Haluan 17 Juli 2011

Page 14

14

Kultur

MINGGU,17 JULI 2011 M 16 SYA’BAN 1432 H

ESAI FESTIVAL SITI NURBAYA

Dari Fiktif ke Fakta: Tafsir Keliru Disbudpar Oleh RAGDI F. DAYE

“MINYAK abih, samba ndak lamak.” Festival Siti Nurbaya 2011 baru saja usai. Acara yang digadang-gadangkan oleh pemerintah kota sebagai ikon pariwisata Kota Padang ini menghabiskan dana APBD sebesar ratusan juta rupiah—untuk pengadaan hadiah. Apabila indikator kesuksesan acara serupa ini diukur dari jumlah pesertanya, maka festival ini gagal total karena jumlah penonton acara ini setiap harinya tak sampai 100 orang, kecuali pada saat pembukaan dan penutupan. Boro-boro mendatangkan wisatawan dari ujung dunia, acara ini hanya diramaikan oleh rombongan peserta, fotografer, wartawan, PKL, dan—tentu saja—panitia dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sendiri. Utopia yang dilambungkan ketika acara ini mulai digelar benar-benar membuat jengah. Di dalam wawancara dengan sebuah media (Singgalang, Minggu, 3 Juli 2011), Kadis Budpar Kota Padang mengungkapkan alasan digelarnya acara ini, yakni “Kota/kabupaten lain di Indonesia banyak memiliki ikon kegiatan seni dan budaya. Lalu, banner-nya sering terpajang pada tempat-tempat strategis di Jakarta, termasuk di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Sementara itu, Kota Padang tak terlihat banner-nya. Dari situlah muncul ide saya untuk menciptakan suatu kegiatan yang menjadi ikon Kota Padang. Makanya, muncullah ide untuk menciptakan kegiatan seni dan budaya dengan nama Sitti Nurbaya.” Saya yakin sekali Pak Kadis telah melakukan studi mendalam sebelum merealisasikan ide briliannya ke dalam wujud Festival Siti Nurbaya. Niat baiknya untuk menyejajarkan Kota Padang dengan kota-kota lain di Indonesia—dalam hal memajang banner promosi di Jakarta—begitu mengharukan dan patut didukung sepenuh hati. Bukankah selain berkarakter suka mancimeeh, sebagai orang Minang, kita juga gemar malagak? Studi dan persiapan sungguh-sungguh yang dilakukan terlihat dari banyaknya ragam kegiatan yang diangkat, seperti lomba pembacaan novel Siti Nurbaya, berbalas pantun, randai, baju kuruang basiba, maelo pukek, lagu Minang, sandal tampuruang, malamang, manggiliang lado, mangukua karambia, serta pemilihan Siti

Nurbaya dan Samsul Bahri sebagai duta wisata. Selain itu dilibatkannya 104 kelurahan yang tergabung dalam 11 kecamatan dalam Kota Padang dan PT (Persero) Balai Pustaka yang menerbitkan novel Siti Nurbaya, menunjukkan keseriusan dinas terkait. Menunggang Nama Legendaris Ketika bandara internasional di Ketaping dinamai Bandara Internasional Minangkabau, banyak orang yang tergelitik karena baru di Sumatra Barat-lah nama suku bangsa (etnis) dijadikan sebagai nama bandara—sementara di daerah lain yang dijadikan nama adalah nama tokoh besar atau tempat. Hal itu seperti menyiratkan narsisme orang Minang yang sangat tergila-gila pada diri sendiri. Tahun ini sebuah festival seni budaya di Padang memakai nama tokoh fiktif dalam novel (sekali lagi novel, bukan legenda, apalagi sejarah) sebagai nama acara, yakni Festival Siti Nurbaya. Tak kalah menggelitik. Baru di sinilah sesuatu yang fiktif menjadi fakta! Alasan dipakainya nama Siti Nurbaya adalah karena nama itu sangat populer, baik di lokal (Sumatra Barat), maupun di nasional (Indonesia) dan regional (Asia Tenggara). Alasan yang cerdas. Pertanyaannya adalah sebagai festival yang berorientasi promosi pariwisata, apakah penggunaan nama tersebut telah disertai dengan upaya pemahaman dan pengkajian terhadap novel Siti Nurbaya sehingga relevan? Menurut pengamatan saya, penggunaan nama tersebut lebih terkesan tempelan karena substansi kegiatan festival belum benar-benar berhubungan dengan Siti Nurbaya sebagai sebuah karya sastra besar yang layak diapresiasi secara intelek. Siti Nurbaya adalah judul novel klasik (roman) terkenal karya Marah Rusli yang terbit tahun 1922 dan dianggap sebagai pembaharu roman modern Indonesia. Dalam penerimaan di masyarakat, Siti Nurbaya mengalami transformasi yang cukup menarik. Siti Nurbaya sangat familier dalam masyarakat, namun cenderung diposisikannya sebagai legenda sejarah, bukan tokoh fiktif (yang hanya khayalan, tak pernah ada dalam dunia nyata), sehingga masyarakat pun memitoskan tokoh tersebut, salah satunya dengan

