awalnya, dinding benteng bagian dalam memakai turap yang berfungsi sebagai jalan keliling untuk melakukan kontrol. Di sisi timur dinding benteng juga terdapat parit pertahanan selebar 3 meter dan kedalaman 2 meter.

Pintu Masuk Masjid Keraton Buton Foto : La Ode Yusri

Pabitara

7

Masjid Tua Sorawolio Masjid Tua Sorawolio berada di tengah kawasan antara Benteng Sorawolio I dan Benteng Sorawolio II. Masjid ini diperkiraan dibangun pada abad ke-17, setelah Benteng Sorawolio dibangun, sebagai tempat ibadah dan kegiatan keagamaan yang lain. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Buton ke-19, yaitu Langkariry (1712—1750) atas prakarsa Syarif Muhammad, seorang mubalig dan juga imam besar masjid yang diangkat oleh sultan.

Bentuk masjid berupa struktur dinding yang dibuat dari susunan batu gamping dan diplester. Masjid ini mempunyai denah dasar berbentuk segi empat yang pada bagian baratnya terdapat ruang kecil yang bebentuk segi empat dan berfungsi sebagai mihrab. Pintu masuk hanya satu buah yang diperkirakan berada pada dinding sebelah timur. Jendela ada dua buah, yaitu pada sisi utara dan selatan serta mempunyai lubang angin yang bebentuk segi empat yang berada pada sisi kanan dan kiri mihrab. Pada bagian luar masjid diperkirakan terdapat teras yang mengelilingi masjid.

Ciri khas masjid tersebut adalah adanya gua atau lubang, tempat imam masjid, Syarif Muhammad, mendengar suara azan. Lubang ini kemudian dijadikan sebagai tempat mihrab dan mulut lubang dijadikan sebagai tempat sujud bagi imam.

Ciri lainnya, yaitu masjid-masjid kuno pada umumnya memiliki tingkap yang meruncing. Atap masjid dipengaruhi oleh arsitektur rumah adat Buton. Keunikannya dapat dilihat dari sisi utara atau selatan yang bentuk tingkapnya terlihat rata.

Namun, jika dilihat dari sisi timur dan barat, barulah tingkapnya terlihat meruncing.

Kasulana Tombi (Tiang Bendera) Kasulana Tombi didirikan pada akhir abad ke-17 pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Darul Alam. Tiang bendera ini bertujuan mengibarkan bendera Kesultanan Buton yang dikenal dengan Longalonga. Bahan tiang bendera terbuat dari kayu jati dengan ketinggian 21 meter

8

Pabitara

Lawa Sorawolio II. Masigi iya’an nopontade’e ayipo i’abad ke-17, po’oli Lawa Sorawolio notade, aso tampa sambaheya’a mayi aso pa’agama’a aga’ano. Masigi iya’ana notade i’jamanino Sultani Buton ke-19, Langkariry (1712-1750) mina aso hadano Syarif Muhammad, miya sumebarino agama mayi Imamuno masigi nopalemba’isie Sultani.

Modeleno karindi masigi nopigau’e mina’aso loko gamping nipalastere. masigi iya’ana pandasino patowala ikotarono bara ane’e mayi ruanga kokodi patowala aso mihrab. O’bhobhano hawite amea ayipo nokotaro i’karindi cimburu. kambabhalo ane’e dorua, mina aso utara mayi salata mayi uka ane’e kalombano ngoyi patowala ikotaro sauna mayi isumbalino mihrab.

I’luara masigi lomayi ayipo ane’e mayi teras palicino masigi.

Tandano hake masigi’yari ane’e mayi lia ancia kalomba, tampano Imamu masigi, Syarif Muhammad, pindongo suarano bangu. Kalomba nake’eyana mo’oli nopijarimo tampa mihrab muyi bobano kalomba pijari sie tampa sujuano imamu. Tanda aga’ano, masigi-masigi molengo’yari ane’e mayi tingkap montaro. Hatono masigi nopengaruhie gambarano ka’ana adatino Buton. Ku’unikanno jari tamita’e mina’aso i’sisi utara ancia salata yajono tigkapno ko’ita’a norata. Hadimo, ane’e tamita’e mina aso i cimburu mayi i bara, makatamo tingkapno ko’ita’a montaro.

Kasulana Tombi (Tiang Bendera) Kasulana Tombi nopontade’e ipacimburiyano abad ke-17 jamani pamarintano Sultan Sakiudin Darul Alam. Kacubo Bandera iya’ana aso pakibara’ano bandera Kasultanan Buton tokonie mayi longa-longa.

Kacubono Bandera pigayu’e mina’aso sayu jati kacinggi 21 metere mina’aso i wuta. I taku 1870an, i’jamanino pamarinta Sultan Muhammad Isa Kaiumuddin, kacubo bandera iya’ana nosamabara’e kila akhirino pijari modaki. po’oli nopigauemo, kacubo bandera iya’ana pada i’sakara iya’ana ane’epo notade umela.

dari permukaan tanah. Pada tahun 1870-an, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Isa Kaimuddin, tiang bendera ini disambar petir sehingga mengalami kerusakan. Setelah melalui perbaikan, tiang bendera ini sampai saat ini masih berdiri kukuh.

Parit Pertahanan Benteng Sorawolio Parit ini memanjang dari arah selatan ke utara pada sisi Benteng

Sejarah

Salah Satu Pintu Masuk di Benteng Kesultanan Buton Foto : La Ode Yusri sebelah timur dengan panjang 225 meter, lebar 2 meter kedalaman antara 0,50–1 meter. Parit ini berfungsi sebagai penghalang terhadap berbagai ancaman atau serangan dari luar yang hendak memasuki kawasan Benteng Sorawolio.

Benteng Baadia Benteng Baadia yang berada dalam wilayah Kelurahan Baadia dibangun pada periode pemerintahan

Ka’elano Lawa Sorawolio Ka’ela iya’ana nobako’ata mina’aso i’salata pada i’utara lepeno Lawa kotaro cimburu mina’aso kako’ata 225 metere, kalewa 2 metere, kakondalo 0,50-1 metere. ka’ela iya’ana aso kahambacino mina aso kato’aruno ancama ancia saranga mina’aso i’luara aso masono ilalo Lawa Sorawolio.

Sultan Buton ke-29, Muhamad Idrus Kaimuddin (1824 – 1851). Benteng ini secara fisik telah selesai dipugar tahun 2007, baik dinding benteng maupun bastion sudut. Sebagai kawasan yang pernah menjadi salah satu pusat pemerintahan, oleh sultan telah dibangun istana sultan atau kamali. Selain istana, juga masih tampak sisa bangunan zaawiah (pesantren) yang mempunyai bentuk persegi empat membujur dari timur

Pabitara

9

Lawa Baadia Lawa Baadia nokotaro ilalono kadie Kaluraha Baadia nopontade’e i’jamanino pamarintano Sultani Buton ke-29, Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-851). Lawa iya’ana noko’ita’a po’olimo pipugara’e itaku 2007, mina’aso karindino lawa pada bastion jikujiku. ngeanomo uka tampa minamo pijari pusati pamarinta, o’Sultani nobangu’isiemo ka’anano Sultani/ kamali. Ciano wite ka’ana, ane’e uka yasono zaawiyah (pesanteren) nopiwau patowala mina’aso cimburu i bara kako’ata 12 metere mayi kalewa 7 metere mayi aso tampa ajara’ano mayi piguru’yano Islamu. Ciano wite cuke’e, ane’e uka 2 lia tampano pihokoya uka aso todea iwakutu i’kasultanan ilalono kamarasaiya.

Lawa Baadia umela hakke mina’aso benteno pantea datono ikacinggia 127 metere iwawono tayi akhirino jari tamita-mita perkembangan itayi kotarono utara Selat Buton. I’longke’e lomayi, uka jari aso tampa aso tamita bundono wula puasa’a, 1 Syawal, maupun wula-wula pantii agaano ilalono Isilamu nipakeaano miyano Buton.

Lawa Kalampa Lawa Kalampa ana kabilanga bujur sangkar poyaro bara (selat speelman/selat Buton) mayi 3 meya bastion poyaro bara, cimburu, mayi salata. kotarono bara tampa pobatasi’yaso mayi selat Buton, kotarano utara pobatasi’yaso mayi rompo-rompo, kotarono cimburu pobatasi’yaso mayi sitaratino Lakeba mayi kotarano salata pobatasiaso hamotona miyano kampo.

Lawa Kalampa ane’e i Kaluraha Katobengke ayipo nobangue i’abad ke-17 nopakae’e aso lawa pi’ita’ano ka’adaano tayi Kasultana Buton. Lawa iya’ana kako’atano 25 meter, kalewa 15,30 metere, kacinggino karindi 1-2 metere, mayi kakapano karindi 0,30-1,30 metere. Lawa iya’ana nopacuku’e 3 wua bastion, bastion kotarono bara kako’ata 5,20 metere, mayi kalewa 6,40

10 Pabitara

ke barat sepanjang 12 meter dan lebar 7 meter dan berfungsi sebagai tempat untuk mempelajari dan memperdalam agama Islam. Selain itu, juga terdapat 2 buah gua tempat perlindungan yang juga berfungsi sebagai trowongan jalan keluar bila sewaktu waktu istana sultan dalam keadaan darurat.

Benteng Baadia sangat starategis dari aspek pertahanan karena posisinya berada pada ketinggian 127 meter di atas permukaan laut sehingga dapat memantau perkembangan wilayah laut bagian utara Selat Buton. Di samping itu, juga berfungsi sebagai tempat untuk melihat awal bulan Ramadan, 1 Syawal, maupun bulan-bulan penting lainnya dalam Islam sesuai tradisi adat masyarakat Buton.

Benteng Kalampa Benteng ini berbentuk bujur sangkar dan menghadap ke barat (Selat Speelman/Selat Buton) dengan 3 buah bastion yang menghadap ke arah barat, timur, dan selatan. Bagian barat situs berbatasan dengan Selat Buton, bagian utara berbatasan dengan semak belukar, bagian timur berbatasan dengan jalan raya Lakeba dan bagian selatan berbatasan dengan kebun masyarakat.

Benteng Kalampa yang terletak di Kelurahan Katobengke diperkirakan dibangun pada awal abad ke-17 yang difungsikan sebagai benteng pemantau situasi perairan Kesultanan Buton.

Benteng ini berukuran panjang 25 meter, lebar 15,30 meter, tinggi dinding antara 1–2 meter, dan ketebalan dinding 0,30–1,30 meter. Benteng ini dilengkapi 3 buah bastion, yaitu bastion sebelah barat dengan panjang 5,20 meter dan lebar 6,40 meter. Bastion sebelah timur memiliki panjang 6,15 meter dan lebar 1,80 meter, bastion sebelah selatan berukuran panjang 7 meter dan lebar 6,40 meter.

Batu Popuua Batu ini merupakan batu alam berlubang dan disakralkan karena dijadikan sebagai tempat pengambilan sumpah para raja dan sultan Buton.

Di atas batu tersebut raja atau sultan akan memasukkan kaki kiri dan kaki kanan secara bergantian ketika hendak

metere. Bastion kotarono cimburu kako’ata 6,15 metere mayi kalewa 1,80 metere, bastion kotarono salata kako’atano 7 metere mayi kalewa 6,40 metere.

Loko Popuua Loko iya’ana loko kokalomba mayi nosakral pantea nopijari siye tampa ala’ano sumpa raja mayi sultani Buton. I wawono loko’yana raja/sultani namamaso kake sumbali mayi kake sauna pobhobholosi iwakutuno ala’ano sumpa jabata.

I wakutu uka iya’ancu iwawono pocuno raja/sultani noputara siye pau karajaa mina aso mo’iya siolimbona/anggota wakilino kasultana.

Loko Popaua iya’ana ciano pake nibokolino jamanino isilamu, hadimo kanea iya’ana ilalono angkeano sultani pake carano isilamu. Hu’uno angkeano iya’ana cumalono sultani pasaha’e siolimbona mo’iya kasiua pajaba.

Ilalono angkeano raja-raja lomai, mina’aso ciapo jamanino isilamu pada jamanino kasultana, hawite rua mia sultani cia nacina’angke mina’aso wawono loko iya’ana.

Rua sultani iya’ari mo’iya Sultani Saparigau (1645-1647) mayi Sultani Syaiful Rijali hawite aminggu noberkuasa taku 1679 (Hazirun,1987;43). Rua sultani iya’ana nopiwau kaco aso nahumoraci jabatano sultani.

Koburuno Sultani Koburu iya’ana ilalono Lawa Keraton Wolio ikotaro tenggara Masigi Agun, i wawono Gunu Lalemangura. Kambilaino koburu mayi masigi ayipo 100 metere. o’karindino koburu kotaro luara ane’e tampa apitonga lingkara mayi nodane’e prasasti burino Arabu-Melayu mayi hurupu Latin nokonduu

Sejarah MURHUM SULTAN PERTAMA mengucapkan sumpah jabatan. Pada prasasti yang bertuliskan aksara DI TANAH BUTON saat bersamaan di atas kepala raja atau Arab-Melayu dan aksara Latin yang PEMERINTAHAN TAHUN 1427- berbunyi sultan diputarkan payung kebesaran 1473 kerajaan oleh salah seorang dari dewan Siolimbona atau anggota legislatif Iwawono burino prasasti kesultanan.

MURHUM SULTAN PERTAMA DI cigambara uka wula sabit mayi Batu Popaua berarti batu tempat TANAH BUTON kadhadhi iwawono. I haroano koburu memayungi karena di atas batu inilah PEMERINTAHAN TAHUN Murhum igunu nokongea Waolima raja atau sultan Buton diputarkan 1427—1473 ane’e koburuno Sapati Baluwu La payung di atas kepalanya, atau batu Arifin, miya ahlino Karajaa Wolio. tempat pelantikan upacara resmi.

Di atas tulisan prasasti terlukis Dalam riwayat Sipajonga dikemukakan I lepeno ane’e koburuno La Dini, pula sebuah lambang bergambar bahwa setelah Ratu bulan sabit dengan Wa Kaa kaa keluar sebuah bintang di dari dalam bambu atasnya. Di depan yang dibelah di Bukit makam Murhum Lelemangura, injakan pada suatu bukit Batu Popaua berarti batu tempat kaki pertama itulah bernama Waolima memayungi karena di atas batu inilah yang diabadikan terdapat makam sebagai batu Sapati Baluwu La raja atau sultan Buton diputarkan bersejarah Popaua Arifin, seorang payung di atas kepalanya, atau batu (riwayat ini ditulis tokoh diplomasi oleh seorang saudagar Kerajaan Wolio. tempat pelantikan upacara resmi. dari Banjar yang Di sampingnya pernah tinggal di adalah makam La Buton pada awal abad Dini, sultan Buton ke-19). ke-14, Langkariry Walaupun batu sultan ke-19, dan ini bukan merupakan La Kopuru sultan Sultani Buton ke-14, Langkariry peninggalan pada masa Islam, tetapi ke-26. Di sebelah timur makam Sultan ke-19, mayi Lakopuru sultani tradisi dalam pelantikan sultan Sapati La Baluwu terdapat makam ke-26. Kotaro cimburu koburuno ini dilakukan dengan cara islami.

La Seha, sultan ke-22, dan di sebuah Sapati Baluwu ane’e mayi koburuno Langkah pertama pelantikan ini tempat bernama Mangka terdapat La She, sultan ke-22, mayi atampa adalah calon sultan ditetapkan oleh makam Hamim, sultan ke-21. Di uka kongea Mangka ane’e mayi lembaga Siolimbonga yang terdiri samping Masjid Baadia terdapat koburuno Hamim, sultani ke-21. I atas sembilan orang menteri. Dalam makam Sultan Aidrus Qaim ad-Din sejarah pelantikan raja-raja, sejak masa lepeno Masigi Baadia ane’e koburuno I. Makam ini menempel di dinding Sultani Aidrus Qaim ad-Din I. sebelum Islam sampai pada masa masjid yang sekaligus sebagai Koburu iya’ana podampici mayi kesultanan, hanya dua orang sultan nisan makam ini. Di Tanailandu, masigi madonga pijari cucubuno yang tidak dilantik di atas batu ini. di tengah-tengah benteng terdapat koburu iya’ana. I Tanailandu, itongaKedua sultan tersebut adalah Sultan makam La Elangi atau Dayan Ikhsan tongano lawa ane’e koburuno La Saparigau (1645—1647) dan Sultan ad-Din, sultan ke-4. Kira-kira 40 Elangi /Dayan Ikhsan ad-Din, sultan Syaiful Rijali yang hanya berkuasa meter dari makam ini terdapat ke-4. Ayipo 40 metere mina’aso selama seminggu pada tahun 1679 makam La Awu atau Malik Sirullah, koburu iya’ana koburuno La Awu/ (Hazirun, 1987:43). Kedua sultan sultan ke-9. Di perbatasan antara Malik Sirullah, sultan ke-9. I ini melakukan pemberontakan untuk Kampani dan Lantogau, dekat posipa’ano Kampani mayi Lantogau, menduduki jabatan sultan. tembok benteng, terdapat makam La lepeno karindi, ane’e koburuno Tangkaraja, sultan ke-11. Di sekitar La Tangkaraja, sultan ke-11. I Makam Sultan masjid terdapat banyak makamlepe-lepeno masigi to’aru koburuMakam ini terletak dalam Benteng makam para penguasa dan penyiar koburuno panguasa mayi miya Keraton Wolio di sebelah tenggara Islam. Kebanyakan makam para sumebarino Isilamu. To’au koburuno Masjid Agung, di atas puncak Bukit penyiar Islam tidak memakai batu sumebarino Isilamu cia napake Lelemangura. Jarak makam dan nisan, tetapi ditandai dengan pohon cucubu, hadimo katandaino pukuno masjid sekitar 100 meter. Pada dinding beringin untuk membedakannya beringin aso posala’asono koburuno makam sebelah luar berada dalam dengan makam-makam penguasa. bidang setengah lingkaran dan terdapat mo’iya panguasa.

Pabitara

11

Aktivitas Perempuan Rongi dengan Menggunakan Kombu Foto : La Ode Yusri

Kombu bhe Robhine Rongi Kombu dan Perempuan Rongi Penulis: Mulawati Penerjemah Bahasa Muna: Samlan 12 Pabitara

R

R

ongi, desa karubu we Kabupaten Wolio tonowuna nobari delateghie miehino Ciacia. Kawakawatae kangkaha we desa aini, mie maihino doworahi kadadihi mokesano peda kafembulahi moidhohino, kaegaluha, be kabawohi. Mie maihino doworahi kabawo Lamando, seiseno pusono kabawo sabana indah ane kaawu dakumala darumato we desa anagha. miehino nobari depake wamba Ciacia nokatu lapandewa nembalimo kapobisarahando sesegholeo. Nobari

ongi adalah sebuah desa kecil di Kabupaten Buton Selatan yang sebagian besar dihuni oleh orangorang beretnis Ciacia.

Sepanjang perjalanan menuju desa ini, pengunjung akan dimanjakan oleh pemandangan alam berupa pepohonan hijau, perkebunan, dan perbukitan.

Pengunjung dapat menyaksikan Bukit Lamando, salah satu puncak bukit sabana indah apabila perjalanan akan tiba di desa itu. Penduduknya sebagian besar menggunakan bahasa Ciacia dialek Lapandewa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sebagian besar penduduk Rongi yang menetap di wilayah itu berprofesi sebagai petani. Namun, tidak sedikit penduduk yang mencari pendapatan di bidang lain. Mereka yang memilih hidup di luar Rongi telah memiliki profesi beragam.

Apa yang menarik di Rongi?

Sebuah desa kecil yang telah berganti nama menjadi Desa Sandang Pangan.

Saya menangkap tiga hal menarik tentang Rongi saat berkunjung ke sana. Pertama, Rongi memiliki sebuah pesta rakyat yang disebut matagalampa untuk merayakan keberhasilan panen. Pesta rakyat matagalampa dilangsungkan selama enam hari dan dilakukan setiap musim barat atau sekitar bulan Februari setiap tahun penanggalan masehi.

Pesta rakyat itu dianggap sebagai upacara yang lebih ramai dibanding perayaan lebaran. Masyarakat Rongi di perantauan lebih memilih pulang kampung atau mudik saat pesta matagalampa dibanding perayaan lebaran. Kedua, masyarakat Rongi memiliki struktur adat yang rapi.

Mereka mengenalnya sebagai perangkat adat dan masih memegang teguh titah yang melekat pada jabatanjabatan tersebut. Ketiga, perempuan Rongi memiliki sebuah alat khusus berupa keranjang untuk memudahkan mereka sewaktu membawa benda berat. Keranjang itu tidak hanya dimiliki oleh kebudayaan Rongi.

Beberapa etnis di Sulawesi Tenggara juga menggunakan jenis keranjang yang sama dengan nama yang berbeda.

Tulisan ini tidak akan menguraikan

Budaya miehino Rongi delate nenagha degalu karadhaando. Taka, nobaridua mie meghondohino karadha sigahano.

Andoa dopili dodadihi meliwu sigahano dolimba we Rongi nobari hulano kakaradha hando.

Ohae nimasighohando we Rongi?

Desa karubu dololiemo neano nembali Desa Sandang Pangan.

Indoni aeghawa toliise mokesahano oRongi wakutuuno akala nenagha.

Seise, Rongi noko karabuno rakyati nikonando matagalampa wakutuhano kakohasilino ghalu. karabuno rakyati matagalampa dorabue nomo gholeo be dorabue wakutuuno welo bara atau mahono wula Februari setasetaghu tanggalano masehi. Karabuno rayati anagha pedamo karabu suli norame anua be rorayaha. Miehino Rongi melatehino weluara suli dopily dosuli weliwu wakutuuno karabu matagalampa. Raisehano, miehino Rongi nando norapi adhatino. Andoa dopandehane nembali adhati be dointarae sepaliha sebabarihae mikano ne jabatan anagha.

Toluisehano, miehi kalambehi we Rongi be alati khususno peda okobi nomudanemo ane de owa bara mobieno. Okobi anagha saano kaawu anuno budayano Rongi. Nando dua suku sigahano we Sulawesi Tenggara mepakenao okobi pototono taka nopohala-hala kaawu neano.

Kaburi aini paise dabisaragho kotoluisehano mokesano anagha.

Indhodi aeburi amoghondo kaawu kapokaihano okombu be latehano kalambehino Rongi welo liwu.

Kombu nagha okobi dorabue maigono neghue, okobi kapokaihanomo be kalambehi we Rongi rampano alat aini damake kansuru andoa anekaawu be niowando. Okobi nagha kapokaihanomo be kalambehi rampano ane omoghanehi we Rongi nando dua ando alatino kapakendo wakutuno beniowando. Alati anagha dorabue nemaighoono nesau mowantano be talihino wetompano sau anagha. Kombu dua betalino mewantahino maighono ne kulino sau nembalianemo dukupoue ne fotu. Kalambehi we Rongi nomudaanemo de owa osau so tumpu, kahetela, bara-bara kagholifi, be deowa nobari kateihanno ooe. Ane

Pabitara

13

Aktivitas Perempuan Rongi dengan Menggunakan Kombu Foto : La Ode Yusri 14 Pabitara

Budaya tiga hal menarik tersebut. Penulis hanya memfokuskan uraian tentang keterkaitan antara kombu dan posisi perempuan Rongi dalam tatanan sosial masyarakat. Kombu adalah keranjang yang terbuat dari rotan yang dianyam, sebuah keranjang khas yang identik dengan perempuan Rongi karena alat ini akan selalu digunakan oleh mereka tatkala membawa sesuatu. Keranjang itu identik dengan kaum perempuan karena kaum laki-laki dalam masyarakat Rongi juga memiliki alat khusus untuk membantu pekerjaan mereka. Alat tersebut terbuat dari kaya panjang yang dilengkapi tali di setiap ujung kayu itu. Kombu juga dilengkapi tali panjang dari pelepah kayu sehingga dapat diletakkan di kepala. Perempuan Rongi akan leluasa membawa kayu bakar, jagung, barang belanjaan, dan wadah air dalam jumlah yang tidak sedikit dengan keranjang itu. Sekilas pemandangan seorang perempuan yang menggunakan kombu tampak santai dengan ragam barang dalam keranjang itu. Mereka tidak kehilangan senyum ramah saat bertemu dengan pengunjung yang datang untuk menyaksikan pesta rakyat di desa. Sewaktu melihat beberapa ibu yang menggunakan kombu, saya juga tertarik mencoba membawa keranjang itu. Saat saya menawarkan diri untuk membantu seorang ibu membawa kayu bakar dengan kombu, perempuan Rongi itu tidak memberi izin karena yakin saya tidak akan mampu. Sebuah keyakinan yang benar karena membawa kayu bakar dengan kombu itu memang berat.

Setelah sempat mencoba merasakan sendiri pengalaman membawa barang dalam jumlah banyak dengan menggunakan kombu, saya bersimpati pada ibu-ibu Rongi yang sanggup membawa beban itu. Perempuan Rongi tidak hanya melakukan pekerjaan domestik, mereka juga melakukan pekerjaan kasar dan berat yang biasa dilakukan oleh lelaki. Seorang perempuan yang membawa beban berat adalah pemandangan yang membuat miris.

Setelah bercakap-cakap dengan beberapa ibu di depan baruga (tempat pertemuan), mereka bertutur bahwa

doghondoe okalambe meowanno kombu nagha pedamo nosape be kabarino hula kaowando welo okobi nagha. Andoa tetap dokamboihi ane dopoghawa bemiehi bughou maihino sonumontono karabu rayati we desa. Wakutuuno awora oibu-ibuhi meowano kombu, indodi kapindaoku asumobae amowa okobi anagha. Wakutuuno indodi aesalo abantu semie orobine meowano sau sotumpu nepake kombu, mie anagha nokiido rampono nokonae paamoolie amowae. Kaparasaeano kotughuno nagha rampano ane deowa osau sotumpu depake kombu maka nobie.

Padakaawu asoba afenamie wutoku aeowa kabari obara aepake kombu, indodi apudhihie omie robinehi mepolino meowahino barahi mobieno. Orobinehi minakaawu dekaradha welambu, andoa dua dokaradhahi moghosano be mobiehino peda nikaradhahino moghanehi. Semie robine meowano bara mobieno nokowora nobieanomo lalo. Pada kaawu taetula-tula be robinehi we kaengko-ngoraaha, andoa dobisara siga deowa lagi hasilino galu depake kombu we kangkaha kokontuno. Wakutuno detula-tula nagha koforahano mina naobie we totonolalono dokaradhae.

Andoa dokonae ane deowa barahi mobieno nepake kombu nobiasamo.

