Haluan 27 Feb 2011

Page 14

14

MINGGU, 27 FEBRUARI 2011 M / 24 RABIUL AWAL 1432 H

Kultur RESPONS TERHADAP POLEMIK SASTRA

Autisme Kesastraan Oleh: Romi Zarman Pengarang

A

UTISTIK adalah kata yang tepat untuk esai Darman Moenir, Haluan Minggu (23/1). Saya katakan autistik karena keterbatasan komunikasi yang dibangunnya. Keterbatasan itu terlihat ketika ia hanya mampu membangun komunikasi dengan “dirinya sendiri”, sehingga tak mengherankan kenapa baginya hanya Wisran Hadi satu-satunya pengarang dari Sumatera Barat yang karyanya terpilih dalam empat naskah terbaik sayembara novel DKJ 2010. Padahal, selain Wisran Hadi juga ada Hendri Teja asal Pariaman yang naskahnya juga masuk dalam empat naskah terbaik tersebut. Parahnya lagi, keterbatasan itu justru dimaknai dari sisi yang kurang tepat oleh tiga penanggap awal. Pemaknaan yang dilakukan oleh Delvy Kurnia Alamsyah, Haluan Minggu (30/1), Sudarmoko dan Elly Delvia

(Haluan Minggu, 6/2), dan Muhammad Subhan (13/2), justru memunculkan autistik baru. Autistik itu terlihat dari masing-masing esai Koko dan Delvy yang berpretensi membersihkan kesastraan dari arogansi dan politik kanonisasi. Esai Subhan sendiri lebih tepat disebut sebagai kegawuran standarisasi atas kebermutuan karya yang dilihatnya dari laris atau tidaknya suatu karya. Efek atas autistik sebelumnya pun jadi terluputkan. Apa yang terluputkan dari esai Darman itu adalah generalisasi standar penilaian Darman atas kebermutuan karya. Semestinya Darman melakukan kategorisasi berdasarkan generasi pengarang, bukan asal main “pukul rata” saja. Penilaian atas karya Wisran Hadi, misalnya, semestinya tidak mengecilkan ruang ke dalam apa yang dinamakan provinsial. Karya Wisran mesti-

nya diukur dari karya di luar sana dengan pengarang yang segenerasi dengannya, bukan malah membandingkannya dengan Gus tf Sakai yang jelasjelas berada satu zaman di bawah Wisran. Autisme Kritikus Akademik Penyempitan ruang yang dilakukan Darman dengan membatasinya hanya sebatas provinsial semakin mempertegas keautisan. Autisme atau keterbatasan komunikasi sebenarnya tidak hanya terjadi pada Darman Moenir saja, melainkan juga terjadi pada individuindividu yang bergelut di dunia akademik. Lihatlah keterbatasan komunikasi yang diderita oleh sejumlah kritikus akademik kita. Mereka hanya membangun komunikasi dengan founding atau lembaga yang mensponsori penelitian mereka. Pilihan atas karya (atau objek penelitian) pun bukan didasari atas perkembangan kesastraan. Yang utama adalah bagaimana proposal mereka bisa lolos dan sesuai “pesanan”. Feminisme, misalnya, yang lagi tren, dicarilah karya sastra yang berbau feminis. Persoalan perempuan yang ada di dalamnya meskipun hanya secuil, tapi dipolitisir seakan-akan keseluruhan karya itu benar-benar berisi persoalan ketertindasan perempuan. Bagi peneliti sastra beraliran feminis, tak penting apakah karya berlatar matrilinial. Yang penting ada ketertindasan perempuan di sana. Pun tak penting apakah itu esensi karya atau tidak. Yang penting penelitiannya sesuai “pesanan”. Data terbaru perihal autis-

