Aduh, nee, Blandas!

Page 1

ÂTwâ{? Çxx? UÄtÇwtá4Ê Gunaryadi


Halaman ~ ii


Halaman ~ iii

Karya fiksi ini dibingkiskan buat mereka yang telah mengantar penulis hadir di dunia yang fana ini: M. Yahya dan Aisyah. Berkat rintih do’a mereka, selubung Taqdir pun terbuka bagi penulis untuk meneruka jantung Eropa. Semoga pada dinding Jannah tertera amal jariah beliau berdua.


“Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan [lebih banyak] bekas-bekas mereka di muka bumi [bangunan, alat perlengkapan, benteng-benteng dan istana-istana], maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka.” (Q.S. Al-Mu’min: 82)

Halaman ~ iv

INDOCASE Press ‘s-Gravenhage - Nederland Juli 2007

NBN

1184745465938

Koninklijke Bibliotheek Nederland

ISBN: 9789490633011


SEKAPUR SIRIH DAN TERIMA KASIH

Halaman ~ v

K

arya ini bukanlah sebuah biografi atau hasil pengamatan yang bersifat ilmiah. Dan ia barangkali bisa pula dianggap subyektif karena ia memang tidak lebih merupakan refleksi fiktif dari pergumulan rasa penasaran seorang perantau, kekonyolan, kenaifan, goncangan budaya, dan hal-hal baru yang ditemuinya di negeri asing yang sewaktu dia di kampung dulunya paling akrab di telinganya: Negeri Belanda. Anak rantau itu bernama Simongel van Selagan. Kalau terdapat perbandingan antara keadaan Indonesia dan Belanda dalam buku ini, anggaplah sebagai pelajaran semata karena membandingkan secara an sich negeri yang pernah menjadi ‘De Hoge Heer’ alias ‘Tuan Besar’ di Indonesia selama kurun sekitar 350 tahun dengan Indonesia yang berusia kurang dari tiga-perempat abad bukanlah sesuatu yang adil. Pengalaman Simongel dalam kisah ini adalah salah satu pola merantau atau yang secara sosiologis disebut voluntary migration yang sangat lazim dalam masyarakat Minangkabau. Awalnya Simongel datang ke Negeri Belanda untuk studi di Universitas Leiden, yang kemudian memberinya kesempatan menetap di Negeri Tulip itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan sebagian ungkapan dan istilah yang digunakan dalam buku ini merupakan bagian yang inherens dari bahasa dan kultur Minang. Dalam konteks waktu, kisah-kisah yang terdapat dalam buku ini mengambil penggalan tahun 1998-1999. Dari segi ruang, sebagian besar kisahnya mengambil tempat di Leiden, sebuah kota yang sudah seperti kampung halaman yang baru bagi Simongel. Konteks ruang dan waktu ini cukup penting diketahui, karena baik secara material dan immaterial, perubahan yang sangat cepat bisa saja terjadi terhadap setting ceritanya sehingga ia berbeda dari realita yang paling mutakhir. Kiranya buku ini bisa pula berperan sebagai pelengkap informasi bagi mereka yang punya rencana untuk datang ke Belanda. Peran yang komplemeter ini disebabkan oleh keterbatasan ruang dan waktu. Dan pengamatan tersebut masih bersifat eksploratif. Sedangkan judgement adalah wewenang prerogatif pembaca. Masa satu tahun dan domisili hanya di satu kota di Belanda tentu saja tidak cukup untuk mendapatkan gambaran tentang Belanda secara utuh. Hingga sekarang pun, Simongel— begitu pula dengan banyak perantau muda lainnya—masih mengamati dan mempelajari kultur Belanda khususnya dan Eropa Barat umumnya, serta mencoba ‘menyelam’ di dalamnya walaupun karena beberapa hal yang prinsip terkadang membuat dia tidak bisa berlaku sebagai partici-


Halaman ~ vi

pant observer dalam makna yang sejati. Manfaat lain, semoga buku ini memberikan inspirasi bagi calon perantau yang berniat mengharungi hempasan dan riak samudera perantauan. Nama-nama pelaku dan tempat yang terdapat dalam kisah ini sebagian ada yang sesuai dengan yang sebenarnya, agar lebih dekat dengan realita. Tetapi pada bagian tertentu yang dianggap sensitif, nama dan tempat itu disamarkan, agar lebih sopan dan tidak menyinggung perasaan. Oleh karena itu mohon dimaafkan dan diucapkan banyak terima kasih atas pencantuman nama serta peran dari para pelaku yang ada dalam buku ini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Akhirnya, terima kasih secara khusus buat Dessy, isteri penulis. Kemudian, terima kasih dan cinta tertuju kepada kedua puteri kami yang juga terlahir di negeri ini, Jasmijn dan Hannah, yang tangis dan tawanya telah banyak mewarnai penyelesaian naskah buku ini. Akhirnya, terima kasih juga kepada Myrna Eindhoven dan Amis Boersma yang telah berperan sebagai local resources yang memberikan masukan dan sumbangan penting, khususnya yang berkaitan dengan istilah dan fakta di Belanda. Semoga bermanfaat.


DAFTAR ISI

Halaman ~ vii

SEKAPUR SIRIH DAN TERIMA KASIH ............................... v DAFTAR ISI ................................................. vii 1. MENAPAK PANGGILAN HATI .................................... 1 2. PADANG .................................................... 4 3. NETHERLANDS EDUCATION CENTRE .............................. 8 4. KE JAKARTA ............................................... 11 5. KE AMSTERDAM ............................................. 13 6. GOEIE MORGEN, NEDERLAND! ................................. 17 7. YOUTH HOSTEL ............................................. 19 8. NIEUWEROORD .............................................. 22 9. SEPEDA ................................................... 28 10. SELAMAT DATANG, MAHASISWA ASING! ........................ 33 11. KULIAH LAGI ............................................. 36 12. MAHASISWA PROGRAM STUDI INDONESIA ....................... 43 13. MALAM INDONESIA ......................................... 47 14. GROENOORDHALLEN ......................................... 49 15. TIGA OKTOBER DAN UNIVERSITAS LEIDEN ..................... 52 16. KONINGINNEDAG ........................................... 54 17. TALIS AWARDEES’ GATHERING ............................... 56 18. À PARIS ................................................. 59 19. PASAR MALAM BESAR ....................................... 65 20. OPENBAAR VERVOER ........................................ 67 21. TOBIAS ASSERLAAN 8 ...................................... 71 22. MUSIM DI BELANDA ........................................ 73 23. PONSEL DI BELANDA ....................................... 80 24. TOT ZIENS, NIEUWEROORD! ................................. 83


Halaman ~ viii


A

1. MENAPAK PANGGILAN HATI

dalah mimpi masa kecil Simongel untuk merantau, menetap dan bekerja di negeri orang. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Barangkali nenek moyangnya dahulu juga pengelana yang secara sukarela menjadi diaspora di perantauan yang kemudian menetap di Mukomuko. Simongel dilahirkan, menikmati masa kecil dan remajanya di Mukomuko, sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatera. Walaupun Mukomuko merupakan bagian dari Propinsi Bengkulu, tetapi kota ini berbatas dengan Propinsi Sumatera Barat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kultur, sistem kekerabatannya yang matrilineal, kepercayaan, dan sebagainya sangat dipengaruhi oleh budaya Minangkabau. Ada pula yang menyimpulkan bahwa bahasa Mukomuko adalah salah satu ‘dialek’ dari bahasa Minangkabau. Menurut tambo atau silsilah, sebagian orang Mukomuko mengklaim bahwa mereka masih keturunan aristokrat Pagaruyung Minangkabau yang datang melalui Inderapura, Pesisir Selatan. Disamping itu, didapati pula banyak diantara mereka yang merupakan keturunan campuran antara etnis Minangkabau, Arab, Parsi dan India yang telah berasimilasi dengan etnis Jawa di Gresik Jawa Timur serta pesisir barat Sumatera— yang mendarat di sana beberapa generasi sebelumnya. Percampuran lain yang mungkin adalah antara etnis Bugis, Aceh dan Banten. Tetapi yang terakhir ini sulit dikonfirmasikan karena hanya berdasarkan dugaan bahwa pengaruh Kesultanan Aceh dan Banten pernah sampai di sana.

