Kolorai, Mutiara di Bibir Pasifik

KOLORAI

Mutiara di Bibir Pasifik

-Pengabdian Generasi Muda di Ufuk Timur Nusantara-

KOLORAI

Mutiara di Bibir Pasifik

Kolorai Mutiara di Bibir Pasifik Penasehat Prof. Dr. Ir. Cahyono Agus Dwikoranto, M.Agr.sc Penanggung Jawab Farid Ibrahim Penulis Komunitas KitaMorotai Editor Santika Wibowo Meutia Azzura Layout Hanif Anshori Nur Fadhillah Fotografer Bagus Eko Farid Ibrahim Norma Suci Zealandia Sarah

DAFTAR ISI

Bagian 1 : Belajar Keluar dari Karang 03 06 09 12 15 18 21 24

Jatuh Cinta di Ujung Nusantara Sepenggal Kisah tentang Rasa Syukur Mengarungi Taman Laut Negeri Seribu Pulau Surga Dunia di Ufuk Timur Indonesia Terancam dan Akhirnya Terbayar Negeri Penuh Cinta di Tepi Samudera Sepucuk Surat untuk Bapak Presiden 3 SKS dari Timur

Bagian 2 : Mengemudikan Perahu Harapan 29 32 35 38 41 44 47 50 53 56 59 62

Dinding Ekonomi Tanah Beribu Potensi Memetik Arti Bahagia Sorak Sorai di Estadio de Kolorai Bukan Aku, tapi Kamu yang Mengajariku Bertaruh Hidup pada Bibit Tanaman Sebongkah Harapan itu Masih Ada Satu Pulau Beribu Kisah Kisah Si Abon Ikan Melahirkan Desa Wisata di Bibir Samudera Maluku, Saksi Bisu Pengabdian Kami Merumuskan Festival Akbar Cahaya Paling Terang di Bumi Pertiwi

DAFTAR ISI

Bagian 3 : Mengenali Indonesia 67 70 73 76 79 82

Pencarian Sebuah Rumah Antara Aku dan Fonai Lewat Deru Mesin Kapal Busur Hujan yang Maha Dahsyat Doa Ibu dalam Malam Temaram Jejak Perpisahan dalam Debur Kenangan

Bagian 4 : Torang Kolorai Pe Carita 87 89 91 93 95 97 99 101 103 105

Nampan Roti di Pagi Hari "Minggu Mahutu" Terukir Indonesia di Laut Pusaka Lima Tangkai Lilin Kehidupan Ketika Kepala Sekolah Memusuhi Rasa Lelah Menjadi Perahu di Laut Abu-Abu Tiang Harapan Sebagai Nelayan "Bapa Sekdes Tara Pernah Berhenti Belajar" Mutiara di Balik Karang Kesempatan "Ibu Bidan Tara Mungkin Bisa Sakit"

Prof. Dr. Ir. Cahyono Agus DK, M.Agr.Sc Dosen Pembimbing Lapangan MLU-03 2016 Saya sangat mengapresiasi tekad, semangat, daya juang dan kinerja para mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata di Kepulauan Morotai, Propinsi Maluku Utara, yang saya bimbing tahun ini. Meski bertugas dan berbakti di wilayah perbatasan dengan berbagai keterbatasan, namun telah secara nyata mampu menunjukkan sebagai calon pemimpin masa depan yang bersedia terjun langsung untuk mendengarkan dan berjuang bersama masyarakat bawah mengembangkan program-program unggulan di wilayah terpencil yang menghadap Samudera Pasifik. Saya sangat salut dan bangga, karena mahasiswa KKN bukan hanya berorientasi nilai akademik semata, namun jiwa pengorbanan dan leadership serta socio-enterprenership nya benar-benar telah dapat dibuktikan secara nyata.

Banyak program spektrakuler, yang meski hal kecil, namun merupakan kinerja kunci obat totok darah akibat sumbatan birokrasi. Meski hanya 2 bulan, ternyata mahasiswa sudah mampu mengembangkan outcomes based program. Mahasiswa telah mampu menemukenali mutiara unggulan dan mengungkap surga yang tersembunyi di bibir Samudera Pasifik ini.

Buku ini merupakan salah satu karya mahasiswa KKN untuk mengungkap potensi kilau mutiara pariwisata unggulan Morotai yang masih perawan dan selama ini masih tersembunyi rapat, agar dapat diintip oleh dunia wisata, karena sangat layak dijadikan destinasi wisata dunia.

Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama semua pihak, terutama Pemerintah Daerah Morotai, Kepala Badan Perbatasan, Kepala Jababeka Morotai, Dan LANAL Morotai, DanLanud Morotai, Dive Morotai, sehingga program KKN bisa terlaksana dan dapat tetap ditindak lanjuti.

Kami mengharapkan agar kinerja KKN Morotai yang telah dilakukan pada tahun 2015 ini dapat ditindak lanjuti oleh semua pihak agar tekad, semangat, gaung dan kinerjanya bisa menjadi lokomotif pengembangan KKN dan pengabdian kepada masyarakat secara lebih berdaya dan berhasil guna.

Terima kasih

... and The Journey begins.

Bagian 1

BELAJAR KELUAR DARI CANGKANG | Hafsah Muthi'ah | Afra Hatim | Muslim Dimas | Nur Fadhillah | | Jihan Nur | Miftakhudin | Zealandia Sarah | Ilham Noari |

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 02

Bagian 1

Jatuh Cinta di Ujung Nusantara Hafsah Muthi'ah

Kehangatan langsung kurasakan saat pertama kali aku menginjakkan kaki di Desa Kolorai.

Keramahan warga yang langsung menyambut dan bahu-membahu mengangkatkan barang bawaan kami membuatku nyaman. Sama sekali tak terlihat kesan keras pada sorot mata mereka, meski garis mukanya tak lembut.

Adalah Papa dan Mama Thaif, orangtua piara yang mengasuhku selama tinggal di Kolorai.

Aku tinggal berdua dengan Ila, roommate yang semakin menambah kesan kekeluargaan dirumah ini.

Keluarga ini benar-benar seperti keluargaku di Jogja. Papa dan Mama selalu mengingatkan kami agar tak lupa makan saat kami sedang sibuk-sibuknya berkegiatan. Setelah seminggu aku tinggal, keramahan itu makin erat kurasakan. Tak hanya dari keluarga di rumah, tapi juga semua orang di desa ini.

Aku belajar bagaimana warga saling bertoleransi. Kesalahpahaman kerap terjadi antarwarga, seperti saat kami mengadakan pertandingan sepakbola yang berakhir dengan ricuh. Ya, warga disini memang mudah tersulut emosi. Namun, tak sampai seminggu isu itu tergantikan dan masyarakat sudah saling memaafkan. Aku melihat bagaimana mereka meredam rasa amarah agar kekeluargaan tetap terjaga. Di desa yang luasnya hanya sekitar tiga kali lipat Bunderan HI ini, kekeluargaan memang sangat dijunjung tinggi.

Aku datang ke desa ini membawa misi penghijauan yang merupakan terapan dari bidang ilmuku yakni kehutanan. Praktik memang tak semudah teori. Dalam teori aku banyak belajar mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon seperti faktor lingkungan. Namun, disini faktor lingkungan menjadi lebih kompleks dari sekedar kecocokan tapak tempat tumbuh pohon, ketersediaan hara, dan lain-lain. Ada pun masalah utama untuk penghijauan di desa ini yakni kambing.

Ya, kambing merupakan hewan ternak yang paling mendominasi disini. Kambing-kambing dilepas bebas di pemukiman warga mencari makanannya sendiri.

Hal itu membuat tanaman harus diberi pagar agar tidak dimakan oleh kambing. Tentu ini cukup menyulitkan misi penghijauan kami. Bahkan, tanaman muda yang tumbuh liar di alam tidak mampu bertahan di pulau kecil ini karena tanaman muda tersebut langsung dimakan oleh kambing.

Kami pun kesulitan mencari bibit yang berfungsi untuk memperbaiki ekosistem pantai, Sukun dan Kasuari, sehingga kami harus mencarinya di luar pulau.

Kemudian kami pun pergi ke Pulau Dodola dan Pulau Galo-Galo. Sepulang dari sana, kami langsung menanam seadanya bibit tersebut di lahan belakang Pulau Kolorai tanpa kami pagari karena hari sudah gelap. Esok paginya, bibit tanaman kami sudah menjadi sarapan bagi kambing-kambing itu. Tragis.

Tak hanya sulit mencari bibit, kami juga harus pergi ke pulau besar Morotai, tepatnya di Desa Pilowo, untuk mendapatkan bahan baku pembuatan pagar seperti bambu dan kayu bulat.

Awalnya kami ingin melakukan penanaman sebanyak seratus semai Kasuari, namun karena kondisi

KOLORAI | 03

di lapangan ini kami hanya mampu melakukan penanaman sebanyak 25 semai Kasuari dan 25 semai Amo. Bayangkan betapa sulitnya membuat lima buah pagar pada setiap semai ukuran lebih kurang 1 x 1 meter.

Semua warga bahu membahu membantu misi kami ini. Anak-anak, remaja, hingga bapakbapak ikut turun tangan. Misi ini mengemban tugas yang berat menyadarkan warga untuk merubah kultur. Waktu kurang dari dua bulan ini kiranya hanya cukup untuk meningkatkan semangat reboisasi desa. Namun untuk merubah kultur mereka untuk menggembala kambingnya adalah tugas yang berat. Banyak permasalahan seperti kuasa pemilik lahan hingga politik desa yang menjadi polemik.

Peraturan desa harus segera dibuat. Pendidikan lingkungan harus mulai diterapkan sejak dini. Beberapa warga memang telah memiliki kesadaran akan pentingnya melakukan misi ini. Seorang bapak pernah berkata padaku, "Kalau bukan torang yang tanam pohon-pohon nanti anak cucu torang bagaimana?

Tara bisa hidup mereka". Dari situ timbul keinginanku untuk semakin meningkatkan pemahaman mereka lewat sosialisasi tentang pentingnya kawasan pesisir pantai. Sosialisasi seperti inilah yang mereka butuhkan sekarang. Mereka perlu ilmu-ilmu yang bisa digunakan sebagai bekal merawat alam Kolorai yang indah ini.

Disadari atau tidak, pendidikan mempunyai peran penting dalam membentuk pola pikir.

Seperti pada kesadaran dalam menjaga lingkungan sekitar. Di negeri indah ini pendidikan menjadi sesuatu yang tidak diutamakan. Seperti pengalaman istimewa yang sempat aku dapatkan, pagi itu hujan turun dengan derasnya dan tak berangsur reda padahal hujan telah mengguyur negeri indah ini semalam suntuk. Aku mendapatkan misi untuk mengajar di Sekolah Dasar Kolorai. Sebuah misi yang hampir dilakukan semua tim KKN di lokasinya. Sesuatu yang biasa pada awalnya. Hingga ketika jam telah menunjukkan angka 07.30 WIT dan aku telah sampai sekolah dan siap untuk mengajar.

Baru ada satu anak yang siap untuk belajar di sekolah. Ternyata aku baru tahu di sini pelajaran baru akan dimulai ketika hujan sudah reda. Banyak anak yang tidak memiliki payung untuk berangkat ke sekolah dan lebih banyak lagi anak yang mengira sekolah diliburkan karena hujan tak kunjung

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 04

Bagian 1

reda. Namun misi ini tak boleh berhenti sampai disini. Akhirnya aku dan tim pengajar hari itu berinisiatif untuk melakukan penjemputan ke rumah-rumah murid kami. Banyak murid yang harus kami tunggu untuk mandi dan sarapan hingga ketika mereka siap kami mengantarkannya ke sekolah.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIT dan beberapa anak telah berkumpul, kami pun memutuskan untuk mengajar murid dengan jumlah yang seadanya itu. Dari yang aku lihat, kesadaran mereka belajar sebenarnya tinggi. Mereka pun cepat menyerap pelajaran yang aku berikan. Tetapi kultur yang kurang mengedepankan pendidikan sebagai pedoman hidup menjadikan mereka lebih senang belajar langsung dari alam. Tentunya ada kelebihan dan kekurangan dari hal ini. Memang banyak ilmu yang langsung bisa mereka serap di alam, dari berenang hingga mengail pun sudah mahir mereka lakukan sejak kecil. Namun banyak dari mereka yang kurang mahir dalam berhitung dan membaca meski sudah menduduki kelas 4 SD. Miris. Keterbatasan guru pengajar juga kurangnya dukungan dari orang tua menurutku merupakan masalah utama di desa ini. Pengabdian di wilayah-wilayah perbatasan memang harus lebih digalakkan oleh pemerintah. Nyatanya hingga saat ini kesetaraan pendidikan yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa belum mampu diperoleh secara maksimal di lokasilokasi seperti desa Kolorai.

Waktu beranjak pergi meninggalkan segala cerita indah di desa Kolorai. Aku jatuh cinta pada desa ini sejak pertama kali kuinjakkan kaki. Jatuh cinta pada keramahan semua orang yang hidup disana. Menyuruh kami menganggap semua seperti milik kami sendiri hingga kami tak merasa seperti tamu. Aku semakin jatuh cinta pada desa ini pada minggu kedua, pada etos kerja setiap individunya.

Mereka membantu setiap program kami dengan begitu cekatannya. Aku semakin jatuh cinta dengan desa ini pada minggu ketiga. Pada setiap pelajaran hidup yang diajarkan, menurunkan jala kelautan bebas hingga menari ronggeng untuk meneruskan adat. Aku semakin jatuh cinta pada desa ini pada minggu keempat. Pada setiap canda dan tawa percakapan hangat. Obrolan dari dapur ke dapur ibuibu yang sedang memasak. Obrolan di ruang tamu bersama bapak-bapak. Obrolan di jalanan bersama kakak dan abang. Dan obrolan jenaka di pinggir laut bersama anak-anak. Aku benar-benar jatuh cinta dengan desa ini di minggu terakhir keberadaanku disini. Saat waktu memaksaku mengakhiri semua yang telah terikat dengan syahdu. Di antara laut dan awan yang begitu biru dan tetesan air mata yang mengisyaratkan kecintaan yang mendalam, tim KKN kami pamit pulang dari keluarganya. Perpisahan belum pernah semenyiksa ini. Dan aku ingin kembali.

KOLORAI | 05

Sepenggal Kisah tentang Rasa Syukur Afra Hatim “Tidak perlu berangkat hingga ujung negeri kalau hanya untuk bersenang-senang, hanya untuk liburan berkedok KKN.�

Begitu kira-kira prinsip yang terus menerus berlarian di pikiranku dan berhasil mendoktrinku setelah beberapa bulan bergabung dengan satu-dua kelompok KKN. Aku melepas kelompok KKN di salah satu daerah di Provinsi Maluku, dan memilih lokasi KKN di Jawa Tengah. Keputusan ini kuambil karena aku belum menemukan niat yang benar-benar tulus untuk mengabdi, hingga akhirnya datang sebuah panggilan untuk turut berpartisipasi di KKN Morotai, sebuah daerah di Provinsi Maluku Utara.

Tampaknya aku memang berjodoh dengan Kepulauan Maluku. Walaupun berbeda dengan lokasi KKN sebelumnya, berbeda provinsi; Maluku dan Maluku Utara, namun lokasi ini masih satu rumpun, keduanya berada di ujung timur Indonesia. Saat itu aku sudah menguatkan tekad untuk benar-benar mengabdi di lokasi KKN. Salah satu alasan aku untuk mengambil kesempatan ini adalah keinginanku untuk mengetahui bagaimana kondisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta kehidupan sosial di ujung timur Indonesia yang sama sekali belum pernah aku temui sebelumnya.

Bagiku, ini menjadi salah satu keputusan besar karena aku akan meninggalkan program perbaikan nilai di fakultasku, karena aku yakin nilai-nilai ujianku sangat jauh dari kata cukup, yang

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 06

Bagian 1

nantinya sangat berpengaruh untuk kehidupan akademisku di semester selanjutnya. Tanpa niat yang begitu kuat, aku tidak akan mengambil kesempatan untuk mengabdi di ujung negeri, dan memilih untuk bermain aman dengan mengambil lokasi KKN di sekitar DIY dan Jawa Tengah demi memperbaiki nilai-nilaiku. Pertaruhan ini harus aku bayar dengan pelaksanaan KKN yang sungguhsungguh dan diniatkan agar bernilai manfaat untuk warga di lokasi KKN nantinya.

Pertemuanku dengan keluarga KKN Morotai sebelum hari keberangkatan sangatlah singkat karena aku termasuk anggota terakhir yang bergabung. Walau begitu, aku merasa beruntung karena intensitas rapat dalam sebulan terakhir sebelum keberangkatan cukup sering sehingga bekal kebersamaanku dengan keluarga ini mendekati cukup, sangat jauh dari kata kurang. Aku semakin merasa beruntung karena ternyata komposisi keluarga baruku ini terdiri dari orang-orang hebat di bidangnya masing-masing. Namun, terselip perasaan khawatir ketika menyadari bahwa aku bukanlah siapa-siapa, tidak memiliki keahlian khusus, dan tidak cakap dalam hal apapun. Akankah aku berguna di tengah orang-orang hebat di keluarga KKN Morotai ini?

Keberuntunganku semakin bertambah ketika dalam beberapa kesempatan selalu terucap, “Pokoknya kita berangkat itu diniatkan untuk KKN, untuk mengabdi. Masalah rekreasi, piknik, dan senang-senang nanti akan mengikuti sendiri.� Hal ini menjadi kekuatan tambahan bagiku, karena berada dalam keluarga yang memiliki tujuan yang jelas dan satu visi dengan prinsip yang aku pegang sebelumnya.

Hingga akhirnya tibalah waktu keberangkatan, dengan membawa segenggam harapan bagi adik-adik dan warga di Desa Kolorai, desa tempat kami mengabdi selama enam minggu, terbanglah kami menuju Morotai. Perjalanan kami tidaklah mudah, demi memangkas biaya perjalanan, kami perlu berganti pesawat berkali-kali hingga sampai di Bandara Leo Wattimena, Morotai, setelah transit di Bandara Sepinggan, Balikpapan, dan bermalam di Bandara Sam Ratulangi, Manado.

Ini menjadi ramadhan pertamaku berada di luar kota, bahkan luar pulau, jauh dari keluarga dan teman-teman di Yogyakarta. Semua perlakuan dari warga tidak membuat aku dan teman-teman KKN merasa sedih karena jauh dari keluarga. Kami sama-sama dianggap sebagai keluarga sendiri, dicari kesana kemari jika tidak ada di rumah saat jam makan, disapa sepanjang jalan bahkan saat kami belum sepenuhnya menghafal nama-nama mereka, dipersilakan masuk ke semua rumah untuk sekedar berkunjung hingga minum teh bersama, dan semua hal-hal kecil lainnya yang mendapat tempat tersendiri di hati kami masing-masing.

Momen hari raya pun kami lewatkan di pulau ini bersama seluruh warga dengan segala keramahannya, yang membuat kami tidak begitu merasakan kesedihan karena tidak merasakan hari raya bersama keluarga di rumah. Tercatat sudah puluhan rapat koordinasi yang selalu kami lakukan di malam hari. Tak jarang terjadi adu pendapat ketika mendiskusikan banyak hal. Sederet program dengan total ribuan jam telah kami lakukan.

Meskipun membantu program utama kelompok, yaitu Festival Kolorai, aku memiliki tanggung jawab untuk menjalankan program kluster Medika. Program Pemeriksaan dan Perawatan Gigi Gratis, Mengajar, serta Sekolah Mimpi (ketika aku berperan menjelaskan pekerjaan sebagai Dokter) menjadi program yang mampu mengubah mindset-ku mengenai dunia kesehatan.

Titik balik ini berawal dari pertemuan awalku dengan drg. Alim Hakiki dan drg. Novi.

Pertemuan ini menjadi salah satu momen yang membuat aku bertekad untuk terus melanjutkan

KOLORAI | 07

Belajar Keluar dari Karang

sekolah dan meneruskannya hingga program kepaniteraan atau koas, dan terjun langsung untuk praktik di daerah terpencil seperti Kepulauan Morotai ini. Aku tersadar ternyata masih sangat banyak saudara kita di berbagai daerah di Indonesia yang membutuhkan tenaga kesehatan agar mendapat pelayanan kesehatan dengan layak dan memadai.

Saat mengajar di kelas pun, baik PAUD, SD, serta SMP juga menjadi salah satu momen yang menyadarkanku bahwa kondisi fasilitas pendidikan bagiku dan teman-teman lain di Jawa sangatlah di atas kata cukup. Malu rasanya ketika teringat dengan semua keluhan yang pernah aku ucapkan.

Ditambah dengan saat mengikuti program Sekolah Mimpi dan mengetahui bahwa banyak anak SD dan SMP yang berminat untuk menjadi dokter, rasa malu dan terharu tidak bisa aku sembunyikan lagi.

Aku, menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi salah satu kampus terbaik di Indonesia yang memiliki fasilitas cukup lengkap, dengan segala fasilitas yang tersedia, dengan dukungan finansial penuh dari orang tua, dengan teman-teman yang siap membantu dalam segala kondisi, merasa belum pernah memanfaatkan seluruh nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku. Di titik ini, aku berjanji untuk tidak lagi menyia-nyiakan segala kesempatan yang sudah aku punya agar nantinya bisa menjadi dokter gigi yang bermanfaat, yang tidak takut untuk mengabdi di seluruh daerah terpencil di Indonesia.

Hari demi hari berjalan sangat cepat hingga tak terasa kami sudah berada di minggu-minggu terakhir sebelum tiba hari penarikan KKN. Banyak hal, pelajaran, pengalaman, serta keramahtamahan luar biasa yang sudah aku temui di desa ini. Aku bersama dua puluh enam orang lainnya pun berjanji untuk kembali ke desa ini, suatu saat nanti. Kembali lagi pada prinsip awalku bahwa aku datang ke Desa Kolorai memang untuk megabdi dan membantu. Namun ternyata berada di sana membuatku menjadi orang yang kini lebih menghargai apa yang aku punya. Pada akhirnya akulah yang harus berterimakasih kepada seluruh warga Desa Kolorai karena telah menyadarkan aku untuk terus bersyukur dengan semua kemudahan hidup yang sudah aku dapatkan.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 08

Bagian 1

Mengarungi Taman Laut Negeri Seribu Pulau Muslim Dimas

Hari keberangkatanku bersama 26 kawan lainnya akhirnya datang. Kami berangkat pada tanggal 21 Juni 2016 dengan satu tim berjumlah 27 orang. Ya memang tak gampang pergi jauh dengan jumlah orang banyak apalagi kami pergi dengan perut keroncongan. Kami pun memulai perjalanan dari bandara Jogjakarta-Balikpapan-Manado-Ternate dan tujuan akhir kami yaitu Pulau Morotai. Setiba kami di pulau ini, kami disambut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Morotai. Kami disambut layaknya tamu kehormatan, mobil-mobil dinas dikerahkan untuk menjemput kami. Setelah dijemput kami pun diarahkan ke kantor Bupati untuk perkenalan dan sambutan dari pemerintah daerah. Kami disambut sangat hangat dan mereka menaruh harapan besar pada kami. Dengan melihat sambutan yang seperti itu kami pun merasa tertantang untuk membangun daerah yang kami rantau. Sambutan pun usai dan tiba saatnya kami menuju tempat KKN kami yaitu Pulau Kolorai.

Kami pun berangkat dengan menggunakan speedboat yang sudah disediakan oleh pemda Morotai. Berdua puluh tujuh kami datang di pulau yang akan kami singgahi selama kurang lebih satu setengah bulan. Pertama kami menginjakan kaki di pulau Kolorai kesan pertama adalah warga yang sangat antusias dengan kedatangan kami. Hal yang membuatku terkejut adalah ketika buka puasa di rumah mama papa piara, kami disambut dengan sajian yang dihidangkan ke aku. Hidangannya pun tak biasa yaitu pisang goreng yang digunakan sebagai pengganti nasi dengan ikan goreng dan sambal. Aku pun mencoba hidangan yang disajikan dan ternyata diluar perkiraan aku yaitu kombinasi yang enak. Makanan pun aku habiskan karena rasa lapar yang tak dapat ditahan. Makanan pun habis tetapi ada panggilan makan lagi di rumah sebelah. Aku heran dengan orang sini karena sangat ringan tangan memberikan makanan pada kami. Rumah demi rumah setiap hari kami singgahi untuk makan makanan yang dihidangkan. Bisa dibilang aku makan disini sehari lebih dari tiga kali. Badan aku disini sudah sulit di kontrol, bisa dibilang kata orang kolorai bilang badan aku “Gode”.

Hari demi hari pun berganti, kami pun mencoba membaur dengan masyarakat dan mencoba penjajakan ke masyarakat pulau Kolorai. Aku pikir di sini banyak “orang gila”,orang gila dalam artian mereka bekerja tanpa kenal waktu. Mereka tidak akan pulang tanpa hasil sehingga mereka rela pulang larut malam demi mendapatkan uang. “Kegilaan” lainnya yang aku lihat disini adalah mereka sangat ikhlas membantu kami. Mereka membantu tanpa kenal lelah dan tidak mengharapkan upah. Orang disini tidak berpikir uang jika menolong orang. Mungkin di Jawa orang seperti ini sudah mulai punah.

Kami di sini sangat beruntung bertemu dengan orang-orang yang tidak berpikir harta.

Singkat cerita pada hari terakhir puasa, kami mengadakan acara buka bersama di masjid, warga di sini mulai dari ibu-ibu dan bapak-bapak berlomba-lomba menyajikan makanan untuk dihidangkan di acara buka bersama. Hari terakhir kami puasa ditutup dengan indah.

Selepas bulan puasa usai, kami pun mulai melakukan program yang telah direncanakan.

Program masing-masing pun mulai dilakukan dari mulai membuat plang, perbaikan lapangan, pembuatan tempat sampah dan masih ada beberapa program yang mulai jalan. Salah satu program

KOLORAI | 09

Belajar Keluar dari Karang

aku yang mulai berjalan adalah pertandingan sepak bola. Mungkin pertandingan sepak bola adalah acara yang paling ditunggu-tunggu di pulau ini. Tanpa pikir panjang kami langsung membuat surat undangan,perbaikan lapangan serta melakukan pengundian untuk mengatur jadwal pertandingan.

Hari berlanjut dan jadwal pertandingan pun dibuat. Awalnya aku pikir pertandingan sepak bola yang aku buat hanya pertandingan kampung untuk mencari kesenangan warga di sini.

Tetapi ketika pertandingan berlangsung,aku salut dengan orang-orang disini. Mereka menjalankan pertandingan dengan sungguh-sungguh mulai dari seragam hingga atribut supporter. Sempat terjadi pertikaian antar tim sepak bola padahal tim-tim tersebut berasal dari pulau Kolorai saja dan tentu orang-orang masih bersaudara. Aku sempat berpikir merasa bersalah karena membuat pertandingan sepak bola yang dapat memecah persaudaraan mereka. Namun hari silih berganti dan pertandingan pun usai dan selesai dengan damai.

Programku pun tak hanya pertandingan sepak bola, program yang aku incar dan sangat ingin aku segera kerjakan adalah pendokumentasian potensi wisata bahari di sekitar Pulau Kolorai. Mungkin program ini adalah program yang paling aku incar karena aku ingin menyelam disini. Kendalanya pun ada saja ketika aku ingin melaksanakan program aku yang satu ini. Ada yang harus membantu program lain, tabung tidak ada, cuaca yang tak menentu dan ada saja kendala yang menunda program programku terlaksana. Aku hanya bisa sebatas melakukan snorkeling di sekitar Pulau Kolorai. Namun hal itu malah menambah aku termotivasi untuk melakukan penyelaman di sekitar Pulau Kolorai karena potensi wisata bahari disini sangat bagus dan indah. Hari demi hari aku dan Wastu usaha

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 10

Bagian 1

dengan menghubungi kenalan komunitas selam di daerah Morotai untuk mengusahakan penyelaman dan akhirnya hari yang dinantikan pun tiba. Walaupun sudah dibilang sangat terlambat karena kami melakukan penyelaman pada hari menjelang kepulangan kami di sini. Rasa kecewa pun ada tapi aku pikir daripada tidak sama sekali melakukan penyelaman disini. Tujuanku disini sebenarnya belum sepenuhnya terlaksana karena aku belum menyelam untuk melihat langsung bangkai pesawat yang karam yang ada di kedalaman sekitar 45 meter. Aku pun berjanji dalam diri aku sendiri, jika masih diberi umur dan rezeki aku akan kembali untuk menyelam dan melihat langsung pesawat yang karam di perairan Pulau Morotai.

KOLORAI | 11

Belajar Keluar dari Karang

Surga Dunia di Ufuk Timur Indonesia Nur Fadhillah

“Wah enak banget la”, “beruntung banget kamu la”, “mba ila itu salah satu orang yang beruntung mba”. Ya, begitulah kira – kira beberapa kalimat yang aku dengar dari beberapa orang saat terjadi perbincangan kecil antara aku dengan mereka. Kalimat tersebut terucap dari beberapa orang yang aku temui sebelum berangkat Kuliah Kerja Nyata (KKN) sampai tiba di tempat KKN. Tidak hanya teman kampus bahkan ada orang Kolorai yang juga mengatakan hal tersebut kepadaku. KKN merupakan salah satu mata kuliah wajib tiga sks bagi semua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).

Pulau Kolorai dikenal sebagai salah satu tempat desa wisata, pulau ini dekat dengan Pulau Dodola, Pulau Kokoya dan Pulau McArthur. Pulau Kolorai yang memiliki kekayaan ikan dan terumbu karang yang tinggi ini merupakan salah satu desa di Pulau Morotai yang sebelumnya telah menjadi salah satu tempat tujuan mahasiswa UGM melakukan pengabdian juga. Kami berdua puluh tujuh orang mahasiswa dari UGM datang kembali ke Desa Kolorai ini untuk mengabdi dan membangun desa sehingga Desa Kolorai menjadi salah satu desa yang maju dan dapat dikenal hingga ke mancanegara. Bagiku, mendengar nama Kolorai awalnya sedikit terasa asing, aku berusaha menggali informasi sebanyak mungkin. Terbersit banyak pertanyaan dalam benakku setiap kali mengingat dan mendengar kata Kolorai, aku bertanya – tanya, dimana tepatnya letak Desa Kolorai itu? Apa yang dapat aku berikan kepada warga Desa Kolorai? Namun dengan berbagai tanda tanya yang terlintas dipikiran, aku tetap berusaha berpikir positif dan melakukan yang terbaik bersama dua puluh enam orang teman lainnya.

Bagian 1

Di Desa Kolorai, aku tidak hanya mendapatkan keluarga, tetapi juga pengalaman dan pelajaran kehidupan lainnya saat melaksanakan program. Aku memiliki beberapa program KKN yang harus aku jalankan selama di Desa Kolorai, diantaranya adalah papan bahasa, pohon ilmu, kuisioner, pendataan dan sebagainya. Berkat bantuan dan kerja sama dengan seluruh warga Kolorai, programku dapat terlaksana dan semoga dapat bermanfaat bagi warga Desa Kolorai.

Salah satu programku adalah pembuatan papan bahasa di lingkungan desa, dimana papan bahasa tersebut berisi kata – kata bijak ataupun kata – kata motivasi yang tertulis dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Ternate. Tujuan pembuatan papan bahasa di lingkungan sekitar desa adalah untuk selalu meningkatkan semangat dan memotivasi setiap pembaca, aku bermaksud agar setiap orang yang berjalan menyusuri Desa Kolorai akan menemukan kalimat – kalimat yang dapat membuat mereka merasa bahagia berada di Kolorai, memiliki semangat hidup dan termotivasi untuk selalu melakukan hal – hal yang positif. Selain itu, papan bahasa ini sengaja aku buatkan dalam tiga bahasa dengan tujuan mengenalkan bahasa kepada warga Desa Kolorai dan para tamu dari dalam dan luar negeri.

Pembuatan papan bahasa ini dibantu oleh para pemuda Kolorai, ada sekitar tujuh orang pemuda yang turut membantu aku dalam pembuatan papan bahasa ini. Kami mengerjakan papan bahasa ini di rumah Bang Jamil. Hampir sekitar seminggu, aku ke rumah Bang Jamil untuk mengerjakan papan bahasa ini. Setiap kali bekerja atau diberikan tugas yang harus mereka emban maka mereka akan berusaha melakukan semua pekerjaan itu semaksimal mungkin dengan semangat yang tinggi dan tidak membuang – buang waktu. Siapapun dari kami yang memiliki waktu luang maka kami akan datang ke rumah Bang Jamil untuk mengerjakan papan bahasa. Kami bekerja saling bergantian, saling membantu satu sama lain.

Keikhlasan warga Kolorai dalam membantuku dan teman – teman sangat terlihat jelas dan mengajarkanku banyak hal. Aku menyadari bahwa tidaklah mudah mencari teman dengan etos kerja yang baik dan loyalitas yang tinggi. Mereka selalu membantu kami dan melakukan segala sesuatu tanpa membuang waktu. Banyak hal yang mereka berikan kepadaku. Semua hal tersebut dapat dilihat dari semua bantuan mereka pada program-program kami, mahasiswa KKN UGM MLU–03, seperti halnya mereka membantu programku lainnya yaitu pembuatan pohon ilmu. Pohon ilmu yang aku rencanakan akan diletakkan di SD dan SMP Desa Kolorai. Aku senang karena adanya pohon ilmu ini mendapatkan respon yang positif padahal aku beranggapan program pembuatan pohon ilmu ini tidak akan berjalan karena kurangnya waktu yang kumiliki. Namun pada akhirnya, dihari terakhir kami berada di Desa Kolorai ini aku dapat membawa pohon ilmu ini ke sekolah. Aku membuat pohon dan potnya kemudian anak – anak sekolah yang membantu aku mengisi kegersangan pohon tersebut. Aku menyediakan kertas origami yang nantinya digunakan sebagai daunnya dan semua kertas yang akan digantung pada pohon sebagai daun akan diisi oleh anak–anak dengan tulisan– tulisan yang bermanfaat seperti rumus, kata-kata bijak, pengetahuan umum dan lainnya yang dapat menambah wawasan dan memberikan inspirasi bagi siapapun.

Saat pengisian pohon ilmu dengan daun kertas itu, aku melihat anak–anak melakukan itu semua membuat aku merasa semakin berat meninggalkan mereka. Gelak canda tawa mereka yang begitu bersemangat mengerjakan semua itu membuat aku tersenyum penuh kebahagiaan. Bagiku, mereka adalah anak – anak yang cerdas, penuh kreativitas, cita – cita yang tinggi dan semangat belajar

KOLORAI | 13

Belajar Keluar dari Karang

yang tinggi. Yang mereka butuhkan saat ini adalah dukungan dan motivasi yang baik serta memberikan pendidikan dengan pola pembelajaran yang tepat sehingga mereka dapat mengejar semua cita – cita dan menjadi anak bangsa yang mampu memajukan dan mengharumkan nama Indonesia.

Terlalu banyak kenangan manis dan pelajaran kehidupan yang orang–orang Kolorai ajarkan kepadaku. Setiap hari warga Kolorai memberi warna–warna baru bagi kehidupanku, selalu ada kejutan yang tak terduga yang aku dapatkan. Seperti pada hari kedua aku sampai di Desa Kolorai ini, anak – anak sudah mengajakku menaiki ketingting untuk mengelilingi pulau kecil kami ini. Untungnya, aku tidak bisa berenang sehingga kami tidak pergi terlalu jauh. Di pulau ini juga aku mendapatkan pengalaman melaut untuk mencari ikan bersama para adik, abang dan bapak Kolorai. Dari hasil melaut inilah setiap hari kami selalu mencicipi masakan yang enak, kami makan masakan hasil laut yang diolah oleh tangan – tangan ibu Kolorai yang lincah.

