Haluan 23 Desember 2012

Page 12

12

MINGGU, 23 DESEMBER 2012 M/ 10 SHAFAR 1434 H

LAPORAN UTAMA 64 TAHUN SILAM DI RANAH MINANG

Sosialisasikan PDRI di Tengah Masyarakat WAKIL Gubernur Sumbar Muslim Kasim mengatakan, HBN ini hendaknya dapat lebih disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat. Sebab masih banyak masyarakat yang belum memahaminya. Dalam HBN, ada makna besar yang harus dipahami segenap masyarakat Indonesia. Semangat Bela Negara itu tak hanya melalui kekuatan militer tetapi juga dapat diwujudkan dalam bentuk lain, yaitu kekuatan nir militer atau soft power, berupa perjuangan politik dan diplomasi seperti yang terjadi pada 19 Desember 1948. Dan diharapkan dengan keluarnya SE Menteri Pertahanan RI tanggal 6 Desember 2012, yang ditujukan kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur seluruh Indonesia, Pangdam seluruh Indonesia, Kapolda seluruh Indonesia dan para Bupati/Walikota di tanah air, peringatan Hari Bela Negara akan semakin semarak. “Khusus untuk di Sumbar, kami sudah instruksikan seluruh Bupati/Walikota di Sumbar agar melaksanakan peringatan HBN di wilayah masing-masing. Upacara HBN harus dilaksanakan setiap tingkatan sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA dan setiap organisasi pemerintah, swasta, BUMN, BUMD dan organisasi masyarakat,” kata Muslim Kasim. (h/*)

PDRI Penyelamat NKRI Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumbar merupakan bukti sejarah bahwasanya Ranah Minang pernah menjadi pusat pemerintahan. Perannya sangat besar yakni penyambung nyawa kemerdekaan bangsa. Laporan: DEVIE DIANY & ZULKIFLI

Tujuh Bulan Pemerintahan RI di Sumbar PEMERINTAH Darurat Republik Indonesia (PDRI) berlangsung sekitar 7 bulan (19481949) di Sumbar. Ini berlangsung berkaitan dengan sejarah perjuangan kemerdekaan melawan Belanda, saat rejim kolonial melancarkan agresi militernya yang kedua bulan Desember 1948. Akibatnya, nyaris fatal. Mengapa? Bukan saja karena ibukota RI (Yogyakarta), jatuh ke tangan Belanda, tetapi pucuk pimpinan RI (Sukarno-Hatta) beserta sejumlah menteri ditangkap Belanda pula. Sekedar ilustrasi mutakhir, bisakah Anda, pembaca yang budiman, membayangkan apa jadinya kalau Tripoli jatuh ke tangan musuh Khadafy dan ia sendiri ditangkap! Begitulah kira-kira analoginya nasib Republik era PDRI.Maka tidak heran jika Belanda waktu itu menganggap RI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu sudah bubar, tamat riwayatanya. Namun di saat yang sangat genting itu, darurat, Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta, yang sedang berada di Bukittinggi, tampil ke depan memimpin Republik menggantikan Sukarno-Hatta. Dan Sjafruddin Parwiranegara, waktu itu sudah berada di sana. Beliau bukan saja mendapat mandat untuk memimpin RI dari Sukarno-Hatta yang ditawan Belanda, tetapi Panglima Jendral Sudirman, yang bergerilya di hutan-hutan di Jawa pun mematuhi perintah dari PDRI yang berpusat di Sumatera. Mr. Sjafruddin dinilai layak disebut Presiden karena pernah menjadi Ketua/Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948. Mr. Sjafruddin, yang tengah berada di Sumatera Barat (Sumbar), memproklamirkan berdirinya PDRI untuk menyelamatkan nafas NKRI yang baru berumur 3 tahun. Mr. Sjafruddinjuga yang mengupayakan perjanjian Roem-Royen, yang mengakhiri pendudukan Belanda sekaligus membebaskan SoekarnoHatta, diadakan sidang antara PDRI dengan kedua tokoh proklamasi itu pada 13 Juli 1949. PDRI menyerahkan mandatnya kepada pemerintah RI hari itu juga. Selama hampir 7 bulan Mr. Sjafruddin Prawiranegara memegang jabatan sebagai Ketua/Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika RI jatuh ke tangan Belanda tahun 1948. Sebagai ketua/presiden RI di masa darurat, Sjafruddin memimpin perjuangan RI dari Bukittinggi, kemudian berpindah-pindah tempat ke pedalaman Sumatera Barat. Akhirnya, PDRI dengan dukungan internasional, memaksa Belanda membebaskan pemimpin RI yang ditawan dan mengembalikan mereka ke ibukota Yogya pada pertengahan Juli 1949. (Episode ini dalam sejarah bangsa dikenal dengan “Yogya Kembali”). Sejak itu rangkaian perundingan menuju pengakuan kedaulatan RI tinggal menunggu waktu. (h/mestika zed)