me atau keterbatasan komunikasi itu, salah satunya, adalah ketika seorang Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas buta akan perkembangan sastra mutakhir, lantas meminta bantuan saya untuk mengumpulkan namanama sastrawan mutakhir berserta judul karya mereka. Atau, data lainnya, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Magistra Indonesia tentang refleksi setahun kepenulisan sastra di Sumatra Barat pada 31 Desember 2009, seorang peneliti sastra dengan santainya berkata bahwa penelitian-penelitian yang dilakukannya hanya berorientasi uang dan untuk kepentingan cum (syarat untuk kenaikan pangkat atau golongan). Belum lagi, misalnya, autisme itu juga terlihat ketika kaum akademik kita tidak memiliki intensitas dalam mengikuti perkembangan mutakhir sastra yang tersebar di media massa, baik koran, majalah, maupun karya-karya yang tersebar di jejaring sosial facebook. Kaum akademik kita memang melakukan penelitian. Akan tetapi, hasil penelitian hanya tergeletak di perpustakaan dan hanya beredar terbatas. Tak ada upaya untuk mempublikasikan ke media massa yang memiliki jangkauan pembaca yang luas. Kalaupun ada, itu hanya sebatas jurnal ilmiah. Lagi-lagi, pempublikasian di jurnal ilmiah itupun semakin mempertegaskan keautisan kaum akademik kita. Saya katakan semakin mempertegas keautisan karena jurnal itu hanya dikonsumsi di kala-

ngan mereka sendiri, dengan teorisasi (bahkan overteorising) yang sulit dipahami oleh kaum sastrawan. Semestinya, autisme itu bisa diatasi dengan mempublikasikan hasil penelitian mereka ke lingkungan yang lebih luas. Salah satunya dengan menulis di media massa cetak. Memang, tak semuanya austis. Masih ada yang mencoba membangun komunikasi keluar “diri”. Sebut saja, misalnya, Fadlillah Malin Sutan Kayo, yang lumayan produktif, Sudarmoko, Ivan Adilla, Hassanudin W.S, dan Harris Effendi Thahar. Komunikasi keluar “diri” mereka lakukan dengan menulis di media massa cetak, sesekali mereka juga mempublikasikan kertas kerja berupa makalah bedah buku atau diskusi lainnya seputar kesastraan. Persoalan langkanya kritikus sastra akan tetap tak berkesudahan bila kaum akademik kita masih menderita autis. Persoalan langkanya kritik sastra semestinya bisa diatasi oleh kaum sastrawan, dengan cara membelah diri. Diri yang satu adalah sastrawan, diri yang lain adalah kritikus. Dengan menjadi kritikus sastra bukan berarti ideologi yang diusungnya sama dengan ideologi ketika ia menulis karya. Nirwan Dewanto, misalnya, ideologi yang diusungnya ketika jadi pengulas sastra tidak serta merta berangkat dari ideologi saat ia menulis buku puisi Jantung Lebah Ratu atau BuliBuli Lima Kaki. Bagi sebagian pembaca, betapa gelap dan rumitnya puisi-puisi Nirwan

Dewanto. Sementara, ketika ia jadi pengulas puisi-puisi Pinurbo, ia justru berkata bahwa penyair mestilah mendedahkan puisi dengan bahasa yang terang dan tidak dirumitrumitkan. Tak ada salahnya sastrawan juga berperan sebagai kritikus. Tentu fungsinya bukan untuk melap-lap karya sejawat, seperti yang dilakukan Darman. Fungsi itu digunakan untuk mengisi langkanya kritik sastra akibat autisme kaum akademik kita. Di Amerika Serikat, misalnya, kritikus sastra berasal dari kalangan sastrawan. Sebut saja John Ashbery. Di samping menulis puisi, ia juga menulis kritik sastra. Kerja sastrawan baginya tidak hanya menulis saja, tapi juga studi atas karya para pendahulu. Studi diperlukan untuk menghindari reproduksi karya yang cenderung mengulang apa yang sudah ada. Setidak-tidaknya kesegaran karya akan dimungkinkan ketika sastrawan sudah mengikuti perkembangan dari satu karya ke lain karya, dari satu zaman ke lain zaman. Selain dari kalangan sastrawan, peran kritikus juga dapat dijalankan oleh editor atau redaktur sastra. Dalam acara Ubud Writers & Readers Festival 2009, di Ubud, Bali, seorang penyair asal Turki bercerita kepada saya bagaimana di negerinya seorang editor sastra juga berperan sebagai kritikus sastra. Sang editor yang mencarikan penerbit untuk naskah bukunya. Sang editor yang menggiringi gerak

Menulis Novel “Kerja” Kreatif!

