Haluan 23 September 2012

Page 5

L A P O R A N U TA M A

MINGGU, 23 SEPTEMBER 2012 M 7 DZULQAEDAH 1433 H

5

Memetik Hikmah dari Gempa yang Luar Biasa Laporan: Miazuddin Saat itu, Rabu, 30 September 2009. Sejak pagi suasana di ibu Kabupaten Agam, Lubuk Basung tenang-tenang saja. Para pegawai di kantor bupati dan rekan wartawan yang sibuk mengolah berita di TI Agam Media Center (AMC), tidak menyangka kalau hari itu merupakan hari kelabu bagi daerah mereka. Sekitar pukul 17.15 Wib, tibatiba bumi bergetar. Getaran kuat itu membuat perangkat komputer di atas meja bagaikan menari-nari. Bunyi gemeretak mengejutkan para wartawan, dan petugas AMC. Tibatiba ada yang berteriak. “Gampogampo, capek kalua...!” Teriakan itu menyadarkan mereka yang disibuki pekerjaan rutin, berhamburan keluar ruangan. Saking kuatnya guncangan ada yang terjerembab kala mencoba berlari keluar ruangan. Bahkan petugas AMC lupa mematikan aliran listrik ke perangkat komputer. Sesampai di luar, pegawai yang masih berada di kantor, sudah berkumpul di halaman kantor bupati. Sementara petugas RSUD Lubuk Basung sibuk mengevakuasi pasien ke pekarangan yang aman. Para wartawan pun berhamburan menuju lokasi yang diinformasikan rusak akibat gempa. Ada yang menggeber sepeda motor mereka menuju Perumahan Talago Permai, dengan asumsi di sana padat bangunan dan penghuni. Melalui siaran televisi, diketahui gempa dengan kekuatan 7,9 pada skala richter telah mengguncang Sumatera Barat. Agam merupakan salah satu daerah yang mendapat guncangan cukup dahsyat. Dari laporan yang dihimpun Posko Penanggulangan Bencana Kantor Kesbangpol dan Linmas Agam ( kala itu belum ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah

di Agam), diketahui kalau 10 dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Agam menderita kerusakan akibat gempa. Kecamatan tersebut adalah Lubuk Basung, Ampek Nagari, Tanjung Mutiara, Tanjung Raya, Palembayan, Malalak, IV Koto, Matur, Palupuh, dan Banuhampu. Rumah penduduk mengalami kerusakan sekitar 31.389 unit. Kerusakan fasilitas umum sangat banyak, seperti jalan, jembatan, irigasi, sarana/prasarana pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Kerusakan tersebut sudah ada yang ditangani, dan masih banyak yang belum. Sebagai gambaran, untuk perbaikan kerusakan akibat gempa telah diusulkan bantuan ke Pusat Rp620,8 miliar yang telah dikucurkan sekitar Rp239,9 miliar. Untuk perbaikan jalan telah diusulkan bantuan dana Rp223,1 miliar, bantuan yang dikucurkan pemerintah pusat hanya Rp1,028 miliar untuk perbaikan/pembangunan jembatan yang dirusak gempa dan galodo, telah diusulkan dana ke pusat Rp72,3 miliar, yang dikabulkan hanya sekitar Rp2,9 miliar. Kerusakan pasca gempa, 30 September 2009 yang paling parah adalah timbulnya krisis kepercayaan warga korban bencana terhadap pemerintah. Mereka adalah warga Jorong Pandan, Batu Nanggai, Galapung, dan Muko Jalan, Nagari Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya. Mereka menilai pemerintah telah berlaku kurang adil terhadap korban bencana di 4 jorong tersebut. Pasalnya, kawasan pemukiman mereka dinyatakan sebagai zona merah. Akibatnya, mereka tidak menerima bantuan perbaikan bangunan rumah yang dirusak gempa dan galodo. Tak Menentu Kondisi warga yang masih menempati tempat hunian se-