Hampir semua warga Kolorai bisa bermain sepak bola, voli, memasak, melaut, menulis indah, menggambar, membaca Al–quran dengan merdu, memotong kayu, mengecat, menanam, dan lainnya. Mereka bisa melakukan apapun dan mereka adalah orang – orang yang tepat waktu. Jadi, ketika bekerja mereka pasti akan berusaha sebaik mungkin agar cepat selesai dan memberikan hasil kerja yang baik.

Kolorai itu indah dan penuh kedamaian sepanjang hari bagiku. Aku selalu berharap dapat kembali lagi bertemu semua warga Kolorai yang telah menjadi keluargaku dan menikmati keindahan alam yang merupakan salah satu surga dunia di ufuk timur Indonesia ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 14

Bagian 1

Terancam dan Akhirnya Terbayar Jihan Nur

Sesuai dengan rajutan kalimat di atas sebagai awal mula tulisan ini diketik, Terancam dan Akhirnya Terbayar. Sebelum kita masuk lebih lanjut ke dalam cerita ini, aku jelaskan dulu demi kepentingan apa sampai bisa membuatku mencoba untuk menulis dan merangkai kata-kata ini.

Aku adalah mahasiswa semester enam Universitas Gadjah Mada yang pada akhir bulan Juni sampai awal Agustus tahun 2016 melakukan suatu hal besar yang sangat berarti dalam hidupku.

Aku melakukan pengabdian masyarakat yang bagi mahasiswa UGM lebih asyik untuk menyebutnya dengan sebutan KKN. Dan gara-gara acara kampus ini, aku berhasil menginjak tanah Maluku. Hore!

Sebuah pencapaian besar bukan? Lalu, mari kita mulai dari bagian pertama.

Apa yang dimaksud dengan terancam? Apa yang terjadi denganku di kegiatan KKN ini?

Tunggu dulu! Terancam yang aku maksud kali ini terjadi ketika sebelum berangkat KKN. Betapa kagetnya aku ketika mengetahui kalau namaku tidak tertulis dalam database anggota KKN di Morotai.

Dalam waktu kurang dari dua minggu keberangkatan, tiba tiba aku mendengar kabar yang tidak bisa aku terima begitu saja. Panik dan gelisah menyelimuti pikiranku pada waktu itu. Ditambah lagi minggu itu adalah minggu dimana aku menjalani ujian akhir semester. Cobaan apa ini, kupikir.

Kejadian itu bermula ketika aku mendapat kabar dari Kormanit Tim KKN Morotai yang bernama Farid. Di dalam grup chat Line Messenger dia bilang kalau namaku tidak tertulis di data update-an terbaru. Setelah mendengar hal itu, hampir setiap hari aku mengunjungi Kantor Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM selaku badan yang mengurusi tentang KKN mahasiswa. Di sana aku mendapat informasi jika aku belum meng-upload berkas tes kesehatan.

Padahal aku merasa yakin bahwa aku tidak mungkin melupakan hal itu. Dan data itu pun sudah dicek di pusat dan mereka bilang pun belum ada data dengan atas namaku. Aku juga sudah mencoba menunjukkan berkas asli berupa lembaran tes kesehatan pun tidak diterima karena yang dibutuhkan adalah hasil upload data tersebut.

Alhasil, aku memutar otak dimana masih dibebani dengan tugas kuliah dan ujian akhir.

Aku sudah pesimis jika aku memang tidak bisa berangkat KKN dengan teman-temanku yang sudah berproses bersama selama kurang lebih enam bulan, sampai-sampai pernah kami di ciduk oleh Satpol PP ketika menggalang dana dengan mengamen. Aku pun sudah pasrah untuk berangkat KKN di daerah sekitar Kota Yogyakarta saja. Namun, usahaku tidak berhenti sampai di sini.

Aku dan teman dari satu jurusan bernama Nike yang juga bermasalah, mencoba untuk mengirim kembali hasil upload yang tercantum di email masing-masing. Dan setelah menunggu dengan waktu cukup lama, akhirnya keajaiban menghampiri kami. Puji syukur kepada Allah aku dan Nike berhasil lolos untuk masuk di tim KKN masing-masing yang sudah terbentuk. Aku berangkat ke Morotai dan Nike berangkat ke NTT. Sungguh Allah memang memiliki kuasa lebih dan mencintai umatnya. Allahu Akbar! Allah Maha Besar!

KOLORAI | 15

Belajar Keluar dari Karang

Bagian ini adalah secuil cerita yang akan kusampaikan kepada kalian tentang sebuah kenangan di tanah Indonesia sebelah utara, tanah Maluku Utara, Kabupaten Pulau Morotai. Apa definisi dari akhirnya terbayar? Inilah yang aku rasakan selama ini sejak pertama kalinya kaki mungil nan jenjang ini menginjakkan telapaknya di tanah Maluku Utara tepatnya Desa Kolorai. Sampai satu bulan lebih yang rasanya pun kaki ini tidak rela pergi untuk meninggalkan tanah yang sudah menyatu dalam kulit telapak kaki ini. Aku dan teman-teman tim KKN Morotai sampai dengan selamat membawa barang masing-masing serta beban berat bahan untuk program pengembangan desa ini. Dan kalian sendiri harus merasakan dengan indera kalian sendiri bagaimana kesan yang aku alami di saat pertama kali sampai di Desa Kolorai.

“Fabiayyi’a laa irabbikumaa tukadzdziban” “Maka nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?”

Itulah kalimat pertama yang terbesit dalam kepalaku. Pasir putih, laut lepas yang jernih, udara yang sejuk, dan yang terpenting adalah keramahan warga Desa Kolorai. Mereka menyambut kami dengan riang gembira mulai dari anak-anak kecil, para orang tua, dan khususnya teman dekat kami pemuda pemudi Desa Kolorai yang sangat kocak dan sangat peduli dengan kami.

Selama satu bulan lebih aku tinggal bersama mama dan papa piara. Papaku bernama Bapak Umar Hubihawa yang setiap hari tidak pernah kulewatkan kata dari beliau yaitu, “Oho muju!” yang berarti mari makan dulu. Mamaku bernama Mama Merry. Mama berasal dari Tobello, yang berarti bukan orang asli Kolorai. Yang paling sering kuingat adalah raut muka marahnya ketika aku makan sangat sedikit dan beliau langsung berteriak, “Kalau makan pasti sedikit!”. Begitulah mama, mama yang paling rajin mencucikan bajuku meskipun aku menolak setengah mati. Baik bukan?!

Aku juga memiliki geng di Desa Kolorai ini. Geng ini bernama Cempaka Putih dengan anggota anak-anak perempuan mungil yang pertama kali mengajakku berkeliling pulau. Nama-nama anggota dari Cempaka Putih antara lain Santi, Ijah, Wada, dan Fira sebagai pentolannya dan anakanak perempuan lainnya sebagai pengikut setianya.

Lalu, disini pun aku memiliki sahabat dari pemuda desa. Aku merasa memiliki ikatan khusus dengan dua orang pemuda pekerja keras dan baik hati ini. Pemuda ini bernama Bang Ulis dan Bang Jamil. Bang Ulis merupakan seorang teman bercanda, teman mengecat plang, teman jalan-jalan di kota, serta teman bercerita yang nggak jelas. Sedangkan Bang Jamil adalah kakak sepantaranku yang setiap hari membantu kelancaran programku di sini. Bang Jamil merupakan salah satu pemuda yang menjadi mahasiswa karena ia berkuliah di Ternate. Setiap hari aku dibangunkan dari tidur dan diajak jalan-jalan mencari angin serta minum kopi sampai pagi. Pemuda pemudi desa yang lain juga sangat akrab denganku tapi hanya dua orang ini yang pas di hati.

Brighit Ikag Mahendra, mahasiswa teknologi jaringan di Sekolah Vokasi UGM. Dia adalah “teman bodoh”-ku selama KKN ini. Kami berdua adalah tumbal untuk 25 anggota KKN lainnya untuk diajak pesta miras dengan para pemuda. Sungguh mulia, kan, hidup kami? Berkorban demi yang lain. Dia adalah temanku merokok linting dan minum Cap Tikus, sebutan minuman di Desa Kolorai yang cukup membuat kami berdua muntah muntah. Selanjutnya, ada geng porter dan kuli. Terdiri dari Bambang, Wastu, Khoir, dan aku sendiri sebagai para pekerja yang selalu sedia melaksanakan komando untuk membantu seluruh program KKN sehingga terlaksana. Mereka-lah teman-teman dekatku yang paling bodoh selama KKN ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 16

Bagian 1

Aku sadar bahwa aku lebih sering menceritakan pengalaman emosionalku dalam bersosialisasi di sini. Karena memang benar, masih banyak tempat seperti Desa Kolorai yang memiliki keindahan alam yang luar biasa hebatnya di Indonesia. Namun, pengalaman yang aku lalui bersama merekalah yang tidak mungkin ada di tempat lain. Dan itu benar-benar membayar semua usahaku untuk bisa sampai menginjakkan tanah Maluku ini.

Cukup sampai disini secuil cerita cinta, tawa, dan kebodohan yang ingin aku sampaikan.

Pesanku untuk kalian teman-temanku yang membaca kisah ini, “Pergilah kemana saja yang kamu mau, namun jangan lupa bawa teman bicaramu. Karena dialah yang akan mengukir kenangan di tempat itu dan terlebih di hatimu.�

KOLORAI | 17

Belajar Keluar dari Karang

Negeri Penuh Cinta di Tepi Samudera Miftakhudin

Cerita KKN-ku di Kolorai pertama dimulai dari aku yang bersama dengan tiga orang teman lainnya berangkat lebih dahulu dibandingkan 23 orang lainnya. Selain aku, ada Farid, Norma, dan Monik. Dengan bawaan pribadi yang terbilang paling sedikit kita berempat tidak begitu repot saat membantu barang bawaan kelompok selama perjalanan.

Perjalanan menuju destinasi KKN Morotai ditempuh dengan transportasi udara dengan beberapa kali transit di beberapa bandara yaitu di Balikpapan, Manado, dan Ternante. Alhamdullillah perjalanan itu cukup nyaman dan singkat karena saat transit di Balikpapan kita berkeliling melihat kota Balikpapan pertama kalinya berbuka puasa di masjid dan makan malam soto makasar yang super enak diantar oleh kakaknya norma. Tiba di Manado untuk transit kebetulan waktu sudah menunjukakn pukul 02.00 WITA sehingga bertepatan dengan waktu istirahat malam hingga siap untuk terbang keesokan harinya lagi. Cukup lelah saat transit dan istirahat di bandara Manado karena kami berempat masih harus mengangkat tas dan kopor ke lantai dua demi mendapatkan spot yang aman dan nyaman.

Ada hal baru yang aku rasakan di penerbangan keesokan harinya, yakni karena harus menggunakan pesawat baling-baling pertama kali. Awalnya aku kira menaiki pesawat baling-baling itu menimbulkan kebisingan yang lebih akan tetapi kenyataannya pergi dengan pesawat tersebut cukup nyaman dan tenang.

Setibanya di Morotai, aku dan tiga temanku yang lain menginap satu malam terlebih dahulu disana untuk mengurus keperluan penyambutan tim KKN sepenuhnya oleh dinas hari berikutnya.

Hal yang sangat tak terduga saat sampai di desa Kolorai adalah Farid yang pada bulan Februari sudah berkunjung guna survey lokasi langsung disambut oleh hampir setiap orang di desa,bisa dibilang bahkan Farid sudah seperti Pak RT desa. Saat melewati rumah-rumah warga setiap orang pasti menyapa Farid yang baru mereka kenal saat survei.

Saat berkenalan dengan warga desa aku, Norma, dan Monik pun juga langsung merasakan hal yang sangat luar biasa. Saat itu juga kita langsung merasakan mendapat keluarga baru di desa Kolorai. “Ini kito semua orang su nanti-nanti teman-teman dari UGM sejak bulan Juni, kemarin itu ada anak mahasiswa lain dari bukan UGM mau turun KKN disini tapi kita semua menolak tara boleh, desa Kolorai itu UGM punya hanya mahasiswa dari UGM yang boleh KKN di sini. Kito semua orang itu su jatuh hati sama teman-teman mahasiswa UGM.� kata banyak orang tua di desa. Warga Kolorai menganggap desanya boleh disinggahi mahasiswa KKN hanya dari UGM, semua warga bahkan juga sudah menanti-nanti kedatangan teman-teman dari UGM sejak bulan Juni hingga Agustus. Setiap hari sejak Juni terdapat warga yang menanti kedatangan kita di pinggir pantai untuk menyambut kita. Aku tidak bisa berkata apa-apa mendengar percakapan seperti itu, hanya bisa bersyukur dan bersyukur. Alam di desa Kolorai ini sangat lah indah, asri, bersih, nyaman, tenang dan aman untuk ditinggali. Langit yang cerah biru, air laut yang jernih hingga ikan-ikan dan penghuni laut lain dapat terlihat dengan jelas, pasir putih yang lembut hingga sangat nyaman untuk kita tidur berbaring di

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 18

Bagian 1

pinggiran pantai. Melihat salam hangat selamat datang dan alam yang begitu luar biasa membuat aku semakin yakin dan siap untuk mengabdi di desa ini.

Di Kolorai aku dan Farid tinggal di rumah papa piara bapak Sarman Hubihawa namanya, atau yang dikenal sebagai Bapak Sekdes. Keluarga piaraku ini terdiri dari papah mamah dan 4 orang anaknya yaitu Manja, Ipin, Tika dan Dino. Manja baru saja masuk SMP, Ipin masih kelas 6 SD, Tika di kelas 2 SD, dan Dino masih duduk di bangku Paud. Alhamdulillah keluarga piara ku ini termasuk terlihat terpandang di desa Kolorai karena selain bapak mempunyai pekerjaan sebagai sekretaris desa beliau bersama ibu juga mempunyai usaha membuka warung kecil dan berjualan BBM mulai dari minyak tanah, bensin bahkan solar dimana bahan bakar ini pasti dibutuhkan di desa Kolorai ini yang sebagian besar warganya bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal yang paling kusukai saat tinggal di rumah bapak yakni adanya teknologi instalasi air di rumah yang dapat mengalirkan air 24 jam baik itu saat listrik menyala maupun tidak. Hal tersebut sangat berbeda dengan rumah-rumah warga desa lainnya, di rumah lainnya air kran dapat menyala hanya saat listrik hidup di sore hari dan itupun hanya bisa mengalir untuk mengisikan bak penampungan air di kamar mandi tiap-tiap rumah saja. Ini lah hal yang aku anggap luar biasa dari rumah terbaikku di sana.

Hari kedua di desa kita berempat kembali beranjak ke pulau besar atau Daruba untuk menjemput teman KKN-MLU03 lainnya. Seperti layaknya warga lainnya di desa ini transportasi yang digunakan untuk ke Daruba adalah dengan menumpang perahu nelayan lain yang sedang bersamaan akan ke Daruba, jadi di esok itu kita pagi-pagi sudah bersiap di pinggir pantai untuk menanti perahu nelayan yang akan pergi. Sesampainya di pulau Daruba kita bertiga langsung menuju ke kantor bupati untuk menjemput teman ber-23 lainya bersama dengan staff bupati lainnya dan selanjutnya mengikuti upacara penyambutan dengan para staff ahli bupati dengan camat Morotai Selatan, kecamatan dimana desa kami berada.

Kembali lagi syukur Alhamdulillah yang bisa aku katakan kedatangan tim KKN-MLU03 kami diterima dengan baik oleh pihak dinas dan dinas mendukung 100% program yang kami ajukan untuk dapat bisa dilaksanakan di desa Kolorai yakni pembentukan desa wisata dengan mengadakan acara budaya Festival Kolorai. Setelah melaksanakan upacara penerimaan oleh dinas seluruh anggota tim KKN-MLU03 ini diantar oleh dias menuju desa kami menggunakan kapal speed boat. Sesampainya si desa lagi-lagi warga desa dan anak-anak sudah duduk-duduk di pinggir pantai menunggu kita para calon anak piara masing-masing. Ketika sampai kita bertiga yang terlebih dahulu sampai mempersilahkan teman ber-23 lain untuk singgah sementara di rumah terdekat dengan dermaga.

Siang harinya kita lengkap berdua puluh tujuh dibagi menjadi dua kontingen seperti pembagian awal persubunitnya dari Jogja menjadi ber-13 dan ber-14 untuk bersiap mendapatkan pembagian keluarga piara masing-masing. Ada hal yang tidak bisa kita penuhi saat sampai disana yaitu pembagian anak piara yang tidak bisa menyebar seluruhnya di setiap rumah karena kita hanya ber-27. Yang bisa kita bagi hanyalah menjadi 13 rumah piara akan tetapi peletakan tempat tinggalnya InsyaAllah sudah menyebar di seluruh wilayah desa.

Pembagian rumah keluarga piara langsung dilakukan sore itu, setelah seluruh tim KKNMLU03 tiba di desa. Saat proses pengangkatan barang bawaan ke rumah piara masing-masing aku melakukan hal teledor hingga terlupa dimana meletakkan handphone-ku disuatu tempat. Aku baru tersadar kehilangan HP ketika waktu menjelang Maghrib. Ketika itu aku mulai khawatir karena

KOLORAI | 19

baru dua hari di desa sudah kehilangan HP. Saat kehilangan itu ada keluarga piara yang mengetahui hingga kabar aku kehilangan HP pun didengar oleh hampir semua warga di desa. Selanjutnya mulai dari bapak, ibu, pemuda bahkan hingga anak-anak menanyakan bagaimana ciri-ciri dari HP itu.

Dan kemudian tanpa komando dari siapapun mereka semua berbondong-bondong membantu aku mencai-cari HP aku tersebut berkeliling desa dimana saja aku pernah berjalan sebelumnya. Karena terlalu khawatir bahkan bapak-bapak berencana akan membuat pengumuman di masjid agar seluruh warga desa untuk membantu mencari HP aku yang hilang sesaat itu hingga malam pun tiba. Dari ibu-ibu yang meminta anaknya untuk menemani aku berkeliling, pemuda bersama gerombolannya dengan bantuan senter ikut berkeliling pula sampai menjelang isya. Untungnya kawan aku si Farid menemukan HP-ku terlebih dahulu sebelum dikumandangkannya pengumuman adanya kehilangan HP-ku lewat TOA masjid desa.

Hal yang sangat tak terkira diwaktu itu adalah aku yang baru tinggal hampir dua malam di desa sudah sebegitu diperhatikannya di desa oleh seluruh warga desa Kolorai mulai dari anak hingga dewasa semua membantu aku tanpa dikomando siapapun hingga malam, HP-ku yang awalnya hilang ntah dimana akan tetapi setelah melihat perlakuan yang luar biasa yang dilakukan oleh semua orang membuat aku mengikhlaskan HP-ku karena hal semacam ini menurut aku sudah sangat bernilai harganya dibandingkan hanya dengan sebuah HP. Hampir 2 malam hidup bersama warga di Kolorai membuat aku merasa langsung mendapat keluarga baru yang sangat hangat untuk ditinggali bersama selama mungkin meskipun hari-hari KKN telah usai.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 20

Bagian 1

Sepucuk Surat untuk Bapak Presiden Zealandia Sarah Teruntuk yang terhormat, Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo Di belahan bumi katulistiwa

Bapak Presiden apa kabar di Jakarta sana? Semoga sehat selalu, akan sangat repot jika bapak sakit, mengingat banyaknya agenda yang harus Bapak lakukan. Semoga juga semangat dan niat bapak untuk memperbaiki negeri ini masih menggelora seperti masa kampanye dulu.

Bapak Presiden yang baik, sekarang saya dan teman-teman sedang berada di pulau kecil bagian utara negeri ini. Dulu Bapak sempat mengunjungi ibukota Kabupaten dari pulau ini. Iya, Kabupaten Pulau Morotai. Waktu itu Bapak datang kemari untuk pengadaan panel surya. Warga di sini bangga sekali dengan kedatangan Bapak, tampak dari binar mata dan senyum yang terkembang saat mereka bercerita tentang hal tersebut ketika kami baru tiba di pulau elok ini. Tetapi saya tidak akan membahas tentang itu, apalagi tentang kondisi di Jakarta sana, entah reshuffle atau momen politik apapun yang terjadi di Ibukota. Saya hanya ingin bercerita tentang anak-anak pulau Kolorai. Pulau yang menjadi pilihan kami, tim KKN-PPM UGM MLU-03, untuk mengabdi selama kurang lebih satu setengah bulan ini. Pulau yang berjarak 2300 km dari rumah. Pulau yang menjadi destinasi kami untuk membawa negara ke perbatasan.

Pulau Kolorai yang saya tinggali saat ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara. Luas pulau ini tidak lebih dari luas fakultas Kehuatan dulu tempat Bapak menimba ilmu. Karena ukurannya yang sangat kecil, pulau ini bisa dijelajahi hanya dalam waktu 40 menit dengan berjalan kaki. Selain itu, lagi-lagi karena ukurannya yang sangat mini, pulau ini tidak tampak di peta NKRI buatan BIG. Meski kecil, Kolorai menyimpan kekayaan alam luar biasa, dari mulai kecantikan sunrise-nya, riak ombaknya, pemandangannya, ikannya, hingga sunset-nya yang memanjakan mata setiap harinya. Ikan di Kolorai melimpah, Pak, hanya memancing di dermaga saja sudah dapat ikan. Jika beruntung, bisa melihat kawanan lumba-lumba di tengah laut saat musim kawin tiba. Mengingatkan saya akan lagu Koesplus. ‘Bukan lautan tapi kolam susu, ikan dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada ombak kau temui, ikan dan udang menghampirimu’

Saat pertama kali sampai di pulau ini, hal pertama cukup membuat heran adalah listrik di sini hanya menyala enam jam saja dalam sehari. Iya Pak, di tahun 2016 yang kata banyak orang sudah masuk ke dalam era digital,era globalisasi, warga kolorai masih terbatas untuk merasakan listrik.

Keterbatasan listrik menjadi kendala dalam banyak hal. Tidak bisa menyalakan lampu, tidak bisa menyalakan kulkas, berarti tidak bisa mengawetkan ikan, akhirnya ikan hasil tangkapan harus dijual dalam sehari jika tidak ingin menjadi basi.

Kondisi geografis yang dikelilingi laut juga sedikit menyulitkan dalam dsitribusi barang,

KOLORAI | 21

Belajar Keluar dari Karang

butuh pergi ke pulau besar untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti minyak tanah, bensin, solar, sayur, beras, dan pastinya harganya akan jauh lebih mahal. Namun banyaknya keterbatasan ini tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk kooperatif membantu kami dalam menjalankan program.

Justru mereka yang paling bersemangat. Membuat kami malu jika malas-malasan menjalankan program. Meski kecil, pulau indah ini memberikan kesan tersendiri bagi kami yang mengabdi, terutama anak-anaknya.

Bapak Presiden yang baik, anak-anak Kolorai luar biasa. Mereka jago berenang sejak kecil.

Laut sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Lihai bermain bola, baik perempuan maupun laki-laki, baik anak umur 5 tahun atau ibu berumur 50-an, serta handal bermain voli. Paleca! Seperti itu pujian untuk yang lincah melakukan suatu hal. Mungkin Bapak bisa mengirim pencari bakat atlet ke sini untuk melihat langsung kelincahan mereka dalam berolahraga.

Letaknya yang terpencil menyebabkan perkembangan pendidikan menjadi terhambat.

Sekolah yang ada di pulau yang berjarak 2300 km dari Jogja ini hanya ada sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama. Siswa per kelasnya tak lebih dari 15 siswa, bahkan siswa kelas satu tahun ini hanya empat anak saja. Status sekolah yang masih inpres menyebabkan fasilitasnya jauh dari layak.

Buku paket hanya ada satu. Hanya ada satu untuk tiap mata pelajaran dan tiap kelas. Mau tak mau anak-anak hanya mengandalkan catatan buku tulis. Kondisi gedung pun juga cukup memprihatinkan.

Kelas 1 dan kelas 2 digabung dalam satu kelas karena kelas 1 yang sebenarnya juga bergabung dengan perpus sekolah harus dipindah karena eternit atap yang hampir jatuh. Selain itu, papan tulis yang berumur uzur mulai sulit untuk digunakan. Ketidakjelasan sistem penggajian juga berdampak pada integritas guru dalam mengajar. Bukan. Bukan kami ingin menyalahkan guru yang malas mengajar, tetapi kondisi lah yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Minimnya fasilitas pendukung pembelajaran, serta ketidakpastian gaji karena status honorer, sedangkan harga kebutuhan semakin tidak ramah kantong. Siapa yang tidak surut semangatnya dengan kondisi seperti ini?

Meski jauh dari hiruk-pikuk kota, hiruk-pikuk perbincangan tentang masa depan, mereka punya mimpi yang tinggi. Waktu itu, hari terakhir kami mengajar di Sekolah, kami membagikan seragam, alat tulis, dan buku bacaan. pembagian dilakukan di lapangan sekolah. Di siang yang terik itu, anak-anak masih semangat berbaris rapi. Satu-dua masih asik bercanda namun sekali komando diam di depan mereka tertib mengikuti. Mata mereka berbinar-binar ketika menerima seragam serta buku baru yang kami bagikan. Ketika ditanya apa cita-citanya, banyak dari mereka ingin menjadi guru, dokter, bidan, dan tentara. Dengan lantang mereka menjawabnya. Sungguh ironi jika hanya karena mereka jauh dari ibukota menyebabkan mimpi mereka terenggut begitu saja. “Siapa yang bercita-cita jadi guru?� tanya seorang teman di depan “Saya!� seru beberapa anak sambil mengacungkan tangan “Siapa yang mau jadi dokter? Bu bidan?�

Acungan tangan dari sektor perempuan lebih banyak “Siapa nih yang mau jadi tentara?�

Anak laki-laki dengan sigap mengacungkan tangan tinggi-tinggi

Mimpi mereka, cita-cita mereka, harapan mereka bukan sekedar bunga dalam tidur. Mimpi, cita-cita, harapan mereka adalah lilin kecil untuk nantinya menjadi api negeri ini di masa depan, akan sangat ironi jika mimpi mereka sekarang terenggut oleh kondisi pendidikan yang tak kunjung baik di

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 22

Bagian 1

pelosok negri. “ Janji yo kalian akan rajin sekolah, walau hujan, walau sakit luka kecil, walau apapun yang terjadi tetap semangat belajar yo!� “Saya!� serempak mereka mengiyakan janji.

Semangat itu, Pak, yang membuat kami menyayangi mereka layaknya adik sendiri. Semangat itu pula yang membuat kami yakin perubahan kebaikan akan terjadi di pulau surga kecil ini. Genap 40 hari kami mengabdi disini, bukan waktu yang sebentar bagi ibu kami di kampung halaman untuk menunggu kepulangan, namun bukan waktu yang lama untuk mengabdi di pulau surga kecil ini. Tapi kami yakin, hal yang telah kami lakukan di sini memberikan arti, bukan hanya dari barang yang kami beri tapi dari , dan kami yakin anak Kolorai punya kesempatan yang sama dengan anak-anak lain di belahan bumi katulistiwa ini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Karena kami percaya pendidikan lah senjata terbaik untuk merubah negeri ini. Memperbaiki negeri ini.

KOLORAI | 23

Belajar Keluar dari Karang

3 SKS dari Timur Ilham Noari

“Waaahhh!!�, hal pertama kali yang terucap ketika pesawat yang kami tumpangi terbang diatas gugusan pulau pulau kecil disekitar daratan morotai. Rasa penasaran bercampur antusias mungkin dirasakan seluruh anggota KKN UGM MLU-03 ketika pesawat hendak mendarat di bandara Leo Watimena. Perjalanan jogja ke morotai harus ditempuh dengan transit sebanyak tiga kali yakni di Balikpapan, Manado dan terakhir Ternate. Lelah yang dirasakan pun terbayar ketika satu tim sudah sampai di desa Kolorai, senyum decak kagum tergambar jelas disetiap teman teman anggota tim yang lain. Sampai di dermaga Desa Kolorai yang disambut oleh anak anak kecil yang sedang memancing ikan pun turut meramaikan kedatangan tim kami. Bagaimana tidak, desa ini seperti surga liburan kecil bagi tim kami yang hendak melaksanakan kewajiban 3 sks dari universitas.

Seminggu lebih dihabiskan untuk melakukan observasi mulai dari observasi masalah desa, potensi desa, kehidupan masyarakat, adat istiadat, sampai lingkungan desa secara kesuluruhan. Selama seminggu itu pula aku menemukan tempat tidur siang terbaik yang jauh dari keramaian desa, yang letaknya benar benar persis di belakang Pulau Kolorai. Alhasil tempat itu selalu menjadi favorit untuk tidur sambil meneduhkan diri dari panasnya cuaca di desa kolorai sendiri.

Berbicara mengenai kebiasaan masyarakat desa, ada satu hal yang sedikit menarik, yakni ketika dua orang pria dewasa ketika berbicara satu sama lain dan pada saat sedang berjalan, dilakukan dengan bergandengan tangan. Haha. Ya mungkin semua anggota tim yang laki laki mengalami hal yang sama tak terkecuali aku sendiri pun mengalami hal tersebut. Satu lagi, ketika teh manis dijadikan kuah untuk nasi, iya, teh manis. Pernah coba tanya ke bapak piara dan beliau bilang rasanya enak.

Coba bayangkan saja satu piring yang berisi nasi, ikan, sambal, sayur ditambah kuah teh manis, haha.

Selain dari hasil lautnya yang luar biasa melimpah, desa ini juga memiliki potensi pariwisata yang tidak kalah hebatnya dengan daerah daerah yang sudah berkembang sebelumnya. Dikelilingi gugusan karang karang yang indah serta letaknya yang bersebelahan dengan Pulau Dodola yang sudah menjadi objek wisata sebelumnya, dimungkinkan kedepannya tidak hanya sebagai tempat transit sebelum mencapai Dodola tetapi lebih dari itu, bisa menjadi tempat wisata yang berbasis kearifan lokal yang tidak terbatas hanya menyajikan wisata bahari saja, namun juga dapat memberikan wisata edukasi bagi wisatawan yang berkunjung kedesa kolorai dengan menonjolkan kebudayaan setempat serta juga dapat memberikan wisata edukasi bagi wisatawan yang berkunjung untuk bisa merasakan pengalaman sebagai nelayan atau hidup sebagai warga lokal.

Dengan segala potensi yang ada dan ditunjang dengan adanya bimbingan dan bantuan baik dari pemerintah maupun keinginan untuk maju dari masyarakatnya untuk maju, diharapkan desa ini akan semakin berkembang dan mampu memupuk kemandirian dari tiap tiap warganya.

Apa yang ingin aku sampaikan pada tulisan ini adalah sudah menjadi tugas kita bersama sama, semuanya, dimulai dari kelompok KKN ini, untuk membuka mata masyarakat desa bahwa betapa besar potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa kolorai.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 24

Bagian 1

Ada 3 macam jenis perahu yang digunakan masyarakat kolorai saat memancing, yang pertama adalah Perahu semang, perahu kecil yang memiliki semacam penyeimbang disisi kiri dan kanan nya. Kedua, koli koli, mungkin namanya kurang nyaman untuk didengar tapi percayalah perahu jenis ini punya kecepatan yang lebih cepat dibandingkan semang, karena ukurannya yang panjang dan lebih ramping. Dan yang terakhir, Fonai. Fonai merupakan sejenis perahu yang cukup besar dimana biasanya saat memancing terdiri dari 10 hingga 15-an orang yang berada diatasnya.

Berbicara tentang fonai, banyak keseruan yang didaparkan ketika ikut memancing atau lebih tepatnya menjala diatas perahu fonai itu sendiri. Oh iya sedikit informasi fonai itu bisa dibilang seperti Kelompok taninya para nelayan karena masing masing fonai punya kelompok masing masing didesa ini, dan juga perahunya diberi nama. Mulai dari bapak piara saya punya yang diberi nama chibi –chibi. Allahuakbar orang macam apa yang memberikan nama perahu dengan nama yang kalian sendiri pasti lumayan geli geli mendengarnya karena berafiliasi dengan salah satu girlband tanah air.

Haha, selain fonai chibi chibi ada juga X-tan, Sari Laha, Putri Nose dan masih ada beberapa lagi nama yang lupa.

Nelayan disini merupakan nelayan yang luar biasa, banyak nelayan di berbagai tempat masih tidak menaati peraturan dari pemerintah terkait cara penangkapan yang salah satunya menggunakan bom, atau pukat harimau, atau menangkap ikan ikan langka yang keberadaannya dilindungi oleh hukum. Nelayan kolorai sangat patuh terhadap aturan yang ada, aku melihat sendiri bagaimana tiap kali mancing tidak jarang ikan yang masuk kejaring jenisnya seperti ikan pari yang sudah jelas dilindungi oleh hukum dengan sukarela seketika langsung dilepaskan lagi. Saya pernah coba bertanya kepada papa piara tentang kenapa nelayan kolorai sangat patuh terhadap larangan-larangan ini, beliau pun menjawab dengan santai, “Baik tidak usah tangkap ikan yang dilarang daripada masuk penjara, kalo masuk penjara keluarga dirumah makan apa? Tarada yang melaut to� .

Makan malam merupakan waktu terbaik dalam suatu keluarga untuk menceritakan segala hal yang terjadi dan sudah dilakukan seharian. Makan malam juga merupakan kegiatan yang paling

Belajar Keluar dari Karang

indah menurut ku dalam suatu keluarga, bagaimana tiap anggota keluarga saling berinteraksi satu sama lain dan salin berbagi cerita. Beberapa tahun ini mungkin aku sudah tidak pernah lagi merasakan makan malam yang seutuhnya karena tidak lengkapnya salah satu anggota keluarga. Tidak adanya lagi bapak membuat saya sudah tidak pernah lagi merasakan makan malam yang ideal.

Semua doa yang sudah dipanjatkan akhirnya di kabulkan oleh tuhan dengan merasakan makan malam dengan semua anggota keluarga yang lengkap diatas meja makan. Makan bersama Bapak, ibu, abang, adik piara meskipun hanya berlangsung satu bulan tetapi setidaknya membuat aku bersyukur masih diberikan kesempatan sekali lagi oleh tuhan untuk merasakan makan malam keluarga yang hangat diatas meja makan. Semua pengharapan dan doa ini membuat aku menikmati detik tiap detik yang dirasakan hangatnya percakapan keluarga di meja makan. Terima kasih Bapak Husein, Ibu Ani, Bang Ambang, Bang Dahir, Dira, Bang Ajir. Pengalaman yang sudah hilang dua tahun lalu di hidup aku kini sudah dihidupkan kembali dan doa yang dikabulkan ini, aku berterima kasih.

Hari libur sangat identik dengan kebahagiaan, setiap hari di Kolorai seperti hari libur tiap harinya, yang artinya tiap hari di Kolorai adalah tiap hari adanya kebahagiaan. Pengalaman bertemu dan bercengkrama dengan warga Desa Kolorai merupakan pengalaman yang paling luar biasa yang pernah saya alami dalam hidup. Dimana kebahagiaan sangat mudah sekali ditemukan dipulau kecil ini.

Satu bulan lebih pengabdian mungkin tidak akan pernah cukup, tetapi kenangan yang sudah tercipta sudah cukup untuk bisa selalu dikenang di lubuk hati yang paling dalam. Terima kasih warga Kolorai, terima kasih atas segala kebaikan dan kebahagiaan yang telah diberikan, semoga semua sehat dan berharap kita semua dapat bertemu di lain kesempatan.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 26

Bagian 2

MENGEMUDIKAN PERAHU HARAPAN | Santika Wibowo | Dessy Brenda | Farid Ibrahim | Monika Dwi | | Yulian Adi | Hasnul Namira | Mahendra Brighit | Husna Arif | | Rifqi Afrian | Hanif Anshori | Tania Nugraheni | Norma Suci |

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 28

Bagian 2

Dinding Ekonomi Tanah Beribu Potensi Santika Wibowo “Santi tara bisa makan ikan ya? Kenapa itu kulit merah-merah begitu?� tanya sekumpulan warga desa padaku sore tadi.