Oleh: Darman Moenir Sastrawan

M

ENULIS karya sastra, dalam hal ini, novel, pada hakikatnya adalah “pekerjaan” (di antara tanda petik) kreatif. Setelah Allah SWT menciptakan laut maka manusia membuat garam. Setelah Allah SWT menciptakan kapas maka manusia menenun kain. Setelah Allah SWT menciptakan eter, maka manusia mengadakan komunikasi maya. Dan setelah Allah SWT menciptakan alat bicara dan kata dan bahasa (juga bahasa Indonesia), maka manusia mengadakan bahasa tulis, penyair menciptakan puisi, novelis menciptakan novel. Mencipta melalui pemberian yang Mahakuasa itu adalah kreativitas! Sekali garam terbentuk, sekali kain tertenun, dan sekali internet terujud, maka krea-

tivitas itu berubah menjadi produktivitas. Pembuat garam, penenun dan pembuat piranti dunia maya berikut hanya mengulang atau melanjutkan apa yang dikerjakan pendahulu. Tidak lebih, tidak kurang. Begitu pula, menulis Salah Asuhan (1928), merupakan pencapaian luar biasa Abdul Muis. Siapa pun yang kemudian menulis seperti yang dilakukan Abdul Muis takkan menghasilkan novel bermutu. Sekali lagi, bermutu, satu kata yang saya pinjam dari Suryadi, yang sekarang berada di Negeri Belanda. Dalam rentang awal abad lampau bisa disimak novelnovel kerja kreatif sastrawan (asal) Minangkabau seperti Marah Roesli, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Djamaluddin Adinegoro, Abbas Soetan Pamoentjak, Abdul Muis, dan Aman Datuk Madjoindo. Novel-novel mereka menandai kelahiran novel modern Indonesia (Mahayana M.S., Sofyan O., Dian A., 2000). Beberapa karya mereka sangat terkenal, hingga sekarang: Siti Nurbaya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat Tulis Sutan Sati. Beberapa novel modern itu: Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Pertemuan Abbas Soetan Pamoentjak, La Hami Marah Roesli, Tak Disangka Tulis Sutan Sati. Hampir semua kritikus

sastra Indonesia menempatkan novel-novel ini, terutama Siti Nurbaya, sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara tematik, seperti yang disinggung baik oleh H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar sosial lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap adatistiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Novel inilah yang pertama kali menampilkan masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat. Novel Baru Dan Nur Sutan Iskandar disebut “Raja Angkatan Balai Pustaka” sebagai akibat karyakaryanya. Lalu lahir novelnovel Hamka yang monumental: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Di Dalam Lembah Kehidoepan. Angkatan 1945 berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani antara lain menampilkan Tiga Manguak Takdir oleh Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar. Pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma oleh Idroes dan Atheis oleh Achdiat K. Mihardja dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Novelis angkatan 1950-60an adalah Mochtar Lubis dengan Tak Ada Esok, Jalan