mentara (selter) Jorong Kubu, Nagari Sungai Batang, semakin tidak menentu. Mereka ingin pindah ke tempat yang layak, karena di selter mereka tidak bisa berusaha mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga. Zona merah merupakan kawasan yang tidak layak sebagai tempat pemukiman. Penduduk yang semula tinggal dan berusaha di sana,kini banyak yang pindah ke tempat lain yang lebih aman, termasuk ke selter Sungai Batang. Di 4 jorong itu sekitar 501 keluarga mesti mengungsi. Kebanyakan (semula) ke selter. Namun karena kondisi selter yang tidak memungkinkan untuk tempat tinggal keluarga yang memiliki banyak anak, terpaksa mereka mencari tempat tinggal di tempat lain. Ada yang menyewa rumah penduduk, dan ada pula yang menumpang ke rumah kerabat dekatnya. Di sisi lain, selter dengan ukuran petak sekitar 4 x 3,8 meter itu tidak mampu menampung keluarga dengan banyak anak. “Kami yang tinggal di selter ini memang sudah tidak punya tempat lain lagi,Pak,” ujar Muslim Dt. Pangulu Basa (60), di dampingi istrinya, Martini (55). Tidak diperoleh jumlah pasti yang masih tinggal di selter Sungai Batang. Ada yang menyebutkan 115 keluarga masih bertahan di selter. Mereka bertahan di selter, karena tidak memiliki tempat lain, sebagai hunian alternatif. Mereka juga tidak mampu menyewa rumah, untuk tempat tinggal keluarga. Ancaman Tsunami Agam memang selalu diincar bencana. Bencana megnancam dari berbagai penjuru. Bupati Agam H. Indra Catri Dt. Malako Nan Putiah menyebutkan, bencana yang mengancam daerah itu berasal dari air, api, angin, dan tanah.

Bencana yang Menghadang Agam LAPORAN:KASRA SCORPI KONDISI topografis dan geologis daerah Agam cukup beragam dan paling lengkap di Sumatra Barat, ada laut, danau, gunung, sungai, perbukitan, lembah dan dilalui jalur patahan semangka atau patahan sumatra. Kondisi tersebut di satu sisi merupakan kekayaan dan potensi ekonomi bagi masyarakatnya, namun di sisi lain kondisi seperti itu berpotensi mendatangkan 5 jenis bencana, yaitu gempa bumi baik gempa tektonik maupun vulkanis, letusan gunung api, tsunami, rutuhan tebing dan banjir. Daerah Agam yang rentan terhadap guncangan gempa bumi vulkanis berada di sekitar gunung Marapi dan Singgalang dan daerah lain di wilayah timur agam. Pada tahun 1926 daerah tersebut pernh diguncang gempa tremor vulkanis dalam jangka waktu lama. Sementra daerah Agam yang rentan terhadap gempa tektonik adalah sekitar Ngarai Sianok yang dilewati jalur patahan sumatra, kemudian daerah kitaran pantai kecamatan Tanjung Mutiara yang berhadapan dengan pusat gempa di kitaran kepulauan Mentawai. Pada tahun 2007 gempa tektonik mengguncang Agam Timur menimbulkan kerusakan hebat, terutama pada nagari Koto Gadang dan Sungai Tanang. Bahkan tebing Ngarai Sianok mengalami keruntuhan di berbagai tempat seperti di Janjang Saribu dan Panorama Baru. Kemudian pada 30 September 2009 sebanyak 6 kecamatan di wilayah Agam Barat meliputi kecamatan Malalak, Tanjung Raya, Lubuk Basung, Palembayan, Ampek Nagari dan kecamatah Tanjung Mutiara diguncang gempa dahsyat. Ribuan rumah pada waktu itu mengalami kerusakan dan 80-an orang warga meninggal. Sampai kini rekonstruksi rumah-rumah yang rusak itu belum sepenuhnya selesai, bahkan pengucuran dana rekonstruksi tahap empat juga belum terlaksana dan masih dalam kegiatan validasi data. Sementara pada saat trauma gempa