membuat makamnya di Gunung Padang. Acara-acara di dalam Festival Siti Nurbaya didominasi oleh kegiatan atraksi untuk tujuan pariwisata yang hampir tak ada hubungannya dengan Siti Nurbaya. Lihatlah misalnya lomba baju kuruang basiba, maelo pukek, lagu Minang, sandal tampuruang, malamang, manggiliang lado, mangukua karambia, serta pemilihan Siti Nurbaya dan Samsul Bahri sebagai duta wisata. Jika panitia benar-benar telah membaca novel Siti Nurbaya dan mempunyai penghargaan (apresiasi) yang tulus pada karya sastra sebagai khazanah intelektual, tentu acara yang digelar akan berbeda. Saya telah berulang kali membaca novel Siti Nurbaya dan tak menemukan ada narasi tentang baju kuruang basiba, maelo pukek, menyanyikan lagu Minang, sandal tampuruang, malamang, manggiliang lado, atau pun soal mangukua karambia di dalamnya. Beberapa realitas sosiologis yang ada di dalam novel itu justru menunjukkan pertemuan tradisi Minangkabau dengan gaya hidup zaman kolonial Belanda yang cukup kontras. Dari segi tradisi lokal masyarakat Minangkabau (wilayah rantau; Padang) misalnya disebutkan soal menjahit baju kerawang (dilakukan oleh Rukiah), rangkaian pesta perkawinan yang puncaknya baralek tujuah hari tujuah malam, gelar kebangsawanan seperti sutan, puti, siti, marah; ada lomba bendi di tepi Batang Arau, ziarah ke kuburan di seputar Gunung Padang, kue yang dijajakan wajik, lemang (salah satunya dimakan Siti Nurbaya sebelum meninggal). Dari segi modernisasi dan

pengaruh kolonialisme, kita akan bertemu dengan sekolah Belanda di Pasa Ambacang, pesta perpisahan yang disertai tarian walz dan minuman, panorama toko-toko dan gudang-gudang di Pasa Gadang serta Kampung Cina, Pelabuhan Muaro, Pelabuhan Teluk Bayur (Emma Haven), tempat rekreasi Gunung Padang, dan lain-lain (selengkapnya ada dalam tulisan Deddy Arsya, “Tempat-Tempat Wisata dalam Novel Siti Nurbaya”). Sedangkan dari segi sejarah, kita disuguhi gambaran Kota Padang peralihan abad 19-20, dengan tempat-tempat bersejarah, seperti kantor jaksa, bangunan-bangunan kota tua, kereta api, kapal-kapal, kampung-kampung urban (Kampung Jawa, Ranah, Tarandam, Belantung), dan Perang Pajak di Koto Tangah. Apabila festival tersebut benar-benar bersandar pada n o v e l Siti Nurbaya— t a k sekadar mencomot namanya begitu saja—sepatutnya akan mempertimbangkan unsurunsur penting di dalam novel. Buku itu menggambarkan potret masyarakat Padang pada sebuah zaman, dengan mengungkapkan banyak fakta sosiologis dan sejarah. Ketika memakai nama Siti Nurbaya, konsekuensinya adalah festival itu harus relevan dengan isi novel agar tidak terjadi pengeroposan dan penghampaan makna karya sastranya. Coba bayangkan Siti Nurbaya memakai baju kuruang basiba dan kerjanya mangukua karambia, malamang, jo manggiliang lado. Atau Samsul Bahri dan Datuk Maringgih bekerja maelo pukek s e t e l a h m i n u m j u s pinang. Mungkin saya perlu membaca novel itu sepuluh