Perjalanan menuju tanah Maluku tidaklah mudah. Aku bersama dua puluh enam teman lainnya telah mengorbankan banyak hal untuk bisa sampai di Pulau Kolorai, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara ini. Kami mengorbankan banyak minggu kami untuk berjualan dan mencari uang. Puluhan malam kami lewati untuk melakukan rapat. Satu dua kali kami bertengkar, terkadang hingga menangis, semua kami lakukan agar mimpi kami mengabdi di tanah ini dapat terwujud. Ternyata perjuangan ini tidak berhenti sampai perjalanan saja, tetapi juga ketika sampai di tanah Kolorai. Ya, aku terkena penyakit bijih panas, atau alergi cuaca ekstrem, begitu sampai di Pulau Kolorai.

Aku memang selalu bermasalah tentang cuaca yang ekstrem. Kulitku memang cukup sensitif setiap kali aku berada di tempat baru. Bukan hanya Kolorai, ketika aku di Arizona atau di Rotterdam pun kulitku perlu waktu seminggu untuk menyesuaikan diri. Bentuk alergi ini beragam, mulai dari bintik-bintik kecil hingga bentol merah-merah di sekujur tubuh. Maka, ketika kulitku memerah pada hari kedua aku berada di Kolorai, aku tidak terlalu terkejut.

Kulitku mulai merah setelah aktivitas membersihkan pantai jam sepuluh pagi. Jangan salah, jika hari sedang panas, matahari di Kolorai bisa ada dua biji saking panasnya. Meskipun aku telah melakukan perlindungan ekstra dengan mengoleskan berbagai macam krim, menggunakan masker, hingga menggunakan topi safari, kulitku tak cukup toleran. Sore hari menjelang berbuka, tanganku mulai bentol-bentol kecil. Beberapa teman bilang kalau kulit wajahku juga terkena imbasnya. Meski sedikit khawatir, aku tak takut.

Esok hari ternyata lebih buruk. Ketika aku bangun setelah sahur, wajahku seolah bengkak dan berwarna sangat merah. Mama piaraku, Ibu Ridwan, sedang bertanam daun bawang ketika itu.

Beliau bilang, “Aduh Santi, itu wajah menjadi merah yo. Istirahatlah puasa dulu, kita ke rumah Tete Umar meminta air doa.� Akhirnya aku menurut. Aku membatalkan puasa dan berjalan membawa air ke rumah Tete (Kakek) dengan harapan akan sembuh dengan air yang telah didoakan.

Harapanku tidak terwujud semudah itu. Setelah dua kali bolak-balik rumah Tete untuk meminta air doa, aku tak kunjung sembuh. Semakin hari kondisinya justru semakin parah. Hal ini membuatku perlu menggunakan masker ke mana pun aku pergi. Setiap hari aku berdoa agar kondisinya menjadi lebih baik, akan tetapi ia tak kunjung sembuh.

Hari ketiga aku memutuskan untuk pergi ke rumah Ibu Bidan. Ibu Bidan menyarankan aku untuk mengonsumsi obat medis juga. Ia menyuruhku meminum obat yang Mira berikan selama tiga kali minum. Apabila belum sembuh juga, Ibu Bidan telah memberikan obat secara gratis yang harus aku minum setiap harinya. Meminum obat juga ternyata butuh kesabaran yang lebih. Obat Mira

KOLORAI | 29

Mengemudikan Perahu Harapan

hanya bisa diminum sehari sekali setelah berbuka. Itu artinya, kondisiku tak bisa cepat membaik.

Setelah terkungkung dengan kekhawatiran pada alergiku ini. Aku akhirnya memutuskan untuk pasrah saja. Akibat alergi ini, aku pernah bolos rapat satu kali. Aku tak mau alergi ini menghalangiku untuk mulai mengabdi. Meskipun aku tak bisa berenang di laut seperti teman-teman, atau ikut memancing bersama papa piara, setidaknya aku harus mulai bergerak membantu warga.

Beberapa hari kemudian, aku akhirnya memutuskan untuk mendatangi Depatemen Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM (Disperindagkop) Kabupaten Pulau Morotai untuk bertanya mengenai program yang ingin aku jalankan, yaitu Pendirian Koperasi. Setelah berdiksusi banyak dengan pihak mereka, aku semakin yakin bahwa mendirikan koperasi bukanlah sekedar permasalahan sepele. Mendirikan koperasi adalah tentang mengubah cara berpikir masyarakat; mendirikan organisasi berbadan hukum yang prosesnya panjang. Program ini menuntutku untuk berkoordinasi dengan berbagai stakeholders, dari mulai warga hingga notaris di Tobelo sana, satu kota di Halmahera Utara.

Malam sebelum tarawih, aku meminta izin Pak Kades dan Farid untuk berbicara ketika perkumpulan warga. Aku jelaskan niatku untuk mendirikan koperasi dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya. Sungguh ketika aku harus memegang mic dan berbicara di depan warga Kolorai, tanganku berkeringat dingin. Aku sangat cemas karena takut warga tidak akan menerima ideku untuk mendirikan koperasi. Selain itu, perbedaan aksen dan logat bahasa menjadi kendala serius ketika berbicara di depan publik yang hampir seluruhnya adalah orang Maluku. Aku takut mereka tak paham atau salah pengertian. Akan tetapi justru di luar dugaanku, warga menerima dengan antusias ide koperasi ini. Hal ini membuatku semakin bersemangat mewujudkan koperasi di Kolorai ini. Aku ingin berguna dan ingin warga desa menjadi lebih maju. Untuk itu, telah disepakati bahwa pada hari Jumat akan ada sosialisasi dari Disperindagkop mengenai koperasi ini.

Setelah semalam mendapat mufakat warga untuk mendirikan koperasi, hari ini aku berkeliling desa mendatangi warga-warga potensial untuk kubujuk menjadi anggota koperasi nantinya. Di luar

Bagian 2

dugaan, semua orang antusias dan sangat mendukungku. Tidak hanya itu, aku semakin mengenal nama dan kebaikan hati mereka. Aku langsung bersemangat membangun dinding ekonomi bagi daerah tempatku mengabdi ini. Tanah beribu potensi yang menjanjikan di masa depan ini.

Dengan semangat untuk mewujudkan program koperasi ini, aku sedikit lupa mengenai kekhawatiranku pada alergi gatal-gatal ini. Aku merasa tak perlu lagi khawatir berlebihan karena Allah pasti akan membantuku jika aku berusaha membantu orang lain. Tanpa disangka, berita mengenai alergiku ini telah menyebar di seantero desa. Hampir seluruh warga berhenti dan memanggil namaku ketika aku lewat. Lalu mereka akan memegang tanganku dan memperhatikan bintik-bintik merah di sekujur punggung hingga pergelangan tanganku ini. Kami lalu berbincang 5-10 menit membahas perkiraan penyebab alergi ini. Meskipun aku telah jelaskan karena cuaca, beberapa di antara mereka masih khawatir aku alergi terhadap ikan. Hal ini tentu akan menyulitkan karena ikan adalah makanan pokok mereka sehari-hari. Beberapa orang mulai mengatakan akan memberi tahu papa-mama piaraku untuk tidak memberi makan ikan kepadaku. “Jangan, Bapak. Nanti saya tara dikasih makan sama Pak Ridwan,� ucapku menahan mereka memberi tahu orang tua piaraku. Meskipun mereka hanya bercanda, aku tetap khawatir.

Bagiku, pengalaman alergi gatal-gatal di Kolorai melukiskan kenangan tersendiri. Dengan alergi ini, aku belajar bahwa hambatan pribadi tidak selayaknya dijadikan alasan untuk berhenti mengabdi. Dengan alergi ini, aku menjadi semakin melihat betapa warga desa ini begitu peduli padaku. Betapa mereka telah rela membuang satu dua nasihat untuk anak muda dengan kulit bintikbintik ini. Betapa mereka terlalu sering khawatir kalau aku jarang makan ikan di Jawa sana sehingga tidak terbiasa. Betapa aku, yang berasal dari suku dan ras yang berbeda, adalah keluarga mereka.

Bagian dari mereka.

KOLORAI | 31

Mengemudikan Perahu Harapan

Memetik Arti Bahagia Dessy Brenda

Bahagia. Setiap insan memiliki naluri ingin selalu merasa bahagia. Sehingga, seringkali kebahagiaan itu ditetapkan dalam suatu indikator-indikator kebahagiaan berupa suatu pencapaian.

Sebagai pemudi yang hidup di antara hirup pikuknya kehidupan mahasiswa masa kini, indikator keberhasilan ku hanya sebatas mendapat IP cumlaude, membeli barang yang sudah lama diimpikan, jalan-jalan ke tempat yang secara sosial dianggap sedang ‘hits’, mendapat uang ekstra dari hasil ngamen di cafe-cafe, atau hanya sekedar mendapat tanda tangan dosen untuk hasil praktikum membuat gigi-gigi yang merampas habis jam tidurku.

Saat terlalu sibuk berlari mengejar kebahagiaan yang sejatinya hanya bersifat materialistik, lelah membuatku berhenti dan bertanya. Tidakkah semua ini hanya bersifat semu? Indikator-indikator kebahagiaan itu mulai terasa tidak valid. Muncul di dalam hatiku hasrat untuk merasakan kebahagian yang lain, yang lebih dalam, yang dapat memuaskan batin, bukan sekedar nafsu duniawi. Terlintas dalam pikiranku, aku harus pergi. Aku harus melarikan diri dari kotak kenyamanan ini. Dan setelah mendengar kisah sebuah mutiara di bibir pasifik dari para pejuang 3 SKS selama dua bulan tahun 2015 lalu, pulau indah berjarak sejauh 2300 km dari tempatku menimba ilmu terdengar menggiurkan dan menjanjikan. Jauh. Jauh sekali, membuat pikiranku yang di relung rasa takut dan khawatir semakin liar merancang apa yang akan terjadi jika aku menginjakkan kaki di tanah maluku. Namun seketika, bagai cuplikan yang dipercepat menggunakan fungsi forward, ternyata aku sudah berlari sangat jauh dari kotak kenyamanan itu, aku sudah berada di sisa hari terakhirku untuk bisa memandangi kilauan pantulan cahaya mutiara terbentang luas di bawah langit fajar dari jembatan di dermaga pulau ini.

Bagian 2

Berlatar belakang kedokteran gigi, aku dan rekanku Afra membawa beberapa program kesehatan gigi dan mulut, dengan tujuan hanya untuk memastikan senyum manis warga desa kolorai bersih, sehat, dan bebas penyakit. Program-program tersebut seperti penyuluhan pola hidup bersih dan sehat, dental health education, sikat gigi bersama siswa-siswi SD, pemeriksaan dan perawatan gigi dan mulut gratis dari dokter gigi, dan pelengkap yang tidak kalah penting adalah penyuluhan kesehatan reproduksi untuk remaja. Setiap waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk menjalani setiap program, tak satu pun tidak diiringi oleh rasa kagum, haru dan bahagia menari di setiap langkah kami. Desa pesisir ini diisi oleh jiwa-jiwa yang sangat mencintai setiap orang yang berada didalamnya dengan rasa cinta yang tak mengenal pamrih. Cinta itulah yang menjadikan setiap program yang kami bawa selalu

Program pertama yang kami lakukan adalah penyuluhan pola hidup bersih dan sehat sebagai persiapan Desa Kolorai untuk menjadi desa wisata. Demi menyelenggarakan program tersebut, kami pergi menemui Bapak Kelapa Dinas Kesehatan Kabupaten Pulau Morotai untuk meminta beliau datang mengunjungi warga Desa Kolorai dan menebarkan pesan-pesan kesehatan kepada seluruh warga agar mulai membuka mata dan menyadari betapa pentingnya kebersihan sebagai tombak utama untuk mewujudkan desa yang sehat dan bebas dari penyakit. Untuk bisa menemui beliau, kami perlu menyebrangi luasnya lautan diantara Pulau Kolorai yang berada di tenggara menuju kota Daruba di Pulau Morotai selama kurang lebih 30 menit dengan menggunakan bodi, sebutan untuk sebuah perahu berukuran sedang dengan kapasitas 10-15 orang. Berkat kebaikan hati dari Bapak Kausil Umakapa, hanya dengan pertemuan pertama saja beliau pun langsung menyetujui untuk memberi materi penyuluhan untuk warga desa kolorai. Beliau pun memiliki gagasan untuk menyelenggarakan penyuluhan tersebut di luar ruangan, di pinggir pantai pada malam hari dengan suasana yang santai namun tertib.

Jika hanya dengan keempat tangan kami, mungkin adegan yang diinginkan Bapak Kausil tidak akan terjadi. Tapi saat hari pengeksekusian, tanpa perlu dimintai tolong warga mau bergotong royong mempersiapkan segala sesuatunya agar adegan tersebut dapat berjalan sesuai arahan sutradara.

Mulai dari menyiapkan tempat, kursi, lampu penerangan, hingga memasak begitu banyak untuk menjamu bapak kepala dinas berserta jajarannya. Dan saat penyuluhan akan dimulai pun, sekita pukul 8 malam warga desa berbondong-bondong menuju lokasi penyuluhan dengan antusias layaknya orang-orang yang datang untuk menonton layar tancap. Mereka rela waktunya istirahatnya sedikit tersita untuk mendengarkan pesan dari Bapak Kausil. Akhirnya acara penyuluhan pun dapat berjalan dengan suasana santai juga hangat dan penuh tawa akibat candaan-candaan yang dilontarkan Bapak Kausil selama pemberian materi. Langit malam itu pun ditaburi banyak bintang dan sinar cahaya rembulan dua malam setelah purnama, membuat suasana malam itu terasa haru.

Hal yang paling menyenangkan selama kami melangkah disetiap programnya adalah ketika kami harus berurusan dengan anak-anak desa. Mereka semua sangat lincah, riang dan polos. Kami pun harus memutar otak bagaimana caranya agar pesan-pesan kami bisa diterima oleh mereka. Salah satu caranya adalah dengan cara menyulap lagu ampar-ampar pisang menjadi lagu untuk belajar cara menyikat gigi yang benar saat menjalankan program dental health education. Kami mengajari lagu tersebut pada semua murid baik SD maupun SMP. Anak-anak yang masih sangat polos dan tidak tercemar oleh gadget itu pun menyanyikannya dengan suara yang lantang. Saking antusiasnya, setelah mengajari lagu tersebut, setiap mereka melihatku entah dijalan atau didermaga dengan otomatis lagu

KOLORAI | 33

Mengemudikan Perahu Harapan

ampar-ampar pisang versi menyikat gigi akan mereka nyanyikan. Aku sangat senang dan bersyukur ternyata mereka menerima pesan yang kami berikan. Setelah mereka memahami cara menyikat gigi yang benar, kami membagikan sikat gigi dan pasta gigi untuk setiap anak. Lalu program tersebut diakhiri dengan melakukan sikat gigi bersama. Walaupun mereka terkadang sulit untuk dikondisikan namun sikat gigi bersama dapat terlaksana dengan lancar dan anak-anak kolorai sudah bisa menyikat gigi dengan baik dan benar.

Anak-anak harapan Desa Kolorai ini terus-menerus membuat saya terkagum-kagum.

Terutama saat kami mendatangkan drg. Novi dan drg. Kiki untuk memberikan pemeriksaan dan perawatan gigi gratis bertempat di Polindes yang juga rumah tinggal Ibu Widati, satu-satunya bidan dan tenaga kesehatan yang bertugas di desa kolorai. Karena keterbatasan fasilitas dan tenaga dokter gigi di desa tersebut, banyak sekali yang mengeluhkan giginya sakit dan berlubang, terutama bapakbapak dan ibu-ibu. Tidak sedikit warga desa yang hampir tidak pernah berkunjung ke dokter maupun dokter gigi dengan alasan jarak yang jauh dan mereka harus menyebrangi pulau. Karena puskesmas terdekat hanya berada di Kota Daruba, tepat disebelah kantor Dinas Kesehatan. Saat kami telah berupaya untuk mendatangkan dokter gigi ke desa, sayang sekali warga yang mau menemui drg. Novi dan drg. Kiki hanya segelintir orang, bahkan dapat dihitung jari. Muncul sedikit rasa kekecewaan dibenak kami. Namun tiba-tiba saat program berlangsung, datanglah segerombolan anak-anak kecil yang ingin diperiksa giginya dan bahkan mereka menarik teman-temannya yang takut untuk diperiksa juga. Sehingga pada akhirnya kami sedikit kewalahan melayani pasien-pasien kecil tersebut. Saat orang dewasa saja takut untuk berjumpa dengan dokter gigi karena takut giginya sakit dicabut atau karena masih memegang kepercayaan-kepercayaan mistis, mereka lah, anak-anak kolorai, dengan gagah berani datang dan berkata, “Kakak, saya juga pe gigi mau kasih lihat dokter!�. Rasa kekecewaan itu pun sirna karena begitu semangatnya anak-anak kolorai ingin giginya sehat.

Di hari terakhir ku duduk dikursi kayu, di bawah pohon memandangi dermaga yang sebentar lagi akan menghilang dari pandanganku, aku mulai mengerti. Akhirnya aku mengerti rasa bahagia apa yang selama ini aku rindukan. Rasa bahagia hadir ketika aku melihat semangat-semangat anak-anak kolorai untuk mengetahui dan mempelajari hal baru. Rasa bahagia hadir ketika aku dapat melukis senyum dan tawa di wajah mereka. Rasa bahagia yang lebih dalam, terasa nyata, dan menyentuh hatiku. Rasa bahagia hadir ketika aku dapat berbagi sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan harga, yaitu sebuah harapan. Tapi saat aku menatap lebih dalam, ternyata bukan aku yang memberi harapan.

Mereka. Mereka lah yang memberiku, memberi kami harapan. Mereka lah yang menginspirasi kami.

Insipirasi bahwa berada ditengah-tengah keterbatasan tidak menghalangi mereka untuk berusaha meraih mimpi dan cita-cita mereka, saat diantara kita banyak sekali orang-orang berkecukupan yang tidak memanfaatkan keadaannya. Oleh karena itu, mutiara-mutiara di bibir pasifik ini pantas untuk kita perjuangkan, benar?

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 34

Bagian 2

Sorak Sorai di Estadio de Kolorai Farid Ibrahim

Sore hari itu, peluit ditiup keras berulang kali dari arah belakang Desa Kolorai. Terdengar dari kejauhan juga langkah kaki para pemuda yang serempak berjalan menuju arah lapangan. Tidak lupa juga dikibarkannya bendera kebanggaan setiap kelompok yang datang menuju lapangan. Sore itu menjadi tidak biasa karena sebagian besar warga desa menuju lapangan kebanggaan Desa Kolorai, Estadio de Kolorai. Ya, hari itu adalah hari dimana pembukaan lomba olahraga di Desa Kolorai dimulai.

Dengan terik matahari yang masih menyengat kulit, kami mahasiswa UGM akhirnya membuka acara yang kami dedikasikan untuk masyarakat yang ada di Desa Kolorai. Aku menyebut acara itu sebagai “Pesta Rakyat Kolorai� karena semua kalangan dapat merasakan euforia acara yang kami buat ini. Acara ini juga kami buat sebagai salah satu cara kami untuk lebih mengakrabkan diri dengan keluarga baru kami, yakni seluruh warga Desa Kolorai.

Estadio de Kolorai pun menjadi tempat pembukaan lomba sepakbola putra Desa Kolorai.

Upacara pembukaan ala - ala European Champions League pun dilakukan, tidak lupa juga diiringi musik khasnya. Ketika semua pemain sudah berada di lapangan siap untuk bertanding, peluit tanda pertandingan dimulai pun dibunyikan dengan keras, juga menjadi pembuka semua acara dari pesta rakyat kolorai.

Suasana panas tidak hanya terjadi di dalam lapangan Estadio de Kolorai, namun juga terjadi di pinggir lapangan, yang mana telah dikelilingi oleh sebagian besar warga Desa Kolorai yang rela meninggalkan semua aktivitasnya demi menonton adik, kakak, anak, maupun ayah mereka yang bertanding. Sore itu teriakan keras terus dilontarkan dari pinggir lapangan untuk mendukung para pemain. Senang, kesal, sedih semua hal tersebut bercampur menjadi satu pada hari itu ketika pertandingan.

Sejak lomba olahraga dibuka sore itu, kini setiap sore hari, lapangan belakang Desa Kolorai menjadi titik keramaian bagi seluruh warga desa. Rumah – rumah ditinggalkan dan dibiarkan kosong, aktvitas ditinggalkan, bahkan beberapa bapak meninggalkan kegiatan melaut mereka agar bisa fokus kepada perlombaan. Hal ini mereka lakukan karena memang acara yang kami buat sangatlah berarti bagi mereka. Bukan hanya itu, ajang perlombaan ini juga menjadi satu – satunya acara dimana mereka seluruh masyarakat desa dapat berpartisipasi.

Menjelang hilangnya sang fajar dari arah Barat, peluit panjang pun ikut ditiup sebagai tanda bahwa pertandingan pembuka sudah berakhir. Peluit tersebut menandakan bahwa babak penyisihan sepak bola putra telah dimulai. Hal ini juga menjadi tanda bagi kami, tim yang dibuat gabungan antara mahasiswa dan juga pemuda Desa Kolorai, akan mulai ikut berkompetisi esok harinya. Tim tersebut kami namai Jang Kore.

Sepakbola. Olahraga yang satu ini memang membius hampir seluruh manusia di dunia.

Hal tersebut juga berlaku di Desa Kolorai ini, sepak bola menjadi obat bagi para pemuda desa.

Hanya dengan sepak bola, keceriaan di lapangan dapat timbul, menjadi salah satu hiburan utama

KOLORAI | 35

Mengemudikan Perahu Harapan

yang mereka punya disini. Sepak bola pun menjadi pemersatu di antara mereka. Hal yang menarik adalah bendera Jerman, Argentina, Brasil, dan lain – lainnya dikibarkan didepan rumah mereka, bukan malah bendera Indonesia. Oleh karena itu perlombaan sepak bola menjadi primadona di desa ini dan menganggapnya seolah-olah liga eropa lah yang tengah berlangsung di desa mereka. Seluruh warga desa terus membahas hasil setiap pertandingan sampai keesokan harinya saat pertandingan lain dimulai. Antusiasme dan juga euforia yang ditimbulkan oleh warga desa sendiri ini, tidak lupa diikuti dengan antusiasme panitia yang juga akan bergabung di kompetisi sepakbola Desa Kolorai ini.

Bergabung bersama antara mahasiswa dan juga pemuda Desa Kolorai, tim inilah yang mencerminkan rasa kebersamaan kami antara pemuda dan mahasiswa UGM.

Bang Rusdi, sang pencetus tim gabungan panitia ini, mengajak kami berdiskusi kecil untuk mencari nama kesebelasan yang pas untuk kami gunakan saat pertandingan. Kemudian ia juga menjelaskan kompetisi yang mereka lakukan bersama dengan tim KKN UGM tahun 2015. “Tahun lalu, torang juga gabungan sama mahasiswa - mahasiswa KKN UGM bang, tapi waktu lawan Ijo Lumut dulu itu ada baku tumbuk bang, jadi pertandingan tu di stop, terus kita semua didiskualifikasi”, terang Bang Rusdi.

“Bang, nama tim kita Jang Kore aja bang, gimana? Cocok?”, Tanya Bang Rusdi “Apa tu, Bang, artinya?” timpal Yulian “Jang Kore itu artinya ‘Jangan Sentuh Bang’, biar kita tara senggol - senggol dengan tim lainnya, Bang, main kita biar aman, sportif, cocok kan?” balas Bang Rusdi

Kemudian bersama dengan para pemuda Desa Kolorai, yaitu Bang Rusdi, Fikar, Mances, Salman, serta Ula, kami mahasiswa UGM berpartisipasi pada kompetisi sepak bola Desa Kolorai ini.

Momen – momen seru pun aku rasakan selama seminggu pertandingan. Salah satunya ketika tim kami, Jang Kore 01 harus bertanding melawan Ijo Lumut, yang merupakan tim yang sama dengan tahun lalu yang menimbulkan kericuhan pada kompetisi yang sama tahun lalu. Pada saat pertandingan berlangsung, tempo berjalan keras sehingga beberapa pemain harus mengalami jatuh bangun bahkan

Bagian 2

harus dipinggirkan keluar lapangan. Akhirnya pertandingan berakhir dengan lancar dan aman, serta dimenangkan oleh kami, Jang Kore 01.

Setelah beberapa kali bertanding, kami pun mendapatkan satu tempat di final kompetisi ini, dan akan melawan juara tahun lalu, yakni tim Cibi – Cibi. Kami pun punya waktu 1 hari untuk mempersiapkan diri sebelum bertanding di final. Malam harinya, kami pun diajak berkumpul untuk berdiskusi sebentar dan diperingatkan adanya praktik ilmu hitam di pertandingan final, mengingat ini masih di desa, biasanya ada unsur mistisnya. Aku pun memutuskan untuk pulang setelah berdiskusi singkat dengan mereka, dan menganggap tentang ilmu hitam itu sebagai angin lalu.

Keesokan harinya, dengan membawa baju serta sepatu sepak bola hasil pinjaman, aku langsung bergegas menuju rumah Bang Salman. Sesampainya disana, aku langsung diajak ke belakang rumahnya, dan ternyata teman – teman lainnya juga sudah menunggu beserta seorang tetua desa yang sedang membawa baskom penuh air. Kami semua pun diminta untuk duduk melingkar dan didoakan sebelum bertanding final, disertai mencuci muka dengan air baskom yang juga ikut didoakan. Setelah aku bertanya, tujuan dari ritual ini adalah untuk melindungi para pemain dari ritual jahat yang membahayakan apabila lawan kami mengirimkan. Mengingat pertandingan ini hanya pertandingan di dalam satu desa, hal ini menjadi unik, karena menandakan tingginya antusiasme warga desa dan mereka sangat serius terhadap acara ini.

Pertandingan final pun dimulai pada pukul empat sore. Lawan kami, Cibi-cibi yang merupakan teman – teman yang biasanya tertawa bersama, menjadi serius saat memasuki lapangan.

Kami pun juga mau tidak mau bermain dengan serius, meskipun kami sendiri adalah panitia dari pertandingan sepak bola ini. Permainan pun berjalan panas. Pertandingan sempat terhenti beberapa saat karena keributan kecil, namun hingga peluit panjang, skor masih menunjukkan 0 – 0. Pertandingan dilanjutkan proses pinalti. Pada situasi ini, seluruh masyarakat desa pun ikut sama – sama serius dan terdiam menonotn eksekusi pinalti. Setelah 5 eksekutor pinalti, akhirnya tim Cibi –cibi keluar sebagai juara dengan mengalahkan tim kami, Jang Kore. Seketika seluruh masyarakat bersorak untuk kemenangan yang diraih tim Cibi – cibi tersebut, sore itu menjadi dramatis.

Selepas pertandingan, kami langsung berjabat tangan dengan tim lawan kami, tidak ada raut marah atau kesal selepas pertandingan tadi, terutama dari tim kami yang mengalami kekalahan.

Kami pun saling meminta maaf atas keributan yang timbul ditengah lapangan, dan sama – sama paham bahwa yang terjadi di lapangan tetaplah berada di lapangan, jangan bawa masalah selepas pertandingan berakhir.

“Bang Farid, di lapangan kitorang memang lawan, tapi di luar lapangan kita orang tetap saudara”, seru Bang Fajri yang menutup perbincangan kami selepas pertandingan.

Dan pada sore hari itu, pertandingan final sepakbola Desa Kolorai mengakhiri rangkaian semua pertandingan yang kami adakan. Kami puas dan bersyukur karena semua berakhir lancar dan warga desa dapat merasakan hal yang sama dengan yang kami rasakan. Pada akhirnya juga ini bukan seberapa besar hadiah yang diberikan, bukan mengenai siapa pemenangnya, namun tentang bagaimana masyarakat menerima kami dan antusiasme mereka terhadap acara yang kami buat untuk mereka.

KOLORAI | 37

Mengemudikan Perahu Harapan

Bukan Aku, tapi Kalian yang Mengajariku Monika Dwi “Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.”

Kutipan dari Pak Anies Baswedan ini cukup membuat aku tersentak dan sadar bahwa aku ini sangat beruntung hidup di Jogja di mana akses pendidikan mudah didapatkan. Tidak seperti adikadikku disini, ya di Kolorai ini. Kolorai merupakan sebuah desa pesisir yang terletak di bibir samudra pasifik yang masuk dalam Kabupaten Pulau Morotai tepatnya Morotai Selatan. Di sini hanya terdapat tiga sekolah yaitu SD Inpres Kolorai, SMP Muhammadiyah 3 Kolorai, dan satu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Keadaan gedung sekolah di sini cukup memprihatinkan. Gedung sekolah dasar hanya terdiri dari lima ruang kelas dan satu ruang guru. Karena hanya terdiri dari lima ruang kelas, kelas satu dan kelas dua dijadikan satu kelas. Fasilitas di sini juga kurang memadai, bangku dan meja yang sudah lama masih banyak dipakai, papan tulis yang sudah mulai rusak juga tidak diganti. Penghapus, kapur, maupun spidol tak jarang sulit ditemukan. Selain itu, gedung SMP hanya terdiri dari dua ruang kelas dan tanpa ruang guru. Dua gedung tersebut yaitu satu gedung untuk kelas tujuh dan delapan, satu gedung lagi untuk kelas sembilan.

Sekolah di sini dapat dikatakan minim tenaga pendidik. Tenaga pendidik di SD berjumlah lima guru dan SMP tiga guru. Jumlah tersebut sangatlah kurang karena setiap guru harus mengampu banyak mata pelajaran. Suasana kelas juga menjadi tidak kondusif ketika ada kelas yang harus digabung menjadi satu. Semua itu membuat aku dan teman-teman tergugah untuk membantu kegiatan belajar mengajar.

Sudah beberapa hari ini cuaca di Kolorai tidak bersahabat, angin kencang dan hujan yang awet. Pagi itu hujan turun lumayan deras, udara panas Kolorai berganti menjadi dingin. Hari ini jadwal aku mengajar di kelas dua. Pukul tujuh belum ada anak-anak yang berlalu lalang di depan rumah. Rumahku adalah salah satu rumah yang strategis di mana terletak di pertigaan jalan desa.

Tetiba dari luar datang temanku Santi dengan payung dan suara yang sedikit panik.

“Mon, hujan deras anak-anak tara pergi ke sekolah. Ayo kita jemput ke rumah-rumah.” Kata Santi sedikit panik “Oh iya oke San, aku jemput bagian mana?” tanyaku “Kamu bagian atas ya Mon.” jawab Santi “Oke San, Semangat Santi!” Jawabku

Penjemputan dimulai dari rumah paling ujung dan paling jauh dari gedung Sekolah Dasar atau orang-orang disni sering menyebutnya dengan wilayah atas. Rumah pertama yang aku datangi adalah rumah siswa SD kelas dua bernama Rizka. Rumah rizka terletak nomor dua dari ujung. Sampai

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 38

Bagian 2

di rumah ternyata Rizka baru saja bangun.

“Rizka, ayo pigi ke sekolah. Mandi sudah, kakak tunggu sebentar kaka antar ke sekolah dengan paying,” kataku kepada Rizka “Mama, seragam di mana mama?” tanya Rizka kepada Mama nya “Mandi dulu sudah, nanti mama carikan,” jawab mama Rizka

Setelah beberapa saat Rizka sudah mandi dan sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Saat itu hujan masih turun lumayan deras dan aku bersama Rizka dan Aini berangkat menuju ke sekolah.

Perjalanan menuju sekolah sedikit terganggu karena daerah atas ini terbentuk genangan air ketika hujan deras turun. Sepanjang perjalanan menuju sekolah aku melihat anak-anak sudah banyak yang siap untuk berangkat ke sekolah namun tidak punya payung.

“Sebentar yo, kakak antar Rizka dan Aini dulu ke sekolah. Sebentar kakak jemput kamu yo,” teriakku dari luar

Di sanalah perasaanku bercampur aduk, antara bahagia karena mereka masih bersemangat untuk bersekolah walaupun hujan dan sedikit prihatin karena tidak semua warga memiliki payung untuk sekadar melindungi dari basah. Sesampainya di sekolah, aku langsung kembali menjemput anak-anak. Rasa lapar karena belum sarapan sudah tidak kupedulikan lagi, celana hingga jilbab basah terkena air hujan ya sudah tidak apa-apa, yang terpenting adalah anak-anak dapat sampai ke sekolah tanpa kehujanan. Aku susuri jalan daerah atas dan menemukan banyak anak yang hendak ke sekolah.

Di perjalanan aku bertemu dengan teman-teman lain yang juga sedang menjemput adik-adik untuk ke sekolah.

Setelah banyak yang sudah tiba di sekolah, kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Hari ini aku mendapat jatah mengajar kelas dua, berhubung ruang kelas satu dan dua hanya satu, kegiatan belajar mengajar tidak kondusif. Siswa kelas satu dan dua merupakan siswa yang istimewa, siswa kelas satu sebanyak empat orang yaitu Nona, Fikman, Dul dan Jilan. Siswa kelas dua sebanyak enam siswa yaitu Rizka, Rusna, Fajri, Umo, Nisa dan Ijah. Rizka adalah siswa kelas dua terpintar, saat aku mengajar matematika dialah yang selalu bisa menjawab soal-soal matematika yang aku berikan. pelajaran yang dia suka memang matematika, dia suka menghitung penjumlahan maupun pengurangan. Siswa kelas dua tergolong lebih mudah diatur dibandingkan siswa kelas satu. Mengajar di kelas satu bisa menjadi sarana melatih kesabaran dan cukup menguras emosi. Siswa kelas satu tergolong siswa yang sangat aktif dan tidak bisa diam, Dul salah satunya. Dul adalah anak yang tidak bisa duduk diam di kelas, dia selalu lari ke sana lari ke sini kemudian mengganggu teman lainnya. sampai suatu hari Dul pernah membuat Nona menangis. Dul memukul kepala Nona, terdengar dari suara pukulannya memang terdengar keras dan sakit. Nona pun menangis tidak henti. Saat-saat inilah yang sangat menguji fisik dan mental di ana aku harus memutar otak bagaimana cara membuat Nona berhenti menangis dan membuat Dul mau meminta maaf karena sudah membuat Nona menangis. Beberapa saat kemudian Nona menghentikan menangisnya namun Dul bersikeras tidak mau meminta maaf kepada Nona.

“Teng Teng Teng” suara bel pulang sekolah berbunyi. Anak kelas satu, dua, dan tiga pun berhamburan keluar kelas menuju ke ruah masing-masing. Sedangkan kelas empat, lima dan enam masih belajar di kelas.