Tak Ada Ujung, Tanah Gersang, Senja di Jakarta, Harimauharimau dan Ali Akbar Navis Hujan Panas dan Kemarau (1967). Navis sendiri lebih terkenal dengan Robohnya Surau Kami (cerita pendek). Setelah Navis, siapa novelis dari Sumatera Barat? Ada Abrar Yusra, Gus tf Sakai, Dewi Sartika. Kemudian, masih adakah novel-novel bermutu, novel-novel penting, dan diperhitungkan dalam kancah sastra modern Indonesia? Dengan demikian kehadiran Persiden Wisran Hadi yang meraih anugerah Novel Unggulan Sayembara DKJ jadi sangat mengesankan. Begitu pula Memoar Alang-alang Hendri Teja yang, secara jujur, belum saya baca. Setuju atau tidak, novel-novel DKJ selalu punya kebaruan dan bermutu. Bacalah Telegram, Keluarga Permana, Upacara, Saman, dan banyak yang lain. Dan seorang yang paling tidak setuju dengan produk sayembara adalah pelukis terkenal Nashar. Baik, kalau tidak mau produk sayembara, bisa disimak-tekuni Ziarah, Kering, Merahnya Merah oleh Iwan Simatupang, Khotbah di Atas Bukit oleh Kuntowijoyo atau beberapa karya Danarto. Atau, produk luar negeri, bacalah novel-novel Ernest Hemingway, Borris Pasternak, Yukio Mishima, Jean-Marie Gustave Le Clezio, Jorge Mario Pedro Vargas Llosa.

Kata kunci utama di sini adalah kebaruan dan bermutu. Kreativitas menulis novel sesungguhnya menghasilkan kebaruan dan mutu dalam pelbagai aspek. Dan bicara tentang kebaruan dan mutu ini, sudahlah, bisa panjang, menggurui, dan membosankan. Nouveau roman mengacu pada sebuah gerakan dalam sastra Prancis yang berkembang pada tahun 1950-an dan 60-an, memertanyakan modus tradisional sastra realisme. Hal ini terlihat dari komentator yang berdiri di tengah arah modernisme dan postmodernisme. Terkait karya Marguerite Duras, Alain Robbe-Grillet, Michel Butor, Claude Simon, Phillipe Sollers, dan Nathalie Sarraute, novel baru ditandai oleh nada narasi keras yang sering eschews (menolak) metafora dan simile dalam mendukung deskripsi fisik yang tepat, sebuah rasa bernilai tinggi dari ambiguitas berkait sudut pandang, tikungan radikal waktu dan ruang, dan komentar diri refleksif pada proses komposisi sastra. Anatomi Novel Robbe-Grillet (1963), berpendapat novel tradisional, dengan ketergantungan pada narator mahatahu, dan kepatuhan terhadap kesatuan waktu dan tempat, menciptakan ilusi ketertiban dan signifikansi yang tidak konsisten dengan radikalisme terputus-putus dan sifat

tidak sengaja terhadap pengalaman modern. Tugas novel baru dan bermutu adalah mendorong perubahan dengan mengeluarkan teknik yang memaksakan penafsiran khusus pada peristiwa, atau yang menyelenggarakan acara sedemikian rupa untuk memberkati mereka dengan arti menentukan. Ambiguitas novel baru menempatkan pembaca sebagai situs makna dan, sebagai model dari apa disebut Barthes texs writerly, mengundang kembali membaca dan reinterpretasi. Robbe-Grillet’s In The Labyrinth (1957), misalnya, menggagalkan keinginan untuk, dan koheren dengan, dunia yang lebih stabil dengan menyajikan diri sebagai mise en abyme, sebuah dunia di dalam dunia, dan kisah-kisah dalam cerita, di mana ia menjadi semakin sulit untuk menentukan yang “nyata” dan yang “ilusi.” Karakter novel lainnya kembali muncul di Grillet’s teks Robbe, melemahkan akal yang karyakaryanya sesuai dengan realitas, beberapa di luar teks, tetapi lebih merupakan alam semesta fiksi dalam diri mereka sendiri, mematuhi hanya logika asosiatif. Jadi, dengan demikian, bisa ditarik penyederhanaan, biarpun saya tidak ingin menyederhanakan kreativitas, bahwa novel-novel yang merupakan pengulangan dari apa yang sudah dikerjakan pendahulu selalu takkan mendatangkan

