11
SABTU, 17 MARET 2012 M 24 RABIUL AKHIR 1433 H
Orang Rimba .......... Sambungan dari Hal.1 waktu telah menunjukkan 7.15 WIB. Parang dan tombak siap menyayat binatang malang yang akan menjadi menu santapan Orang Rimba . Perburuan hari itu pun dimulai. “Pagi ko kito akan pai buru ikut jalur Sungai Batang Sipotau dan mancaliak jarek nan dipasang malam tadi,” kata Ridwan dengan bahasa Minang yang mantap kepada Haluan. Lebatnya hutan dan sulitnya medan di sepanjang perjalanan tidak jadi halangan. Langkah dengan gerak yang cepat, sigap serta mantap mengarungi tepian sungai, memang menggambarkan mereka terlatih sekali. Gaya berburu Buyung dan Ridwan sangat khas. Perburuan selama 2 jam itu mampu membuahkan hasil seekor trenggiling dan 2 ekor ular. Di tengah perjalanan singgah sebentar di jerat babi, dan hasilnya seekor babi terperangkap dengan penuh luka. Setelah berburu, perjalanan dilanjutkan ke salah satu rumah perkampungan di pinggir hutan. Di sana terjadi transaksi jual beli satu ekor trenggiling. Uang sebesar Rp2,4 juta menebalkan saku Orang Rimba ini. Berat trenggiling itu mencapai enam kilogram. Semakin berat, semakin mahal harga trenggiling itu. Uang hasil penjualan tersebut nantinya diserahkan kepada kepala rombongan. Sementara hasil buruan lainnya, babi dan ular yang tersisa itu, sekiranya dapat memenuhi kebutuhan makanan dan nutrisi rombongan
selama seminggu ke depan. Selama ini, orang luar menganggap Orang Rimba masih menggunakan sistem barter untuk transaksi dan berdagang, tapi ternyata tak demikian adanya. Orang Rimba telah lama mengenal transaksi dengan menggunakan uang. “Sumber pencarian kita untuk mendapatkan uang hanya dari hasil buruan. Lain dari itu hanya menjual jernang (buah rotan),” kata Ridwan menjelaskan. Ditambahkannya, biasanya uang yang didapatkan itu untuk membeli keperluan rombongan sehari-hari. Seperti gelas, periuk, beras, senter, baterai, minyak goreng, pakaian dan lain-lain. Dari pengamatan Haluan di perkampungan Orang Rimba itu, sebagian besar mereka telah memeliki alat-alat dengan teknologi elektronik seperti Handphone, radio, bahkan kendaraan bermotor roda dua. Salah seorang anggota LSM Perkumpulan Peduli, Roni Heriadi mengatakan, interaksi Orang Rimba dengan masyarakat di perkampungan sekitar hutan telah mengubah perilaku dan gaya hidup Orang Rimba sedikit demi sedikit. Namun, keterbatasan asupan pengetahuan membuat mereka terus terbelakang. Ditambahkannya, lagipula mereka telah mau membuka diri untuk bermasyarakat dan ingin mengenal dunia luar lebih jauh. “Hal yang paling dibutuhkan mereka saat ini adalah pendidikan agar tidak dibodohi dan percaya diri dengan
keberadaannya dan mengenal dunia luar lebih luas lagi,” kata Roni Hariadi yang bersama Haluan menelusuri perkampungan Orang Rimba ini selama empat hari. Dijelaskannya, akibat dari minimnya pengetahuan mereka, seringkali mereka ditipu orang luar. Ketika transaksi atau jual beli Orang Rimba sering bingung dengan jumlah nominal yang rumit dan banyak angkanya. Kesempatan itulah yang sering dimanfaatkan oleh para pedagang jahil untuk menipu Orang Rimba ini. “Mereka cuma bisa menghitung harga yang gampang-gampang saja. Kelemahan seperti yang sering dimanfaatkan oleh orang luar untuk meraup keuntungan dari Orang Rimba ini,” kata Roni. Dijelaskannya, Orang Rimba gampang saja menerima patokan harga dalam transaksi jual beli. Sering kali mereka diperumit dengan harga yang tidak masuk akal seperti Rp 5.678. Ini akibat tidak bisa menghitung dan tidak tahu membaca berapa harga barang tersebut. Jika keadaannya sudah seperti itu, Orang Rimba biasanya membayar dengan uang besar dan jarang ada kembaliannya. Namun, untuk menghitung harga yang tetap dan simpel, Orang Rimba ini mengerti. Misalkan harga barang Rp3.000 dan diberikan uang Rp10.000. Mereka tahu kalau kembaliannya Rp7.000. “Mereka sangat butuh pendidikan sehingga hal-hal yang rasional bisa dicerna dengan baik,” kata Roni lagi.