yang dialami msyarakat belum sepenuhnya pulih, prediksi para pakar yang bersileweran mengatakan bahwa wilayah pantai barat sumatra rentan terhadap gempa besar pemicu tsunami menambah keresahan warga, terutama warga kecamatan Tanjung Mutiara yang tinggal di sepanjang 40 km lebih pantai. Menjawab keresahan warga pantai tersebut Badan Penanggulangn Bencana Daerah Agam (BPBD) telah melakukan berbagai upaya diantaranya melakukan pelatihan dan simulasi penanggulangan bencana tsunami, memasang Early Warning Sistem di Tiku berupa tower memikiki sirene yang akan memberikan aba-aba terhadap kedatangan tsunami, menyiapkan tempat ketinggian sebagai lokasi evakuasi. Menurut Kepala BPBD Agam Bambang Warsito, pemeritah telah mengusulkan kepada Badan Nasional Penanggulan Bencana untuk membangun 12 shelter penampungan korban bencana di Tiku dengan dana Rp 55 miliar, dan usul itu telah diterima, mulai tahun 2013 akan direalisir dan selesai seluruhnya tahun 2015. Kemudian juga telah diusulkan peningkatan jalur evakuasi dan gedung crisis centre di Sungai Jariang Lubuk Basung. Untuk pembangunan crisis centre itu masyarakat telah menyediakan tanah seluas 3 hektare. Crisis centre berfungsi sebagai pusat pelatihan, pertemuan, pusat logistik dan pendidikan bencana. Namun menurut tokoh masyarakat kecamatan Tanjung Mutiara Lazuardi Erman, prioritas antisipasi bencana di sepanjang Pantai Tiku seharusnya meningkatkan jalur evakuasi, karena masih banyak warga pantai yang jauh dari tempat ketinggian sementara kondisi jalannya jelek. “Yang penting diupayakan dalam jangka pendek adalah bagaimana warga di daerah terisolir pinggiran pantai mampu menjangkau daerah ketinggian dalam jangka waktu kurang dari 30 menit karena kecepatan tsunami cukup tinggi, muncul sekitar 30 menit setelah gempa besar,” kata Lazuardi.

Masyarakat Kota Padang berada di atas selter yang di bangun secara mandiri. RIVO

Pengungsi yang tinggal di penampungan di Jorong Kubu, Sungai Batang, Kecamaan Tanjung Raya, Agam. MIA Bencana yang disebabkan air, seperti banjir bandang sering melanda daerah itu. Dari laut, gelombang pasang setidaknya sudah (nyaris) menghancurkan dua jorong di Nagari Tiku V Jorong, yaitu Jorong Muaro Putiah dan Masang. Kecamatan Lubuk Basung, Tanjung Mutiara, Ampek Ngari,Canduang dan Baso sudah merasakan makan tangan banjir bandang. Api menimbulkan bencana yang sudah menelan kerugian milyaran Rupiah. Angin kencang juga sudah memporakporandakan pemukiman masyarakat di berbagai kecamatan. Antara lain, Tanjung Mutiara,

Tanjung Raya, dan Baso. Bencana tanah longsor,juga sudah tidak asing bagi warga Agam. kawasan rawan longsor antara lain Kecamtsan Tanjung Raya, Malalak, Palembayan, dan Palupuh. Khusus ancaman tsunami, kini Pemkab Agam tengah berupaya membangun tempat pengungsian sementara, jalan evakuasi, dan perlengkapan lainnya. Karena keuangan daerah selalu defisit, maka untuk pembangunan fasilitas tersebut diupayakan dengan mengajukan permohonan bantuan ke Pusat. Menurut bupati Agam, didampingi Kepala BPBD Agam, Bambang Warsito, S.Sos, M.Si,

telah disampaikan permohonan untuk membangun selter pada 12 titik di Kecamatan Tanjung Mutiara. Tanjung Mutiara merupakan satu-satunya kecamatan yang berada di pinggir laut di Kabupaten Agam. Kesiapan Pemkab Agam bersama masyarakat Tanjung Mutiara telah ditinjau langsung Kepala BNPB, Syamsul Maarif, dalam kunjungan kerjanya ke Agam, Jumat (7/9). Samsul mengaku puas. Namun ia akan menurunkan tim untuk melakukan verifikasi kelayakan pembangunan selter tersebut. Yang jelas, menurut Syamsul Maarif, selter dimaksud akan dibangun tahun anggaran 2013.