kali lagi. Memang, selain lombalomba atraksi tradisi yang ditujukan untuk melestarikan budaya masyarakat, ada juga kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sastra, seperti sarasehan sastra dan pariwisata, lomba membaca fragmen, lomba berbalas pantun, lomba menggambar, dan lomba menulis kritik sastra Siti Nurbaya yang terselenggara atas kerja sama dengan Balai Pustaka dan Padang Institut. Namun, lagilagi diadakan tak sepenuh hati. Contoh kecil dari segi penghargaan terhadap pemenang lomba, bila juara pertama lomba pemilihan Siti Nurbaya – Samsul Bahri atau manggiliang lado diberi hadiah 2 hingga 2,5 juta, juara 1 untuk lomba menulis kritik sastra hanya dianugrahi hadiah 1 juta rupiah (setara dengan hadiah untuk juara 3 di lomba mangukua karambia dan sejenis). Ketimpangan ini secara gamblang menunjukkan bagaimana rendahnya penghargaan panitia (dalam hal ini Dinas Budpar) terhadap sastra. Bidang sastra diperlakukan sebagai pelengkap—sekadar pelepas tanya— dan tidak penting. Apakah Dinas Budpar sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengurus kebudayaan benar-benar hendak mengenalkan dan melestarikan karya sastra sebaga bagian dari kebudayaan, atau hanya sekadar memanfaatkannya? Orang Lain versus Diri Sendiri Di dalam Seminar Sehari “Sastrawan dan Budayawan Minang”, 5 Juli 2011 di Museum Adityawarman, Surya Yuga, staf ahli Kementeriaan Kebudayaan dan Pariwisata RI menerangkan panjang lebar soal kepariwisataan. Dia mengung-

KESAN-KESAN MENGIKUTI LOMBA FRAGMEN NOVEL SITI NURBAYA

Semalam Menjadi Samsul Bahri

Oleh RAFI’I HIDAYATULLAH NAZARI

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang Terbang melayang si kunang-kunang Anak balam mati tergugur Jika siang tak dapat senang Jika malam tak dapat tidur ***

Potongan cerita di atas adalah cerita yang dimainkan oleh kelompok Teater Batitiak dalam lomba Fragmen Novel Siti Nurbaya pada Festival Siti Nurbaya 2011 di Museum Aditiyawarman, Selasa (5/7) lalu. Pada lomba fragmen ini, panitia menyediakan enam naskah yang diambil dari potongan-potongan cerita Novel Siti Nurbaya, yaitu; Pertama, Berjudul Samsul Bahri dan Siti Nurbaya Berjalan-jalan ke Gunung Padang. Kedua, Samsul Bahri yang akan merantau ke Jakarta Mendapat Firasat Buruk. Ketiga, Datuk Maringgih. Keempat, Berbalas Pantun dalam Surat Cinta. Kelima, Ayah Siti Nurbaya Meninggal Tiba-tiba. Keenam,

Samsul Bertarung dengan datuk Maringgih. Dari keenam naskah tersebut, peserta diperbolehkan memilih salah satu naskah. Kemudian, peserta dituntut untuk bisa memvisualkan naskah tersebut dalam bentuk olah peran. Dari keenam naskah fragmen itu pulalah, kelompok Batitiak memilih naskah fragmen nomor empat. Fragmen ini bercerita tentang Samsul dan Nurbaya yang berbalas pantun dalam surat cinta. Naskah sepanjang tiga halaman ini dimainkan oleh tiga orang pemain, yaitu pembawa cerita, Siti Nurbaya, dan Samsul Bahri. Dalam penampilan kelompok Batitiak, Pembawa cerita diperankan oleh Julnadi. Tokoh Siti Nurbaya diperankan oleh Mentari Delatisya. Sedangkan untuk tokoh Samsul Bahri, saya sendirilah yang memerankannya.

Setelah MC memanggil kelompok nama kelompok kami, segera kami mengisi panggung. Sesaat sebelum mulai, saya menatap beberapa penonton Wajah penuh harapan terpancar, berharap apa yang kami tampilkan memukau mereka. Kemudian kami larut dalam pertunjukan kami. Pertunjukan berakhir, tepuk tangan pun bergulir. Perasaanku tak menentu, senang, haru, bangga, serta binggung bercampur baur. Baru pertama kali kurasakan hal seperti ini. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Bagaimana tidak? Ini adalah pengalaman pertama saya menjadi seorang aktor. Ya, meskipun jauh dari kata sempurna, namun ini pengalaman yang tak ‘kan pernah terlupakan. Bisa memerankan tokoh Samsul Bahri, tokoh yang selalu disebut-sebut sepanjang masa. Ditambah lagi, pada acara Lomba Fragmen tersebut juga dihadiri langsung oleh Taufiq Ismail. Sejak saat itu, saya menjadi tahu bagaimana rasanya menjadi seorang aktor, berada

