Haluan 20 Maret 2011

Page 14

14 ESAI

Kultur

MINGGU, 20 MARET 2011 M / 15 RABIUL AKHIR 1432 H

Lokalitas dalam Lokalitas Oleh: Raudal Tanjung Banua

Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta dan Redaktur Jurnal Cerpen Indonesia

P

ENGHORMATAN terhadap khazanah lokal, tampaknya tetap relevan sebagai wacana dan kerjakerja kebudayaan ke depan. Maklumlah, kita sedang merayakan otonomi daerah pasca era sentralistik yang menyuguhkan dominasi tema-tema “Nasional”. Di sisi lain, realitas “dunia tanpa batas” memang dirasa kian familiar, namun ongkosnya mahal: redupnya nilai-nilai lokal. Tapi di atas itu semua, dalam konteks kesenian, khususnya kesusasteraan, alasan kreatif lebih masuk akal—lokalitas sebagai sumber penciptaan! Ya, di pusaran inilah sastra ambil bagian. Bukan sesuatu yang sertamerta jika dikatakan bahwa penghormatan atas khazanah lokal cukup kental di dalam sastra Indonesia modern. Salah satunya, sastra Indonesia memiliki diskursus seputar lokalitas. Lokalitas pada awalnya muncul sebagai respon terhadap tegangan globalitas yang tidak hanya menggerus bentuk-bentuk kesenian, namun juga mengubah nilai-nilai anutan suatu masyarakat. Wacana seputar ini marak sekitar tahun 70-80-an, berbarengan masuknya isu-isu globalisasi, dan dibuat masif oleh rezim Orba dengan semboyan “Indonesia menuju era tinggal landas.” Respon kreatif untuk melihat yang lokal tentu tidak hanya di sastra, juga di teater, tari, musik dan disiplin seni lainnya. Kita mengenal misalnya teater yang

naskah dan pola pertunjukannya merujuk khazanah lokal. Misalnya Gandrik berpola ketoprakkan; Bumi Teater Padang dengan pola randai, Teater Ketjil dengan absruditas lokal, Bengkel Teater dengan transformasi naskah Barat ke latar Jawa atau Banten; Opera Batak yang menghidupkan kembali tradisi opera Batak, atau Sanggar Budaya Banjarmasin dengan pola mamanda dan mengangkat cerita seputar Perang Banjar, dan seterusnya. Berbarengan dengan itu, dalam sastra muncul gerakan “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Seorang tokohnya, Abdul Hadi WM, meyakinkan bahwa tahun 70-an merupakan tonggak kebangkitan estetika timur. Sosok sastrawan yang gigih memasukkan unsur lokal di dalam karyanya bermunculan pada periode ini. Sebut saja Darman Moenir, Wisran Hadi, Chairul Harun, Upita Agustin (Minang), Bokor Hutasuhut (Batak), Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syam (Melayu), Ramadhan KH (Sunda), Danarto, Ahmad Tohari, Darmanto Jatman, Linus Suryadi AG (Jawa), Korrie Layun Rampan (Dayak), D. Zawawi Imron (Madura), Nyoman Rastha Sindu (Bali), Gerson Poyk (Timor), Hijaz Yamani, Ajamudin Tifani (Banjar), dan lain-lain. Sederetan literatur berkiblat lokalitas pun lahir, seperti roman Bako, Puti Bungsu, Penakluk Ujung Dunia, Priangan Si Jelita, Godlob, Ronggeng Dukuh Paruk, Pengakuan Pariyem, Upacara, Tanah Huma, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Ketika Kulkul Berbunyi di Bale Banjar dan seterusnya. Tiga Siasat Kreatifitas menarik di ranah khazanah lokal ini adalah usaha memberi nilai lebih pada lokalitas. Para sastrawan menempuh siasat, meluruhkan tema “Nasional” sembari mencegat mainstream di wilayah tempatan. Sepanjang pengamatan saya, setidaknya ada tiga siasat yang

