Haluan 27 Januari 2017

Page 14

14

SULAM EMAS

MINGGU, 29 Januari 2017 1 Jumadilawal 1438 H

Harian Umum

Mencerdaskan Kehidupan Masyarakat

C erma

Rasi dan Sekuntum Janji

ELFI RATNA SARI

D

Dari lantai dua dia memandang jauh ke seberang. Menyaksikan detail taman bunga, ternak-ternak di pedesaan, atau anak-anak kecil yang belarian saling mengejar. Oh sungguh mereka menikmati masa kecil yang menyenangkan. Tangan putih khas gadis pegunungan anak orang berada itu menggengam bunga, warnanya putih, namun sudah sedikit kecokelatan karena waktu. Entahlah, mungkin lebih dari sewindu dia menggenggamnya. Tak jarang wajah cemas terpancar, diiringi senyumsenyum kecil seolah mengi-

ngat sesuatu. Benar-benar hanya bermain dengan pikirannya sendiri. Diciumnya untuk kesekian kali bunga itu. Mungkin sudah hambar, dan lagilagi penyebabnya adalah waktu. Kemudian dia santai menyandarkan diri di tiangtiang penyangga b alkon kamar. Tersenyum sedikit, lantas memandang lagi ke arah nun jauh di sana. Maka tak lama, guratan wajah cemasnya muncul. Seolah ketakutan, s esuatu yang membuatnya tersenyum tidak akan terulang lagi. Di depan pintu kamar, sang Kakak yang menyaksikan kondisi adiknya merasa sedih. Sungguh dia khawatir adiknya akan gila jika setiap hari hanya begitu yang dilakukan. Maka dia melangkah, mendekat, menyentuh dengan lembut punggung adiknya. Yang disentuh tidak lama langsung menoleh. Dengan wajah riang, Rasi bertanya kepada kakaknya, Bulan, “Kenapa Kakak sedih?” “Aku khawatir padamu, Rasi. Seharusnya kamu berhenti mengharapkannya datang.” Wajah Bulan tertunduk, air matanya mengalir. “Kakakku Sayang, te-

nanglah! Dia p asti akan datang. Aku yakin itu. Dulu dia bilang, dia akan datang jika seluruh mahkota bunga ini lepas. Sebentar lagi dia akan datang, Kak.” Mendengar kalimat adiknya, Bulan semakin bersedih. Dia malah tersedan lama, meratapi nasib adiknya yang terbelit cinta buta. “Lupakan dia, Rasi! Kumohon lupakanlah! Dia enggak akan kembali!” “Tapi ... tapi dulu dia janji, Kak. Dia akan datang, dia akan kembali.” Menyaksikan kakaknya menangis, Rasi ikut menangis. Dia jatuh terduduk, belum mengerti mengapa Bulan kejam sekali menyuruhnya berhenti berharap. Bukankah selama ini sebuah janji amatlah sakral? Kenapa? Kenapa kakaknya melarang dia untuk terus menggenggam janji itu? “Itu hanya janji anak usia labil, Rasi! Dan kenyataannya dia melupakanmu.” “Tapi ... tapi bunga ini kelopaknya belum gugur satu pun, Kak. Dia akan kembali jika kelopak ini sudah gugur semua.” “Dia nggak akan kembali! Karena kelopak itu nggak akan pernah gugur,