Ane kaawu, indodi akonae peda omoghanehi ane tadoghonghondomo orobinehi neowa nobari sau sotumpu nembali moghanehi pata moadilino ne robine. Fekiriku nopotubari nembalimo ane orobine we Rongi dofotolalada dewowohi mobieno wakutuuno omoghanehi tadekong-koramo tewo kalambulambu be doforoghu kopi. Andoa mina dapohamba-hamba datumului orobinehi meowano obarahi mobieno.

Kapoworaku be kafetingkeku nagha notilolimo pada kaawu afetingke wamba sighahano peda nikonando kombu be robinehi we Rongi. Okobi anagha saano kafoghataha orobinehi we Rongi.

Kombu taka nembali notulumi orobine wakutuno deowa bara.

Talino kombu nembali doteie nefotu atau ne towu, koraisehae nenagha nembali nopotimbaanemo kalatehano

kadang mereka membawa hasil pertanian dengan kombu di medan berbatu. Proses peceritaan yang tanpa beban itu menyiratkan ketulusan yang telah ada dalam nurani. Mereka telah menganggap bahwa membawa beban yang banyak dengan kombu adalah hal yang biasa. Walaupun demikian, saya segera saja beranggapan bahwa para lelaki yang diam saja sewaktu melihat sang ibu membawa banyak kayu bakar dengan kombu termasuk jeni lelaki yang berbuat tidak adil pada perempuan. Simpulan saya berkembang menjadi asumsi bahwa perempuan Rongi dibiarkan melakukan hal-hal berat sewaktu para lelaki duduk santai di atas baruga ditemani secangkir kopi. Mereka tidak bersegera membantu ibu-ibu yang membawa ragam barang yang berat itu.

Kesaksian dan informasi itu segera berubah setelah saya mendapatkan informasi lain tentang kombu dan perempuan Rongi. Keranjang khas itu bukanlah simbol penyiksaan bagi perempuan Rongi. Kombu justru memberikan kemudahan pada kaum perempuan karena mereka dapat membawa beban dengan mudah. Tali kombu dapat diletakkan di kepala atau punggung, kedua organ ini dapat menyeimbangkan posisi keranjang itu sehingga beban tidak akan terasa berat.

Selain itu, perempuan Rongi juga telah terbiasa melakukan pekerjaan yang dapat dianggap berat oleh perempuan perkotaan. Mereka akan dengan mudah membawa banyak kayu bakar atau beberapa jeriken air. Jalur atau jalan yang dilewati oleh perempuanperempuan itu saat membawa barang-barang dengan kombu tidaklah semulus jalan yang biasa ditemui di perkotaan. Jalan untuk memperoleh kayu bakar harus melewati perbukitan berbatu. Sementara itu, jalan yang harus ditempuh untuk mengambil air di sungai juga harus menuruni bukit. Kebutuhan-kebutuhan rumah tangga itu juga dipenuhi oleh kaum laki-laki. Perempuan Rongi hanya turut membantu kaum lelaki apabila mereka memiliki urusan yang tidak dapat ditinggalkan. Salah satu urusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh kaum lelaki di masyarakat Rongi

Pabitara

15

okobi minamo naobieane. Siga dua, orobinehi we Rongi nobiasamo nekaradha nikonando mobieno ane orobinehi we kota. Andoa nomuda deowa nobari sau sotumpu atau djerekeno ooe. Aini kankahanomo orobinehi anagha wakutuuno deowahi bara-bara kombu mina peda kakesahino kangka ahi kaforahi we kota. Kangkaha kaeghondohiha osau sotumpu tabe dofoni tewo kabawo kokontuno. Maka kaawu, kankaha ane kakalahando de ala ooe we laa tabea dosampunikie okabawo.

Sokafaralughihando welambu nagha taaka dua dokaradhae omoghanehi. Orobinehi we Rongi detulumi kawu omoghane ane bekaradhahi sigahano so pata nirunsa. Seisemo urusan sopata naembali tirunsano omoghanehi welo liwu nagha oropmuhano liwu, rompuha anagha dorabue we galampa. Wakutu indodi awora orobinehi dokaradjahi be kombu, sau sotumpu, bara kabalandahi, be djerekeno ooe doliuhi we galampa nagha, omoganehi dopofoghonumo sa darumompugho.

Tula-tula anaghaini nopototomo ane orobine be moghane we Rongi nando omo kaseiseha pata tiburino so kapobagiha tugasi welambu be we liwu. Seise kaokesahano dembali orobine we Rongi nagha andoa nembali saratno ane daepili omoghane somembalino kamogulano liwu. Anekaawu kamokulano liwu minamo nakoporae, ane tabe lansu

Kombu Foto : La Ode Yusri 16 Pabitara

adalah rombu atau rapat adat yang dilaksanakan di baruga atau galampa.

Saat saya melihat kaum perempuan yang sibuk dengan kombu, kayu bakar, barang belanjaan, dan jeriken air berseliweren di sekitar baruga, para kaum lelaki bersiap-siap untuk melakukan rombu.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan dan lakilaki dalam masyarakat Rongi telah memiliki kesepakatan yang tidak tertulis terkait pembagian tugas domestik dan publik atau tugas dalam dan luar rumah tangga.

Asumsi saya bahwa kaum perempuan Rongi diperlukan tidak adil dengan membawa beban berat dengan kombu tidak memiliki alasan yang kuat karena perempuan Rongi juga memiliki peran penting saat suami mereka memiliki tugas khusus di masyarakat. Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan Rongi adalah mereka menjadi syarat pemilihan seorang laki-laki yang akan menduduki jabatan dalam perangkat adat.

Apabila seorang pejabat perangkat adat kehilangan istri, ia otomatis harus melepaskan jabatan itu. Aturan lain terkait perangkat adat Rongi beranggapan bahwa perempuan adalah penyeimbang kehidupan seorang lelaki. Perempuan dianggap pihak yang akan menjaga martabat seorang lelaki sewaktu ia meninggalkan rumah. Apabila pemimpin adat masyarakat Rongi menghadiri upacara adat, istri mereka harus menggantikan

narumunsaemo kaengkorahano nekamokulano liwu. Aturan sigahano peda kangkafino adjathi we Rongi dokonae peda orobine nembali kapotimbaha welo kadadihano moghane. Orobine dokonaemo somie djumaganino martabatno moghane ane narumunsa lambuno. Anekaawu niangkando kamokulane liwu nakumala karabu adjati, maka poraeno tabea solumolino mienolambuno mengkorano welambu. Indodi aeghawa birita peda ibuno parabela atau poraeno niangkando molankenomo kamokulano liwu we Rongi tabe solumolinomo kaengkorahano mieno lambuno wakutuuno minaho narumunsa lambuno nakumala wekarabu liwu nikonando matagalampa. Ainihaemo nirabunomo poraeno kamokulano liwu sokafofekatahihano ane bemasalano omie rudua welo liwu maka kamokulano liwumo djumaganino kaetahaano liwu.

Ainihaedua siga poraeno kamokulano liwu we Rongi miina natiwora wakutuno dotanda karabuno liwu. Andoa dua derabu koghuluhano peda dua tugasihino mieno lambundo.

Kamponano deangkafi karabuno adjati matagalampa, robine sigahano soano poraeno kamokulano liwu, dohundaanda dengkora telambu kapofoghonuha ane norato tolu gholeomo.

Orobine we Rongi nembali

Budaya

Anak-anak Rongi dengan Menggunakan Kombu Foto : La Ode Yusri posisi seorang suami di dalam rumah.

Saya mendapatkan informasi bahwa istri seorang parabela atau pemimpin tertinggi lembaga adat masyarakat Rongi harus menggantikan posisi duduk suaminya sesaat sebelum meninggalkan rumah untuk mengikuti rangkaian acara adat matagalampa.

Hal ini juga dilakukan oleh istri mancuana liwu/perangkat adat yang menyelesaikan permasalahan interpersonal masyarakat dan kinia/ perangkat adat yang menjaga keamanan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan para istri pejabat perangkat adat Rongi tidak tampak selama upacara adat berlangsung.

Mereka juga melakukan tugas yang sama pentingnya dengan tugas suami mereka.

Selama mengikuti upacara adat matagalampa, perempuan lain juga selain istri perangkat adat diizinkan duduk di atas baruga atau galampa pada hari ketiga. Perempuan Rongi mendukung kesuksesan penyelenggaraan acara sebagai pihak yang menyiapkan perlengkapan sesajian. Selain menyiapkan makanan sajian, perempuan juga boleh

dumukungi emo kaokesahanomo karabuno adjati, nembalimo miehi mefotoganomo sokafumaaha.

Siga meoatoronomo sokafumaaha sigahano dua meatoronomo sokarabu wekatompano adjati. Andoamo so mefontantano rakarabu, olinda be ngibi sokarame. Ane indodi oghondo latehano moghane be orobinehi we Rongi wakutuuno karabuno adjati andoa nandoomo kapototoihando so tuagsino semie-semieno. Kombu saano so kafoghataha orobine.

Maka kaawu orobine we Rongi ane daeowa obara-barahi barino welo okobi anagha, andoa dua nando kangkorahano paise naembali daghumondoe seweta welo liwu, segahano dua orobinehi we Rongi dobiasamo dekaradha so fobantuno somatorono lambu. Omoghanehi dua sotumuluminomo karadhahino robine welambu ane kaawu andoa mina dakotjugasi we liwu.

Kaokesahanomo dadihano robine be omoghane weliwu ti jdalangindo nomponamo seta-setaghu. Peraturan aini minaho natiloli rampano sebabarihae omiehi we Rongi nando do angkafie aturano adjatindo.

berpartisipasi pada akhir upacara adat. Mereka akan menarikan dua tarian, yaitu tari linda dan ngibi dengan gembira. Apabila penulis mecermati posisi kaum laki-laki dan perempuan Rongi selama upacara adat berlangsung, kaum laki-laki dan perempuan masyarakat Rongi telah memiliki kesepakatan terkait peranperan mereka. Kombu bukanlah alat yang menunjukkan ketidakadilan bagi perempuan. Walaupun perempuan Rongi membawa barang-barang yang banyak dengan keranjang itu, mereka juga memiliki posisi yang tidak dapat dipandang sebelah mata di dalam masyarakat. Selain itu, perempuan Rongi juga telah dibiasakan untuk melakukan beberapa pekerjaan untuk mendukung posisi mereka sebagai penyeleggara rumah tangga. Kaum laki-laki juga mendukung tugas perempuan di dalam rumah saat mereka tidak memiliki tugas publik.

Sebuah harmoni kehidupan antara perempuan dan laki-laki ini telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Peraturan ini belum berubah karena sebagian besar masyarakat adat Rongi masih patuh terhadap aturan adat itu.

Pabitara

17

Miya Mo’andeano Mayi Bunian Mereka yang Berkawan dengan Bunian Penulis: La Ode Yusri Penerjemah Bahasa Ciacia: Sarpin

La Ode Yusri Bersama Tokoh Bunian Foto : La Ode Yusri

18 Pabitara

S

ebuah komune/kelompok manusia yang telah berabad menjauh/mengasingkan diri ke dalam belantara Hutan Kaombo, Pulau Buton-Muna. Mereka lari dan menolak diperintah oleh yang bukan dari kelompok mereka sebab dalam pandangan mereka, merekalah suku paling mula yang menghuni dan mendiami Pulau Buton-Muna.

Kelompok suku terasing itu dikenal dalam berbagai nama: Miana Wa Kaokili, Miana Wa Mbuu-Mbuu, dan Wali-Wali. Mereka tersisih

Feature

A

ne’e atampa/kalompo manusia i abad molengono poga’a/ pibuni kuluno i lalono Karompu Ka’ombo, wutano Buton-Muna.

Moi’iya nokatode mayi mongare namarinta’e ane cianomina’aso kalompono mo’iya pantea kakonino mo’iya, mo’iya ari miya mangulusi humoracino Wuta Buton-Muna.

Kalompono suku iya’ari to’aru ngeano: Miana Wakaokili, Miana Wa Mbuu-Mbuu, dan Wali-Wali. Moiya kapihoko i tongano karompu Wutano Buton-Muna nobako’ata mina’aso Gunu Lambelu, Hutan Lambusango jantono wuta Buton, Gunu Siontapina ikotaro cimburu Wutano Buton, Gunu Pangilia, i salatano wuta Muna, mayi Gunu Kalangana itonga’asano Kampo Labhalawa mayi Batauga i Buton Salata. Aso najumaga rahasiano kalompono mo’iya kapisongkobi sie pake joa aso pakaburu matano miya aso cia namo’oli namita horotaa’ano mo’iya pake mata kasara. Mo’iya cibagi kalompokalompo mayi uka pimpinano ilalono kalompono lomay. Ilalono po’andea’ano mo’iya lomay ane’e uka marasaino, cia sawuta’e kalompo nopa’asa mongare naciparinta. Ilalno kalompo humadano ciparinta lomay moiya humorano i Gunu Kalangana, O’Gunu Sangia no’unsuri’e miya Labhalawa mayi Batauga i Wutano Buton Salata. Ilalono pamarintahano Kasultana Buton humadano ciparinta ari noparinta’e Bhontona Wabhorobho.

Menemukan komune “manusia yang hilang” itu adalah suatu tantangan yang tidak hanya menguras tenaga fisik, tetapi juga menggerus nyali.

Bagaimana tidak, dalam jalan “menemukan” mereka, aral yang mistis dan magis menghampar begitu terjal.

*** Toarumo miya nipotabu’u ilalono 3 wula iya’ana aso amita kalompono miya Bunia i Wutano Buton-Muna.

Tamitabu tampano kalompo “miya cumikabi” ari ane’e mayi tantangano inciano wite habisiano tanaga, hadimo uka o’kabarania. Baimpa’e cia soo, ilalano lala “tamotabu” moiya ari kabilanga kohandari batulu.

Wuluno baja mami notade bita-bita iwakutu tamasoki karompo nijaga ane moiya Buton nokangea sie Karompu Kaombo. Karompu iya’ari noyakinie tampano ka’anano mo’iya.

Pabitara

19

La Ode Yusri Bersama Tokoh Bunian Foto : La Ode Yusri

20 Pabitara

Feature di belantara rimba raya Pulau Buton-Muna yang membentang luas dari Gunung Lambelu, Hutan Lambusango di jantung Pulau Buton, Gunung Siontapina di timur Pulau Buton, Gunung Pangilia di selatan Pulau Muna, dan Gunung Kalangana antara Desa Labhalawa dan Batauga di Buton Selatan. Untuk menjaga rahasia keberadaan kelompoknya, mereka menutup diri dengan labiran magis yang menjadikan mata manusia tak mampu melihat tempat tinggal mereka secara kasat. Mereka tersekat dalam kelompok-kelompok dengan pimpinan sendiri-sendiri. Dalam hubungan sesama mereka yang juga rumit, tidak semua kelompok kompak menolak diperintah. Salah satu kelompok yang menerima diperintah adalah yang mendiami Gunung Kalangana, sebuah Gunung Sangia yang dikeramatkan antara Labhalawa dan Batauga di Buton Selatan. Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton mereka yang menerima diperintah itu dibawahi oleh Bhontona Wabhorobho. *** Banyak orang telah saya temui dalam 3 bulan ini untuk melacak komune manusia Bunian di Pulau Buton-Muna. Menemukan komune “manusia yang hilang” itu adalah suatu tantangan yang tidak hanya menguras tenaga fisik, tetapi juga menggerus nyali. Bagaimana tidak, dalam jalan “menemukan” mereka, aral yang mistis dan magis menghampar begitu terjal. Bulu merinding atau tengkuk bergidik adalah kejadian hari-hari dalam setiap kali memasuki hutan konservasi yang oleh orang Buton disebut sebagai Hutan Kaombo. Hutan itu ditengara sebagai rumah kediaman mereka.

Di lembah landai yang hijau oleh hamparan sabana dan padang ilalang sepanjang lereng Gunung Panggilia – sebagian orang menyebutnya Gunung Murhum – menjadi rumah raksasa bagi para manusia Bunian di Buton.

Menurut kisah lisan turun temurun, dahulu di tempat itu memang menjadi pusat peradaban dan tempat para sugi bertahta.

I koncu-kuncu moyijono mayi to’aru rompo-rompo mayi ka’awo cumumbu i pipinggirino Gunu Panggilia- aga’a miya nongea siye Gunu Murhum-pijare ka’anano raksasa i’moiya Bunian i Buton.

Icula-cula molengono, tampa iya’ari pijare pikampoa mayi tampano moiya sugi noparinta.

Moiya sugi’yari miya barasii, imina’aso mo’iya lomay katurunano raja Muna mayi Buton. Bataraguru, raja ka’tolu i Buton, nokawi’aso mo’iya ana mo’oli noko’ana’asomo Kiy Jula. Kiy Jula mo’oli nokawi mayi Wa Rande, anano Raja Tiworo.

Mina’aso Kiy Jula mayi Wa Randea iya’ari nodadiyasomo Watubapala, inano Lakilaponto, asomo miya ci’unsurino i Wutano Buton-Muna.

Mo’iya mansuana i Buton nongeasie hu’uno turunano miya Bunian i Buton-Muna mina’aso mo’iya sugi papitai’e Kiy Jula, anano Bataraguru. Molengono, nokhianatie panguasa Wolio, mo’iya mihaga mayi mongare nasumuju.

Pantea cia naciparinta, maka mo’iya nokatodemo i tongano karompu mayi pijaremo cungguno karompu yaluyalu longe. Donga nopake siye joa, mo’iya kapigaue horota’ano aso cia namo’oli namita’e miyanto’aru. *** Miya kongeano La Ali ana mantara’au masoki “kadadiano mo’iya Bunian. Iya’ari kabilanga ane’e kakonino aso naminte narumato i desa-desa horata’ano mo’iya kalompono “mihoko” iya’ari. La Ali ane’e tohu, kabilanga topi nipake-pakeno pihamota’a i desadesa Buton-Muna. Molengono, tohu iya’ari nodawusie andeano miyano Bunian aso tanda iya’ari mina’aso uka mo’iya.

La Ali inano mina’aso miyano Bunian mayi amano nohora ikakeno Gunu Pangilia. Amano kongea La Oke, sawuta’e miyano kampo nokonie papikake mayi nojari “pokodo’ampu” lala. Kakonia pokodo’ampuano lala ari nopitabue mina’aso mo’iya Bunian.

La Ali yana dodo’ampu, ginggi pocuno, bagano molopi wangkano

Pabitara

21

Dari pernikahan Kiy Jula dengan Wa Randea itu lahirlah Watubapala, ibunda Lakilaponto, seseorang yang kemudian disebut paling berpengaruh di Buton-Muna to’oba, ka’elengino montaro, ngo’ono kalepe. Mina’aso nodadi iya nohora i karompu, pihamota mai pitangkapu rusa i kakeno Gunu Panggilia.

Wakutuu o’ungkue mayi o’guguru’e aso taminte tahumora i desa tumangku, hawite nobabalo “nosanaa wite i ka’ina”, kabalono madonga pingiri.

Mansuana i Lakudo kongea Maili nomangaku mansuanano molengeno po’andea tumangku mayi miya Bunian. Miya Bunian pijarino andeano’yana La Dhanibhi, bajano kokodi mayi ngo’o kalepe. Ia ari pande nobundo i Lakudo, apalagi i wakutuuno dao’a, hawite nabalu gara mayi tabako.

La Dhanibhi icuggu bundo’yano ciapande tamokoniaso. Inteno uka haleo po’ita mayi bundo’ano, pacikabi’asom wutono. ane’e ampalinga no’ita wutono wakutu La Dhanibhi noposanga i ka’anano.

Makatamo hake akajingka mina’aso i kahompono ka’ana, La Dhanibhi ciamo naci’ita. Ia hawite nobamosasu, hadimo amano nopikukurumai’e.

I Lawela, desa bundo-bundoa taminte i Batauga, Kabupate Buton Salata, nda’u potabu mansuana nominamo uka potabu mayi nopo’andea uka mayi miya Bunian.

Mansuana iya’ari pihamota mayi nopanira hadimo i pikaraja’ano yari iya nopande maso i karompu Labusa, karompu nijagano miyano kampo nongea sie Karompu Kaombo niunsurino miya.

Iya nopicucula iwakutu nopinira, ane’e miya ilalo wikirino o’honicu pintade-tade no’antagi’e i kunino sayu nira nihendepino, madonga no’ita-ita’e. Mo’iya ari ciano miya biasa pantea bajano do’ampu mayi

22 Pabitara

Para sugi itu adalah para manusia suci yang dari merekalah trah para raja Muna dan Buton diturunkan.

Adalah Bataraguru, raja ketiga di Buton, mengambil selir di sana yang kemudian menurunkan seorang anak bernama Kiy Jula. Kiy Jula kemudian menikahi Wa Randea, putri Raja Tiworo. Dari pernikahan Kiy Jula dengan Wa Randea itu lahirlah Watubapala, ibunda Lakilaponto, seseorang yang kemudian disebut paling berpengaruh di Buton-Muna Beberapa orang tua di Buton menyebut bahwa pangkal turunan para manusia Bunian di Buton-Muna berasal dari para sugi yang ditautkan oleh Kiy Jula, putra Bataraguru.

Konon, setelah merasa dikhianati oleh pusat kuasa di Wolio, mereka menyempal dan menolak tunduk.

Karena tidak menerima diperintah itu, mereka lari ke hutan belantara dan menjadilah penghuni rimba raya.

Dengan memakai mistis, mereka menabiri alam tinggal mereka itu sehingga tidak terlihat oleh mata manusia pada umumnya. *** Seorang yang bernama La Ali mengantar saya berkeliling memasuki “alam” para Bunian. Ia tampaknya memiliki semacam kata sandi (password) yang membawanya bisa sampai ke desa-desa yang dihuni kelompok manusia yang “menyembunyikan diri” itu. La Ali mempunyai tohu, semacam topi khas yang dipakai pekebun di desa-desa di Buton-Muna. Konon, tohu itu didapatkan dari kerabatnya di alam Bunian sebagai pertanda bahwa dia adalah bagian dari mereka La Ali memang memiliki ibu

ngo’no kalepe.

Sawuta’e joa-joa nikonino aso pawuluno waniampasi-o’honicu moseganomo hake mayi yajono modaki-nobatata isiyemo, hadimo cia wite namolai. Pantea namorondomo dhia, ia nosampumo wite mina’aso pukono sau nihendepino. No’ita’e nopisampu-sampu haleo honicu uka nobatodhe aso wutono, notodhe i lalono karompu.

I koncu molengo Barangka, i lalono Karompu Lambusango i bagia salata Kapontori, miyano Bunian nongea sie miyano kampo’ana o’Miano Wambuu Mbuu. Mansuana adati i kalonge nipitabu’u piculacula, kalompono mo’iya’ana kongea’asomo Miana Wambuu Mbuu ana mamuda hake tamotabue. Mo’iya uka jari tamita’e hadimo marimba uka noci’ila wakutu namasomo i karompu horota’ano mo’iya. *** I lalono karompu Labusa, ilala poyarono Gunu Kalangana i Batauga, Buton Salata, nda’u o’kui aso amotabu mansuana i ka’anano. Ngeano La Hariimu, karaja’ano cunggu bhita nopihamota, nopika’ela rusa mayi ampa-ampalinga uka nopinira.

Mina’aso mansuana iya’ari nda’u pindongo cula-cula nopokaita’ano mayi lala nilaloino mayi kampo-kampo horata’ano mo’’iya Bunian.

Ia picucula uka’aso Wa Asa, mowine mina’aso Lipu mihamotano i Karompu Lawela. Ia ari nopijari’isie mowineno mo’iya Bunian. Mohane mina’aso Bunian me’eluno’yana nobundo tarusu cunggu rondo mayi nobawasia para’enomo hake nipe’eluno Wa Asa. Wa Asa uka cia namampo natumola. Ia uka nohada tode’isie

Feature seorang Bunian dan ayahnya adalah warga yang tinggal di lereng Gunung Pangilia. Ayahnya itu bernama Laoke, seluruh orang di kampung mengenalnya sebagai pejalan yang bisa “memendekkan” jarak. Ilmu memendekkan jarak dalam berjalan itu konon asalnya dari kelompok manusia Bunian.

La Ali berbadan pendek, rambutnya keriting, pipinya tirus dengan rahang yang menonjol, matanya seperti selalu melotot, dan hidungnya pesek. Ia sejak lahir telah tinggal di hutan, berkebun dan berburu rusa di lereng Gunung Panggilia. Ketika saya mengajak dan membujuknya agar ke desa terdekat saja untuk tinggal, ia bergeming.

“Lebih senang di sini saja”, katanya sembari tersenyum.

Seorang tua di Lakudo bernama Maili mengaku ayahnya dahulu telah berteman dekat dengan seorang Bunian. Manusia Bunian yang menjadi kawan ayahnya itu bernama La Dhanibhi, postur badannya kecil dan berhidung pesek. Ia sering datang di Lakudo, terutama jika hari pasar, hanya untuk membeli garam dan tembakau La Dhanibhi setiap kali datang selalu muncul tiba-tiba. Perginya pun juga serupa datangnya, menghilang begitu saja. Pernah sekali ia menyaksikan sendiri ketika La Dhanibhi pamit pulang dari rumahnya. Baru selangkah keluar dari pintu rumahnya, La Dhanibhi sudah tidak kelihatan. Ia sangat ketakutan, tetapi ayahnya menenangkannya Di Lawela, sebuah desa pertama menuju Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan, saya menemui seorang tua yang mempunyai pengalaman bertemu dan berkawan dengan sekelompok Bunian. Orang tua itu adalah pekebun dan penyadap nira yang karena pekerjaannya itu ia saban hari memasuki belantara Labusa, sebuah hutan konservasi yang oleh warga setempat disebut sebagai Hutan Kaombo yang dikeramat-sakralkan.

Ia berkisah ketika tengah menyadap nira, beberapa orang yang dikiranya makhluk halus telah berdiri menunggunya di bawah pohon nira yang dipanjatnya, sembari terus

mohane mina’aso Bunian ari.

Wa Asa ciamo pande nabale mina’aso hangkano i 18 takuno’yari.

Mohane nopake juba mokito nobundo i ka’ana i hamotano mayi notodesie i Gunu Kalangana. Macimburi nobundo 4 takuno ipiyamo’yari, hadimo hawite 4 alo i kampo mo’oli ci’ilamo uka cia takumonie. Wa Asa ana tadeano jangkung, bajano semampai donga silino kabilanga langsat. Menurutno miya kampo Lawela ia no’ala’e waliwali aso mowineno.

La Hariimu picucula aso kuluno nopotabu mayi nopo’andea mayi Bunian ane ia nongea sie wali-wali.

O’mowine pocu ko’ata pada i kuni pande nobundo isie i’apu-apuno juma’a mina’aso ia nohora i karompu Labusa, tampano ia nopinira.