Kegiatan mengajar terakhir pada tanggal 2 Agustus 2016, hari itu sudah kita jadwalkan untuk melakukan kegiatan sekolah mimpi dan inspirasi untuk siswa SMP dan program Uniform and

KOLORAI | 39

school supplies for Morotai atau pembagian seragam dan peralatan tulis untuk adik-adik SD. Pukul 10.00 WIT kami datang ke SD dan mengumpulkan adik-adik di halaman sekolah. Seragam dan peralatan sekolah pun mulai kami bagikan untuk semua adik-adik yang berkumpul. Pernah ada yang mengatakan kepada aku seperti ini “Puncak kebahagiaan itu adalah ketika kamu dapat berbagi dan membahagiakan orang lain�

Aku merasakan apa yang ada pada kalimat tersebut, aku merasa sangat bahagia ketika bisa berbagi kepada adik-adik di sini, bahagia ketika melihat tawa adik-adik merasa senang karena mendapat seragam dan peralatan tulis baru. Namun, suasana berubah menjadi haru biru ketika Santi yang kita anggap kepala sekolah dalam program mengajar ini memberi sepatah sambutan dan kata perpisahan. Tak lama air mata pun tumpah di tengah-tengah sambutan Santi, adik-adik menangis dan teman-teman pun ikut menangis. Perasaanku ketika itu sedih karena sebentar lagi akan berpisah dengan adik-adik. Rasa khawatir pun muncul ketika teringat bagaimana adik-adik ketika kami sudah pulang ke Jogja. Kekhawatiran ketika suatu hari turun hujan dan adik-adik tidak bersekolah atau mungin ketika tidak ada guru yang mengajar. Dari pengalaman mengajar ini aku sadar sebenarnya bukan aku saja yang mengajari adik-adik menulis ataupun membaca justru adik-adiklah yang sudah mengajariku banyak pelajaran hidup. Belajar bersyukur dengan keadaan yang ada, belajar kesabaran dan belajar kebahagian yang sebenarnya.

Terimakasih adik-adik SD Inpres Kolorai yang sudah mau berbagi kebahagiaan dengan kakak, terimakasih sudah mengajarkan pelajaran hidup yang tidak kakak dapatkan di bangku kuliah.

Semoga adik-adik selalu semangat belajar dan nanti nya dapat menggapai cita-citanya. Sampai keteu di suatu hari nanti, doakan kakak agar bisa kembali lagi.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 40

Bertaruh Hidup pada Bibit Tumbuhan Yulian Adi

Hari itu seperti hari pada biasanya, tapi di tempat yang berbeda. Ya, aku sedang berada beribu-ribu kilometer dari rumah menuju rumahku yang baru. Aku sedang menjalani program KKN-PPM UGM antar semester di Kabupaten Pulau Morotai, Salah satu wilayah perbatasan di Indonesia, keindahannya bagaikan mutiara di bibir pasifik. Tempat KKN tepatnya di Desa Kolorai, yang mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan.

Masyarakat di sini sungguh baik sekali, mereka selalu memperlakukan tamu yang datang bak raja. Mereka selalu suka apabila ada mahasiswa UGM yang datang kesini. Banyak cerita, kenangan, dan pengalaman yang terbentuk selama 50 hari di Desa Kolorai, yang mungkin tak akan terlupakan entah sampai kapan.

Desa Kolorai merupakan desa yang berbentuk pulau kecil, yang berada dalam wilayah kecamatan Morotai Selatan. Memang banyak sekali pulau-pulau kecil di kabupaten Morotai, seperti Kolorai, Dodola, Mitita, , Galo-Galo, dan lain-lain.

Di Desa Kolorai ini juga sudah pernah ada program KKN di tahun lalu, dan ini merupakan KKN yang tahun kedua. Sudah banyak sekali program kerja yang terlaksana selama KKN ini, salah satu nya adalah program konservasi kawasan pesisir pantai. Program Konservasi mencakup pembuatan persemaian sementara, penanaman pohon amo (sukun) dan kasuari (cemara udang).

Menanam di sini tidak semudah yang dibayangkan, tidak asal tanam lalu langsung tinggal begitu. Tanaman warga disini banyak yang rusak karena ulah para kambing liar. Ya kambing liar,

KOLORAI | 41

Mengemudikan Perahu Harapan

kambing milik warga yang tidak pernah di masukkan ke kandang, dan dibiarkan liar di wilayah desa, sehingga sering kali makan tanaman warga, ataupun makan makanan warga. Maka dari itu sebelum melakukan kegiatan penanaman perlu dilakukan pembuatan pagar pohon dahulu, agar kambing tidak bisa menembus dan menggagalkan tanaman warga.

Di sinilah pengalaman yang berat dan tak terlupakan dimulai, dikarenakan dalam pembuatan pagar memerlukan sumberdaya kayu dan bambu yang banyak, sedangkan di Desa Kolorai tidak ada pasokan yang cukup, maka dari itu mau tidak mau harus mencari dan mengambil bahan baku di beberapa pulau sebelah.

Dimulai dari Pulau Dodola, yang bertetanggaan dengan Pulau Kolorai, di Pulau Dodola, selain merupakan salah satu destinasi obyek wisata, tapi juga mempunyai hutan yang virgin. Banyak kayu kayu ukuran bulat di belakang pulau ini.

Aku bersama para permuda Desa Kolorai pergi ke Dodola untuk mengambil kayu, kayu yang digunakan yaitu kayu soki (bakau), diperlukan energi yang cukup ekstra, karena medannya yang berlumpur serta kayunya yang sangat berat sehingga sangat melelahkan. Pemuda yang di komando oleh Bang Isra sangat gesit dalam bekerja, mereka langsung masuk ke dalam hutan hutan dan membabat kayu yang ada.

Namun nasib sial menimpa kami, perahu yang kami tumpangi terbalik saat perjalanan pulang, mendadak semua panik, apabila bagiku yang tidak bisa berenang. Itu karena muatan kapal yang terlalu berat ditambah perahu yang digunakan hanya berukuran kecil sehingga mudah terbalik.

Mulanya kayu-kayu dimasukkan kedalam perahu, memang kayu ini meskipun kecil, tetapi mempunyai berat jenis yang tinggi, sehingga cukup berat. Kayu yang diangkut sebanyak 200 batang, dengan panjang rata rata 2,5 meter.

Lalu setelah semua diangkut, para pemuda satu persatu masuk ke dalam perahu, dan yang terakhir masuk adalah Bang Isra, mungkin dikarenakan muatan yang sudah overload ditambah badan Bang Isra yang berat, sontak membuat keseimbangan perahu goyah dan mendadak terbalik begitu saja. Panik, takut, basah, dan asin, itulah rasanya. Ditambah lagi handphone Bang Isra yang rusak karena jatuh ke dalam air laut. Semua orang yang terjatuh langsung bangun dan mendorong perahu yang terbalik ke keadaan semula.

Kayu-kayu berjatuhan, tetapi kami tidak memikirkan itu, yang penting adalah nyawa kami selamat. Itu merupakan 5 menit yang sangat dramatis. Perahu kecil, kayu berat, ombak tinggi membuat kami tercebur kedalam air laut. Setelah perahu sudah tidak terbalik, akhirnya kami memutuskan untuk membuang kayu yang ada di perahu. Jadinya kayu yang sudah diambil tidak jadi diangkut, dan hanya menyisakan seonggok manusia yang hampir mati tenggelam di dalam perahu. Kami langsung balik lagi ke Kolorai dan pada waktu berikutnya balik lagi ke Dodola.untuk mengambil kayu, tetapi menggunakan perahu yang lebih besar.

Cerita kedua adalah tentang perlombaan sepak bola di Desa Kolorai, meskipun hanya pertandingan di dalam desa, tapi atmosfernya cukup tinggi. Pertandingan berjalan dengan tensi yang tinggi, penonton bersorak sorak mendukung tim jagoannya. Ada tim Chibi-Chibi yang berisikan pemuda pemuda, ada tim Pemdes yang berisikan bapak bapak, ada juga tim Al-Muttaqin yang berisikan para pengurus masjid.

Selain bola kaki, ada juga bola dangdut. Bola dangdut adalah sepakbola yang dilakukan oleh

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 42

Bagian 2

para ibu-ibu maupun anak anak perempuan yang didalam pertandingannya ada jeda jogetnya. Jadi pada saat tanding, apabila lagu diputar, maka pemain harus langsung berjoget, jika tidak maka akan diberi kartu.

Bola dangdut berlangsung dengan panas dan sering terjadi konflik. Salah satunya yaitu saat Dentimedos melawan Parawisata. Dikarenakan tim Parawisata yang terlambat, menjadikan tim Dentimedos tidak terima akan hal itu, dan menganggap lawan mainnya harus gugur karena terlambat.

Sontak tim Parawisata pun tidak mereka, mereka menganggap keterlambatannya mereka karena panitia yang salah dalam mengumumkan jadwal pertandingan.

Masalah yang sebenarnya sepele ini menjadi semakin ricuh, semua orang mulai adu mulut.

Para manajer kedua tim menghampiri meja panitia, tim yang berisikan para ibu-ibu ini tidak bisa menahan emosinya, banyak yang mencaci maki ibu lainnya. Masalahpun semakin runyam ketika para penonton pun ikut masuk ke dalam lapangan, mereka mulai saling dorong satu sama lain, para suami ikut membantu istri istri nya yang terkena masalah. Jadi masalah yang awalnya urusan ibu ibu , berubah menjadi baku hantam antar bapak bapak. Mereka saling dorong dorong, dan menarik kaos.

Keadaanpun mulai jadi rusuh, panitia tidak dapat memendam amarah semua orang, karena orang yang awalnya tidak ada urusan, juga ikut campur dalam kerusuhan ini. Orang orang Desa Kolorai yang awalnya terlihat baik dan ramah, tiba tiba raut wajah mereka bagaikan sedang kerasukan setan.

Kejadian ini berlangsunh cukup lama, namun akhirnya ada para tetua desa dan Pak Kepala Desa mencoba untuk menenangkan keadaan. Kerusuhan pun berakhir, namun pertandingan tidak jadi dilaksanakan karena takutnya nanti malah terjadi kerusuhan lagi di lapangan. Lalu para pemain pun kembali pulang ke rumah masing-masing.

Meskipun keadaan mulai menjadi tenang, namun di balik itu semua, terjadi kubu kubu di dalam desa yang saling menggunjing. Obrolan tiap hari pasti tentang kerusuhan sepak bola ini. Itulah salah satu kejadian yang tak terlupakan selama KKN ini. KKN ini telah mengajarkan banyak sekali hal yang berharga, mulai dari berjuang keras sendiri untuk mencari bibit tumbuhan hingga bagaimana menempatkan diri di tengah masyarakat yang jarang memiliki pandangan yang berbeda.

KOLORAI | 43

Mengemudikan Perahu Harapan

Sebongkah Harapan itu Masih Ada Hasnul Namira “Hari ini kita belajar apa, adik-adik?”

“Belajar Bahasa Indonesia, Kakak Mira.”

“Su bisa membaca semuanya, kan?”

Yang menjawab hanya sedikit. “Su, Kakak.”

“Oke, kita membaca puisi ya sekarang. Maju satu-satu ke depan yo.”

Hari itu, aku mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 SD. Sepahamanku, adikadik ini seharusnya sudah bisa membaca dengan baik, benar, dan lancar tentunya. Namun, ternyata dugaanku salah. Ketika adik-adik ini satu per satu membaca puisi di depan kelas, ternyata hampir semuanya masih membaca dengan terbata-bata. Beberapa harus dibantu olehku, sedangkan beberapa lainnya hanya tersenyum ketika sampai di kalimat yang tidak mereka mengerti. Aku sungguh merasa sedih melihat kondisi yang ada di sini. Memang aku sering mendengar di televisi, bahwa masih banyak kekurangan di sektor pendidikan yang terjadi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

Desa Kolorai yang aku tempati ini pun termasuk dalam salah satu daerah 3T. Jadi, mungkin masih dianggap wajar apabila hal seperti yang terjadi di atas, masih terjadi di sini. Ada banyak faktor yang menyebabkan masih tertinggalnya sektor pendidikan yang ada di sini, di antaranya karena masih sedikitnya jumlah guru yang ada, masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya bersekolah, serta sarana dan infrastruktur yang masih kurang memadai.

Aku pun melanjutkan kelas Bahasa Indonesia pada hari itu. Aku meminta adik-adik ini untuk mencatat puisi yang akan aku bacakan. Di saat anak-anak yang lain mencatat, ada satu anak yang diam, tidak mencatat. Akupun bertanya, “Kenapa tara mencatat? Ketinggalankah?” Lalu, anak-anak yang lain sontak menjawab “Dia tara bisa menulis kalau dibacakan, Kakak.” Aku terperangah beberapa detik. Dalam seketika aku merasa sedih. Lalu aku mendekati adik itu, “Tidak bisa mencatatkah kalau kakak bacakan?” Adik itupun diam. “Kakak bacakan satu-satu ya. Pelan-pelan e. Tulis sudah.” Adik itupun mulai menulis puisi yang aku bacakan.

Di dalam hati, aku berpikiran bahwa sungguh miris masih ada anak kelas 5 SD yang tidak bisa untuk didiktekan. Padahal seharusnya, mereka sudah berada di fase “bisa menulis dengan baik dan benar”. Setelah puisinya selesai aku bacakan dan dicatat oleh adik-adik ini, akupun langsung mengecek puisi yang telah mereka tulis di buku mereka. “Sini, dikumpul dulu. Biar Kakak lihat.”

Mulailah aku membaca satu per satu tulisan mereka. Perasaan miris pun muncul. Aku merasa sedih karena ternyata masih banyak yang tidak bisa menulis dengan baik apa yang sudah aku bacakan sebelumnya. Permasalahan ini menjadi cukup kompleks ketika mereka tidak bisa membaca dan menulis dengan baik dan benar. Kelas Bahasa Indonesia pada hari itu, aku tutup dengan perasaan sedih bercampur khawatir.

Berhubung aku berasal dari Fakultas Hukum, aku ingin menjalankan program terkait semangat anti korupsi. Sasaran dari program semangat anti korupsi ini ialah anak-anak sekolah yang

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 44

Bagian 2

berada di tingkat SD dan SMP. Berangkat dari permasalahan korupsi yang sudah menjadi isu yang sangat genting bagi bangsa dan negara ini, aku merasa penting untuk melakukan sosialisasi sedini mungkin bagi anak-anak SD dan SMP yang ada di Desa Kolorai. Aku percaya bahwa hal-hal besar, dimulai dari hal-hal kecil, baik itu hal yang baik, maupun hal yang tidak baik. Begitu juga dengan korupsi. Korupsi sejatinya bisa dimulai dari hal-hal kecil. Mungkin awalnya kita merasa bahwa apa yang kita lakukan tersebut, bukanlah suatu hal yang akan membawa kita pada perilaku korupsi.

Namun sebenarnya, hal-hal seperti mencontek, bisa membuat kita terbiasa dan membawa kita ke perilaku korupsi. “Alah bisa karena terbiasa, bukan?�

Berkaitan dengan belum bisanya adik-adik di tingkat SD ini membaca dan menulis dengan baik dan benar, akupun mulai merasa takut. Perasaan-perasaan seperti, Kira-kira, kalau aku sosialisasi semangat anti korupsi ke adik-adik SD ini, kira-kira mereka bisa paham tidak ya? Mereka saja belum bisa membaca dan menulis dengan baik dan benar. Lalu ketakutan-ketakutan lainpun muncul. Mereka setidaknya sudah pernah dengar apa itu korupsi, belum ya? Mau dengar korupsi dari mana? Listrik yang biasanya hidup di malam hari saja, jarang nyala. Belum lagi tidak semua rumah mempunyai genset yang bisa digunakan untuk menyalakan lampu di rumahnya masing-masing. Belum lagi kalaupun ada genset, tidak semua rumah mempunya televisi yang bisa dinyalakan untuk sekedar menonton berita, untuk sekedar menonton berita mengenai korupsi, atau sekedar pernah mendengar kata korupsi, pikiran khawatirku semakin menjadi-jadi.

Namun, ketakutan-ketakutan itu pun dikalahkan oleh rasa bahwa program ini harus terlaksana. Bahwa program ini sangat penting untuk dilaksanakan. Aku merasa bahwa mau apapun keadaannya, permasalahan korupsi yang ada di negeri ini harus segera diselesaikan dan dicegah. Dan salah satu cara mencegah agar tidak semakin banyaknya korupsi yang terjadi di negeri ini di kemudian hari, ialah dengan cara melakukan sosialisasi sedini mungkin, dari tingkat SD hingga SMP, mengenai semangat anti korupsi yang harus kita hidupkan. Kita bisa menyaksikan sendiri bahwa sudah banyak dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari korupsi yang terjadi di negeri ini. Sehingga, berangkat

Mengemudikan Perahu Harapan

dari alasan-alan itulah, aku pada akhirnya tetap melaksanakan program sosialisasi semangat anti korupsi ini dengan berharap bahwa akan memberikan sedikit sumbangsih untuk pencegahan korupsi bagi bangsa dan negara ini.

Tepat pada hari Jumat, tanggal 22 Juli 2016, aku bersama temanku melaksanakan program sosialisasi semangat anti korupsi di SD Inpres Desa Kolorai. Kami membukanya dengan pertanyaan, “Ada yang tau korupsi, tidak?” Sontak hampir semuanya menjawab, “Tau, Kakak.” Lalu kamipun bertanya kembali, “Su pernah dengarkah?” Mereka menjawab, “Sudah, Kakak.”. Kami bertanya kembali, “Coba, apa itu korupsi?” Satu persatu mereka menjawab, “Mencuri uang negara.” “Mencuri uang rakyat.” “Membuat rakyat sengsara.” Mereka menjawab dengan penuh semangat dan berapiapi. Akupun merasa lega bercampur senang. Aku lega ternyata ketakutan-ketakutanku sebelumnya tidak terbukti. Ternyata adik-adik ini sudah pernah mendengar apa itu korupsi. Adik-adik ini sudah cukup tau apa itu korupsi dan apa yang ditimbulkan dari korupsi. Aku dan temankupun melanjutkan sosialisasi tersebut. Kami bertanya, “Coba, ada yang tau tidak, apa contoh korupsi dari hal-hal kecil yang biasa kita lakukan.” Dan semuanya pun berebut ingin menjawab. “Saya tau, Kakak. Misal e, kitorang minta uang ke mama saribu, tapi kitorang ambil dua ribu.” Lalu akupun merasa senang mendengar mereka memberikan contoh tersebut. “Nah iyo, benar itu. Itu salah satu contohnya. Jadi sehabis ini, tara boleh lagi berbuat seperti itu yo.” Merekapun kompak menjawab “Iyo, Kakak.” Aku pun tersenyum haru. Aku dan temanku melanjutkan sosialisasi kami hingga akhir. Sungguh senang rasanya melihat mereka antusias dan semangat untuk mendengarkan apa yang kami sampaikan.

Masih ada harapan untuk memperbaiki negeri ini. Tidak perlu takut. Semoga salah satu harapan itu muncul dari adik-adik dari Pulai Kolorai ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 46

Bagian 2

Satu Pulau Beribu Kisah Mahendra Brighit

Aku biasa dipanggil Brighit. Karena mempunyai pelafalan nama yang susah, orang pulau sini memanggilku Sigit. Sampai sekitar dua minggu aku selalu melakukan pembenaran atas pelafalan namaku, pada akhirnya mereka mulai memanggilku dengan nama yang benar.

Ceritaku yang spesial ini berawal pada minggu ketiga KKN, di kala aku mulai mengenal beberapa pemuda Pulau Kolorai. Karena periode KKN berada pada libur antar semester dan lebaran maka banyak pemuda Kolorai yang pulang ke kampung halaman mereka. Semua pemuda disini mempunyai etos kerja yang tinggi. Dapat dilihat dari kegiatan kita KKN disini, mereka selalu membantu dalam kerja fisik. Dari mencari kayu di Pulau Dodola, Membuat Tempat Pembuangan Akhir, sampai mempersiapkan jalannya Festival Kolorai, sebuah festival yang dilaksanakan masyarakat pulau Kolorai yang ditujukan untuk pemerintah daerah dan wisatawan. Dalam proses mempersiapkan festival ini, pemuda banyak berperan dalam hal pembuatan berbagai alat-alat festival dari mulai membuat lampion sampai memasang tenda-tenda.

Suatu malam aku berkumpul dengan para pemuda di dermaga pinggir pantai. Kami bermain gitar sambil bernyanyi beberapa lagu lokal yang aku tidak mengetahuinya. Sampai waktu tengah malam, seorang pemuda Kolorai bernama Vico bertanya kepadaku, “Torang mo minum Cap Tikus, ngana mo iko?�. Selama beberapa detik aku tidak memahami maksud kalimatnya. Cap tikus?

Apa itu Cap tikut? Setelah melihat aku kebingungan Vico menjelaskan bahwa Cap Tikus adalah minuman keras lokal masyarakat Morotai khususnya Desa Kolorai. Iya benar minuman keras, biasa disebut Cap atau CT. Pemuda di sini mempunyai kebiasaan minum-minum. Dalam urusan seperti ini, ternyata Vico merupakan Drunken Master Pulau Kolorai. Karena belum pernah mencoba minuman keras lokal, rasa penasaran untuk mencoba CT menghinggapiku. Terlebih lagi karena kebanyakan pemuda yang bersamaku ikut minum, aku menjadi tidak enak hati jika tidak ikut bergabung. Maka dari itu, aku akhirnya menerima ajaknya.

Setelah itu kami berjalan ke pohon Waru di pinggir pantai. Kami duduk di samping rumah kosong sambil melanjutkan bermain gitar ditemani desir angin pantai tengah malam. Kemudian Vico mengeluarkan plastik berisi cairan yang disebut Cap Tikus tadi. Wow kemasannya dibungkus plastik biasa. Apakah ini aman? Apakah aku harus melanjutkan kegiatan ini?, pikiranku bergejolak. Namun para pemuda tidak memberikanku kesempatan untuk berpikir cukup lama. Menit berikutnya Vico mulai menuang sedikit demi sedikit Cap Tikus itu. Seperempat gelas kecil cairan mulai dituangkan dan mulai diputar satu persatu. Sampai datang giliranku, aku memegang sebentar gelas itu. Dengan tangan berkeringat dingin, aku menahannya hingga satu menit. Kupandangi beberapa pasang mata yang mulai menatapku tak sabar. Melihat tatapan mereka, akhirnya aku menutup mata dan mempercepat proses meminum cap tikus itu. Aku menelannya dalam satu tegukan. “Poow! Paleca!� teriak Vico setelah aku menelannya. Disaat meneguknya aku hanya merasakan sedikit pahit. Kemudian saat masuk ke lambung perut mulai terasa hangat. Gelas lanjut berputar sampai ke pemuda lainnya. “Ngana paleca

KOLORAI | 47

semua!� teriak Vico lagi. Kemudian gelas terus berputar dan dilanjutkan menyanyi lagu lagu reggae ditemani dinginnya angin pantai yang semakin malam. Pengalaman yang tidak aku lupakan bersama pemuda Kolorai.

Ikut melaut dan merasakan menjadi nelayan juga merupakan sebuah kisah yang istimewa.

Masyarakat Pulau Kolorai mayoritas mata pencahariannya adalah sebagai nelayan, bahkan pulau ini biasa disebut pulau nelayan atau pulau ikan asin, karena Kolorai terkenal dengan hasil ikan yang melimpah dan mempunyai kualitas ikan asin terbaik di Morotai. Kebetulan juga papa piaraku, Bapak Luke, adalah salah satu dari dua nelayan paling handal di pulau Kolorai.

Suatu pagi pada minggu kedua, aku diajak oleh Papa Luke untuk ikut pergi memancing ikan tuna atau biasa disebut Bapaca. “Mas mo ikut mengail?� ajak Papa Luke. Aku mengangguk. Dengan semangat aku menerima ajakan papa piaraku. Papa mengatakan padaku untuk bapaca dengan tidak memakai sandal atau alas kaki karena licin. Selain itu, aku juga disarankan untuk menggunakan baju seadanya, celana pendek, dan juga membawa topi. Hal ini harus kulakukan karena pasti akan basah terkena ombak di tengah laut, dan terik matahari ditengah laut sangat menyengat.

Seketika aku, Papa Luke, dan semua crew mulai menaiki perahu dan pergi berangkat. Dalam satu perahu berisi sepuluh anggota termasuk aku. Dalam anggota tersebut juga terdapat tiga anakanak yang masih SD. Setiap anggota mempunyai tugas masing-masing sesuai kemampuan dan umur, bahkan anak SD pun bisa turut membantu.

Setelah masing-masing orang memahami peran dan tugasnya, perjalanan kami dimulai.

Sebelum memancing di laut dalam, kami mencari umpan terlebih dahulu di laut dangkal. Umpan yang dicari merupakan ikan-ikan kecil. Dalam mencari umpan ada yang bertugas mengemudikan perahu yang berada di bagian belakang yaitu disebut motoris, ada yang berada di ujung depan perahu sebagai pemberi arah untuk motoris di belakang, yaitu disebut navigator. Si navigator bertugas memegang bambu dan memberi petunjuk dengan berbagai kode gerakan ke kiri dan ke kanan. Selain

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 48

Bagian 2

itu, anak-anak bertugas mengetuk-ngetuk perahu dan membuang air yang masuk kedalam perahu.

Aku sempat heran kenapa anak-anak ini mengetuk perahu dengan kayu. Aku kira dia sekedar bermain atau merusak perahu, ternyata mengetuk perahu ini berfungsi menakuti ikan agar ikan-ikan kecil ini dapat digiring. Pada saat ikan sudah terlihat terkumpul, anggota lain mulai menurunkan jaring dan perahu mulai berjalan memutar sampai ujung jaring melingkar. Kemudian mulailah ditarik jala tersebut dengan pelan. “Hela! Helaa!” teriak salah satu anggota. Yang artinya mulai tarik jala oleh para anggota. Ketika ikan kecil sudah dijaring keatas, ikan tersebut disimpan hidup-hidup dalam kolam di tengah perahu. Menjaring ikan ini dilakukan sebanyak tiga kali, sampai dirasa umpan sudah banyak

Setelah mengumpulkan umpan, kami mulailah melaut. Perlu waktu sekitar satu jam untukku dan para crew perahu untuk berangkat ke laut dalam. Dalam perjalanan tersebut, aku sempat tertidur karena panasnya terik matahari dan kencangnya angin laut. Setelah sampai di laut dalam, aku terbangun dan menyadari suasanan yang mulai berbeda. Tidak seperti di laut sekitar Kolorai, di sini laut berwarna biru tua yang menandakan laut sangat dalam, semakin gelap warna laut semakin dalam laut tersebut. Semua crew mulai mengambil pancing yang terbuat dari bambu dengan panjang 3-4 meter. “Sana ambil satu,” perintah Papa Luke kepadaku. Tanpa menunggu lama, aku mulai mengambil satu bambu dan ikut menghadap belakang bersama enam orang yang membawa pancing di belakang perahu. Kapal mulai berjalan pelan-pelan, kemudian tiba-tiba dari belakangku dari tengah perahu salah satu anggota mulai melempar umpan ke laut. Seketika ikan-ikan tongkol mulai muncul kepermukaan. “Nyaooo!” teriak salah satu crew. Keenam pemancing mulai dimakan umpannya. Ikan yang tersangkut langsung ditarik dan dibuang ditengah kapal, anak-anak yang mengumpulkan ikan berebut dan meletakkannya dalam cool box, kotak penyimpanan ikan. Ketika sedang memperhatikan anak-anak mengumpulkan ikan, aku merasa bambuku ditarik. Dan yaa! Pancingku kena! Terasa tarikan ikan yang kuat menarik bambuku. Aku tarik pancingku dengan kuat sampai ikan muncul ke permukaan. Karena pancing bambu ini sangat panjang, jadi aku kesulitan untuk melepaskan ikan dari kail.

Memancing ikan tongkol ini sangat seru karena ikan memakan kail kita dalam jeda waktu 10 detik saja. Ketika umpan sudah habis kita mulai pulang ke Pulau Kolorai. Aku tanya papa Luke berapa banyak hasil tangkapan kita, Papa Luke menjawab, “Kitorang dapa enam ratus ekor”. Kalau dihitung, aku sendiri mendapatkan ikan sebanyak lima puluh ekor.

Sesampainya di Kolorai aku mengambil enam ikan untuk dimasak di rumah, sedangkan crew lain berangkat ke Daruba (ibukota Kabupaten) untuk menjual ikan tersebut. Pengalamanku memancing ini sangatlah seru. Bahkan aku berpikiran bahwa memancing ini dapat dikembangkan sebagai sarana wisata yang khusus dimiliki desa ini. Pulau Kolorai memberiku banyak pengalaman berharga. Bukan hanya mengenai hal yang buruk, tetapi juga sebuah pengalaman hidup mengenai kerja keras dan rasa diterima sebagai keluarga.

KOLORAI | 49

Mengemudikan Perahu Harapan

Kisah Si Abon Ikan Husna Arif

Desa Kolorai merupakan salah satu desa di Kabupaten Pulau Morotai yang letaknya terpisah dari daratan pulau Morotai. Daratan Kolorai merupakan pulau kecil tersendiri yang juga disebut Pulau Kolorai. Pulau Kolorai dapat ditempuh kurang lebih 30 menit perjalanan laut dari Pulau Morotai besar menggunakan perahu bermesin yang biasa disebut bodi. Pulau Kolorai dihuni oleh kurang lebih 300 kepala keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 500 jiwa. Dari letak pulau Kolorai ini dapat dikatakan bahwa mayoritas mata pencaharian masyarakat Kolorai adalah nelayan.

Di Desa Kolorai bapak-bapak nelayan mencari ikan dengan beberapa jenis perahu. Perahu kecil bermesin yang hanya dapat dinaiki tidak lebih dari tiga orang disebut ketinting. Perahu Ketinting terbuat dari papan kayu yang dilengkapi dengan penyeimbang dibagian badan kanan dan kirinya.

Biasanya nelayan yang menggunakan ketingting pergi melaut seorang diri, tidak berkelompok. Papa piaraku adalah salah satu nelayan Kolorai yang melaut dengan Ketinting. Ia biasa pergi di sore hari dan kembali ke rumah pada tengah malam.

Perahu yang sedikit lebih besar dari katinting adalah bodi. Bodi tidak memiliki penyeimbang tetapi dilengkapi dengan rumah-rumahan kecil dibagian depan yang dapat digunakan uuntuk menyimpan barang jika hujan turun. Bodi dapat menampung kurang lebih sebanyak 25 orang.

Selain ketingting dan bodi terdapat 1 jenis perahu lain yang biasa digunakan nelayan untuk melaut secara berkelompok, yaitu fonai. Dalam satu fonai biasanya beranggotakan lebih dari 5-10 nelayan.

Hasil dari melaut dibagi sama rata kepada orang yang ikut melaut. Meski orang tersebut tidak turut membantu dalam proses penangkapan ikan sekalipun alias hanya menonton dan menyoraki ketika ikan mulai didapat. Karena warga Kolorai percaya bahwa jumlah ikan yang diperoleh adalah rezeki dari orang-orang yang turut melaut dalam fonai atau perahu tersebut. Aku pernah satu waktu ikut melaut bersama tiga orang teman aku, Farid, Monik dan Udin.

Saat itu fonai kami berangkat pukul 3 sore, singkat cerita kami berhasil mendapat tangkapan yang cukup banyak termasuk target utama kami yaitu ikan Bobara. Kami berempat mendapat bagian dari hasil penjualan ikan sebanyak masing-masing Rp 50.000. Lumayan bisa untuk jajan mi ayam di Daruba –Pusat kota Morotai yang terletak di pulau besar.

Meski sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan, hal itu tidak serta merta menjadikan mudah untuk mendapatkan ikan di Kolorai ini. Jika sedang musim ikan keberadaan ikan sangat berlimpah hingga harganya sangat anjlok. Seperti yang dikatakan papa piaraku, yaitu Bapak Syafril saat musim ikan tiba satu ekor ikan komo atau ikan tongkol bisa hanya dihargai Rp 500. Tetapi ketika musim ikan sudah lewat nelayan bisa benar-benar tidak melaut hingga dua bulan.

Seperti saat ini, bulan Juli 2016 hasil melaut sedang tidak bagus. Sehingga Papaku jarang melaut dan keluarga di rumah hanya makan mi instan setiap hari. Atau jika keuangan sedang baik bisa makan sayur yang dibeli di Daruba.

Salah satu usaha dalam memperpanjang masa simpan ikan adalah dengan mengolahnya

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 50

menjadi produk olahan. Kegiatan pengolahan ikan yang telah dapat dilakukan masyarakat Kolorai adalah mengolah ikan menjadi abon dan ikan asin atau ikan garam. Meski warga sudah dapat memproduksinya, warga belum melakukannya secara berkesinambuungan. Terutama untuk pengolahan abon ikan. Bahkan di Pulau Kolorai ini telah dibentuk kelompok produksi abon ikan yang beranggotakan beberapa orang ibu-ibu.

Padahal jika kegiatan produksi dikembangkan, dapat membantu peningkatan ekonomi desa Kolorai. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi warga sehingga produksi tidak dilakukan secara berkesinambungan. Keterbatasan bahan pengemas, label produk, ketersediaan listrik, dan pemasaran produk adalah beberapa kendala yang dihadapi.

Setelah memetakan beberapa kendala kritis yang ada, kami mulai bertanya kesana kemari mulai dari warga desa, pedagang di Daruba, hingga kantor-kantor dinas terkait. Dari situ kami mendapati bahwa memang di Pulau Morotai ini belum tersedia bahan kemasan yang memadai untuk pengemasan abon ikan. Beruntungnya salah seorang staff dinas perindustrian, perdagangan dan koperasi yang bernama Bapak Refky bersedia membantu kami dengan memberi kemasan abon siap pakai secara cuma-cuma. Mungkin beliau merasa kasihan setelah melihat wajah melas kami karena berpanas-panasan menyebrangi laut dan mengelilingi Pulau Morotai ini. Selain itu beliau juga bersedia memberi tambahan bahan kemasan jika dikemudian hari stok yang kami miliki telah habis.

Bapak Refky memperoleh bahan kemasan ini dari Jakarta, maklum beliau memang sering bolak-balik Morotai-Jakarta karena beliau sedang menempuh studi S2 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Setelah masalah bahan pengemas teratasi, mulailah menginjak ke proses produksi. Proses produksi abon ikan dilakukan di rumah Ibu Majinun yaitu ketua kelompok pengolah abon ikan “FORIMOI�. Proses produksi dilakukan bersama dengan anggota kelompok FORIMOI yang lain dan beberapa orang ibu-ibu di luar anggota kelompok. Produksi dimulai sekitar pukul 1 siang

KOLORAI | 51

Mengemudikan Perahu Harapan

hingga berakhir sekitar pukul 8 malam. Proses produksi berlangsung lama sebab pemasakan abon membutuhkan waktu yang cukup lama agar diperoleh abon yang kering. Setiap tahapan produksi dilakukan secara manual tanpa alat listrik. Setelah proses pembuatan selesai, abon ikan yang sudah jadi kemudian dikemas dengan ukuran 125gram.

Abon ikan yang telah jadi ini rencananya akan kami pamerkan pada hari pelaksanan festival kolorai yang berlangsung tanggal 28 dan 29 Juli 2016. Kami ingin menunjukkan pada tamu undangan, pemerintah kabupaten, dan wisatawan yang hadir bahwa desa Kolorai dapat menghasilkan produk olahan ikan unggulan yang layak diperhitungkan sebagai produk unggulan Kabupaten Pulau Morotai.

Sebagai jalur pembuka, satu buah abon ikan ini kami jual dengan harga Rp 35.000.

Setelah berbagai macam persiapan penyelenggaraan festival dengan waktu singkat, agenda padat serta melelahkan, akhirnya hari pelaksanaan festival Kolorai pun tiba. Pada festival ini terdapat stand khusus untuk hasil olahan laut yang diproduksi oleh warga desa Kolorai. Tamu undangan dan wisatawan yang hadir dapat bertemu langsung dengan ibu-ibu kelompok produksinya dan mencicipi langsung. Pengunjung juga dapat membeli langsung di stand. Abon ikan yang diproduksi terjual habis selama penyelenggaraan festival. Beberapa dinas terkait juga mengunjungi stand pengolahan ikan ini dan kamipun menyampaikan secara langsung kendala apa yang kami hadapi serta aspirasi harapan kami terhadap desa Kolorai ini. Dinas-dinas Pulau Morotai pun mengatakan akan berusaha untuk mengembangkan potensi pengolahan kuliner dari Pulau Kolorai ini. Aku pun menjadi senang sekali karena dengan segala usahaku dan teman-temanku yang melaksanakan KKN di Pulau Kolorai ini, dapat menjadi setitik harapan bagi masyarakat Pulau Kolorai ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 52

Bagian 2

Melahirkan Desa Wisata di Bibir Samudera Rifqi Afrian

Morotai, sebuah nama yang jarang kudengar. Adalah sebuah pulau yang terletak di bibir samudera pasifik, Indonesia. Pulau yang pada tahun 2008 silam resmi menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Pulau Morotai. Tak disangka ternyata akan menyimpan banyak sekali cerita tentangku, teman-temanku dan seluruh warga di sebuah desa yang bernama Kolorai.