Simongel adalah anak semata wayang dari pasangan yang tidak begitu miskin dan tidak pula begitu kaya. Meskipun demikian, Simongel tidak tumbuh menjadi anak yang manja. Karakternya sedari kecil banyak dipengaruhi oleh pendidikan yang dia terima. Sewaktu Simongel mulai berangkat remaja, di waktu senggang sore hari, mereka sering berkumpul bersama orang tuanya. Dalam kesempatan itulah Ayah-Ibunya mengulang-ulang kisah tentang pahit dan getirnya kehidupan mereka dari masa kecil hingga dewasa. Begitu banyak pengalaman mereka yang menjadi motivasi bagi Simongel. “Simongel, lihatlah siluet kumpulan burung di ufuk sana. Mereka terbang kembali ke sarangnya,” kata Ayahnya. “Mengapa mereka tidak nginap saja di sawah yang lagi menguning di dekat rumah kita?” tanya Simongel yang sudah tumbuh jadi ABG itu.

Halaman ~ 1


Halaman ~ 2

“Mereka punya sarang dan anak di hutan di kaki bukit sana. Mereka mencari rezeki berupa makanan, dan sebagian dibawa pulang untuk menyuapi anak-anak mereka,” jawab Ibunya menyela. Percakapan itu kemudian berakhir dengan suatu pelajaran bahwa hidup tidaklah semudah yang dibayangkan. Pelajaran lain yang diperoleh Simongel adalah sikap janganlah terlalu berharap kepada sanak familiwalaupun mereka yang sudah mapankarena kalau kita mohon bantuan kepada famili dan itu ditolak, pedihnya lebih menyayat daripada jika permohonan kita ditolak oleh orang lain. Kalau mau sukses, berusahalah sendiri serta bekerja keras. Jangan mudah patah semangat. Banyak membaca kisah-kisah orangorang sukses di masa lampau. Taat beragama, berbuat baik dan selalu menjaga hubungan silaturrahim, menghormati orang yang lebih tua dan mengasihi yang lemah. Itu sebagian dari pendidikan budi pekerti yang dia dapatkan dari orang tua dan karib kerabat yang sudah sepuh. Simongel merasa beruntung karena kedua orang tuanya memegang prinsip bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan satusatunya kunci untuk memperbaiki nasib dan keberhasilan dalam kehidupan Dunia dan Akhirat. Mereka tidak mau mewariskan Simongel dengan harta benda. Mereka berupaya sekuat-kuatnya membekali puteranya itu dengan pendidikan yang terbaik dan suasana keluarga yang demokratis dan harmonis. Masa kecil baginya adalah masa-masa di mana dia merasa sangat dekat dengan alam. Mandi, berenang, menyelam lokan, dan mendayung sampan atau rakit di Sungai Selagan. Ikut berburu babi hutan, ‘mencuri’ kelapa muda atau mangga. Berkemah di hutan, memancing dan menjala ikan di pantai dan sungai. Membuat sangkar burung atau kapal dari pelepah rumbia kering, atau memikat burung bondo dan tekukur. Waktu malam, ketika bulan purnama atau langit penuh bintang dia sering berdiri di luar rumah sekedar menikmati betapa besarnya semesta ini. Sungguh Maha Agung penciptanya! Simongel mulai merasakan bahwa dunia ini begitu luas. Di balik gunung sana pasti ada negeri lain. Di balik laut sana pasti ada negeri lain. Tetapi semuanya masih misterius. Misteri yang membuat dia terkadang tidak sabar untuk segera merantau. Inspirasi berikutnya mulai muncul ketika dia menemukan sebuah buku Ilmu Bumi di rumah sepupunya. Padahal waktu itu dia baru mulai lancar membaca. Dia masih duduk di kelas 3 SD. Buku lusuh dan kulitnya yang sudah lepas itu sebenarnya untuk SLTP. Tetapi bagi Simongel, buku itu mengandung informasi yang luar biasa. Pada bagian awalnya dijelaskan propinsi-propinsi di Indonesia, dilanjutkan dengan negara-negara anggota ASEAN, Australia, Asia, Eropa, Afrika dan Amerika. Penjelasan tentang setiap negara selalu dilengkapi dengan gambar-gambar yang


Halaman ~ 3

menarik dari negara masing-masing. Imajinasi Simongel cilik tentang negeri asing semakin berkembang dan menyadari bahwa dunia ini sangat indah dan beragam. Disamping itu, dia juga gemar memperhatikan petapeta dan bola dunia. Dan korespondensi merupakan salah satu kegemaran favoritnya. Kalau ada turis asing yang datang ke Mukomuko dia selalu mengikutinya walaupun dia belum bisa berbahasa Inggris. Bahasa Tarzan pun jadi. Itu dia lakoni hingga dia mampu berbahasa Inggris cukup baik waktu sudah di SLTA. Turis Belanda yang pertama dan satu-satunya yang pernah dipandu Simongel ke Pantai Mukomuko ialah Pieter, asal Amsterdam, Belanda. Dia masih ingat ketika dia menulis surat berbahasa Inggris pertama kali ketika dia duduk di kelas 1 SLTA. Waktu itu dia mengirimkan datanya ke sebuah majalah sahabat pena internasional di Prancis. Simongel ingin mendapatkan sahabat pena luar negeri. Sudah lama dia menunggu, tidak ada jawaban. Lalu dia lupakan saja. Ketika dia sudah kuliah semester pertama di Padang, Simongel menerima kiriman sepucuk surat dari orang tuanya. Surat itu masih ditujukan ke alamat SLTA-nya. Surat itu dari seorang gadis Swiss. Namanya Daniella. Anehnya, dia baru menemukan data Simongel di majalah sahabat pena internasional itu 3 tahun kemudian! Gadis Swiss itu menulis di sampul surat pertamanya: ‘Dear Miss Simongel’. Dia rupanya menganggap Simongel juga perempuan. Padahal dia laki-laki tulen. Luar biasa! Memang waktu itu dia tidak menyebutkan jenis kelaminnya. Akhirnya mereka bersahabat pena beberapa tahun yang akhirnya terputus begitu saja. Masa awal yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan percaya diri Simongel untuk masa selanjutnya adalah waktu di SLTA tersebut karena aktif dalam kegiatan OSIS dan Gerakan Pramuka. Bahkan Simongel sempat dipercaya menjadi ketua kedua organisasi intrasekolah itu. Kesempatan itu pula yang memungkinkan dia bisa mengikuti berbagai kompetisi antar siswa yang salah satunya mengantar dia menjadi salah seorang Siswa Teladan Tingkat SLTA se-Provinsi di tempat tinggalnya. Impian Simongel memasuki babak berikutnya, ketika dia diterima pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Padang melalui Program PMDK. Sudah waktunya dia melangkahkan kaki dari titik nolMukomukountuk memulai perantauan. Baginya, melangkahkan kaki menjelajahi negeri orang bukan saja untuk sebuah masa depan tetapi juga merupakan suatu usaha perenungan makna kehidupan. Disamping itu, ada dorongan yang lebih kuat lagi yaitu motivasi transendental yang senantiasa berdegup kencang di kalbunya.