Mowine Bunian iya’ari nongea kuluno Hariisa mayi nohora i Gunu Siontapina. Wakutu nda’u ope’ena’e aso kambilaino hake antara Kalangana donga Gunu Siontapina, ia hawite babota’a “Ilalono duniano mo’iya, kambilaino rua tampa iya’ari hawite bakabiaso loko, tangku hake’, hojano.

mendongak memerhatikannya. Mereka tampaknya bukanlah manusia sebab tampak berpostur pendek dengan bentuk hidung yang pesek.

Segala mantra pengusir Waniampasi – sejenis jin yang paling kejam dengan rupa paling jelek – telah dirapalnya, tetapi tidak juga pergi makhluk itu.

Karena hari telah mendekati malam, ia nekat turun dari pohon enau yang disadapnya itu. Melihatnya turun, para makhluk itu dengan sekejap lenyap, lari dengan gesit masuk ke dalam belantara Di perbukitan kampung lama Barangka, daerah penyangga Hutan Lambusango di pesisir selatan Kapontori, orang-orang Bunian dinamai oleh warga setempat sebagai Miana Wambuu Mbuu. Tokoh adat di sana yang saya temui berkisah, kelompok yang disebutnya sebagai Miana Wambuu-mbuu itu sebenarnya sangat mudah ditemui. Mereka bisa dilihat, tetapi lalu lenyap dalam sekejap ketika memasuki hutan tinggal mereka. ***

Di belantara Labusa, dalam jalan menuju Gunung Kalangana di Batauga, Buton Selatan, saya singgah menemui seorang tua di rumah gubuk tinggalnya.

Namanya La Hariimu, pekerjaan hariharinya adalah pekebun, menyambi berburu rusa dan sesekali menyadap nira. Darinya, saya mendengar banyak kisah terutama yang berkaitan dengan rute jalan yang selalu dilalui dan daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal para Bunian.

Ia berkisah pula mengenai Wa Asa, perempuan belia asal Lipu yang tinggal berkebun di Hutan Lawela. Ia diambil sebagai istri oleh seorang dari kelompok Bunian. Lelaki Bunian yang menyukainya terus mendatanginya saban malam dengan membawakan apa pun yang disukai Wa Asa. Wa Asa pun tidak kuasa menolak. Ia pun menerima dibawa pergi oleh lelaki dari Bunian itu.

Wa Asa tidak lagi pernah pulang setelah kepergiannya secara misterius 18 tahun lalu. Seorang lelaki berjubah hitam telah mendatangi rumah gubuk di kebunnya dan membawanya pergi ke Gunung Kalangana. Terakhir pulang 4 tahun lalu, tetapi hanya tinggal 4 hari saja di kampungnya lalu kembali menghilang secara misterius. Wa Asa berpostur jangkung, badannya semampai dengan kulit yang langsat. Menurut banyak warga di Lawela, ia telah diambil wali-wali (sebutan bagi para bunian di Lawela) sebagai istri.

La Hariimu mengisahkan pengalamannya sendiri bertemu dan berkawan dengan Bunian yang olehnya dinamai sebagai wali-wali.

Seorang perempuan dengan rambut panjang hingga ke panggul sering betul mendatanginya setiap Jumat sore selama ia tinggal di hutan konservasi Labusa, tempatnya selalu menyadap nira.

Perempuan Bunian itu mengenalkan diri sebagai Hariisa dan asal tinggalnya di Gunung Siontapina.

Ketika saya menanyainya soal jarak yang jauh sekali antara Kalangana dengan Gunung Siontapina, ia malah terkekeh. “Dalam alam mereka, jarak kedua tempat itu hanya sepelemparan batu saja, dekat sekali,” katanya.

Pabitara

23

MODAGAI KAWASAN ASOSOWU MATAIWOI TAHURA NIPA-NIPA MENJAGA KAWASAN SERIBU MATA AIR TAHURA NIPANIPA Penulis: Anakia Penerjemah Bahasa Tolaki: Nur Aida Habubu

S

uara gemuruh air mulai terdengar jelas dan keras, sambil menapaki rindangnya pepohonan dan bebatuan cadas bekas abrasi pascabanjir yang terjadi beberapa waktu lalu. Senangnya melihat keramah-tamahan warga sekitar dengan senyuman, seakanakan mengucapkan “Selamat datang di Kawasan Permandian Wisata Air Terjun Jalan Lasolo” Tak ada yang mengetahui secara pasti sejak kapan air terjun tersebut dinamai demikian. Penamaan itu mungkin karena akses masuk yang paling mudah hanya melalui Jalan Lasolo Kota Kendari, meskipun secara topografi berada dalam kawasan Tahura Nipanipa. Sebagai kawasan alam, Tahura Nipanipa dapat dicapai melalui jalan-jalan kecil (lorong) sepanjang jalan utama Kota Kendari. Untuk mencapai lokasi air terjun tersebut, bisa ditempuh dengan naik kendaraan roda dua, lalu lanjut dengan jalan kaki sekitar 15 menit. Tak usah khawatir lelah karena sepanjang perjalanan Anda bisa menikmati nyanyian gemericik air dan ayunan angin di sepanjang Kali Lasolo.

24 Pabitara

I

yano iwoi metarambuito peiya Taraa ano mokokora, ana ronga no menasai melaluno puunggasuano o, watu ako ariano telalo iwoi owase ariano obpio oleo telalo. Sanaano monggi membemeambo penaono warga sekitar ano temomo’ro, hende-hende noonggo mondulura “Selamat datang di Kawasan Permandian Wisata Air Terjun Jalan Lasolo” Tambuikitu moori kei mendetee ini piato ano petarambuu iwoi moi sanii notena moako iyeto.

Petamoanotulei’noanopewisoanono buna ano hendenototelaloI’salano Lasolo Kota Kendari, mano ari ano pola topografi mbelaine Kawasan Tahura Nipanipa. Sebagai kawasan alam, Tahura Nipanipa ano Nodapai telalo sala-sala mohewu oaso sala mendaa konduuma Kota Kendari.

Kenonggo modapa lokasi Iwoi moisaniino, kirano tulei kaa moruku ako ronga peulakondara ano roda oruo, manooari polako meruku nggarekira 15 menit. Kio kito motaku mokongango ano osa mendaano Kali Lasolo.

Hendeno to induk laa pesamba ine humbe-mbeno, potensiAriano Iwoi ine Kawasan Tahura Nipanipa Tetale ano mowowai manfaatine warga sekitar. Iwoimoisa sala i

Bagaikan induk yang bercabang ke mana-mana, potensi sumber air dalam kawasan Tahura Nipanipa menyebar dan memberi manfaat bagi warga sekitar.

Reportase

Air Terjun di Kawasan Tahura Nipa-nipa Foto : Aqsa Pabitara

25

Bagaikan induk yang bercabang ke mana-mana, potensi sumber air dalam kawasan Tahura Nipanipa menyebar dan memberi manfaat bagi warga sekitar. Air Terjun Jalan Lasolo merupakan salah satu dari beberapa air terjun di Kota Kendari, seperti Air Terjun Kemaraya (PMI_red), Permandian Teplan, Permandian Alesowi di Alolama.

Tipe ekosistem hutan, flora, dan fauna yang dimiliki Tahura Nipanipa selain untuk bercocok tanam, juga dijadikan sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari.

Tahura (Taman Hutan Raya) Nipanipa adalah kawasan pelestarian koleksi tumbuhan dan satwa, baik jenis asli maupun yang bukan asli. Kawasan itu dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, dan pariwisata. Kawasan Tahura Nipanipa secara geografis terletak di antara 03°54’05” -03°58’00” LS dan 122°29’38” -122°04’25” LU yang ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 103 / Kpts-II/199 tanggal 1 Maret 1999, yang sebelumnya bernama “Tahura Murhum”.

Secara administratif, Tahura Nipanipa (7.877,5 ha) terletak di dua wilayah pemerintahan kabupaten: Kabupaten Konawe dan Kota Kendari. Bagian Utara (5.574,9 ha) merupakan wilayah Kabupaten Konawe dan bagian selatan merupakan wilayah Kota Kendari (2.302,6 ha).

Dalam pelaksanaan penataan kawasan, Kawasan Tahura NipaNipa dibagi dalam beberapa blok, yaitu: blok perlindungan: 3.319,2 ha, blok pemanfaatan: 3.147,5 ha, blok koleksi tanaman: 699,5 ha, dan blok lainnya: 711,3 ha.

Terdapat 15 sungai yang berasal dari dalam Kawasan Tahura Nipanipa yang bermuara ke Teluk Kendari. Kawasan Tahura Nipanipa diharapkan menjadi fungsi perlindungan sistem penyangga

26 Pabitara

Lasolo batu ano ariano toopi opio no Iwoi moisaine Kota Kendari, hende Iwoi moisa Kemaraya (PMIred), Pebahoa Teplan, pebahoa Aleso wiine Alolama, Tipe ekosistem hutan, flora, ano fauna ndeni punaino Tahura Nipanipa hende ariano bercocok tanam, iyetoitonani wowai ari no iwoi bersih nggopinarulungi tepo oleoleo.

Tahura (Taman Hutan Raya) Nipanipa iyeito Kawasan pelestarian Koleksi penopaho ano satwa, meambono ari jenis asli ano Tolaki okino asli. Kawasan irono pinakenggo pinarlungino penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, ano pariwisata. Kawasan Tahura Nipanipa secara Geografis moiyai neantarano 03*54’05”03*58’00”LS ano122*29’38” LU laani tetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor:103/ Kpsts-ll/199 tanggal 1 Maret 1999, laa humbe arinano pelee sumetamoako ”Tahura Murhum”.

Secara administratif, Tahura Nipanipa (7.877,5 ha) poiya hano Ine oruo wilayah pamarenda kabupate: Kabupateno Konawe ano Kota Kendari. Bagian Utara (5.574,9 ha) Batuano wilayah Kabupate Konawe ano bagian Selatan batuano wilayah Kota Kendari(2.302,6 ha).

Ano peleksanaano penataan kawasan, Kawasan Tahura Nipani pani bagiano opio blok, iyetoona: Blok perlindungan:3.319,2 ha, Blok pemanfaatan :3.147,5 ha, Blok koleksi tanaman: 699,5 ha, ano Blok lainnya:711,3 ha.

Nidapa ano 15 sungai laa ariano ari ine Kawasan Tahura Nipanipalaa bermuara ine Teluk Kendari.

Kawasan Tahura Nipanipano hinaraputewali fungsi perlindungan sistem penyangga noonggo pemelihara tata iwoi ano perakoano iwoi, ano mencegah banjir ano erosi ine Teluk Kendari.

Ahomaine Kawasan Tahura Nipanipa mombowehi pasokan iwoino menstabilkan owutaine osu-osu ano moato rapewisono ano merare no aliran sungai. Masyaraka memanfaatkan ariano iwoi Tahura telalaano sistem pipanisasiano bak

untuk pemeliharaan tata air dan tangkapan air, serta mencegah banjir dan erosi ke Teluk Kendari.

Hutan dalam Kawasan Tahura Nipanipa memberikan pasokan air dengan menstabilkan tanah dilereng-lereng bukit dan mengatur laju dan kecepatan aliran sungai. Masyarakat memanfaatkan sumber air Tahura melalui sistem pipanisasi dan bak penampungan (reservoir). Bukan hanya kali ini saja, pemanfaatan jasa lingkungan, khususnya air dalam kawasan Tahura Nipanipa sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Terdapat banyak pipa dan bak penampungan

Reportase

Kawasan Tahura Nipa-nipa Terancam Oleh Perambahan Untuk Pemukiman Warga Baru Foto : Aqsa

pendemboa. Okinomonggo aso notokaa inono, pemanfaatan jasa lingkungan, khususno iwoi ine kawasan Tahura Nipanipa laa ito dalaa tembo zaman penjajahan. Nida pamoaroa pipa ano bak pondemboa iwoi zaman penjajahan. Sebagian laikaa tewali pinake, sebagiano haetenai kaa ano tetalenikinano sejarah.

“Akhir mingguno pebahoa rame ako anaadalo SMP ronga SMA, ihiro biasano leu metarambuu ari tonga oleo sambe ronga kiniwia”. Noteeni Jaya (49 tahun), warga sekitar.

Poiyano pebahoa te owai arine watuwatuako alami ari oleo-oleono.

air zaman penjajahan. Sebagian masih bisa dimanfaatkan, sebagian lagi dibiarkan terbengkalai dimakan sejarah.

“Akhir pekan permandian ramai oleh anak-anak SMP bahkan SMA. Mereka biasanya datang mulai dari siang sampai dengan sore,” ungkap Jaya (49 tahun), warga sekitar.

Tempat permandian terbentuk dari bebatuan alami dari waktu ke waktu. Untuk lebih memperindah kawasan para pemuda sekitar tidak tinggal diam. Mereka poles kawasan menuju permandian agar tampak lebih cantik di mata. Melalui

Nggo lebih mombokotewali kawasan para anandonia sekitaro kinopo iyametotono. Ihiromokomoahei kawasan nggolako i pebahoa ano tebua momahe pekiano. Melalui bantuan pamarendaano pihak lainnya, ihiro mbeindio mberonga-ronga umatorai kawasan laaano.

Iso-isonggiroo, iwawo (air terjun, red.), inggami biasa mowai bendungan-bendungan ari ne watu owose meitano sambe wungguaro toono dewasa, biari tewali spot pebahoa khusus no anadaloako laaki okitu mori kelumango. Noteeni Jaya mehawaiiso-iso. “Keno isoisonggiroo laa istilah inngami, iwoi moisa iko

Pabitara

27

Air Terjun Jalan Lasolo Foto : Aqsa

bantuan pemerintah dan pihak lainnya, mereka bergotong-royong menata kawasan yang ada.

“Dulu itu, di atas (air terjun_ red), kami biasa buat bendunganbendungan dari batu besar setinggi dada orang dewasa, biar jadi spot permandian khusus anak-anak yang tidak tahu berenang,” ungkap Jaya mengenang masa lalu. “Kalau dulu itu ada istilah di kami, air jatuh pertama dan air jatuh kedua.

Air jatuh pertama yang sekarang ini ramai pengunjung, sedangkan air jatuh kedua, masih jauh lagi jaraknya. Air terjun kedua masuk ke dalam “jantung” Kawasan Tahura Nipanipa melewati lokasi pembuangan kayu. Tebingnya terjal dengan kemiringan 80 derajat.

“Percaya atau tidak, dulu pernah ada pemuda di sini berlari turun sambil pegang lampu petromaks, pakai sepatu dragonfly di tebing itu,” lanjutnya sambil tersenyum pamer.

28 Pabitara

asoano iwoi moisa ikoruo. Iwoi koaso laa hendei inoni ino rame tonombeleu, keno iwoi moisa ikoruo, laika mondaela haano. Iwoi moisa koruo pewisoi uneno “jantung” Kawasan Tahura Nipanipa telalo lokasi pembekalia kookasu. Opusuno mondusa ano wehori 80 derajat.

“Paraseyaiatooki, tembombeleesu ari laa anandonia ikeni molasu petuha sambe mombo indio hulo petromaks, mombake sapatu dragon fly ine puusuno,” lanjutnya sambetemomotegere.

Kondisi iwai moisa koruo meena noiyeto lokasi ariano penakebak pendemboa iwoi (reservoir) tembo penjaja nodapaa, metarambuu ari maria ariano penake, gua/ benteng mohewu, sambe bak pondemboa iwoi tembom beleesu.

Iwoi Hende-hendeno Toari ano Tinoroako Langgo 05.30 wita, baliapono laa’ikaanderoroma, Eka (52 tahun) warga Jalan Lasolo, Kota Kendari, ari’i tomosadi amberande panaralunginggo metarambuu meindio. Mbera opio peralatan

Kondisi air terjun kedua sebenarnya adalah lokasi bekas bak penampungan air (reservoir) zaman penjajahan Jepang. Dalam Kawasan Tahura Nipanipa dipenuhi dengan berbagai tempat peninggalan zaman penjajajah, mulai dari meriam bekas, gua/benteng kecil, sampai bak penampungan air zaman dulu.

Air sebagai Sumber Kehidupan Pukul 05.30 Wita, meskipun masih agak gelap, Eka (52 tahun) warga Jalan Lasolo Kota Kendari, sudah menyiapkan segala perlengkapan untuk mulai bekerja.

Beberapa peralatan yang wajib dibawa adalah lem pipa, gunting, beberapa potongan pipa paralon bekas, dan karet ban dalam bekas yang semuanya ditumpuk ke dalam satu karung plastik berwarna putih.

Tak lupa, korek api dan sebungkus kretek andalan, tanpa alas kaki, Eka mulai menapaki jalan masuk ke Kawasan Tahura Nipanipa.

Selain sebagai ketua RT, pekerjaan Eka juga sebagai

Reportase laa wajib niwawo iyetolem pipa, ogondi, mbera opio potonga pipa paralon ari pinake, ano ogaa taobaa iune ari pinake laa wulua konita wui neune oaso karu polasti warna mowila. Kiokino kino lupe, api-api anoa sobunggusu poombia andalan, okino pombake poramba hinggare, Eka metarambuu moloko ako osala pewiso ine Kawasan Tahura Nipanipa.

Arinii nohende ketua RT, indiono Eka itono hendenoto pengusaha iwoi laa otuono mata iwoiine kawasan Tahura Nipanipa perukuuno pipanisasi ano mowisoako ine laikahaaro warga laanii ehero.

Tudu oleo, Eka umikutii pipano nggo paresai kondisi pipa keno laa mongalami bosoroa tokioki. Setiap pelanggang mowada iuran sebesar Rp70 ribu/ bulan. Ano moasoetuako jumlah pelanggan, setiap bulan pendataano modungguri Rp7—8 juta/ bulan. Profesino hende sapiri serep oto noiyenonaito sejak 2004 mbelesu.

Inindio nonii no laulau laa niowaino asoo leno kiokino tetoro.

Kiokino tanggu-tanggu’i, asoo leono iyeeto kate waliika merukutelaloine Kawasan Tahura Nipanipa sambedungguine Kecamatan Soropia, Kabupate Konawe iyei kanonggo paresai kondisi pipa iwoi hanuno.

“Keno toono suere iyei kanii owairo bak-bak pondemboa mohewu hende sumber iwoino. Sedangkan inaku langsung ari mata iwoi asli,” notee niaso bita promosino.

“Kira-kira mbakoi mata iwoi’nosambedunggu mondaeiroo?” kupesuko. Pedasara ano pongalamano, awalano sumber mata iwoi merambi, mono pengalama nopada wulaoleo iniu, mowoi iyeme pikirino nggo meopolaha sumber mata iwoi laano tule mondae, pewiso Kawasan Tahura Nipanipa. “Keno toono suerenggiroo, wula oleo batuano tambu itoiwoi, karena bak pondemboaro mowatu, keno inaku sambenii nooleo, kiokino perna mowatu karena langsung ari mata iwoi merambi batu gong (lokasi red)”, alasano.

Sementara nggo pourusi no tudu oleo iye mombunai cara dowono.

“Biasanokeno inaku meohaki ato

pengusaha air yang memanfaatkan mata air dalam Kawasan Tahura Nipanipa melalui pipanisasi dan mendistribusikan ke rumah warga yang menginginkan. Setiap hari, Eka menyusuri pipanya untuk memeriksa kondisi pipa apakah mengalami kebocoran atau tidak.

Setiap pelanggan membayar iuran sebesar Rp70 ribu/bulan. Dengan ratusan jumlah pelanggan, setiap bulan pendapatannya mencapai Rp 7—8 juta/bulan. Profesi sebagai sopir serep angkot pun ia tinggalkan sejak 2004 silam.

Pekerjaan ini rutin dilakukan setiap hari tanpa libur. Tak tanggung-tanggung, setiap hari ia bahkan bisa berjalan melintasi Kawasan Tahura Nipanipa hingga sampai ke Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe hanya untuk memeriksa kondisi pipa air miliknya. ”Kalau orang lain itu cuma bikin bak-bak penampungan kecil sebagai sumber airnya, sedangkan saya langsung dari mata air asli,” ujarnya sedikit berpromosi.

“Lantas mengapa mata airnya sampai sejauh itu? tanyaku.”

Berdasarkan pengalamannya, awalnya sumber mata air dekat, tetapi pengalaman pada musim kemarau lalu, membuat ia berpikir untuk mencari sumber mata air yang lebih jauh, masuk ke dalam Kawasan Tahura Nipanipa. “Kalau orang lain itu, musim kemarau berarti sudah tidak ada air, karena bak penampungannya kering, kalau saya sampai hari ini, belum pernah kering karena langsung dari mata air dekat batu gong (lokasi_red),” alasannya.

Sementara untuk perawatan harian ia punya cara tersendiri.

“Biasa kalau saya sakit atau lagi ke luar kota, saya tinggal suruh orang saja untuk memeriksa pipa, tinggal bayar Rp300 ribu, selesai,” ujarnya enteng. Menurutnya, bagian yang paling sulit dalam pekerjaan ini adalah di bagian perawatan, khususnya laporan pelanggan akan kerusakan pipa. “Mau siang atau malam, entah hujan atau tidak, kita

laaine luar kota, inaku ndetumenairo tokaa toono nggo paresaio pipa, nggowodaai Rp300 ribu, ariito,” notee nimagamba. Menurutno, sohoriano laa ano motunggo nee peindio ano niino iye toine soho riano pourusinno/perawatan, i laporan pelanggang laa notesosaa pipa. “Nggo tonga oleo ato owingi, mono ousa atakioki, nggo paresaika pipa iwoi pelanggang”. Maano niino mepasaa koumindioi karena menyangkut kepuasan pelanggang. Eka kioki no ehei pelanggang nome polika iwoino toono suere. Mano iyeto keno iye dowono, terdapat maroa warga suere, laa inggiro berprofesi menggena dowono. “Mokorasaiinga,” noteeni.

Padaga Iwoi Moisa Kawasan Tahura Nipanipa Tonga oleo iroo, Anto (45 tahun) nolaa asyik mereurehu santai sambe nonikmatii mepupuri noopua morini ine rai laikano.Tepo oleoleono, ie biasa meindionggasara.

Nde biasa tewali buru kasarine pelabuhan Nusantara, ndeitoono “mekandoro” ine pelelangan ikan (TPI Sadohoa). Ariito moiya inesala Lasolo metarambuu nonio. Laikano pale merambi ronga lokasi pebahoa iwoi moisa. “Woohupo sekitar 9 taumbe leesu mowangu laika ikeni, iso-iso laika imoiyaineraino ronga anamotuono,” noteeni.

Anto hendeasoano aria mbeopio warga laamenasai dampak positif ari nepebahoa iwoi moisa sala Lasoso. “Modapaodoi mohewu ari parkir kendaraan, mono iyeto kiokino mombioako. Inaku itonggu mombelioko oika koekoetu.

Maaiyeto, laau mehei dadiikai langsung leu i laikakumiki’ooika, sambèmondiso kolam ikan ine bunggulaikano.

Kondaraano iwoi moisaune Kawasan Tahura Nipanipa mombikirino nggo mobudidayakano ikakoekoetuine sekitar kali Lasolo, “Mumpung lokasino laikaiine kawasan ulu kali Lasolo, keno arinoto i lolunoona (tunduno), kiokino laa nioehe mombiara ika koekoe to karena iwoi kali mokosisiito limbah/ tembeno pemukiman warga.”

Ie ipoonano petarambuu mesaritai yetoona pengalamano selama

Pabitara

29

harus periksa pipa air pelanggan”.

Hal ini terpaksa dilakukan karena menyangkut kepuasan pelanggan.

Eka tidak mau pelanggannya pindah ke juragan air lainnya. Karena selain dirinya, terdapat banyak warga lainnya, yang juga berprofesi sama dengannya. ”Keras persaingan,” ucapnya.

Penjaga Air Terjun Kawasan Tahura Nipanipa Siang itu, Anto (45 tahun) lagi asyik duduk santai sambil menikmati terpaan angin sepoi-sepoi di depan rumahnya. Kesehariannya, ia biasa bekerja serabutan. Kadang jadi buruh kasar di Pelabuhan Nusantara, kadang juga “kantoran” di pelelangan ikan (TPI Sadohoa).

Sudah tinggal di Jalan Lasolo sejak lahir. Rumahnya paling dekat dengan lokasi permandian air terjun.

“Baru sekitar 9 tahun lalu bangun rumah di sini, dulu masih tinggal di depan sama orang tua,”.ujarnya.

Anto hanya salah satu dari beberapa warga yang merasakan dampak positif dari permandian Air Terjun Jalan Lasolo. “Dapat uang kecil dari parkir kendaraan, tetapi itu tak seberapa. Saya juga jual ikan lele. Jadi, yang berminat bisa langsung datang ke rumah lihat ikan,” sambil menunjuk kolam ikan belakang rumahnya.

Keberadaan air terjun dalam Kawasan Tahura Nipanipa menginspirasinya untuk membudidayakan ikan lele di sekitar Kali Lasolo. “Mumpung lokasinya masih di kawasan atas (hulu) Kali Lasolo, kalau sudah ke bawah lagi (hilir), tidak ada yang mau budi daya ikan lele karena air kali sudah kotor akibat limbah pemukiman warga.”

Ia pun mulai bercerita tentang pengalamannya selama ini tinggal di pinggir Kawasan Tahura Nipanipa dekat lokasi air terjun. “Kawasan ini ada penjaganya, makanya tidak boleh takabur kalau mau masuk di air jatuh,” ungkapnya. Selain

30 Pabitara

niinomoiya i wiwi Kawasan Tahura Nipanipa merambi lokasi iwoimoisa.

Kawasan niino laa padagaino, noiye tokiokino tewali takaboro kenenio ehe pewisone iwoi moisa,” teeniakono.

Manoe ipomondaliako momaheno alam ari newae ono iyayano gemercik iwoi kali laawaa ano, lokasi wisata pebahoa Iwoi Moisa Lasolo nggo dadii mombowehi balaaano risiko kenoinggitomatapa.

“Isoiso inggirola ato onombeleu ari i luar kota mate karena notonduine iwoi moisa.” Raino Anto tekii ihendehendeno metarambuu mohawaika dadiano iso isonggiroo.

Baliano pono kolupei oleo kadadiano, iemehawaiopio warga umusahai mombolika/evakuasi korban ari lokasi kadadiano. “Uluno te pandune watulahaanono nggo melosiako ari nemeeitaano/ tebing,” noteeni. Meena atokioki saritanggiroono, inggitoto kamoalo hikmano ari kadadia ano iroo. Mono nggomenaano, hikmano ari saritairoo, inggito menanonggo dumagai iano humargaii Kawasan Tahura Nipinipa. Menggauno niino hendeno toluwuako warga Kota Kendari hendeno nomanfaatkan’ imberaopino potensi laaano une Kawasan Tahura Nipanipa mono garatis kiokino porna mombowehi sobitapo perhatian onggone langsungno Kawasaniro. Kondisi lingkungan tahura pada saat niino parlu modapa porhatian khususno ari mbera pihak. Pengawasano sumber daya alam, meambo pinopahomanoie pobinata/hewanlaaano saat niino harus meemena ano dilakukan.