Untuk kali kedua di pulau ini, didatangi oleh orang-orang seperti kami. Orang-orang yang biasanya hidup di kota penuh sesak, serba ada dan bahkan serba mudah segalanya. Pemandangan asap yang terlihat biasanya, digantikan dengan hamparan laut tenang yang berdeburan ombak hanya ketika angin kencang. Kini kami yang berjumlah 27 orang telah berada di Kolorai, desa nelayan yang kini digembor-gemborkan sebagai desa tujuan wisata kedepannya. Desa wisata? Iya, begitulah sebutannya.

Pulau yang kurang lebih hanya seluas stadion sepak bola ini memang menyimpan keindahan yang luar biasa. Ketika datang kami sudah disambut dengan sebuah dermaga yang beratapkan seng biru. Terus menjorok ke laut dengan setapaknya yang terbuat dari papan-papan kayu tersusun rapi.

Lalu, di tepian pantai dengan hamparan pasir putihnya telah tertambat rapi kapal-kapal nelayan, yang selanjutnya kami tau sebagai “funai�. Berbagai peralatan untuk mengail terlihat di dalamnya, seperti: jala, pancing, cool box, hingga masker sebagai alat bantu lihat ketika sedang menyelam di bawah permukaan. Rumah-rumah berderet sejajar sepanjang jalan, terus masuk hingga pertigaan di tengah pulau. Tanjung atas akan ditemui jika dari pertigaan itu belok ke kiri. Lalu jika belok ke kanan, akan menuju ke tanjung bawah.

Keindahan pulau ini tidak hanya terletak pada hamparan pasir putihnya saja, tetapi juga terumbu karang yang terhampar luas di bawah permukaan. Hari itu, kami berencana untuk membantu program pemetaan dan pendokumentasian wisata bahari di sekitar Pulau Kolorai yang dikoordinasikan oleh Wastu. Rencananya kami akan berkeliling di sekitar Pulau Kolorai, Pulau Dodola dan Pulau Kokoya. Aku bangun cukup pagi yaitu sekitar pukul 6.00 WIT untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Karena tujuannya adalah pemetaan titik-titik snorkeling/diving, peralatan yang kami bawa adalah seperangkat alat snorkeling, yaitu: masker, snorkel dan fin. Setelah semua peralatan siap, kami berangkat menuju dermaga, karena Bang Isra yang berperan sebagai motoris kita sudah menunggu.

Siang itu langit begitu cerah. Kami duduk di atas kapal kayu yang biasa warga sebut sebagai “sekoci�. Mungkin kalau dihitung muat untuk sekitar 20 orang. Kami duduk sedemikian sehingga kapal menjadi seimbang, tidak berat ke kanan maupun ke kiri. Karena sekoci ini tidak mempunyai semang-semang untuk menyeimbangkannya. Ombak yang tenang membuat kapal melaju tanpa banyak guncangan.

Sekitar 20 menit, kami sudah sampai di lokasi yang pertama yaitu di belakang Pulau Dodola.

Sebelum turun, kami melakukan pemanasan terlebih dahulu agar tidak mengalami kram yang dapat membahayakan keselamatan. Kemudian alat pun dipasang, satu per satu dari kami mulai turun untuk

KOLORAI | 53

Mengemudikan Perahu Harapan

menyusuri lokasi. Takjub, itulah kesan pertama yang muncul ketika melihat hamparan luas terumbu karang. Mulai yang berwarna putih, biru, merah, hijau, kuning hingga ungu semua ada di sana. Mulai yang bentuknya seperti cabang-cabang pohon, bulat panjang, rambut, hingga yang bentuknya seperti otak manusia. Tak terasa kami telah menghabiskan waktu berkeliling menyusuri lokasi sekitar 45 menit.

Perjalanan yang kedua adalah menuju lokasi di belakang Pulau kami, yaitu pulau kolorai.

Berbeda dengan di lokasi yang pertama dimana karangnya tidak terlalu dalam sehingga sangat cocok untuk snorkeling. Di lokasi kedua ini, terumbu karang letaknya agak dalam, yaitu sekitar kedalaman 3,5 meter hingga kedalaman sekitar 7 meter. Letaknya dekat dengan tebing karang yang dalam, sehingga lokasinya cocok untuk digunakan sebagai spot diving. Kami turun dari kapal dan mulai menyusuri lokasi untuk melihat keberagaman hayati dasar laut. karena aku tidak menggunakan fin, maka agak kesulitan. Arus laut di sana ketika itu lumayan kuat. Sehingga aku hanya berkeliling di sekitar sekoci.

Aku berkeliling dengan susah payah, kadang terbawa arus hingga bergerak sekuat apapun hanya berenang di titik yang sama, tidak berpindah. Tapi mata ketika itu langsung sigap saat melihat ke bawah dan menemukan 3 ekor ikan badut yang sedang bermain di helaian-helaian anemon.

Tidak ada cara untuk menikmatinya selain harus menghirup nafas dalam-dalam dan mulai masuk ke himpitan terumbu karang. Ikan lucu ini seakan berpose-pose hingga sayang sekali untuk tidak mendokumentasikannya.

Berbeda dengan Wastu dan Khoir yang menggunakan peralatan snorkeling lengkap. Mereka bebas berkeliling tanpa terlalu khawatir terbawa arus. Lumayan jauh, karena tebing-tebing karang mereka susuri. Mungkin karena terlalu asik, Wastu dan Khoir terpisah. Menyusuri tebing mereka sendiri-sendiri.

Wastu saat itu berada lumayan jauh dari sekoci, entah sadar maupun tidak dia berada di sana. Langit mulai berubah menjadi agak gelap. Dia menyelam dengan membawa kamera underwater

Bagian 2

dan merekamnya. Samar-samar dari arah laut dalam, terlihat ikan berenang dengan sangat cepat.

Samar-samar dua ekor ikan saling berkejaran cepat sekali. Ketika semakin dekat, Wastu sadar bahwa dua ikan yang berkejaran tadi adalah hiu. Panik dan bingung. Itu yang dia rasakan hingga gugup dan mengarahkan kameranya ke segala arah dengan cepat. Berusaha merekamnya tapi malah tidak terarah.

Lalu dengan sigap, Wastu membalikkan badan dan berenang ke arah sebaliknya, menjauh dari hiu yang sedang berkejaran. Dengan paniknya dia berenang cepat-cepat. Lucu sekali ketika mendengar cerita itu sesampainya kami semua di atas sekoci.

Perjalanan selanjutnya adalah menuju Pulau Kokoya untuk melihat lokasi terumbu karangnya.

Tak terasa sudah dua lokasi kami selami. Perut kami sudah mulai keroncongan. Untungnya Bang Isra sebungkus biskuit dibawa oleh Bang Isra. Juga tidak lupa segalon air putih. Cukup sederhana memang, tetapi sudah cukup untuk mengganjal perut kami semua dan mengisi tenaga untuk pemberhentian selanjutnya.

Setelah sekitar 20 menit, kamipun sampai di lokasi ketiga yang letaknya dekat dengan pulau kokoya. Disini, arus juga sudah lumayan kuat sama seperti lokasi kedua tadi. Bedanya, di sini letak terumbu karangnya tidak terlalu dalam dan jumlah terumbunya juga tidak sebanyak dua lokasi sebelumnya. Di lokasi ketiga ini lebih banyak terlihat pasirnya. Sehingga kami pun tidak terlalu berlama-lama seperti tadi.

Snorkeling memang kegiatan yang mengasyikkan, apalagi itu bisa dilakukan dengan mudahnya akses transportasi dan jelasnya informasi yang disediakan. Itulah yang ingin coba kami berikan. Membangun sebuah desa wisata bersama masyarakatnya. Membuatkan jalur yang dilewati serta informasi yang berarti.

KOLORAI | 55

Mengemudikan Perahu Harapan

Maluku, Saksi Bisu Pengabdian Kami Hanif Anshori

Sampai sekarang tidak pernah terpikir di bayanganku bahwa aku akan sampai di tanah Maluku ini. Tanah yang menyimpan banyak sejarah sehingga cukup membuatku terkejut dan terkesima ketika aku mengetahuinya. Siapa yang tau bahwa salah satu pulau kecil di Maluku memiliki harga yang sama dengan kota New York di masa lalu? Siapa yang tau mengapa selat yang berada di Sumatera dinamakan Selat Malaka ? Siapa yang tau bahwa Maluku adalah daratan yang paling dicari oleh banyak negara-negara di Eropa hingga melakukan beberapa ekspedisi ? Yaa... hal tersebut tidak mungkin aku ketahui apabila aku tidak bertemu dengan teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berasal dari Jurusan Sejarah, Bambang Widyonarko. “Makanya jadi anak teknik jangan cuma tau structural tapi juga cultural�, itulah kata-kata yang selalu dia ucapkan kepadaku.

Saat pertama kali kami menginjakan kaki di tanah Kolorai, angin sejuk seperti menyambut kedatangan kami. Selain disambut dengan ramah oleh warga sekitar, informasi tentang pembentukan Desa Kolorai sebagai Desa Wisata melengkapi kebahagiaan kami setelah sampai di tanah Timur ini.

Tema yang memang sudah kami rancang di Jawa adalah tentang Pariwisata dan Pendidikan, sangat sejalan dengan pembentukan desa wisata di desa ini. Memang ada beberapa yang mengganti program untuk menyesuaikan dengan pembentukan desa wisata tapi itu tidak masalah bagi kami. Aku yakin 26 temanku yang lain juga sudah menceritakan pengalaman mereka yang luar biasa di desa ini. Maka dari itu, inilah cerita tentang bagianku di Kolorai.

Desa Kolorai adalah desa yang mengutamakan kesederhanaan di atas segalanya.

Kesederhanaan itu dapat dilihat dari prinsip yang mereka anut ,“Milik kita milik ngana dan milik ngana milik kita�. Kalimat tersebut memiliki makna, yaitu semua yang aku punya adalah punya kamu dan juga sebaliknya. Sungguh tulus hati orang orang disini, itulah kalimat pertama yang muncul ketika aku mengetahuinya. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana bisa mereka membagi semua yang mereka miliki kepada kami, sekumpulan penerus bangsa yang terbiasa hidup dalam kebutuhan yang selalu tersedia, yang baru mereka kenal beberapa hari. Tidak anak kecil, pemuda, orang tua, pria maupun wanita, semua mempunyai sifat kesederhanaan yang luar biasa. Sempat terlintas di pikiranku dan teman temanku, masih adakah desa di Indonesia ini yang semua warganya mempunyai hati setulus mereka?

Terlepas dari kesederhanaan di desa ini, sifat sadar ingin menjadikan desanya lebih maju juga dimiliki oleh setiap kalangan di desa ini. Hal tersebut dapat aku buktikan dari terselesainya semua program yang kami rencanakan di desa ini. Yaap, semua program yang kami lakukan 100% dibantu oleh warga desa. Bahkan warga desa akan marah apabila kami tidak melibatkan warga desa dalam program-program yang kami rencanakan. Cukup sederhana alasan warga desa marah apabila mereka tidak dilibatkan, yaitu warga desa tidak mau desanya maju tanpa hasil tangan dari warga desa sendiri.

Mereka menyadari bahwa kami hanya membantu untuk memajukan desa, tetapi aktor utama dalam kemajuan desa adalah warga desa sendiri.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 56

Bagian 2

Setiap unit KKN yang diterjukan oleh UGM pasti mempunyai program-program yang bagus untuk mengembangkan daerahnya, begitupun juga unit kami. Dengan tema pariwisata, kami mempunyai puncak atau akhir dari semua program unit MLU-03 yaitu Festival Kolorai. Tujuan dari acara puncak tersebut adalah untuk mempersiapkan warga desa dalam menyambut pembentukan desa wisata di Desa Kolorai. Setiap orang yang berada di Desa Kolorai mempunyai peran yang cukup penting dalam mempersiapkan Festival Kolorai termasuk aku. Ya benar sekali, kepanitiaan Festival Kolorai tidak hanya terdiri dari mahasiswa tetapi juga semua warga Desa Kolorai.

Dalam Festival Kolorai kali ini aku diberi amanat untuk menjadi penanggung jawab transportasi. Lagi-lagi hal yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Menjadi penanggung jawab transportasi di pulau kecil yang diarungi lautan, bagian mana yang bisa aku bayangkan sebelumnya ?

Belum lagi transportasi yang digunakan adalah transportasi laut, yang artinya harus mempersiapkan fonai dan speed. Bagaimana bisa seorang mahasiswa yang biasanya berurusan dengan kalkir dan rapido sekarang harus berurusan dengan fonai maupun speed? Sungguh beruntungnya diriku mempunyai partner kerja yang sangat baik, ulet dan sabar. Bang Irham namanya, pemuda dari Desa Kolorai yang mempunyai selisih umur 2 tahun lebih tua dariku. Walaupun memiliki nama Irham, tetapi temanteman disini selalu memanggilnya dengan nama Bang Eros.

Tugas dari divisi transportasi dalam Festival kolorai adalah menyiapkan armada fonai yang digunakan untuk Jelajah Kolorado, salah satu rangkaian acara dalam Festival Kolorai. Selain fonai, transportasi lain yang digunakan adalah speed. Untuk transportasi speed harus meminjam kepada Dinas Pariwisata. Untuk kesekian kali keberuntungan selalu memihak kepada kita, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai dan SKPD di wilayah tersebut sangat mendukung dan siap membantu jalannya Festival Kolorai. Sehingga peminjaman speed dari Dinas Pariwisata sangat dimudahkan. Untuk transportasi speed berarti sudah aman, sekarang masalah yang lainnya adalah penyiapan fonai. Disinilah Bang Eros sangat membantuku dalam penyiapan fonai. Fonai yang dibutuhkan untuk Jelajah Kolorado adalah sebanyak 5 fonai, dengan 1 fonai untuk ritual arwah.

Pemuda yang merupakan lulusan pelayaran inilah yang menyarankan fonai mana saja yang dapat dipakai untuk Jelajah Kolorado. Yang pertama adalah fonai Cibi-cibi, fonai milik Pak Hussein ini digunakan untuk ritual arwah dengan motoris Bang Ajir dan Bang Ar. Selanjutnya fonai milik Pak Adur dengan motoris Pak Abduh dan Pak Muchsin. Kemudian ada juga fonai milik Pak Badar dengan motoris Bang Bucek dan Bang Kin. Diurutan keempat ada fonai milik Pak Baharudin dengan motoris Bang Ono dan Bang Jamil. Dan yang terakhir adalah fonai Xtan, fonai ini merupakan milik dari Bang Eros dengan motoris Bang Metex dan Pak Ato. Meskipun yang memiliki fonai Xtan, tetapi Bang Eros tidak menjadi motoris-nya karena dia juga bertugas sebagai POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) saat acara berlangsung. Armada fonai pun sudah siap untuk Jelajah Kolorado, tetapi masalah lain pun datang menghampiri.

Ya, bahan bakar yang digunakan fonai tersebut untuk melakukan jelajah pulau. Ada fonai yang menggunakan minyak tanah, ada fonai yang menggunakan bensin sebagai bahan bakarnya.

Coba bayangkan berapa ratus liter minyak tanah atau bensin yang harus disiapkan ? Tidak hanya minyak tanah atau bensin saja, tetapi ternyata untuk bahan bakar membutuhkan oli juga sebagai bahan pencampur. Tidak mungkin untuk membeli bahan bakar di daerah tersebut karena harga ; bakar yang cukup mahal, sekitar Rp 10.000,- sampai Rp 12.000,- per liter. Akan mengeluarkan

KOLORAI | 57

berjuta-juta rupiah hanya untuk membeli bahan bakar dimana itu akan membengkakan anggaran.

Kali ini aku sangat setuju dengan pepatah yang mengatakan “Dimana ada kemauan, di situ pasti ada jalan�.

Kemauan dan ketulusan warga desa kolorai bersama mahasiswa untuk menyelenggarakan festival ini membuat terbukanya jalan yang cukup lebar sehingga acara ini dapat terselenggara. Di tengah bingungnya kami untuk mendapatkan bahan bakar, LANAL (Pangkalan Angkatan Laut) dengan baik hati memberikan bantuan bahan bakar sebanyak yang kami butuhkan. Dengan adanya bantuan dari LANAL, maka terselesaikanlah masalah dari divisi transportasi. Festival Kolorai pun berjalan dengan lancar dan dapat membuat peserta yang hadir senang. Armada fonai yang bergerak saat Jelajah Kolorado pun berjalan cukup rapi dan teratur dengan komando dari fonai Cibi-cibi yang digunakan sebagai ritual arwah. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan dimana fonai bergerak beraturan seperti layaknya tentara saat berbaris. Tegas dan berwibawa.

Dan di akhir semua ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada UGM yang telah membuat skenario KKN yang cukup ciamik ini. Ini bukan hanya soal pengabdian, bahkan ini melebihi pengabdian. Aku banyak belajar tentang kesederhanaan, ketulusan, kasih sayang dan banyak lagi yang aku dapatkan disini. Aku mendapatkan keluarga baru disini. Keluarga yang saling melindungi satu sama lain. Keluarga yang selalu ada saat suka dan duka. Keluarga yang berjuang bersama-sama untuk maju. Ya, keluarga itu adalah seluruh warga Desa Kolorai. Dan sebagai bagian dari keluarga ini, sudah sepantasnya untuk aku pulang ke keluarga baruku ini kelak.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 58

Merumuskan Festival Akbar Tania Nugraheni �Pengabdian ini adalah sebuah tugas dari UGM sebagai syarat menjadi Sarjana yang nantinya akan menjadi ujung tombak pembangunan bangsa. Sebenarnya kita bebas memilih dimana kita akan mengabdi, mulai dari Jogja hingga Aceh sampai Papua, tapi hatiku tertambat disini, Maluku Utara. Aku Tania Nugraheni Ayuningtyas, mahasiswa pariwisata UGM, salah satu jurusan rintisan yang baru di kampus biru. Aku bergabung di Tim KKN PPM UGM MLU-03 yang ditempatkan di Desa Kolorai, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Aku adalah satu-satunya mahasiswa jurusan pariwisata di kelompok ini.�

Aku sebenarnya sudah tahu mengapa pariwisata menjadi pilihan pemerintah Maluku Utara untuk mengembangkan desa kecil ini. Sejak pertama kali aku menginjakan kaki di Desa Kolorai, aku melihat rumah-rumah berjajar rapi. Senyum terkembang dari setiap raut wajah yang aku temui.

Mereka menyapa kedatangan kami dengan kebahagiaan yang terselip harapan. Harapan yang mereka titipkan kepada kami untuk memberikan perubahan. Dan benar saja harapan itu langsung mereka sampaikan kepada kami.

Sesaat setelah tiba, kami langsung diajak mengikuti rapat pembentukan desa wisata oleh Dinas Pariwisata Provinsi Maluku Utara. Alangkah kagetnya kami, permintaan warga jauh dari apa yang kami persiapakan dari Jogja. “Pariwisata, kami ingin menjadi desa wisata. Pariwisata, kami suka kedatangan tamu. Pariwisata, kami ingin merasakannya untuk membangun desa kami�, ucap warga.

Kata Pariwisata terngiang di kepalaku, memasuki relung pikiranku hingga masuk ke dalam otakku.

Bingung, rasa itu yang pertama kali muncul yang kemudian disusul dengan rasa gelisah dan panik.

Sebelumnya, program utama yang kami persiapkan dari Jogja adalah Pendidikan. Kami sekelompok berusaha keras untuk memperjuangkan buku dan seragam bagi anak-anak. Tetapi, semua itu berubah begitu saja di hari pertama kedatangan kami. Tidak ada kata kompromi, atau pilihan lain, pariwisata

KOLORAI | 59

Mengemudikan Perahu Harapan

adalah hal yang paling diharapkan warga desa sekarang.

Maklum saja, desa ini begitu indah. Kolorai terdiri dari tiga gugusan pulau kecil yang menawan, Kolorai, Kokoya, dan Dodola. Ketiga pulau tersebut merupakan satu kesatuan wilayah desa Kolorai. Ketika laut sedang surut, dari Pulau Kolorai kita bisa berjalan ke Pulau Dodola dengan melewati hamparan pasir putih yang menyerupai jembatan yang membentang di antara kedua pulau. Orang sini biasa menyebutnya dengan gosong pasir. Dodola adalah ikon destinasi wisata di Kabupaten Pulau Morotai. Wisatawan banyak yang berkunjung kesana untuk menikmati pasir putih lembut dengan deburan ombak kecil yang menenangkan jiwa. Laut disekitar wilayah ini, bak kaca yang berkilauan memantulkan sinar matahari seperti mutiara di bibir pasifik. Bening, sampai kita bisa melihat warna-warni karang dari atas kapal. Lalu bagaimana dengan Pulau Kolorai? Pulau Kolorai adalah tempat tinggal kami, tempat kami bernaung selama empat puluh lima hari ke depan. Pulau Kolorai adalah desa yang ramah yang dihuni oleh kearifan lokal yang sangat luar biasa. Sebagian besar warganya berprofesi sebagai nelayan. Namun sayangnya, desa kecil ini hanya digunakan sebagai tempat transit bagi wisatawan yang akan pergi atau pulang dari Pulau Dodola.

Kembali kepadaku, semua teman-temanku mengarahkan perhatiannya ke diriku. “Aku?” Bagaimana bisa aku. Aku hanya pelengkap dalam tim ini, tapi kini semua orang menggantungkan harapan dan kepercayaan mereka kepadaku. Aku dipilih aklamasi oleh kata sakti: Pariwisata untuk menjadi pemimpin program yang akan diselenggarakan selama kkn berlangsung di Desa Kolorai.

Sebuah gagasan kecil yang awalnya muncul karena rasa spontan dari mulutku sesaat sebelum berangkat. “Mau bikin program apa Tan buat KKN?” “Ah program kecil-kecilan aja, mungkin aku mau bikin pameran potensi wisata di dalam desa” jawabku. Festival ini adalah sebuah program yang direncanakan akan dikerjakan oleh dua orang saja, aku dan Una. Una adalah teman sekamarku yang berasal dari jurusan TPHP. Kita berdua sebelum berangkat sepakat membuat festival kecil berisi potensi wisata dan pameran kuliner. Lalu, siapa yang pernah menyangka, program yang kusebut sebagai pelengkap tersebut berubah menjelma menjadi raksasa. Raksasa yang menyedot perhatian, tenaga, pikiran semua orang di tim ini.

“Kita akan membuat sebuah festival yang mengajak warga untuk siap menyambut kehadiran pariwisata di sini. Festival ini akan berisikan pameran potensi wisata. Sebelum festival ini, kita harus melakukan analisis potensi daya tarik wisata, membantu mereka menyadarinya dan membuat mereka merawat potensi tersebut, menjadikannya nyata supaya bisa dinikmati wisatawan sebagai kegiatan wisata untuk pembangunan desa yang berkelanjutan”. Aku harus memutar otak supaya temantemanku dari jurusan lain tidak harus terlalu banyak merubah program mereka ke pariwisata, supaya disesuaikan saja. Di titik ini aku teringat kata dosenku, yang selalu bilang bahwa pariwisata adalah ilmu multidisplin. Kukira itu hanya buaian teori dalam kuliahku selama ini, ternyata itu benar. Setelah peristiwa rapat tiba-tiba dengan warga desa, kami sekelompok melakukan koordinasi ulang. Bahagia, 26 teman-temanku dengan lapang dada menerima keputusan ini. Akhirnya kami sepakat untuk melaksanakan Festival Kolorai 2016 untuk memperkenal Kolorai kepada seluruh dunia.

Proses mewujudkan festival ini sulit. Tekad kami sudah bulat, tapi halangan dan rintangan silih berganti menguji kekompakan kami. Mulai dari rapat dengan warga desa dan mengakomodasi akan seperti apa festival ini diselenggarakan, pesimis antar anggota karena waktu tiga minggu yang sangat mepet dan dirasa cukup berat mewujudkan rancangan besar yang kami buat tentang

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 60

Bagian 2

Festival Kolorai 2016. Hingga, perjalanan yang panjang untuk meminta bantuan pihak ketiga dalam mewujudkan acara ini. Kami harus bolak-balik Kolorai-Daruba dan sebaliknya yang jaraknya 45 menit perjalanan laut dari Pulau Kolorai, saat pergi mencari bantuan untuk festival. Berangkat ketika matahari pagi baru saja naik ke langit, pulang saat matahari mulai temaram. Tak jarang kami harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan body yang akan pulang ke Kolorai. Proses menunggu itu juga bukan hanya menunggu bodi untuk pulang, tetapi juga menunggu kepastian dari Pemkab Morotai yang tak cuma sekali membutuhkan negoisasi.

Untungnya, aku memiliki ketua Festival Kolorai yang sangat bersahabat. Namanya Muhammad Aldika Biyanto dari jurusan teknik mesin, aku memilihnya secara spontan untuk menjadi ketua dalam acara ini. Saat aku menunjuknya, aku tidak menanyakan persetujuan darinya untuk menjadi ketua. Aku tiba-tiba menyebut namanya ketika malam koordinasi pertama, aku membuatnya berada sama dengan posisiku saat ini yaitu tidak ada kompromi dan pilihan lain. Mungkin, kebetulan dan takdir yang memilih kita berada dalam situasi ini. Tapi aku percaya satu hal, niat baik akan berakhir baik dan Allah SWT selalu bersama kami.

Hari itu semakin dekat, hari yang awalnya hanya mimpi dan sebatas tulisan yang tertempel di dinding-dinding pondokan kami. Kamis-Jumat tanggal 28 – 29 Juli 2016 yang akan menjadi saksi bahwa semangat dan usaha akan menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi nyata. Persiapan kami hampir 70%, kami sudah melakukan pelatihan, pemberdayaan dan analisis mengenai potensi pengolahan kuliner yang didominasi oleh olahan ikan, kerajinan tangan dari bambu dan pandan laut, survey rumah-rumah yang siap menjadi homestay dan melakukan pemberdayaan Kelompok Sadar Wisata bentukan KKN tahun sebelum kami. Usaha kami meminta bantuan dari berbagai pihak ketiga, disambut dengan hangat melalui apa saja yang mereka bisa berikan kepada kami seperti bantuan pendanaan dari Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, bantuan bahan bakar kapal dari TNI AL, dan ekspose dari Kementerian Pariwisata Republik Indonesia terhadap kami hingga hadiah menginap gratis bagi kami ber-27 orang di Resort D’Aloha milik Jababeka di hari terakhir sebelum kami pulang.

Akan tetapi, yang utama adalah kerjasama seluruh warga desa Kolorai. Dari awal proses ini mereka selalu optimis dan semangat. Warga adalah semangat kami. Gotong Royong desa secara besarbesaran dilakukan menyambut Festival Kolorai. Seminggu sebelum festival, seluruh warga rapat besar menyongsong kegiatan ini. Warga sepakat untuk melaut besar-besaran agar dapat memenuhi kebutuhan ikan untuk festival, tiga ekor ikan setiap kepala keluarga.

Tidak berhenti sampai disitu, mereka membersihkan bibir pantai dari kapal-kapal rusak yang bertengger, menata fonai fonai mereka sedemikian rupa, mengecat ulang gazebo, menambal ilalang gazebo yang hilang, mencari kelapa dan pandan laut ke pulau lain, mendirikan tenda, membuat lampion dan merelakan kabel dari setiap rumah mereka agar lampion itu bisa menyala ataupun merelakan genset lebih lama hidup selama beberapa hari sebelum festival, yang artinya lebih banyak uang yang harus mereka korbankan untuk merasakan terangnya listrik.

Seperti yang kubilang sebelumnya, niat baik akan berakhir baik, walaupun harus melewati jalan yang terjal dan berliku. Kegigihan warga menghasilkan kesuksesan Festival Kolorai 2016. Hari pertama, Festival Kolorai dihadiri oleh lebih dari 150 orang yang rela datang menyeberangi luasnya lautan Morotai menuju pulau kecil yang indah ini.

KOLORAI | 61

Mengemudikan Perahu Harapan

Cahaya Paling Terang di Bumi Pertiwi Norma Suci

Pagi ini matahari malu-malu menampakkan sinarnya, tapi tidak dengan warga desa yang sudah mulai bersiap menyongsong hari. Hari yang dinantikan, tidak hanya oleh kami mahasiswa tapi juga oleh seluruh warga desa Kolorai, yaitu Festival Kolorai. Ide sederhana yang awalnya dicetuskan sebagai salah satu bentuk pemenuhan kewajiban untuk mencapai 200 jam kerja kini berubah menjadi kegiatan besar yang melibatkan seluruh masyarakat yang ada di desa ini, mulai dari anakanak, bapak-bapak, ibu-ibu hingga kakek nenek. Adanya acara ini juga merupakan salah satu cara kami berkontribusi dalam menyiapkan desa yang tergabung dalam Kecamatan Morotai Selatan ini sebagai desa wisata, seperti program yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Maluku Utara terkait Kabupaten Pulau Morotai sebagai 10 destinasi wisata terbaik Indonesia. Persiapan menuju hari yang dinantikan ini telah memakan waktu yang cukup lama, sekitar satu bulan semenjak tim KKN tiba di pulau kecil nan indah ini.

Begitu pun denganku, pagi ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Tiga hari terakhir aku tidak banyak melakukan kegiatan di luar rumah karena demam tinggi dan batuk kering yang menguras tenaga. Mandi pagiku pun dilakukan menggunakan air hangat, untuk mengantisipasi kembali naiknya suhu tubuhku. Tidak sehatnya kondisi ini merupakan akumulasi kelelahan pasca kegiatan dari awal hingga pra-festival. Entah sudah berapa kali aku diterpa angin laut sepanjang perjalanan DarubaKolorai, terbasahi oleh air asin ketika ikut melaut, hingga bercengkrama dengan debu Estadio de Kolorai ketika bermain bola dangdut bersama ibu-ibu dan perempuan kuat Kolorai lainnya.

Sayup-sayup terdengar musik pengiring tari cakalele, aku segera bangun dan bergerak menuju dermaga. Di sanalah tempat penyambutan untuk para tamu undangan. Sepasang penari cakalele dengan lincahnya menari diiringi dengan musik semangat a la Maluku, dan kemudian dilanjutkan oleh enam pasang penari tide-tide yang menari dengan gagah dan indah. Rombongan tamu undangan yang dipimpin oleh petinggi Pemerintah Daerah Pulau Morotai dan Komandan Angkatan Laut Morotai ini disambut dengan gembira oleh seluruh warga yang berjajar di sepanjang jalan utama desa. Anak-anak dengan seragam sekolahnya tidak lupa turut menjadi pagar betis. Iringiringan rombongan tamu terhenti di tenda tepat di pertigaan jalan utama desa, dekat dengan rumah papa piaraku, Pak Ahmat. Acara pembukaan dilakukan di sana, mulai dari perwakilan Bupati hingga Kormanit kami menyampaikan sambutannya, yang kemudian diakhiri dengan pemotongan pita sebagai simbolis dibukanya Festival Kolorai secara resmi.

Selanjutnya, para tamu bergerak menuju venue expo yang terdiri dari stand hasil pengolahan hasil laut, stand hasil kerajinan, stand konservasi hingga stand KKN-PPM UGM yang juga dibuka untuk umum. Setelahnya, rombongan diarahkan menuju sisi kiri pesisir pantai, tepatnya di bawah pohon baru. Di sana sudah berdiri dengan gagahnya tenda dan kursi yang tertata rapi. Tidak ketinggalan berbagai macam makanan khas Kolorai dan kelapa muda sebagai pelengkapnya. Jamuan makan siang ini terasa sangat nikmat ditemani dengan pemandangan pantai yang indah dan matahari

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 62

Bagian 2

yang sudah tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya. Aku pun menikmati makan siangku, diawali dengan memakan beberapa potong buah semangka, dilanjutkan dengan ikan bakar bumbu kacang, ikan bakar dabu-dabu mantah dan cah kangkung yang super lezat. Tidak ketinggalan kelapa muda sebagai penutup hidangan makan siangku. Baru meminum beberapa teguk air kelapa muda langsung dr buahnya, Mama Poppy menghampiriku. Beliau memintaku untuk berhenti meminum kelapa muda tersebut, hal tersebut dikarenakan aku sedang tidak enak badan dan batuk katanya.

Dengan sedikit kebingungan aku masih memegangi buah kelapa tersebut di tanganku, dan Mama Poppy memintaku untuk segera memberikannya pada Muthi disebelahku. Aku menuruti saja apa katanya, lalu Mama Poppy berlalu. Aku mendiskusikannya dengan Muthi, bukankah air kelapa muda justru baik untuk orang yang sedang sakit? Begitu kira-kira topik pembicaraan kami yang kemudian memberanikanku untuk kembali meminum beberapa teguk air kelapa muda yang sudah kuberikan pada Muthi tadi. Tak lama setelahnya, jam makan siang berakhir, Santi berkeliling untuk meminta testimoni para tamu terkait bagaimana festival ini berlangsung. Mereka menanggapi positif rangkaian acara yang sudah terlaksana dalam Festival Kolorai.

Setelah saling beramah tamah, rangkaian acara dilanjutkan dengan Jelajah Pulau. Jelajah pulau diawali dengan ritual arwah laut yang dipimpin oleh imam-imam desa dan kemudian menjelajahi pulau Kokoya, Dodola. Dengan diiringi tabuhan rebana, sesajen diarak ke luar desa melewati gerbang ke arah dermaga. Di jembatan dermaga, lima fonai sudah bersiap, satu fonai khusus rombongan ritual arwah laut, dan empat lainnya fonai untuk para tamu dan rombongan POKDARWIS sebagai pemandu wisata. Setelah merapikan urutan arak-arakan fonai, rombongan bertolak dari pulau kolorai dan memulai acara jelajah pulau. Sesungguhnya aku ingin sekali turut serta rombongan mengelilingi pulau-pulau di sekitar pulau Kolorai, namun mengingat kondisiku yang masih belum benar-benar sehat, teman-teman menyaranku untuk tetap tinggal. Aku pun mendengarkan perkataan temantemanku.

Perginya rombongan dari Kolorai dilepas dengan tangisan Pipit, anak Pak Adur Ela-Ela yang

Mengemudikan Perahu Harapan

masih berusia tiga tahun, ia sangat lucu dan menjadi idola teman-teman KKN. Ia menangis karena ia pikir ibunya ikut dalam rombongan ritual arwah laut dan meninggalkannya. Tangisnya terhenti ketika sesosok ibu berlari dari arah dermaga menuju gerbang desa, tempat dimana Pipit menangis. Ya, ternyata ibunya tidak termasuk dalam rombongan ritual arwah laut. Seketika insting jahilku bekerja, aku tidak tahan untuk tidak mengejek Pipit atas tangisannya tadi, kami pun bercengkrama sejenak.

Pipit tersipu dan aku mulai berhenti mengejeknya. Setelah puas mengejek Pipit, aku bergeser menuju rumah Pak Joko, di sana sudah berkumpul teman-teman yang juga tidak mengikuti acara jelajah pulau. Kami berbincang tentang jalannya rangkaian acara dalam festival yang sudah terlaksana dan menyusun rencana terkait kekurangan yang masih dapat dibenahi.

