Banyak anak nanti


banyak rezeki lho..



Tidak




























Pepatah “banyak anak, banyak rezeki”, terdapat faktor yang mendukung sehingga satu keluarga
memiliki banyak anak. Faktor yang mendukung, yaitu sebagai berikut.
1.Keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu
Pasangan ingin memiliki banyak anak karena ada
keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu. Hal ini menyebabkan seorang ibu melahirkan anak sampai keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu tercapai oleh pasangan.
2. Hubungan dengan keagamaan

Kepercayaan memiliki banyak anak akan membawa
rezeki melimpah karena hal ini dianggap sebagai
perintah Tuhan dalam ajaran agama, melihat contoh
tokoh agama atau kyai yang memiliki banyak
keturunan, dan melihat praktik sosial di masa lalu.
3. Nilai Anak
Berdasarkan Tessa (2000) dalam Listyaningsih dan Sumini (2015), terdapat dua teori yang mempelajari
keputusan mengenai jumlah anak yang diinginkan (fertilitas). Pertama, teori perilaku yang direncanakan (planned behaviour). Teori ini mengemukakan keputusan seseorang memiliki atau tidak memiliki anak
adalah wujud kesadaran dan perilaku yang dipengaruhi oleh penilaian terhadap anak (penilaian negatif dan positif), nilai-nilai sosial yang diterima dalam
kehidupan, serta kapabilitas untuk menunjukkan
perilaku berdasarkan pendapatan atau sumber daya
lainnya. Kedua, perilaku tidak direncanakan (unplanned behaviour). Teori ini mengemukakan
perilaku sebagai faktor yang menentukan terjadinya kelahiran yang diawali dengan motivasi untuk
mencapai tahap-tahap selanjutnya.

Pepatah “banyak anak, banyak rezeki” dapat

memberikan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, yaitu terciptanya bonus demografi.
Bonus demografi merupakan keadaan yang terjadi dalam suatu negara ketika jumlah masyarakat usia
produktif lebih besar dibandingkan masyarakat dengan usia non produktif (Setiawan 2018). Berdasarkan
Badan Pusat Statistik, usia produktif berada pada
rentang usia 15-64 tahun sedangkan usia non produktif kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas.
Indonesia diperkirakan akan mengalami masa
bonus demografi pada tahun 2030-2040 (Setiawan 2018). Jika Indonesia mengalami bonus demografi, akan muncul peluang untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Setiawan 2018). Hal ini dapat
terjadi karena pertumbuhan ekonomi berdasar pada
pertambahan penduduk (Setiawan 2018). Lalu, dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi berdampak pada
pengurangan tingkat kemiskinan (Setiawan 2018).
Artinya, Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan apabila
mampu memaksimalkan bonus demografi yang akan
terjadi di masa mendatang dengan memiliki sumber
daya manusia yang berkualitas.
Namun, bonus demografi dapat menjadi masalah
apabila tidak dikelola dengan baik. Berdasarkan Solow
(1956) dalam Setiawan (2018), pertambahan
penduduk dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif bonus demografi yang tidak dikelola dengan baik akan memunculkan masalah, seperti pertumbuhan ekonomi melemah, tingkat kemiskinan tinggi, tingkat kriminalitas tinggi, dan tingkat pengangguran tinggi (Setiawan 2018). Artinya, bonus demografi akan menimbulkan permasalahan yang meresahkan bagi masyarakat dan negara. Hal ini dapat terjadi apabila Indonesia memiliki sumber daya manusia yang tidak berkualitas sehingga tidak memberi kontribusi positif pada masyarakat dan negara.

Mewujudkan sumber daya manusia berkualitas perlu peran dari keluarga, masyarakat, dan negara.
Penjelasan mengenai peran keluarga, masyarakat, dan negara dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu sebagai berikut.
Peran Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama dan utama sebagai
proses sosialisasi dan menanamkan sistem nilai yang berlaku sebagai pedoman dalam bertindak serta
bertingkah laku di lingkungannya (Umberan et al. 1995).
Peran Masyarakat
Ada pepatah mengatakan "it takes a village to raise a child" . Berdasarkan pepatah ini, mengurus anak tidak hanya memerlukan peran keluarga, tetapi terdapat peran masyarakat. Dalam hal ini, peran masyarakat, seperti tetangga, teman bermain di rumah, dan teman di sekolah dapat memberi dampak positif maupun dampak negatif bagi anak.
Peran Negara
Peran negara dilihat berdasarkan kebijakan yang dibentuk dan dilaksanakan sebagai upaya membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Beberapa contoh kebijakan sebagai upaya membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas, yaitu Kurikulum
Merdeka Belajar, Program Kampus Merdeka, dan Pelatihan ketenagakerjaan melalui Sisnaker.