TUGU Peringatan Basis PDRI 1949 di Bidar Alam, dijapret Haluan.

WAGUB SUMBAR MUSLIM KASIM

Tingkatkan Perhatian untuk Daerah PDRI MONUMEN setinggi 30 meter, berukuran 40x40 m di Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima puluh Kota merupakan salah satu perhatian serius pemerintah mengenang PDRI. Ke depan, daerah dan jalur gerilya PDRI juga akan menjadi bangunan sejarah berikutnya di Sumbar, yang menandai perjuangan rakyat Indonesia. Rencananya, daerah lain yang menjadi basis pergerakan rakyat selama PDRI juga akan dibangun tugu, yaitu Kota Bukittinggi sebagai ibukota PDRI, Halaman sebagai lokasi pembentukan Kabinet PDRI, Bidar Alam sebagai lokasi merencanakan kegiatan PDRI. Sedangkan rumah yang pernah ditempati Sjarifudin Prawiranegara untuk istirahat di Sumpur Kudus juga akan diperbaiki. “Monumen ini nantinya akan berbentuk bangunan modern. Juga dilengkapi lift. Lantai dasarnya

akan dihiasai dengan relief perjuangan PDRI di Sumatera Barat,” kata Wakil Gubernur Sumbar, Muslim Kasim didampingi Kepala Biro Bina Sosial Setdaprov Sumbar yang juga Wakil Ketua Panitia Peringatan Hari Bela Negara 2012 Jefrinal Arifin, dan Sekretaris Panitia Mulyadi. Selain monumen, di tanah seluas 20 hektar ini juga dibangun perpustakaan, masjid, ruang serbaguna dan taman untuk menarik minat masyarakat berkunjung. Bahkan untuk jangka panjang juga akan dibangun sebuah universitas. “Yang tidak kalah pentingnya, juga direncanakan pembangunan Universitas Bela Negara di kawasan tersebut,” kata Jefrinal. Agar monument ini tidak menjadi bangunan bersejarah yang tidak diketahui orang, juga dibangun jalan lingkar di sekitar kawasan untuk memudahkan akses dari daerah tetangga. Dengan demikian, jarak

tempuh dari Bukittinggi ke Koto Tinggi bisa menjadi 36 km. sebelumnya, bisa mencapai 50 km. Untuk pembangunan monumen, perpustakaan, museum, masjid dan gedung serbaguna dibutuhkan dana hingga Rp267 miliar. Tahun 2012 sudah dianggarkan Kemendikbud Rp5 miliar dan tahun 2013 ditambah lagi Rp20 miliar. Sedangkan Kabupaten Limapuluh Kota melakukan membebaskan lahan hingga 50 hektar, dan sudah disertifikatkan seluas 29 hektar dengan dana mencapai Rp20 miliar. Pemprov Sumbar Provinsi juga mengalokasikan dana Rp350 juta untuk pendampingan dan biaya operasional. Sedangkan untuk pembangunan jalan lingkar dialokasikan lagi dana melalui Dinas Prasarana Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman sebesar Rp5 miliar. Sebagian besar jalan tersebut sudah dikerjakan dan hampir selesai. (h/*)