Teriknya matahari membuat obrolan kami terselipi ide untuk membuat es orson (bahasa yang biasa digunakan oleh orang Kolorai untuk menyebut sirup rasa jeruk). Di bagian belakang rumah Pak Joko, kami mulai menguliti dan mengeruk daging kelapa dari batoknya yang kemudian dikumpulkan dalam satu wadah besar. Belum selesai membuat minuman kelapa muda, secara tibatiba darah mengucur dari hidungku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami mimisan.

Pak Joko adalah orang pertama yang menyadari bahwa aku mimisan. Saat itu beliau langsung berlari dan memintaku untuk tidak menengadah atau pun dalam posisi berbaring.

Segera setelah itu, Udin mencari perahu yang dapat membawaku ke Daruba. Ditemani oleh Udin dan Santi, aku berangat ke Daruba dengan perasaan bercampur aduk. Jujur saja, aku geli sendiri melihat semua orang khawatir kepadaku, namun aku tak bisa memungkiri bahwa aku juga merasa takut. Sesampainya di Daruba, aku dibawa ke rumah sakit bergerak yang berada cukup jauh. Setelah melalui berbagai tes laboraturium, dokter mengatakan bahwa aku hanya kelelahan dan terkena sinar matahari yang berlebihan. Setelah mendapatkan obat untuk sakitku ini, aku di antar menuju dermaga.

Hari sudah gelap ketika aku, Santi, dan Udin menaiki perahu yang membawa kami kembali ke Kolorai. Badanku sudah terasa lebih baik, perasaanku pun mulai merasa tenang setelah dokter mengatakan aku hanya perlu istirahat total beberapa hari. Malam itu, laut bertabur bintang. Sambil memandangi bintang dan memperhatikan deburan ombak, aku merenungi kejadian hari ini. Kolorai, sekali lagi, telah membuatku berdecak kagum. Aku mengingat kembali bagaimana semua orang panik dan berusaha menolongku tadi. Aku juga kembali mengingat bagaimana beberapa orang sengaja mencari tumbuhan obat-obatan untuk menyembuhkanku. Belum lagi teman-teman yang selalu siap sedia merawatku. Kolorai, bagiku, adalah bintang yang paling terang. Tempat cahaya kebaikan terlahir kembali. Cahaya paling terang di bumi pertiwi ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 64

Bagian 3

MENGENALI INDONESIA | Meutia Azzura | Muhammad Aldika | Deha Agus | | Wastu Prasetya | Safira Salsabila | Bambang Widyonarko |

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 66

Bagian 3

Pencarian Sebuah Rumah Meutia Azzura “Kenapa harus KKN jauh-jauh sih?”

“Di Indonesia bagian mana itu lokasi KKN kamu?”

Beribu tanya menghampiriku ketika aku memutuskan untuk melakukan pengabdian di Kabupaten Pulau Morotai, satu dari sekian pulau paling Utara di Indonesia. Terlahir dengan darah perantau, aku memang selalu tertantang untuk mengeksplor daerah-daerah baru karena aku tahu itulah caraku belajar mengenai kehidupan. Yang ku tahu saat itu hanyalah aku ingin melihat sisi Indonesia yang lain—selain kepenatan kota besar yang kurasakan sejak lahir.

Tak lama, informasi mengenai lokasi KKN yang akan aku datangi pun bermunculan. Ada yang bilang disana ada penyakit ini, penyakit itu. Tak ada listrik 24 jam, air bersih terbatas. Pada detikdetik menuju keberangkatan, aku mulai ragu atas pilihanku.

Sampai akhirnya aku teringat cerita di salah satu fiksi favoritku. Si tokoh utama memiliki ibu piara di pedalaman Brazil. Selama ini aku sangat penasaran bagaimana bisa ia memiliki ibu piara yang sudah sangat ia anggap ibu sendiri di suatu tempat terpencil seperti itu? Aku tahu aku akan mendapat jawabannya ketika Kormanit kelompok KKN kami menyampaikan bahwa kami akan tinggal di rumah warga-warga di sana.

Aku pun mantap dengan pilihanku. Tujuanku untuk KKN pun bertambah, selain melakukan pengabdian, aku ingin menemukan lagi a place I can call a home. Mengingat nikmatnya bahwa akan selalu ada orang yang menungguku untuk datang kembali di tempat tersebut, menjadi alasan untuk rehat sejenak dari kepenatan. Aku tak lagi pusing dengan informasi-informasi yang kudapatkan karena aku tahu aku akan bertahan. Kapan lagi hidup dengan segala keterbatasan seperti itu? Dan dunia berkonspirasi.

Setibanya aku di pulau kecil bernama Pulau Kolorai ini, aku langsung jatuh cinta pada keluarga besar tempat aku dan Ica dipiara, dan seisinya. Pada bergelas-gelas teh yang ku minum setiap pagi, dan malam. Pada hangatnya tungku kayu tempat ibu piara ku memasak, walau kadang pedih di mataku. Pada gelak tawa dan keseruan di ruang tengah tempat abang-abangku dan saudaranya, temannya, atau entah siapa menonton pertandingan olahraga. Pada percakapan-percakapan yang tercipta di ruang makan.

Aku percaya setiap kasih sayang yang orang-orang di sekitarku berikan adalah cara Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya untukku. Adalah Bapak Darwis, bapak piara ku yang sangat berwibawa. Ia akan menunggu di depan rumah saat waktu magrib sampai kami, aku dan Ica, pulang ke rumah. Terakhir aku berpisah dengan Bapak, Bapak mendoakan kami agar sama suksesnya dengan anak-anaknya. Pesan Bapak membuatku mantap untuk melanjutkan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi.

Ibu Nurjani, ibu piaraku yang kadang aku panggil “mama.” Mama Jani tak pernah lewat membangunkan kami untuk sahur, mewajibkan kami untuk setidaknya minum teh sebelum keluar

KOLORAI | 67

rumah di pagi hari. Bagiku, Mama adalah sesosok perempuan yang tangguh. Ia menunjukkan pada kami bagaimana didikan untuk anak-anaknya membuahkan hasil yang baik. Abang-abang piara kami saat kecil tidak dibolehkan untuk melaut agar tidak kenal duit, tidak boleh lanjut sekolah jika tidak khatam mengaji. Mama harus menahan keinginan dirinya untuk belanja macam-macam karena sadar uang yang dimilikinya hanyalah untuk memberi anak-anaknya makan.

Mama selalu berkata lugas, di hari pertama kami bertemu Mama bercerita alasannya memilih kami untuk menjadi anak piaranya, “agar ada yang bisa membantu Ibu memasak dan membersihkan rumah!” Terlalu jujur, tapi kami senang. Hampir tiap hari aku mencoba resep kue atau masakan a la Morotai, dan aku bangga kini aku bisa memasak dabu-dabu kacang. Pernah sekali Ibu diingatkan abang untuk jangan memarahi kami, padahal ibu tak pernah sekalipun berniat untuk memarahi kami, “kalau pun ibu marah, itu artinya ibu sayang dengan kalian,” ujarnya. Then since the first day, i know why i’m belong to her.

Ada hal lain yang aku kagumi dari Mama Jani. Mama adalah seorang pengrajin anyaman.

Sehubungan dengan programku untuk memberdayakan potensi hasil kerajinan yang ada di Desa Kolorai, menjadi anak piara Mama adalah sebuah kebetulan. Ia menjelaskan bagaimana pengelolaan Kelompok Usaha Kerajinan di Desa Kolorai selama ini, juga tentang macam-macam kerajinan dari Morotai itu sendiri. Dunia memang berkonspirasi. Di antara seluruh ibu-ibu pengrajin di Desa Kolorai, Mama sangat aktif berkarya. Sering karyanya dibawa oleh pemerintah daerah untuk pameran di ibukota dan pesanannya sering datang dari luar daerah.

Tak hanya aktif, Mama Jani juga lebih terdepan dari pengrajin lainnya. Mama mengerti bahwa dibutuhkan inovasi dari kerajinan yang dibuatnya, dengan tak hanya membuat anyaman tikar.

Mama mengerti bahwa ia harus menyesuaikan produknya dengan permintaan konsumen, meski ia tak tahu teorinya. Maka ia juga membuat sajadah, tas, gelang, bros, dan lainnya. Ia dengan semangat tak pernah henti berkarya, dengan motivasinya membantu Bapak mencari nafkah untuk anak-anaknya.

Tak heran jika abang-abangku tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 68

Bagian 3

Bang Zais, Bang Azis, Bang Ajir, Bang Ulis, dan Bang Rusdi. Tak ada yang lebih aku syukuri daripada memiliki kelima abang yang selalu siap melindungi dan membantu segala kebutuhanku, juga seluruh teman-teman KKN. Dari membantu persiapan Festival Kolorai, persiapan program-program lainnya, hingga hal remeh temeh yang aku butuhkan. Bang Zais yang bekerja di Bappeda dengan segala link-nya di Morotai, Bang Azis yang tampan dan kiper grup sepakbola Extan, Bang Ajir yang jago membuat dabu-dabu mantah ikan garam, Bang Ulis pelatih ronggeng tide-tide dan master diving, serta Bang Rusdi sang partner in crime di rumah.

Terlalu banyak cerita lucu dan berkesan tentang mereka. Pernah suatu malam mereka melaut, baru pulang ke rumah pukul 12 malam, dan kami langsung bakar-bakar ikan hasil tangkapan mereka di rumah. Mereka adalah pasangan ronggeng-ronggengku yang ter-asik, dan terus menjagaku sampai aku selesai ronggeng. Bersama ibu dan bapak, kami mengelilingi Pulau Morotai untuk berkunjung ke rumah-rumah saudara saat Idul Fitri. Saat itulah kami merasa bahwa keluarga mereka sangat menerima kami, dan saat itulah aku menemukan rumah yang aku cari.

Di hari terakhir kami meninggalkan Morotai, semua abangku turut mengantar kami ke Pelabuhan Laut Daruba. Berkendara motor-motor gedenya, sambil membawa anak istrinya, serta membawa perbekalan untuk kami di jalan, abang-abangku ada untuk menguatkan aku di saat aku menangis kencang saat berpamitan dengan seluruh warga Kolorai yang mengantar kami. Saat itu pun aku tahu aku memiliki keluarga yang menungguku pulang ke rumah saat tiba waktunya naik. Sekarang saatnya aku merangkak naik untuk menjadi pribadi yang membanggakan bagi Mama Jani dan Bapak Darwis seperti abang-abangku

KOLORAI | 69

Mengenali Indonesia

Antara Aku dan Fonai Muhammad Aldika

Hari-hari pertama di Kolorai masih tahap perkenalan, mengamati dan mencoba membaur dengan pemuda dan pemudi desa Kolorai yang sekarang menjadi Hodo (Saudara). Hari berikutnya di pagi hari kulihat Pak Cin sedang merapikan Kofo (jaring) di Fonai. Kudekatkan langkahku ke Fonai dan bertanya banyak hal disana. Dari gazebo terdengar seseorang memanggilku, “Bang!! Mau ikut mancing?”. Kemudian aku menjawab, “Boleh memangnya bang? Kalau boleh saya mau.”, “Boleh!” jawab orang itu. Aku tidak tahu saat itu apa yang kulakukan. Aku berjalan mendekati gazebo, kucoba berkenalan dengan orang orang disana. Di sinilah awal perkenalanku dengan Bang Maskur.

“Memang boleh saya ikut bang?” “boleh, kenapa tidak” “Makasih bang. Abang namanya siapa?” tanyaku “Maskur. Kamu siapa?” jawab ia sembari menggosok gelang yang sangat bagus “Aldika bang”, jawabku

Ini adalah awal dimana kisahku dimulai di Desa Kolorai. Semua awak sudah berkumpul di gazebo. Aku diminta untuk membawa topi oleh mereka karena hari sangat panas apalagi di atas kapal. Kulangkahkan kakiku ke kamar Wastu untuk meminjam topi karena aku tidak membawa topi. Semua perlengkapan siap, tas kecil hitam dan sebuah topi menjadi bekal perjalananku di Fonai.

Semua kru menaiki Fonai. Jangkar diangkat dan perahu berjalan perlahan menjauhi pantai. Mesin kapal dihidupkan, berjalanlah kami mengarungi lautan biru yang indah itu.

Selama pencarian aku berbincang bincang dengan teman teman lain. Hari itu sangat panas, dahaga mulai terasa. Namun kala itu bulan puasa. Semua kru Fonai tidak berpuasa jika pergi bapaca (mencari ikan dengan kofo). Mereka beranggapan bahwa orang yang berlayar di lautan sudah termasuk musafir, maka puasa boleh diganti hari lain. Om Run mulai berkata dengan sabda-sabdanya agar aku minum supaya tidak kelelahan. Aku tetap dengan pendirianku untuk tetap melanjutkan puasa.

“Kamu hati-hati dengan Om Run, dia ini suka menggoda”, ucap salah seorang kru “Om Run itu Iblis”, ucap yang lainnya “Iya ini di goda terus buat batal. Ada Setan berwujud nyata di kapal”, ucapku sambil bercanda.

“Hahahaha”, semua orang tertawa di Fonai memecah suara angin berhembus.

Pencarian terus berlanjut, semua masih dalam posisi. Aku masih terus berbincang dengan yang lain sambil mengakrabkan diri. Tiba-tiba bang Maskur teriak dari atas, “Bobaraaa!!! Bobaraaa!!

Bobaraaa!!!”. Semua orang pun langsung dalam posisi siap dan melihat pergerakan segerombolan ikan yang akan menjadi tangkapan pertama kami. Aku pun terkaget mendengar suara lantang itu dan mencoba melihat ikan yang dikejar. Aku terheran dengan apa yang mereka kejar karena aku tidak melihat ikan di atas kapal tetapi semuanya melihat.

Percakapan asing mulai terdengar lantang, bahasa sehari-sehari yang tak kumengerti mulai terdengar. Kofo pun ditebar di laut, bersama itu Risky dan Lalang ikut terjun juga. Fonai bergerak

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 70

Bagian 3

melingkar mengepung gerombolan ikan. Batu-batu dilempar memotong pergerakan ikan agar tidak keluar saat proses pengepungan dengan Kofo. Sembari itu, Bang Iswan, Om Run, Bang Ryan dan Bang Ijal pun terjun menjaga sudut-sudut kofo agar ikan tidak ada yang keluar dan kofo tidak tersangkut di batu karang. Sisanya di atas kapal, Pak Haer dan Papa Abuh menjaga kapal agar tetap stabil tidak bergerak dengan bambu panjang. Pak Cin dan Bang Maskur menarik Kofo. “Lujaaa!! Lujaaa!!!�, teriak Pak Cin dan Bang Maskur dari atas Fonai. Luja adalah mengerakkan tangan memukul air agar menimbulkan cipratan dan suara deruh air untuk menakuti ikan supaya ikan tidak bergerak ke arah posisi peluja.

Ujung-ujung kofo bertemu. Kofo ditarik perlahan-lahan agar ikan di dalam tidak tersadar bahwa mereka telah terkepung. Aku terus mengamati bagaimana mereka bekerja sebelum ikut membantu.

Para penerjun bekerja memeriksa setiap sudut supaya ikan tidak ada yang lolos. Lingkaran kofo terus mengecil hingga pada titik sambungan. Proses menggepe dilakukan, kedua sisi kofo yang melingkar dipertemukan dan ditempelkan satu sama lain dengan tangan. Kofo terus ditarik perlahan dari kedua sisi. Lingkaran kofo semakin mengecil dan terus mengecil. Namun aku juga belum meilhat ikan yang terperangkap. Kofo terus ditarik dan sampai di titik terakhir, tangkapan di masukkan ke dalam lambung Fonai yang memang disiapkan untuk tempat tangkapan ikan. Rezeki hari ini, 80-an ekor Bobara berhasil ditangkap dalam satu kali jaring. Aku tak menyangka hasil tangkapan bisa sebanyak ini. Aku tidak melihat sedikit pun dari atas kapal namun mereka semua melihat ikan itu. Aku terkagum dengan hasil tangkapan dan kemampuan mereka. Tangkapan hari itu pun diakhiri sementara. Fonai sudah berhasil medapat ikan dan berlayar kembali pulang ke Kolorai untuk beristirahat sejenak.

Sore harinya aku ikut menjual ikan tangkapan di Daruba bersama Bang Maskur, Bang Iswan, Bang Ijal dan Bang Ryan. Kami berlabuh di batuan karang untuk menjual ikan sembari menunggu tengkulak datang. Tawar menawar mulai terjadi. Harga ikan yang kami tawarkan 40 ribu rupiah per ekor. Saya terkaget mendengar harga ikan tersebut. Murah sekali untuk seekor Bobara yang ukurannya lumayan besar. Bahkan si tengkulak pun masih meminta harga lebih rendah. Geram

Mengenali Indonesia

rasanya mendengar hal itu. Akhirnya kami sepakat untuk menjual 35 ribu rupiah per ekor. Hasil penjualan cukup menguntungkan, setiap orang mengantongi 100 ribu rupiah, termasuk aku sendiri.

Matahari mulai terbenam, kami bergegas meninggalkan daruba agar bisa berbuka di rumah. Ternyata Bang Maskur sudah menyiapkan santapan buka puasa. Empat botol teh manis, lalampa, gorengan dan tak lupa sebungkus rokok. Kami tidak sempat mengejar buka puasa di rumah, alhasil aku berbuka di atas kapal. Buka puasa pertama di atas laut bersama orang-orang yang tak kusangka akan menjadi keluarga saat ini.

Tiba di Kolorai, Papa Darwin dan Mama Fina sudah mencariku di sekitar pulau. Aku tidak bilang ke mereka kalau aku ke Daruba ikut menjual ikan. Kami pun segera bergegas ke meja makan untuk meyantap hidangan yang telah disiapkan. Hari-hari selalu makan ikan. Laut memang tempat utama warga Kolorai menyambung hidup, jika tidak melaut maka mereka tidak bisa makan dan menyambung hidup. Dan dari laut juga mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga sampai lulus kuliah.

Sejak hari itu, aku selalu ikut memancing setiap hari jika tidak ada tugas dan pekerjaan.

Hampir setiap hari aku ikut memancing. Perubahan mulai nampak terlihat jelas pada kulitku. Aku berubah menjadi hitam, teman-teman sampai menyebutku warga lokal karena akulah yang paling nampak perubahannya hingga mirip warga Kolorai. Aku cuek saja dengan panggilan itu, tak masalah.

Senang juga jika bisa disebut warga Kolorai asli. Terlebih ketika kulit pungguku terbakar panas matahari dan mulai mengelupas. Warga bilang, aku baru berkenalan dengan laut. Satu pencapaian telah dilalui untuk menjadi asli Kolorai. Terimakasih kepada temanku, Tania yang telah mau membantu mengobati punggungku kala itu.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 72

Bagian 3

Lewat Deru Mesin Kapal Deha Agus

Udara dini hari itu menerpa tubuhnya yang terbaring lelah. Keramik putih bercorak menjadi sandaran pelepas penat kemarin sore. “Cuma dapat ikan sedikit.�, senyumnya selalu menghiasi wajah hitam bekas bakaran matahari, sembari berusaha menutupi kekecewaan hari kemarin selepas melaut.

Kami berbincang sembari mengisi sahur puasa ramadhan hari itu. Namanya Isra, disini sering dipanggil Is, saya memanggilnya Bang Is. Hasil tangkapan kemarin jadi santapan sahur pagi itu. Tete Piti, Mama Baena, Mani, Naya, Wahda, mulai terbangun satu persatu mengawali ibadah wajib. Kami berbincang ringan mengenai keluarga baru saya dua bulan ke depan, dan juga tentang mahasiswa UGM yang akan mengabdi di desa ini.

Inilah Desa Kolorai, sebuah desa kecil, bisa dibilang sangat kecil, di tengah-tengah Selat Morotai yang memisahkan Kabupaten Halmahera Utara dengan Kabupaten Pulau Morotai. Secara administrasi desa ini berada di Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai yang baru saja dimekarkan tujuh tahun yang lalu. Desa Kolorai tidak lebih besar dari kampus UGM, bahkan tidak lebih besar dari kampus klaster Saintek!

Deru mesin kapal memecah sayupnya senja. Silih berganti bisingnya mesin diesel penerangan, yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan. Di negeri bahagia ini mereka sudah hidup nyaman aman dengan keadaan yang ada, persetan globalisasi. Kami para pendatang bisa memanfaatkan kebaikan hati listrik mereka selama enam jam, dari ditabuhnya bedug maghrib hingga jarum jam mengganti hari. Riuhnya mesin diesel turut mengiringi langkah para pelaut kami yang mulai berdatangan pulang. Bak pahlawan pulang dari medan perang, tak peduli kalah atau menang, senyum lebar mengikuti kepulangan mereka, entah banyak sedikitnya hasil tangkapan hari ini.

Dibandingkan dengan desa lainnya, Kolorai bisa dibilang sebagai desa ternyaman. Walaupun panas terik matahari tak terelakkan, kehidupan sederhana masyarakat nelayan ini menyejukkan kesemuanya. Beberapa kali saya mendengar dari orang Ternate dan orang-orang yang pernah ke Morotai, katanya di tempat ini matahari seperti ada dua. Senyuman selalu melengkung di pipi yang membuat bertambah manisnya keramahan mereka. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, Maluku Utara yang masuk Indonesia bagian timur memiliki penduduk seperti ini, sama saja dengan di Jawa.

Sepintas sebelum berangkat, bayangan Maluku Utara memiliki penduduk berkulit hitam, dengan tingkah laku yang kasar. Salah total! Kami punya kulit yang sama dan hati yang sama.

Selama hampir dua bulan kami akan mengabdi di tempat ini. Beberapa program yang telah kami rencakanan jauh-jauh hari diimplementasikan disini. Pada awalnya kami membaginya menjadi dua unit dengan dia tema yang berbeda, namun setelah itu kami menghubungkan seluruhnya dengan kepariwisataan. Puncak kegiatan kami adalah Festival Kolorai, dimana kami sebagai fasilitator penduduk desa untuk mengadakan suatu festival.

Kegiatan yang kami harapkan sebagai langkah maju Desa Kolorai sebagai desa wisata, yang memang telah didapuk pemerintah daerah sebagai desa wisata. Segudang persiapan telah menjadi

KOLORAI | 73

tanggung jawab kami seluruh desa. Yang kami butuhkan tidak semuanya ada di pulau berukuran 500 x 350 meter ini. Sumber daya lahan berkebalikan dengan sumber daya lautnya yang sangat melimpah, sehingga mengharuskan kami mencari bambu, sukun, dan kelapa di Desa Pilowo yang ada di Pulau Morotai. Berbeda dengan Desa Kolorai, namun lahan yang lumayan subur menjadikan desa ini memiliki berbagai hasil lahan yang lebih baik.

Tiga kali kami ke Pilowo untuk mendapatkan kebutuhan kami. Fonai Extan dan Sarilaha silih berganti menjadi pengantar kami ke tempat tujuan. Fonai salah satu tulang punggung masyarakat disini. Ada 3 jenis kapal yang digunakan para pelaut desa, yaitu fonai, bodi, dan ketinting. Perbedaan dari ketiganya pada ukuran, bentuk, dan kegunaan. Ketinting memiliki ukuran yang paling kecil, kemudian bodi, dan fonai. Ketinting biasa digunakan untuk memancing sendirian atau paling banyak tiga orang. Bodi juga digunakan untuk memancing, namun lebih banyak digunakan sebagai tumpangan dengan kapasitas yang berbeda-beda. Ada yang ukuran 10 dan sekitar 20 orang. Sedangkan fonai digunakan untuk menangkap ikan tradisional secara berkelompok dengan menggunakan jaring pada laut dangkal, yang biasa disebut paca.

Saking besarnya fonai, saat mendorong fonai dari daratan menuju ke laut saat air sedang surut, membutuhkan banyak orang, sekitar 20 orang. Kebersamaan masyarakat desa sangat terlihat saat mendorong kapal. Saya ikut bersama Bang Jamil, Bang Oloi, Bang Iki, Bang Obet, beserta bapakbapak lainnya mendorong salah satu fonai. “Orcele!”, teriak salah seorang dan semuanya menjawab “Oo!”, “Orcele!”, “Oo!”, dan pada teriakan ketiga semua tenaga dikerahkan untuk mendorong kapal.

Sekitar 30 menit perjalanan mengarungi Selat Morotai jadi cerita lain hari itu. Bincang mesra kami di kapal hangatkan hembusan angin. Perbedaan suku dan budaya sedikitpun tidak membatasi kami para mahasiswa dengan pemuda. Isra yang menjadi koordinator dari pemuda desa yang bertugas ke Pilowo beserta Bucek sebagai motorisnya, dan beberapa pemuda lainnya ikut dalam perjalanan kami.

Sampai di tempat, saya, Ahmat, dan Fiko langsung ikut mencari kelapa muda di kebun milik Pak

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 74

Bagian 3

Amrin. Pak Amrin adalah hodo dari Bang Isra. Hodo adalah nama lain dari ipar. Kami naik motor berbak belakang yang orang sini sebut kaisar. Gila! Tidak lewat jalan. Kaisar masuk mengobrak-abrik jalan setapak kebun, bahkan melewati semak-semak. Kaisar bergoyang ke kanan dan ke kiri layaknya goyang lagu “Ge Mu Famire” yang sering kami lakukan beberapa kali di Kolorai. Kami tertawa sepanjang jalan, apalagi Bang Fiko yang memang sangat suka dengan kegilaan seperti ini.

Silih berganti hari kami ke Pilowo kembali mencari kelapa muda. Dua ratus kelapa muda!

Target yang harus kami dapatkan hari itu. Bayangan beratnya hari itu terlintas saat kami sekitar ber dua puluh orang berangkat dari dermaga Kolorai. Sampai di Pilowo kami langsung menuju lokasi yaitu kebun miliki Bu Jani, orang Kolorai, lagi-lagi menggunakan kaisar. Setengah dari kami memanjat pohon kelapa, dan lainnya menunggu di bawah untuk mengumpulkan butir kelapa yang jatuh. “Teblok, teblok, teblok”, begitu kiranya orang jawa menggambarkan banyaknya kelapa yang dijatuhkan. Tidak sampai 30 menit, sekitar 150 kelapa sudah kami dapat. Kami tinggal mencarinya lagi 50 buah di tempat lain. Tidak mungkin semuanya diberatkan pada lahan Bu Jani.

Kami berpindah tempat ke bukit, lagi-lagi dengan kaisar. Jalan setapak berbukit mengharuskan sebagian dari kami berjalan kaki di depan dan sebagian naik kaisar. Kami yang berjalan kaki berada di depan dan kaisar di belakang, yang mengharuskan berlarian menaiki beceknya tanah bukit Pilowo sekitar setengah kilometer, karena jalan benar-benar hanya setapak. Kegilaan hari itu bercampur peluh keringat kami. Susahnya jalan yang kami tapaki tidak sebanding dengan hasil yang kami peroleh pada perjalaan ke-dua hari itu. Hanya sekitar 30 butir kelapa muda dan tua yang kami dapat. Langit sudah menutup terangnya hari, kami harus menuruni bukit kembali ke dermaga.

Adzan maghrib mulai berkumandang, namun masih kurangnya dari target kami, mengharuskan beberapa pemuda kembali mencari ke tempat lain, dan kami menunggu di fonai.

Satu jam berlalu, kami segera pulang setelah semuanya kembali ke dermaga. Dinginnya malam tidak membuat gentar fonai yang dinahkodai Bang Ongin. Barang bawaan malam itu memenuhi seluruh badan kapal. Untung saja pakai fonai, bukan bodi ataupun ketinting. Saat kami di Kolorai, pernah 2 kali kejadian kapal terbalik, yang pertama pada saat saya dan Yulian bersama Bang Is mengangkut kayu untuk penanaman dari Pulau Dodola. Sebenarnya bodi biru yang kami naiki belum benar-benar terbalik karena masih di kedalaman sekitar 75 cm, sehingga kami langsung segera turun, namun handphone Bang Is jadi korban kejadian siang itu. Yang kedua ketika Bang Is bersama Santi dan Farid menaiki ketinting dari keramba menuju darat. Memang benar angin saat itu sangat kencang, dan tiba-tiba ketinting langsung terbalik. “Hahahahaha....”, saya dan Bang Bucek yang berada di keramba tertawa terlebih dahulu. “Is pelanggaran ini, dua kali. Padahal dingin-dingin saya malas turun.”, keluh Bang Bucek sebelum terjun ke laut membantu membalikkan ketinting. Itulah salah satu bahan bercandaan kami di atas fonai. Canda hangat kami di fonai cairkan bekunya angin lalu.

Malam itu kami membelah Selat Morotai untuk kembali pulang ke rumah kami, Kolorai, untuk membereskan acara yang sudah matang kami persiapkan bersama. Di atas deru mesin kapal kami berangkulan, lewat deru mesin kapal kami membuat cerita, deru mesin kapal menyatukan kami.

Sampai berjumpa lagi mesin kapal Kolorai, iringan derumu sangat kunantikan untuk membuat cerita baru.

KOLORAI | 75

Mengenali Indonesia

Busur Hujan yang Maha Dahsyat Wastu Prasetya

Program KKN yang dilaksanakan oleh kampus tercinta UGM bagi ku tidak hanya sebuah kuliah praktik dan pencitraan soal label kampus yang dijuluki sebagai Kampus Kerakyatan. Bagiku KKN tidak hanya tugas mulia untuk mengenalkan objek kuliah ku yang memang sudah minor ketimbang ilmu teknik, kedokteran dan ekonomi yang stratanya sudah menjalar dan tertanam dipikiran anak-anak Indonesia ketika mereka sudah tahu tentang cita-cita.

Aku dan timku di tempatkan di sebuah pulau kecil yang merupakan satu dari sekian pulau berpenghuni diantara gugusan pulau-pulau di Pulau Morotai. Pulau Kolorai namanya. Penduduk Pulau Kolorai merupakan satu-satunya masyarakat di Pulau Morotai yang menggunakan bahasa Ternate, selebihnya bercampur dengan bahasa Galela. Itu merupakan gambaran singkat tentang desa dan masyarakat tempat aku mengabdi, selebihnya akan aku gambarkan lebih rinci dimulai dengan sesuatu yang tidak mengenakan sampai sesuatu yang membuat aku bersyukur bisa mengabdi dan usaha ku untuk menantang rasi bintang telah memberikan pengalaman tambahan untuk aku dalam mensyukuri nikmat Tuhan Yang Maha Dahsyat.

Malam pesta penyambutan yang riang gembira diiringi musik khas daerah Maluku sambil baronggeng atau berjoget bersama seketika berubah mencekam. Agak jauh dari tempat pesta tiba-tiba seorang pemuda berteriak hendak menghampiri pemuda lainnya dengan membawa sebilah parang.

Entah apa yang melatarbelakangi kemarahan si pemuda tersebut yang pasti telah membuat pesta penyambutan kami terasa seperti adegan film psycho. Keesokan harinya aku diceritakan teman ku tentang penyebab mengapa baku tumbu antar pemuda desa itu terjadi. Ternyata karena dendam masa lalu yang belum tuntas ditambah dengan efek ciu yang membuat rasa dendam si pemuda tumpah tak

Bagian 3

tertahan.

Tanah timur Indonesia memang sudah terkenal dibangsanya sendiri kalau masyarakatnya berwatak keras terutama dalam hal berbicara. Menurut orang tua piara ku di Desa Kolorai, kerasnya watak orang timur terutama Maluku karena didasari kehidupan bahari yang mereka anut sejak lama.

Bagaimana tidak, berbicara dengan orang yang berhadap-hadapan saja seperti berbicara dengan orang yang berjarak puluhan meter. Hal tersebut merupakan kebiasaan di laut ketika berbicara di atas kapal yang tidak mungkin jika harus berkomunikasi dengan lemah lembut dan hal tersebut terbawa hingga sudah berada di darat.

Mungkin kekhasan watak yang membuat suasana desa tempat aku mengabdi seperti ada udang dibalik batu. Kabupaten Pulau Morotai dibangun dengan tumpahan darah akibat kerusuhan SARA di Maluku Utara. Dan desa tempat ku mengabdi merupakan salah satu medan pergulatan antar saudara. Tapi semua itu telah usai dan hanya menjadi kenangan pahit yang tak sengaja tertutur dari mulut masyrakat yang sampai ke telinga mahasiswa pengabdian. Namun tetap saja rasa ketidaksukaan terhadap orang yang telah menyakiti perasaan manusia menjadi penyakit hati yang tak mudah hilang.

Lain hal dengan kerusuhan yang lalu, kali ini sentimen ketidaksukaan tertuju pada perangkat desa yang entah apa permasalahannya aku dan teman-temanku juga tidak ingin mengetahui dan terlibat lebih dalam. Yang pasti seluruh warga desa merasa dikhianati terlebih sang perangkat desa bukan berasal dari suku yang sama dengan kebanyakan warga desa. Sentimen kesukuan pun akhirnya menguasai dan membakar amarah warga. Puncaknya ketika perangkat Pemda yang datang untuk menyelesaikan permasalahan desa ini, harus menyaksikan aksi protes keras warga yang geram dengan sikap para aparatur negara. "Praang!!!" Sebuah kursi melayang keras memecahkan kaca balai desa saat pertemuan berlangsung. Keheranan yang aku alami yang entah dialami juga oleh teman-teman ku atau tidak setelah menyaksikan berbagai kejadian tidak mengenakan di desa ini membuatku sejenak berkelakar diantara candaan dengan teman-teman ku.

Konsep bersakit-sakit dahulu lalu bersenang-senang kemudian seperti terimplementasi dengan baik dipengabdian ku ini yang tentunya tidak dengan kesengajaan. Mungkin takdir Yang Maha Dahsyat membuat ku mampu mendapatkannya. Tenang sebentar, mengendapkan dan menguraikan simpul kacaunya permasalahan. Diam sebentar, membedakan yang teringinkan dan dibutuhkan.

Intrik dan dinamika baik dari dalam tim maupun yang berasal dari luar seperti suasana desa yang diluar dugaan, mau tidak mau menjadi makanan batin buatku.

Pengalaman menghadapi orang-orang baru dari latar belakang yang jauh berbeda membuat ku harus pintar membagi jatah emosiku. Timku semenjak tiba di desa sudah terbelah dua, lalu ditambah warga yang terpecah juga. Berantakan sudah. Tapi ya begitu lah, untuk memunculkan darah cahaya dari awan gelap kita harus bersiap memotong awan pekat tersebut tepat dijantungnya agar cahaya kebahagian dapat mengalir memberikan terangnya ke seluruh alam.

Pada akhirnya kebahagian layaknya busur hujan yang menghiasi langit setelah hujan reda tiba menghampiri. Warna samar khas pelangi secara nyata tergambar di cakrawala ketika aku dan teman-teman digimon-ku (baca: anak kecil) menghabiskan sore sambil bermain air dan berenang di sudut pulau. Tapi busur hujan sejati yang aku dapatkan didalam pengabdianku bukan sekedar wujud pelangi. Melainkan kebaikan dan ketulusan warga desa baik itu orang tua, pemuda-pemudi, serta anak-anak kecil yang ikhlas menerima dan membantu aku beserta teman-teman baik dalam menjalani

KOLORAI | 77

Mengenali Indonesia

kehidupan singkat di desa mereka maupun mejalankan program-program kami.

Kami dibebaskan untuk masuk ke rumah-rumah warga untuk makan ketika kami lapar merupakan salah satu kebaikan tiada tara yang kami terima. Apalagi lauk yang disajikan bukan lauk sembarangan, ikan segar dan hewan laut konsumsi yang ketika di Jawa sangat langka atau kalaupun ada harganya kelewat bikin dompet mirip peci yang tidak ada isinya. Sementara ikan macam bobara, kerapu, tongkol, cumi, kima (kerang besar), bia (kerang kecil) dan udang ronggeng bisa aku makan dengan cuma-cuma. Terlebih keahlian mama-mama dalam mengolah makanan laut yang seperti chef kelas hotel membuat hasrat makan seafood-ku terpenuhi dengan maksimal. Saki.