ditempuh para sastrawan kita. Pertama, menjadi “pelintasbatas” wilayah etnik. Meski berasal dari etnik tertentu, sejumlah sastrawan ternyata bisa masuk ke wilayah etnik yang lain. D. Zawawi Imron, misalnya, di samping menulis karya berlatar budaya Madura, ia juga menulis dalam latar Bugis. Kumpulan puisinya yang dianggap reflektif dan sugestif, Berlayar di Pamor Badik, sepenuhnya merujuk Bugis sebagai sumber penciptaan. Pun Gus tf Sakai, menulis bermacam latar etnik dalam buku kumpulan cerpennya Laba-laba (Gramedia, 2003)—meski agak terburu menilai lokalitas dari satu atau dua cerpen, namun ada upaya penjelajahan ragam etnik. Sebelumnya, ia menulis novelet berlatar budaya Banjar berjudul “Riu” dan terbit bersama dua novelet yang berlatar budaya Minang dalam buku Tiga Cinta, Ibu (Gramedia, 2002). Banjar sebagai wilayah lintasan dan Minang sebagai wilayah asal, bisa ia hadirkan dengan porsinya masing-masing. Kedua, sastrawan yang memberi “suplemen wacana sastra” di antara lokalitas yang mereka usung. Ia tidak hanya merujuk ritual, tata-cara, silsilah dan konflik-konflik lokal di dalam teksnya. Namun memberi suplemen khusus sehingga wacana lokalitas di satu sisi, berhampiran dengan wacana sufistik, kritik sosial dan lingkungan hidup di sisi lain. Kuntowijoyo dan Danarto dapat mewakili potret ini, di mana lokalitas Jawa mengalami transformasi kultural jika bukan peleburan dengan konsep-konsep sufisme yang kemudian melahirkan “sufisme ala Jawa”, “tasauf Kejawen” dan seterusnya. Bahkan dari gaya keduanya yang berbeda, kita juga mendapat beberapa diskursus menarik seperti gaya Danarto yang “surealis” kerap disebut mengusung “realis-magis ala Jawa” dan Kuntowijoyo yang realis-konvensional dianggap “realis-udik”. Begitu pula A.A. Navis yang

berlatar Minang, atau yang lebih muda Ode Barta Ananda, membawa lokalitas mereka pada tataran kritik sosial yang lebih luas dan universal, sehingga menjadi potret “kesalehan sosial” di tanah air. Cerpen Robohnya Surau Kami, merupakan protetipe model ini, dan jika ditelisik lebih jauh hampir semua cerpen dan juga novel Navis terasa senafas. Begitu pula Ode Barta Ananda dalam bukunya Emas Sebesar Kuda (Akar Indonesia, 2005) menjadikan Minang sebagai potretmini Indonesia. Ketiga, sastrawan yang menulis lokalitas di luar mainstream tempatan. Misalnya, lokalitas Jawa yang umumnya berpusat di kraton dengan anjungan bahasa tinggi (baca: ala Mataraman), diserpih oleh Ahmad Tohari dalam lokalitas Jawa ngapak-Banyumasan. Lahirlah Ronggeng Dukuh Paruk yang tidak mengharamkan bahasabahasa “kasar” semacam “anjing buduk!” atau “asu buntung!” Ia juga menghadirkan latar pedesaan dengan pola pikir masyarakat yang sederhana namun bukannya tanpa power di mana seni kolektif dihidupkan sang ronggeng dengan dukungan penuh masyarakatnya tanpa harus munafik pada harapan terhindarnya kutukkan serta beroleh barokah kesuburan. Bandingkan dengan Para Priayi-Umar Kayam yang bersetting Jawa Mataraman yang dianggap terdidik dan agung, tetapi terlihat betapa totalitas “pengabdian” mereka terasa tanggung jika bukan canggung. Meski perbandingan di sini bukan hendak mempersoalkan perkara nilai, baik-buruk, melainkan untuk menunjukkan bahwa lokalitas sastra bukan hanya urusan pusatmainstream, tetapi juga menemukan ladang yang subur di wilayah-wilayah kultural “pinggiran”. Ini pula yang berhasil dilakukan Wildan Yatim lewat novel Pergolakan dan kumpulan cerpen Jalur Membenam. Lokalitas yang dihadirkan Wildan menyerpih

