Dalang di Balik Layar: Sang Sultan dan Diplomasi Senyapnya
Daftar Isi
daftar isi
Jogja pada masa pendudukan Jepang
Peran Sultan Hamengkubuwono IX pada masa pendudukan Jepang
selokan
pada masa pendudukan Jepang
Ketika Jepang menggantikan Belanda sebagai penjajah pada Maret 1942, Yogyakarta tidak luput dari tekanan kekuasaan militer yang represif. Pendudukan Jepang membawa harapan semu akan kemerdekaan, namun pada kenyataannya justru menimbulkan penderitaan baru bagi rakyat. Sultan Hamengkubuwono IX dengan cerdas memilih strategi diplomatik dibanding perlawanan terbuka, karena menyadari lemahnya kekuatan militer Yogyakarta. Ia mengatur agar semua urusan terkait wilayah Kasultanan harus seizin dirinya, dan membatasi wewenang Pepatih Dalem yang sering menjadi alat kolonial di masa Belanda.
Dalam struktur pemerintahan Jepang, Yogyakarta dikategorikan sebagai wilayah Koci, yaitu daerah istimewa yang masih diakui kedaulatan kerajaannya. Meski demikian, rakyat tetap menjadi korban kebijakan Romusha (kerja paksa) yang merenggut banyak nyawa. Demi menyelamatkan warganya, Sultan menyampaikan laporan statistik palsu kepada Jepang, menggambarkan Yogyakarta sebagai daerah tandus yang tidak layak dikembangkan. Strategi ini berhasil dan bahkan membuahkan proyek saluran irigasi yang dikenal hingga kini sebagai Selokan Mataram, sebuah warisan tak ternilai yang menyelamatkan rakyat dari kerja paksa sekaligus meningkatkan hasil pertanian.
Dalang di Balik Layar: Sang Sultan dan Diplomasi Senyapnya
Peran pada masa pendudukan Jepang
Sultan Hamengkubuwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942 dalam Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.
Sumber: Fahmi, A, K (n.d). Sultan HB IX Menolak Jadi Sandera Politik Jepang, Diakses pada 07 Juni 2025 Pada https://www.netralnews com/jepang-menjadi-prospekpositif-bangsa-siasat-sultan-hamengkubuwono-ix-melahirkan-tokoh-pengabdi-yogyakarta/WHRqSmZBN0FaUFhIK1JsSGJrSkNtdz09
Menjinakkan Jepang Tanpa Senjata
Di tengah ancaman militer dan propaganda Jepang, Sultan Hamengkubuwono IX memilih jalan diplomasi Tapi ini bukan diplomasi biasa, ia tegas meminta semua urusan Kasultanan harus melalui dirinya, bukan lewat perantara Jepang. Bahkan, ia membatasi peran Pepatih Dalem agar tak lagi menjadi alat mata-mata penjajah Dengan langkah ini, Sultan mengunci kontrol penuh atas wilayah Yogyakarta, sembari menjaga harga diri bangsanya.
Sekolah dan Sawah Tak Pernah Mati
Di tengah penjajahan, Sultan tak membiarkan rakyatnya tenggelam dalam gelapnya penindasan. Ia membuka sekolah menengah, mendorong pemberantasan buta huruf, dan mengembangkan pertanian serta perkebunan. Bahkan untuk daerah tandus seperti Gunung Kidul, Sultan sudah menyiapkan program penghijauan. Baginya, pendidikan dan pangan adalah fondasi kemerdekaan
Romusha Gagal Masuk Yogyakarta
Saat banyak daerah lain dikuras tenaganya lewat kerja paksa Romusha, Yogyakarta tampil beda. Berkat kecerdikan Sultan, data statistik palsu soal tanah tandus dan hasil panen buruk membuat Jepang berpikir dua kali. Strategi ini bukan hanya menyelamatkan ribuan warga, tapi juga menghasilkan proyek monumental: Selokan Mataram, saluran irigasi yang masih mengalirkan harapan hingga kini.
Raja yang Turun ke Tanah, Bukan Duduk di Singgasana
Sultan Hamengkubuwono IX bukan tipe penguasa yang hanya menunggu laporan. Ia berkuda menjelajahi desa-desa, berbincang langsung dengan rakyat, mendengar keluhan, dan merancang kebijakan berdasarkan kebutuhan nyata. Dalam dirinya, kepemimpinan tradisional Jawa bersatu dengan visi modern yang progresif menjadikan Sultan bukan hanya simbol, tapi solusi
Dalang di Balik Layar: Sang Sultan dan Diplomasi Senyapnya
Di tengah masa sulit pendudukan Jepang antara tahun 1942 hingga 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengambil langkah visioner untuk melindungi rakyat Yogyakarta. Salah satu kebijakan paling bersejarah adalah pembangunan Selokan Mataram, sebuah saluran irigasi sepanjang lebih dari 31 kilometer yang menghubungkan Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur. Namun, proyek ini bukan hanya urusan pengairan sawah. Di balik pembangunan ini tersembunyi strategi brilian untuk menghindarkan rakyat dari kerja paksa Romusha yang marak dilakukan Jepang. Dengan menyatakan bahwa Yogyakarta mengalami krisis air dan membutuhkan sistem irigasi besar, Sultan berhasil meyakinkan Jepang untuk mendanai proyek tersebut. Diorama rakyat Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang sedang membangun Selokan Mataram di Museum Air Yogyakarta Sumber: Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) Daerah Istimewa Yogyakarta, Diakses pada 07 Juni 2025 pada https://budaya jogjaprovgo id/berita/detail/SelokanMataram
Selokan Mataram merupakan bukti bahwa infrastruktur bisa menjadi bentuk perlawanan halus terhadap penjajahan. Sultan Hamengkubuwono IX mempekerjakan ribuan warga lokal untuk proyek ini agar terhindar dari kerja paksa, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani melalui suplai air pertanian. Kanal ini menegaskan kepemimpinan Sultan yang bijak dan berpihak pada rakyat, serta mendorong semangat swadaya dan kemandirian Yogyakarta di masa sulit.