Radio PDRI Bidar Alam Tinggal Kenangan Laporan: ICOL DIANTO TIDAK jauh dari rumah Jama di Bidar Alam, salah satu rumah yang disingahi pasukan gerliya PDRI, berseberangan jalan sekitar 50 meter, terdapat Surau Bulian. Di surau itu dipasang Pemancar Radio AURI sebagai alat komunikasi utama PDRI di Bidar Alam tahun 1949 dengan pejuang lain di Indonesia dan luar negeri. Tim operasional sebanyak 5 orang dan dipimpin Dick Tamimi. Mereka itu adalah Opsir Muda Dick Tamimi, Ops Muda Udara III Umar Said Noor, Serma Udara Kusnadi, Sersan Udara Rr. Udojo, Kopral Udara Zainal Abidin. “Melalui radio itu, Sjafruddin berhubungan dengan pusat PDRI

di Kototinggi serta anggota-anggota PDRI di Jawa dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyampaikan radiogram PDRI hingga ke luar negeri,” ujar Syamsurizaldi salah seorang pemakalah dalam seminar nasional yang diselenggarakan Pemkab Solsel. Ketika pejuang PDRI bergerilya, dua stasiun Radio AURI turut dibawa bersama rombongan. Namun stasiun radio AURI pimpinan Lahukay saat tiba di Halaban tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan oleh Belanda. Stasiun radio AURI dibawah pimpinan Tamimi diserahkan kepada PDRI (Sjafruddin Parwiranegara) untuk melayani komunikasi radio rombongan yang tengah bergerilya. Stasiun radio itu ikut serta bergerilya hingga ke tempat pengungsian

di Bidar Alam. Radio PDRI yang turut mengawal perjalanan perjuangan PDRI, akhirnya menjelma menjadi Radio Republik Indonesia stasiun Bukittinggi. Radio yang penuh dengan sejarah dan berperan penting dalam menjalin komunikasi antar daerah di Indonesia. Radio yang turut berjuang menjaga keutuhan NKRI. Radio yang mengumandangkan kepada dunia bahwa NKRI masih tetap berdiri teguh meski para pemimpinnya ditahan. Stasiun radio yang patut diberi label radio perjuangan. dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan demi tujuan memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat. Sayangnya, radio PDRI di Bidar Alam hanya tinggal nama belaka. (h/)

NAGARI BIDAR ALAM SOLOK SELATAN

Daerah Perjuangan PDRI yang Memprihatinkan Laporan: ICOL DIANTO NAGARI Bidar Alam di Kabupaten Solok Selatan merupakan salah satu jalur perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Darurat pastinya sudah saat genting kelangsungan pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu pula, Bidar Alam merupakan mata rantai sejarah yang mengbungkan rantai perjuangan PDRI. Namun nagari yang pernah menjadi basis persembunyian Sjafruddin Prawiranegara ini nyaris dilupakan. Dijadikannya Bidar Alam sebagai basis perjuangan berawal pengeboman pusat PDRI di Bukittinggi oleh Belanda. Untuk tetap bertahan, Sjafruddin dan kawankawan memutuskan untuk bergerilya menghindari serangan Belanda guna menyusun kekuatan. Perjalanan rom-

bongan diteruskan ke Bangkinang, Teluk Kuantan, Sungai Dareh, Bidar Alam melewati Abai Siat dan Abai Sangir. Di sini rombongan dibagi tiga dan bertemu lagi di Bidar Alam. Banyak peninggalan sejarah yang masih utuh di nagari itu. Seperti rumah Jama Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi markas I Ketua PDRI, Surau Bulian yang menjadi stasiun pemancar radio AURI yang dibawa dari Bukittinggi, serta Masjid Nurul Falah Mr Sjafruddin Prawiranegara, tugu peringatan basis PDRI Bidar Alam dan beberapa rumah penduduk yang pernah ditempati Sjafruddin Prawiranegara. Rumah Jama merupakan markas persembunyian pimpinan PDRI. Selama dalam persembunyiannya, di sinilah beberapa sidang PDRI berlangsung. Rumah Jama pernah dikunjungi menteri sosial Bakhtiar Chamsyah. Kunju-