dipanggung. Bukanlah hal yang mudah untuk menjadi aktor. Butuh keseriusan, ketekunan dan motivasi dari dalam diri sendiri. Ternyata, untuk satu pertunjukan yang hanya berberapa menit saja meramaikan panggung, butuh persiapan yang matang. Tak jarang hal tersebut harus dilakukan oleh seniman selama berhari-hari, berbulan-bulan, hingga hitungan tahun. Mulai dari persipan naskah, latihan, desain panggung, properti, hingga dana, demi mendapatkan apresiasi yang lebih dari penonton. Bukan hanya itu, dalam mempertunjukkan karyanya di atas panggung, setiap seniman selalu menyelipkan pesan-pesan positif bagi penontonnya. Jadi, suatu pertunjukan bukan sekedar hiburan semata, tapi sebagai salah satu media edukasi yang sangat efektif. Pacaran yang Berbeda Kisah yang saya perankan ini menceritakan kisah p e rc i n t a a n . Ya , p a c a r a n antara dua remaja yang terpisah jarak dan waktu,

menyebabkan ada rindu di antara mereka. Rindu-rindu tersebut mereka ubah dalam bentuk pantun. Ditulis pada sepucuk kertas. Diramu, sehingga menjadi sangat menarik, unik dan kreatif. Kata-kata rindu mereka yang bersastra ria itu mereka kirim melalui Pos untuk pasangan mereka. Kini, gaya pacaran seperti itu sepertinya tidak ada lagi di kalangan remaja saat ini. Tak ada lagi remaja yang menulis surat, karena sudah tergatikan oleh SMS, yang dapat dikirim dan sampai dalam hitungan detik. Jika mereka rindu, mereka tinggal pencet tombol call, kemudian berbicara sepuas hati. Bukan hanya itu, jika bosan mereka berkomunikasi via SMS ataupun telepon, ada Facebook, Twitter, Blackberry Messenger, dan jejaring-jejaring lainnya sebagai pengganti. Sayangnya, kemunculan teknologi seakan menghapus budaya seperti itu. Bukan bermaksud menyalahkan perkembangan teknologi yang begitu pesat, tapi itulah fakta yang terjadi.

kapkan bahwa pariwisata perlu menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Semua pihak harus mendukung penuh jika ingin pariwisata di daerahnya maju. Pariwisata dianggap berpotensi besar untuk meningkatkan perekonomian dan menambah devisa. Pembenahan fisik dan mental perlu dilakukan supaya wisatawan yang datang merasa puas berkunjung ke daerah dan datang lagi. Salah satu masalah dalam pelayanan pariwisata ini di antaranya adalah kurang memadainya fasilitas pendukung di tempat wisata seperti jalan, transportasi, toilet, pusat informasi, dan pusat suvenir, kurangnya pemandu wisata, serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk bersikap ramah kepada wisatawan— sudah jadi pembicaraan umum tentang urang bagak (preman) yang melakukan pungli atau pedagang yang menaikkan harga berkali lipat di tempat wisata. Perihal kepariwisataan ini, pemerintah ingin masyarakat bersikap manis pada wisatawan dan menunjukkan ‘keasliannya’ yang eksotis—mirip sekali dengan pandangan kaum Orientalis dalam memandang manusia Timur. Seolah-olah masyarakat hendak diformat sedemikian rupa untuk menyukseskan program pariwisata. Bukankah jika pariwisata maju, masyarakat akan makmur? Ada yang terlupakan ketika menyalahkan masyarakat sebagai salah satu penyebab belum berhasilnya pariwisata. Masyarakat belum sepenuhnya menjadi turis domestik atau tuan rumah yang baik karena kehidupan mereka jauh dari sejahtera. Bagaimana bibir mereka akan mengembangkan senyum jika gizi mereka belum terpenuhi, uang sekolah anak belum terlunasi, kesehatan tidak terjamin, dan masa depan masih tidak jelas? Sementara kegiatan-kegiatan pariwisata lebih cenderung untuk orang lain—nan rancak-rancak agiahan ka urang, nan buruakburuak tinggaan untuak awak. Kita sering teramat serius menyambut dan memuaskan orang lain dan abai untuk membahagiakan, menyenangkan, atau mencerdaskan diri (masyarakat) sendiri. Pada acara penutupan Festival Siti Nurbaya seorang bule asal Australia mendapat kehormatan untuk tampil bernyanyi. Berulang kali pembawa acara mengumumkan acara itu seolah-olah sangat spesial. Penampilan yang membawa napas tradisi hanya dua, yakni sebuah lagu Minang dan Tari Piring kontemporer, selebihnya hanya