Pesan......................Sambungan dari Hal.1 Alangkah baiknya pula dalam acara wisata sastra di hari terakhir para peserta dibekali dengan buku panduan tentang wisata sastra yang pernah ditulis oleh almarhum A.A Navis. Paling tidak, rombongan tamu dari negara jiran itu perlu dibawa ke Gunung Padang untuk melihat ‘kuburan’ Sitti Nurbaja dan Samsulbahri dan ke Bayua, Maninjau, kampung kelahiran Hamka. Namun, sebagaimana telah dipolemikkan, apakah sebenarnya misi Numera? Justru karena adanya pro dan kontra, Numera semestinya mengeksplitkan kepada publik bahwa tujuannya bukan sekedar kumpul-kumpul dan berbual-bual (memakai istilah Malaysia untuk ‘berbincang-bincang’) seputar sastra (dan budaya) kedua negara. Kegiatan yang juga membelanjakan dana sumbangan para donatur di Sumatra Barat (swasta dan pemerintah) itu tentu diharapkan bukan hanya sekadar aktivitas ‘budaya tanpa arah’, seperti dugaan Wanofri Samry yang mengomentari rencana perhelatan ini (Haluan, 11/3/2012). Menurut saya, Numera mungkin akan lebih bermanfaat (lebih-lebih lagi apabila akan dilanjutkan di masa-masa mendatang) jika para sastrawan yang ikut serta dalam perhelatan itu, yang mewakili Indonesia dan Malaysia, menyadari peran yang mesti mereka mainkan dalam situasi hubungan bertetangga antara Malaysia dan Indonesia yang akhir-akhir ini terkesan kurang sehat akibat politik kebudayaan yang cenderung memperlihatkan amnesia sejarah. Hubungan yang Tak Berkeruncingan Paling tidak sejak enam tahun terakhir ini hubungan kebudayaan dan politik antara Indonesia dan Malaysia, dua negara jiran yang tercipta akibat politik penjajahan Belanda dan Inggris, cenderung makin tidak berkeruncingan. Kedua bangsa serumpun ini mengalami keterbelahan identitas kultural hanya karena label paspor, warna bendera, dan perbedaan nilai tukar Ringgit dan Rupiah dan makin sering cekcok oleh perkara-perkara budaya yang semestinya malah bisa mendekatkan mereka satu sama lain. Itu memalukan, dan hanya membuat arwah kolonialisme yang masih gentanyangan tertawa-tawa melihat ketololan itu. Seperti terekspresi dalam berbagai media dan wacana publik di kedua negara, kedua bangsa bertetangga ini cenderung makin tidak bertenggang rasa lagi. Sikap respek hilang ketika si kaya menyebut ‘Indon’ kepada saudara serumpunnya yang belum sejahtera. Kepongahan-kepongahan nasion– kultus merek politik yang muncul belakangan dan jauh lebih muda usianya dari etnisitas–telah mengakibatkan kedua bangsa lupa kepada kesamaan akar budaya dan jalan sejarah yang telah ditempuh oleh nenek moyang mereka. Sesama saudara serumpun itu makin saling curiga-mencurigai: si kakak menuduh adiknya mencuri; si adik yang bagai bujang jolong berkeris berlagak angkuh dan suka memperlihatkan taji sambil berkokok di atas pagar. Inilah ironi negarabangsa pasca kolonial di Asia Tenggara yang, sadar atau tidak, merupakan kontribusi dari penjajahan Barat di masa lampau. Di manakah kaum sastrawan (dan budayawan) kedua negara–