Kalau urusan perut diurus mama-mama, lain lagi urusan program pengabdian. Hal itu diurus pemuda-pemuda desa yang luar biasa entah itu jumlahnya maupun tenaganya yang tak ada habisnya. Abang-abang kami ini selalu muncul, bertambah atau bergantian disetiap program yang berbeda.

Pernah suatu ketika, teman-temanku membutuhkan bambu dan daun sagu untuk keperluan program konservasi dan bahan kerajinan tangan khas desa, sementara di Kolorai bahan baku tersebut tidak ada sama sekali. Akhirnya tanpa banyak koordinasi sekitar sepuluh orang pemuda termasuk aku dan teman-teman berangkat menuju desa tetangga untuk mengambil bahan baku tersebut.

Desa yang dituju adalah Pilowo, desa yang terkenal dengan endemik malaria. Fiuh. Agak menyesal aku turut serta tapi mau bagaimana lagi. Setidaknya kartu jaminan kesehatan yang orang tua ku bayar setiap bulan bisa berguna seandainya terkena malaria, gumamku. Benar saja ketika memasuki hutan untuk mengambil bahan baku yang dibutuhkan, lotion anti nyamuk yang sudah aku oleskan ke seluruh tubuh tidak berarti sama sekali. Aku seperti bintang film yang dikerubungi oleh fans yang membedakan hanya wujudnya. Bukan manusia melainkan nyamuk. Setelah bertahan hampir tiga jam akhirnya kami bisa keluar dari hutan laknat itu. Di fonai (perahu tradisional) kami hanya bisa menggaruk-garuk sekujur tubuh yang penuh dengan bentol-bentol.

Puncak dari bahagiaku disaat-saat akhir menjelang kepulanganku dan teman-teman. Warga desa bergotong-royong menyiapkan pesta besar perpisahan untuk kami. Mereka melaut setiap hari mencari ikan dan hewan laut sebanyak-banyaknya demi memasak makanan yang beragam. Tenda dan pengeras suara dipasang di pertigaan jalan untuk baronggeng dua hari dua malam. Bukannya aku tidak merasa sedih dengan berakhirnya pengabdianku di Kolorai, tetapi usaha yang dilakukan warga desa sungguh membuat aku bahagia. Aku seperti bersama keluarga kandungku. Orang luar yang sebelumnya tidak berarti apa-apa untuk mereka, ketika ingin pergi seperti melepas anak-anaknya sendiri.

Hari ini, 4 Agustus 2016 tepat 45 hari masa pengabdianku di Kolorai berakhir. Tidak hanya orang tua piaraku yang mengantar aku ke dermaga tetapi satu desa ikut mengantar hingga naik ke fonai. Isak tangis mengiringi kepergianku dan teman-teman. Aku berusaha menahan air mata karena perpisahan dengan tawa riang gembira adalah yang aku harapkan. Apa daya kantong mataku tidak mampu lagi menampung air mata ketika digimon-ku yang bernama Fikman berlari dari tengah dermaga dan memelukku lalu menangis sejadi-jadinya. Aku yang tidak memiliki adik begitu merasa teristimewa dengan perlakuan adik angkatku. Syukur yang tiada tara mengalir dalam sanubari. Usahaku menantang rasi bintang dan berusaha membalik garis tangan didengar oleh Yang Maha Dahsyat. Diberikan olehNya busur hujan di dalam cakrawala tanah indah Pulau Kolorai, Pulau Morotai.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 78

Bagian 3

Doa Ibu dalam Malam Temaram Safira Salsabila Katanya, segala sesuatu yang disampaikan dengan hati akan kembali ke hati. Tulisan ini aku buat dengan hati yang penuh dengan luapan rindu dan kasih sayang. Semoga tulisan ini sampai ke hati Ibu‌.

Sebelumnya, kata pengabdian cenderung bermakna bahwa kami sebagai mahasiswa akan “mengajarkan� atau berbuat banyak hal kepada masyarakat sesuai dengan disiplin ilmu yang kami kuasai. Bahwa kami adalah pihak yang memberikan ilmu, dan masyarakat setempat adalah pihak yang menerima. Namun realita yang terjadi jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang aku pikirkan.

KKN bagiku adalah sebuah proses dimana aku diberikan kesempatan untuk belajar banyak hal.

Belajar bahwa kebahagiaan mampu timbul dari hal-hal yang amat sederhana. Bahwa terkadang kita terlalu sibuk mengemban ilmu dari hal-hal yang besar, sehingga cenderung mengabaikan fragmenfragmen kecil yang sebenarnya juga maha penting untuk menggenapkan hal-hal besar tersebut.

Ada terlalu banyak hal yang sebenarnya menjadi pelajaran berharga bagi aku selama menjalani masa KKN. Namun yang paling istimewa sehingga menjadi obyek dari ceritaku kali ini adalah tentang Ibu asuhku, Ibu Nurjani Baba. Dari segi penampilan, Ibu Jani terlihat seperti ibu rumah tangga di desa kebanyakan. Tidak ada yang istimewa. Bahkan mungkin Ibu terkesan sedikit galak. Namun setelah satu setengah bulan menjadi bagian dari keluarga beliau, tidak ada keraguan bagiku untuk menyatakan bahwa Ibu Jani adalah salah satu dari sedikit perempuan hebat yang pernah aku temui.

Ibu Jani adalah seorang Ibu dari enam orang anak yang luar biasa membanggakan. Di tengah segala keterbatasan, Ibu mampu mendidik dan membesarkan anak dengan baik. Anak Ibu adalah orang pertama di desa yang mengenyam bangku perguruan tinggi. Bahkan, empat dari enam anaknya sudah mendapatkan gelar sarjana (dua orang sisanya masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi). Dengan lingkungan yang tidak terlalu mementingkan pendidikan formal, pencapaian yang Ibu raih dalam mendidik anak adalah sesuatu yang membuatku berdecak kagum.

Ibu selalu menekankan kepada aku bahwa sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Prinsip itu Ibu pegang dengan teguh karena menurut Ibu hal tersebut adalah tanggung jawab yang terbesar yang diemban oleh orang tua. Ibu mengatakan kepada aku bahwa “Dosa lain mungkin masih sanggup untuk Ibu pikul pertanggung jawabannya, namun kalau urusan pendidikan anak Ibu amat takut kalau tidak bisa menunaikannya dengan benar karena bagi Ibu itu dosanya yang paling besar.�

Untuk mengemban amanah mendidik anak dengan baik tersebut, ada sangat banyak pengorbanan yang dilakukan oleh Ibu dalam hidupnya. Mulai dari pengorbanan waktu, tenaga, uang, dan tak jarang perasaan. Ibu dan Bapak berbagi tugas dalam menyekolahkan anak-anaknya. Bapak memiliki tugas untuk memenuhi segala biaya sekolah dan kuliah tepat pada waktunya. Sementara Ibu harus memastikan bahwa asap tetap mengepul di empat dapur, karena untuk bersekolah, anak-

KOLORAI | 79

anak Ibu harus tinggal di tiga tempat yang berbeda dengan rumah yang Ibu diami. “Anggap saja Ibu mampu membeli 100 kg beras dalam sebulan, maka Ibu harus mengirimkan 25 kg ke masingmasing tempat yang ditinggali kakak dan abang-abangmu.� demikian Ibu bercerita. Untuk memenuhi tanggung jawabnya itulah, Ibu tidak segan-segan untuk berjualan apa saja. Mulai dari kue kering hingga kue panida. Meski kadang yang laku terjual tidak seberapa, namun Ibu tetap rutin membuat kue setiap harinya. Bahkan tak jarang sisa kue yang tidak terjual diberikan oleh Ibu kepada majelis pengajian. Kata Ibu, jika kita ikhlas memberi makan kepada orang lain, maka inshaa Allah rezeki dari Allah tidak ada putus-putusnya. Aamiin.

Sebagai seorang perempuan, telah menjadi suatu hal yang wajar apabila Ibu ingin mempercantik dirinya dengan memakai pakaian yang indah. Namun selama masa-masa menyekolahkan anak tersebut, Ibu selalu menahan hasratnya untuk berhias diri. “Setiap ada yang jual baju, Ibu selalu lari dari situ, Ica. Ibu takut nanti kalau ada baju yang Ibu suka Ibu tarada uang untuk membeli,� Ibu bertutur sambil tersenyum mengenang masa lalu.

Selain harus memutar otak untuk mencari uang sembari menahan hasrat untuk memenuhi kebutuhan diluar kebutuhan dasar, Ibu juga harus berhemat untuk makan. Seringkali Ibu tak makan ikan meski Bapak dahulu adalah seorang pelaut. Dibandingkan untuk dikonsumsi sendiri, ikan hasil tangkapan lebih sering dijual habis ke tengkulak demi mendapat beberapa puluh ribu rupiah. Kata Ibu, terlalu sayang rasanya membayangkan berapa rupiah yang seharusnya bisa ditabung setiap Ibu menelan daging ikan hasil tangkapan. Karenanya, Ibu dan Bapak lebih sering makan kue sagu yang telah dikeringkan. Selain berbiaya murah, kue tersebut bisa tahan sampai usia enam bulan sejak waktu pembuatan. Entah ada berapa banyak lagi cerita Ibu tentang perjuangan dan pengorbanannya dalam mendidik dan membesarkan anak yang belum sempat diceritakan kepada aku.

Namun kini, Ibu telah memetik hasil dari buah kesabarannya. Lima dari enam anak Ibu telah bekerja sebagai pegawai negeri, menyisakan si bungsu yang masih berusaha menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Inggris di salah satu Universitas ternama di Ternate. Saat di seantero desa

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 80

Bagian 3

masih banyak anak-anak usia sekolah yang putus sekolah dan memilih untuk melaut, hanya keluarga Bapak dan Ibu yang hampir keseluruhan anaknya sukses menjadi pegawai. Posisi yang dijabat oleh anak-anak Ibu pun tidak main-main. Mereka jadi orang yang dihormati dikalangan rekan sejawat di tempat kerja.

Kini Bapak bahkan tidak lagi melaut dikarenakan seluruh anak-anaknya mengatakan bahwa mereka sanggup memenuhi kebutuhan kedua orang tua mereka. Ibu bisa istirahat dirumah sambil melakukan hobinya yakni menganyam daun pandan duri dengan tenang. Anak-anaknya secara bergantian memberikan Ibu uang bulanan dan barang-barang kebutuhan pokok. Meski demikian, Ibu masih sering membuat kue untuk dijual ke tetangga-tetangga yang ada di desa. “Abang Rusdi masih kuliah. Meskipun Abang dan Kakak yang lain sudah mampu membiayai, Ibu rasanya tidak tenang kalau Ibu tidak punya penghasilan sendiri yang bisa Ibu tabung untuk dikirim ke Abang Rusdi.

Takut-takut nanti ada yang kurang.�

Aku selalu berkata kepada Ibu bahwa aku sangat menghormati sosok Ibu yang amat tangguh dalam menyelesaikan permasalahan dalam hidup. Ada banyak sosok wanita independent yang aku jadikan role model dalam hidupku. Namun bagiku, dari sekian banyak sosok tersebut, Ibu adalah role model yang paling utuh, paling hidup. Perjuangan dan pengorbanan yang beliau lakukan terasa begitu dekat dan begitu nyata. “Yang paling penting dalam berjuang adalah kejujuran dan kesabaran, Ica. Kalau kamu punya dua hal itu, dan kamu jalankan dengan istiqamah, inshaa Allah tidak ada pengorbanan kamu yang sia-sia. Selalu percaya bahwa setiap langkah yang diniatkan dengan baik akan dimudahkan jalannya oleh Allah.� Demikian pesan Ibu sembari tersenyum memelukku untuk mengakhiri pembicaraan kami malam itu. Aku tahu setelahnya ibu menggantungkan doa-doa panjang di bilik kamarnya untuk kami, anak-anak Ibu.

KOLORAI | 81

Mengenali Indonesia

Jejak Perpisahan dalam Debur Kenangan Bambang Widyonarko

Tanggal 3 Agustus 2016, merupakan momen yang tidak dapat dilupakan seumur hidupku. Rabu ini merupakan hari yang sangat berat untuk dijalani. Hari yang sangat berat karena meninggalkan Kolorai. Siang harinya kami semua dari tim KKN-PPM UGM MLU-03, dijamu makan siang oleh warga Kolorai. Perjamuan ini mengingatkanku seperti perjamuan kudus (The Last Supper) yang dilakukan oleh Yesus ketika ingin berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Semua makanan yang dihidangkan adalah masakan olahan terbaik dari semua mama yang ada di Kolorai. Kami makan dengan lahap dan suasana siang itu masih dipenuhi dengan canda tawa walaupun tergurat raut kesedihan didalam lubuk hati masing-masing baik dari kami maupun seluruh masyarakat Kolorai.

Sudah sebulan lebih kami tinggal dan mengabdi di desa yang terletak di bibir pasifik ini.

Bila Magellan berkata bahwa Samudera Pasifik merupakan Lautan Teduh, maka aku mengamininya.

Kolorai lebih teduh dan damai mengalahkan damainya Hawaii yang dibanggakan oleh Amerika.

Mungkin aku sangat hiperbolis, tetapi semuanya berdasarkan dari rasa, karsa, dan jiwa yang telah mengalami sendiri di Kolorai ini. Warga masyarakat Kolorai yang terdiri dari anak-anak, pemuda, dan papa dengan mama semuanya sangat memberikan kasih sayang kepada kami ini. Terlebih para pemudanya, selama Festival Kolorai berlangsung, semua pemuda sangat antusias membantu dan bekerja dalam acara bersama ini. Segala macam perlombaan yang diselenggarakan disambut dengan antusiasme baik dari kalangan pemuda sampai orangtua. Terlebih saat festival digelar, semua komponen masyarakat menyambut dengan suka cita festival ini. Pada intinya, segala program yang kami jalankan didukung penuh oleh seluruh masyarakat desa Kolorai.

Sehabis Maghrib, kami mulai berkeliling rumah ke rumah untuk pamitan. Dimulai dari rumah Pak Bahdar yang merupakan bapak piara Deha, dilanjut dengan rumah Pak Joko yang merupakan papa piara dari Wastu. Setelah itu datang ke Pak Darwin (Aldika), Pak Masrut (Bagus), Pak Umar (Jihan), Pak Adur (Ian), Pak Ridwan (Santi dan Mira) serta terakhir ke rumah mama dan papa piaraku, Pak Abduh dan Mama Opi. Di setiap rumah kami selalu memohon dibukakan pintu maaf apabila selama ini kami memiliki banyak kesalahan baik kata maupun perbuatan. Tidak lupa ucapan terimakasih dan permohonan do’a dari orangtua kami sekalian untuk kesuksesan kami kelak. Tangis kami pun pecah di masing-masing rumah. Akupun tidak bisa menahan airmata saat pamit dirumahku sendiri.

Aku menangis sejadi-jadinya ketika menatap wajah Papa Abduh dan Mama Opi. Kedua orangtua yang selama 45 hari terakhir selalu kurepotkan dan kuganggu aktifitasnya. Papa memelukku dengan erat dan menangis dodora (menangis tersedu-sedu), tidak rela kutinggalkan. Aku menangis karena membayangkan ketika papa selalu ajak aku memancing dengan fonai tetapi terkadang aku dilarang ikut karena ombak besar yang papa khawatirkan karena aku tidak bisa berenang, papa orang terakhir yang tidur dirumah bila aku belum pulang, atau papa yang selalu bawakan suntung (cumi) serta nyao elenge (ikan ayam) kesukaanku. Papa lah orang yang paling kuat dalam keluarga ini, selalu mengayomi dan menjaga keluarganya. Walaupun papa pendiam, tapi dalam hatinya tanpa perlu diucapkan sangat

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 82

Bagian 3

sayang kepada keluarganya. Papa Abduh Pawane yang luar biasa. Begitupun dengan mama, mama memeluku dengan erat dan akupun menangis sejadi-jadinya. Orang yang selalu mempersiapkan hidangan di meja dan ketika aku akan mulai makan pasti menyuruh Ahlul untuk mencari Khoir dan Hanif untuk makan bersama. Mama juga yang selalu membersihkan kamar tidurku dan bahkan mencucikan seluruh pakaian kotorku hingga sepatuku juga. Karena keikhlasan dan kasih sayang mama, masakan mama merupakan favorit dari kawan-kawan KKN-ku. Setiap aku makan masakan mama, disana pasti selalu ada Deha, Hanif, Khoir, Wastu, Ian, Ilham, Brighit, dan Jihan. Bahkan kami ber-9 juga selalu tidur bersama dirumahku hingga menyebut rumahku menjadi “Kost-an Mama Opi� atau “Hotel Pop-Ab� yang merupakan akronim dari nama Popi dan Abduh. Sebungkus mie instan yang selalu kuhindari saat di burjo Jogja, bahkan terasa istimewa bila yang memasak mama Opi. Aku tidak tahu harus membalas kebaikan dan ketulusan hati Mama Opi dan Papa Abduh dengan apalagi.

Mereka sudah seperti orangtua kandungku sendiri.

Setelah pamit-pamitan itu, kami menuju tenda yang telah dipersiapkan untuk acara baronggeng (berjoget) bersama yang merupakan malam perpisahan kami. Sebelum acara dimulai, pak Sarjan Ismail selaku Kepala Desa Kolorai (papa piara Hanif) juga mengucapkan salam perpisahan untuk kami. Kemudian Farid selaku koordinator tim KKN-PPM juga menyampaikan salam perpisahan dari kami. Kami semua diliputi rasa sedih dan pecah tangis diantara kami semua.

Semua ibu-ibu menangis dan bapak-bapak juga. Aku merasakan kesedihan yang mendalam terutama ketika berada di kalangan pemuda yang mana kami telah sama-sama bekerja sama dalam membangun

KOLORAI | 83

Mengenali Indonesia

desa Kolorai ini. Setelah suasana sedih, kami pun berusaha menghibur warga Kolorai ini dengan menampilkan tari Ge Mu Fa Mi Re atau lebih familiar dengan sebutan joget Maumere. Lagi-lagi aku didapuk untuk menjadi pemandu gerakan joget tersebut. Terlihat wajah gembira dari kawan-kawanku dan masyarakat Kolorai yang terhibur dengan aksi joget kami. Kamipun berjoget sampai pukul 01.30 WIT.

Sungguh malam perpisahan ini tidak dapat kulupakan seumur hidupku. Perpisahan yang begitu berat dengan orang-orang yang aku sayangi. Rasanya waktu terlalu singkat untuk bersama mereka, tidak cukup hanya sebulan. Namun di waktu yang singkat ini, mereka telah mencintai kami dengan tulus. Begitupun dengan kami ini. Syair dari Kahlil Gibran yang berbunyi “puncak dari cinta adalah merelakan� kiranya baru benar-benar saya percaya dan yakini saat meninggalkan Kolorai.

Kolorai dan masyarakatnya sangat banyak memberikan kenangan di hati. Ketulusan dan keramahan seluruh masyarakatnyalah yang membuat desa ini mendapat keistimewaan dihatiku dan kawan-kawan.

Aku merasakan cinta dan kasihku tertambat di desa ini. Bukan hanya kepada kenampakan alamnya sahaja, tetapi yang terpenting adalah masyarakatnya. Bukan cinta terhadap seseorang sahaja tetapi kepada seluruh orang disini jua aku sayangi dan cintai. Meminjam kata-kata Jenderal Douglas Mac Arthur ketika mendarat di Morotai saat pasukannya terpaksa mundur dari Philipina menuju Australia ditahun 1942, beliau mengatakan “I shall return� maka akupun akan mengatakan hal yang sama. Entah beberapa tahun lagi apabila Tuhan menghendaki aku untuk menginjakan kaki kembali di surga kecil di bibir pasifik ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 84

Torang Kolorai Pe Carita

Beberapa Penggal Kisah Orang Kolorai

Fatum Ladjame

Nampan Roti di Pagi Hari Sebuah kesuksesan keluarga itu dapat diraih jika ada kerja sama yang baik antara suami dan istri.

Sebagai istri seorang nelayan, aku menyadari bahwa peranku untuk mendukung suami tidaklah sedikit.

Hari-hari dimana laut sedang tidak menghasilkan, cuaca yang tidak mendukung, serta persaingan yang ketat membuatku menolak untuk berpasrah diri. Suamiku adalah seorang nelayan ulet yang sangat rajin melaut. Melihat etos kerjanya yang tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk membantu suamiku untuk mencari tambahan penghasilan.

Berbeda dengan kebanyakan pasangan lain di Kolorai yang merupakan teman sejak kecil, aku tak mengenal suamiku dulu. Kami bukanlah teman kecil, dan baru mengenal ketika aku kembali dari Tobelo. Sejak bertemu dengannya, aku telah mengagumi rasa tanggung jawabnya yang besar dalam mengurus keluarga. Sejak muda, ia telah dikagumi banyak orang pula karena usahanya untuk selangkah lebih maju daripada anak remaja seumurannya. Hal-hal itu yang membuatku jatuh hati dan tidak berhenti mengaguminya.

Berbicara mengenai perjalananku hingga pulang kembali ke Kolorai merupakan cerita panjang yang membentukku kini. Sedari SD hingga SMA, aku tinggal di Tobelo. Hal ini aku lakukan karena pendidikan di Tobelo sudah lebih maju dan nenekku juga tinggal di sana. Tinggal bersama nenek yang sangat hobi memasak membuatku menyukai proses pengolahan makanan sejak dulu. Bahkan ketika akhirnya aku harus pulang ke Kolorai lagi karena mengurus kedua orang tuaku, aku tetap melanjutkan hobi memasakku itu. Untuk membantu suami, kini aku berjualan kue setiap pagi.

KOLORAI | 87

Torang Kolorai Pe Carita

Setiap pagi, aku bangun jam 4 pagi untuk mulai mengolah berbagai bahan membuat kue. Jika hari sedang baik, pukul 9 pagi roti dan kue yang aku buat sudah habis dibeli oleh tetangga-tetangga.

Biasanya tempat berjualanku hanyalah di depan rumah saja. Budaya di Kolorai memang menyebabkan banyak orang harus membeli ke tetangga untuk sarapan karena tak semua orang dapat makan nasi di pagi hari.

Donat, roti tawar, dan pisang goreng adalah jenis-jenis makanan yang biasanya aku jajakan di pagi hari. Seluruh masyarakat desa juga sudah mengetahui bahwa aku berjualan kue di pagi hari. untuk bahan-bahannya, aku biasanya membelinya di Pasar Daruba. Setiap kue, biasanya aku membeli 5 kg tepung serta bahan kelengkapan lainnya. Meski hanya mendapat sekitar Rp 200.000,00 setiap harinya, suamiku sudah merasa terbantu dengan hasil menjual roti ini apalagi ketika laut sedang tidak berbunga.

Akan tetapi, setiap kali aku melihat suamiku yang tidak pernah absen melaut setiap harinya, aku pun menjadi terpacu.

Berat memang jika aku harus bangun ketika hari masih gelap setiap harinya. Kondisi yang gelap karena tidak ada listrik semakin menyulitkan proses memasak ini. Akan tetapi, setiap kali aku melihat suamiku yang tidak pernah absen melaut setiap harinya, aku pun menjadi terpacu. Suamiku ikut di kapal fonai pada musim ikan, dan melaut dengan perahu kecilnya sendiri pada musim kering. Suamiku ingin memastikan bahwa kami sekeluarga memakan ikan setiap harinya, tidak hanya seperti sebagian besar warga desa yang memakan nasi dengan teh pada musim ketika ikan sedang tidak banyak.

Dengan upaya kami berdua, kedua anak kami, Bela dan Halfi, dapat menjalankan sekolah dengan lancar. Kami berdua bermimpi anak-anak kami dapat menjemput sukses mereka hingga ke tanah Jawa. Mereka adalah harapan besar kami berdua. Alasan suamiku rela dibakar matahari pada tengah hari ketika melaut; alasanku membuat roti di dalam gelap; alasan kami berdua saling mendukung satu sama lain dalam berkarya. Anak-anak kami adalah alasan mengapa kami mempercayai bahwa kerja keras menelurkan nikmat yang tak terukur besarnya.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 88

Hussain Hubihawa

"Minggu Mahutu" Laut dan musik adalah dua hal yang selalu menggambakan diriku. Laut bagaikan udara, sudah menghidupiku sejak aku masih kecil dulu. Musik adalah tanah, dunia tempat aku berpijak sejak aku mampu memilih apa yang aku suka dan apa yang tidak suka. Keduanya adalah dunia bagiku. Tidak bisa lepas, tidak bisa saling meniadakan.

Aku lahir pada tahun 1958 di Kolorai. Sejak aku berusia 15 tahun, aku telah ikut melaut dengan nelayan lainnya. Menebar jaring dan mencari umpan adalah kegiatan sehari-hari yang rutin aku lakukan. Seperti nelayan lainnya di Kolorai, aku mencari ikan setiap hari utuk dimakan di hari itu juga.

Aku tidak akan kerepotan untuk bertahan hidup selama ada nasi di belanga dan beberapa ekor ikan dari laut. Karena hasilnya yang mampu menghidupi aku, istriku, dan kelima belas anakku, sungguh aku tak pernah berpikir untuk berganti pekerjaan menjadi selain nelayan. Ayahku, kakekku, bahkan generasi sebelumnya di keluargaku pun adalah nelayan.

Aku merasa bahwa menjalani apa yang aku suka adalah pilihan yang tak bisa disalahkan.

KOLORAI | 89

Torang Kolorai Pe Carita

Namun duniaku seolah dibalik ketika usiaku menginjak 42 tahun. Setelah 27 tahun mengail dan menghabiskan siang serta malam di laut, akhirnya aku memberanikan diri untuk menginjakkan kaki di dunia baru; dunia musik dan rekaman suara. Proses berpindah ini tidaklah mudah dan sebentar.

Karena aku sudah berkeluarga, tentu aku harus membicarakan keputusan ini dengan keluargaku, terutama istriku. Aku paham bahwa memiliki banyak anak dengan usia yang cukup tua untuk berganti profesi tentu menjadi risiko tersendiri. Akan tetapi, aku merasa bahwa menjalani apa yang aku suka adalah pilihan yang tak bisa disalahkan.

Dunia musik adalah sebuah dunia yang akrab bagiku sejak dulu. Aku menyukai musik qasidah sejak kecil dan selalu mengikuti perkembangan musik qasidah nasional. Koleksi kaset qasidahku telah aku kumpulkan sejak dahulu. Karena sukanya aku pada musik, aku seringkali diundang sebagai juri di berbagai kompetisi.

Perjalanan di dunia musik membuatku tidak hanya menjadi penyanyi, tetapi juga menjadi produser dan pencipta lagu. Maka dari itu, aku tidak bisa lagi tinggal di Kolorai saja, tetapi profesi ini mengharuskanku untuk tinggal di Daruba dan Ternate. Perjalanan bolak-balik ke kedua kota besar itu embuatku harus sering meninggalkan Kolorai. Biasanya, aku hanya pulang ke Kolorai ketika bulan puasa saja.

Sebenarnya karierku di dunia musik dimulai ketika aku mengarang sebuah lagu perdana yang diterima masyarakat dengan baik. Lagu itu berjudul “Minggu Mahutu�. Album pertama itu trjual hingga 20-30 ribu keping. Minggu Mahut menjadi sebuah lagu yang memiliki riwayat tersediri. Pada tahun 1999 ketika terjadi konflik Tobelo-Galela, banyak korban jatuh pada suatu hari Minggu. Lagu itu bercerita tentang kesedihan keluarga yang ditinggalkan karena adanya perang saudara tersebut. Meskipun dalam bentuk qasidah, penikmat album tersebut tidak hanya masyarakat muslim tetapi juga masyarakat Kristiani yang memiliki keluarga yang menjadi korban pada peperangan tersebut.

Setelah album Minggu Mahutu, album-album selanjutnya tidak ada yang pernah mencapai jumlah penjualan sebanyak Minggu Mahutu. Karena pendengarnya yang beragam, aku buat seluruy lagu terbagi ke dalam empat bahasa yang berbeda, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Tobelo, Bahasa Ternate, dan Bahasa Galela. Kini, bukan hanya aku yang berkarier di dunia musik, anak-anakku juga sebagian mengikuti jejakku untuk berkarya di dunia yang telah mampu membiayai hidup mereka ini.

Bagiku, tidak ada yang lebih baik antara menjadi nelayan atau menjadi musisi. Keduanya adalah pondasi hidupku yang membawaku sampai pada titik ini. Keduanya adalah sumber hidup dan sumber kebahagiaan bagiku dan keluarga. Tidak ada yang lebih baik selama aku melakukan keduanya dengan niat dan cara yang terbaik. Seperti Kolorai, keduanya adalah rumah tempat diriku menjadi sesungguhnya.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 90

Thaif Maledja

Terukir Indonesia di Laut Pusaka Aku telah menghabiskan seluruh hidupku di pulau ini, Pulau Kolorai. Sejak pulau ini baru saja ditemukan, hingga kini usianya telah lebih tua daripada aku, Desa Kolorai selalu menjadi rumah yang terbaik bagiku. Dulu, jumlah rumah di desa ini tidak sampai separuh dari jumlah rumah yang sekarang. Bentuk rumahnya pun belum sempurna, belum ada atap dari seng dan masih dipanggul oleh dinding-dinding bambu. Setiap hari, selepas para warga selesai melaut, kembali pulang ke desa ini adalah kelegaan tersendiri.

Melaut adalah darahku. Sejak usia 15 tahun aku telah menenggelamkan diri dalam kesibukan mengemudikan kapal, menebar jala, dan melepas nilon untuk menangkap ikan. Pada hari baik, aku bisa mendapatkan banyak, tetapi ketika hari sedang buruk, bisa saja aku pulang ke rumah dengan tangan kosong. Aku selalu percaya, rezeki telah diatur oleh Yang Maha Kuasa sehingga tak perlu aku banyak mengeluh dan menyesal apabila rentetan hari buruk datang.

Apabila angin kencang datang, aku biasa memutuskan untuk tidak melaut. Beberapa pantangan memang perlu dihadapi oleh keluarga para nelayan, seperti larangan melaut bagi perempuan jika sendirian, larangan melaut apabila sedang datang bulan, dan sebagainya. Harus aku akui, angin, hujan, dan matahari adalah tantangan terbesar untukku melaut. Jika tantangan itu kurasa cukup berat, aku biasa melaut di sekitar hamparan pulau morotai saja, akan tetapi jika hari baik datang, aku bisa melaut di laut lepas agar hasil yang kudapat lebih dari harapan sebelumnya.

KOLORAI | 91

Torang Kolorai Pe Carita

Tangan ini telah berkali-kali terluka karena goresan mata kail. Akan tetapi, setiap aku melihat ketiga anakku dan betapa mereka perlu makan dan perlu dana untuk sekolah, aku mencegah diri untuk mengeluh. Banyak orang bertanya, “Apa tara mau berhenti melaut saja? Pindah ke Daruba mencari pekerjaan lain?” beberapa di antaranya mengomentari, “Hidup nelayan tara pasti, ganti pekerjaan bisa jadi lebih pasti”. Bagiku, bolehlah orang berceloteh apa saja, bolehlah sebanyak-banyak orang menyarankanku pindah dari Kolorai, namun aku telah menyatu dengan desa ini. Tak akan pernah pergi aku meninggalkan pulau yang menjadi rumahku ini.

Hampir semua orang di negeri ini tak lupa pada suatu sejarah gelap yang merupakan kerusuhan.

Pada tahun 1999-2000 terjadi konflik agama di Ambon. Kerusuhan ini juga melebar ke pulau-pulau di sekitar Ambon, termasuk ke Morotai. Ketika itu, Kolorai dijadikan tempat untuk mengungsi.

Penduduk dari Tobelo, Ternate, dan pulau-pulau lain datang berbondong-bondong ke Kolorai untuk mencari perlindungan. Tidak hanya itu, beberapa warga Desa Kolorai ikut berjuang dalam perang yang dinamakan “Perang Jihad” itu.

Aku adalah salah satu orang yang ikut berperang. Bagaimana tidak, puluhan keluargaku telah dibunuh di Tobelo oleh orang-orang kristiani yang tidak suka pada waga muslim. Aku berangkat dengan mengandalkan parang yang aku asah dan aku buat sendiri. Sebelumnya, aku telah titipkan keluargaku di Lanud agar kondisi mereka tetap aman.

Kondisi saat kerusuhan itu sangatlah buruk. Aku melihat sendiri para korban diiris dan dipotong.

Mereka sling membunuh. Korban muslim yang sudah meningal hanya digalikan lubang yang besar untuk dibuat kuburan massal. Selebihnya, tidak ada proses lain karena semua orang panik, semua orang takut. Meskipun aku juga sedikit takut, aku telah pasrahkan seluruh kondisi hidupku pada Yang Maha Kuasa. Aku percaya bahwa hidup mati seseorang telah digariskan Yang Maha Kuasa Kerusuhan dan konflik itu berakhir setelah banyak sekali aparat keamanan negara dari berbagai penjuru Indonesia datang ke tanah Maluku. Aparat tersebut dibagi menjadi dua, yaitu yang berada di kubu orang muslim dan di kubu orang kristiani. Keduanya sama esar dan sama kuatnya. Karena penjagaan aparat yang begitu ketatnya, akhirnya kerusuhan itu berhenti. Kedua belah pihak menyadari bahwa saling menyerang tidaklah ada gunanya. Setelah sekian lama berusaha diredam, konflik itu akhirnya selesai.

Sebagai rakyat Indonesia yang hidup di area perbatasan, banyak orang menanyakan kepadaku mengenai nasionalisme. Dalam jiwaku, meski aku hidup jauh dari Pulau Kalimantan, apalagi dari Pulau Jawa, aku selalu tahu bahwa aku hidup di negeri merah putih ini. Bahwa kita memang berbeda-beda sehingga mungkin sekali terjadi perpecahan. Akan tetapi, aku telah merasakan sendiri kesengsaraan akibat perpecahan itu. Tidak ada yang lebih mendamaikan daripada menjadi bagian dari tanah air kesatuan ini. Meski tinggal di tanah Maluku, aku percaya bahwa kita ditakdirkan untuk selalu bersatu dengan orang-orang yang tinggal di berbagai belahan negeri ini. Indonesia telah terukir di laut pusaka yang terbentang dari ujung barat ke ujung timur. Karena kita bersaudara. Karena kita ini satu.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 92

Ikram Marsahadi

Lima Tangkai Lilin Kehidupan Ibarat samudera dengan ombak yang bergulung dari satu bibir pantai, maka ombak itu akan kembali berada pada bibir pantai yang sama pada akhirnya. Begitu pun aku. Dua puluh sembilan tahun yang lalu aku lahir di Kolorai. Setelah menempuh pendidikan hingga ke Daruba, akhirnya aku kembali pulang ke Kolorai. Hal ini bukan aku lakukan hanya semata-mata karena aku tak bisa melanjutkan kuliah, tetapi juga karena aku ingin membangun desa dan tanah kelahiranku ini.

Aku adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ayah hanyalah seorang buruh nelayan dengan hidup yang pas-pasan. Rumahku tidak lebih luas daripada satu petak tanah. Terlalu kecil hingga kamar mandi pun kami tidak punya. Setiap ingin berurusan dengan kamar mandi, aku dan adik-adikku biasanya menumpang di rumah nenek yang tak jauh dari tempat kami tinggal. Dapur dan tempat tidur berada di ruangan yang sama. Tidak hanya itu, barang-barang mewah seperti TV dan radio pun kami juga tidak punya.

Meskipun aku dibesarkan dengan penuh keterbatasan, kedua orang tuaku selalu mengajarkan kepadaku betapa pentingnya untuk saling percaya satu sama lain di dalam keluarga. Maka dari itu, tak ada tujuan lain dalam hidupku selain untuk membuat kedua orang tua dan seluruh keluargaku bangga. Karena ayah sudah tua, maka apapun aku kerjakan demi mendapatkan uang untuk makan.