Halaman ~ 4

K

2. PADANG

arena diterima melalui PMDK di IKIP Padang, Simongel memutuskan untuk tidak lagi mengikuti UMPTN karena dia pikir bahwa bahasa Inggris merupakan kunci yang sangat tepat untuk membuat mimpinya menjadi kenyataan. Kota Padang tidaklah begitu asing dalam memori Simongel. Ketika berusia beberapa bulan dia sudah pernah dibawa orang tuanya jalan-jalan ke Padang. Sejak masuk SD, dia juga sering dibawa libur ke Padang, bergantian dengan kakak dan adiknya. Walaupun kuliah di IKIP, dia dari awal sudah tidak memegang prinsip bahwa tamatan Bahasa Inggris IKIP mesti berprofesi sebagai guru. Meskipun profesi itu mesti bisa dia perankan kalau keadaan menuntutnya demikian. Jadi, pada jurusan ini dia merasa lebih fleksibel dan dia sudah tidak punya cita-cita menjadi pegawai negeri. Banyak alumni jurusan itu yang tidak bekerja sebagai guru, tetapi sebagai diplomat, peneliti, bekerja pada perusahaan asing dan bahkan menjadi dosen di luar negeri. Simongel beruntung karena punya banyak senior yang bisa menjadi contoh yang baik. Dari awal kuliah Simongel sudah menyusun rencana untuk menyelesaikan program S1 dalam tempo 8 semester. Target itu tercapai dengan baik. Tidak saja target akademis tetapi juga organisasi kampus. Gabungan prestasi akademis dan sebagai aktivis ini sempat mengantarkannya meraih predikat ‘Mahasiswa Berprestasi’ di fakultasnya. Tetapi target untuk langsung melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya di luar negeri rupanya tidak tercapai. Dia harus berjuang dan bersabar beberapa tahun. Lalu dia mengambil TOEFL pada semester terakhir sehingga sewaktu tamat dia bisa langsung mengajukan permohonan masuk atau beasiswa ke program S2. Waktu itu tesnya bertempat di kampus Universitas Bung Hatta. Sehabis wisuda akhir 1995, dia mengajukan lamaran ke University of Tasmania, Hobart Campus. Dia diterima masuk Program Master (Riset) tetapi gagal dalam seleksi beasiswa. Jadi harus dengan biaya sendiri. Simongel sangat kecewa. Tahun berikutnya, dia mengajukan lamaran kembali tetapi kali ini ke Flinders University of South Australia, Adelaide. Dia diterima lagi masuk Program Master (Riset). Tetapi, lagi-lagi gagal dalam kompetisi beasiswa. Jadi, kalau mau terus, ya, dengan biaya sendiri. Simongel cuma bisa mengurut dada. Bukannya tidak mau, tetapi dia belum punya uang sebanyak itu. Dia coba putar otak. Seorang kenalan menyarankan mencari sponsor di Jakarta. Simongel berangkat ke Jakarta dengan tujuan yang tidak je-


Halaman ~ 5

las. Berusaha menghubungi kenalan di Jakarta dan beberapa organisasi termasuk ICMI Pusat, tetapi semuanya gagal, dan karena mungkin terlalu letih dia jatuh sakit. Setelah pulih Simongel pulang ke Padang. Permohonan beasiswa juga dia ajukan ke beberapa lembaga dan perusahaan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, AMINEF, Caltex, Pertamina, dll. Tidak ketinggalan pula kepada beberapa pengusaha dan kedutaan asing. Tetapi hasilnya nol koma satu, karena setidaknya dia mendapatkan beberapa informasi tambahan. Banyak pula permintaan informasi tersebut yang tidak berjawab. Kemudian dia menumpang magang di Bagian Otonomi dan Kerjasama IKIP Padang di mana salah seorang mantan dosen seniornya menjabat ketua badan tersebut waktu itu. Bagian ini memang lebih banyak berkaitan dengan kerjasama IKIP Padang dengan institusi internasional lainnya. Disamping itu, untuk lebih mendekatkan diri dengan sumber informasi lainnya dia juga mondar-mandir ke Bagian Humas IKIP Padang yang waktu itu juga dikepalai oleh salah seorang mantan dosennya yang cukup banyak memberi nasehat karena beliau juga aktivis mahasiswa dulunya. Disamping itu dia terus membina kontak-kontak ke luar negeri. Misalnya dengan salah seorang seniornya yang waktu itu sedang menjadi dosen di Universitas Tasmania. Juga dengan Editor Majalah Pelangi, yang waktu itu masih di Queensland. Bahkan Simongel sempat menjadi kontributor majalah pendidikan tentang Indonesia di Australia tersebut dalam beberapa edisi. Walaupun jalannya keluar negeri tetap masih kabur, tapi dia cukup senang karena kontak dengan luar negeri semakin terbuka. Pada saat yang sama, kawan-kawannya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk mengikuti tes penerimaan guru di Kanwil Depdikbud Sumatera Barat. Simongel sangat salut dengan semangat pengabdian dan keteguhan kawan-kawannya dengan keputusan tersebut. Sementara dia masih luntang-lantung, sementara status sudah berubah dari mahasiswa menjadi sarjana. Belum ada kerja tetap. Nganggur. Kata ini membawa beban psikologis tersendiri. Perasaan pada masa itu menjadi sangat sensitif. Kalau ada orang yang sedang tertawa di dekatnya, misal, dia merasa seolah-olah mereka sedang menyindir dirinya, meskipun sebenarnya orang itu tidak mentertawakan dirinya. Tetapi semuanya itu dia simpan dan kuburkan dalamdalam karena itulah resiko demi tercapainya sebuah impian. Beberapa kawannya menyarankan agar Simongel melanjutkan S2 di dalam negeri saja. Tetapi dia kurang tertarik. Bahkan dia masih sempat berkunjung ke fakultasnya dulu dan minta nasehat kepada mantan Pem-


Halaman ~ 6

bantu Dekan Bidang Kemahasiswaan, di mana Simongel mempelajari petuah ‘usaha menyeberang sungai’ dari beliau. Filsafatnya sederhana saja. Jika manusia bercita-cita menyeberang sebuah sungai di mana tidak ada jembatan dan alat penyeberangan, maka usaha pertama adalah mencari tepian yang lebih sempit jaraknya walaupun untuk itu seseorang harus ke arah hulu sekalipun. Kemudian mencari batu loncatan terdekat sebagai langkah selanjutnya. Dari sana mencari batu loncatan yang terdekat berikutnya. Begitulah selanjutnya sehingga semakin dekat ke seberang sungai. Tidak ada masalah kalau arahnya zig-zag. Yang penting tepian seberang sungai bisa dicapai tanpa mengorbankan prinsip, yaitu rambu-rambu agama dan adat. Itulah inti dari filsafat menyeberang sungai tersebut. Tidak lama berselang, salah seorang mantan dosennya mengajak Simongel mengampu mata kuliah Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Teknik Padang. Sebulan kemudian, dosen mantan supervisor tesisnya mengajak Simongel ikut serta dalam panitia Pertemuan Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura di Bukittinggi, Maret 1996. Dari sana dia diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta di Padang. Sementara itu semangatnya untuk merantau dan melanjutkan pendidikan tetap bergelora. Akhir 1996, dia iseng mengikuti tes masuk menjadi staf pengajar Universitas Bengkulu. Dia mengikuti tahap seleksi tertulis, dan lulus dengan baik. Kemudian datang telegram untuk mengikuti tes akhir. Simongel bimbang. Mau jadi dosen berarti peluangnya untuk sekolah masih terbuka. Tetapi dia punya pikiran lain. Kalau menjadi dosen, puncak karirnya sudah bisa diduga. Dari dosen muda, melanjutkan pendidikan, meraih gelar akademik master, lalu doktor, dan kemudian, mungkin bisa dianugerahi gelar profesor. Tetapi sampai pensiun juga akan seperti itu. Profesi ini tidak akan memberikan variasi hidup dan mobilitas sebagaimana yang diharapkan Simongel. Sedangkan pada saat yang sama Simongel sudah diangkat sebagai Pegawai Penyelaras (Liaison Officer) sebuah perusahaan Malaysia untuk kerjasama pendidikan tinggi. Kesalahan Simongel waktu itu ialah dia mengambil keputusan untuk tidak berangkat ke Bengkulu tanpa Istikharah. Mendengar berita ini, kedua orang tuanya agak kecewa. Tetapi mereka sadar bahwa cita-cita Simongel ke luar negeri tidak mungkin berubah lagi. Tahun berikutnya, atas saran induk semangnya di Malaysia, dia mengajukan lamaran ke Universiti Malaya dan biaya akan tanggung perusahaan. Lamaran dia ajukan, dan diterima masuk Program Rancangan Ijazah Tinggi pada Institut Pengajian Siswazah dan Penyelidikan di Universiti Malaya tersebut. Semua bahan pendaftaran sudah disiapkan. Namun itu terjadi awal paruh kedua 1997 ketika krisis moneter dan ekonomi sudah mulai mendera Indonesia dan Malaysia. Kontak ke Malaysia terpu-