meski sudah puluhan tahun bunga itu dipetik dari pohonnya. Itu bunga Edelweiss, Sayang. Bunga abadi. Bunga yang nggak akan layu dan gugur. Yang berarti dia nggak akan pernah datang.” Bulan ikut jatuh terduduk di depan adiknya. Rasi menatap mata kakaknya dalam-dalam, seolah bertanya, ‘Apakah itu benar?’ Agaknya rasa cinta yang teramat besar membuat otak cerdasnya tidak berfungsi. Rasi lemas memeluk kakaknya, menyadari dia telah dibohongi dengan janji penantian yang tiada pernah berujung, janji yang seharusnya telah dia lupakan, janji yang seharusnya tak pernah dia genggam sekuat itu, janji yang membuatnya diam di tempat bertahuntahun. “Kak, bukankah aku seorang yang sangat mengagungkan janji. Belum pernah sekalipun ingkar. Termasuk janjiku padanya untuk menunggu. Janji hanya akan bernyanyi di depan dia saja. Lalu kenapa dia ingkar, Kak? Kenapa?” Rasi lebih tersungkur mengetahui kenyataan menyakitkan itu. “Sabar, Rasi. Andai se-

mua orang sepertimu. Andai dia juga sepertimu yang menggenggam janji. Namun sayangnya dia nggak seperti kamu. Orang-orang umumnya memakai Edelweiss sebagai lambang cinta abadi. Tapi enggak dengan dia. Dia memakainya sebagai lambang penantian abadi. Kamu ... kamu nggak seharusnya merasakan semua ini. Dan jika kamu mau membuka mata dengan kenyataan, membuka telinga untuk mendengar kabar, sungguh, Rasi ... dia nggak lebih hanya seorang pemain cinta. Menyebarkan Edelweiss ke seluruh wanita. Lalu dia pergi mencari wanita lain. Apakah kamu akan tetap menyimpan cinta buta itu untuknya? Enggak, Rasi! Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik. Dan itu jelas bukan dia. Lihatlah, Rasi! Sadarlah! Kamu adalah bintang kelas yang sangat disenangi orang. Kamu berbakat. Kamu ....” Kalimatnya menggantung, Bulan terisak bersama derai air mata adiknya yang tak berhenti mengalir sejak tadi. “Aku ....” Tenggorokan Rasi terasa tercekat. Dia urung melanjutkan kalimatnya.

“Kamu sangat menakjubkan. Buanglah bunga itu! Dan jadilah Rasi kami yang dulu. Kamu berhak bahagia.” Lantas setelah sekian lama Rasi hanya diam menyimpan suara emasnya, untuk pertama kali dia kembali lagi bersenandung. Namun bukan lagu ceria, bukan lagu-lagu semangat yang dia lantunkan. Melainkan lagu menggores hati, yang apabila seekor nyamuk tak

sengaja mendengar, dia akan ikut menundukkan kepala, menghayati syair-syair seorang yang kecewa. ‘Mengapa janji-janji tercipta Kalau hanya diingkari Mengapa penantian dimintanya Jika dia memilih lupa.” *ELFI RATNA SARI, penulis kumpulan puisi Debur Tasbih Sang Jalang dan novel Seribu Kepak Sayap Patahmu.

Puisi Santri dan Pegiat Komunitas Nun Pesantren Sumatera Thawalib Parabek – Bukittinggi

Tempat Beradat Padat Oleh Ratu Ilyani Hati berpaut kuat Melekat pada sebuah tempat beradat padat Namun, kini tak lagi mencuat sirat Harapan yang muda tetap kuat Tercabut oleh tangan jabat Ranah minang, bergelimpang adat syariat Tepat di antara dua tempat Pada dua sifat Lenyap rindu kisah Zainuddin Hayati di sepanjang hayat Hidup kembali beradat syariat Agar penuh rahmat

Rindu Oleh Karin Dwi Rahmadhani Kuterdiam, berdiri seorang diri di tengah keramaian Kutatap dunia, kurindukan negeri di sana Negeri hijau penuh cinta budaya Namun, kin ikujauh di belahan dunia mana Kupandangi gedung itu, menjulang hiasi cakrawala Debu-debu kasar menampar jiwa Seakan menatap licik dan berkata Matilah kau dimakan rindu