yang sepanjang akhir minggu ini ini berkumpul di Padang dalam rangka perhelatan Numera– menempatkan diri mereka dalam menghadapi situasi hubungan budaya dan politik kedua nasion yang cenderung menegang itu? Apakah kaum pengukir kata-kata itu juga akan terkurung dalam nasionalisme sempit yang berlabel ‘Malaysia’ dan ‘Indonesia’, sebagaimana diperlihatkan oleh para politikus dan masyarakat awam di kedua begara? Kaum sastrawan IndonesiaMalaysia, teraju masyarakat kedua bangsa, yang sebagian di antaranya berkumpul di Padang selama akhir minggu ini, haruslah menjadi inspirator untuk menciptakan wacana (sastra) yang bernada sebaliknya: menyatukan perbedaanperbedaan yang semakin menyembul di antara kedua bangsa kakak beradik itu. Mereka harus mengambil jarak dari dari bau amis politik di Putrajaya dan Jakarta, menggerakkan pena mereka untuk mereduksi ketegangan antara saudara serumpun yang mencemaskan tapi menggelikan ini. Hanya dengan mengambil sikap bijaksana seperti itulah komunitas sastrawan Indonesia dan Malaysia (termasuk mereka yang berkumpul dalam perhelatan Numera) akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Mereka harus menjadi reaktor pendingin untuk menghindari semakin bergesekan dan memanasnya kedua ‘mesin’ nasion itu agar tidak ‘meledak’ dan ‘terbakar’. Jika kaum sastrawan Malaysia dan Indonesia mengabaikan peran itu, dan malah ikut cuek-bebek dalam arus premanisme politik budaya yang cenderung hanya mengangungkan uang dan ikut tega mempreteli rasa persaudaraan kedua bangsa, sejarah hanya akan mencatat mereka dengan arang puntung kayu bakar. Kekuatan konolialisme dan kapitalisme Barat memang telah membuat hubungan Malaysia dan Indonesia fluktuatif. Hubungan kedua negara pernah mengalami pasang surut ketika Sukarno mengampanyekan aksi ‘Ganyang Malaysia’ tahun 1957 menyusul kemerdekaan Malaysia dari jajahan Inggris. Tetapi tahun 1960-an hubungan Indonesia-Malaysia menjadi baik kembali. Namun, seiring dengan kemajuan pesat yang diraih Malaysia di bidang ekonomi, muncul kembali friksi-friksi antara kedua jiran itu. Klaim-klaim kepemilikan repertoar budaya dan gesekangesekan di perbatasan menimbulkan disharmoni dalam hubungan kedua bangsa. Kini para politikus berpikiran picik di kedua negara mempermainkan sentimen-sentimen masa lalu itu tanpa mempedulikan konteks sejarah: bahwa Sukarno pada waktu itu ingin membendung munculnya kembali kolonialisme dengan politik adu dombanya di Asia Tenggara. Kaum sastrawan Malaysia dan Indonesia kini harus tetap memegang kuat prinsip universalisme dan humanisme, dan harus terus berada di garis depan untuk menyadarkan bangsanya atas kekeliruan dalam ganyang-mengganyang soal kebudayaan ini. Izinkan saya mengingatkan Anda sekalian akan peran ini dengan mengambil tamsil dari novel Malam Kuala Lumpur (MKL) (cet.1, 1968) karya Nasjah Djamin, putra perantau Minangkabau (Haji
Djamin dan Siti Sini) kelahiran Perbaungan 24 September 1924. Hubungan mesra tokoh Budi (Indonesia) dan Latifah (Malaysia) dalam MKL merefleksikan usaha seorang sastrawan yang dengan senjata penanya berusaha merajut kembali hubungan Indonesia– Malaysia yang sempat kusut. Dalam MKL Nasjah Djamin menyampaikan pesan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua saudara selapik seketiduran, sebantal sekalang hulu. Djamin telah memainkan pena tajamnya di atas Jakarta dan Kuala Lumpur yang gontok-gontokan demi memesrakan kembali hubungan rakyat Indonesia dan rakyat Malaysia. Seperti terefleksi dalam kajian Pudji Santosa dan Maini Trisna Jayawati dalam Dunia Kesastraan