dari dua kutub mainstream, Batak atau Minang. Ia justru mengangkat lokalitas Tapanuli/Padang Sidempuan yang “bukan” Batak dan “bukan” Minang. Memang, secara administratif wilayah Tapanuli/Sidempuan yang menjadi latar karya Wildan terletak di perbatasan SumutSumbar, namun keberadaannya semacam “enclave budaya” yang memiliki nilai dan tata-caranya sendiri. Ini sekaligus menorehkan perhatian publik pada sesuatu yang terabaikan. Selama ini, jika menyebut Batak atau Minang, seolah tangan-tangan kulturalnya membentang mutlak ke semua kawasan, padahal ada kawasan tertentu yang betapa pun memiliki kesamaan/kemiripan, namun toh juga memiliki perbedaan-perbedaan. Demikian halnya Sidempuan dengan Batak, Minang dengan budaya darek, pesisir dan rantaunya; Bali Utara yang “berbeda” dengan Bali Selatan, atau Aceh dengan Gayo-nya. Atau bisa dilihat juga upaya Toha Mohtar dengan sejumlah karyanya—satu di antaranya novel Pulang—yang menampilkan lokalitas masyarakat sekitar Gunung Wilis yang beraroma pedesaan pada zaman “berjoang”. Ia tidak menggarap kultur arek yang lebih bersifat urban dan dikenal luas di Jawa Timur. Ia tertarik menggarap sesuatu yang tidak dominan, mungkin sama menariknya jika ia menggarap kultur lain khas Jawa Timuran seperti abangan atau Using (Blambangan). Persoalan pusat-pinggiran dalam konteks ini diluruhkan. Ketiga siasat tersebut, tidak berlebihan dikatakan sebagai gerakan “lokalitas dalam lokalitas”, yakni upaya mengaktualkan khazanah lokal dengan memanfaatkan segala potensi kelokalannya. Dan ini menurut saya merupakan modal besar bagi penghormatan khazanah lokal ke depan, tentu dengan tantangannya sendiri. Monggo, siapa ikut, ambil bagian.

RESPONS TERHADAP TULISAN DARMAN MOENIR DAN HERU JONI PUTRA

Sastrawan yang Baik sama dengan Kritikus yang Baik Oleh: Andhika Dinata

A

DA yang bertanya. Ada yang menjawab. Ada yang mengkritik. Ada yang mengulas. Tanya-jawab, kritikan, ulasan menjadi buah pena yang lazim dari suatu kritik sastra. Seorang kritikus tidak disebut “kritikus” apabila ia tidak mampu mengkritik. Begitu juga sebaliknya, seorang kritikus tidak akan dapat pula disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk dikritik. Budaya kritikmengkritik dalam konteks -kritik sastra- memang harus terus berkembang menjadi siklus eksistensi yang tidak boleh padam. Tidak berbeda halnya dengan sastrawan, kritikus sastra juga berasal dari rahim dan proses kreatif yang hampir sama. Ia bukan (lah) lahir secara kebetulan, tetapi ia lahir dan tumbuh lewat embrio perdebatan, diskusi dan juga polemik. Seorang sastrawan secara kebetulan atau tidak akan menjadi kritikus sastra–setidaknya buat karyanya sendiri, tidak jarang juga mereka (sastrawan) juga mengulas karya orang lain. Pada dasarnya seorang sastrawan juga seorang kritikus. Simaklah beberapa kritik yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Ajip Rosidi, Budi Darma dan nama-nama lainnya. Dari kalangan akademisi/intelektual budaya tersohor nama-nama besar seperti H.B Jassin, A Teeuw, Kuntowijoyo, Suminto A. Sayuti, Maman S. Mahayana, Agus R. Sarjono dan lain-lain. Dari ranah sendiri dahulu tersohor nama-nama seperti Mursal Esten, Hasanuddin WS, Nelson Alwi, Harris Effendi Thahar, Sudarmoko dan lainnya. Semua nama-nama tersebut (dan juga nama-nama lain yang ada) bukanlah sederet nama yang lahir secara kebetulan, melainkan juga melewati ruang perdebatan, diskusi dan polemik. Dan secara garis besar, tidaklah bisa dipungkiri bahwa kritikus tersebut merangkap (sastrawan) atau setidaknya mereka yang paham betul mengenai sastra dan seluk beluknya. Bagaimana jadinya jika sebuah kritik ditulisi oleh seseorang yang tidak bergelut lumpur di dunia sastra, seperti saya misalnya, maka apakah kritik tersebut dapat diterima? Mungkin pandangan ini,