Selokan Mataram adalah mahakarya sederhana yang memadukan teknologi lokal dan kepekaan lingkungan. Kanal ini melintasi 27 sungai dengan sistem talang dan sipon dan masih berfungsi hingga kini. Selain irigasi, Selokan Mataram juga berfungsi sebagai tempat cuci ternak dan jalur inspeksi. Lebih dari sekadar infrastruktur, Selokan Mataram menjadi simbol kepemimpinan yang cinta tanah air dan berani menghadapi penjajahan secara elegan.
pada masa
Dalang di Balik Layar: Sang Sultan dan Diplomasi Senyapnya
Strategi dalam melawan pendudukan Jepang
Selokan Mataram: Kanal Cerdik, Bukan Sekadar Irigasi
Ketika rakyat di banyak daerah dikerahkan sebagai Romusha, Sultan Hamengkubuwono IX memilih strategi taktis: membangun Selokan Mataram. Ia menyampaikan kepada Jepang bahwa tanah Yogyakarta memerlukan irigasi Dengan dalih itu, Jepang justru membiayai proyek besar yang sejatinya menyerap ribuan tenaga kerja lokal menyelamatkan mereka dari kerja paksa yang mematikan.
Mengunci Kekuasaan Lokal dari Campur Tangan Jepang
Sultan tegas menjaga otonomi Kasultanan Ia membatasi peran Pepatih Dalem agar tidak menjadi kepanjangan tangan Jepang, dan menetapkan bahwa semua urusan administrasi hanya bisa dilakukan atas persetujuannya sendiri. Ini adalah bentuk perlawanan birokratis yang tenang tapi tegas, demi mempertahankan martabat pemerintahan loka
Merawat Rakyat di Tengah Derita
Perang
Ketika bahan makanan sulit dan rakyat menderita, Sultan tak hanya mengandalkan kebijakan. Ia turun langsung membantu dengan membuka cadangan pangan, mendukung petani lokal, dan bahkan menyumbangkan kekayaan pribadinya demi keberlangsungan hidup rakyat dan pemerintahan.
Pendidikan sebagai Benteng Masa
Depan
Di bawah pendudukan militer, Sultan membuka akses pendidikan, mendirikan sekolah menengah, dan mendorong pemberantasan buta huruf. Ia percaya bahwa kemerdekaan sejati tak hanya soal senjata, tetapi tentang pikiran yang tercerahkan dan rakyat yang terdidik
Memilih Republik, Menolak
Kekuasaan Semu
Jepang dan kemudian Belanda berkali-kali mencoba membujuk Sultan untuk bergabung dengan rencana negara federal dan diberi jabatan tinggi. Tapi Sultan menolak dengan tegas. Ia berdiri di belakang Republik Indonesia, bahkan sebelum banyak pemimpin lokal lainnya mengambil sikap serupa.
Dalang di Balik Layar: Sang Sultan dan Diplomasi Senyapnya
Profil Penulis
Nama : Fhauziah Sri Ayuning Putri
TTL : Cianjur, 27 Agustus 2004
Instansi : Universitas Pendidikan Indonesia
Nama : Ahmad Meiza Zain
TTL : 17 Mei 2025
Instansi : Universitas Pendidikan Indonesia
Nama : Salsa Khairunnisa
TTL : 28 November 2004
Instansi : Universitas Pendidikan Indonesia
Nama : Nur Muhammad Ikhsan
TTL : Cimahi, 04 April 2004
Instansi : Universitas Pendidikan Indonesia
Dalang di Balik Layar: Sang Sultan dan Diplomasi Senyapnya
PDAlnoza, M. (2023). Selokan Mataram: Pergulatan kuasa
Jepang dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1942–1945) dari perspektif teori akses. Universitas Gadjah Mada.
Ardelia, Z. N. (n.d). Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam Bidang Sosial Politik pada Tahun 1945-1950.
Iswantoro, I. (2020). Peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam Menegakkan Kemerdekaan Negara
Republik Indonesia. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(2), 158-181.
Margiyati, C. N. (2007). Peranan Sultan Hamengkubuwono IX Pada Masa Pergerakan Nasional 1940-1949. Skripsi. Program S1 Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta
Notosusanto, N., & Poesponegoro, M. D. (2010). Sejarah
Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Utomo, Y. T. (2021). Mengungkap motivasi sultan hamengku buwono ix membangun selokan mataram. Imanensi: Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam, 6(2), 65-76.