Nasjah Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur (Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2011), MKL menyimpan berbagai rahasia hubungan Indonesia dan Malaysia melalui mana sang pengarang melepaskan label-label nasion yang sering picik dan berwarna buram akibat direcoki politik yang hanya mengumbar nafsu dunia. Dalam menyikapi situasi hubungan antara Malaysia dan Indonesia yang kini tampaknya sudah sampai pada ‘galuik siangkak’ (sudah bagaluik mungkin bacakak), sudah semestinya kaum sastrawan kedua negara, khususnya para peserta Numera, menimba spirit Nasjah Djamin dan MKL. Kaum sastrawan jangan terperangkap oleh chauvinisme nationstate dan harus menyimpan paspor mereka di langit ketujuh. Mereka harus berjiwa humanis. Para sastrawan senior dari Malaysia (Abdullah Hussain, Muhammad Haji Salleh, A. Samad Said, Shanon Ahmad, dll.) dan rekan-rekan Indonesia mereka (Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Darman Moenir, dll.) harus tampil ke depan memimpin generasi Mawar Shafei dan Gus tf Sakai serta adik-adik mereka para sastrawan muda untuk merestorasi ‘jembatan retak’ yang kini membentang di Selat Malaka. Para senior itu bisa berperan menjadi ‘tuo indang’ yang duduk di belakang ‘tukang dikia’ atau menjadi ‘sipatuang sirah’ untuk mengagih dukungan kepada generasi sastrawan yang muda-muda. Namun pekerjaan mulia itu harus dilakukan dalam suasana equal (sederajat), tidak dalam perasaan bahwa satu pihak merasa tinggi dari yang lain, satu pihak merasa lebih penting dari yang lain, satu pihak berhak mendikte pihak lain. Semoga setelah perhelatan Numera usai, akan muncul figur Budi-Budi dan Latifah-Latifah baru yang mampu menghapus kecurigaankecurigaan politik dan budaya dan menyuntikkan semangat kebersamaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia, melawan kecenderungan sebaliknya yang kini sedang terjadi. Di luar dunia sastra, para sastrawan dari kedua negara tentu dapat pula mengapungkan wacana budaya (melalui tulisantuisan maupun pertemuan-pertemuan berkala) yang diharapkan dapat menjadi katalisator untuk makin mendewasakan hubungan antara kedua nasion yang serumpun itu. Suryadi mengajar di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Leiden, Belanda
ANTREAN JERIKEN — Menjelang harga BBM naik per 1 April mendatang, pengecer berduyun-duyun mengisi jeriken untuk cadangan, Jumat (16/3) sekitar pukul 09.00 WIB di salah satu SPBU Padang Aro, Solok Selatan. Ada yang membawa 45 jeriken per orang. ICOL
Tujuh.................... Sambungan dari Hal.1 Ibu dengan tujuh anak ini telah lama ditinggalkan oleh suaminya sehingga ia harus membesarkan ketujuh anaknya dengan keringatnya selama 7 tahun. Seakan tidak kenal sakit dan lelah, Ar harus mengumpulkan dan mengkarungi batu kapur yang telah dibakar dan dipecah sebelumnya dan memasukkannya ke dalam karung besar. Ar dapat mengumpulkan berkubik-kubik batu kapur panas dalam 70 karung sehari, dengan harga satu karung Rp700. Dalam satu hari sejak pukul 07.00 WIB hingga 17.00 WIB, Ar dapat mengantongi upah lebih kurang Rp49.000 per hari. Ia harus membagi hasil keringatnya itu menjadi lima bagian, karena empat orang anaknya masih tinggal bersamanya. Sementara tiga anaknya yang lain telah berumah tangga. Sungguh luar biasa wanita