Halaman ~ 7

tus. Harapan Simongel kembali kandas. Tetapi dia belum patah semangat. Dua bulan sebelumnya dia sudah menghubungi Pusat Pendidikan Australia Jakarta, dan mengisi formulir seleksi beasiswa Australian Development Scholarship (ADS). akhir 1997, dia termasuk salah satu segelintir yang dinyatakan lulus dan mengikuti seleksi di Universitas Andalas sebelum diberangkatkan ke Jakarta. Karena masuk dalam putaran ini Simongel mendapat jatah gratis mengikuti International English Language Test System (IELTS). Februari 1998 hasil seleksi diumumkan. Malang sekali, Simongel dinyatakan belum berhasil dan disarankan mengikuti seleksi tahun berikutnya. Karena tidak mendapatkan penjelasan secara detail tentang kegagalannya Simongel membuat analisa sendiri. Dia berpikir barangkali program studi yang dia pilih tidak termasuk prioritas pemerintah Indonesia dalam kerjasama bilateral tersebut karena dalam seleksi tersebut dia tetap menjadikan letter of acceptance dari Flinders University sebagai rujukan. Topik penelitian yang dia ajukan adalah ‘Kebijakan Pendidikan Australia terhadap Imigran setelah Perang Dunia II’. Artinya, topik itu sama sekali tidak relevan dengan tujuan program ADS, di mana pemerintah Indonesia menginginkan ilmu yang dipelajari oleh mahasiswa yang dikirim melalui program tersebut harus bermanfaat secara langsung dalam pembangunan nasional Indonesia. Kecewakah Simongel? Tentu saja! Tetapi, apakah dia berputus asa? Jawabnya: Tidak! Karena krisis moneter semakin parah, kesibukan di kantornya agak berkurang. Kesempatan ini digunakan Simongel untuk menyewa internet di sebuah sekolah tinggi ilmu komputer di Padang, karena kantornya waktu itu belum online. Setiap jam Simongel dikenakan biaya Rp 2.500,00. Itulah biaya sewa termurah saat itu di Padang. Internet memungkinkan dia mengakses informasi secara lebih efektif dan efisien. Setelah menempuh banyak lika-liku, Simongel semakin percaya bahwa berhasil atau gagalnya seseorang masuk ke dalam suatu kultur kosmopolit di masa depan sangat didukung oleh pemanfaatan kemajuan teknologi maya ini dan kecepatan dalam merespon setiap informasi, kesempatan, perubahan, danbahkankrisis secara kreatif. Bahkan ada beberapa alumni perguruan tinggi Indonesia yang direkrut dan didatangkan ke Belanda, tanpa diketahui oleh banyak teman-temannya yang lain, dengan memanfaatkan celah dan ceruk informasi internet ini.


3. NETHERLANDS EDUCATION CENTRE

Halaman ~ 8

S

ambil menunggu pengumuman hasil seleksi beasiswa ADS, Simongel terus mengakses internet. Rata-rata 4 jam per hari, 4 hari seminggu selama 6 bulan. Dia sudah lupa berapa persisnya uang yang telah dia habiskan untuk menyewa internet hingga akhirnya dia berangkat ke Belanda. Pokoknya, kalau kwitansinya dibundelkan, tingginya sudah sampai setebal 2 rim kertas HVS. Kiranya benar kalau sebuah cliché mengatakan: Informasi itu mahal! Hampir seluruh informasi tentang peluang beasiswa untuk mahasiswa asing dari berbagai negara maju sudah dia akses. Pada umumnya memerlukan waktu yang lama untuk bisakalaupun lulus dalam seleksiberangkat belajar ke negara yang bersangkutan, dan harus kembali ke Indonesia begitu studi selesai. Padahal Simongel sudah tidak sabar lagi untuk ke luar negeri dan tidak ingin kembali lagi ke Indonesia secara permanen. Disamping itu, beasiswa lebih banyak diberikan melalui kerjasama bilateral dan yang menjadi prioritas adalah tenaga pengajar, peneliti, atau pegawai negeri. Sedangkan dia bukanlah pegawai negeri. Salah satu skema yang menarik waktu itu ialah Beasiswa Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD) dari pemerintah Jerman. Simongel pun sudah mengisi formulirnya dan bahan permohonan akan dia kirim ke Kedubes Jerman di Jakarta, Agustus 1998. Sebelum permohonan itu dia lengkapi, Simongel sudah menghubungi seorang profesor yang mengampu ‘Master in Small Enterprises and Promotion Programme’ (MSEP) di Universitas Leipzig, Jerman. Simongel sudah mendapat lampu hijau untuk diterima dan profesor tersebut telah memberikan referensi untuk mengikuti seleksi beasiswa DAAD. Bulan Maret 1998, tanpa sengaja Simongel membuka situs NUFFIC (Lembaga Kerjasama Internasional Pendidikan Tinggi Belanda). Pada tahun pertama di IKIP 1991 dia pernah membaca bahwa NUFFIC juga memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia untuk belajar di Negeri Belanda. Dan Simongel juga sudah membaca bahwa Indonesia sudah memutuskan semua bantuan Belanda dalam konteks kerjasama bilateral tahun 1992. Logisnya bantuan NUFFIC juga dibekukan. Tetapi Simongel tetap saja menjelajah situs tersebut, hingga dia melihat ada celah untuk mengajukan beasiswa NUFFIC. Dia langsung mengontak mereka. Beberapa hari berikutnya, NUFFIC di Den Haag memberi tahu bahwa sekarang memang sedang dimulai program beasiswa baru untuk


Halaman ~ 9

mahasiswa Indonesia tetapi itu belum dalam skema kerjasama bilateral. Dan untuk itu Simongel harus mengajukan permohonan lewat perwakilan mereka di Jakarta: The Netherlands Education Centre (NEC). Dia layangkan e-mail ke NEC untuk meminta informasi sekaligus formulir. Beberapa hari kemudian Simongel mendapat bahan permohonan beasiswa yang lengkap dari NEC. TALIS demikian nama skema beasiswa NUFFIC tersebut yang merupakan singkatan dari Talented Indonesian Student Scholarship Program. Program TALIS ini mencakup program singkat, non gelar, dan master yang dengan masa studi maksimum 18 bulan. Dia segera mengisi formulir yang paling lambat dikembalikan bulan April tersebut. Simongel juga segera menghubungi Hanzehogeschool di Hogeschool van Groningen, menjajaki kemungkinan mengikuti program satu tahun ‘Master of International Business’ karena biaya kuliah program ini sesuai dengan yang dianggarkan melalui TALIS yaitu NLG 2.750,00. Sambil menunggu jawaban dari Groningen, formulir beasiswa NUFFIC itu dia isi dengan pilihan studi ke program bisnis di Groningen tersebut. Bahan tersebut baru bisa dia lengkapi dan kirimkan ke Jakarta hanya beberapa hari menjelang deadline. Simongel harus kembali menunggu. Sambil kerja, formulir beasiswa DAAD dia lengkapi kembali. Prinsipnya, mana yang duluan itu yang akan dia ambil. Pokoknya dia mesti secepat-cepatnya sekolah ke luar negeri karena dia melihat kondisi Indonesia akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali. Bulan Juni 1998 Simongel mendapat pesan e-mail dari NEC Jakarta bahwa bahan permohonannya sudah diproses serta dinilai layak dan mereka akan mengurus visumnya di Kedubes Belanda Jakarta. Tetapi mereka ingin kepastian tentang program apa yang akan diambil dan Simongel belum melampirkan surat penerimaan dari Universitas Groningen karena dia memang belum mengajukan surat tersebut dari universitas bersangkutan. Sekali lagi Simongel mengontak Universitas Groningen. Karena gelar S1-nya tidak berlatar belakang ekonomi atau bisnis, mereka minta skor Graduate Management Admission Test (GMAT). Simongel belum mengikuti tes tersebut. Dia pikir tidak mungkin dia mengikuti tes tersebut dalam waktu yang singkat, dan hasilnya tentu memerlukan waktu. Sedangkan pihak NEC perlu kepastian segera. Simongel dengan cepat banting stir. Dia mempelajari lagi universitasuniversitas Belanda dan program mereka di internet. Dia membuka situs Universitas Leiden. Dan syukur ada program non-gelar yang sangat menarik: Study Abroad Programme. Dia menghubungi koordinator pro-