ngan Mensos sekaligus menyerahkan bantuan dana pemeliharaan rumah bersejarah tersebut. Kini kondisi rumah kurang terurus, pagar pengaman bangunan bersejarah telah raib. Taman di sekitar rumah juga kurang mendapat perhatian, bahkan plang nama bangunan bersejarah itu menggunakan ikatan tali. Rumah PDRI merupakan saksi perjuangan perlawanan Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan negara Republik Indonesia dari cengkeraman Penjajahan Belanda. “Rumah PDRI ini digunakan sebagai Pos Keamanan pada waktu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang pernah menjadi tempat berlangsungnya sidang kabinet PDRI dari Januari sampai April 1949,” ujar Hasan, Ketua Veteran Solok Selatan. Sementara Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pe-

RADIO UARI pimpinan tamimi, pusat komunikasi utama PDRI Di Bidar Alam, dijapret Haluan. muda dan Olahraga Natsuwarman, Rumah PDRI terletak di Nagari Bidar Alam Kecamatan Sangir Jujuan, berjarak sekira 27 KM dari ibukota kabupaten Padang Aro. Bila dikembangkan, Rumah PDRI

dapat dijadikan tempat wisata sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa merubah corak lama bangunan itu. Namun lokasi yang sempit kurang mendukung pengembangan wisata. (h/*)

Dalam artian, jika PDRI tak ada, bukan tak mungkin pemerintah RI masih bisa terus berlangsung saat itu. Lapangan Udara Gadut serta pemancar radio di Bukittinggi merupakan saksi sejarah terselenggaranya PDRI di Sumbar. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) terbentuk pada tanggal 19 Desember 1948 dalam mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hari bersejarah itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Bela Negara (HBN) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Keppres Nomor 28 Tahun 2006. Perjuangan PDRI identik dengan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara yang menjadi Presiden PDRI. Pejuang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011 ini pernah tinggal di Nagari Pagadih, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam lebih kurang tiga bulan pada tahun 1949. Walau demikian, Nagari Pagadih yang telah ada sejak tahun 1949 itu, dan merupakan salah satu tempat persembunyian Pahlawan Sjafroeddin Prawiranegara, ternyata hingga sekarang tidak banyak mengalami perubahan. Nagari tersebut masih seperti nagari pada 60 tahun yang lalu. Masih alami dan belum banyak mengalami perkembangan. Mengusik titik balik dari PDRI yang dimulai 19 Desember 1948 tersebut, ternyata peran besarnya sebagai penyambung nyawa kemerdekaan bangsa tak sebesar perhatian pemerintah mengenang masa bersejarah itu. Gaung PDRI di pusat juga tak sebesar momen bersejarah lainnya, seperti Serangan 1

Maret dan peritiswa bersejarah lainnya. Begitu juga perhatian dan antusias pemerintah daerah Sumbar dalam mengenang PDRI, serta pihak terkait lainnya seperti Telkom dengan keberedaan pemancar radio yang sangat-sangat penting sebagai alat komunikasi waktu itu. Mengenang begitu besarnya peran PDRI dalam sejarah perjuangan bangsa, sadah sangat-sangat pantas PDRI di Ranah Minang “dimerdekakan” kembali. Merdeka maksudnya yaitu meningkatkan sosialisasi tentang peran besar PDRI ini dalam kelangsungan kemerdekaan RI. Sehingga, tak hanya di Sumbar saja PDRI diketahui masyarakat dan generasi muda sekarang, namun juga secara nasional. Seperti halnya momentum sejarah lainnya yang diperingati setiap tahun sesuai tanggal kejadiannya. Begitu juga dengan bukti sejarah seperti nagari-nagari yang pernah menjadi basis PDRI dan jalur geriliya yang pernah dilewati pejuang PDRI, serta bukti lainnya seperti alat pemancar radio yang berperan penting untuk berkomunikasi waktu itu. Setelah 64 tahun peristiwa PDRI, tepatnya sejak 19 Desember 1948 silam, nagari dan bukti sejarah perjuangan PDRI nyaris terlupakan. Banyak nagari geriliya yang dilewati kondisinya memprihatinkan. Begitu juga alat-alat pemancar radio yang hanya tersimpan di Museum Bukittinggi, tanpa ada perhatian dari PT Telkom. Bahkan di Bidar Alam Solek Selatan, rumah-rumah saksi sejarah dan punya potensi wisata itu kondisinya memperihatinkan. Plang nama sejarah PDRI yang pernah dipasang melalui bantuan Mensos beberapa waktu lalu juga tak terurus, sehingga sekarang nyaris copot. (h/*)