Opiopio persoalan laa sering tebuane kawasan iyeto konflik rongga binata laa ikai endemikne kawasannggiroato penurunan debit iwoi sungai laa terjadi akibat laju pemanfaatan lahan laano hendeno merare neune kawasan.

Kene ikatewali, Kawasan Konservasi Tahura Nipanipa laa meenaano berpotensi mombowehi manfaat kepada inggito wuluako, malah berubah tewali ancaman akibat perambahan lahan pemukiman laaki oki tetoro serta pemaafaatan hasil ahoma tanpa batas.

menyajikan keindahan alam dari alunan merdu gemericik air kali yang mengalir, lokasi wisata permandian Air Terjun Lasolo juga bisa memberikan bahaya dan risiko jika kita lengah dan lalai.

“Dulu itu ada pengunjung dari luar kota meninggal karena tenggelam di air jatuh”. Wajah Anto terlihat seakan-akan berusaha mengingat kejadian kala itu. Meski telah lupa waktu kejadiannya, ia ingat beberapa warga berusaha mengevakuasi korban dari lokasi kejadian. “Kepalanya terbentur batu saat hendak terjun dari tebing,” katanya. Benar atau tidak cerita tersebut, kita dapat memetik hikmah dari kejadian itu. Namun yang pasti, hikmah dari cerita tersebut, kita hendaknya selalu menjaga dan menghormati Kawasan Tahura

Reportase

Potensi Wisata Kawasan Tahura Nipa-nipa Foto : Aqsa Nipanipa. Selama ini hampir seluruh warga Kota Kendari hanya memanfaatkan berbagai potensi yang ada dalam Kawasan Tahura Nipanipa secara gratis tanpa pernah memberi sedikit pun perhatian untuk keberlangsungan kawasan itu. Kondisi lingkungan taman hutan raya pada saat ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari berbagi pihak. Pengawasan sumber daya alam, baik tumbuhan maupun hewan yang ada saat ini harus benarbenar dilakukan. Beberapa persoalan yang sering muncul di kawasan adalah konflik dengan hewan yang masih endemik di kawasan itu atau penurunan debit air sungai yang terjadi akibat laju pemanfaatan lahan yang sangat cepat di dalam kawasan.

Abrasi Pascabanjir di Sepanjang Kali Lasolo Foto : Aqsa

Bisa jadi, Kawasan Konservasi Tahura Nipanipa yang sebenarnya berpotensi memberikan manfaat kepada kita semua, malah berubah menjadi ancaman akibat perambahan lahan pemukiman yang tiada henti serta pemanfaatan hasil hutan tanpa batas.

Pabitara

31

Tulatula: TEGASU MALEI TEGASU MALEI (Kepiting Kenari) Penulis: Amiruddin Ena Penerjemah Bahasa Wolio: Amiruddin Ena

Ilustrator : Aridal

32 Pabitara

Sastra

D

ahulu kala, di negeri Buton ada seorang anak (remaja) yang terkenal dengan sifat nakalnya. Kenakalannya itu tidak hanya dilakukan pada orang lain, tetapi juga ia pun durhaka terhadap orang tuanya. Namanya adalah Tegasu Malei Pada masa kecilnya, Tegasu Malei adalah anak yang patuh dan suka membantu kedua orang tuanya. Mereka hidup serba kekurangan. Namun, kebiasaannya yang suka ingin mengetahui banyak hal tentang kehidupan luar membuatnya terseret dalam lembah keserakahan. Diusianya yang memasuki dunia remaja, ia merasa bosan dengan kehidupan yang serba miskin bersama kedua orang tuanya. Ia kerap pergi, keluar rumah sejak pagi hingga malam. Pekerjaannya adalah mencuri kelapa milik warga, kemudian ia jual dengan harga semaunya. Kadang-kadang kelapa yang dicurinya itu pun dijual kepada pemilik kelapa itu. Jika pulang ke rumah ia selalu membuat ulah terhadap orang tuanya.

Mulai dari permintaan makanan yang enak, meminta uang, malas membantu orang tuanya dan lain sebagainnya.

Suatu ketika ayahnya sakit keras.

Ibunya yang tidak punya daya apa-apa tidak bisa membawa ayahnya ke dukun untuk berobat, sedangkan Tegasu Malei takkunjung pulang ke rumah. Sakit yang diderita ayahnya begitu keras sehingga ayahnya pun meninggal dunia. Setelah 10 hari ayahnya meninggal, Tegasu Malei barulah pulang ke rumah.

“Ibu, saya sudah pulang. saya lapar sekali. Ibu di mana?” teriak Tegasu memanggil ibunya yang sedang sedih sambil memasak didapur.

“Saya didapur, Nak...,” sahut sang ibu.

“Ibu tolong siapkan makan. Saya lapar sekali. Jangan lama-lama ya. Karena Tegasu harus segera pergi lagi.”

Mendengar perkataan Tegasu, Ibunya hanya bisa menangis dan takbisa berkata apa-apa.

“Ibu kenapa menangis? Apa ibu tidak dengar yang saya ucapkan tadi?”

“Ibu dengar, Nak...,” jawab ibunya sambil meneteskan air mata.

“Lalu kenapa Ibu hanya diam dan menangis begitu. Segera siapkan makanan dan kalau Ibu ada uang tolong beri saya juga, saya butuh sekali uang hari ini!” kata Tegasu dengan suara keras.

I

piamoyitu yi Butuuni, dhangia samia ana-ana umane amataua kapatulina. Kapatulina yitu yinda uka tee manga miya bhari, maka sampe uka aumbaaka bhawaaka mancuanana. Tegasu Malei sarona.

Wakutuuna amaidiydi, Tegasu Malei oytu ana sadhia aturu te amenturu hamba mancuanana. Mangancia yitu kadhaangianan amiskini. Kananeana pelo tuapa mataukana bhari kamata kadangiana anana rangana akaraja malingu madhangiana. Kawa maoge, apangantamo akamata kamiskinina mancuanana.

Pangantamo amboore bhanua sadhia abholi bhanua amangaremo hamba mancuanana yinawu. Alingka minasayona yi sayo sampe sakonowia. Karajana saeyo-saeyo manako kalukuna mia, padha tobea kalukuna miya aso mea pepeluana.

Kaluku manakona saeyo yitu asoakamo uka mokalukana. Andea mbuli yibanua, malanga yincana te mancuanana. Sadhia aemani kinande malape, sadhia peelu dhoi, mendeu karaja yibanua, te mendeu opeaopea hamba mancuana.

Kawa mapiy oamana. Oinana yindamo dhangia opeopeana eabawa oamana pelancau yi bhisa. Asimpo Tegasu Malei yinda mbuli. Amakaa kapiyna oamana kasimpo oamana amate. Sapulu oyeo amate oamana, Tegasu Melai kasimpo aumba yibanua.

“Ina, kumbulimo. Kumaara siy. Yapai yingko?” Mangkana pogau Tegasu kemba oinana dhangia apusi karaja manasu kinande yirapu.

“Yaku yirapu ana…” oinana lawanimo.

“Ina, pekadhei alakaku kinande.

Maarampu yaku syi. Bholi amangenge ronamo yaku pahdaaka kulingkamo uka.”

Rango pogau Tegasu, oinana so atangi yinda matau pogau opeopea.

“Pokiana ina tangiakamu?. Yinda rangoa pogauku yisaawo, ina?”

“Kurangoa kaasi ana” “Apokia utangi ayinda te uumu.

Pekadhei dhawuaku kande. Ande uka dhangia dhoimu dhawua te yaku.

Kufaralumpu dhoi eyosiy” Tegasu makaa suarana” “Apokia membali mboyitu imanimu kaasi ana ?” apoagau sampe atangi.

“Apokia ina pogau mboyitu?”

“Yapai minaka yingko yitu kaasi ana?

Mataua ana kadhangia yi bhanua syi?”

Pabitara

33

“Kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?” tanya ibunya sambil menangis “Maksud Ibu apa, bertanya begitu kepada saya?”

“Kamu dari mana saja, Nak? Kamu tahu apa yang terjadi di rumah ini selama kamu tidak di rumah?”

“Hmmm, mana saya tahu.

Memangnya ada apa?” Tegasu merasa jengkel.

Mendengar ucapan Tegasu, mengeraslah tangis ibunya.

“Kamu benar-benar tidak tahu kalau ayahmu sudah meninggal.

Padahal semua warga tahu dan berkabung atas meninggalnya ayahmu.”

“Baguslah kalau ayah sudah meninggal. Itulah akibatnya kalau miskin sejak muda. Jadi ketika tua hanya kuburan yang didapat,” Tegasu tertawa sinis.

“Cukup Tegasu. Tega sekali kau berkata begitu kepada ayahmu yang sudah almarhum.”

“Ahhh, buat apa menahan perkataan demi orang yang sudah mati dan miskin sejak muda.

Sekarang ibu tdk usah membela ayah.

Lebih baik berikan saya uang. Saya mau pergi sekarang.”

“Kamu benar-benar keterlaluan Tegasu.” Sang ibu menahan tangis dan emosi.

“Sudahlah Bu, berikan saya uang. Ayo cepat berikan!” Tegasu emosi.

“Kamu benar-benar anak durhaka Tegasu. Maaf, ibu tidak punya uang.”

“Ibu bohong. Saya tahu kalau ibu memiliki uang dari hasil panen jagung bulan lalu. Mana uang itu?”

“Uang itu sudah habis untuk

“hm, opea kumatau. Opea modangiana?”. Tegasu lumbu yincana Rangoa pogauna Tegasu, amaoge suarana tangisi oinana.

“Oingko ndamatau totu oamamu amatemo?. Incana miana kampo amataumea apururungimo miana kampo.”

“Mangadhamo koni amaku amate. Mbomoyitu mancuana miskini minaka kangurana.

Amancuanamo tangkanamo koburu yipotibaakana.” Sampe apotawa “Padhamo yitu Tegasu. Pokia pogauakea yimboyitu to oamamu amatemo.”

“Aahh, topeaku dhani yincia yitu

membayar tagihan harga kelapa milik orang-orang yang kau curi. Kamu tahu kalau ayahmu sakit karena mengetahui perbuatan terkutukmu itu?”

“Ah, Ibu jangan banyak bicara.

Ayo berikan saya uang.”

Tegasu terus memaksa ibunya untuk mendapatka uang. Namun, ibunya tidak mau memberinya.

Tegasu bertambah emosi dan naik darah. Ia seperti dirasuki raja iblis.

Dengan beringas ia masuk kamar ibunya lalu memporak-poranda peti penyimpanan pakaian dan uang di bawah ranjang ibunya. Usaha Tegasu berhasil. Ia menemukan beberapa koin uang. Ibunya berusaha mencegah dan merebut uang itu kembali.

“Jangan ambil uang itu, Nak. Ibu mohon. Hanya itu simpanan ibu untuk persiapan 40 hari ayahmu,” ibunya memohon sambil menangis.

Tegasu

Ilustrator : Aridal 34 Pabitara

Sastra miya momate amiskini minaaka amangaru. Siysiy ina bholi moalaka oamaku. Malape dhawaku dhoi.

Yaku kulingkamo syisyi.”

“Yingko totutu kapatuli.” Oinana tangi te lumbu yincana.

“Podomo yotu ina, dhawuakumo dhoi. Pekadhei dhawuaku.” Tegasu penemo raana.

“Yinko malanga yincamu te mancuana. Maafuakaku, ainda te dhoiku.”

“Ina gaugauaku. Matauako ina keni dhoi wakutuuna tobea kaitela bula malapa yitu. Yapai dhoi yitu?”

“Odhoi yitu mapupumo kubayaraaka kalukuna yi manakomo. Ane yingko mataua, oamamu may mapiakana roonamo mataua karajamu mboyitu?”

“Ah, ina bholi bhari pogauakamu. Pekadheimo dhawuaku dhoi.”

Tegasu torusu pakisaya inana mamudhakana dhawua dhoi.

Oinana amendeu dhawua dhoi.

Tegasu rangani handa pene raana.

Himbo apesuakea rajana jini. Tee amarana apesua ikamarana oinana ambungkalea soronga pakea te dhoi yi tambena kolemana oinana.

Parasili Tegasu potibhakea.

Apotibakea sopea-sopea dhoi.

Oinana jagania dhoi ambulia alea.

“Bholi alea dhoi yitu ana, ina sopaombako. Somo yitu dhikana ina to sandatana patapuluna amamu.” Oinana pogau te tangina.

Tegasu soro inana.

Lasoakamea alingka. Inana handa atangi kamata Tegasu abholi bhanua.

“Tegasu oanaku. Mapiy mpu kupalahiriko. Himboyitu kumasiakako pekoogeko te uwe duduku te tiriana uwena amamu te peelu naile naipua yingko membali anaana malape te koguna. Oeoyitu peeluku yingko pabinasa himboyitu paiasa amapasa.

Kutundako anaku.” Oinana Tegasu atangi.

Tangasana yidhala, Tegasu apalai ta balili akamata talikuna. Ajaga

Pabitara

35

mendorong ibunya. Lalu, ia segera keluar dari rumah. Ibunya terus merintih menyaksikan Tegasu yang berlari keluar rumah.”

“Tegasu anakku, begitu sakitnya saya melahirkanmu. Begitu sayangnya saya membesarkanmu dengan air susuku dan tetes keringat ayahmu dengan harapan kau menjadi anak yang berbakti dan berguna.

Namun, hari ini harapan itu kau hancurkan seperti kaca yang pecah.

Terkutuklah kau anakku.” Ibu Tegasu menangis tersedu-sedu sendiri.

Di tengah perjalanan, Tegasu terus berlarian sambil sesekali menoleh ke belakang, ia khawatir ibunya akan mengejarnya. Tibatiba muncul seorang kakek yang melintasi jalan. Tegasu yang sedang berlari menabrak sang kakek. Tegasu terpental di sebuah batu besar. Tubuh Tegasu tergeletak di tanah dan batu besar itu berguling menindis tangan kanannya. Tegasu histeris kesakitan.

Ia berteriak meminta tolong. Tibatiba kakek yang ditabraknya itu muncul di hadapan Tegasu.

“Hai Tegasu, perbuatanmu

oinana pajereakea. Saonampu akawa mo pua. Tegasu amanduli saangu bhatu ogena. Badana Tegasu atidole yitana te bhatu ogena yitu adencu taburia limaa kanana.

Tegasu amapi. Amarobo eamani petulungi. Indamangenge pua taburia kawa yi aroa Tegasu.

“Hamo, Tegasu. Karajamu sorimpu. Yinda pekarasai mia saganana te yingko duka pekadaki yinca inamu. Yingko durhaka te mancuanamu. Pepu eoyitu yingko membalimo bungka dhangia dhadhi eyati te supina taburi bhatu. Yingko membali manusia ande dhangia ana mane amalape yincana pelu maseakako.”

Opua tolau la lingka Tegasu a membali bungka te supina taburi batu, Pulu taona aumba. Tagasu apotibakea te La Sampe Gunu. La Sampe Gunu ana malepe yincana te ose pogauna mancuana. Satao kangengena, Sayo-sayo ambuli yinawu, La Sampe Gunu sadhia aumbaka aontona kaluku matua to kandena Tegasu. Piamo siytu La Sampe Gunu asapusapu Tegasu te kaasina te pakandea.

Saonampu apenemo oumbo nibakea

sungguh keterlaluan. Kau tidak saja merugikan orang lain, tetapi juga telah melukai hati ibumu. Kau telah durhaka kepada orang tua. Mulai sekarang kau dikutuk menjadi seekor kepiting yang terus hidup di darat dengan capit yang terjepit batu. Kau bisa kembali utuh menjadi manusia jika ada anak remaja seusiamu yang baik hati dan mau mengasihanimu.”

Kakek itu berlalu meningglkan Tegasu Malei yang telah berubah menjadi kepiting dengan capit yang terjepit di batu.

Puluhan tahun kemudian, Tegasu ditemukan oleh La Sampe Gunu.

La Sampe Gunu adalah anak yang baik dan berbakti kepada orang tuanya. Setahun lamanya, setiap hari ia membantu kedua orang tuanya berkebun. Setiap pulang dari kebun, La Sampe Gunu selalu menyempatkan waktu untuk mampir memberi daging kelapa tua sebagai makanan Tegasu. Suatu ketika, La Sampe Gunu mengusap-usap Tegasu penuh kasih sayang sambil memberikan makanan.

Tiba-tiba asap mengepul muncul

Ilustrator : Aridal

36 Pabitara

Sastra mbalona bhatu. Saonampu oumbo aindamo, Kabhalebhale Tegasu Yiaroana La Sampe Gunu.

“Oyincema yingko?” La Sampe Gunu asala yincana kamata Tegasu.

“Paturu yincamu Sabhangka.

Yaku Tegasu, bungka yipakandemu saayo.”

“La Sampe Gunu ainda Paracayea. Tegasu torosu ayakiniaka te apetulatulakea kadhangiana sampe membali bungka.

Tegasu Malei emani tarima kasih te La Sampe

dari dalam batu. Setelah asap itu lenyap, berdirilah Tegasu dihadapan La Sampe Gunu.

“Siapa kamu?” La Sampe Gunu terkejut melihat Tegasu “Tenanglah kawan. Saya adalah Tegasu, sang kepiting kenari yang kau beri makan tadi.”

La Sampe Gunu seolah takpercaya. Namun, Tegasu terus meyakinkan dan menceritakan kisahnya sampai dikutuk menjadi kepiting.

Tegasu Malei benar-benar berterima kasih kepada La Sampe Gunu karena telah merawatnya dan membebaskannya dari kutukan sang kakek itu. Sebagai imbalan atas jasa La Sampe Gunu, Tegasu Melai memberikan sebuah keris sebagai kenang-kenangan persahabatan mereka.

“Ambillah keris ini, jika kelak kau membutuhkan saya, bacalah tulisan yang ada di bilah keris itu.”

La Sampe Gunu menerima keris itu dengan senang hati.

“Jadi kamu mau kemana Tegasu?” tanya La Sampe Gunu penasaran.

“Saya akan kembali mencari ibuku. Semoga saya masih bisa mengabdikan diri kepadanya. Jika beliau sudah tidak ada, saya akan berkelana di daratan dan hutan”.

“Penuhilah hajatmu kawan,” kata La Sampe Gunu Tegasu Melai berpamitan kepada La Sampe Gunu.

Sementara, La Sampe Gunu pun pulang ke rumahnya.

Demikiannlah kisah Tegasu Malei yang capitnya terjepit di batu. **** Cerita ini dalam versi masyarakat Kelurahan Katobengke, Kecamatan Betoambari, Kota Baubau.

“Ambillah keris ini, jika kelak kau membutuhkan saya, bacalah tulisan yang ada di bilah keris itu.”

Gunu roonamo padhamo dhambakea te pabebasimea yincana panarakea pua siytu. Kabholosina kalapena yincana La Sampe Gunu, Tegasu Malei adawumo leko to yudaudanina sabhangkana mangancia.

“Alamea leko syi, ande faralu yaku bacaea mburi yi saripina leko yitu.

La Sampe Gunu atarima leko siytu.

“Maka yapai ulingka Tegasu?”

Aabha La Sampe Gunu marasai. “haedhatiku, kumbuli peelo oinaku. Masangia membali dhangiaku dhambakea inaku. Ane yindamo dhangia inaku maka kulingkamo mbeli yati te nuncana gunu.”

“Peelumo haedhatimu sabhangka”. Pogau La Sampe Gunu Ahirina Tegasu Melai posangamo te La Sampe Gunu. Sangiamo La Sampe Gunu ambuli yibanuana uka.

Osiymo tulatulana Tegasu Malei te supina taburia bhatu. **** Otulatula siy minaaka yi manga mia yi Katobengke, Kecamatan Betoambari, Kota Baubau.

Pabitara

37

Tarian Tradisional pada Acara Matagalampa Foto : La Ode Yusri 38 Pabitara

Peristiwa

TARIAN TRADISIONAL YITRADISI MATAGALAMPA YI RONGI Tarian Tradisional dalam Tradisi Matagalampa di Rongi Penulis: Rahmawati Penerjemah Bahasa Wolio: Evaria

K

amalimua tekalinona malo modangiana yi Rongi siy-siy aramemo. Dangia sangu karamea yisambalina eo-eo mosaganana.

Yindamo sooto temotoro mopekalalolalona, abari duka manga mia mopotilawulina yi galampa. Manga bawine takamatea abawa kau teuwe apake kambu. Manga ana-ana maididi asamboaka karia. Samia umane teapake bia apoagorimo asapo yiodana galampa.Akawa omalo, mangaincia yinda afadhuli kagari tengalu molosaina kuli.

Tangkanamo soapakemo bia, manga mia sadaa-daana yi galampa anonto bari-baria kariana matagalampa.

Karamea siy dangia satao-satao ane tradisi matagalampa atopadangia.

Tradisi matagalampa siy apadangiaia tokasukuruna masyarakat te Kawasana Opu ronamo inawuna akohasili. Tradisi siy iantaantaginamo miana Rongi yi kampo teduka miana Rongi mobosena yi kolipuna. Yinuncana koja-kojaku

K

eheningan dan kesenyapan malam yang sehari-hari menggayuti bumi Rongi kini pecah.Ada kesibukan yang lain dari hari-hari biasa. Tidak hanya kendaraan yang sibuk lalu-lalang, tapi orang-orang yang hilir-mudik ke galampa pun terlihat lebih intens. Beberapa wanita terlihat berjalan membawa kayu bakar atau air dengan menggunakan kombu. Anak-anak berseliweran menikmati sebuah perayaan. Seorang lelaki bersarung tampak tergesagesa berjalan menuruni tangga galampa. Ketika malam datang, mereka tak peduli dinginnya angin malam yang menusuk kulit. Dengan bermodalkan sarung pembungkus tubuh, masyarakat tetap bertahan di galampa menyaksikan satu per satu prosesi matogalampa. Keramaian seperti ini terjadi setiap tahun tatkala tradisi matogalampa digelar.Tradisi ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan panen.

te Bapak Ilham, salasamia tokona pemuda yi Rongi, apogau kooni mangaincia sadhia apokompulu yi Rongi ane tekadangiana matagalampa mbosiy. Banua imboresina opuana tesamia wutinaina kaangena siy, amembalimo tampana pokompuluana manga musirahana.“Ingkami siy simpomo duka takawa yi Rongi.Yaku temamaku tambore yi Baubau simpo taumba eo siy. Andiku ambore yi Kandari, owutinai mami mosaganana aumba mina yiawi yi Rongi.

Bari-baria miana Rongi mbosiy kadangiana. Mangaincia modangiana yikolipuna satao-satao sadhia ambuli toaoseaka matagalampa. Teduka kadangiana tradisi matagalampa siy ingkami amembalimo duka tapokawa-kawa yi kampo. Asanampu namisi mami ronamo tapokawamo duka teopua mami teduka manga wutinai mosaganana. Kananeana kadangia mbosiy membalimo duka takande kaitela mangura. Maka tao siy indapo atoala kaitelana.�

Oninamo teasumpu kahawa modangiana mina isao.

Pabitara

39

Tarian Tradisional pada Acara Matagalampa Foto : La Ode Yusri Yinuncana koja-koja mami mako, Pak Ilham apogaukamo duka bari-baria acara motopadangiana yi matagalampa.Konina, acara matagalampa siy atopadangia kaange nama eo, dangia te ponda, pibentea, pihatoa, tampono api, waina ina, sampua galampa, liliya, teduka tauna ganda. Acara siy atopadangia kange saminggu.Osumbelena sambaa bembe yisarongiakamo ponda. Asumbelea samalo-malona toakandeaka mia bari yi baruga arayi galampa ane amalomo.

Dangia duka isarongiaka pibentea, pibentea siy mangaincia apekangkilo bente. Dangia duka pihatoa, apekalape padanabaruga tebambana bentena Rongi. Ane tampono api okariamo,kariana adhati, omalo, yinuncana baruga tetarango mopekabantina samaloa. Yipolotaana acara apoguaka duka hukumu tomotauna adhati yinuncana karia.

Acara sagaanana isorongiaka duka liliya. Acara inciasiy apepua yimalo keduana matagalampa apadangiamo tari linda tetari ngibi. Padana inciayitu acara waina ina apadangiaia tangkanamo tomanga ina. Acara siy adangia samaloa. Yiacara

40 Pabitara

Tradisi yang selalu ditunggutunggu oleh masyarakat Rongi baik yang menetap di Rongi maupun masyarakat Rongi yang sedang pergi merantau. Dalam sebuah bincangbincang santai di rumah Bapak Ilham, seorang tokoh pemuda Rongi, beliau menjelaskan bahwa mereka sekeluarga selalu berkumpul di Rongi setiap matogalampa digelar.

Rumah yang selama ini hanya dihuni oleh kakek dan seorang saudaranya menjadi tempat berkumpul keluarga besar. “Kami semua baru juga tiba di Rongi. Saya dan mama tinggal di Baubau baru datang hari ini.

Adik saya yang tinggal di Kendari, dan saudara-saudara yang lainnya sudah datang sejak kemarin di Rongi. Semua orang Rongi pun demikian adanya. Mereka yang ada di perantauan sedapat mungkin berusaha menghadiri perayaan matogalampa setiap tahunnya. Jadi, perayaan tradisi matogalampa ini sekaligus menjadi ajang kami untuk bersilaturahmi.

Kami sekeluarga senang bisa mengunjungi kakek dan saudarasaudara yang lain. Biasanya waktuwaktu seperti ini kita bisa menikmati jagung. Namun, tahun ini jagungnya

inciasiy manga ina apalimbamo tolauna pogauna. Mbomo bhara mopoguana amanari lindamo yi galampa ane bhara opinoanana apokawakamo katoona. Manari toapakawaaka tolauna pogauna siy amanariakea pontanga malo. Sampua galampa amembalimo ahirina karia matagalampa, manga mia akandemo kinande ipadangiana miana kampo yi galampa.Padayitu dangia isarongiaka acara padenda. Acara manari iaroana galampa. Abharimpu mia yiacara padenda siy.Sapadana Perangkat Sara tebawinena momanarina, amanarimo dukamasyarakat biasa temanga dadi mangura. Acara siy sampe raneo. Dangia duka acara sagaanana yisarongiaka tauna ganda katandainamo ane karia matagalampa siy apadamo.Omalo sapadana padenda, bhari-bharia hukumuna adhati apokompulu yi galampa. Apoguakamo kadangia kaangena karia. Mokurana, mosalana modangiana kaangena acara. Kakuranga bhara mosalana apogaukamea toalape-lapea ane akawa karia sataona.Pada oacara atutubhia kinia, acara matagalampa apadamo.