Halaman ~ 10

gram tersebut dan minta NUFFIC Belanda mengirimkan bahan permohonannya ke Universitas Leiden. Dan dia diterima. Malang, ternyata biaya kuliahnya NLG 12.500,00. Padahal SPP maksimum dari NUFFIC hanya NLG 2.750,00. Kelebihannya harus dia tombok sendiri. Simongel menghitung-hitung biaya tersebut dan menarik kesimpulan bahwa biaya itu terlalu mahal untuk program non-gelar. Simongel bilang kepada koordinatornya bahwa dia tidak jadi mengambil program tersebut. Lalu dia diam saja dan tidak mengontak NEC lagi karena dia pikir tidak ada jalan lagi. Dan dia sudah pasrah kalau beasiswa NUFFIC lepas begitu saja. Eh, ternyata beberapa hari kemudian datang ultimatum dari NEC: Jadi atau tidak mengambil beasiswa NUFFIC tersebut karena visumnya harus segera diurus. Lalu Simongel menceritakan masalahnya. NEC menyarankan agar Simongel mempelajari program lain yang sesuai. Semangat Simongel bangkit lagi. Tanpa sengaja dia membuka situs Jurusan Studi Belanda, Universitas Leiden. Ternyata di sana ada program non-gelar ‘One-Year Program in Dutch Studies’ untuk mereka yang tidak punya latar belakang bahasa Belanda. Karena ada dalam satu universitas, dia minta koordinator ‘Study Abroad Programme’ mengirimkan bahan permohonannya ke Jurusan Studi Belanda itu. Dan dia langsung mendapat jawaban dari pengelola program bahwa dia diterima. Simongel sujud syukur. Semuanya itu berlangsung dengan cepat. Simongel yakin itu semua merupakan takdir jalan hidupnya. Dia minta Jurusan tersebut menembuskan surat penerimaan itu ke NUFFIC Belanda dan NEC Jakarta. Dan semuanya berjalan lancar. Sambil menunggu, NEC memberi tahu bahwa tiket harus dibayar duluan, dan nanti kalau sudah sampai di Belanda baru diganti (reimbursed). Biayanya waktu itu antara Rp 5 dan 6 juta untuk return ticket. Simongel terus terang saja bilang bahwa dia belum punya uang sebesar itu (mau minta bantuan pada orang tua tentu tidak pantas karena status Simongel bukan mahasiswa lagi, tetapi sudah ‘sarjana’). Akhirnya NEC membayar tiket untuknya. Beberapa hari kemudian Simongel mendapat surat kontrak beasiswa yang hanya untuk satu tahun itu langsung dia tanda tangani dan kirimkan kembali ke Jakarta. Berita ini belum dia beritahukan kepada siapa pun karena dia belum mendapat tanggal yang pasti kapan berangkat. Awal Agustus 1998 Simongel baru mendapat kepastian keberangkatan ke Belanda tanggal 25 Agustus. Waktu itu pihak NEC bertanya kepada Simongel, apakah tidak rugi nantinya kalau mengambil program non-gelar di Universitas Leiden itu karena dia tidak mendapatkan gelar apa-apa dan pada saat yang sama dia harus meninggalkan pekerjaannya selama 1 tahun. Kalau pulang ke


Indonesia tanpa gelar, bukankah agak sulit untuk promosi atau mendapatkan pekerjaan yang baru. Simongel menjawab, “Tidak apa-apa. Saya sudah lama ingin sekolah lagi, dan saya sering mengalami bahwa kesempatan baik seperti ini hanya datang sekali saja seumur hidup. Inilah saatnya. Saya yakin program tersebut akan mengubah hidup saya ke arah yang lebih baik.� Simongel segera menghubungi orang tua dan famili terdekat. Mereka sangat gembira dan mendukung. Simongel mohon kepada mereka untuk tidak menceritakan semua ini kepada orang lain karena dia tidak ingin cerita bahwa dia diterima di universitas di Australia beberapa tahun yang lalu telah menyebar di kampungnya, dan ternyata dia tidak jadi berangkat. Malu, ‘kan? Berita baik itu sebaiknya disampaikan kalau dia benarbenar jadi berangkat atau sudah sampai di Belanda. Awal Agustus tersebut Simongel pulang ke Mukomuko mohon do’a restu sekaligus pamit kepada kedua orang tuanya. Ketika mengunjungi sanak familinya yang terdekat, mereka bertanya mengapa Simongel pulang saat ini, karena di luar masa libur. Simongel cuma bilang bahwa dia ada sedikit keperluan. Setelah itu dia kembali ke Padang.

etelah segala sesuatunya siap dan dalam keadaan tergesa-gesa, sore 23 Agustus 1998, Simongel berangkat ke Jakarta. Dia pergi bersama dua orang kenalan yang kebetulan punya urusan bisnis di Jakarta. Mereka bertiga pergi dengan mobil kijang super. Sampai di perbatasan Palembang dengan Lampung, hari sudah gelap. Mereka mengambil jalan yang kurang biasa karena ada kabar jalur lintas Sumatera yang biasa sudah tidak aman lagi karena sering dihambat di jalan, bahkan ada yang dirampok. Pada jalur tersebut memang tidak begitu banyak mobil yang dari atau ke Jakarta yang lewat. Kebun sawit yang sudah berbuah tumbuh di sepanjang jalan. Jalan pun sudah berlubang-lubang. Menurut infomasi yang mereka peroleh bahwa lubang-lubang pada badan jalan itu sengaja dibuat oleh orang-orang yang bermaksud jahat pada kawasan tertentu yang sepi sehingga mobil mesti berjalan pelan bahkan sering harus berhenti. Pada saat itulah mereka akan datang menodong, merampok, atau membunuh penumpang kalau perlu. Mobil mereka terus berjalan memasuki kawasan kebun sawit. Terkadang mereka harus menunggu beberapa waktu. Jalan macet karena banyak mobil dari arah Jakarta yang datang. Sebelum mereka bergerak lagi,

Halaman ~ 11

S

4. KE JAKARTA


Halaman ~ 12

sopir sebuah mobil dari arah Jakarta memberi tahu bahwa ada beberapa perampok yang sedang bersiap-siap mencegat mobil yang lewat beberapa ratus meter di belakang mereka. Tunggu beberapa mobil dulu sehingga bisa konvoi. Rombongan Simongel segera menunggu. Setelah beberapa mobil menuju Jakarta datang dan mendapat informasi yang sama, mereka konvoi dan bergerak lagi. Mereka berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Simongel mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan mempertahankan diri. Tetapi karena mereka memang tidak siap untuk menghadapi situasi yang demikian dia cuma kebagian plat besi pemutar dongkrak. Tidak ada masalah. Simongel berpikir, kalau dia mati mudah-mudahan salah satu dari perampok itu setidaknya bisa terluka ataupun juga mati. Skor nyawa satu banding satu lumayan juga, bukan? Konvoi terpaksa bergerak pelan-pelan karena jalan di sekitar itu penuh lubang. Memang ada beberapa balok diletakkan untuk menutupi lubang, tetapi biasanya kayu-kayu itu sudah dipasangi dengan besi paku. Simongel terus berdo’a dan siaga. Benar saja, beberapa ratus meter kemudian, mereka melihat bayangan beberapa orang di bawah gelapnya naungan pohon sawit. Entah karena mereka melihat mobil konvoi atau mereka memang tidak bermaksud jahat, mereka cuma memperhatikan rombongan Simongel lewat. Simongel memang melihat mereka menggenggam golok dan dodos besi, alat untuk memotong tandan buah sawit. Tetapi ngapain mereka memetik buah sawit malam-malam begini? Konvoi itu lewat dan alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Mereka terus ke Jakarta. Di sana mereka numpang di rumah salah seorang saudara sahabatnya. Keesokan harinya, Simongel langsung memberitahukan NEC bahwa dia sudah sampai di Jakarta. NEC memberitahu bahwa dia baru bisa berangkat tanggal 27 Agustus karena pesawat penuh. Simongel naik Singapore Airlines. Baginya tidak ada masalah. Dia mengantarkan paspornya ke Kedubes Belanda di Rasuna Said, Kuningan untuk mendapatkan visum. Dan dia perlu menunggu keesokan harinya. Simongel juga diminta oleh NEC untuk mengecek kesehatan. Mereka sudah berkeliling mencari rumah sakit yang bisa mengeluarkan data cek kesehatan dalam waktu sehari, tetapi tidak ada. Ini dia beritahukan kepada NEC. Setelah mendapat visum, Simongel menjemput uang tiket dan visum ke kantor NEC di Gatot Subroto. Biaya tiket waktu itu US$ 580,00 yang dihitung dengan kurs Rp 12.070,00 per dollar. Dengan demikian Simongel harus mengusung Rp 7.000.600,00 ke kantor sebuah biro perjalanan di Menara Graha Irama. Di waktu luang Simongel termangu-mangu merenungi hikmah di balik kegagalannya dalam seleksi beasiswa ke Australia beberapa bulan