Mata Tikus Oleh Fasya Osmena Mata tikus comberan menatap tajam Berjalan dalam tubuh balut sutra Menepis harapan Tertunduk dalam cacian, makian, celaan Mereka menyiringai Berlagak raja, ratu KOMUNITAS NUN -PESANTREN PARABEK BUKITTINGGI DI TENGAH ACARA PETANG PUISI KUBU GADANG

Apresiasi

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Puisi itu Sederhana, Padat dan Mudah untuk Dipahami Oleh: DENNI MEILIZON aya berkenalan dengan adik-adik Santri dan Pegiat Komunitas Nun dari Pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi di tengah acara Petang Puisi di Desa Kubu Gadang, Padangpanjang. Baru berkenalan saja adikadik ini sudah terasa akrab dan menyenangkan. Bergantian mereka mengeluarkan naskah karya tulis lalu mengulurkannya kepada saya dengan merayu untuk dikritisi ataupun diapresiasi. Karena pada saat itu begitu ramai orang, termasuk juga tentu saja para budayawan dan sastrawan, maka dengan bahagia dan gembira saya oper naskah-naskah kerja kreatif Ratu dkk. itu kepada Sastrawan lainnya di sekeliling tempat kami duduk berdiskusi santai. Di sana ada Uda Soetan Radjo Pamuntjak yang baru pulang dari memenuhi undangan sebagai salah seorang peserta Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016 bersama dengan Boni Candra, sahabat saya juga. Ada juga Dafriansyah Putra, yang cerbung silatnya masih dimuat secara bersambung oleh sebuah koran lokal terbitan Sumatera Barat.

S

www.harianhaluan.com

Dari pandangan pertama itu, saya haqqul yakin jika Komunitas Nun yang dibimbing oleh penyair Arbi Tanjung ini akan sangat intens menghasilkan karya. Mereka tentu saja banyak membaca buku-buku. Kosakata mereka sudah mulai kaya. Metafora pun sudah mampu mereka pergunakan manakala menulis puisi. Sebab itulah halaman SULAM EMAS edisi kali ini menurunkan puisi-puisi karya adik-adik dari Pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi itu dengan perasaan bungah dan bahagia. Mari kita bahas satu persatu. Ratu Ilyani menulis puisi berjudul Tempat Beradat Padat. Ia mengejar rima pada setiap akhir larik. Beginilah bunyi bait pertama, Hati berpaut kuat/Melekat pada sebuah tempat beradat padat/Namun, kini tak lagi mencuat sirat. Larik pertama sepenuhnya mengingatkan kembali akan keberadaan dalam ruang dan waktu. Sedangkan pada larik kedua dimaksudkan untuk menegaskan maksud larik pertama. Ketika pembacaan kita beralih kepada larik ketiga, penyair membalikkan euforia yang kadung dibangun, di sana ia menggunakan kata ‘namun’. Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang belum me-

ngetahui letak perbedaan penggunaan kata “tetapi” dan “namun”. Banyak yang menganggap kedua kata tersebut sama dan tidak ada perbedaan dalam penggunaannya. Padahal, secara aturan kebahasaan, penggunaan kata “tetapi” dan “namun” mempunyai perbedaan. Substansi kedua kalimat itu sama. Pada dasarnya, kata “tetapi” dan “namun” mempunyai fungsi yang sama, yakni sebagai kata hubung yang menyatakan pertentangan. Perbedaannya terletak pada fungsi secara gramatikal. Kata “tetapi” digunakan untuk menyatakan hubungan pertentangan intrakalimat atau di dalam kalimat. Sementara itu, kata “namun” digunakan untuk menyatakan hubungan pertentangan antarkalimat. Oleh karena itu, penggunaan kata “namun” harus di awal kalimat dan tidak boleh berada di tengah kalimat. Sebaliknya, penggunaan kata “tetapi” tidak boleh berada di awal kalimat dan harus berada di tengah kalimat atau di antara klausa. Kita kembali kepada teks puisi di atas. Kata ‘namun’ jelas mengungkapkan akan adanya pertentangan. Semua yang diharapkan ternyata tidak sesuai kenyataan. Maka kit abaca bait demi bait berikutnya dalam