Peristiwa belum siap panen. �Tambahnya sambil menghirup kopi yang sudah tersaji sejak tadi.

Dalam bincang-bincang tersebut, Bapak Ilham pun menjelaskan kepada kami mengenai rangkaian acara pesta adat matogalampa. Beliau menjelaskan bahwa rangkaian acara matogalampa yang dilaksanakan selama enam hari terdiri atas ponda, pibentea, pihatoa, tampono api, waina ina, sampua galampa, liliya, pudenda dan tauna ganda.

Acara-acara tersebut berlangsung selama seminggu. Ponda merupakan pemotongan/penyembelihan hewan kurban berupa seekor kambing.

Pemotongan dilaksanakan pada pagi hari, dan dimakan bersama pada malam harinya di baruga atau galampa. Prosesi yang lainnya adalah pibentea, yaitu prosesi pembersihan benteng. Prosesi yang lainnya adalah pihatoa, yakni pembenahan atap baruga dan pintu gerbang benteng Rongi. Tamponoapi merupakan pesta perayaan, peresmian adat, kegiatannya malam hari, prosesi dilaksanakan di dalam baruga semalam suntuk dengan lantunan syair-syair kuno. Di sela-sela acara diisi pula dengan pembahasan adat tentang sanksi-sanksi yang diberlakukan terhadap perangkat adat dalam perayaan kelak. Acara yang lainnya adalah liliya. Acara ini dimulai pada malam kedua matogalampa yang diisi dengan pementasan tari linda dan tari ngibi. Selanjutnya, acara waina ina acara khusus untuk para ibu. Acara ini berlangsung semalam suntuk. Di acara ini pula para ibu menunaikan nazarnya. Misalnya, seorang ibu yang bernazar akan menari linda di galampa apabila kemenakannya sudah menemukan jodohnya. Tarian untuk menunaikan nazar biasanya berlangsung dini hari.

Sampua galampa merupakan puncak acara perayaan matogalampa yang dilaksanakan dengan menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh masyarakat di galampa. Selanjutnya, ada pula yang dinamakan dengan acara padenda. Acara menari dilaksanakan di depan galampa.

Suasana pudenda sangat ramai.

Setelah Perangkat Sara dan istri yang menari, masyarakat biasa dan

Kadangiana tarian tradisional amembali saangu acara momangadhana. Dangia taluangu tarian momembalina takamatea yinuncana tradisi siy, dangia tari linda, tari ngibi, teduka tari mangaru.

Yitradisi matagalampa tari linda teduka tari ngibi membali takamatea imalona liliya tepadenda. Tari linda amanariakea manga bawinena Perangkat Adat yi Rongi, ane ongibi amanariakea manga Perangkata Adat yi Rongi. Padayitu yiacara padenda, manga Perangkat Adat temanga bawinena penduamo amanariaka ngibi telinda. Padenda siy amembalimo rama-tamana acara liliya. Sapadana manga Perangkat Adat tebawinena amanari, bhari-bharia moumbana amembalimo duka amanari. Mboyitu duka tetari mangaru, membali takamtea talu mpearo. Bhaa-bhaana tari mangaru yimanariakana manga Perangkat Sara. Tari mangaru atopadangia konowia, Perangkat Sara soapobhaju biasa. Keduana tari mangaru takamatea sapadana acara sampua galampa. Yinuncana kakesana pakeana adhati, manga Perangkat Sara aposaa-sambei asapo amangaru akamatea mia bhari. Ketigana, mangaruna manga dadi mangura yimalo kapadaana matagalampa.

Kadangiana tari tradisional yimatagalampa sadhia anontoa mia bhari sampe apoasaa-asaki yinuncana galampa. Mbomo acara liliya malo yitu. Sapadana sambahea Isya nduuna ganda atorangomo pendua mina yinuncana galampa. Katandainamo ane oliliya padaaka apepuumo.

Ina-ina, ana-ana, manga dadi mangura, umane tebawine abharimo yi galampa. Aundempu manga anonto tari ngibi teduka tari linda.

Bhari-bharia monontona asanampu akamata momanarina. Abharimpu tarango mosambona toapaundeaka manga mia momanari. Momanarina minaaka yi Perangkat Sara temanga Bawinena apakamataakamo lenggana tarianna manga.Lengga mompuumpuuna, ihlasi, aposaangu tekakesa.

Kakesana lengga modawuna saangu namisi momandala yinuncana nganga randana motontoa. Apake bhaju adhati, manga bawine tekaalusuna

remaja-remaja pun bisa menari.

Acara biasa berlangsung sampai jauh malam. Prosesi yang lainnya disebut taunaganda, yakni acara penutupan bahwa prosesi pesta adat matogalampa telah selesai. Pada malam harinya, setelah semalam suntuk acara padenda, seluruh perangkat adat berkumpul di galampa. Perangkat adat mengadakan evaluasi seluruh kegiatan. Kekurangan, kesalahan yang terjadi selama pelaksanaan acara. Kekurangan ataupun kesalahan disepakati untuk diperbaiki pada pesta berikutnya. Setelah acara ditutup oleh kinia, acara matogalampa pun selesai.

Persembahan tarian tradisonal merupakan salah satu rangkaian acara yang menarik. Ada tiga tarian yang bisa disaksikan dalam tradisi ini diantaranya tari linda, tari ngibi, dan tari mangaro.Dalam tradisi matogalampa tari linda dan tari ngibi bisa disaksikan pada malam liliya dan padenda. Tari Linda dibawakan oleh para istri Perangkat Adat Rongi sedangkan ngibi ditarikan oleh para Perangkat Adat Rongi. Kemudian dalam acara padenda, para perangkat adat dan istri kembali menarikan ngibi dan linda. Prosesi padenda ini merupakan ramah-tamah acara liliya.

Selanjutnya, setelah perangkat adat dan istri menari, semua yang hadir pun bisa menari. Tari mangaro pun demikian adanya, bisa disaksikan sebanyak tiga kali. Pertama, tari mangaro yang dibawakan oleh para Perangkat Sara. Persembahan tari Mangaro pada sore hari, Perangkat Sara menggunakan pakaian biasa.

Kedua, tari Mangaro setelah acara sampua galampa. Dalam balutan pakaian adat, Perangkat Sara secara bergantian turun ke arena untuk Mangaroyang disaksikan oleh orang banyak. Ketiga, mangaro yang dilakukan oleh anak-anak muda pada malam terakhir matogalampa.

Pementasan tarian tradisional dalam matogalampa selalu disesaki oleh masyarakat. Seperti pada prosesi liliya malam itu. Selepas Isya, bunyi gendang yang berasal dari galampa kembali terdengar. Hal itu menjadi tanda bahwa liliya segera dimulai.

Ibu-ibu, anak-anak, para remaja, lakilaki dan perempuan, tumpah ruah di

Pabitara

41

lenggana amanari teamagasiaaka selendana. Lengga-lengga momakaana mbomo manu umane mosarina manu bawine membalimo lenggana ngibi yimariakana manga Perangkat Sara.

Namisi apelua teaharagangimpu mina yinuncana nganga randana mia monontona kadangiana momanarina siy toapiaraaka budayana manga mancuana ipiamoyitu.Kaharagaangi mbosiy takamatea mina yimosambona, mopotawana, sagaa duka soapomboi.

Bhari-bharia momaina mononto asanampu akamatea. Sambona mia bhari amembali saangu kasanaa tomomanarina. Gaunampu apanontoaka momalapenampu.

Sambalina atopadangia inuncana tradisi mbomo matagalampa, tarian taluanguna yitu dangai duka yiacara sagaanana yi Buton te Wuna, mbomo mokawina, posuo, alaana bulua, sabhara yiacara sagaanana duka.Amembali ara tradisi inciasiy atojagani? Dangiapo duka ara manga dadi mangura moundana mopengkaadarina tari linda, tari ngibi, tari mangaru, teduka tarian tradisional sagaanana yitao-tao iaroa?Yitangatangana kadangia siy-siy, kabarina manga ana-ana motontona hape teamagasiaka gem, dangia duka ara moudana mopengkaadarina manari?

Kaabaki inciasiy mincuana indate alasana. Zamani siy-siy kadangiana budaya isambali apesua ibari-baria sisina budayata. Tarian, pakea adhati, bahasa, kuliner teduka sagaanana samangengena yindamo tamataua yikampota karota. Saangu conto, dangiamo tari breakdance, tango, waltz, chacah, tarian minaakana yi Korea, balet, teduka mosagaanana.

Dangia mobauna duka, Kiki Challenge, amanari teaose oto motangasaana ajala. Challenge siy dangia arame yimedia sosial teabari moosea manga dadi mangura. Ane bahasa, membali takamatea mopakena bahasa asing yibhari-bhariatampa yipakena mia bhari,mopakena bahasa asing ane apogau mamudaakana tokamata amakida. Yikuliner, dangiamo isrongiaka pizza, kentucky, sandwich, tesagaana. Kuliner-kuliner yitu menturumo tarangoa asarongia manga ana-ana momborena yikota

42 Pabitara

galampa. Mereka sangat antusias ingin menyaksikan pementasan tari ngibi dan tari linda. Semua penonton terlihat sangat menikmati setiap pementasan tarian. Sorak sorai dan teriakan dari berbagai penjuru terdengar menyemangati para penari. Para penari yang terdiri atas perangkat sara dan istri-istrinya pun memperlihatkan gerakan-gerakan yang khas. Gerakan yang penuh kesungguhan, keikhlasan, ketulusan, yang berpadu dalam keindahan. Keindahan gerakan yang mampu memberi pengalaman jiwa bagi penikmatnya. Dalam balutan baju adat, para wanita dengan gerakan lemah gemulai bergerak sambil memainkan selendang. Gerakangerakan lincah bagai seekor ayam jantan yang sedang mendekati betina menjadi bagian dari gerakan ngibi yang diperlihatkan oleh perangkat sara. Rasa salut bercampur kagum atas kepercayaan diri dan kekonsistenan para penari dalam melestarikan warisan budaya nenek moyang menyeruak memenuhi seluruh rasa penonton. Apresiasi itu terlihat dalam berbagai reaksi. Ada yang bersorak, ada yang bertepuk tangan, ada yang tertawa, dan ada pula yang hanya tersenyum simpul. Semua yang hadir larut dalam tontonan yang memukau.

Bagi penari, sorak-sorai dari penonton menjadi penyemangat. Semangat untuk menampilkan yang terbaik.

Selain ditampilkan dalam penyelenggaraan sebuah tradisi seperti matogalampa, ketiga tarian tersebut sering ditampilkan dalam berbagai acara di daerah Buton ataupun Muna seperti perkawinan, pingitan, cukur rambut dan sebagainya. Apakah tradisi ini dapat tetap terjaga?

Beberapa tahun yang akan datang masih adakah generasi muda yang mau mempelajari tari linda, tari ngibi, tari mangaro, dan berbagai tarian taradisional lainnya? Di tengah gempuran modernisasi, di sela-sela kesibukan anak-anak menatap gawai dan memainkan game, masih adakah yang mau berlatih menari? Pertanyaan ini tentu bukan pertanyaan yang tak beralasan. Saat ini pengaruh budaya luar semakin kuat menggerogoti seluruh aspek kebudayaan. Tarian, pakaian adat, bahasa, kuliner, dan

masagalampu tarango asarongi kuliner-kuliner tradisional mbomo kasuami mina yi Buton, kambalu mina yi Ereke, kambose mina yi Wuna, tekuliner sagaanana.

Ronamo kadangia inciayitu, kaadarina budaya mina siy-siy tabeana atoadariaka. Tetamataua, tanamisia, teduka takamatea lausaka masangiana amembali asadaria manga dadi mangura toamaheruaka budayana lipu siy. Abhari giuna cara mamudakana budaya tarian siy amataua manga ana-ana, tapaumbaia toakamataaka momanarina, tapaumbaia atonto bhara aose tarian kolosal, mbomo momanarina tari linda te tari ngibi iosena sarewu mia yi Festival Budaya Tua ipadangiana Pamarintana Kabupaten Buton, teduka tapaumbaia manga ana-ana toapengkaadari lausaka tekarona. Masangia bharibharia usaha siy amembali apasadara manga ana-ana mamudakana amasiaka teamaheruakea budayana lipuna. Saangu wakutu, masangia tekasanaana incana akojamo temanga mia bhari bhara apasea yimedia sosial

Peristiwa

Pertemuan Adat pada Acara Matagalampa Foto : Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara

lain-lain kian hari kian terasing di negerinya sendiri. Sebagai contoh, di ranah tari muncul tari breakdance, tango, waltz, chacha, tarian dari Korea, balet, dan lain-lain. Ada pula yang terbaru, Kiki Challenge, menari sambil mengikuti mobil yang sedang melaju. Challenge ini sedang viral di media sosial dan banyak diikut oleh anak-anak muda. Di bidang bahasa, bisa dilihat maraknya penggunaan bahasa asing di tempat-tempat umum, penggunaan bahasa asing dalam komunikasi supaya tampak intelek, dan sebagainya. Dalam ranah kuliner, muncul pizza, Kentucky, sandwich, dan sebagainya. Kulinerkuliner tersebut sudah sangat akrab di lidah anak-anak, khususnya yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan kuliner-kuliner tradisional seperti kasuami dari Buton, kambalu dari Ereke, kambose dari Muna, dan sebagainya.

Berkenaan dengan itu, edukasi budaya sejak dini menjadi sebuah keniscayaan. Dengan mengenal, menikmati, dan melihat langsung diharapkan menumbuhkan kesadaran

mamudakana lelena budayana kampo siy akawa ibhari-bharia lipuna mia.

Sambalina duka, kabharina giuna budaya modangiana siy, atofaralumpu apengkadariaka budaya mamudaakana membali amatau teaharagangia budayana mia sagaanana.

Kariana adhati matagalampa siy yindampu sokariana budaya.

Kadangiana karia siy amangadhampu totakamatea tebholimpu sotalaloaka.

Abharimpu budaya momembalina yikamata. Saangu karia iharagaangita.

Bhari-bharia miana Rongi akaraja makaa toapadangia tradisi modangiana mina yizamanina mancuana yipiamoyitu siy. Adangia namisi tapomusiraha, takarajaatemia bhari, karaja makaa, pomaa-maasiaka, aosempu parintana pamarinta membali takamatea mina yiacarana saasaangu. Mbomoyitu duka temomanarina. Momanarina siy yinda soaparameaka acara, maka toapiaraaka duka budayana mancuana ipiamoyitu.

Masangia kariana budaya siy adangia torosu teduka dangia kaharagaangi tekabantu mina yibhari-bharia mia.

anak akan arti pentingnya mencintai budaya bangsa. Berbagai cara bisa ditempuh untuk mengenalkan budaya khususnya tarian kepada anak, yakni mengajak anak menyaksikan sebuah acara adat yang mementaskan tarian, mengajak anak untuk mau melihat dan berpartisipasi dalam pagelaran tarian kolosal, misalnya dalam pementasan tari linda dan tari ngibi yang dibawakan oleh seribu orang penari dalam Festival Budaya Tua yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Buton, dan mengajak anak untuk bersentuhan langsung atau mau memperlajarinya. Usaha-usaha ini diharapkan dapat membangun rasa bangga dan kecintaaan anak terhadap budaya bangsanya sendiri. Suatu waktu, dengan bangganya ia akan bercerita kepada orang lain ataupun memperlihatkannya di media sosial sehingga ketersebaran informasi budaya tersebut bisa lebih meluas.

Selain itu, di tengah keragaman budaya yang ada, edukasi budaya penting untuk membentuk karakter yang bisa memahami dan menghargai budaya orang lain.

Pesta adat matogalampa tidak hanya menjadi perayaan budaya semata. Pesta adat ini merupakan sebuah acara yang sangat menarik dan sayang untuk dilewatkan. Ada banyak perayaan budaya yang bisa disaksikan. Sebuah acara yang harus diapresiasi. Masyarakat Rongi bahu-membahu dengan sekuat tenaga bertekad menyelenggarakan dan menyukseskan sebuah tradisi yang sudah berjalan turun-temurun.

Aktualisasi nilai kekeluargaan, gotong royong, kerja keras, semangat menjalin silaturahmi, kepatuhan terhadap pemimpin, terpampang nyata dari setiap prosesi demi prosesi. Demikian halnya dengan pementasan tari.

Pementasan tari tidak hanya menjadi prosesi acara yang turut mewarnai kemeriahan acara tetapi menjadi bagian pelestarian budaya warisan nenek moyang. Semoga perayaan budaya ini akan terus dapat dilaksanakan dan mendapatkan dukungan dan penguatan dari berbagai pihak.

Pabitara

43

Kaghati Kolope Kalaalambu Ngkodau Mieno Wuna Kaghati Kolope Permaian Tradisional Masyarakat Muna

Kaghati Kolope (Layang-layang Khas Muna) Sumber Foto : www.boombastis.com

Penulis: Sukmawati Penerjemah Bahasa Muna: Samlan

44 Pabitara

Budaya

K

alaalambu ngkodau sakotughuhano nobari ghuluhano so anahihi. Saano kaawu mina nobari nolimba obiaaya, kalaalambu ngkodau nokesa dua ane daelati ombadja be mentalno anahi. Secara tida langsung, oanahihi dopancie kreatifitas, ketangkasan, sokaemabliha pemimpin, kopandeha, be kalalesano kapande welo kapokalaalambu ngkodau. Miehino psikolog donilaie kapokalalambuha ngkodau nembali norabu motorikno anahi, nokasari, nohalusi.

Kalaalambu ngkodau biasano dorabue wutondo pokalaalambuno.

Ando nembali depake obara-bara, benda-benda, atau, okafembulahi nandohino neliwu. Aini nembalianemo mie nodjala fekirino sodaerabugho sokapokalaalambuha.

Siga dua kalaalambu ngkodau mina naepake aturan tiburino.

Sigaa, aturanno nipake sigaa mentelanomo nipakeno miehi dotubarie be aturan sokapototoihando pokalaalambuno. Neini dua notiwora dua sopokalalambuno dodjudjue derabugho aturan-aturan mosesuaino be wutondo.

Kapokalaalambuha ngkodau maka nando dua liwu sigahano we wilayah nusantara aini. Pedamo dua miehino wuna depandehao nobari hulano kalaalambu ngkodau peda okaghati. Kalaalambu aini ane mieno wuna nokotula-tula wuto sokaasihino mie rampano padamo de ghawa juara wakutuno deangkafi kalaalambu internasional we Jerman tahun 2007. Kaghati maighoono te wuna, Sulawesi Tenggara notipandehao dokanae kaghati.

Kaghati doparasaeae karunsano miehi ngkodau nokotaghumo umuruno.

Kaghati ngkodau maighono te wuna dorabue nomaigho neroono kolope pada kagholeo. Roono kolope mokeleno pada doberae tompano,

P

ermainan tradisional sesungguhnya memiliki banyak manfaat bagi anak-anak. Selain tidak mengeluarkan banyak biaya, permainan-permainan tradisional juga sangat baik untuk melatih fisik dan mental anak. Secara tidak langsung, anak-anak akan dirangsang kreativitas, ketangkasan, jiwa kepemimpinan, kecerdasan, dan keluasan wawasannya melalui permainan tradisional. Para psikolog menilai bahwa sesungguhnya permainan tradisional mampu membentuk motorik anak, baik kasar maupun halus.

Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya.

Mereka dapat menggunakan barangbarang, benda-benda, atau tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal itu mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. Selain itu, permainan tradisional tidak memiliki aturan secara tertulis. Biasanya, aturan yang berlaku, selain aturan yang sudah umum digunakan, ditambah dengan aturan yang disesuaikan dengan kesepakatan para pemain. Di sini juga terlihat bahwa para pemain dituntut untuk kreatif menciptakan aturanaturan yang sesuai dengan keadaan mereka.

Permaianan tradisional tentu dimiliki oleh setiap daerah di wilayah nusantara ini. Begitu pula dengan masyarakat Muna yang mengenal berbagai jenis permainan trdisional, di antaranya ialah permainan layang-layang. Permainan ini, bagi masyarakat Muna memiliki sejarah tersendiri yang patut dibanggakan karena pernah menjuarai festival layang-layang internasional di Jerman pada tahun 2007. Layang-layang dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara dikenal dengan sebutan kaghati (sebutan layang-layang dalam

Pabitara

45

Kaghati Kolope (Layang-layang Khas Muna) Sumber Foto : hello-pet.com

dotampolie setange-setangke nepake liono wulu nembali rangkano kaghati. sementara talino dotudu-tudue maighoono ne talinino welalo roono nanasi we katugha.

Derabu roono kolope nembali karatasino kaghati mina naomuda.

Tasendai mie te wuna mandeno merabuno kaghati kolope. Roono kolope norato notiwolengkasi kawu wulano mei, wakutuuno weloghuse.

Anagha kaawu roono kolope nando no runahi be wakutuuno wulano juli roono kolope dokanaemo notughamo datumubee sokaerabuha kaghati.

Mokesahano roono kolope sokaerabuha kaghati wakutuuno doalahi roono kolope notughahimo maka do raraie tewono ifi. Pada anagha oro do gholeoe ampa ragholeo be hasilino nembalinomo kaerabuha kaghati no tangka be notara neoe.

Ane se tangke kaghati, defaralughi moghono tangke roono kolope.

Roohino nagha doposambungiane nepake ane owulu maighoono ne patu. Tankehino okolope nagha notala-talae dofopikae ne rangka sauno be runsae lima gholeo. Pada kaawu, rohino naga dokinie ne tali nembali peda setangke karatasino kaghati. Nando dointagie, dorabu deki rangkano kaghati nomaigho ne wulu/patu be talino maighoono ne nanasi we katugha. Roono nanasi diuta nagha bea somotughano be

46 Pabitara

bahasa setempat). Kaghati dipercaya sebagai peninggalan sejarah yang telah berumur ribuan tahun. Layanglayang tradisional dari Pulau Muna ini terbuat dari lembaran daun kolope (umbi hutan) yang telah dikeringkan.

Daun kolope kering yang telah dipotong ujungnya itu, dijahit satu per satu dengan menggunakan lidi dari bambu sebagai rangka layangan.

Sementara, talinya dijalin dari serat nanas hutan.

Membuat daun kolope menjadi kertas layang-layang tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang di Pulau Muna yang bisa membuat kaghati kolope. Daun kolope hanya merekahkan daunnya sekitar bulan Mei, saat musim penghujan tiba.

Namun, saat itu daun kolope masih terlalu muda dan pada sekitar bulan Juli daun kolope dianggap sudah cukup matang untuk dipetik sebagai bahan layangan.

Kualitas terbaik daun kolope untuk dijadikan bahan layanglayang dapat diperoleh apabila dipetik saat daun tersebut benarbenar sudah tua lalu dipanaskan di atas bara api. Setelah itu, daun dijemur selama 2 hari dan hasilnya akan menjadi bahan layangan yang elastis dan kedap air. Untuk satu layang-layang, dibutuhkan sekitar seratus lembar daun kolope. Daundaun itu direkatkan satu sama lain

tabea darumunsae ragholeo wakutuno minaho darumabue. Naokele kaawu, roono nanasi doala ihi lalono be dokinie nembali tali nembali sokapake. Se tangke roono nanasi nodhadji ompulu mitere.

Ampaitu, kaghati kolope nando dopokalaalambu ane nobari mie megaluno te wuna rato kaawu otobeha. Wakutuuno mokesano defohoro kaghati wulano juni-september wakutuuno kawea matagholeo noghosa nebuso rampano nopoolie nofohoro kaghati fitu gholeo be mina da mosampue. Kalaalambu kaghati aini ane te wuna, amaituuini nembali kapokalaalambuha be dodjaganihi ogalundo. Siga dua, okaghati nembali symbol okaparasaeaha. Miehino wuna djamani wawo doparasae okaghati nembali opau so djumaganino kogaluno ne kapanano gholeo rato kaawu na mate. Sementara talino kaghati sokafintaraha arwano mateno Ukurano kaghati kolope nopohala-hala, notanda 40 x 60 cm sampe 1,5 x 2 meter. Kakoghulahano kaghati aini sebabarihae bahano darabue ne maighoono kafembulahi peda owulu be roono okolape (masusau we katugha) dorabue peda bela ketupat dotubarie be kamumuno nembalianemo be suarano wakutuuno okaghati nohoro telani.

Okamumu aini peda pita suara

Budaya dengan menggunakan lidi dari bambu. Lembaran kolope tersebut dikepik dengan kerangka kayu dan disimpan selama 5 hari. Berikutnya, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang. Sambil menunggu, dibuatlah kerangka layang-layang dari bambu (patu-patu) dan talinya dari daun nanas hutan. Daun nanas yang dipetik juga harus cukup tua dan harus disimpan selama 2 hari sebelum diolah. Setelah kering, daun nanas itu diambil seratnya dan dipilin menjadi seutas tali yang siap dipakai.

Satu helai daun nanas hutan dapat menghasilkan 10 meter tali.

Saat ini, kaghati kolope masih dimainkan sebagian besar petani di Pulau Muna terutama setelah masa panen. Saat terbaik untuk menerbangkan kaghati adalah di bulan Juni--September ketika angin timur bertiup cukup kencang sehingga mampu menerbangkan layang-layang selama 7 hari tanpa pernah diturunkan. Permainan layang-layang ini bagi masyarakat Pulau Muna, dahulu merupakan tradisi yang dimainkan sambil menjaga kebun mereka. Selain itu, layang-layang juga merupakan simbol kepercayaan. Masyarakat Pulau Muna dahulu percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai payung yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan sinar matahari bila ia meninggal dunia. Sementara, tali layang-layang adalah pegangan bagi arwah yang meninggal itu.

Ukuran kaghati kolope ini beragam mulai dari 40 x 60 cm sampai dengan 1,5 x 2 meter.

Keunikan layang-layang ini adalah semua bahan bakunya yang terbuat dari tumbuhan, yaitu bambu dan daun ubi gadung atau kolope (dalam bahasa Muna) yang dirangkai dalam bentuk belah ketupat dan dilengkapi dengan kamumu (dalam bahasa Muna) sebagai komponen tambahan yang menghasilkan bunyi ketika layang-layang tersebut terbang di udara. Kamumu ini semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang apabila ditiup angin akan bergetar dan menghasilkan bunyi khas mendayu terutama saat layangan

dorabue maighoono ne nerono obale ane norato nobusoe kawea nokorenku be nokondii-ndii apalagi anekaawu kaghati nohoro korondoha.