Komik Indonesia Kalah Bersaing K

OMIK asal Indonesia selama ini masih belum mendapat tempat di kalangan pembaca di tanah air, dan keberadaannya masih kalah oleh komik produk asing. “Anda bisa lihat di tokotoko buku mereka lebih banyak membaca komik terjemahan Jepang yang serinya sudah diterbitkan mencapai puluhan,” kata Ketua Masyarakat Komik Indonesia (MKI), Rizqi R Mosmarth di Jakarta, Kamis pekan lalu. Melihat kondisi komik yang memprihatinkan tersebut, MKI dalam rangka hari Komik dan Animasi Indonesia akan menyelenggarakan diskusi bertempat di Komik Cafe Epicentrum Walk Kuningan pada hari Sabtu lalu. Rizki mengatakan, bersama-sama dengan komunitas

komik lainnya, MKI akan mempertemukan antara komikus generasi lama dengan generasi baru untuk mencarikan solusi agar komik Indonesia kembali kepada masa kejayaannya pada era 80-an. Rizki mengatakan, sepanjang pencipta komik Indonesia belum menjadikan sebagai pekerjaan utama hanya sebagai sambilan saja maka sulit bagi komik Indonesia mengalahkan serbuan komik-komik asal Jepang. Direktur Paragraph Studio Wahyu Sugianto mengatakan, iklim di Indonesia belum mendukung seorang pembuat komik mengandalkan hidupnya dari komik, tidak seperti di luar negeri. “Apalagi kalau mereka yang memiliki keahlian tersebut kemudian terjun ke perusahaan iklan, sudah dipastikan tidak

akan ada waktu lagi untuk membuat komik,” ujar dia. Wahyu mengatakan, kalau menengok era 80-an ketika itu komik banyak didominasi tokoh-tokoh persilatan seperti yang terkenal “Si Buta dari Gua Hantu” dibuat komikus terkenal Ganes TH, “Panji Tengkorak” oleh Hans Jaladara, dan sejumlah judul Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika oleh Jan Mintaraga. Namun seiring dengan berkembangnya media elektronik di Indonesia, saat televisi swasta menayangkan tokohtokoh dalam film Jepang, maka komik Indonesia mulai mengalami masa-masa surut sampai saat ini, katanya.

“Salah satu keberhasilan dari komik Jepang itu didukung oleh film dan barang dagangan (merchandise). Anda bisa lihat “Doraemon”, “Naruto”, dan “Inuyasa” yang sudah mendapat hati di kalangan generasi muda di tanah air,” ujar Wahyu. Wahyu mengatakan, peran pemerintah seperti di Malaysia sangat diharapkan kalangan komikus Indonesia, apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat mendorong berkembangnya industri kreatif. Dia menunjuk komik Ipin dan Upin yang sebenarnya diciptakan orang Indonesia akan tetapi karyanya dibeli pemerintah Malaysia dan saat ini sangat terkenal di luar negeri. Selama ini kalangan komikus Indonesia masih bingung mereka harus menginduk

kepada Kementerian Pariwisata, Kementeri Pendidikan dan Kebudayaan, atau Kementerian Perindustrian, katanya. Sementara Direktur Caravan Chris Lie salah satu pencipta komik di Amerika Serikat dengan judul “Return to Labyrin” mengatakan, sebenarnya berkembangnya komik di Indonesia sangat tergantung kepada penghargaan terhadap karya-karya yang sudah diterbitkan. Dia mengatakan, perkembangan komik di luar negeri seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lain sangat tergantung kepada perlindungan, pembinaan, serta distribusi, yang selama ini belum pernah didapat di Indonesia. Chris mengatakan, sepanjang penghargaan atas karya komik di Indonesia belum

setara dengan luar negeri maka yang terjadi produksi di Indonesa masih rendah seperti saat ini. Chris menunjuk Malaysia yang kini mampu memproduksi 100.000 sampai 200.000 judul komik, sedangkan di Indonesia baru mencapai 3.000 sampai 6.000 saja. Hal ini terjadi karena kapasitas produksi Indonesia hanya 50 judul per tahun, sedangkan di negara-negara lain termasuk negara tetangga sudah mencapai 140 judul per bulan atau 1680 judul per tahun, jelas Chris. “Kalau dari segi kreativitas dan kemampuan komikus asal Indonesia tidak kalah disandingkan dengan luar negeri, hanya saja mereka selama ini tidak konsisten karena sibuk untuk bertahan hidup,” ujarnya. (h/ant)