sebelumnya. Andaikan dia lolos dalam seleksi beasiswa ke Australia tersebut dia dipastikan belum berangkat ke luar negeri karena biasanya penerima beasiswa ADS harus mengikuti kursus terlebih dahulu di Jakarta. Padahal dengan beasiswa TALIS yang proses seleksinya hanya beberapa bulan dia bisa langsung sekolah ke luar negeri. Simongel juga tidak bisa membayangkan nasibnya andaikan dia jadi mengajukan beasiswa Pemerintah Jerman, lalu diterima dan dia harus sekolah di Leipzig. Ketika sudah di Eropa barulah Simongel tahu bahwa kota bekas wilayah Jerman Timur itu, selain Rostock, memiliki banyak neo-Nazi yang sangat anti kepada orang asing dan rasis. Sebelumnya tidak pernah muncul dalam angan Simongel untuk memulai perantauannya ke Belanda, karena negeri favoritnya waktu itu adalah Australia. Tetapi itulah takdir buatnya. Sore 27 Agustus 1998, Simongel diantar oleh para kenalannya dengan agak tergesa ke Bandara Soekarno-Hatta. Sebelumnya direncanakan ada penerima beasiswa NUFFIC yang akan berangkat bersamanya, tetapi entah karena alasan apa akhirnya keberangkatannya ditunda. Jadi, Simongel harus berangkat sendirian.

ampai di Bandara Soekarno-Hatta, Simongel langsung masuk ke terminal keberangkatan internasional. Dia membayar fiskal yang besarnya Rp 1.000.000,00 padahal pada kwintansi yang ber-kop Depkeu RI Dirjen Pajak, yang dia terima masih tercetak jumlah fiskal luar negeri udara tersebut Rp 250.000,00. Walaupun biayanya sudah berubah, ternyata angka yang tertera pada kwintansinya belum diganti. Simongel menyerahkan barang yang ditempatkan di bagasi berupa sebuah koper pakaian yang tidak begitu besar tapi cukup berat, dan kotak karton Indomie berisi ‘kerupuk sanjai’ (kerupuk ubi khas Ranah Minang) titipan dari salah seorang mentor bisnisnya di Padang untuk adiknya di Schiedam, Belanda. Yang dia bawa ke kabin hanya tas pinggang dan sebuah tas jinjing kecil. Setelah pamit dengan kenalan yang mengantar, Simongel langsung antri untuk masuk ke ruang tunggu. Setelah antri sekitar 20 menit, dan dia sudah berdiri dekat dengan loket petugas, seseorang di belakangnya memberitahu apakah dia sudah mengisi formulir yang disediakan di dekat pintu masuk antrian. Simongel memang melihat semua orang yang antri memegang sebuah formulir yang sudah mereka isi. Dia segera keluar dari

Halaman ~ 13

S

5. KE AMSTERDAM


Halaman ~ 14

barisan dan balik ke belakang mengambil dan mengisi formulir BE664004 D. Setelah kehilangan waktu beberapa menit dia masuk lagi ke dalam antrian. Dia mulai antri lagi dari belakang. Padahal waktu untuk boarding sudah hampir habis. Dia pikir, habislah dia kalau dia sampai ketinggalan pesawat. Simongel terus berdo’a dalam hati dan beringsut-ingsut ke loket. Akhirnya sampai juga gilirannya. Dia menyerahkan segala tetek-bengek dan formulir tadi. Setelah petugas mencek formulir itu dan seluruh kelengkapan dikembalikan, Simongel langsung berlari ke ruang tunggu keberangkatan yang jaraknya sekitar 100 meter. Dengan nafas terengahengah dia sampai ke ruang tunggu. Syukur, ternyata pesawat belum boarding. Simongel sempat duduk sebentar di boarding lounge dan kemudian penumpang diminta naik. Dia tidak tahu apa jenis pesawat yang dia tumpangi ke Singapura tersebut karena hari sudah gelap dan agak berkabut. Mungkin sejenis Boeing kecil seperti yang jatuh di Palembang beberapa pekan sebelumnya. Simongel segera memasang seat-belt. Ini kali kedua dia ke luar negeri sendirian setelah ‘kunjungan bisnis’ ke Malaysia bulan Maret 1997. Duduk di sebelahnya seorang pengusaha Inggris yang akan ke Malaysia tapi ia ingin singgah dulu di Singapura. Mereka tidak terlalu banyak bercerita karena dia melihat pengusaha tersebut asyik dengan laptop-nya dan Simongel membaca beberapa harian Singapura yang disediakan di masing-masing sandaran bangku. Sebelum mendarat di Bandara Changi, Simongel sempat juga melihat kelap-kelip lampu di Pulau Batam. Dan perenungannya buyar ketika roda pesawat menggelinding di Bandara Changi. Simongel langsung turun dan berjalan ke terminal pesawat yang akan ke Belanda. Karena pesawat baru boarding sekitar 40 menit lagi, dia ingin menelepon. Setelah membeli kartu telepon dia mengontak Indonesia. Isi beritanya sama: bahwa dia sedang transit di Bandara Changi, Singapura. Setelah itu Simongel buru-buru menuju ke terminal keberangkatan karena boarding sudah dimulai. Sampai di sana dia mencari boarding pass-nya. Tidak ada lagi. Dia periksa tas jinjingnya. Juga tidak ada. Bagaimana dia bisa naik pesawat tanpa boarding pass? Simongel bingung. Terus berpikir dan mengingat-ingat. Dia susul kembali perjalanannya hingga sampai ke kabin telepon di mana dia tadi menelpon. Dia periksa. Ternyata boarding pass-nya masih terletak di sana. Alhamdulillah! Padahal dia melihat ada orang lain yang baru saja beranjak setelah menelpon di sana. Ternyata orang itu tidak menyentuh boarding pass Simongel.