Pepatah “banyak anak, banyak rezeki” bertolak
belakang dengan kondisi yang saat ini terjadi, yaitu
childfree. Berdasarkan Umam dan Akbar (2021) dalam
Fadhilah (2022), childfree adalah persetujuan antara suami dan istri untuk tidak memiliki anak selama masa
pernikahannya. Pandangan childfree masuk dan berkembang di Indonesia karena pengaruh dari
kebudayaan luar melalui media sosial (Jenuri et al. 2022).
Berdasarkan Shapiro (2014) dalam Jenuri et al. (2022), terdapat beberapa istilah childfree (yang
direncanakan atau disengaja), yaitu childless by choice, non-mother, non-father, unchilded, voluntary childlessness, dan without child. Berdasarkan Doyle (2013) dalam Jenuri et al. (2022), komunitas childfree

biasanya berkembang pada perempuan yang
bertempat tinggal di negara-negara industri dengan
latar belakang isu kontrasepsi, peningkatan partisipasi
tenaga kerja, dan pengurangan perbedaan jenis kelamin.
Terdapat alasan yang menyebabkan pasangan memilih melakukan childfree. Pertama, tidak siap
untuk menjadi orang tua. Berdasarkan Tunggono (2021) dalam Rizka et al. (2021), menjadi orang tua
memerlukan persiapan dengan cermat tidak hanya
dari segi material dan fisik, tetapi juga kesiapan mental seseorang. Kesiapan mental bagi seseorang
yang ingin atau sudah menjadi orang tua

berhubungan dengan cara orang tua melayani
anaknya di masa depan dan berdasarkan keinginan
masing-masing individu (Tunggono 2021; Rizka et al. 2021).
Kedua, faktor psikologis. Beberapa subjek
menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai kesiapan
diri dan memiliki masalah mental. Berdasarkan observasi oleh Tunggono (2021), banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak karena mengalami
masa kecil yang buruk dengan orang tua mereka. Hal
ini membuat mereka khawatir dapat meneruskan toxic spirit kepada keturunannya karena menyadari bahwa
mereka tidak mampu secara mental (Rizka et al. 2021).
Ketiga, faktor ekonomi. Beberapa pasangan
menyatakan bahwa alasan mereka tidak ingin
mempunyai anak karena mereka takut kekurangan
uang dan tidak ingin hidup dalam kondisi sulit (Rizka et al. 2021). Keempat, faktor lingkungan. Pasangan berasumsi bahwa dunia sudah terlalu ramai dan dampak dari pemanasan global semakin memburuk (Rizka et al. 2021). Alasan ini menjadi pemicu untuk tidak menambah kerusakan alam dengan menambah satu jiwa (Rizka et al. 2021). Kelima, alasan personal, yaitu keputusan yang dibuat oleh pasangan dan keputusan ini tidak memiliki alasan utama atau khusus (Rizka et al. 2021).



Perlu diketahui dan diingat, memiliki banyak anak atau childfree adalah sebuah pilihan dan keputusan dari setiap pasangan. Pilihan dan keputusan yang ditentukan terdapat konsekuensi, tanggung jawab, dampak positif, dan dampak negatif yang akan dihadapi oleh setiap pasangan. Memilih dan membuat keputusan mengenai mempunyai anak diperlukan

banyak pertimbangan untuk mengambil keputusan terbaik berdasarkan sudut pandang setiap pasangan.
Pilihan untuk memilih childfree bisa didasarkan pada
berbagai alasan seperti preferensi pribadi, karir, kesehatan, lingkungan, atau pandangan terhadap tanggung jawab orang tua. Beberapa orang mungkin
merasa bahwa tidak memiliki anak memberi mereka
fleksibilitas lebih besar dalam hidup mereka, sementara yang lain mungkin memiliki pertimbangan kesehatan atau ekonomi yang membuat mereka memilih jalur ini.
Mengenai relevan atau tidak pepatah "banyak anak, banyak rezeki" di era modern, jawabannya, yaitu tentatif. Alasannya, yaitu perbedaan dalam pandangan, nilai, kebudayaan, dan domisili setiap individu
sehingga menjadi suatu "keyakinan atau prinsip" yang
dipegang teguh oleh masing-masing individu.