karya, menjadi jembatan untuk pembaca, dengan menulis dan memublikasikannya di media massa. Di negeri kita juga ada editor, setidak-tidaknya setiap penerbit memilikinya. Cuma perannya belum maksimal. Saya pikir kita bisa lebih memaksimalkan lagi fungsinya. Di samping itu, peran kritikus sastra juga bisa dilakoni oleh redaktur sastra media massa. Peran yang dilakoninya bisa dengan memberikan catatan kritis di akhir tahun, misalnya. Saya pikir redaktur semestinya juga ikut mengawal gerak kualitas karya. Tapi tidak berdasarkan selera. Redaktur yang subjektif adalah redaktur yang pemalas, yang tidak memperbarui diri. Seorang redaktur semestinya juga melakukan studi. Tidak menilai hanya berdasarkan kata hati. Akan tetapi, ratarata redaktur kita pemalas. Malas membaca, malas studi atas karya-karya pendahulu, sehingga tak mengherankan kenapa kemudian dari karyakarya yang dipublikasikan di medianya cenderung tak memiliki corak, alias seragam. Bahkan, parahnya lagi, ruang sastranya justru menutup diri untuk keberagaman aliran karya. Menutup diri sama juga dengan membatasi komunikasi. Mereka yang membatasi komunikasi, menurut International Classification of Disease edisi ke-10 dan Diagnostic Statistical Manual edisi ke-4 (WHO), cenderung pada akhirnya akan jatuh pada autisme. Padang, 24 Februari 2011

kebaruan dan sekaligus tidak bermutu. Sebutir garam, sehelai benang, dan sebuah piranti dunia maya yang dikerjakan sekarang tidak lagi punya kebaruan. Begitu juga novelnovel populer yang di pasar bisa laku keras, sangat laku keras, tidak bisa dimasukkan ke kelompok novel bermutu dan baru. (Di Indonesia, juga di luarnegeri, novel-novel bermutu tidak laku-laku amat. Pemasaran novel-novel bermutu di Indonesia, juga di luar negeri, sering disubsidi pemerintah.) Betapa lagi novel-novel yang selintas baca segera diketahui kalau sang pengarang belum menguasai bahasa, belum mengerti anatomi novel, andai “anatomi” novel itu ada. Laporan-laporan jurnalistik (laporan wartawan sekarang banyak yang novelty) dan teksteks kesejarahan biarlah menjadi karya jurnalistik atau buku “sejarah” tanpa harus terbebani atau minta suaka sastra. Dan, pada akhirnya, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih atas sejumlah respons yang ditujukan terhadap laporan/esai saya “Novel Persiden Membawa Warna Baru: 30 Tahun Terakhir tak Ada Novel Bermutu Lahir dari Sumatera Barat” (Haluan, Minggu, 23 Januari 2011). Ada respons yang menarik, akademik, jeli, tajam dan kritikal tetapi, maaf, ada juga yang menggelikan dan menggurui.

Polemik Makin Bergairah Saja…

Polemik yang berawal dari tulisan Darman Moenir di ruang ini terus dilanjutkan. Kali ini, redaksi menurunkan dua tulisan. Pertama, artikel Romi Zarman menyoroti dengan kritis lima tulisan sebelumnya, termasuk tulisan awal Darman Moenir yang memicu polemik. Kedua, artikel Darman Moenir yang “mencoba” menjawab empat tulisan yang merespons tulisannya itu. Redaksi berpendapat, mungkin semua pihak yang terkait dengan perkembangan sastra, bersetuju, dialektis pemikiran seperti terus dilanjutkan. Kami terus membuka diri untuk gagasan, ide, pemikiran segar, dan kemungkinan-kemungkinan terjadinya dialog-dialog yang memberi pencerahan dan pengayaan terhadap kebudayaan secara umum. Kami tunggu tulisan berikut.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.