Penulis Buku Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa untuk sementara ini saya simpan baik-baik—izinkan saya meminjam istilah M Subhan—biarkan pembaca yang menjadi hakim. Kegundahan Di dalam esai Beban Berat Kritikus Sastra oleh Heru Joni Putra (Haluan, Minggu, 13/03/ 2011), sebagaimana dibaca, menunjukkan kerusuhan dan kegundahan batin penulis akan langkanya keberadaan kritikus sastra saat ini. Keberadaan Fakultas Sastra sebagai ranah akademis diharapkan mampu melahirkan kader kritikus yang mumpuni belum cukup mampu dalam menjawab tantangan akan kebutuhan lahirnya kritikus tangguh di bidang sastra. Seolah ada stigma yang melekat bahwa persoalan kelangkaan kritikus dilepastugaskan kepada Fakultas Sastra semata. Padahal menurut Heru, siapapun yang memiliki kepedulian memiliki tanggung jawab holistik akan keberlangsungan sastra dan substansinya tanpa harus terikat oleh embelembel akademik dan semacamnya. Kelangkaan kritikus sastra sebelumnya juga diulas budayawan Nelson Alwi dalam Kelangkaan Kritikus dan Peneliti Sastra (Haluan, Minggu, 20/02/2011) dan hal ini memang menjadi tantangan yang serius dalam dunia sastra dan kepenulisan saat ini. Ada yang urgen dan tersirat dalam esai Nelson Alwi sebagaimana saya kembali mengutip: “...keberhasilan atau keabsahan kritik sastra bukan bergantung kepada siapa yang membuat atau apa dan dimana ia dipublikasikan, melainkan oleh kebernasan atau “sesuatu” yang ada pada kritik itu”. Kedua pendapat tersebut jelas memperkuat sinyalemen akan kelangkaan kritikus itu sendiri. Sebetulnya, tidak elok benar jika menyebut “kelangkaan”, sementara di luar sana masih ada beberapa nama kritikus yang masih eksis meski mengaku “pensiun sejenak” dari dunia kekritikusan. Pun beberapa generasi yang saat ini duduk berkecimpung di Bengkel Sastra, Fakultas Sastra, Komunitas Sastra, atau bahkan dari kalangan di luar itu, juga dapat menjadi kritikus masa depan, jika semua kalangan