Ampaitu sendai kaawu mieno wuna merabuno kaghati maigho ne roono kolope rampano nohali dorabue be tasendai masiane miehino moghone wuna djumaganino warisan budaya aini. Taka kaawu dofaralughie sepaliha kasadarndo be pindaono miehino wuna, peda miehi moghane da tetap tadjumaganie be dapertahankan ane kanandohano kaghati kolope welo kadadiha seghosegholeo.

Ampaitu kawu siga miehino wuna, nando defohoro kaghati kolope be nembali kalaalabu kanontahano miehi maighoono weluara.

Kalaalambu kaghati ngkodau aini dorabue rato kaawu ratohano tobeha

dibiarkan terbang ketika malam hari.

Kini hanya segelintir orang Muna yang bisa membuat layang-layang dari daun kolope karena memang proses pembuatannya yang tidak mudah dan kurangnya minat generasi muda Muna untuk merawat kekayaan warisan budaya ini. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kesadaran dan kesediaan masyarakat Muna, terlebih para pemuda agar tetap melestarikan dan mempertahankan eksistensi kaghati kolope dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Saat ini pun sebagian masyarakat Pulau Muna masih menerbangkan kaghati kolope dan menjadi daya tarik tersendiri sebagai atraksi bagi para wisatawan.

Atraksi layang-layang tertua ini diselenggarakan terutama setelah masa panen. Sebagai perayaan setelah

Kaghati Kolope (Layang-layang Khas Muna)

nembali kalaalmbu rato tobeha kalaalambu kaghati kolope nohunda nohoro te lani fitu gholeo fitu alo.

Ainihaemo kaokesahano sighahano, saano kaawu sebabarihae dorabue nomaigho ne alam be dua notara nompona nohoro telani. Naokesa dua mada kaawu, semorabuno kafohoroha kaghati internasional nanturu darumabue te wuna peda pada karabu kukundono. Sanakaawu darumabu pulau wuna nembali so kamaihano owisata we Indonesia, nembali dua suli damokaghosa kaghati kolope nembali juara dua

panen, atraksi kaghati kolope bisa melayang di udara selama 7 hari 7 malam. Inilah keunikan lainnya, selain semua bahannya alami dan juga tahan lama melayang di udara.

Ada baiknya, ke depan, festival layang-layang internasional secara rutin digelar di Pulau Muna seperti yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya. selain untuk menjadikan Pulau Muna sebagai tempat tujuan wisata utama di Indonesia, juga untuk mengukuhkan kembali kaghati kolope sebagai juara dunia.

Pabitara

47

TE TULA-TULA LA ODHE WUNA LEGENDA LA ODE WUNA Penulis: Uniawati Penerjemah Bahasa Wakatobi: La Untu

Ilustrator : Aridal

48 Pabitara

Telaah

T

e Paira Gara a Phiton Reticulates iso ??

Aombo’a u sa’a bhola to’oge ana temagempara temanusia u kampo Muna baru-baru ana anedho o namisi toma’eka apa meana’e. mbeaka tumoma’eka toumpa, te sa’a buri iso (python reticulates) kene notolo ulu-ulu te mansuana wowine umura I korangano.

Tobayangka’emola’a, ane kene manusia mate itolo u sa’a maka mbe’e natulungine mau samia.

A ombo’a u sa’a to’oge iso, mbeaka ba’anomo I iso la’a, I kampo hele uka o sere bha’ombo’a sa’a buri ahirino te manusia u togo osere bhama’eka’a. I berita liputan6.com tangala 20 Juni 2018 oberita akone ane hato’ulu oafa te sa’a. mina bha-bha u mate’a u wa Tiba itanggala 15 juni 2018 ai’te sa’a buri mai iso o sere bhaombo’amola’a I kampo-kampo Lakuampo, jompi kene I masalili ako telumaha umura te yimanga.

Te kejadian meana’e mbeaka o kobetulan, toumpa te sa’a mai ana umura ane kene heuranga’ano I tampa meiso’e, thari umura te heuranga’a u sa’a mai iso ane ke ha’a-ha’ano.

Okoruo a mia ngumaane teombo’a u sa’a iso anela’a kene giu hele sampe ombo a sa’a mai iso. saga’a o ngane kua ane kene poanuno kene tula-tula I muna Imolengo kua ane kene po’afasano ke La Odhe Wuna moto ‘orungu satonga te manusia satongano te sa’a. te sa’a mobhasa u mombo iso ongane kua te ombo’a U la Odhe Wuna rumupa sagiu, ako te tanda kua te futa hu’u kene togoana koruomo I tha’ono. Te manusia, te alam, hembulata, kene kadhandhi mbeakamo nopohenuntu. I laro u gana ramba iso, umura ane kene thuma’o I laro sa’asa, ahirini ohokotha’o te togo. Thari malingu sala samia u giu iso thumao maka akomo te numamisine a thaono.

Thari te Wa Tibamo salah samia a numasine a thaoka u rantai alam

A

da Apa dengan Phiton reticulatus?

Fenomena kemunculan ular piton raksasa yang sempat menggemparkan masyarakat Muna baru-baru ini cukup menghadirkan teror dan trauma yang cukup panjang.

Bagaimana tidak, ular piton berjenis sanca kembang (Python reticulatus) itu taktanggung-tanggung menelan utuh seorang wanita yang saat itu sedang sendirian di kebunnya.1 Takdapat dibayangkan bahwa ada manusia yang harus mati secara tragis oleh seekor ular raksasa tanpa sempat memperoleh pertolongan dari warga.

Peristiwa kemunculan ular “raksasa” yang secara tiba-tiba itu rupanya tidak berhenti sampai di situ. Di beberapa perkampungan penduduk juga ditemukan ular sejenis yang membuat warga kampung diliputi perasaan cemas.

Melalui Liputan6.com pada 20 Juni 2018 tercatat ada empat kasus serupa yang merekam kemunculan ular-ular itu. Sejak kasus pertama yang menewaskan Wa Tiba pada 15 Juni 2018 lalu, ular-ular piton secara berturut-turut ditemukan di perkampunan Langkuapo, Jompi, dan Masalili sedang mengintai mangsanya.2 Tentu hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Ular-ular itu memiliki habitat sendiri sehingga jika mereka muncul di perkampungan penduduk, mungkin saja ada yang tidak beres dengan habitat mereka.

Banyak spekulasi yang kemudian mengiringi fenomena kemunculan ular-ular piton tersebut. Salah satunya adalah adanya beberapa pihak yang mencoba mengaitkannya dengan salah satu legenda masyarakat Muna tentang La Ode Wuna yang konon bertubuh setengah manusia dan setengah ular. Kemunculan ular-ular piton dalam ukuran “raksasa” itu disinyalir sebagai “penampakan” La 1 Berdasarkan informasi dari beberapa media, korban tersebut bernama Wa Tiba (54 thn.). Ia adalah warga Kampung Lawela, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.

2 Ketiga perkampungan itu secara administratif berada dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Muna. Di daerah itulah ditemukan ular piton berukuran sekitar 3—5 meter.

Pabitara

49

iso. te musiba iso akomo la’a mai te to’ogeno ara ta mopohokodha I dhunia ana. Thari te thao wanaiso mbeaka la’a umane ara mbeaka ta mokodha’oke na futa hu’u. Thari nokobhe’emola’a ara te dhao to’oge iso kua te tandamo mini La Odhe Wuna, toumpa tehale u manusia mokodhao te futa hu’u. te manusia ana nolabi pentingkan ako te orusuno pe’esano dari pada a dhumaga te futa hu’u. te nafusu manusia iso ahirino kobhe’emo te balaa.

Toka Te’emai sampuno a La Odhe Wuna?? Mbula oha’a o ngane kua te ombo’a usa’a buri to’oge iso ane kene kaitano ke iya?? Kua umura te iya iso te yipirisaea u amai Muna mai ?ongane te gau kua “mbea umane a ko’o ara mbea’e a ahu. Mbea’e a giu ara mbeae a sebapuno. Thari akodehimo ta mema’anae a bhanti iso, mai to pakiline a ko’o iso ako ane no meangi na hopoita.

Te Manusia u Muna kene TulaTula La Odhe Wuna Ara Toitane mini peta, te pulo muna iso ototinda I tonga pulo Sulawesi tenggara. Kira-kira te posisino I 4015’-4030’ I lintang selata kene I 122015’-123000’ bujur timu. Ara afana i geografi, a pulo Muna iso o ura I bahagia tenggara pulo Sulawesi. Pasi atu, te pulo muna uka o ura ibahagia Bara pulo Buton kene I bahagia timu pulo kabaena thari te pulo u Muna iso omaso I wilaya Sulawesi tenggara. A pulo Muna iso o tadhe pe’esamo thari kabupaten Muna kene te ibu kotano te Raha mini ta’o 1959 afana o nga’emo di Undanga-undang Nomor 29 ta’o 1959 te bentu’a u daerah-daerah tingkat II i Sulawesi.

Te asala u nga’ako’a u Muna iso mbea’e mia dhumahani’e. ane kene mia ngumane kua te Muna iso I molenge o ngaane te

50 Pabitara

Ode Wuna dalam bentuk lain sebagai sebuah petanda bagi masyarakat bahwa keseimbangan alam telah rusak. Manusia, alam, tumbuhan, dan hewan tidak lagi berada dalam rantai keseimbangan. Salah satu pengait rantai itu mungkin saja telah lepas atau rusak sehingga tidak bisa lagi berfungsi dengan baik. Rantai keseimbangan itu telah rusak sehingga setiap bagian-bagian yang terjalin di dalamnya akan menanggung dampak dari kerusakan itu.

Wa Tiba adalah satu-satunya orang yang menjadi korban “kerusakan” rantai alam itu. Ia sekaligus sebagai refleksi sebuah karma yang lebih besar yang akan terjadi apabila rantai itu dibiarkan rusak. Peristiwa seperti itu sesungguhnya tidak perlu terjadi apabila manusia bisa berlaku bijak pada alam. Wajar saja jika kemudian muncul anggapan bahwa adanya korban manusia sebagai wujud kemarahan La Ode Wuna atas perbuatan manusia yang sudah semena-mena terhadap alam. Manusia lebih mengedepankan kepentingan pribadinya tanpa memperhatikan kelangsungan alam lingkungannya.

Ketamakan telah membutakan hati manusia sehingga ia harus bisa menanggung akibat dari perbuatannya sendiri.

Lantas siapakah sesungguhnya La Ode Wuna? Mengapa ia dikaithubungkan dengan fenomena kemunculan ular-ular piton di daerah Muna? Mungkinkah ia mengisi satu bagian dari sistem tradisi dan kepercayaan orang Muna? Sebuah peribahasa mengatakan, tak ada asap jika tak ada api. Takada akibat jika takada sebab. Namun, untuk menyingkap api di balik kepulan asap, diperlukan angin yang mampu menghalau asap itu agar menjadi lebih terang. Dengan demikian, takada prasangka yang membuat hati bimbang dan bertanya-tanya tentang kebenaran suatu hal.

Wuna te ma’anano te ‘Bunga” te ngaa’ako’no iso o pohenangkamo kene kejadia I kampo tongkuno kene o hitinguru ane kene konta homali kene barakatino I mia kampo iso. te tampa iso I molengo ongane kua te tambunga u fatu rumupa fatu rumbu kene kai saga’a o kaluara kene tumbino umidho afana bunga karang. Te mia ukampo iso, o ngane kua te konta kowuna te mana’anano “te watu kamba”.

Konta Kowuna iso ongane te mia u kampo iso sanga’a deimo oitane norupa kapala kene opirisaea’e kua te kapala u sawerigading, u Putra Arung Luwuk mini Sulawesi selatan, dhumongka I kampo meiso’e. mina isomoai a ‘baa-‘baa u ane’a u Muna o ngane kua ane kene hafasano kene sawerigading moto raha bugisi. Toka, mbeaka te soala meiso’e ako te yigau ako I laro tula-tula ana. toka afanaumpa hubungano a Muna kene ane u La Odhe Wuna I hale u ‘baa ombo’a u sa’a bhola mai I Muna iso.

Toka te La Odhe Wuna o koruomo torodhongone apalagi ane kene kaitano kene adati pogau manusia u Muna. Toka umura, afanaumpa a tula-tula u La Odhe Wuna ana mbeadho koruo mia dhumahani’e. Thari atu. Mina mbeadho to ngaa te tula-tula u la odhe wuna kene hubungano ke ombo’a u sa’a bhola mai iso, ‘baa’baano lagi to pahamune a tulatula u la odhe wuna podhimbula.

La Odhe Wuna I molengoai, ane kene kerajaa o pimpine te raja mini Muna angano te Omputusangia te ngaa mpuno te La Odhe Husaeni (kira-kira o parenta mini ta’o 1716-1757). A Omputusangia ana ane kene belano te kawino 70 (hituhulu) ta’omo, toka mbeadho hoto’ana. tunggala olo, a Omputusangia ana o sibu la’a I orusu’a u keraja’a sampe mbeala’a fikirino kua ako ane a

Telaah

Orang Muna dan Legenda La Ode Wuna

Dalam bentang peta bumi, Pulau Muna cukup jelas tergambar di bagian kaki Pulau Sulawesi.

Posisinya berada pada kisaran 4015’—4030’ lintang selatan dan 122015’—123000’ bujur timur.

Secara geografis, Pulau Muna berada di bagian tenggara Pulau Sulawesi. Selain itu, letak Pulau Muna terlihat berada di bagian barat Pulau Buton dan sebelah timur Pulau Kabaena yang secara administratif berada dalam wilayah pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau Muna berdiri sendiri sebagai sebuah kabupaten dengan nama Kabupaten Muna yang ber-ibu kota di Raha sejak tahun 1959 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang Pembentukan DaerahDaerah Tingkat II di Sulawesi.3 Asal-usul penamaan Pulau Muna mungkin tidak banyak yang mengetahuinya. Beberapa sumber mengatakan bahwa Muna pada awalnya dikenal dengan nama Wuna yang berarti ‘bunga’ dalam bahasa Muna. Penamaan ini didukung oleh sebuah legenda yang berkaitan dengan peristiwa kosmologi di daerah Tongkuno yang memberi makna spiritual bagi masyarakat sekitarnya. Sebuah wilayah yang ditandai oleh keberadaan sebuah gugus batu berbukit menyerupai karang yang konon pada waktuwaktu tertentu mengeluarkan tunas-tunas yang tumbuh seperti bunga karang. Oleh masyarakat sekitarnya, hal itu dinamai sebagai konta kowuna yang berarti ‘batu berbunga’. Bukit Konta Kowuna berdasarkan penuturan warga jika dilihat sepintas bentuknya menyerupai kapal yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kapal milik Sawerigading, Putra Arung Luwu di Sulawesi Selatan 3 Diperoleh dari sumber tertulis yang ditulis oleh La Kimi Batoa dalam Sejarah Muna (1995).

lumaha te ana.

Toka I rondo meatu’e, a Omputusangia o kendheng-kedhe I tampa u helafe’ano dheimola’a o fikiri hei hoto’ana’a ako’ane te matorusu te kedheano I parenta’a.

70 (hituhulu ta’o) mo pasi kawino, mbedhola’a o hoto’ana mau samia.

Thari o saimo tefikiri’a sampe omoturu I kedheng-kedhe ‘ano.

Sa rea-reano. Omputusangia ana o rodhongomo tenguru kua ane kene mia mini arabu I wuta u Muna akodheimo a mai a umathara ako te agama isilamu. A yiro arabu iso angano te Saidhi Raba. O ngane kai A saidhi raba iso ane kene ilimu pandeno mbulao kai omai kua wuta u muna iso tuhu mini antara. Thari te Omputusangia ana o morosina norodhongo tenguru iso akhirino oparentane a pengawalano ako a umelone a Saidhi Raba kua istana.

Te pengawala mai ana o wilamo kua tampa u Saidhi Raba iso.

Safaliakono kua istana, mbeaka no bawane ke Saidhi Raba ana. te Oputusangia tumain-tai saoloe ana o hafaso. Thari a pengawal iso o tarangka’akoemo mbula oha’a mbeaka omai ke Saidhi Raba. O gau kua, a Saidhi Raba iso mbeaka mai kua istana toumpa te raja o piara te babi. Te babi kai, te kadhadhi haramu ara I laro u agama I konta Saidhi Raba iso, te agama isilamu.

Te raja iso o parenta akone a anabuano mai akodheimo alumapasine sabha’ane’e a babi mai iso akodheimo te Saidhi Raba ana omai kua istana. Salapasino a babi mai iso, te Sadhi Raba ana omaimo kua istana. O emamo kua ako toumpa raja umelo aku kua istana ana. ogau a Ompotusangia kua tehemposu ku tumesi te ilimu’u mina mbeadho u sebara ako a agama isilamu I wuta u Muna.

Tetesi podhimbula, a Omputusangia iso omelu kua Saidhi Raba ako ane a bumasa’e a ngangarandano.

Ara Saidhi Raba thumari bumasa’e

yang terdampar di daerah itu. Dari situ pulalah kemudian dihubungkan dengan awal mula keberadaan orang Muna yang dianggap memiliki temali kekerabatan dengan Sawerigading yang berdarah Bugis. Namun, bukan persoalan itu yang akan dikupas pada tulisan ini, melainkan tentang hubungan antara orang Muna dan legenda La Ode Wuna yang disangkutpautkan dengan fenomena kemunculan ular-ular piton di Muna.

Nama La Ode Wuna mungkin sudah sering didengar terutama dalam kaitannya dengan tradisi lisan masyarakat Muna. Namun, bagaimana persisnya kisah tentang La Ode Wuna mungkin belum banyak yang mengetahuinya. Oleh karena itu, sebelum menelisik lebih jauh tentang legenda La Ode Wuna dan fenomena kemunculan ular-ular piton itu, ada baiknya kisah tentang La Ode Wuna dipahami terlebih dahulu.

Legenda La Ode Wuna4 Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Muna bernama Omputusangia yang bernama asli La Ode Husaeni (diperkirakan memerintah pada tahun 1716—1757). Omputusangia memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama 70 tahun tetapi belum juga memiliki seorang anak. Setiap hari, Omputusangia disibukkan dengan urusan kerajaan sehingga nyaris tidak pernah memikirkan secara serius kehadiran seorang anak.

Hingga suatu malam, Omputusangia yang sedang duduk di tempat peristirahatannya tiba-tiba terlintas dalam pikirannya tentang kehadiran seorang buah hati yang dapat meneruskan pemerintahannya.

Ia telah menikah 70 tahun tetapi takjuga ada tanda-tanda kehadiran 4 Diperoleh dari sumber interner:http://poenyamarta. blogspot.com/2011/06/pembangunan-jembatan-penyeberangan-kota. Html pada 4 Agustus 2018. Telah dilakukan beberapa penyesuaian tanpa mengubah alur kisah yang mendasarinya.

Pabitara

51

52 Pabitara

Telaah

Ilustrator : Aridal

seorang anak. ia merenung cukup lama hingga akhirnya kelelahan dan tertidur.

Pagi hari, Omputusangia mendapat kabar bahwa telah datang seorang saudagar Arab di Pulau Muna dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam. Saudagar Arab itu bernama Saidhi Raba.

Konon, Saidhi Raba memiliki kesaktian mandraguna ditilik dari kemampuannya mendatangi Pulau Muna melalui udara. Omputusangia pun tertarik mendengar kabar itu dan segera memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi Raba datang ke istana.

Pengawal kerajaan pun pergilah ke tempat Saidhi Raba. Saat kembali ke istana, ia tidak membawa serta Saidhi Raba. Omputusangia yang telah menunggu seharian di istana pun marah. Pengawal tersebut lalu segera menjelaskan alasannya tidak membawa Saidhi Raba. Menurutnya, Saidhi Raba tidak datang ke istana karena raja memelihara babi. Babi adalah binatang haram dalam agama yang dianut oleh Saidhi Raba, yaitu agama Islam Omputusangia lalu memerintahkan para pengawal agar melepaskan babi-babinya agar Saidhi Raba berkenan datang ke istananya. Setelah babi-babi itu terlepas, Saidhi Raba datang ke istana. Ia lalu bertanya mengenai maksud Omputusangia memanggil dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa ia ingin menguji kesaktian Saidhi Raba terlebih dahulu sebelum ia menyebarkan agama Islam di Muna. Ujian pertama, Omputusangia meminta kepada Saidhi Raba untuk membaca isi hatinya. Jika Saidhi Raba berhasil, ia akan memeluk agama Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Saidhi Raba bisa membaca isi hati Omputusangia. Ia mengatakan bahwa sang raja sangat menginginkan seorang anak. Namun,

Pabitara

53

keinginannya sulit terpenuhi karena istrinya tidak dapat mengandung.

Omputusangia meminta Saidhi Raba mendoakannya agar istrinya bisa hamil.

Berdoalah Saidhi Raba kepada Tuhan, tetapi doanya belum dikabulkan. Omputusangia pun mulai curiga jika Saidhi Raba tidaklah sehebat seperti dibicarakan oleh para pengawalnya. Saidhi Raba rupanya tidak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan lagi doanya agar keinginan raja bisa terwujudkan. Akhirnya, doa Saidhi Raba diterima. Istri Omputusangia pun mengandung dan sejak saat itu ia memeluk agama Islam. Sebelum pulang, Saidhi Raba berkata pada Omputusangia bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan oleh Tuhan karena umur istrinya sesungguhnya tidak memungkinkan lagi untuk mengandung.

Tiba saatnya permaisuri melahirkan, Omputusangia mulai cemas memikirkan perkataan Saidhi Raba. Rupanya perkataan Saidhi Raba terbukti. Anak yang dilahirkan oleh permaisuri tidak selayaknya bayi manusia pada umumnya. Anaknya berwujud setengah manusia dan setengah ular. Omputusangia sedih dan malu melihat kondisi anaknya.

Namun, ia tetaplah bersyukur atas pemberian Tuhan. Anak itu diberi nama La Ode Wuna. Karena kondisi La Ode Wuna, Omputusangia menyembunyikannya di dalam guci agar tamu-tamunya yang datang dari Bugis ataupun Minangkabau tidak melihatnya.

Lima belas tahun kemudian, La Ode Wuna tumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia mulai merasakan ketertarikan pada gadis-gadis yang dilihatnya. Ia pun senang menggoda para gadis yang ada dalam lingkungan istana dan berniat memiliki seorang kekasih.

Keinginan La Ode Wuna itu tidak direstui oleh Omputusangia karena

54 Pabitara

maka ku maso agama isilamu.

Toumpa ane kene dhahanino, Saidhi Raba o thari o basane a laro u Omputusangia. O simbone kua te raja ana ohei ako ane a moto’ana, toka o marasai o afa toumpa te bhelano mbeaka o dhari hamili. Thari te Omputusangia ana o melu kua Saidhi Raba ana ako ane a thumoa akone akodheimo te bhelano thari hamili.

Thari o thoamo a Saidhi Raba ana kua Mo’Ori, toka tethoano mbeadho paratone. Ahirino te Omputusangia ana o curigamo kua te Saidhi Raba ana mbeala’a dhahanino afana I tula-tula ako’a u anabuanomai. Te Saidhi Raba ana mbeado helafe apa atu. Te iya o thoa torusu ako’ane te melu raja o parato. Ahirino, te thoa u Saidhi Raba ana o tarima’e. maka te bhela u Omputusangia iso o hamili kehe ahirino mini atu o maso Isilamumo.

Mina mbeadho waliko, Saidhi Raba ogau kua Omputusangia te nyinafa I laro kadhuma u bhelau atu te nyinafa opakisa pa’ane’e te Mo’Ori toumpa te omuru bhelau atu sampuuno mbeakamo a thumari a humamili.

Tangku wakutu a maidhomo, te Omputusangia ana omaeka akomo te gau Saidhi Raba. Kambedha te gau Saidhi Raba iso tesidha. Te ana umidho mini bhelano iso mbeaka fana ana morunga monea. Te anano iso te rupano satonga manusia satonga sa’a. A Omputusangia ana o ambanga kene tomoniasi o ita te rupa u anano iso. toka te iya ana o tatapu nosukuru’e a rathaki I hu’u akono u Mo’Ori. Thari te ana iso o ngane te La Odhe Wuna. To umpa te rupa u La Odhe Wuna sagiu kemia hele, a Omputusangia no hebuni’e a anano I laro u gusi ako ane bhara umitane te tamuno mai mini bugisi kene minangkabau.

Sa 15 (ompulu limata’o) no, a La Odhe Wuna iso o thari anamo’anemo. Te iya ana anemo kene namisi poi-poiluno ara noita

kondisi fisiknya yang berbeda dengan manusia pada umumnya.

Hingga suatu hari, Omputusangia memutuskan untuk mengasingkan La Ode Wuna karena tidak tahan lagi menanggung perasaan malu di hatinya.

La Ode Wuna lalu diasingkan di Unggumora. Sebelum meninggalkan istana, ia dibekali 44 biji telur dan 44 biji ketupat. Pada hari keempat puluh di tempat pengasingannya, ia pun terbang ke langit dengan badan yang menyala. Arah terbang La Ode Wuna hingga saat ini tidak diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan bahwa La Ode Wuna terbang ke Ternate dengan kesaktian yang dimilikinya. Namun, ada pula yang tidak yakin dengan dugaan itu. Meskipun demikian, rakyat Muna tetap mengistimewakan La Ode Wuna sebagai manusia yang diberkahi kelebihan. Konon, setiap setiap ucapannya akan selalu menjadi kenyataan.

Pesan Ekologi dalam Legenda La Ode Wuna Sebuah interaksi yang dinamis dan harmonis antara makhluk hidup dan lingkungannya akan membentuk suatu tatanan ekosistem yang seimbang. Kondisi ini akan berujung pada keselarasan dan keseimbangan hidup semua organisme di bumi.

Namun, keseimbangan tersebut akan bermuara pada kerusakan ekosistem apabila terjadi gangguan di dalamnya yang menyebabkan lingkungan bukan lagi tempat yang nyaman bagi organisme untuk tinggal dan hidup. Kerusakan ekosistem ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah aktivitas manusia. Misalnya, penebangan pohon secara berlebihan, pembakaran lahan dalam rangka pembukaan lahan untuk bertani, penggunaan insektisida yang berlebihan, perburuan, dan lain-lain.

Fenomena kemunculan ularular piton di beberapa tempat di

Telaah

te kalambe. Saga’a uka o pande furea te kalambe mai I lepeno kene ane uka keheino a moto porae. Te niati u La Odhe wuna iso mbeaka no hadha akone te Omputusangia toumpa teposala rupano kene manusia hele mai. maka I sawakutu a Omputusangia ana notantu akoemo ako ane te La Odhe Wuna iso a malindane toumpa mbeakamo no taha na ‘amano I ambanga.