Halaman ~ 15

Dia langsung mengambilnya dan segera berlari, masuk ke dalam antrian. Di checkpoint, di depan, dia melihat seorang pria yang penampilannya sangat Indonesia. Agak kurus dan tinggi. Rambut dan kumis tebal yang kelimis. Kalung emas besar melingkar di lehernya. Celana jean hitam baju kemeja ketat. Pergelangan tangannya dibelit gelang-gelang emas. Pada jari tangannya terdapat cincin emas dan batu yang berikat emas. Gayanya norak. Ketika mau melewati perangkat cek elektronis, petugas menyuruh bapak itu melepaskan semua cincin, gelang, dan kalungnya dan mesti ditaruh pada perangkat cek yang khusus. Suatu pemandangan yang cukup ‘lucu’ sekaligus ‘gemas’. Prosesi itu cukup menyita waktu sehingga banyak penumpang yang antri di belakang ngomel dan bersungut-sungut. Ketika telah berada di Belanda Simongel sempat berjumpa beberapa kali dengan bapak tersebut dalam pertemuan orang-orang Indonesia di Den Haag. Dia tidak bercerita apa-apa dengan orang itu karena beliau tidak tahu bahwa dia juga ada di Changi waktu itu. Tetapi sekarang di Belanda dia melihat orang itu tidak mengenakan apa-apa lagi. Barangkali ‘aksesoris’ itu hanya beliau gunakan untuk ‘pamer’ di depan sanakkeluarga selama libur di Indonesia! Simongel naik ke pesawat. Boeing 747-400. Selama boarding, mereka terpaksa menunggu agak lama karena ada delay yang hampir 1 jam. Duduk di sebelahnya seorang nenek dengan cucunya. Kelihatannya mereka dari etnis China. Mereka duduk dekat jendela. Sedangkan Simongel agak ke deretan tengah (aisle). Di luar Simongel melihat samar-samar kesibukan Bandara Changi. Pesawat baru bergerak ketika seluruh seat telah berisi. Penuh. Sepertinya, kalau ada kursi serapsebagaimana bus HABECO atau USAHA MURNI trayek Padang-Bengkulu yang sering lewat di Mukomukomungkin juga akan diisi. Tetapi itu mustahil terjadi. Menjelang pesawat lepas landas, pilot minta maaf atas penundaan yang cukup lama tersebut karena ada gangguan teknis. Walaupun pesawat terlambat berangkat, tetapi dia menjanjikan bahwa pesawat akan tetap sampai di Bandara Schiphol sesuai dengan jadwal kedatangan yang tertera pada tiket. Dan janji ini ternyata dia tepati. Terbang dengan Singapore Airlines memang cukup ‘nyaman’. Ada makanan halalnya dan enak. Di samping itu di depan masing-masing seat ada monitor yang menayangkan posisi pesawat sekaligus bisa berfungsi sebagai layar TV. Di sana juga tercantum lama waktu penerbangan yang tersisa, kecepatan pesawat, suhu dalam dan luar pesawat, kecepatan angin, dsb. Di lengan bangku ada headset dan monitor TV itu bisa pula untuk main game, nonton video atau mendengarkan musik. Tidak ketinggalan koran harian Singapura dan Belanda. Karena waktu itu Simongel hanya baru kenal beberapa kata-kata Belanda yang itu pun dengan ejaan


Halaman ~ 16

dan lafaz (uitspraak) yang tidak benar, dia hanya membaca harian yang berbahasa Inggris. Simongel menghabiskan sebagian besar waktu penerbangannya dengan bersyukur, shalat, takjub, dan tidur. Dia terbangun kalau pramugari datang mengantar makanan, dan ketika pesawat di atas Teluk Benggala, Teluk Persia dan Saudi Arabia. Bosnya berpesan sebelum Simongel berangkat bahwa pesawat sering mengalami gangguan cuaca (turbulent weather) di kawasan Teluk Benggala tersebut. Sementara dia terbangun ketika pesawat di atas Teluk Persia karena beberapa pesawat sipil ditembak jatuh di sana. Dia juga berusaha membuka mata ketika pesawat terbang di langit Saudi Arabia, karena mana tahu pesawat melintas di atas Masjidil Haram sehingga dia bisa memanjatkan do’a yang mustajab. Dan sekali-kali dia terpaksa berlari ke toilet karena suhu dalam pesawat juga cukup dingin. Di luar praktis Simongel tidak melihat apa-apa selain beberapa bintang nun jauh di sana. Baru ketika pesawat terbang di atas Eropa dia bisa melihat siluet merah di horizon karena fajar mulai menyingsing. Malah ketika melintas di atas Nuremberg Jerman, misalnya, dia sudah bisa melihat kota tersebut diwaktu fajar walaupun masih samar-samar. Menjelang pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, hari sudah pagi. Jam 06.15 CET. Hari itu, Jum’at, tanggal 28 Agustus 1998. Sementara itu langit agak mendung dan sedikit gerimis. Simongel turun dari pesawat menuju ke ruangan tempat mengambil barang-barang bagasi. Waktu itu dia melihat suhu menunjukkan angka 12°C. Tetapi itu sudah cukup membuat kulit tropis Simongel ‘terkejut’. Setelah mengambil koper dan kotak karton dari luggage carousel, dia langsung menuju kawasan international meeting point. Kemudian dia menyetel ulang jam tangannya supaya sesuai dengan waktu Belanda. Setelah menunggu dan celingak-celinguk di sana, dan tidak ada yang terlihat menjemput, Simongel menuju ke loket informasi. Dia memberitahu petugas, bahwa dia mahasiswa penerima beasiswa NUFFIC sudah sampai di Schiphol. Petugas lalu mengumumkannya. Tidak beberapa lama kemudian datang seorang mahasiswa Sastra Universitas Leiden yang ditugaskan menjemput Simongel. Pertama-tama dia memperkenalkan diri. Namanya André. Simongel juga memperkenalkan diri dan ngobrol sebentar. André mnita maaf karena itu hari Jum’at, hampir weekend, sehingga pengaturan penyambutannya agak messy, katanya. Simongel dengan diplomatis menjawab, ‘Oh nggak apa-apa. Saya sudah biasa menghadapi situasi seperti ini.’ Mahasiswa Belanda ini barangkali belum pernah mengalami messy-nya Indonesia. Semrawutnya sambutan jemputan itu tidak mengurangi citra orang Belanda yang terkenal organised dan efisien, walaupun dalam hal ini


mereka masih ketinggalan dibandingkan orang Jerman. Kalau berurusan dengan instansi, banyak sekali formulir-formulir yang harus diisi. Sejak kecil misalnya, mereka sudah punya buku catatan harian (dagboekje), suatu kebiasaan yang jarang di Indonesia. Tetapi bagi orang Indonesia tradisi seperti ini kadang-kadang terasa kaku. Untuk bertamu, misalnya, harus membuat janji (afspraak maken) terlebih dahulu jauh hari sebelumnya. Atau, kalau sedang antrian, ya, harus disiplin. Sekali lagi, André minta maaf karena menurut pesan dia mesti menunggu seorang lagi penerima beasiswa NUFFIC yang semestinya juga akan sampai seperempat jam kemudian, sehingga dia tidak bisa mengantar Simongel ke Leiden. Simongel bilang kepada André bahwa mahasiswa itu kemarin tidak jadi berangkat. Walaupun demikian André tetap bersikeras akan menunggunya di Schiphol, dan dia mengantarkan Simongel ke Grenswisselkantoor (GWK) atau Layanan Bank dan Pariwisata untuk menukar uang. Simongel mengeluarkan seluruh rupiah yang ada di dompetnya. Dia menukarnya dengan Nederlandse Gulden (NLG). Dia cuma dapat NLG 50,00. Dia membeli tiket kereta sekali jalan ke Leiden, NLG 9.25,00. André bilang, “Kamu naik sneltrein (keretapi cepat) 9a arah Den Haag Centraal Station. Leiden Centraal Station pada perhentian kedua dari Bandara Schiphol. Lalu turun dan belok kanan. Di sana ada gedung, di mana terdapat International Student Office, tempat kamu mesti melapor.”

6. GOEIE MORGEN, NEDERLAND!

Halaman ~ 17

A

ndré menemani Simongel ke peron menunggu kereta dari Amsterdam ke Den Haag CS lewat. Tidak berapa lama kemudian, kereta spoor 9a datang. Simongel naik, mengucapkan terima kasih dan pamit kepada André. Dia ingat-ingat: Perhentian kedua adalah Leiden Centraal. Sneltrein yang dia tumpangi melaju kencang. Di hamparan padang luas di sepanjang kiri-kanan jalan Simongel tanaman yang sebagian besar masih menghijau di penghujung musim panas. Pohon-pohon juga tumbuh dengan rapat dan ditanam dengan jarak yang teratur. Sementara itu, pengendara mobil, sepeda motor dan sepeda menggunakan jalur tersendiri. Tidak berapa lama kemudian kereta berhenti di Station Hoofddorp. Banyak penumpang yang naik dan yang turun. Dan perhentian berikutnya pasti Leiden Centraal, pikir Simongel. Benar, setelah berjalan beberapa menit kereta berhenti lagi dan di peron dia melihat tulisan: Leiden Centraal.