Dari mulai melaut dengan vunay, ikut bersama saudagar, atau sekedar bekerja bangunan. Apapun aku lakukan untuk menghidupi kedua orang tua dan kelima adikku.

KOLORAI | 93

Torang Kolorai Pe Carita

Dari lima bersaudara itu, aku hanya memiliki adik perempuan berjumlah satu. Sebelum aku akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah dan tidak meneruskan ke bangku kuliah, adikku itu mengatakan, “Abang, saya ingin kuliah. Bagaimana jika abang istirahat saja, lalu saya yang akan berjuang kuliah.”

Maka sejak ia mengatakan itu, aku bertekad sepenuh hati untuk memusnahkan niatan bersekolah hingga perguruan tinggi dan berkonsentrasi untuk membiayai adikku di perguruan tinggi pilihannya.

Hari-hari perjuanganku menyekolahkan adikku bukanlah suatu cerita yang mudah dan penuh bunga.

Ketika laut sedang berbunga, aku dan nelayan lain berkesempatan mendapatkan banyak uang. Akan tetapi, laut tak selalu berbaik hati. Jika laut sedang kering akan ikan, aku harus merantau mencari nafkah ke kota-kota lain untuk sekedar mendapat uang yang lebih banyak. Tapi ternyata kata orang tidaklah salah, bahwa apa yang kita tanam, akhirnya akan kita semai pula hasilnya. Kini, adikku sudah menjadi seorang guru di ibu kota kabupaten. Sepanjang seluruh hidupku, sungguhlah adikku itu yang menjadi satu-satunya kebanggaan diri ini.

Meskipun telah menjadi guru, status yang ia miliki masihlah pegawai honorer yang dibayar tiga bulan sekali dari kecamatan. Hidupnya masih belum enak dan masih membutuhkan bantuanku yang cukup banyak. Pernah beberapa kali ia meneleponku. “Abang, saya tara punya uang,” keluhnya padaku melalui telepon. Jika sudah begitu, aku akan meminjam perahu yang ada di desa ini dan berusaha secepat mungkin berangkat ke ibukota kabupaten untuk mengantarkan uang yang aku punya. Bagiku, ia masih sama saja seperti dulu, perlu dijaga dan selalu manja kepadaku.

Di penghujung usia kepala dua ini, aku tak memiliki tujuan hidup lain selain mampu membahagiakan kedua orang tuaku dan menjadi contoh yang baik untuk seluruh adik-adikku. Aku telah dan akan terus mengorbankan diriku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka adalah harapanku.

Adalah hal yang aku sebut dalam doa di penghujung malam. Adalah alasan mengapa panas terik ketika di kapal menjadi tidak masalah. Adalah setangkai lilin pada kegelapan. Adalah harapan yang menghidupkan semangatku setiap harinya. Adik-adikku adalah lima tangkai lilin kehidupan untukku.

“Abang, saya ingin kuliah. Bagaimana jika abang istirahat saja, lalu saya yang akan berjuang kuliah.”

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 94

Rahmi Moloku

Ketika Kepala Sekolah Memusuhi Rasa Lelah Sesungguhnya aku tak pernah menyangka akan menjadi seorang guru. Sejak kecil aku selalu ingin terjun ke dunia kesehatan dengan menajdi bidan. Impianku adalah memiliki kemampuan untuk mengobati orang lain dan memastikan keluargaku dalam kondisi yang selalu sehat. Ketika selesai SMA, aku berjuang mati-matian untuk belajar keras agar dapat masuk jurusan kesehatan yang telah aku impikan sejak kecil. Akan tetapi, takdir berkata lain.

Jurusan kesehatan sangatlah sulit untuk ditembus. Maka kala itu, aku justru masuk ke jurusan pilihan keduaku, yaitu jurusan pendidikan. Setelah dua tahun berada di jurusan Pendidikan Biologi, aku akhirnya memutuskan untuk menetapkan hati dan mengiklaskan mimpi menajdi seorang bidan. Aku mulai menata mimpi untuk menjadi seorang guru di masa depan.

Mimpi baruku sebagai seorang pengajar itu akhirnya membawaku pada titik ini. Titik dimana akhirnya aku menjadi Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Kolorai. Permintaan menjadi kepala sekolah sebenarnya telah datang sebelum aku lulus perguruan tinggi. Waktu itu, adik sepupu dari Mama adalah kepala sekolah, dan beliau berniat untuk pensiun dan pindah ke kota lain. Setelah mengetahui bahwa aku bersekolah di jurusan pendidikan, akhirnya beliau meminaku secara khusus.

Menjadi kepala sekolah membuka mataku lebih lebar terhadap fakta pendidikan di Kolorai, desa dan pulau tempat aku dilahirkan dan dibesarkan ini. Aku baru menyadari betapa rendahnya minat anak-anak untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan. Tidak hanya itu, orang tua mereka yang

KOLORAI | 95

Torang Kolorai Pe Carita

Yayasan mengatakan kalau ia tidak memiliki dana untuk menggaji para guru. Jujur saja, ketika itu aku hampir menyerah.

rata-rata adalah nelayan juga tidak memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan anak-anak.

Hal ini terjadi karena mereka merasa apa yang mereka dapat dari laut sudahlah cukup. Maka dari itu, pendidikan bukanlah jaminan untuk membuat hidup mereka lebih baik dari saat ini.

Perjuanganku bukan hanya tentang bagaimana membujuk para orang tua di Kolorai untuk menyemangati anak-anaknya pergi ke sekolah. Jauh lebih sulit dari itu, masalah ekonomi juga melilitku selama dua tahun. Dua tahun lamanya aku mengajar tanpa dibayar sepeser pun. Yayasan mengatakan kalau ia tidak memiliki dana untuk menggaji para guru. Jujur saja, ketika itu aku hampir menyerah.

Beberapa guru telah mengundurkan diri dan pindah ke desa lain tempat mereka bisa bekerja dengan gaji yang layak. Aku terhimpit kekecewaan dan kepasrahan ketika itu. Tetapi jujur saja aku tidak tega membiarkan anak-anak kehilangan satu-satunya SMP di Kolorai hanya karena aku menyerah.

Selama dua tahun bekerja sebagai guru, aku masih meminta uang kepada Mama. Sungguh malu rasanya setelah dua puluh empat tahun aku meminta uang jajan kepada Mama, bahkan ketika akhirnya aku bekerja pun aku masih meminta uang kepada beliau. Akan tetapi, aku tak punya pilihan. Aku harus mengabaikan rasa malu dan memperkeras perjuanganku untuk membujuk anak-anak sekolah.

Kini aku sudah mendapatkan gaji secara rutin. Akan tetapi permasalahan ekonomi tidak berhenti menjeratku hingga kini. Bukan, ini bukan tentang aku. Ini tentang bagaimana aku memutar otak untuk mendapatkan jumlah guru yang sesuai kebutuhan. Hingga kini hanya ada tiga guru yang aktif mengajar di SMP Muhammadiyah Kolorai. Tiga guru itu termasuk aku. Ingin sekali aku memiliki tenaga pengajar tambahan, akan tetapi yayasan menolak untuk membayar tambahan guru trsebut karena kendala biaya.

Dilema besar hingga kini masih menjeratku. Ini bukan cerita tentang bagaimana aku menyelesaikan pendidikanku untuk kepentingan di masa depan. Bukan. Ini juga bukan cerita tentang bagaimana aku menetapkan target untuk pencapaian diriku. Ini cerita tentang pendidikan anak-anak diKolorai.

Cerminan masa depan desa dan pulau ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 96

Yuyu Annisa Kudo

Menjadi Perahu di Laut Abu-Abu Pendidikan adalah napas. Pendidikan adalah darah. Pendidikan adalah hidupku. Sejak kecil aku selalu ingin menjadi guru. Cita-cita itu terpelihara hingga aku berusia dua puluh tujuh tahun kini. Setelah menamatkan pendidikan dasar di Kolorai, orang tuaku mengirimkanku untuk mengenyam pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan SMA di Daruba. Kala itu, belum ada SMP yang dibangun di Kolorai ini. Melihat semangatku yang besar untuk belajar dan mewujudukan cita-cita menjadi guru, kedua orang tua akhirnya menyekolahkanku hingga ke Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan (STIKIP) Ternate.

Setelah lulus dari STIKIP, aku memaksa diriku untuk mencoba mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Meskipun awalnya aku sangat tidak percaya diri, aku akhirnya lolos dan terdaftar sebagai PNS Kabupaten Pulau Morotai. Tidak hanya itu, surat keterangan (SK) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten menempatkanku di tanah kelahiranku sendiri, Kolorai.

Pendidikan di Pulau Kolorai adalah hal yang sangat menarik untuk dibahas. Sebagai anak yang dibesarkan di pulau yang cukup terpencil, aku sangat akrab dengan fasilitas pendidikan yang minim jumlah dan kondisinya. Kursi dan meja yang patah, papan tulis yang tidak bisa dihapus tulisannya, hingga kurangnya jumlah buku dan kapur yang ada di sekolah. Karena pemahaman yang mendalam mengenai kondisi di Kolorai ini, aku tidak banyak protes kepada pemerintah, bahkan ketika atap sekolah sudah bocor dan beberapa jendela sekolah pecah.

Bukan hanya kondisi fisik sekolah di Kolorai yang memprihatinkan. Semangat belajar anak-anak dan kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak yang rendah memberikan tantangan cukup sulit

KOLORAI | 97

Torang Kolorai Pe Carita

bagiku. Tidak jarang aku harus ikut memohon kepada orang tua siswa agar anaknya diperbolehkan untuk tetap sekolah. Mengenai hal ini, aku juga sudah beberapa kali mengkonsultasikan kondisi Kolorai ke pemerintah kabupaten. Aku hanya berpikir jika kondisi infrastruktur diperbaiki, siapa tau anak-anak akan lebih semangat sekolah. Akan tetapi, hingga kini belum ada kabar baik dari mereka.

Jumlah dan motivasi guru juga memberikan satu bab tantangan tersendiri bagiku. Hingga kini, hanya ada lima guru di SD Inpres Kolorai. Empat adalah pegawai negeri sipil, dan satu adalah guru honorer. Jumlah guru yang minim membuat kami kesulitan jika ada salah satu dari kami yang tidak dapat berangkat mengajar. Kondisi ini membuat kami terkadang harus mengajar di dua kelas atau lebih sehingga harus bolak-balik antar kelas. Hal ini membuat pembelajaran menjadi tidak efektif dan efisien. Masalah ini, aku juga sudah berusaha sekuat tenaga meminta tenaga tambahan dari pemerintah. Akan tetapi, apa daya jika memang ditugaskan di sebuah pulau terpencil menurunkan minat para guru di kota.

Anak-anak di Kolorai juga membutuhkan perlakuan khusus. Sedari kecil mereka ditanamkan sebuah nilai bahwa tanpa belajar dan bersekolah sampai tinggi pun, mereka akan dapat hidup yang layak.

Hal ini karena bonus kekayaan alam dan laut yang dimiliki Kolorai memungkinkan mereka untuk dapat tetap makan meskipun tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Jika hari hujan, aku terkadang harus menjemput mereka satu per satu agar semua anak tetap mau sekolah. Jika pun mereka masuk, terkadang aku harus membawa bambu panjang untuk memukul mereka jika kenakalan mereka sudah keterlaluan. Buku-buku di sekolah juga banyak yang dirobek hanya untuk dibuat mainan pesawat atau kapal kertas.

Jika dapat dipikir lebih jauh secara logika, tentu aku akan dapat kehidupan yang lebih baik jika aku mengajar di kota, atau bahkan mengajar di Ternate setelah aku lulus. Tantangan dan kesulitan yang aku hadapi juga tidak akan seberat ini. Akan tetapi, aku selalu ingat cita-cita dan tujuanku menjadi guru sejak kecil dulu, aku selalu ingin menciptakan perubahan di tanah kelahiran ini. Pendidikan adalah salah satu alat perubahan yang paling hebat. Aku ingin mengabdi dan memperbaiki kondisi pendidikan di tanah kelahiranku ini aku ingin siswa-siswiku nanti mendapatkan kehiduan yang lebih layak dan menyadari bahwa dunia itu jauh lebih luas dari sekedar Pulau Kolorai. Aku ingin menanamkan perubahan. Aku ingin menjadi setitik cahaya tempat mereka menyandarkan cita-cita besar mereka. Aku ingin menjadi perahu yang kokoh, perahu yang dapat menolong mereka ketika mendung datang dan laut berwarna abu-abu.

Jika hari hujan, aku terkadang harus menjemput mereka satu per satu agar semua anak tetap mau sekolah.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 98

Safril Ela-ela

Tiang Harapan sebagai Nelayan Kala itu aku duduk di bangku kelas III SMK Perikanan. Perjalanan untuk mencapai titik itu tidaklah mudah. Setelah menamatkan SD di Kolorai dan SMP di Tobelo, aku melanjutkan pendidikan SMA di Tobelo juga. Masih lekat betul ingatanku ketika itu kerusuhan Tobelo-Galela terjadi. Kerusuhan yang menyebabkan ratusan orang yang saling bersaudara jatuh menjadi korban itu memakaku untuk pindah sekolah dari Tobelo ke Ternate. Maka, ketika kelas III SMK ini, aku telah duduk di salah satu bangku SMA dan tercatat sebagai siswa di Ternate.

Ujian nasional di kala itu sudahlah di depan mata. Tinggal beberapa hari lagi, ketika akhirnya sebuah telepon datang kepadaku. Telepon itu membawa pesan yang membuat seluruh duniaku seolah menjadi gelap, seluruh mimpiku seolah kandas, dan harapanku menjadi pupus. Pesan itu menyampaikan bahwa ayah dan ibuku meninggal di Kolorai. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung pulang ke Kolorai. Seluruh upaya belajar dan persiapan menuju ujian nasional aku tinggalkan begitu saja. Sesampainya di Kolorai aku langsung menetapkan hati untuk tidak lagi meneruskan kuliah.

Adikku berjumlah tujuh orang. Sebagai anak pertama, sebuah kewajiban bagiku untuk menafkahi adik-adikku dan meneruskan perjuangan kedua orang tuaku.

Pihak sekolah sempat meneleponku dan menanyakan alasan aku tidak hadir pada ujian nasional.

Aku mengataan bahwa aku sudah tidak semangat sekolah karena adikku tujuh dan aku harus menyekolahkan mereka. Seketika tujuan hidupku berubah. Dulu, yang utama bagiku adalah menjadi yang terbaik di kelas, kini tujuan hidupku adalah mampu menafkahi adik-adikku.

KOLORAI | 99

Torang Kolorai Pe Carita

Aku akhirnya memutuskan untuk menjadi nelayan. Aku paham bahwa banyak sekali pilihan pekerjaan yang ada di kota, akan tetapi aku menyadari bahwa ijazah yang aku miliki kini hanyalah SMP. Aku terus berpikir pekerjaan apa di kota yang bisa aku dapatkan jika aku hanyalah seorang lulusan SMP. Maka dari itu, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke Kolorai dan menjadi nelayan. karena menjadi nelayan di Kolorai meskipun pekerjaan berat dan harus terpanggang sinar matahari hingga sore, aku tahu bahwa aku akan mendapat hasil yang lumayan. Kolorai memiliki hasil laut yang kaya hasilnya.

Aku berusaha untuk menjadi nelayan yang berbeda dengan nelayan lainnya. Jika para nelayan biasanya berpikir bahwa apaun yang mereka dapatkan hari itu akan dihabiskan pada hari itu pula, aku berpikir dengan cara lain. Karena memiliki tujuh orang adik, aku paham bahwa aku harus berhemat.

Manajemen uang adalah kemampuan yang haruslah aku miliki karena kini aku adalah tulang punggung keluarga. Aku adalah tiang harapan ketujuh adikku.

Kolorai, bagiku, bukan hanya sebuah rumah, namun juga tempat yang menawarkan kesempatan.

Siapa yang bekerja keras tentu akan mendapat hasil yang lebih baik. Itulah prinsip hidup yang aku percaya hingga kini. Manajemen uang yang aku pelajari akhirnya mebuahkan hasil, satu per satu adiikku akhirnya lulus menjadi sarjana. Sungguh hal itu merupakan kebanggan besar bagiku. Terlebih lagi karena pendidikan di Kolorai belum terlau maju sehingga hanya beberapa orang yang telah mendapat gelar sarjana di desa ini. Orang tua di Kolorai berbeda dengan orang tua di kebanyakan kota besar. Jika di kota anak akan dipacu untuk terus bersekolah hingga tinggi, di Kolorai sekolah atau tidak menjadi kebebasan anak. Belum lagi masalah fasilitas dan kondisi infrastruktur di Kolorai yang semakin menjadikan anak malas untuk sekolah.

Kolorai, bagiku, bukan hanya sebuah rumah, namun juga tempat yang menawarkan kesempatan.

Kesempatan untuk bekerja, kesempatan untuk membangun kembali kepercayaan diri, kesempatan untuk menanamkan perubahan, dan juga kesempatan untuk mengukir kebanggaan. Kolorai memiliki kesempatan besar untuk menjadi lebih maju, untuk menjadi tujuan wisata dan ekonomi yang menjanjikan. Kolorai ini adalah permata yang kini belum dilihat jelas oleh banyak orang, tetapi di tahun-tahun mendatang tentu masyarakat akan menyadari betapa berkilaunya tanah kelahiranku ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 100

Sarman Hubihawa

“Bapa Sekdes Tara Pernah Berhenti Belajar�

Hidup adalah suatu panggung pembelajaran, bagiku. Setiap fase dalam hidupku adalah proses pembelajaran yang aku nikmati. Seperti sekolah, setiap kelasnya memberikan pelajaran yang berarti.

Maka dari itu, aku selalu menyukai sekolah. Sebegitu menyukainya sampai aku jatuh menjadi sangat sedih ketika harus menanggalkan seragamku ketika SMA. Pada saat itu, Ibu meneleponku dan mengatakan padaku bahwa ayah akhirnya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Di kala itu, aku tengah duduk di kelas III SMA. Tentu saja aku tak punya pilihan lain, aku harus menanggalkan mimpiku untuk melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi.

Meskipun tidak mengecap pendidikan formal setelahnya, aku berusaha tetap belajar dari setiap esempatan yang diberikan Tuhan. Aku akhirnya memutuskan untuk belajar melaut dengan pamanpaman yang ada di Kolorai. Dengan mengikuti vunay atau sekedar memancing dengan katinting, aku berusaha belajar sebaik mungkin. Meskipun aku tidak lagi bisa menjadi yang terbaik di kelas, aku harus bisa menjadi yang diunggulkan di laut.

Meskipun usiaku sudah 38 tahun, aku tidak sungkan untuk belajar bersama dengan anak belasan tahun.

KOLORAI | 101

Torang Kolorai Pe Carita

Proses belajar memancing bukanlah cerita yang sederhana. Sejak kecil aku telah tinggal di Kolorai sehingga tentu saja memancing bukanlah hal yang asing bagiku. Akan tetapi, mencari umpan, menebar jala, dan memburu ikan bukanlah hal yang mudah. Pun kondisi etidakpastian laut menjadi tantangan tersendiri bagi kami para nelayan. jika ingin dibandingkan, ketika kita bekerja di kantor, apabila kita bekerja keras dan bersunguh-sungguh tentu kinerja akan dinilai baik oleh atasan. Akan tetapi, ketika kita bekerja di laut, sudah bekerja keras sebagaimana pun tidak akan tentu hasilnya bagaimana.

Semangatku untuk selalu belajar tidak hanya sebagai nelayan saja. Aku belajar berbagai kemampuan teknis dari mulai bagaimana cara membuat sumur yang baik, membangun sistem sanitasi yang baik, hingga bagaimana cara menjalankan program komputer. Tentu saja ini konyol. Untuk apa belajar caranya mengetik di komputer jika setiap hari pekerjaannya hanya dibakar terik matahari di laut lepas.

Beberapa kawan memang menertawakanku, akan tetapi aku enggan untuk berhenti.

Tekadku untuk terus belajar membawaku pada suatu perubahan besar. Tahun 2009 lalu, aku diangkat menjadi Sekretaris Desa (Sekdes). Hingga tahun ini, sudah tiga kali pergantian Kepala Desa. Akan tetapi, posisi Sekdes tidk pernah berpindah dariku. Hal ini merupakan perubahan besar dalam hidupku Semua orang berpikir bahwa untuk masalah birokrasi dan teknologi, aku adalah ahlinya di Kolorai ini.

Menjadi Sekdes juga tidak menghentikanku untuk berkarya di bidang lain. Aku melihat peluang jualbeli BBM di Kolorai. Akhirnya beberapa tahun lalu aku membuka warung kelontong di rumahku dan menjual BBM kepada para nelayan di Kolorai. Keseriusanku ini juga didukung oleh istriku, Karni.

Ialah yang mengerjakan pekerjaan operasional sehari-hari dari mulai belanja di pasar Daruba hingga menunggui toko kelontong. Beberapa minggu terakhir kami juga membuka warung minuman es bagi anak-anak yang merasa kepanasan di siang hari. Tiga usaha ini kami lakukan bersama.

Meski sudah hampir dua puluh tahun tidak duduk di sekolah formal, aku juga masih ingin untuk meneruskan kuliah. Aku ingin kuliah di jurusan ilmu pemerintahan agar pekerjaan yang aku kerjakan tidak hanya didasarkan pada intuisi dan ilmu kira-kira saja. aku dengar akan ada Universitas Terbuka (UT) di Daruba, maka tentu saja hal itu menarik minatku. Meskipun usiaku sudah 38 tahun, aku tidak sungkan untuk belajar bersama dengan anak belasan tahun.

Bagiku, belajar adalah suatu kewajiban. Beberapa orang mulai berkomentar, “Bapa Sekdes tara pernah berhenti belajar.� Aku hanya tersenyum setiap kali orang menyampaikan komentarnya kepadaku. Ini bukan hanya tentang bagaimana semangat belajar telah membantu banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Akan tetapi, belajar adalah suatu kenikmatan. Belajar adalah suatu proses yang menyenangkan. Proses yang telahmenumbuhkan banyak harapan dan membuatku banyak menyemai keuntungan.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 102

Salman Baba

Mutiara di Balik Karang Kesempatan Bagai mutiara yang tersembunyi di dasar laut dan tak pernah ditemukan, Kolorai juga tersembunyi dari dunia luar. Dua puluh empat tahun silam aku pertama kali membuka mata di desa ini, dan sejak itu pula aku dibesarkan dengan akses yang minim dari hingar bingar dunia luar. Kolorai adalah sebuah pulau dan desa yang kekayaannya sangat berlimpah. Taman laut, perikanan, dan keindahan alam lainnya tak bisa diceritakan dengan kata-kata. Sayangnya, seluruh harta kami seakan tersembunyi di balik dinding kesederhanaan; seakan sulit terlihat oleh wisatawan yang melintas di sekitaran Bali dan Jawa.

Sejak kecil aku bertekad ingin membawa mutiara ini keluar. Aku ingin memajukan tanah kelahiran sekaligus membuktikan bahwa anak pulau macamku ini sesungguhnya dapat berprestasi dan mengharumkan keluarga besar. Setelah menamatkan SMA di Daruba, aku berangkat ke Ternate untuk belajar di perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, aku memilih dan diterima di jurusan Perikanan, salah satu jurusan yang paling digemari anak muda di daerahku ini. Tujuanku kuliah hanyalah satu: memajukan perikanan dan kondisi desa tempat aku dibesarkan, Kolorai.

Awal tahun 2016 lalu, aku menamatkan pendidikan tinggiku. Tanpa berpikir panjang, aku pulang ke Kolorai. Setelah lebih dari empat tahun merantau di kota, kembali ke desa ini cukup mmebuatku prihatin. Kondisi desa sekaligus warga di sini belum banyak berubah semenjak aku meninggalkan dermaga kolorai terakhir kali dulu. Warga masih saling bermusuhan karena masalah politik desa, pengolahan hasil laut yang tidak berjalan lancar, penghasilan nelayan yang tidak menentu ketika cuaca

KOLORAI | 103

Torang Kolorai Pe Carita

Jika Kolorai ingin maju, tentulah Kolorai membutuhkan pemimpin yang lincah dan mampu melihat peluang. buruk, seluruhnya belum banyak berubah. Maka, dengan gelar sarjana yang telah aku raih, tekadku untuk memajukan desa ini semakin besar.

Beberapa kali pemerintah setempat telah berusaha untuk membantu desaku ini. Beberapa unit kapal, bibit rumput laut, serta pelatihan pengolahan telah dilakukan. Akan tetapi, desa ini mungkin saja mengalami krisis kepemimpinan; memiliki krisisi kepercayan diri; serta merasa rendah diri dibanding kompetitor yang berasal dari kota-kota besar di luar sana. Aku telah berusaha mengajak beberapa teman sesama pemuda untuk mengumpulkan modal dan membangun usaha di desa ini. Akan tetapi, bagi kami yang baru saja selesai kuliah, modal bukanlah perkara mudah. Modal adalah mimpi yang seolah sulit diraih, bahkan jika modal itu hanya untuk membeli keramba.

Opsi lain tentu adalah menjadi pegawai negeri di Dinas Kelautan dan Perikanan. Menjadi orang di dalam pemerintahan tentu akan membawaku ke berbagai akses dan kemudahan yang dapat kuberikan pada Kolorai. Birokrasi, selama ini, juga menjadi permasalahan besar bagi warga Kolorai yang mudah ditipu oleh berbagai bahasa politik. Apabila aku berada di dalamnya, tentu akan lebih mudah bagiku untuk melindungi para nelayan Kolorai.

Krisis kepemimpinan. Aku juga selalu berpikir adalah hulu dari segala permasalahan yang ada di Kolorai. Jika Kolorai ingin maju, tentulah Kolorai membutuhkan pemimpin yang lincah dan mampu melihat peluang. Tidak hanya itu, dengan berbagai potensi yang dimiliki Kolorai, sang pemimpin harus mampu menciptakan pasar, menarik para pendatang, serta memberi contoh pada warga bahwa kepercayaan diri adalah sesuatu yang wajib dimiliki. Maka dari itu, beberapa kali aku terpikir untuk maju sebagai Kepala Desa (Kades) di masa kepemimpinan mendatang. Alasannya sederhana: sudah saatnya yang muda yang mengambil peran penting di desa ini. Dengan pemahaman atas teknologi dan kemampuan sebagai seorang sarjana, mungkin saja aku dapat membawa desa ini menjadi lebih baik.

Bentangan laut yang luas dan sulitnya akses teknologi untuk masuk ke Kolorai telah membuat labirin tanpa ujung bagi warga desaku ini. Kesempatan telah datang dengan jubah yang berbeda bagi kami yang terlahir sebagai “anak pulau� ini. Apabila kami tak berjuang lebih, apabila kami diam dan tak melakukan apa-apa, akan sampai kapan kami tersembunyi. Kami ini adalah mutiara yang tersapu gelombang sehingga terdampar di balik karang kesempatan yang sulit untuk ditembus. Akan tetapi, dengan semangat dan potensi yang kami miliki, generasi muda desa ini pasti bisa menciptakan perubahan. Sudah saatnya kami yang mudalah yang bergerak. Sudah saatnya kami bersinar bak mutiara di negeri ini.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 104

Widawati

“Ibu Bidan Tara Mungkin Bisa Sakit� “Kenapa mesti jauh-jauh ke Maluku to, Nduk? Di Jawa saja kan bisa jadi bidan,� begitu kata Ibuku berkali-kali. Semenjak aku lulus kuliah enam tahun lalu, aku memutuskan untuk mendaftar menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Maluku Utara dengan satu alasan yang sederhana: karena cari kerja di Jawa itu tidak mudah. Maka dari itu, setelah lulus kuliah aku memberanikan diri untuk merantau ke tanah Maluku ini.

Sebagai satu-satunya tenaga medis di Kolorai, seluruh warga yang sakit datang dan berkeluh kesah padaku. Tampaknya mereka tak peduli bahwa aku dahulu belajar mengenai kebidanan, dan bukan mengenai kesehatan secara umum. Akibatnya, bukan hanya ibu-ibu hamil yang menjadi pasienku, tetapi juga seluruh pasien dari sakit gatal-gatal hingga kepala bocor. Bukan hanya satu kotak perangkat untuk membantu melahirkan, tetapi juga stetoskop hingga jarum suntik yang menjadi senjataku sehari-hari. Untungnya, ketika kuliah dahulu aku pernah belajar mengenai kesehatan secara umum dan bekerja praktik di sebuah klinik kesehatan sehingga setidaknya aku bisa memberi obat tanpa asal-asalan.

Cerita petualangan ini bukan hanya yang manis-manis saja. Selalu ada berbagai momen ketika aku menahan napas dan berusaha menyembunyikan takut. Salah satunya adalah momen pada akhir tahun 2015 lalu. Kasus ini terjadi ketika seorang ibu yang melahirkan menderita asfiksia atau bayi biru. Bayi tersebut berwarna biru karena terdapat gangguan pernapasan. Segera setelah mengetahui kasus itu, aku memaksa sang Ibu untuk dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya, seluruh keluarga bersikeras ingin menunggu hingga keesokan harinya. Aku tak menyerah. Aku panggilkan Pak Kades dan kader-kader

KOLORAI | 105

Torang Kolorai Pe Carita

untuk membantuku membujuk seluruh keluarga besar agar sang Ibu dan bayinya mau dilarikan ke rumah sakit di Daruba. Akan tetapi, seluruh keluarga besar tetap bergeming. Setelah letih bercampur kesal, aku sodorkan keluarga tersebut surat pernyataan. Surat itu menunjukkan bahwa aku dan seluruh perangkat desa tak bertanggung jawab atas keselamatan ibu dan anak; bahwa keinginan untuk tak dibawa ke rumah sakit datang dari keluarga pasien sendiri.

Empat jam setelah perdebatan panjang, sang Ibu akhirnya mau dilarikan ke rumah sakit. Sambil terus marah-marah kepada keluarga tersebut, aku bawa mereka menuju Daruba dengan kapal milik warga setempat. Pun setelah sampai di rumah sakit, aku dimarahi habis-habisan oleh pihak mereka karena tak membawa pasien ke UGD sesegera mungkin. Kasus semacam ini tak hanya terjadi satu kali, pada akhir Maret lalu seorang ibu melahirkan dengan pendarahan dan juga menolak untuk dilarikan ke rumah sakit.

Sebagai satu-satunya tenaga medis di desa ini, aku dipandang sebagai manusia yang super power. Bagi warga Kolorai, aku tak mungkin bisa sakit. Setelah terbiasa merawat seluruh warga Kolorai yang sakit, tak ada satu pun yang percaya padaku ketika aku jatuh sakit. Biasanya aku membuat bubur sendiri untuk diriku, kemudian minum obat dan beristirahat seharian. Terkadang aku mendengar satu dua orang mengetuk pintu Polides untuk mencariku ingin berobat. Seringkali, aku tak mampu berjalan dan membiarkan mereka kembali lagi nantinya.

Suatu ketika ada seorang warga mengetuk pintu Polides dengan lebih kencang dari yang lainnya.

Dengan menyeret kaki, aku membuka pintu. “Ibu Bidan, sa mau periksa.” Lalu aku menjawab, “Ibu nanti ya, saya sedang pusing”. Warga itu memprotes karena sudah beberapa kali ia bolak-balik ke Polides. Maka dari itu, karena aku kasihan, aku bukakan pintu untuknya dan kubiarkan ia aku periksa. Setelah aku selesai memeriksa, ternyata ada tiga pasien lain telah antre di pintu Polides. “Ibu nanti kembali ke sini ya, saya sedang pusing”, ucapku lagi. Mereka menjawab dengan berkelit, “Tara mungkin, masa ibu Bidan sakit.” Aku hanya mengernyitkan dahi dan memaksa diri memeriksa mereka lagi. Namun karena badanku yang demam dan kepala pusing tak kunjung reda, aku jatuh pingsan.

Detik kemudian ketika aku sadar, aku telah berada di tempat tidur pasien. Aku melihat seluruh warga kampung telah berada di depan Polides. Ibu Kades di sebelahku berkata, “Ternyata Ibu Bidan bisa sakit juga.” Aku tersenyum lemah dan mengangguk, “Sa juga manusia, Bu.” Lalu aku biarkan tubuhku beristirahat sejenak dalam baluran minyak kayu putih yang telah ditumpahkan warga di sekujur tubuhku.

Banyak orang mungkin tak akan paham. Bagiku, menjadi Bidan di Desa Kolorai menjadikanku lebih dari seorang “Bidan”. Aku bukan hanya tenaga medis yang membantu para Ibu melahirkan. Aku adalah harapan bagi warga Kolorai. Aku adalah “Ibu Bidan” yang membantu para ibu melahirkan generasi penerus bangsa ini; yang menjadi harapan kesembuhan bagi setiap sakit warga desa ini; yang mereka ketuk pintunya ketika darah mengalir dan batuk tak kunjung reda. Aku adalah bagian dari Desa Kolorai. Aku adalah bagian dari mereka.

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 106

INILAH KAMI

Inilah Kami

Farid Ibrahim Teknik Mesin

Miftakhudin Teknik Mesin

Muhammad Aldika Teknik Mesin

Hanif Anshori Teknik Sipil

Rifqi Afrian Teknik Sipil

Jihan Nur Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota

Nur Fadhillah Statitistika

Deha Agus Kartografi dan Penginderaan jauh

Zealandia Sarah Kartografi dan Penginderaan jauh

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 108

Inilah Kami

Afra Hatim Kedokteran Gigi

Dessy Brenda Kedokteran Gigi

Monika Dwi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian

Husna Arif Teknologi Pangan dan Hasil Pertaian

Hafsah Muthi'ah Kehutanan

Yulian Adi Kehutanan

Hasnul Namira Hukum

Ilham Noari Hukum

Safira Salsabila Hukum

KOLORAI | 109

Inilah Kami

Santika Wibowo Akuntansi

Bagus Eko Akuntansi

Meutia Azzura Manajemen

Wastu Prasetya Arkeologi

Muslim Dimas Arkeologi

Bambang Widyonarko Sejarah

Tania Nugraheni Pariwisata

Norma Suci Psikologi

Mahendra Brighit D4 Teknik Jaringan

MUTIARA DI BIBIR PASIFIK | 110

...I Shall Return...

-Douglas Mac Arthur-

Dua puluh tujuh mahasiswa berangkat dari Yogyakarta untuk mengabdi di timur di Indonesia. Mereka merasa memiliki rumah kedua di Desa Kolorai, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara.

Warga Kolorai mengajarkan pada mereka arti kebahagiaan yang lahir dari kesederhanaan; dari perbincangan di dermaga sunyi; dari pengalaman melaut setiap hari; dan dari keramahan warga yang tak terbeli. Warga Kolorai menunjukkan kepada mereka bahwa kekeluargaan dapat dibangun meski mereka berbeda latar belakang budaya.

Perjalanan merantau mereka selama satu setengah bulan tidak hanya mengenai hal-hal yang baik saja, tetapi juga mengenai perjuangan. Budaya, karakter, cuaca, hingga makanan yang berbeda menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk beradaptasi. Tidak hanya itu, upaya mereka untuk membangun daerah ini tidaklah mudah karena akses yang sulit dan fasilitas yang kurang memadai.

Buku ini menceritakan kisah menarik dua puluh tujuh anak muda dalam mencicipi suka duka di daerah timur Indonesia. Beberapa cerita juga secara langsung dituturkan oleh warga Kolorai mengenai pengalaman hidup mereka yang inspiratif. Buku ini adalah gambaran nyata bahwa generasi muda Indonesia dapat dijadikan harapan masa depan untuk membangun bangsa, untuk menebarkan kemajuan di seluruh penjuru Indonesia.