Thari te La Odhe Wuna ana, o palindanemo kua Unggumora.

Mina mbeadho tadha’oko’e a istana, ohefinaluti’e te 44 (hatohulu hatobha’e) na gora’u kene 44 (hatohulu hatobha’e) na katupa.

Thari I oloo 40 (Hatohulu) te iya ana olola kua lange kene orungu umundela. Te lola’a u La Odhe Wuna apa meana’e mbea’e amia dhumahani’e. Ane kene mia gumau kua te La Odhe Wuna o lola kua taranate opake te ilimu ikontano, ane uka kene mia mbeka mirisaea.

Mau fanaumpa, te manusia u Muna osauri na pirisaea ako u La Odhe Wuna kua te mia ane ke konta pandeno kai, ara ane ke yihempono akomola’a barakati.

Te Amala Leama I Laro Tula-tula La Odhe Wuna Te posai-sai leama antara makhluk hidup kene lingkungano akola’a tamatadhe te ekosistem poimbangi. Te posai leama’a fanana ai ako dheimo tamoimbangi’e sabha’ane’e a organisme I thunia ana. toka uka te iso ai akola’a mokodhao te ekosistem ara ta sumai te poganggua tafa tepohokodha’oka kene ahirino te lingkunga iso mbeakamo thumari tampa namileama ako teuranga’api. Te thaoka u ekosistem ana ane kehaleno. Isala satuno iso te mingkunto yikita manusia.

Sontono, te pale’a ukau mobhasa mai sambaranga, tohonga rampu te rompu tafa temoto kau ako’ane te hekoranga’a, te pake’a u somporoti kene anedho korouo.

Kabupaten Muna bisa jadi sebagai tanda telah terjadinya kerusakan ekosistem di lingkungan tersebut.

Manusia mungkin secara tidak sadar telah menjarah habitat ular demi pemenuhan kebutuhannya sehingga berakibat pada kematian salah seorang warga yang diterkam ular. Sungguh suatu peristiwa yang disayangkan dan akan menjadi catatan kelam tentang hidup seseorang.

Saya menduga bahwa sosok La Ode Wuna yang begitu melegenda bagi orang Muna merupakan simbol keselarasan hidup manusia dengan alam. Menurut catatan dari kisah yang dituturkan oleh orang-orang yang mengetahui tentang legenda itu, La Ode Wuna digambarkan sebagai manusia berbadan setengah ular.

Hal ini menyiratkan sebuah pesan ekologi tentang manusia dan alam yang diibaratkan sebagai sebuah penyatuan. Satu sama lain saling menunjang demi kelangsungan hidupnya. Mengapa dalam sosok La Ode Wuna digambarkan berkepala manusia, bertubuh ular? Karena di dalam kepala terdapat akal yang selayaknya digunakan untuk berpikir dan bertindak secara bijak demi menciptakan keseimbangan hidup di dunia.

Pesan-pesan bijak para leluhur yang disampaikan dengan cara anggun melalui tradisi lisan dalam wujud La Ode Wuna bertujuan menjaga kelestarian alam demi kedamaian hidup manusia.

Sayangnya, pesan tersebut sepertinya gagal ditangkap oleh generasi penerusnya sehingga yang terjadi kemudian adalah bencana. Saya kira cukup beralasan jika kemudian ada pihak-pihak yang mencoba untuk mengaitsilangkan fenomena ular piton itu dengan legenda La Ode Wuna. Keduanya samasama ditampilkan sebagai simbol hubungan manusia dengan alam yang takboleh diabaikan.

Te kejadia ombo’a u sa’a bhola mobhasa I kabupaten Muna iso te tandamo kua okoruomo aekosistem I hokodhao ilingkunga metu’e. te yikita manusia umura mbeaka tosadara kua tohokodha’omo te tampa idho’a u sa’a mai iso akodeimo tasumai tefaraluunto la’a kene ahirino anemo kene warga mate itolo u sa’a. thari tesidha te kejadia ikalafu, akomo te yirodharodha tha’o ana kene kalafu maho u mia.

Ku simbone kua te rupa La Odhe Wuna iso te yipirisae u manusia Muna kua te iya iso te thumaga te alamto akodheimo poimbangi a idho u manusia kene alam. Ara fana menurut u mia dhumahani a tula-tula u La Odhe Wuna iso ongane kua te iya orupa manusia te orunguno te sa’a. thari te pesan ekologino umura te ma’anano kua teiya ana tepaposa’asa’a u manusia kene alam. Malingu rupa iso o saling menjang akodheimo thumari umindo malingu tampa.

Oha’a te rupa u La Odhe Wuna o ngane hotokapala manusia kene hoto’orungu sa’a ?? toumpa I laro u kapala ane kene ota akodheimo a thumari fumikiri leama akodheimo ma’ane moimbangi a idho’a i thunia ana.

Thari te sama umansuana mai molengo maka oparatone lumeama mini tula-tula La Odhe Wuna te tujuano akodheimo ta thumagane nakelestarian u alam ana ako teidho yikita numamileama. Toka bahakono te sama u mansuana mai iso mbeaka no tangkapu kene mbeaka noheman’ana’e lumeama te ana bhou mai meana’e ai, ahirino tharimo bencana tafa te balaa. Thari tesidha uka ara ane kene mia hubungkan akone a ombo’a u sa’a mobhasa iso kene hubungan ke tula-tula La Odhe Wuna. Dhua fengkane pokana-kana thumari simbol hubungan u manusia kene alam iso baambeaka ta umangga bage-bagene.

Pabitara

55

Orang Rongi Foto : La Ode Yusri

56 Pabitara

Peristiwa

MATAGALAMPA, SABABUNO KAI PEKOMPULU MIANO I RONGI MATAGALAMPA, MOMEN ORANG RONGI BERHIMPUN Penulis: Heksa Biopsi Puji Hastuti Penerjemah Bahasa Moronene: Nisa Nasyra Rezki

R

ongi: wita mengkeba,wita turu ano rea.…

Moungke hai wita nsuere tokua measa pelaroakoa daseda’a nta to’ori ni lilini. Mealuo da nta kinolarolaroako kai otuhiyo dakanahi: Lolako; moungke hai wita nsuere.

I campo laahiri a naida’a nta pooli tutui o perano poeheno miano.

Kola-kolaloopo dii damani na ruparupamo pinerendeako nkana daano danta tinoraako, kaponto’oria atawa pessahinaaha ntonia. Mesababu nta moko moicoo daano toraahando kai lolako bintaa pera-perano dadaa hai campo. Yo tora mongura nalako meppotisu hai mentalaahano kai pooli mokkolaro. Mau na’aw kimentala teleuhado, maka wita lahiri ado sadaa-daasi hi o awnio.

Hai Rongi dahano hina.

Hai wonua mperi’ou da tewali pesoraweahano ka’owfoseno Kasultani’a. miano I Rongi daahopo moroso adatino. I campo

R

ongi: tanah ramah, tanah tumpah darah.…

Menjadi perantau adalah salah satu pilihan yang kerap tidak dapat ditolak.

Banyak hal yang mungkin menjadi pertimbangan sehingga keputusan berujung pada satu kata: pergi; merantau. Tidak dapat dimungkiri, tanah kelahiran tidak selamanya dapat mencukupi kebutuhan penduduknya.

Terlebih, motif kebutuhan yang kian beragam karena tuntutan perkembangan zaman, seperti ekonomi, pendidikan, atau ikatan kekerabatan baru. Demi meningkatkan taraf kehidupannya orang rela meninggalkan kampung halaman yang telah mengukir kenangan indah bersama keluarga tercinta. Untuk menuntut ilmu pemuda-pemuda bersemangat menjemput impian menjadi insan cendekia di negeri nun jauh di sana. Jarak terentang memisahkan para perantau dari tanah leluhur. Namun, jiwa dan pedalaman nurani tetap tertambat pada

Pabitara

57

da ni mpoleino sala hi po o’ato aspala dahandomonihinaako datokamo daa danintinekoneahako, ntetapiako mommoico hela namanturu niweweuhako. Nando da’a tinena, kua na ntoka tokaako mebinta i bolo nkompodo melaro da nkana. Syukuru, aicomo dasadia nibuasakodo. Nahina olino. Wonua da moico, molompo yo witano, hela mianono da mengkeba.

Kuamo dasadia moko mpehawfa ira miano I rongi da lako hai wita nsuere kando pooli mohule hindo moko’au.

Tepatantuo wfaktuuno hi pohule I campodo miano I Rongi. Nkana hi lebara, hidaa koniweweuhano sahinaado atawa koniweweuhano wonua.Wfaktuu da nkana coie kuamo dasaa-daa tinarimado kando pooli mekompulu hela pessahinaaha da mebinta mentalaahano. Hindo pohule wonuado mebinta i mentalaahano ndona bagasiamo hela miano da pinoko’auhako da mompoko isa kangule. Perano pemincu islamu daniweweundo miano i Rongi hina nkua tepetilano Kasultani’ahioleo lebara’a. nkana da tinekoneahakono yo islamu asa indonesia’a, kuamo na’ana daniweweudo miano I Rongi, ndona mohule I kampodo tapio ta’u hidaa nta lebara. Hi lebara kuamo dahando kapooli teppo’afa haamo meka ma’ama’apuako nkanamo daano yo nimincuakono yo Islamu. Wfaktuu nkana diiemo dahado mo’ungke kabarakatia mebintai hai perano pessahinaaha. Hi nkana aico nde’e, maka pelolaroakoa naida’a ntapaisa mo’otu maupo kina meka

kesahajaannya.

Di sini, di Rongi, mereka lahir. Di negeri yang pada masa lalu menjadi penyedia kebutuhan sandang dan pangan Kesultanan Buton inilah jiwa-jiwa orang Rongi dipahat oleh kentalnya adat istiadat yang telah hadir sejak lama. Di tempat yang terbelah oleh jalanan akses untuk mengangkut aspal dari pertambangan inilah orang Rongi terlahir dalam keadaan dikelilingi dengan tata aturan kultural yang sudah rapi dan dilaksanakan dengan patuh. Kepatuhan yang melekat dengan sendirinya tanpa aba-aba, menjadi bagian dari hela nafas yang terpompa melalui paruparu orang Rongi. Bersyukur, itulah perasaan yang harus selalu ada.

Tidak ada kata yang lebih tepat untuk mewakili ungkapan hati. Desa cantik dengan tanah subur permai dan penduduk yang ramah adalah anugerah, itulah Rongi yang selalu memanggil-manggil dalam benak orang Rongi para perantau ini. Pulang adalah penawar bagi kerinduan yang selalu memenuhi hati. Pulang menjadi kewajiban sebagai pengerat tali kerahiman.

Pada waktu-waktu tertentu, yang biasanya perantau Rongi akan pulang, seperti saat lebaran, pesta keluarga, dan pesta kampung. Momen-momen seperti ini selalu dinantikan untuk kembali berkumpul dengan keluarga dan bertemu dengan handai taulan dan sanak saudara yang telah terpisah jarak. Setelah dijenuhkan oleh aktivitas di tanah rantau, mengambil jeda sejenak bercengkerama dengan orang-orang terkasih yang lama tidak berjumpa bisa menjadi pelipur lelah. Hari lebaran sangat erat dengan

mentalahi. Dahoo penda da ni ntekoneahakodo miano I Rongi hindo pohule lebara. Nkana yo kawfi’a atawa koniweweuha dasuere.Kapapooli da nkana adiie, naida’a lufu-lufuno miano I Rongi dada I suere wonua da mpoko weweu saba. Te’iaasi miano da molongko wfaktuuno atawa pessahinaaha mponsumba (doipo atawa sabara) kando pepatarimaa hai ko apuno koniweweuha kuamo kai sai te’opu pelolaroakoa.

Suereano hi lebara haamo hi koniweweuhano pessahinaaha sababuno kando pebotoako.

I Rongi dahoo tinekonehako daniweweu tapio ta’u dani neneehako Matogalampa. Unsono, Matogalampa nanteweweu hi’ari mo’o’ala puhu tende syukurudo teleu hai Apua Lillaahi Ta’ala hi me’alu fuano hindodaa mpe uma.

Kua Apu da mompokodaa wita nta kombula-mbulaahano miano kai ko fua mommoico. Kuamo kaidaa nta sadia dagaiho haamo totonga’o kai poolisi sadaa daa pinombulai kai me’alu fuano danta tinoraakono miano i Rongi.

Nkua hira measa suku dadaapo teteweiho tinekoneahakono mbuembue, Matogalampakua measa faktuu danimpebotoako kando tekompulu luwu-luwundo hai wita mpusaka. Inyaa talomo-lomo melarodo hi leuho koniweweuhano dii Matogalampahinankua na nsaba perano miano mau miano da mebinta I campo suere naana na nsaba mewonua hai pessahinaaha, monkaa meronga-ronga.

Ki nkanano nta nileo hela koniweweuha suere, maka

Di sini, di Rongi, mereka lahir. Di negeri yang pada masa lalu menjadi penyedia kebutuhan sandang dan pangan Kesultanan Buton inilah jiwa-jiwa orang Rongi dipahat oleh kentalnya adat istiadat yang telah hadir sejak lama.

58 Pabitara

Peristiwa

Persiapan Acara Adat di Rongi Foto : La Ode Yusri corak keislaman masyarakat Rongi sebagai bagian dari Kesultanan Buton.

Sebagaimana umumnya dilakukan oleh muslim di seluruh penjuru nusantara, mudik lebaran menjadi tradisi tahunan yang mendorong orang Rongi kembali ke Rongi. Momen lebaran digunakan oleh mereka untuk saling mengunjungi dan meminta maaf sebagaimana dilakukan oleh umat Islam umumnya. Inilah saat para perantau Rongi mencari berkah dengan bersilaturahmi kepada keluarga, kerabat, dan handai taulan.

Dengan demikian, ikatan batin tetap terjalin di antara mereka meskipun tempat tinggal telah berjarak. Selain lebaran, momen pulang juga biasa dilakukan ketika ada warga kampung Rongi yang melaksanakan hajat seperti pesta perkawinan atau pesta-pesta lainnya. Untuk momen seperti ini, tidak semua perantau Rongi pulang, hanya yang memiliki waktu longgar

Matogalampakua koniweweuha da kolalo rameno membinta pepu’uano dunku teweweuhano.

I larono Matogalampa, suereano pelolaroakoano miano ntora, maka da labi kua hela pelolaroakodo miano da meri’oumo (matemo).

Adati dakinomincuako i larono Matogalampakua namokomperi’ouho peka ronga-ronga’a haamo peasalaroakoano miano I Rongi.

Matogalampantewali faktuu leuhano tekompulu perano miano da hai witano mbue-mbueno suku Ciacia hai Rongi. Da okuda maupo miano da ko’ungke-ungke mebinta I mentalaahano etu-etuno kilo olono ndona mohule melolaroako.

Matogalampamettikonaahomo hipoko ntepoafaa perano miano kando bintano mokoaundo merorongaakono unino ganda haamo nibotuno gong da rambangio

dan yang dekat kekerabatannya dengan si empunya hajat. Akan tetapi, kebiasaan saling memberikan bantuan tetap dilakukan. Jadi, meskipun tidak hadir, sejumlah sumbangan berupa materi (baik uang maupun barang) tetap diserahkan sebagai tanda kasih sehingga hubungan baik tetap terpelihara.

Selain momen lebaran dan pesta keluarga sebagai alasan berkumpul, Rongi memiliki tradisi tahunan berupa pesta kampung atau pesta adat yang disebut matogalampa. Awalnya, matogalampa dilakukan pada masa panen, seperti panen jagung, sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Yang Mahakuasa atas berkah panen yang mereka terima. Tuhan telah mengaruniakan tanah yang memberikan hasil untuk dimanfaatkan oleh manusia sehingga tanah harus selalu dijaga dan dilindungi agar dapat kembali ditanami agar kehidupan akan

Pabitara

59

Persiapan Acara Adat di Rongi Foto : La Ode Yusri

tetap berlanjut di Rongi. Sebagai suku yang masih memegang teguh tradisi leluhur, orang Rongi menjadikan matogalampa menjadi momen puncak bagi mereka untuk datang berkumpul dan berhimpun di tanah pusaka. Keriaan saat matogalampa menggambarkan pesta setelah panen raya yang bisa diikuti seluruh warga di desa. Warga dari desa-desa lain pun dapat berkunjung dan menyambangi

60 Pabitara

rumah-rumah untuk bersilahturahmi, makan bersama, dan berpesta pora.

Apabila dibuat peringkat keramaian dan kehebohan, momen matogalampa menjadi acara teramai dan terheboh, baik dari persiapan maupun pelaksanaannya, dibanding perhelatan mudik lainnya. Dalam matogalampa, selain menguatkan ikatan batin antara sesama orang Rongi yang masih hidup, juga

menguatkan ikatan batin dengan mereka yang sudah mendahului menghadap Yang Mahakuasa. Ritualritual adat yang menjadi agenda dalam matogalampa mencuatkan rasa kebersamaan dan kesamaan akar budaya bagi orang-orang Rongi.

Matogalampa dimanfaatkan oleh semua warga untuk datang berkumpul dan berhimpun di tanah leluhur suku Ciacia di Rongi. Orang Rongi pulang

Peristiwa

dengan perasaan berbahagia, baik perantau yang jauh maupun yang dekat. Jarak yang berpuluh, bahkan beratus kilometer bukan masalah untuk ditempuh demi berkumpul dengan keluarga dalam tradisi matogalampa. Bagi orang Rongi, matogalampa menjadi waktu yang paling tepat untuk menumpahkan segala rasa rindu dan kesunyian di lubuk diri. Di sini, persaudaraan tumpah riuh, berpadu gendang

yo pogegono haamo kohulano miano motu’a dan mogego Manguru. Teiaasi diceena hai Rongi.

Laro mpemincuakono Matogalampa, mealu eaho atora haamo pomali nibintad9 mbuembue dadaapo pinoko owosedo haamo pinokomontoedo miano mpereimbui. Tewalio kikanahi miano I Rongi pomali haamo adati kolaloo montoeno daano I larono pemmianoa, kola-kolaloopo hindona moko nkokarama’o daadaano. Teweweuhano sadaa-daa tinarimano miano nko’unke-unke hai suere wita. Mealuo dateweweu larono Matogalampa mebinta hidaa nta mompu’u, miano motua/sara datokamo daa kato’oriano te’asa.

Hi fulaa mpo alaaha puhu ndona tepoafa perano sara tapi minggu.

Tepoafaahando nani neneehako yo batanda. Tenekoneahkodo kau tepe mpato pinoko daa coie yo kira-kiraa oleo da moico nta teweweuhano yo matogalampa.

Matogalampampu’ua kono’o yo ponda, atawa ponsumbele’a fembe tende syukurudo hi mo’oe fuano yo puhu. Fembe da’ari tesumbele kuamo danta kinaano yo sara. Larono tapino adati I Rongi, damontoe hodano kua da ninenee mancualibu, yo miano da pinoko motu’ano miano mealu.

Dahoo penda da opaa da monsoda deasuere danineneehako mancuana popaano,miano da moatoro perano da kokaita haamo da monsoda adati, parabelakua ka ofose ea da rapaiho adati,mojikua da mo orusu agama, waciurusano kua poburia haamo teweweuhano pekinokaaha, pandesuka atau bi’sakuamo da mo orusu perano da kokaita hela teatorono wita/uma haamo na mpinarsaeya kanahi kua miano nto ori dada I campo. Hi ari teweweu yo ponda, ndonanta wqeweuhomo danineneehako pibenteamo’anano perano miano motu’a nta lilibuo bente mpetondo’a ari benteno kasultani’ano Boba dada hai Rongi. Daniweweudo I larono pibenteadiie kua na mpoko modali haamo mo mpoko moicoo daano bente. Malingusi daano kindo

dan gong bertabuh, mengiringi tari tradisional, serta gagahnya para tetua adat mempersembahkan tari mangaro .

Ya, hanya di sini, di Rongi.

Dalam rangkaian kegiatan matogalampa ini banyak aturan atau hukum khas warisan para leluhur yang masih sangat diagungkan dan dijunjung tinggi oleh generasi masa kini. Bahkan, bisa dikatakan, bagi orang Rongi hukum dan norma adat ini berada di tempat tertinggi dalam hierarki sosial mereka sehingga dapat dipahami bagaimana kemudian acara ini benar-benar disakralkan, kehadirannya demikian dinanti oleh para perantau Rongi yang berada jauh di luar daerah. Dalam momen matogalampa dilaksanakan beberapa mata acara yang sudah menjadi suatu rangkaian baku. Sejak persiapan, sejumlah perangkat adat setempat sudah bersiap menjalankan tugasnya masing-masing. Pada musim panen jagung, perangkat adat/sara melakukan pertemuan-pertemuan setiap minggunya. Pertemuan rapat adat ini disebut batanda. Dalam batanda yang biasanya dilakukan sebanyak empat kali ini dibicarakan hari baik menurut adat untuk menentukan waktu pelaksanaan pesta kampung matogalampa.

Matogalampa diawali dengan ritual ponda, yaitu penyembelihan hewan berupa kambing sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka. Daging kambing kurban ini diperuntukkan sebagai hidangan bagi para perangkat adat.

Dalam struktur organisasi lembaga adat Rongi, jabatan tertinggi disebut mancualibu yang bermakna orang tua yang ditokohkan masayarakat setempat. Selain mancualibu, ada empat pemangku adat yang disebut mancuana popaano yang mengatur segala sesuatu hal yang berhubungan dengan perangkat adat, yaitu parabela sebagai pimpinan adat tertinggi, moji sebagai tokoh yang mengurus agama, waci berperan mengurus administrasi juga acara tradisi, pandesuka atau bi’sa bertugas mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan tanah/lahan dan dianggap sebagai orang pintar di kampung.

Pabitara

61

Setelah ponda, dilakukan ritual pibentea. Dalam acara itu, para tokoh adat mengelilingi benteng pertahanan eks Kesultanan Buton yang ada di Rongi. Pada dasarnya, dalam pibentea ini yang dilakukan adalah pembersihan dan perbaikan benteng. Jadi, jika dalam perjalanannya berkeliling para tokoh adat melihat ada bagian benteng yang rusak, tugas para perangkat adatlah untuk membenahinya kembali. Ritual pibentea dirangkaikan dengan ritual pihatoa, yakni tradisi memperbaiki atap dan pembersihan lawa atau pintu-pintu masuk di Baruga Sara.

Pesta adat kampung Rongi ini puncaknya adalah matogalampa yang sering juga disebut sampuagalampa.

Warga kampung Rongi sibuk menyiapkan masakan. Anak-anak dilibatkan dalam aktivitas tahunan ini. mereka ditugasi menangkap ayam dan mengikatnya di kolong rumah. Pada hari yang ditentukan, ayam-ayam disembelih dan dimasak.

Suasana kampung terasa sangat semarak. Asap mengepul hampir di semua dapur. Anak-anak menyiapkan pakaian terbaiknya. Sandal dan sepatu dicuci bersih. Sekitar lepas tengah hari ketika matahari sudah condong ke arah barat, masyarakat berduyunduyun menghantar hidangan ke galampa. Setelah tiba pada waktu yang disepakati, semua makanan diberikan doa-doa. Seorang pande batata memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa agar para leluhur yang telah mendahului mereka diberi kedamaian. Makanan yang sudah diberikan doa dibawa pulang kembali untuk dinikmati oleh keluarga masingmasing.

Acara di galampa tetap berlanjut.

Gendang ditabuh dengan irama bergelora. Para perangkat adat turun dari galampa dan memainkan tarian mangaro di pelataran galampa. Mereka mengenakan pakaian adat berupa jubah bermotif garis-garis dengan warna-warni terang dan ikat kepala (kampurui) yang khas. Tarian mangaro yang dilakukan oleh para tetua adat ini sangat dinantikan oleh warga Rongi.

Mereka menyaksikan dengan saksama derap dan gerak orang-orang yang dituakan dengan perasaan bangga.

62 Pabitara

onto ndaa damosa’o maka kua nta mokomoicoo.Hi pibenteana rambangiakono’omo hela yo pihatoa, kua yo tinekoneahakodo mompoko moico tindaa I wawo atawa I pesua’a atawa I wamba mpesua’a I Barugano Sara.

Sampuagalampa kuamo yo kontapu-tapuno koniweweuhano dakolalo marempono hina nkuamo dahano mompokodaa daninahu hela ni agori. Yo ana ate na kuamo da morako yo manu kando koo o I bolo ntonto. Hileuho oleno kando sumbele o haamo nahuo coira manu daari nirakodo. Rame o daano campo. Perano dapura me’ahuo.

Ana ate ntinena mepakea moico, sandal haamo sapatu na uko’o moda-modali. Lapasi tonga oleo kasi sumbe-sumbere saba miano tangkio ninahudo hai galampa.

Hileuho ndee faktuu da ari tinotoro ako. Lufuno giu nkina nan i do’a. pohedoanomo yo pande batatada medo’a teleu hai Apu moitaa kai moico daa-daano yo mbue-mbuedo I laro nkoburu. Hi arimo ni do’a maka ndonta tangkiomo mohule kando kaaho meronga-ronga hela sahinaado coie daari ninahudo..

Hidaa tangasano hai galampa, nenteno ganda inyaa gampa u’unino. Hi nkana coo, Perano da monsoda adati metiihako mebinta I galampa kando mpogego manguru.

Ndona mepakea adati da kolori haamo kolae hela mompake yo pongkoo rapa ‘kampurui’. Miano mealu I Rongi kua ndona ntarimaa touo diie poGego mangaru,kando antoo mommoico tapio tumindano perani danimincuakono miano motua da monsoda adati.

Nandoda’a kabara-bara hindo pomalu ako mata monkaso, ndona meka pando-pandoako me olo nkarudo nunu o daano u’unino yo ganda da ninente nkeda’aa mebinta ari asara sampe kontolaino mangarebi Ari sambahea Iisa, unino ganda ntepodea penda boboihira miano kai tekompulu hai galampa.

Sa u’unino ganda maka kuamo petampu’uano penda yo badenda, yo pogegoa Linda miano I Rongi.

Sala measa pogegoa nkana diie kua

Para tetua adat yang menari mangaro tidak terlihat canggung memainkan senjata. Dengan lincah badik dikelebatkan ke sana kemari serta kaki-kaki dengan sigap digerakkan mengikuti iringan gendang yang ditabuh bertalu-talu. Tari mangaru dilakukan sejak selepas salat asar hingga menjelang azan magrib.

