Haluan 24 April 2011

Page 17

Panggung

MINGGU, 24 APRIL 2011 M 20 JUMADIL AWAL 1432 H

17

LUKISAN KAMAL GUCI

Gelitik Mistis Alam Minangkabau

Oleh: Abrar Khairul Ikhirma

Pengamat Budaya dan Direktur Arkhi-Asrafery Institute Sumbar

SUATU hal keliru agaknya jika ada penilaian, lukisan-lukisan yang dihasilkan pelukis Kamal Guci, dalam beberapa rentang tahun terakhir, yang disajikan lewat pamerannya bertemakan keindahan alam Ranah Minangkabau. Mengapa? Sebab Kamal Guci menurut hemat saya bukan “tukang potret” menampilkan yang indah-indah atau sesuatu menjadi indah, mempesona dan menipu “kasat mata” kita dengan tujuan “menghibur.” Karenanya, Kamal Guci akan lebih baik dikatakan, sebagai seorang pelukis yang sedang berusaha “melukiskan” kerapuhan budaya yang dibiarkan luput begitu saja, oleh generasi berikut dari pergerakan zaman. Melalui bidang-bidang kanvas dari berbagai sudut dan objek yang dipilihnya. Lazimnya pada lukisanlukisan berobjek pemandangan alam selalu diidentikkan banyak orang hanya sekadar menggambarkan keindahan semata. Tidak membawa gaga-

san kreatif dan mengandung pemaknaan sebagai suatu karya seni. Hanya sebuah hasil pekerjaan dari keterampilan yang dilakukan. Kerap hal semacam itu si pembuatnya dikategorikan sebagai tukang potret ketimbang pelukis. Di dalam perihal demikian itu, Kamal Guci lolos dari sebutan tukang potret meskipun dia memanfaatkan objek pemandangan alam sebagai setting ungkapan kegelisahannya menjadi karya lukis di setiap bidang kanvasnya. Terbukti sejak dari pameran tunggal pertamanya tahun 1996 silam di Taman Budaya Sumbar, sampai saat sekarang, lukisanlukisan yang dihasilkannya senantiasa konsisten dengan pilihan yang memang menjadi

obsesinya sejak lama. Menyimpan Kekuatan Wakidi Bila sudah menyangkut lukisan berobjekkan alam Ranah Minangkabau, selalu saja banyak pelukis-pelukis yang berasal dari Minang terjebak untuk mengikuti gaya pelukis almarhum Wakidi. Bahkan terang-terangan “menyediakan diri” sebagai epigon. Mungkin karena itu juga, mereka yang “melabelkan” pengamat atau kritikus seni di daerah menjadi terjebak juga, bila lukisan dan pelukis tersebut menjadi pembicaraan senilukis, otomatis nama Wakidi dijadikannya sebagai patron dalam mengu-

Salah satu lukisan Kamal Guci mengesankan ironik kehidupan budaya Minangkabau

kur karya si pelukisnya. Karya-karya Kamal Guci, rasanya tidak relevan disebut pengikut Wakidi, pelukis Minang yang legendaris itu. Apalagi dipersandingkan pula. Karena memang dia tidak sekadar mengambil objek keindahan alam Minangkabau sebagai daya tarik pada setiap karya-karyanya. Walaupun Wakidi dan Kamal Guci samasama pelukis dari Minang dan sama-sama mengambil objek alam Ranah Minang. Selalu keindahan itu bagi Kamal Guci sudah terlumatkan untuk menampilkan persoalan “kerapuhan” budaya di negerinya. Disimbolkannya melalui bangunan-bangunan Rumah Gadang yang dibiarkan melapuk karena ditinggal pergi oleh penghuninya. Rumah Gadang—sebutan rumah kaum bagi masyarakat Minangkabau—atau rumah biasa tak semata hanya sekadar bangunan untuk tempat tinggal bagi manusia saja. Di sanalah dimulai proses kehidupan, dinamika kekerabatan, membentuk manusia sampai pada lingkaran sosial yang lebih luas, seterusnya interaksinya pada lingkungan dimana dia hidup. Artinya, rumah bagi manusia secara universal adalah simbol yang tidak bisa dilihat pada fungsi fisik belaka tapi juga hal-hal ikatan filosofi dalam membentuk manusia dengan lingkungannya. Khususnya bagi masyarakat Minangkabau, keberadaan rumah gadang sangatlah berperan besar ke masa depan. Adat istiadat, kekerabatan, sosial dan keagamaan, menjadikan padu sebagai alam kebudayaan tradisi yang mengental. Jika titik keberangkatan itu kini ditinggal, dibiarkan melapuk dan merapuh, sejatinya roboh dimakan zaman, apakah bukan tidak mungkin “kebobrokan” yang telah kita temui hari ini di berbagai lini, tidakkah buah ketidak-pedulian kita akan akar dimana sebuah pohon bisa