perkasa ini tanpa menggunakan masker sebagai pelindung dari asap dan abu kapur, Ar bekerja dengan senang hati selama 7 tahun. Walaupun pekerjaan ini berbeda dan berat dari pekerjaan yang mayoritasnya wanita pengumpul batu kapur, Ar menghadapi tantangan yang berat dari yang lainya. Ar harus berhadapan dengan hawa panas dari tungku pembakaran batu kapur. Untuk istirahat, ia pun tak jauh dari area pembakaran batu kapur. Padahal abu dan asapnya sudah pasti masuk ke dalam makanan yang dikonsumsinya. Namun Ar hingga saat ini tidak merasakan dampak dari abu tersebut. Padahal abu dan asap pembakaran batu kapur dapat merusak paru-paru bagi yang terkena dan mengganggu pernapasan setiap orang yang menghirupnya. Entah kekua-
tan apa Ar tidak merasakan sakit “Saya butuh uang demi keluarga saya,” katanya. Ar bukan sendiri. Ratusan buruh tambang kapur di kawasan Bukit Tui itu senasib dengannya. Pecahan batu gamping dengan hanya bermodal martil dan keyakinan mereka terus memacu kehidupannya. Seakan sudah membagi kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemecah gamping dan membakar kapur di tungku pembakaran. Ar dan perempuan lainnya menjadi pemecah batu kapur yang sudah dibakar kemudian dikemas dalam karung. Saban hari mereka bergelut dan menghisap debu. Namun, hidup akan terus diisi kendati dengan dampak kesehatan yang demikian jelek. Ar adalah bagian dari itu. (Laporan: Jon Indra dan Vicia Dwi Prakarti.D.B)
Penimbun..............Sambungan dari Hal.1 harga tinggi sudah sering terjadi. Di hadapan polisi, pelaku mengaku dalam menjual BBM itu, seharga Rp5.000-Rp6.000/liter kepada pedagang kios. Sementara di SPBU pelaku membeli dengan harga Rp4.700 hingga Rp5.000 per liternya. Disebutkan, polisi sudah mencium adanya indikasi permainan antara pembeli dan petugas SPBU. “Tidak mungkin mereka akan mendapat BBM dengan jumlah cukup banyak, kalau tak ada apaapanya,” terang Prabowo. Meski demikian, pihak kepolisian sebut Prabowo, akan terus melakukan pengembangan penyidikan kasus tersebut. Bahkan polisi juga sedang melakukan penyisiran terhadap warga yang melakukan penimbunan jelang kenaikan BBM bulan depan. Dijelaskan, tersangka bisa dijerat dengan Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001 dengan ancaman minimal 5 tahun kurungan penjara. Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Pasbar,
Faizir Djohan ketika dikonfirmasi mengatakan, sebelumnya pihaknya telah mengingatkan para pemilik SPBU di Pasbar pada pertemuan di kantor Bupati Pasbar tanggal 13 Maret lalu 2012 lalu. Dalam pertemuan tersebut, didapat kesepakatan di antaranya, bagi pengendara sepeda motor hanya diperbolehkan mengisi BBM sebanyak Rp20 ribu, kendaraan roda empat diperbolehkan mengisi Rp100 ribu per harinya. Sedang untuk para pengecer yang mengunakan jerigek hanya diperbolehkan sekitar 2 jeriken atau sebanyak 80 liter perharinya. “Hasil kesepakatan itu akan kita tempel di SPBU-SPBU di Pasbar,”ujar Faizir. Apabila ada ditemukan, maka tim yang terdiri dari, Pol PP, Polres dan lainnya yang menindaknya di lapangan. Para pelaku itu akan kenakan pidana UU nomor 22 tahun 2001 pasal 53 poin C tentang minyak dan gas bumi dengan denda Rp30 miliar. Menurut Faizir, sebelumnya tangal