benar-benar bersepakat untuk melakukan pembinaan intensif: bukakan sayap lebar-lebar untuk mengorbitkan nama-nama baru di dunia kritik sastra. Minimnya jumlah kritikus sastra saat ini menjadi wacana yang seharusnya digali. Apakah saat ini pencarian nama baru yang kurang digiatkan? Atau memang karena minimnya iklim kompetisi dan pembinaan sehingga seiring waktu sayup terdengar nama-nama kritikus sastra tidak lagi mengalami “pembaruan”? Atau mungkin masih rendahnya apresiasi terhadap nama-nama yang baru muncul sehingga muncul sindrom “pesimis” dari kritikus pemula tatkala harus “bertarung” secara intelektual dengan kritikus senior yang sudah mapan? Meskipun begini dan begitu, upaya positif untuk menjawab tantangan tersebut menjadi penting dimunculkan salah satunya lewat diskusi publik dan kiprah kepenulisan. Sekali lagi, berikan apresiasi yang luas terhadap pengembangan kritik itu selagi kreatifitas yang diberikan tidak menimbulkan polemik yang “asal bunyi”. Ada yang berbeda ketika sastrawan Sumatera Barat, Darman Moenir, menulis dalam 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat (Haluan, Minggu, 23/01/2011). Beberapa kalangan dan pengamat sastra Sumatera Barat “tersontak”. Dengan bahasa retoris yang ringan, Darman malah menyebut kreativitas sastrawan Sumatera Barat saat ini seolah berhenti di tangan Gus tf Sakai. Ulasan polemik dan pro kontra tersebut muncul hampir setiap minggu di rubrik ini, berjalan seiring dengan comment pengamat sastra/budaya di situs jejaring sosial. Sebagai seorang sastrawan (penulis novel dan juga penyair), Darman Moenir agaknya paham betul bahwa seorang kritikus tidak akan pula dapat disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk dikritik. Baik, kita simak pada awal esai 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat (Haluan, Minggu, 23/01/ 2011). Sekali diingat kata kunci esai ini yang penting disimak adalah apa yang ditulis Darman

sebagai novel “bermutu” (dalam tanda petik). Entah karena euforia (luapan kegembiraan) atau mungkin tersilap, kita tidak temukan apresiasi seorang Darman terhadap karya Memoar Alang-alang besutan Henry Tedja–yang kebetulan berasal dari ranah yang sama. Kemenangan Persiden, bagi Darman Moenir, menjadi begitu mengesankan pascaditarik ulur 30 tahun sebelumnya dimana novel Bako menjadi pemenang sayembara tahun 1980, di event yang sama. Menarik memang, apa yang ditulis penulis sajak Shelly Kecil (1972) tersebut, perihal tidak adanya novel bermutu Sumatera Barat 30 tahun terakhir. Ada respons dan kegairahan tersendiri dari banyak kalangan yang kemudian satu persatu antre mengisi kolom esai dalam rubrik ini. Respons yang kemudian disebut menarik, akademik, jeli, tajam, kritikal, bahkan (menurut Darman) ada juga yang menggelikan dan menggurui (Haluan, Minggu 27/02/2011). Dalam dua esainya itu, 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat maupun esai kedua Menulis Novel “Kerja Kreatif ” menunjukkan pandangan sikap dan idealisme seorang Darman Moenir dalam menangkap perkembangan sastra Sumatera Barat dewasa ini. Kembali dalam esai kedua, Darman menulis dengan tegas tentang “baku mutu” sebuah novel yang olehnya sangat ditentukan oleh aspek kebaruan (orisinalitas). Saya bersepakat bahwa sebuah novel harus menyoroti sudut pandang, perspektif dan ruang gagasan yang baru terhadap unsurunsur “kenovelan” yang diangkatnya. Lain dari itu, selebihnya akan lahir novel-novel turunan yang miskin kreatifitas, bahasa Darman : tidak bermutu. Sekali lagi, jika benar “baku mutu” sebuah novel ditentukan oleh kebaruan gagasan, maka apa yang ditulis Darman Moenir –secara utuh–tidak dapat disanggah. Pun jika saya pribadi dihadapkan pada pilihan novel mana yang mau dibaca: novel berpredikat pemenang Sayembara DKJ atau novel “Top Seller” yang merias etalase