tumbuh dan tegak berdiri menjalani hidupnya? Rumah itu tidak saja ditinggal melapuk, tetumbuhan liar sangat leluasa menjalarinya dan hidup subur di sana sini, seakan menjelaskan telah menutupi sejarah yang pernah terjadi di bangunan itu dari masa ke masa. Bisa juga perlambang, Kamal Guci mengkritik generasi berikutnya hanya dapat tumbuh di atas ketidakpeduliannya dan menikmati hidup pada kehancuran akar dimana dia dapat menjadi ada saat ini, atau selanjutnya. Tidak hanya rumah-rumah bergonjong yang tua dan merapuh jadi olahan kreatif, pelukis Kamal Guci juga meneruskan gugatan “budaya” seperti dicetuskan oleh almarhum sastrawan AA Navis lewat cerpen fenomenalnya Robohnya Surau Kami. Surau-surau bangunan kayu itu telah sunyi, melapuk, kehilangan fungsi dan perhatian. Tentu saja hal itu tidak perkara surau sebagaimana bangunan saja, kita diingatkan dengan ironisnya, dimana nilainilai keberagamaan disentuh melalui simbol bagi masyarakat Minangkabau itu. Ketekunan Kamal Guci setelah konsisten menemukan jati diri proses kreatifnya, dari pameran pertamanya sampai sekarang sangat terlihat perkembangan yang luarbiasa pada lukisan-lukisannya. Jika dulu dia mengungkapkan dengan warna yang keras dan totolan mata kuas kasar, kini kegarangan itu berobah menuju sentuhan yang lebih menggugah ke permenungan. Objek-objek yang digarap dipresentasikan pada tekhnik yang lebih bermakna dalam. Tidak sekadar gambar indah tapi menyadarkan, di balik keindahan itu tersimpan banyak hal yang harus segera kita arifi. Kematangan proses kreatifnya di objek lukisan, secara tidak langsung Kamal Guci sudah memposisikan dirinya bahwa dia bukan pelukis pe-

Kamal Guci di studio lukisnya di Kayutanam.

ARKHI

muja keindahan tapi bagaikan seorang “tetua” yang mengingatkan kebertuahan nilai-nilai kebudayaan, nilai-nilai hidup, yang membuat manusia berharga di kehidupannya. Getaran alam mistis Minangkabau yang sulit kita temukan pada alam nyata, seakan bangkit dan hidup di kanvas-kanvas Kamal Guci kembali. Hal itulah yang membedakan Kamal Guci dengan pelukis-pelukis daerah Sumbar yang kini banyak hadir di pameran-pameran daerah setempat. Alam mistis Minangkabau dapat dicuatkan alumni SMSR Padang ini meskipun ia bermain dengan hanya sedikit sapuan kuas cat minyak dan lebih banyak mentotolkan mata kuasnya, yang membutuhkan proses kerja tak spontan dan lebih kepada penghayatannya yang menuntut ketekunan ekstra. Sehingga untuk menyelesaikan satu buah lukisan, dia harus membutuhkan waktu lama. Bukan dia tidak produktif dalam berkarya namun sebagaimana pernah diungkapkannya, untuk saat ini dia ingin lebih selektif dan matang daya kreatifnya dalam membahasakan kearifan lokal yang seringkali dibiarkan melapuk, merapuh dan roboh. Mengamati proses kreatif Kamal Guci dan lukisanlukisannya

sampai hari ini, termasuk dengan 40 buah lukisan yang akan ditampilkannya di Pameran Tunggalnya 21-30 Juni 2011 mendatang, dalam rangka memenuhi undangan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, saya berani mengatakan dia adalah pelukis paling eksis atas karya dan berkarya di daerah ini. Pameran atau tidak, hampir sepanjang hidupnya ia menekuni dunia yang sudah dipilihnya tanpa harus bekerja sambilan. Dan setahun terakhir ini ia telah memiliki studio lukis sendiri di kampung halamannya yang jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Dimana Jakarta pernah dijadikan salah satu sebagai daerah perantauannya dan hidup di Pasar Seni Jaya Ancol Jakarta bersama seniman-seniman lukis Indonesia. Walaupun Kamal Guci mengambil setting kedaerahan, persoalan yang dikemukakannya sesungguhnya bukanlah masalah lokal. Kebetulan saja ia terlahir dan hidup dalam kebudayaan Minangkabau. Masalah kerapuhan dan kerobohan kebudayaan di mata kemajuan berbungkus moderen dan globalisasi, adalah persoalan kita bersama. Menggelitik pemegang kebijakan dan manusia itu sendiri. Tugas seniman semacam yang dikerjakan Kamal Guci pada lukisanlukisannya ini pemberi isyarat untuk segera kita arifi. Kayutanam 15 April 2011