2 Agustus 2011,SPBU Air Balam Pasbar ini sudah pernah dihentikan penyaluran BBM oleh Pertamina cabang Padang region 1 karena terbukti menjual BBM dengan jumlah besar kepada pembeli menggunakan jeriken. Ditambahkan dalam surat pemberhentian penyaluran BBM untuk SPBU Air Balan itu, dimulai sejak dari tanggal 2 sampai 8 Agustus 2011, degan nomor surat, 237/ F31230/2011-S3 tentang surat peringatan pertama kepada SPBU Air Balam 14.263.535 telah terbukti menjual BBM kepada pembeli menggunakan jerigen dengan jumlah yang besar. Masih dalam penjelasan, Faizir Johan, dalam surat tersebut, dijelaskan berdasarkan pantauan tim dari PT Pertamina (Persero) bagian Fuel Retal Marketing Regional I Sumbar tangal 15 Juli maka ditemukan penjualan BBM dengan menggunakan jeriken dalam jumlah besar yang tidak disertai dengan surat rekomendasi dari dinas terkait. (h/nir)
Numera......................Sambungan dari Hal.1 Jalan Bundo Kanduang. Dalam keterangan panitia, seluruh peserta pertemuan yang diundang tersebut mendapat fasilitas akomodasi dan penginapan serta transportasi dari penginapan ke lokasi acara (fasilitas diberikan dua hari 16-17 Maret 2012). Dan di pengujung acara paserta tersebut akan mengikuti agenda wisata sastra/city tour, salah satunya mengunjungi Rumah Puisi Taufiq Islamil di Aia Angek, Padang Panjang. Penguatan Identitas Melayu Walikota dalam pidato sambutannya mengenai acara Numera yang bertemakan “Melacak Identitas Kultural Melayu Melalui Sastra, Budaya dan Sejarah” tersebut menyambut baik dan berharap dengan pertemuan tersebut dapat menyatukan dan memajukan peradaban Nusantara Melayu dalam mengatasi berbagai persoalan. “Melalui Pertemuan Sastrawan Melayu ini kita siasati degan dialog cultural secara multi dan interdisiplin untuk mengevaluasi diri dalam menghadapi tantangan globalisasi ke depan,” katanya. Ia mengatakan dengan cara tersebut peserta melalui rangkaian cara diskusi yang akan diselenggarakan dapat mencari kesamaan asal-usul, bahasa dan budaya dari peserta yang terdiri dari rumpuan Melayu yang sama tersebut. “Dunia Melayu merupakan salah satu istilah yang sudah lama digunakan dalam literatur asing untuk mengacu kepada kawasan yang lebih luas dari nusantara, dan ini sudah menjadi idientitas dan jati diri,” tambahnya. Dalam tiga hari (16-18) ke depan, termasuk hari pembukaan, para peserta Numera akan mengikuti berbagai sesi acara yang telah dirancang sedemikian rupa oleh panitia. Termasuk sesi diskusi yang menghadirkan beragam pemakalah mulai dari persoalan sejarah, sastra, dan linguistik yang akan membedah persoalan ‘Melayu’. Beberapa pemakalah dan tema di antaranya: Prof. Madya Dr. Fauzi bin Deraman (Universiti Malaya) dan Jannatul Husna bin Ali Nuar, MA (Universiti Malaya) dengan makalah: “Menyusuri Jejak Syeikh Yasin
Padang: Kajian Biografi dan Kepakaran”, Dr. Lindayanti, M. Hum (Unand) dan Witrianto, S.S., M. Hum., M. Si (Unand): “Harmoni Kehidupan pada Masyarakat Kultural: Studi Kasus Integrasi Sosial Antaretnis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi”, Dr. Siti Fatimah, M.Pd, M.Hum dengan makalah: “Perempuan Melayu dalam Perspektif Sejarah: Studi tentang Perempuan Minangkabau dari Tradisi ke Modern”, Dasman Djamaluddin, S.H, M.Hum dengan makalah: “Melayu Raya dalam Perspektif Sejarah Indonesia”. Selain