PDRI Diperingati di Seluruh Nusantara SEBAGAI wujud kepedulian akan begitu besarnya peran PDRI di Ranah Minang, pemerintah pusat mulai meningkatkan perhatian dengan membangun Tugu Perjuangan PDRI di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota sebagai nagari yang menjadi basis PDRI waktu itu. Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro pun mengeluarkan Surat Edaran No.SE/84/M/XII/2012 tanggal 6 Desember 2012, yang ditujukan kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur seluruh Indonesia, Pangdam seluruh Indonesia, Kapolda seluruh Indonesia dan para Bupati/Walikota di tanah air agar melaksanakan peringatan Hari Bela Negara setiap tanggal 19 Desember. Sedangkan bentuk kegiatan yang dilaksanakan, disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta anggaran yang dimiliki masingmasing instansi, seperti upacara bendera/apel bersama, olah raga, kepanduan, bakti sosial, kerja bakti membersihkan lingkungan, gelar seni budaya dan lainnya. Mayor Jendral Suwarno,SIP,MSc bertindak sebagai Inspektur Upacara Peringatan Hari Bela Negara di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, Rabu (19/12). Perwakilan masing-masing kementerian terkait juga terlihat hadir, diantaranya Dirjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri Drs.A.Tanribali Lamo,SH, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Hukum, Politik dan Antarlembaga Suhatmansyah, Ketua Front Bela Negara (FBN) Laksamada Muda Purnawirawan Prof Dr Setio Hernowo, Dr.Suhatmansyah, Dirjen Bela Negara Kemenhan Laksamana Pertama Ken Chaidian, Kasubdit Implementasi Kebijakan, Sri Handoko Taruna,Msi. Sedangkan rombongan >> Editor : David Ramadian

Pemprov Sumbar dipimpin Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim, Kepala Kesbangpol Sumbar Irvan Khairul Ananda, Staf Ahli Surya Budhi dan sejumlah pejabat lainnya. Sebagai tuan rumah, hadir Bupati Limapuluh Kota Alis Marajo bersama unsur Muspida setempat. Dalam amanatnya, Mayjen Suwarno membacakan sambutan Menteri Pertahanan RI yang menyebutkan, pada 19 Desember 1948, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatera Barat. Kala itu, NKRI yang baru 3 tahun memproklamasikan kemerdekaannya nyaris berakhir. “Belanda kembali melakukan agresi militer yang kedua dan menguasai ibukota negara, Yogyakarta. Tak hanya itu Belanda menahan Presiden, Wakil Presiden dan sejumlah menteri Pemerintahan RI. Akibatnya pemerintahan yang sah di Yoyakarta tidak berjalan,” katanya. Dalam kondisi kritis beberapa saat sebelum penangkapan, para founding father telah mengambil keputusan cerdas dengan mengeluarkan surat mandat untuk membentuk PDRI kepada Menteri Kemakmuran Mr.Sjarifuddin Prawiranegara yang sedang bertugas di Sumbar. “Mr.Sjarifuddin Prawiranegara berinisiatif membentuk PDRI guna menyelamatkan kelangsungan hidup NKRI, sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa NKRI masih eksis, walau pun surat mandat belum sempat diterima karena kesulitan komunikasi,” katanya. Menhan melalui Majen Suwarno juga mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk senantiasa menjaga nilai-nilai Bela Negara dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk menjadikan kesadaran Bela Negara sebagai gerakan nasional. (h/*) >> Penata Halaman : Syahrizal


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.