SYAFRIZALDI, PROJECT MANAGER FIELD-BUMI CERIA

Pemerintah Masih Lamban Menurut Syafrizaldi yang akrab disapa Aal Japang, untuk program pengurangan risiko risiko bencana dan perubahan iklim, pemerintah harus rencana aksi di tingkat kabupaten sekalian anggarannya. Pemerintah juga seharusnya melihat kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim bukan hanya sebatas proyek pembangunan fisik atau menghasilkan dokumen-dokumen kebijakan saja. Pemerintah harus memiliki kegiatan pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim yang nyata di tingkat masyarakat melalui latihan-latihan berkala, fasilitasi penguatan kelompok-kelompok siaga bencana dan simulasi evakuasi rutin,” kata Syafrizaldi. FIELD-Bumi Ceria adalah program yang mendukung ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana pada komunitas petani di Kabupaten Padang Pariaman. Yayasan FIELD Indonesia organisasi non-pemerintah yang berfokus pada pengembangan pertanian ekologis, konservasi keanekaragaman hayati, sumber daya alam dan penguatan masyarakat pedesaan terutama memperkuat organisasi petani. Pendekatan utama Yayasan FIELD Indonesia adalah sekolah lapangan, latihan dari petani ke petani dan riset aksi. Kegiatan ini telah dilakukan sejak tahun 1990. Berikut petikan wawancaranya dengan Haluan. Apa yang telah dila ku kan FIELD–Bumi Ceria kepada masyarakat terkait mitigasi kebencanaan, baik gempa bumi, longsoran, dan lain sebagainya? Sejak Oktober 2010 hingga saat ini, FIELd-Bumi Ceria bekerja untuk komunitas masyarakat tani di 20 nagari di Kabupaten Padang Pariaman. Dalam pelaksanaannya, program ini dimulai dengan menentukan lokasi yang akan dipilih sebagai lokasi program. Pada tahun pertama, dipilih 10 nagari dan 10 nagari berikutnya dipilih pada tahun kedua. Setelah mendapat pelatihan, pemandu lokal dibantu oleh tim dari FIELD-Bumi Ceria melaksanakan sekolah lapangan. Dalam sekolah