kegiatan diskusi, akan diadakan juga pembacaan karya sastrawan-sastrawan Numera yang berupa pembacaan puisi, fragmen, dengan diselangi musikalisasi baca puisi dari Sumbar Talenta, komunitas sastra, komunitas teater, dan musik tradisi. Tidak hanya itu, pada kesempatan tersebut akan diluncurkan juga buku-uku sastra karya peserta TSN dan juga pameran buku karya-karya para satrwan dan penulis-penulis muda yang telah menerbitkan buku mereka periode 2011 dan 2012. Selaku penanggung jawab acara, Edi Hasyimi, yang juga merupakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Padang menjelaskan agenda yang sudah disusun panitia tersebut untuk ‘Merajut Budaya Melayu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand’. “Numera mendiskusikan identitas kultural dan dinamika multikultural sesama negara serumpun. Dalam agenda ini, peserta bisa mendiskusikan dinamika kultural dan multikultural, serta bisa melihat pemberdayaan potensi material dan kurtural Negara Serumpun Melayu menghadapi tantangan abad ke 21,” jelasnya. Respons Positif Tetamu Salah seorang peserta Numera dari Madura, A’yat Khalili mengatakan, ia senang bisa berkumpul dengan sastrawan dari berbagai Negara Serumpun, apalagi daerah yang menjadi panitia adalah Padang, Sumatera Barat. “Saya senang bisa ketemu dan akan berdiskusi dengan temanteman di Padang, sebab di sini potensial penulis mudanya,” jelas A’yat yang merupakan penyair
generasi mutakhir dari Madura tersebut. Selain itu, Niduparas Erlang, yang merupakan salah seorang cerpenis mutakhir dari Serang (Banten) dan karyanya sudah dipublikasikan diberbagai media massa dan buku tunggal juga merasa berbahagia bisa diagendakan di Padang. “Padang, atau daerah Minangkabau, sangat eksotis dalam berbagai literatur,” tanggapnya secara singkat. Selain peserta yang masih tergolong muda dari luar daerah Sumatera Barat tersebut, salah seorang penyair potensial Sumbar, Youri Kayama ikut berkomentar soal agenda yang dihelat secara akbar dan berskala internasional tersebut. Ia mengatakan bahwa setidaknya banyak hal yang akan bisa dinikmati peserta dalam dan luar negeri di Padang. “Selain berdiskusi, agenda lain yang merupakan tur wisata sastra akan bisa memancing imajinasi sastrawan dari berbagai negara tersebut untuk menulis tentang Kota Padang, Sumatera Barat, atau Minangkabau,” katanya. Ketua DPRD Kota Padang, Zulherman mengatakan acara ini dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan sastra dan budaya. “Aspek kehidupan masyarakat tidak akan lepas dari sentuhan sastra dan budaya. Dua hal tersebut yang menjadi identitas dan landasan dasar yang mengatur norma kesopanan suatu masyarakat,” katanya. Sementara itu, Firdaus Abdullah (Malaysia) mengatakan momen ini dapat menghidupkan kembali semangat kebangsaan dan persaudaraan Melayu Raya. “Karena tempatnya di Padang, kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh para perantau Minang di Malaysia untuk pulang kampung dan berpartisipasi dalam acara ini,” jelasnya. Prof Orbak Otsman (Malaysia) menilai, iven budaya Numera ini merekatkan hubungan silaturahim sesama sastrawan Dunia Melayu. Sementara itu, Nik Abdul Nik Rakib (Thailand) mengatakan, kegiatan ini membutuhkan perhatian bersama bahwa bahasa dan sastra Melayu penting. (h/sha/ang)