Setelah salat isya, gendang kembali terdengar bertalu memanggil-manggil warga untuk berkumpul kembali di galampa. Suara gendang pertanda akan dimulainya badenda, yaitu arena menari linda yang melibatkan orangorang di Rongi. Salah satu sesi tarian, dilakukan oleh wanita-wanita Rongi yang sebelumnya bernazar. Misalnya, ada yang bernazar akan menari linda dalam matogalampa apabila anaknya lulus kuliah. Tarian linda tidak hanya dilakukan oleh wanita, tetapi ada juga sesi tarian yang dilakukan oleh para lelaki Rongi. Ada perbedaan antara tarian wanita dan pria. Tarian yang dibawakan oleh wanita gerakannya lebih gemulai, sedangkan tarian yang dibawakan para pria gerakannya cepat dan menghentak. Badenda dilakukan semalam suntuk. Sesi terakhir diperuntukkan bagi kaum mudamudi sehingga bisa juga menjadi ajang pencarian jodoh. Muda-mudi bergembira ria menari dengan tetap mengindahkan rambu-rambu dan norma adat. Ada orang tua yang ditugasi menjaga mereka agar tidak terjadi pelanggaran susila selama badenda.

Secara keseluruhan, matogalampa diakhiri dengan dilaksanakannya prosesi kinia. Istilah kinia, selain sebutan untuk mata acara penutup matogalampa, juga mengacu pada jabatan adat yang penting. Kinia bertugas menutup matogalampa secara resmi. Jabatan kinia dipegang oleh seseorang berdasarkan garis keturunan. Prosesi kinia digelar pada saat fajar terbit. Pada penutupan matogalampa, ditampilkan lagi tarian yang menggunakan senjata tajam dengan diiringi tabuhan gendang.

Sang kinia bersiap-siap melaksanakan tugasnya menutup rangkaian prosesi pesta kampung tahunan ini. Setelah parabela sebagai pimpinan adat tertinggi tiba di arena galampa,

Peristiwa tina daari modandi da weweuho.

Dahoo da mogego Linda I bolo galampa ki ari modandi kanahi ki ari wisuda anano kai weweuho.

Naida’a te’iaa tina da mogego nkana. Dahoo na’ana datokua yo tama te’iaasi iaa nda nta menkena pogegono. Yo tina molu’oo, ia yo tama mokoraa gegono kaidaa mambaka. Asa alo metende diie gego Badendaniweweuhako. Taputapuno kuamo na’ana tilano yo tora ntonia danta raane mogego mohalio iaa kindo poafa jodo keena.

Inyaa talomo-lomo melarondo coira tora ntonia maka dahirasi mekokkonaaho yo adati. Dahoosi penda miano motu’a da dagaihira kilako daa dakana-kana.

Koniweweuhano matogalampana ntotapuihakono’o yo kinia. Mo’anano kinia kisainyaa yo pontutuwino pera-perano koniweweuha Matogalampa kolakolaloopo hai damonsoda adati.

Kiniakua damonsoda tutuwio matogalampada inala menunu daa daano sila-sila. Kinia nteweweu kontolaino subu atawa komeanta.

Pontutuwiano Matogalampa kai pino ontoako penda mohule yo pogetoa da mompake mata monkaso rambangiakono’o unino ganda. Kinia haapo kaidaa ntakomincu kesabamo yo Parabela hai galampa. Ki aripo tutuwio

kinia memohon izin. Setelah beroleh izin, kinia kembali ke rumahnya untuk berdoa dan bermunajat serta mengganti ikat kepala (kampurui) dengan kain putih yang panjang menjuntai. Lalu, dengan langkah tegap dan mantap sang kinia melangkah menuju pelataran galampa, tempat dilaksanakannya penutupan matogalampa. Tidak ada seorang pun yang berani menghalangi atau melintasi kinia.

Dalam kepercayaan orang Rongi, siapa saja yang berani menghalangi jalan kinia akan tertimpa marabahaya.

Di pelataran galampa, sang Kinia menarikan tarian dengan senjata tajamnya. Liukan dan sabetan senjatanya menjadi simbol tugas yang diembannya sebagai penjaga kmpung.

Selanjutnya, sang kinia berdiri di depan gendang seraya berdoa. Dalam rapalan-rapalannya terdapat juga tuturan penutp pertanda berakhirnya rangkaian pesta matogalampa tahun ini dan pesta serupa akan digelar lagi tahun depan.

Demikianlah, karena matogalampa atau sampuagalampa, orang Rongi berduyun, berhimpun di tanah pusaka. Bersama kembali merenda kebersamaan walaupun selepas matogalampa mereka harus kembali menekuni pekerjaan di rantau orang.

Matogalampa akan memanggil kembali tahun depan.

kai raa meaba mohule hai laicano medo’a hai Apu kai poppoeyuho pongkoono rapano (‘kampurui’nya)hela kae pila da mentaa rorambaka. Ari nkana aico kai pohule penda coo yo Kinia mbule hai Galampa tutuwio koniweweuha Matogalampa. Nahina danta moseka halangio, kidaa dankana aico maka dahoo totolaiho bahea coo yo miano. Kaparsaeya ano miano I Rongi, nai-nai da halangi atawa liasio coo yo Kinia, maka dahoo nta tumpaiho balaa. Hai pompano galampa, Kinia nta moraa-morumai mogego hela-hela mata monkasono. Perano inoafano, tumindano hela pobuesakono kuamo yo mincuno tewali miano mpodagai kampo. Hi ari nkana arumai, kai pentade tinotolaino ganda mommoico kai pedo’a. do’a danibuasakono kuamo pontutuwino perano koniweweuha Matogalampa dii ta’u haamo ta’upo nta leu kai niweweu penda.

Nkana airumaimo, hinangkua matogalampa atawa sampuagalampa, kai pekompulu miano I Rongi I wita mpusakado.

Meroronga mohule measa laro padapo kiarti matogalampakando puhule mohedo hai suere wita I kampono miano. Intapo penda kando niboboi saba weweuho Matogalampa.

Demikianlah, karena matogalampa atau sampuagalampa, orang Rongi berduyun, berhimpun di tanah pusaka. Bersama kembali merenda kebersamaan walaupun selepas matogalampa mereka harus kembali menekuni pekerjaan di rantau orang. Matogalampa akan memanggil kembali tahun depan.

Pabitara

63

SARA RONGA CARANO MOMBEWEU PANTO LARONO TAE TO WAWONII SYARAT DAN CARA MEMBUAT PANTUN WAWONII Penulis: Dermawan Suryananda Penerjemah Bahasa Kulisusu: Dermawan Suryananda

P

anto nadeo sala asade modeleno puisi hoora. Kana puisi-puisi nsuere, panto Wawonii momaheo ronga moikoho mompodea. Tantu nainao posi momahe, sambaliakono momahe daaho oliwi mia paraluu pinokonteleu butu papodea.

Larono mombeweu panto Wawonii, paraluuo totoorio sara-sarahakono: Larono asade baiti daa opaa barisi.

Orua barisi montampuu nadeo sampirano.

Orua barisi ngkopuputa nadeo ihino.

Mehinano anantae larono asa barisi binta 8 -12 anantae.

Sajakano AB-AB. Binta i sara-sara iso, ntade montampuu mombeweu panto Wawonii binta maina ongkora?

Binta maina pesadadio, mari mia momudahano mombeweu panto Wawonii to tampuuho binta i ihino. Nadeo mia dadaa barisi kootolu ka koopaa.

Tandaiyo ontoho ai!

64 Pabitara

P

antun adalah salah satu jenis puisi lama.

Seperti puisi-puisi lainnya, pantun Wawonii memiliki keindahan untuk didengarkan. Pantun Wawonii tidak hanya sekadar indah, tetapi dibalik keindahannya terdapat pesan penting yang ingin disampaikan kepada pendengar.

Dalam membuat pantun Wawonii perlu memperhatikan beberapa syarat sebagai berikut.

Dalam satu bait terdiri dari empat baris.

Dua baris pertama berupa sampiran.

Dua baris terakhir berupa isi.

Jumlah suku kata tiap baris antara 8-12 suku kata.

Bersajak AB-AB. Setelah mengetahui syarat-syarat tersebut, kita mulai dari mana dulu untuk membuat pantun Wawonii? Tentunya boleh dari mana saja, tetapi yang lebih mudah adalah dimulai dari isi, yaitu dari baris ketiga dan keempat.

Coba perhatikan penjelasan berikut!

Sastra

Pabitara

65

Montampuu, pikirio hapao mia ongkora pinokonteleuto tulura oliwi.

Kana tadeno: “Oleo meharapu malo meharapu, naku peharapu mia suere.

(Siang dan malam aku mengharap, tidak mengharap ke lain orang).

Binta i oliwi iso, dadio toweweuo orua barisi ngkopuputa larono panto dadi:

Pertama, pikirkan sesuatu yang akan kamu pesankan/amanatkan!

Misalnya: Oleo meharapu malo meharapu, naku peharapu mia suere (Siang dan malam aku mengharap, tidak mengharap ke lain orang).

Dari pesan tersebut, kita bisa jadikan dua baris terakhir dalam pantun menjadi:

____________________________ (Barisi I) ____________________________ (Barisi II) Oleo meharapu, malo meharapu (Barisi III) Naku poharapu mia suere (Barisi IV)

____________________________ (Baris I) ____________________________ (Baris II) Oleo meharapu, malo meharapu (Baris III) Naku peharapu mia suere (Baris IV)

Ngkoorua, ontoho lumpano tae ngkopuputa barisi ngkootolu ka koopaa.

Lumpano tae ngkopuputa nadeo “rapu” ronga barisi ngkoopaa nadeo “ere.” Iyaopo, lumaha tae-tae mia lumpa tompano kai pengkena barisi ngkootolu ka barisi ngkoopaa. Kana tadeno: Kaku poala tae mia kolumpa tompaako “rapu” nadeo “kurapu” ronga tae tompano “ere” nadeo “sere.” Iyaopo kau weweuo tae-tae iso kaidadi asade kalima butu umihio barisi montampuu ronga koorua.

Contono kalima mia mompake tae “kurapu” ronga “sere:”

Kedua, perhatikan bunyi akhir kedua baris tersebut. Bunyi akhir baris ketiga adalah “rapu” dan baris keempat “ere”. Selanjutnya, carilah kata-kata yang bunyi akhirnya sama dengan akhir baris ketiga dan keempat tersebut. Saya ambil contoh, kata yang bunyi akhirnya “rapu” adalah “kurapu” dan kata yang akhirnya “ere” adalah “sere.” Lalu buatlah kata-kata tersebut menjadi kalimat, yaitu untuk mengisi baris

arihomo. Mari kato parisaho sarasarano kitekonasi mia wineweunto kongko pumarisaho ana ntaeno.

Barisi I A-na a-ra-bu mo-a-sa ku-rapu-----------(11 ana tae) Barisi II Te-leu a-ra-bu mo-a-sa sere-------------(10 ana tae) Barisi III O-leo me-ha-ra-pu ma-lo me-ha-rapu--(12 ana tae) Barisi IV Na-ku pe-ha-ra-pu mi-a su-ere----------(11 ana tae) Haai totooriomo mehinano ana taeno, dadi to sukupio sara-sarano mombeweu panto Wawonii. Daaho asade kandala kitodaa mumaanao larono tae malau, kahapa, moiko moiko lumpano toweweuo panto toWawonii, mari kiminaana laro tae malau dahomo bali rimano,

“Ana Arabu moasa kurapu (Barisi I).

“Teleu Arabu moasa sere (Barisi II).

Haai, ngkana-ngkana ai arikitamo mombeweu teteho dadiomo asade panto. Mia ngkopuputa, tenomo rumisoho barisi montampuu ronga barisi ngkoorua kai pepoko asade ngkana ai: Ana arabu moasa kurapu Teleu arabu moasa sere Oleo meharapu malo meharapu Naku peharapu mia suere Haai, panto mia wineweunto

66 Pabitara

namodaa mengkena lumpano tumbuno.

pada

Contono: Ana arabu moasa kurapu--------------------A Teleu arabu moasa sere-----------------------B

Sastra

O-leo me-ha-ra-pu ma-lo me-ha-ra-pu--(12suku kata) Baris IV Na-ku pe-ha-rapu mi-a su-ere---------(11 suku kata) Nah, sekarang kita sudah mengetahui bahwa jumlah suku katanya memenuhi syarat. Berarti pembuatan pantun dalam bahasa Wawonii telah selesai.

Ada satu kendala jika kita ingin menerjemahkan pantun Wawonii ke dalam bahasa Indonesia. Kendalanya adalah karena meskipun bunyi persajakan (rima) pada pantun Wawonii sangat indah, tetapi jika diterjemahkan akan berubah rima/persajakannya dalam bahasa Indonesia.

pertama dan kedua. Contoh kalimat menggunakan kata “kurapu” dan “sere:” Ana Arabu moasa kurapu (Baris I).

Teleu Arabu moasa sere (Baris II).

Nah, sekarang semua kalimat sudah jadi. Langkah terakhir tinggal menggabungkannya ke baris pertama dan kedua menjadi: Ana arabu moasa kurapu Teleu arabu moasa sere Oleo meharapu malo meharapu Naku peharapu mia suere Nah, pantun sudah jadi. Untuk memastikan apakah syarat-syaratnya sudah terpenuhi bisa dicek dengan menghitung suku katanya.

Baris I A-na a-ra-bu mo-a-sa ku-rapu----------(11 suku kata) Baris II Te-leu a-ra-bu mo-a-sa sere-------------(10 suku kata) Baris III

Oleo meharapu malo meharapu------------A Naku peharapu mia suere--------------------B Maanano: Ana Arab menjual kerapu--------------------?

Tiba di Arab menjuak cerek-----------------?

Siang dan malam aku mengharap----------?

Tidak mengharap ke lain orang-------------?

Panto Wawonii tekonao rimano nadeo AB-AB. Kio maana malauno nai tekona rima AB-AB

Contoh: Ana arabu moasa kurapu--------------------A Teleu arabu moasa sere-----------------------B Oleo meharapu malo meharapu-------------A Naku peharapu mia suere--------------------B Terjemahan: Anak Arab menjual kerapu--------------------?

Tiba di Arab menjuak cerek-----------------?

Siang dan malam aku mengharap----------?

Tidak mengharap ke lain orang-------------?

Pantun Wawonii telah memenuhi unsur atau syarat persajakan AB-AB. Sementara, terjemahan dari pantun Wawonii tersebut tidak memenuhi syarat sebuah pantun.

Pabitara

67

Yahako Iramo ContoContono Panto Wawonii (Inilah Contoh Pantun Wawonii)

Penulis : Dermawan Suryananda Penerjemah Bahasa Kulisusu : Dermawan Suryananda Berikut ini dikemukakan beberapa contoh pantun yang ditulis dan berhasil dikumpulkan oleh Bapak Dermawan Suryananda dari beberapa informan, di antaranya dari Bapak Budiman Lampoku, Bapak Suhail,Bapak Anzal Mihdar, Bapak Masmur, Bapak Muhamad Tawil, dan Bapak Arif Taslim.

Panto to Wawonii

Pantun Wawonii

Ana ika posimo tinapa Kato nahuo naidaa rampa

Anak ikan dipanggang saja Hendak dimasak tidak ada rempah

Anatina posimo sinapa Kato saba naidaa kupa

Anak gadis disapa saja Hendak dilamar tidak berduit

2.

Naao tamate bungkuno bonso Taho tuuna i larontonto Konoomo kaku mate tumbuno piso Posi kaku humpuo tina kototo

Simpan tomat di belakang pintu Jangan jatuh ke kolong rumah Biar kumati di ujung pisau Asal kudapat perempuan idaman

3.

Wiwia kongko bungka Kolopua lumaha punti Kiniwia lako mehungka Teipua lumaha hoti

Siput dengan kepiting Kura-kura mencari pisang Sore pergi menyabit Lusa mencari nafkah

4.

Kiu ari mongkaa wadi Taho mbule pongkaa tape Kiu ari medandi Taho mbule tekolumpe

Kalau sudah makan wajik Jangan lagi makan tape Kalau sudah berjanji Jangan dilupa lagi

5.

Keu osana dadi burua Keu mate binoke rapa Kiu sanaa katoorua Kito mate kato perapa

Kayu cendana jadi peti Kayu mati dikat rapat Jika senang kita berdua Jika mati kita berdampingan

6.

Ki molea taho pongkaa ginta Laloo pongkaa tamate Kiu mokea taho pohala akita Taho tosinungka mate

Kalau pedis jangan makan lombok Lebih baik makan tomat Jika ingin jangan berbuat salah Jangan di tombak mati

7.

Garagadi pompole kaho Mari dadiosi monsika ako Kidadi topeampole Taho topekapesisao

Gergaji pemotong kasau Tapi bisa juga membelah kayu Kalau bisa kita kerjasama Jangan saling membenci

1.

68 Pabitara

Sastra

8.

Siu roani, siu rote Taho polimbatako bungku Kiu barani taho mowote Taho pekaala bungku

Madu tawon, madu rote Jangan bawa ke belakang Kalau berani jangan takut Jangan ambil dari belakang

9.

Daaho pasikela daaho loiya Bintahano Minahasa Daamo mondela kiu poiya Bitaramo kai manasa

Ada ubi ada serei Dari Minahasa Jangan cengeng menjalani hidup Bicaralah dengan jelas

10.

Kiu pohumpu nanasi Taho naao larongkawali Kiu ari melamasi Taho meuu kau kowali

Kalau dapat nenas Jangan simpan di dalam kuali Jika telah melamar Jangan lama kamu nikah

11.

Kaholeo dai bangka Umpanakoo balase gara Koa oleo kupangka Kongko kogara-gara

Ikan kering ada di perahu Turunkan peti garam Saban hari aku menangis Dengan sedu-sedan

12.

Kiu ari mombula pae Taho tekolumpe mewawo Kiu ari mompulasi tae Taho tekolumpe mehawao

Jika sudah menanam padi Jangan lupa menyabit Jika sudah melepas kata Jangan lupa mengingatnya

13.

Mia rumongo baki Mia mombawa sawi Ngkude mompemahaki Ndade mia ngkawi

Orang menjinjing keranjang Orang membawa sawi Saya yang merasakan sakit Orang yang kawin

14.

Moturi horo wua Moipi tora nsanaa Mokea kowali orua Saako asade nai tora nsanaa

Tidur berlantai pinang Mimpi hidup senang Ingin kawin dua Sedangkan satu tidak hidup senang

15.

Bangka sumomba Naidaa anakoda Mokea toba Naidaa tinonda

Perahu berlayar Tanpa nakhoda Ingin bertobat Tidak ada yang diikut

16.

Mokea mepasi Naidaa hule Ki telapasi Taho kohule-hule

Ingin main gasing Tapi tidak ada gasing Jika telah usai Jangan kembali-kembali

17.

Mokea lako humulu Mari naidaa sada Mokea lako lumulu Mari daaho ana mosada

Ingin pergi menyuluh Tapi tak ada tombak Ingin pergi mengejar Tapi ada anak nakal

18.

Monsanga ika mompake kawali Monahu kinaa mompake kuro Mokea melaro ngkowali Mari nahina i kolaro

Menggoreng ikan dengan kuali Menanak nasi dengan periuk Ingin berlaku seperti orang dewasa Tapi tidak dewasa

Pabitara

69

19.

Pompahaku borona Mansakono wonti Pompahaku tekona Mansakono wuti

Saya kira ikan boronang Padahal ikan belanak Saya kira benar Padahal dusta

20.

Daaho lumba-lumba Daaho nsowo-nsowo Kiu mokea daamo kolimba-limba Daamo konsowo-nsowo

Ada lumba-lumba Ada cumi-cumi Jika ingin, jangan keluar-keluar Jangan maju-mundur

21.

Daaho tonde Daaho moo Nakudaa tende Sau komoo-moo

Ada gelas Ada cangkir Saya tidak berhenti Kalau kamu tidak tersenyum

22.

Ule mempalo sampa Kimbohu molai dati Nai lalo mealo timpa Kupolaisakoo i ganti

Ular melingkar di ranting Biawak lari ke pohon jati Tidak terlalu lama muncul Saya bawa lari ke penghulu

23.

Ngkude mongkaa ginta Nade metabako Ngkude mia mecinta Nade molaisako

Saya yang makan lombok Dia yang merokok Saya yang bercinta Dia yang bawa lari

24.

Mebose-bose ronga sumawa Tetangowako tahi ondaro Kiu lako lumaha bawaa Poonto mia kai kolaro

Mendayung mengikut arus Tenggelam di laut dalam Kalau pergi mencari teman Lihatlah orang yang berbudi

25.

Punti lalo pinombehi santa Dinanto siu moikoho ninamisi Tina lalo taho pekonta Pomoni doa kau uru linamasi

Pisang masak diberi santan Celup di madu enak rasanya Perempuan dewasa jangan bertahan Minta doa agar cepat dilamar

26.

Lompa mea lompa mewalo Ninahu gara laro kuro wita Moiko bete taho peolo Tora ai asade kita

Tembang merah tembang gurih Dimasak garam dalam periuk tanah Kalau buta jangan menghadang Hidup ini kita bersama

27.

Ana kamea iyaopo hina Hinano pampa binanta Sumoo majala Pabitara kesahina Mia paralu kako pohanta

Anak bayi baru lahir Lahir di dekat unggukan Masuk majalah pabitara atau tidak Yang penting kami berpartisipasi

28.

Ana bebe mewio-wio Donga bawele melonsopako Nkude dumalawio Mia nsuere molaisako

Anak itik bermain busa Rusa siap meloncat Saya yang bertamu Dia yang bawa lari

29.

Kinaa dinanda mobebe Kuro mohalo ako wita Ana mosada taho pobebe Ongkora daa nade tumaerako kita

Nasi di dandang lembek Periuk hitam karena tanah Anak nakal jangan dipukul Suatu saat dia akan menolong kita

70 Pabitara

Sastra

30.

Lumako Solongko Mombawa ndoke Kiu pesongko Taho koloe-loe

Pergi ke Solongko Membawa monyet Kalau memakai songkok Jangan menoleh

31.

Kinaa hinole laro kawali Kea-kea larono baki Tina momahe sai kowali Kiu mokea taho mensiki

Nasi digoreng dalam kuali Burung bayan dalam keranjang Perempuan cantik tidak menikah Jika mau jangan suka marah

32.

Tondongito dai Polara Solongko sala molore Tando-tando olowa Sangkoleo morengke

Tondongito ada di Polara Solongko jalannya licin Rencana mau poligami Nyali takkuat

33.

Bangka tumaga montambe solo Metokori wulu mebose tumotoro Banga sawali moonto wanso Moburi panto kai teatoro

Perahu ke hulu menjemput arus Berdayungkan bambu sambil duduk Bingung sendiri mencari jawaban Menulis pantun agar teratur

34.

Lewe olo ninahu kuro Momile ika laro kokabi Laluomo tetinda iaro Melewe sarai arihano labi

Daun asam masak di periuk Memilih ikan di dalam pancing Lebih baik memang janda Daripada muda padahal sisa

35.

Monsikori buso tiino oti Daahomo tuwa ronga tuwele Tina ngkokori binta mooli roti Daamo koengke ronga kowele

Menanti pasang datangnya surut Ada tuba dan tuba Gadis berkurap dari membeli roti Janganlah bergaya dan bertingkah

36.

Takurua mentoka doda Winia monsangki manu Toorua metonda-tonda Kiniwia moungke mantu

Tekukur beriring-iringan Elang menerkam ayam Berdua kita beriringan Sore mencari bekal

37.

Tekonea kampo momahe Inia mpuu petutuwai Mekakonea nato inehe Tina mehewu mia ntuwai

Tekonea kampung indah Kampung lama handai tolan Saling kenal tidak terima Perempuan kecil si anak bungsu

38.

Laa ntonea polo morane Manu monea binta olai Nato konea sai rame Sai hinarei petutuwai

Batang keladi telah lapuk Ayam jinak dari jauh Tidak biasa kalau tak ramai Tidak dihirau handai tolan

39.

Moia Dimba kampo motua Ladianta puuno sara Dakami limba monteo otua Mebinta mombawa sara

Tinggal di Dimba kampung tua Ladianta awal mulanya sara Kami datang membawa hajat Dari membawa adat

40.

Boteno dimba tanda maroa Manari lense i Kulinsusu Nade limba monteo haroa Leu sumense monteo susu

Bunyi gendang tandanya ramai Menari lense di Kulinsusu Dia keluar mombawa haroa Datang berjalan membawa susu

Pabitara

71

41.

Ura-ura bula Bintai pada dambata Tina mobula Bintai Ladianta

Udang-udang putih Dari bawah jembatan Perempuan putih Dari Ladianta

42.

Bangka kinandai Tompa Sawaea Taho satanda-tandai Kilalo mobea

Perahu dikayuh Sampai di Sawaea Jangan coba-coba Kalau terlalu berat

43.

Nade montao sosongko Ngkude moena baki Nade molaisako Ngkude mompemahaki

Dia memasang bubu Saya menganyam keranjang Dia yang bawa lari Saya yang merasakan sakit

44.

Kea-kea mongkaa punti Ana nsina mebalu-balu Mokeangku mompudi Anatina to Batulu

Burung bayan makan pisang Anak Cina berdagang Inginku menyanjung Gadis dari Batulu

45.

Mebalu-balu tonde Moasa tuturu Leu kato asade Kobua samaturu

Berdagang gelas Menjual cucur Mari kita bersatu Bekerja bersama-sama

46.

Potoroka tonga libuno pae Taho posowi sai binelai Poonto panto mia momahe Taho topinadere ronga binansi

Potoroka di tengah-tengah padi Jangan menuai jika belum dimulai Lihat pantun yang indah Jangan kita ejek dan cemooh

47.

Kito daa motasu pae Lumaha pombulo moiko wuwuino Kito kotae-tae Lumaha bitara moiko podeahano

Jika ingin menanam padi Carilah bibit yang unggul Jika berkata-kata Carilah bahasa yang enak didengar

48.

Tina merante mompuai kaholeo Anantio kumora sangkio winia Manu mate kadimo simboleo Petandai hoora pesurino inia

Gadis berkalung menjemur ikan Anak ayam berciap diterkam elang Ayam mati bergelimpangan Pertanda dulu alamatnya kampung

49.

Montunu kurapu ronga ika nsala Keu pesimpuli kai tiniwai Maapu aku kiku tesala Kai moikosi to petutuwai

Membakar kerapu dan ikan salam Kayu bakar harus ditambah Maafkan aku jika salah Agar indah kita bersahabat

50.

Baki mebae wuntu Kandara manu dai padano kaho Kiu mahaki dako pinetuu Kiu modara dako pinekahoako

Keranjang tergantung di belakang Kandang ayam di bawah kasau Kalau kamu sakit akan dijenguk Kalau kamu sekarat akan dijagai

72 Pabitara

Kenalilah Bangsamu Cintailah Budayamu Lestarikanlah Bahasa Daerahmu

Tim Resdaksi Pabitara Pabitara

73

74 Pabitara