toko buku Gramedia saat ini, maka saya pribadi akan cenderung memilih novel pemenang sayembara DKJ untuk terlebih dahulu dibaca—namun disadari atau tidak kesan semacam ini tidak berlaku umum (: bagi pembaca) dan kesan ini tidak dapat pula dipaksakan. Apa yang ditulis Darman dalam esai pertama 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat (Haluan, 23/01/ 2011), secara jujur, meninggalkan beberapa kesan, polemik, pertanyaan bahkan rasa penasaran. Untung saja pada esai berikutnya Menulis Novel “Kerja Kreatif ” (Haluan, 27/02/2011) muncul kesan yang sedikit berbeda, ada sedikit pencerahan pemikiran sekaligus menjawab polemik beberapa kritikus sebelumnya, kesan yang bertutur, reflektif, lugas dan mengalir. Yang menarik dari esai kedua yang ditulisnya itu keterbukaan Darman menyebut novel Memoar Alang-alang Hendri Teja yang secara jujur diakui belum dibacanya. Hal yang selayaknya ditutur pada esai pertama. Betapapun demikian, kritik sastra sebagaimana disampaikan Maman S. Mahayana dalam suatu Simposium Sastra (2008) bahwa semangat kritik sastra bukanlah caci maki atau kritik yang tidak jelas juntrungannya. Kritik sastra tentu saja memiliki orientasi dan tujuan yang hendak dicapai. Kritik sastra juga tidak boleh melakukan “pembenaran” pendapat individu secara mutlak dengan menutup ruang terhadap gagasan baru yang mungkin muncul sesudahnya. Yang jelas setiap karya baru yang dimuat akan terus dikritisi, dan bagi yang mengkritik juga harus siap diulas dan dikritisi oleh pengkritik berikutnya, dan hal ini akan menjadi studi dan siklus yang tak akan pernah habis. Lagilagi dalam kritik sastra terbentang samudera yang luas untuk bercurah gagas, memeta pikiran secara intelektual dan bernas. Dalam kritik sastra tidak ada yang benar dan yang salah, karena kebenaran yang hakiki hanya milik Allah SWT. Dan seyogianya seluruh sastrawan dan pembaca bersepakat akan hal ini.

Rima

Di Bawah Lindungan Kabah Dilayarlebarkan Lagi

NOVEL sastra klasik Di Bawah Lindungan Kabah karya sastrawan sekaligus ulama, Buya Hamka, akan diangkat ke layar lebar oleh rumah produksi MD Pictures dan rencananya diputar pada Lebaran 2011. Produser Manoj Punjabi di Jakarta, Rabu, menyatakan, karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka yang mengambil latar cerita masyarakat dan budaya Minang tersebut memiliki cerita yang begitu kuat dengan kisah cinta yang begitu agung. “Selama dua tahun kami mempersiapkan pembuatan film besar ini dan menggarapnya dengan serius,” katanya saat syukuran produksi Di Bawah Lindungan Kabah. Di Bawah Lindungan Kabah berkisah tentang persahabatan Hamid dari keluarga miskin yang diperankan Herjunot Ali dengan Zainab (Laudya Cynthia Bella) anak seorang kaya dari sejak kecil yang kemudian tumbuh menjadi hubungan cinta. Jalan cinta dua manusia berbeda status sosial yang mengambil masa 1920an itu ternyata tidak mulus dan mengalami berbagai halangan. Untuk mewujudkan novel setebal 66 halaman tersebut menjadi sebuah film layar lebar penulis ceritanya diserahkan pada Titien Wattimena dan Amantono serta sutradara Hannya Saputra. Selain itu sejumlah artis senior juga dilibatkan dalam film tersebut seperti Yenny Rahman, Widyawati, Didi Petet dan Leroy Osmani. Sedangkan bintang muda selain Herjunot dan Bella juga menampilkan Niken Anjani, Tara Budiman dan Agung Putra Perwira. Manoj menyatakan, Di Bawah Lindungan Kabah yang digarap dengan anggaran yang tidak sedikit tersebut akan mampu menarik penonton di atas “Ayat-Ayat Cinta” yang juga diproduserinya. “Jika ‘Ayat-Ayat Cinta’ ditonton 4 juta orang, kami yakin ‘Di Bawah Lindungan Kabah’ akan mampu menarik hingga 7 juta penonton,” katanya. Dia menambahkan, untuk menghasilkan karya film yang bagus, penulisan skenario “Di Bawah Lindungan Kabah” tersebut sampai mengalami perubahan hingga 19 kali bahkan pada 2010 sempat melakukan pengambilan gambar namun dibatalkan dan akan dimulai lagi pada 23 Maret mendatang di Sumatera Barat. (h/ant)