menafsirkan “Siapa” dari jiwa atau ruh yang menciptakan manusia. Sebagai sebuah alasan, banyak yang mengkritik, mempertentangkan substansialitas jiwa, pembendaan kesadaran atau objektivikasi. Dan seseorang masih menentukan secara ontologi “Siapa” sebagai subjek yang bereksistensi. Istilah spirit, spiritual atau spiritualitas dalam hal ini mempengaruhi subjektivikasi terhadap substansi eksistensi itu sendiri. Hal ketiga yang dikolaborasikan dalam karya ini adalah iriangan musik. Musik ritual Mentawai dengan saluang Pauah Minangkabau melahirkan bunyi yang spesifik. Kadangkala ia berbunyi menyedihkan, adakalanya ia berbunyi pemberontakan. Musik yang dominan dengan warna vokal laki-laki berbenturan dengan gerak tari yang semuanya perempuan.

Semuanya merupakan ikonitas pada tataran makna. Musik merupakan salah satu media bahasa manusia, saat ini mulai menggeser subjek masalah sebelumnya yaitu alam (kosmosentris), agama (teosentris), dan manusia (antroposentris). Musik dalam karya ini adalah upaya mencapai totalitas karya yang menyatukan tiga unsur kehidupan (alam, manusia, dan agama). Spirit mungkin bisa bermakna “semangat”, akan tetapi spirit bisa juga mewakili kata “spiritual” atau “spiritualitas”. Semua kata itu mengarah pada persoalan jiwa manusia yang selalu resah mencari pemaknaan diri atau mencari cara untuk menyatu dengan alam dan Tuhan sebagai rujukan akhirnya. Penulis adalah dosen teater ISI Padangpanjang

MENJELANG PERTUNJUKAN TARI “NAGARI ITIAK PATAH”

Spirit Kolaborasi Segala Sisi

Oleh: Sahrul N MANUSIA dilahirkan selalu berhadapan dengan dua sisi yang berseberangan, ada kehidupan ada kematian, ada kebaikan ada keburukan, memilih dan tidak memilih, dan sebagainya. Tetapi bagaimana kalau dua hal yang berseberangan tersebut disatukan sehingga ia melahirkan hal yang berbeda. Tentunya mewujudkan hal tersebut merupakan sebuah kemustahilan. Kondisi ini akan berbeda dengan dunia seni pertunjukan. Dalam pertunjukan kesenian hal yang saling bertentangan memungkinkan untuk diwujudkan sebagai buah dari proses kreatifitas. Seni profan bisa dikolaborasikan dengan seni ritual, ekspresi dramatikal bisa dikomposisikan dengan ekspresi estetis, dan sebagainya, sehingga ia berbentuk tersendiri. Hal inilah yang dilakukan oleh Syahril Alek, koreografer yang menciptakan tari “Nagari Itiak Patah”. Karya ini akan dipertunjukan di Solo dalam kegiatan Solo Menari 24 Jam pada tanggal 28 April 2011 mendatang. Hal pertama yang dikolaborasikan koreografer dalam karya ini adalah spirit tradisi bernuansa ritual dengan spirit

modernitas yang bernuansa profan. Kedua hal ini memiliki orientasi yang berbeda dalam perwujudannya. Seni ritual lebih fokus pada hubungan manusia dengan Tuhannya, sementara seni profan hanya berada dalam tataran hubungan manusia dengan manusia. Seni ritual yang diadopsi oleh koreografer adalah seni Mentawai dengan gerak minimalis dan seni profan yang digunakan adalah seni Minangkabau yang atraktif. Spirit keduanyanya jauh berbeda. Orang Mentawai tidak mempunyai gambaran jelas tentang asal mula dunia tempat mereka hidup. Walaupun mereka mengenal beraneka ragam kisah mitologis yang kadang-kadang sebagai tema utama, dan kadang-kadang dengan sepintas lalu bercerita tentang terciptanya jagat raya, perihal tentang asal mula berbagai gejala atau mengenai riwayat manusia, namun dari segala mitos tidak dapat dijabarkan secara menyeluruh karena ada sebagian penting dan yang sepele dan sebagian lainnya dibiarkan kabur. Namun hal ini bagi orang Mentawai tidak membuat gangguan yang berarti. Mitos-mitos tersebut bagi orang Menta-