lapangan ini, para petani nagari juga tersedia pemandudiajak untuk menilai keren- pemandu yang memiliki ketanan yang ada di nagarinya mampuan teknis dalam pemasing-masing. Dimulai ngurangan risiko bencana dan dengan melakukan eksplorasi perubahan iklim. FIELD-Bumi Ceria juga menpengalaman pejalin kerja sama tani sa at terdengan LSM, jadi bencana, pemerintah dan melakukan peswasta untuk metaan terhamemperkuat upadap wilayah reya pengurangan ntan, menilai risiko bencana dan modal-modal perubahan iklim. yang dimiliki, Kearifan lokal menantukan camacam apa yang paian ketangmampu mendetekguhan, lalu SYAFRIZALDI si gejala-gejala menganalisa kegiatan-kegiatan apa yang alam terkait kebencanaan dapat dilakukan untuk men- itu? Di beberapa nagari, macapai ketangguhan tersebut serta pihak-pihak mana saja syarakat memiliki tandayang dapat diajak bekerja tanda tersendiri dalam mendeketksi datangnya bencana. sama. Juga didirikan Sekolah Ada yang mengatakan dari Lapangan (SL) Masyarakat kicauan burung tertentu di Tangguh Bencana di tingkat malam hari yang menginnagari yang merupakan seko- dikasikan kejadian bencana, lah lapangan yang menya- ada juga dengan melihat tukan upaya-upaya masya- gejala-gejala dini di sungai rakat dalam pengurangan dan perairan. Namun di balik itu, kearisiko bencana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. SL rifan lokal julo-julo ternyata ini menghasilkan kelompok- memberikan arti penting kelompok siaga bencana, baik dalam meningkatkan ketangdi tingkat nagari maupun guhan masyarakat. Di bebekorong. Dalam SL ini, masya- rapa nagari, masyarakat rakat diajak untuk meng- melakukan julo-julo batanam analisa keorganisasian kelom- untuk menanami lahan-lahan pok tangguh bencana dan milik peserta dengan tanaman menghasilkan rencana aksi yang dapt dipanen sewaktuuntuk menuju masyarakat waktu. Terkait dengan tangguh. kesiapan pemerintah, Selama bekerja di lapaapa sebenarnya yang ngan, FIELD-Bumi Ceria juga harus dilakukan pememelaksanakan lokakaryarintah agar risiko lokakarya multi pihak. Rangkebencanaan dan kaian lokakarya ini bertujuan korban jiwa bisa termiuntuk memperdalam pemaninamalisir jika gempa haman para pihak terkait dan tsunami benardengan upaya-upaya pengubenar terjadi? rangan risiko bencana dan perubahan iklim. Rencana aksi daerah (kaSejauh mana bupaten) untuk pengurangan keberhasilan dan risiko bencana dan perubahan capaiannya? iklim harus segera disusun dan Tercatat hampir 7.000 dianggarkan. Pemerintah juga orang sudah terjangkau oleh seharusnya melihat kegiatanprogram ini sementara hampir kegiatan pengurangan risiko 3.000 orang lainnya sudah bencana dan perubahan iklim terlatih dengan berbagai kegia- bukan hanya sebatas proyek tan pengurangan risiko ben- pembangunan fisik atau cana dan perubahan iklim. menghasilkan dokumen-doSelain itu ada sekitar 140- kumen kebijakan saja. Lebih an orang yang sudah terlatih jauh dari itu, kegiatan pedan terbiasa melakukan peng- ngurangan risiko bencana dan organisasi ditingkat masya- perubahan iklim harusnya rakat. Di masing-masing mendapat tempat yang nyata

di tingkat masyarakat melalui latihan-latihan berkala, fasilitasi penguatan kelompokkelompok siaga bencana dan simulasi evakuasi rutin. Menurut Anda apakah pemerintah telah memetakan jalur evakuasi dan penempatan selter yang akan dibangun dan sejauh mana perkembangannya? Sudah, tapi tidak detail. Belajar dari pengalaman FIELD-Bumi Ceria, mestinya jalur evakuasi disusun di masing-masing kampung/ korong. Sejauh ini, pembangunan selter untuk evakuasi bila terjadi tsunami berjalan lambat. Berapa jumlah selter yang ideal dibangun untuk satu kelurahan , misalnya? Tergantung dengan kerentanan dan sebaran penduduknya yang terancam. Bila kerentanan tinggi dan sebaran penduduknya terpencar, maka perlu upaya untuk menempatkan banyak shalter. Terkait dengan kesiapan masyarakat menghadapi kebencanaan gempa bumi dan tsunami, longsor, perubahan iklim, dan lain sebagainya sejauh mana masyarakat kita siap menghadapinya? Secara umum, masyarakat belum siap. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejadi beberapa kali gempa pasca gempa 2009 dimana masih banyak kesimpangsiuran informasi, jalur evakuasi yang tidak steril dari kendaraan, kecelakaan berkendara dan lainnya. Kasus yang paling baru adalah kejadian banjir bandang di Kota Padang yang terjadi 24 Juli 2012. Dari kejadian tersebut, mestinya pemerintah bertindak cepat untuk menghindari kejadian berikutnya. Namun kelambatan tindakan itu akhirnya memakan korban 4 orang meninggal dunia pada banjir bandang berikutnya (12 September 2012). Seharusnya, waktu jeda antara kejadian 1 dan kejadian 2 memberikan peluang untuk bertindak lebih cepat tanpa harus menunggu korban jiwa. (Pewawancara: Naz)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.