Hatinya Tertinggal di Gaza Dibedah PADANG, HALUAN—Kontroversi mengenai poligami merupakan salah satu pembahasan menarik dalam diskusi novel berjudul Hatinya Tertinggal di Gaza di Ruangan Seminar Gedung E, Universitas Andalas, Jumat (18/3). Muatan dari novel yang ditulis Sastri Bakry dan diterbitkan oleh penerbit Grasindo (2011), memancing beragam pandangan menarik saat diskusi. Novel ini dibedah Hassanudin dan Armini Arbain dari Fakultas Sastra Unand. Hassanudin mengasumsikan, tokoh dalam novel tersebut merefleksikan gamang budaya perempuan terpelajar Minangkabau antara nilainilai dari akar kulturalnya yang berbenturan dengan nilai-nilai yang datang dari luar, terutama menyangkut pemikiran tentang feminisme dalam perjuangan kesetaraan gender. “Persoalannya adalah ajaran ibunya (tokoh Nadhifah-red) tentang kemandirian berkaitan dengan matrilinial dan pemikiran feminisme? Matrilinial berisi sistem nilai yang mengajarkan kemandirian perempuan yang meninggikan harkat dan jaminan kesejahteraan komunalitas” kata Hassanuddin. Sementara Armini Arbain, lebih mengulas soal pergulatan batin si tokoh perempuan dalam novel tersebut. Armini juga memberi pernyataan, terlepas dari kelemahan novel tersebut dalam estetika kepenulisan atau cara penyuguhan isi, penulis telah berusaha memberi pengetahuan pada pembaca mengenai persoalan perempuan Minangkabau. “Novel yang memiliki latar budaya Minangkabau ini dapat memberi pengetahuan pada pembaca tentang masalah perjodohan, poligami, konflik keluarga, dan lain-lain,” terang Armini. Ikhwanul Arif salah seorang pegiat seni, merespons, bahwa ada konsep yang salahkaprah mengenai gerakan kesetaraan gender, atau feminisme perspektif dunia Barat yang dipakai perempuan Minang, termasuk dalam mempersoalan masalah poligami. “Poligami selalu dipandang merugikan perempuan, sebenarnya juga telah menciptakan citraan yang kurang baik bagi kaum laki-laki. Di Minangkabau, terkadang laki-laki dianggap sekadar untuk pembuahan, tidak punya hak di rumah, dan ada sebagian masyarakat yang menganggap laki-laki kalau beristri satu tidak laku,” jelas Ikhwanul Arif. Sastrawan Zelfeni Wimra, menambahkan, bahwa solusi kasus kesetaraan gender atau soal poligami sudah jelas-jelas diterangkan dalam agama. “Solusinya itu, ya, monogami,” kata Zelfeni sembari menjelaskan bahwa dalam Alquran telah dijelaskan lapis persoalan yang ayatnya saling mendukung-menyelesaikan. ‘Hatinya Tertinggal di Gaza’ merupakan novel kedua karya Sastry Bakry, setelah novel pertamanya berjudul ‘Kekuatan Cinta’ diterbitkan tahun 2009. Secara keseluruhan novel terbarunya Sastri tersebut merupakan usahanya untuk berbagi pengalaman kepada masyarakat umum. “Dengan buku ini, saya ingin menjawab pertanyaan dari polemik yang bermingguminggu terjadi di koran Haluan, mengenai 30 tahun terakhir tak ada yang menulis novel bermutu,” tegas Sastri yang senantiasa menyikapi proses kreatifnya sembari mengatur jadwal kerjanya yang padat Pemerintahan Kota Padang. “Saya merasa diapresiasi dalam diskusi ini, adapun kritikan dan masukan, saya jadikan pembelajaran, “ tambah Sastri. Yang mana, diskusi novelnya yang dimulai dari pukul 10.00 wib, dan berlangsung selama dua jam tersebut, telah memunculkan opini luas. (h/cw01)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.