kata-kata sambutan yang berbusa-busa untuk menunjukkan alangkah berbudayanya wakden ko, dan agenda acara yang tidak jelas. Potensi karya sastra sesungguhnya memang dapat dimanfaatkan untuk membantu pariwisata, apalagi di daerah yang terkenal melahirkan banyak sastrawan besar ini. Kegiatan wisata merupakan kebutuhan manusia karena fitrah manusia menyukai keindahan (kesenangan). Pariwisata berbasis karya sastra menunjukkan budaya masyarakat yang tinggi dan intelek sebab sebuah karya sastra diciptakan seorang pengarangnya dengan menguras pikiran, perasaan, atau pun pengalaman hidupnya untuk menjadi bahan pikiran dan renungan bagi pembacanya. Idealnya, Festival Siti Nurbaya selain diisi dengan pentas dan atraksi seni, bisa diperkaya maknanya dengan kegiatan-kegiatan intelektual, seperti pembenahan dan pengenalan tempat-tempat historis yang digambarkan di dalam novel (Pasa Gadang, Kampung Cino, Batang Arau, Pelabuhan Muaro, Gunung Padang), penumbuhan kecintaan masyarakat terhadap sastra (dengan kegiatan membaca dan menulis karya sastra, seminar sastra budaya, pertunjukan seni sastra, pertemuan sastra Indonesia atau dunia, penerbitan buku, dan anugrah sastra budaya), pengenalan Marah Rusli dan novel Siti Nurbaya, mengungkapkan dan menandai fakta-fakta sejarah dengan napak tilas, pembangunan tugu Perang Pajak, serta menguatkan keintiman museum dengan masyarakat kota-kota besar beradab mempunyai museum hebat dan dicintai warganya. Festival itu tentu lebih komprehensif dan besar sebagai ikon sebuah kota dengan melibatkan banyak komponen yang kompeten pemerintah, sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, peneliti, jurnalis, pengusaha, dan masyarakat sendiri. Apabila tahun depan masih akan diadakan dengan nama Festival Siti Nurbaya, terlalu dangkal rasanya jika hanya sekadar memamerkan orangorang cantik dan gagah melenggak-lenggok sebagai Siti Nurbaya dan Samsul Bahri palsu, atraksi memasak lemang, menggiling cabai, memarut kelapa, membuat jus pinang, atau menarik pukat. Lebih baik ganti saja namanya menjadi Festival Kukua Karambia atau Festival Manggiliang Lado. ’Kan lebih relevan dan tak ada duanya di dunia.

RIMA

Padang Membaca Gelar Diskusi Buku dan Budaya Arsip KOMUNITAS Padang Membaca (KPM), hari ini, Minggu 17 juli 2011, pukul 14.00, menggelar diskusi bersama Suryadi, dosen/peneliti di Leiden University Institut for Area Studies (LIAS), Belanda. Suryadi akan mengangkat makalah dengan judul: Buku, Budaya Arsip dan Kemajuan Bangsa. Acara yang akan dimoderatori oleh Nasrul Azwar ini diadakan di Museum Adhityawarman, Jalan Diponegoro, Padang. Menurut Ketua KPM, Yusrizal KW, tema yang diambil dalam diskusi, merupakan bagian dari gerakan yang menginspirasi masyarakat, agar memiliki pijakan, bahwa gerakan membaca, bangun perpustakaan, juga budaya arsip, bagian penting dari kemajuan bangsa. Dalam hal ini, KPM ingin menjadikan budaya arsip, sebagai salah satu isu perjuangan gerakan membaca dan membangun perpustakaan bersama masyarakat. “Kesadaran yang tinggi tentang kearsipan telah menyebabkan isi perpustakaan di negara-negara maju relatif berbeda dengan perpustakaan-perpustakaan di negara berkembang yang sering lebih diidentikkan dengan buku saja. Sebagai ilustrasi, di Pepustakaan KITLV Leiden, misalnya, tersimpan eksemplar surat undangan palewaan gala datuak untuk almarhum Tan Malaka dan piringanpiringan hitam lagu-lagu Indonesia dari zaman ‘mesin bicara’. Apakah di Perpustakaan Universitas Andalas, misalnya, kita dapat menemukan kaset-kaset dan VCD kaba dan lagu-lagu pop Minang dan edisi-edisi koran Mimbar Minang yang dulu pernah terbit di Padang?” kata Suryadi, alumni Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Menurut Roni Saputra, Koordinator Wakaf Buku KPM, kegiatan diskusi dan iven lainnya yang digelar oleh KPM, selalu akan diselai dengan wakaf buku. Menurut Gusriyono, Sekretaris KPM, pada hari ini, juga diterima pendaftaran keanggotaan KPM dengan mengisi formulir yang telah disediakan. Anggota-anggota yang telah terdaftar, nantinya, akan diberi kegiatan khusus, semisal pelatihan dan lainnya. (h/naz)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.