wai bukanlah dongeng tetapi betul-betul riwayat yang pernah terjadi. Sementara di Minangkabau seni ritual yang masih ada sampai saat ini diantaranya adalah dikie dan ratik. Tetapi wujudnya tidak sama dengan ritual Mentawai yang memakai konsep keagamaan nenek moyang. Kesenian dikie dan ratik lebih berorientasi pada menyebut dan menganggungkan asama Allah dalam Islam. Ratik Tulak Bala misalnya merupakan usaha manusia menganggungkan Allah supaya manusia dijauhkan dari bencana. Bencana tersebut biasanya disebabkan oleh ulah manusia yang menghancurkan keharmonisan. Di Mentawai tidak dikenal fungsi khusus sebagai seniman. Karena segala bentuk seni selalu dikaitkan dengan dunia ritual keagamaan yang semua orang harus bisa melakukannya. Barang-barang yang ditampikan seperti ukiran kebanyakan dibuat sendiri oleh pemiliknya dalam bahasa orang Mentawai disebut sibakkat yang berarti pencipta. Adakalanya mereka butuh bantuan orang lain tetapi sifatnya hubungan kerja yang dibayar dalam bentuk makanmakan bersama. Seniman-seniman tradisi di Mentawai dalam berkreasi akan men-

jadi tokoh-tokoh yang eksistensialis (seperti rimata dan sikerei). Dasar filsafat dan pandangan hidup yang horizontal dan lugu. Namun dalam keluguan itu akan ada semacam keangkuhan yang fanatik terhadap dirinya. Umumnya kesenian tradisional dalam memainkan perannya sangat meyakini akan keberadaan tokoh yang sedang dimainkan (karena terkait erat dengan ritual). Sikap menyesuaikan diri dengan peran dan lakon adalah pilihan yang tepat bagi seniman tradisional, bukan mengosongkan diri untuk mengolah kesadaran dan menjadi apa saja. Berperan bagi seniman kesenian tradisional adalah bertolak dari sikap yang diolah dari unsurunsur luar. Spirit adalah kata pertama yang meninggalkan jejak makna dalam lorong kegelapan ontologis. Kata itu menghubungkan kembali sebuah rangkaian makna, dengan gambaran yang sama. Menjadi oposisi terhadap benda, pada determinasi metafisikal tentang kebendaan di atas subjek yang berbeda-beda dan subjektivitas subjek. Hal ini merupakan serangkaian istilah jiwa, kesadaran, spirit, dan diri. Spirit bukan benda, spirit bukan tubuh, dan hal ini tentunya merupakan determinasi subjektif dari spirit. Bahwa semua pembatasan yang tidak dilibatkan, dan seseorang Foto Wendy

Tarian “Nagari Itiak Patah” karya koreografer Syahril Alek.

bisa dengan bebas mengatakan bahwa ini adalah analisis eksistensial. “Nagari Itiak Patah” menciptakan sebuah ruang kolaborasi unik antara gerak minimalis Mentawai yang ekpresinya lebih dramatikal dengan gerak silat Minangkabau yang atraktif dengan ekspresi estetis modern. Pencapaian pencarian ini melahirkan penyatuan yang tidak terpisah-pisah. Bagi orang Mentawai dalam menjaga hubungan sesama mereka dan hubungan dengan alam selalu melakukan upacara-upacara. Kerusakan hubungan mereka (baik dengan alam maupun dengan sesama mereka) merupakan bukti bahwa mereka juga tidak membina hubungan baik dengan roh pencipta. Semua benda yang ada sebutannya (nama) memiliki jiwa atau roh yang memiliki permainanpermainan (umat simagere). Hal kedua yang dikolaborasikan koreografer adalah tematik karya. Kedudukan perempuan di Minangkabau yang dibelenggu oleh tradisi yang jelas-jelas berhubungan dengan duniawi disatukan dengan trance Mentawai yang masuk pada alam kosmos dan meninggalkan hal-hal yang duniawi. Karya ini bicara tentang perempuan dengan ikatan tradisi yang sulit untuk dilepaskan. Mereka dipaksa masuk pada alam ketidaksadaran dengan konsep budaya matrilini. Ninabobo budaya ini menjadikan mereka terlena dalam ikatan yang sebenarnya juga merugikan mereka. Ketidaksadaran ini diwujudkan dengan konsep trance sehingga mereka berada dalam posisi terbelenggu spiritualitas. Spirit dalam kata ini merupakan ruh dan jiwa dan upaya pencarian eksistensial. Langkah manusia terdesak oleh batasan pertanyaan yang “Ada”, guna


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Haluan 24 April 2011 by Harian Haluan - Issuu