puisi tersebut, penyair kemudian menjelaskan kondisi yang membuat ia patah arang. Laiknya tipikal orang Melayu, puisi ini lalu ditutup sebuah harapan lagi semoga kiranya keadaan kembali dipenuhi rahmat. Dibalik kekacauan selalu ada jalan untuk kesempurnaan. Begitulah. Puisi berikutnya ditulis oleh Karin Dwi Rahmadhani berjudul Rindu. Ia mengungkapkan perasaan rindu yang dirasakan oleh si aku lirik. Rindu kepada tanahair. Rindu yang mengharubiru saat berada jauh dari tanahairnya. Dan dengan cerdik ia menutup puisi ini dengan gaya Chairil Anwar ketika menutup puisi “Sia-Sia” (1943), Mampus kau dikoyakkoyak sepi. Ada tiga puisi pendek yang menarik pula. Mata Tikus karya Fasya Osmena, Buka Jendela Rumah Gadang karya Ahmad Razief Al Zidane dan Nan Muda Bertanya Adat karya Imam Fathur Rahman. Puisi Mata Tikus ini jelas bermain-main dalam metafora. Digambarkannya jarak antara yang lemah dan kuat, yang kecil dan besar ataupun juga sikaya dengan simiskin. Menurut saya, puisi ini sudah berhasil sebagai puisi. Begitu pula dalam puisi Buka Jendela Rumah Gadang pembaca ditawari rima,

ditawari suasana persawahan yang tenang dan damai. Mari kita baca puisi Nan Muda Bertanya Adat. Sederhana, singkat, padat dan tepat sasaran, bukan? Terakhir, Akhmad Suwistyo menulis puisi Gonjong Babulan Sabik. Ah, mari kita baca kembali, (di) ranah minang, (kalian akan selalu mendengar) deruman air suci (yang) terdengar (mengalir dengan) deras (nya). (Alam yang indah bukan buatan) elok damai nyalang kepalang. (Serasa) dunia (pun) punya kita, katamu sayang. (Pencak dan silat silang silang menyilang, radai dan randai hentak-hentakan), ramah tamah pemuda minang bak ikan berenang tenang. (Kau akan menikmati) senyum manis tipis (setipis)benang. (Senyum itu, katamu akan) makin terang (jika) di malam remang. (Lihatlah, lihat!) gonjong tegak di rumah gadang. (Kaurasakan) jantung (yang ber)desir kencang. (Tunggulah sebentar lagi azan akan terdengar sahut menyahut dari) surau (yang) memanggil (dengan) riang. (Aduhai, inilah) Ranahku minang(ku). (Membayangkannya saja terasa bagai) raga ini kaubuat melayang (dibuai kenangan). Selamat berpuisi. Salam SULAM EMAS INDONESIA dan jangan lupa bahagia.

Gonjong Babulan Sabik Oleh Akhmad Suwistyo Ranah minang Deruman air suci terdengar deras Elok damai nyalang kepalang Dunia punya kita, katamu sayang Ramah tamah pemuda minang Bak ikan berenang tenang Senyum manis tipis benang Makin terang di malam remang Gonjong tegak di rumah gadang Jantung desir kencang Surau memanggil riang Ranahku minang Raga ini kaubuat melayang

Buka Jendela Rumah Gadang Oleh Ahmad Razief Al Zidane Mentari terang Embun pagi tenang Sambut ketenangan Kopi dalam perjalanan panjang Lewat terjal pematang

Nan Muda Bertanya Adat Oleh Imam Fathur Rahman Hancur nan muda Timbangan jadi petaka Adat kau itu makhluk apa? Minang tanah banagari

Redaktur: Juli Ishaq Putra

Layouter: Syamsul Hidayat


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.