Halaman ~ 18

Simongel segera turun, menghela koper, tas jinjing dan kotak kardus. Dia turun ke bawah peron, belok kanan, terus berjalan. Tidak jauh dari sana dia melihat sebuah gedung besar, dengan arsitektur cukup kuno. Di depannya terdapat gedung bertingkat bertuliskan: Leids Universitair Medisch Centrum (Rumah Sakit Universitas Leiden). Dia pikir gedung di depan rumah sakit itu adalah tempat dia mesti melapor. Simongel sudah berputar beberapa kali mengelilinginya. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa gedung itu adalah International Student Office. Hanya terlihat segelintir mahasiswa yang lalu lalang. Memang dalam bulan Agustus perkuliahan belum dimulai. Simongel berjalan lagi dan bertanya kepada seseorang. Dia mengatakan bahwa gedung yang dicari terletak di sebalik stasiun. Mungkin AndrÊ keliru memberikan petunjuk atau Simongel yang salah pengertian sehingga dia berjalan ke arah yang berlawanan. Simongel kembali bergegas ke stasiun, terus ke ruangan di depannya tertulis Informatiecentrum Studentenzaken di Stationplein. Salah seorang staf di sana, Paul, keturunan Suriname, memberikan berbagai informasi kepada Simongel. Kemudian dia menyuruh salah seorang stafnya, Anneline, yang waktu itu masih berstatus mahasiswi tahun akhir di Fakultas Sastra, mengantar Simongel ke bagian keuangan. Anneline bercerita bahwa ayahnya dilahirkan di Bogor yang waktu itu masih mereka namakan Buitenzorg, dan dia baru sekali berkunjung ke tempat kelahiran ayahnya itu. Simongel tidak tahu apakah ayahnya itu totok atau Indo. Tetapi Simongel mengira bahwa yang terakhir mungkin lebih tepat karena perawakan Anneline tidak setinggi gadis Belanda pada umumnya. Sambil terus nyerocos, Anneline mengantar Simongel ke lantai atas menemui Ibu Coby, Kepala Bagian Sosial, Keuangan dan Asuransi Mahasiswa Asing. Orangnya sangat baik dan dinding ruang kerja ditempeli banyak kartu pos dari berbagai negara yang menunjukkan bahwa dia telah mengunjungi banyak negara atau setidaknya punya banyak kawan dan kenalan. Dia bahkan sudah pernah berkunjung ke Padang tahun 1995. Hari itu juga dia membuka rekening Simongel di kantor bank ABNAMRO di Stationsweg, yang terletak berseberangan dengan kantor Bu Coby. Setelah ngobrol sebentar Simongel minta diri. Dia kembali ke tempat Paul menanyakan di mana penginapan sementara karena menurut kontrak dengan Stichting Leidse Studentenhuisvesting (SLS) atau Yayasan Perumahan Mahasiswa Leiden dia baru bisa masuk ke Nieuweroord, flat mahasiswa internasional, tanggal 1 September 1998. Padahal hari Jum’at itu baru tanggal 28 Agustus 1998. Paul yang berkulit legam tetapi kocak itu, menghubungi satu-satunya youth hostel yang masih tersedia tempat. Dia mengatakan bahwa masih


ada satu tempat tidur yang bisa disewa di hostel tersebut. Paul memberikan informasi bagaimana mencapai penginapan itu. Walaupun demikian alamat yang disebutkan Paul itu masih samar-samar dalam pikiran Simongel. Yang dia catat, alamat hostel tersebut di Lange Scheistraat. Maklum, dia masih 100% buta tentang Leiden. Simongel kembali ke bagian informasi, mengambil koper dan kardus. Setelah mengucapkan terima kasih kepada petugas di sana dia terseokseok menjinjing barang-barang sambil mencari di mana youth hostel yang disebutkan Paul tadi. Dia terus berjalan. Beberapa kali bolak-balik di jalan yang sama. Dia melihat ada kincir angin besar. Namanya ‘Molen De Valk’. Kata Paul, hostel itu tidak jauh dari sana. Setelah bolak-balik sekeliling kincir itu beberapa kali, namun hostel yang dimaksud belum juga kelihatan. Setelah melepas penat, Simongel mencegat seseorang yang sedang lewat. Dia tanyakan di mana youth hostel. Dia cuma mengangkat bahu dan terus pergi. Kemudian lewat lagi seorang bapak. Simongel bertanya lagi, dan dia memberi informasi secara sangat mendetil. Setelah mengucapkan terima kasih, Simongel segera berjalan kembali. Ternyata jaraknya tidak berapa jauh dari tempat dia berputar-putar tadinya. “Hebat juga tipuan Belanda ini,” bisik Simongel dalam hati. Ternyata Paul tidak salah. “Sayalah yang keliru,” gumam Simongel lagi. Youth hostel itu terletak di Lange Scheistraat.

enginapan pemuda tersebut hanya bisa dicapai dengan melewati sebuah jalan yang diapit oleh dinding-dinding rumah. Lange Scheistraat ini mirip gang yang agak lebar. Tepatnya, sebuah cul-desac. Dari kejauhan sudah terdengar hentakan suara musik, aroma asap rokok dan minuman keras. Bulu tengkuk Simongel mulai merinding. Tetapi dia terus melangkah. Simongel masuk. Di kiri-kanan ada kursi panjang tempat duduk. Beberapa anak muda, pria dan wanita serta seperti waria tertawa terbahakbahak. Barangkali mereka mentertawakan Simongel. Tetapi Simongel tidak peduli sebab dia yakin mereka sedang mabuk. Beberapa diantaranya sedang menggenggam botol minuman keras yang masih tersisa. Simongel cuek saja sekaligus waspada dengan kuda-kuda ‘Langkah-Tigo’ (salah satu teknik pencak silat tradisional) kalau mereka mulai mengganggu dirinya secara fisik. Maklum sebelum merantau, sebagaimana anak-anak Minang

Halaman ~ 19

P

7. YOUTH HOSTEL


Halaman ~ 20

(atau yang dipengaruhi oleh budaya Minang), Simongel sedikit mendapat bekal olah tangkis-menangkis ini. Simongel lalu menemui pengelola hostel tersebut yang sedang menggoreng telur mata sapi. Rupanya dia sedang menyiapkan makanan yang dipesan oleh salah seorang dari anak muda itu. Setelah berunding sebentar mereka sepakat: Simongel akan menginap selama 3 malam di sana. Dia membayar NLG 45,00 plus NLG 15,00 deposit. Totalnya dia menyerahkan uang NLG 60,00. Dia dapat kunci dan langsung mengangkut barang bawaannya ke lantai 3. Begitu pintu dibuka, Simongel terkejut bukan kepalang. Rupanya kamar hostel itu di luar dugaannya semula. Kamar itu agak luas, persis seperti ruangan rumah sakit. Kiri-kanan dinding berderet tempat tidur. Jumlahnya kira-kira 14 buah tempat tidur. Dia menempati satu-satunya tempat tidur yang masih kosong itu. Tidak seorang pun sedang di dalam ruangan itu walaupun barang-barang mereka berserakan di dekat tempat tidur masing-masing. Ruangan itu berbau asap rokok dan ganja, serta minuman keras. Simongel mulai was-was. Kalau mereka itu mabuk, dan mereka ingin menganiaya, sementara dia sedang tidur dia tentu tidak bisa berbuat banyak. Simongel segera menyimpan tas baik-baik di bawah dipan, lalu cepatcepat pergi. Dengan peta yang diberikan oleh Paul, dia mulai menjelajah kota Leiden. Dia ingat pesan orang tua-tua bahwa kalau baru datang ke suatu kota atau negeri, maka carilah terlebih dahulu masjid, apalagi hari itu hari Jum’at. Disamping itu hari sudah siang dan perutnya sudah lapar. Otomatis Simongel melangkah menuju Warung Nasi Iboe Tjilik yang terletak di Lammermarkt. Setelah makan nasi goreng dia bertanya kepada salah seorang pelayan (ober) restoran itu, di mana masjid terdekat (setahun kemudian, Simongel berkenalan kembali dengan ober tersebut. Namanya Rusdi, seorang muslim Indo Bandung-Belanda. Dia pernah belajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Imam Bonjol Padang serta bisa berbahasa Indonesia. Dia tidak lagi sebagai pelayan di restoran itu, tetapi sudah menjadi pemiliknya (eigenaar). Dia menjelaskan posisi masjid tersebut. Namanya Masjid Al-Hijrah terletak di Rembrandtstraat. Sebagian besar jama’ah masjid itu terdiri dari Muslim Maroko. Setelah mengucapkan terima kasih, dia pamit. Sambil menenteng peta, Simongel mencari jalan Rembrandtstraat. Di ujung Lammermarkt dia belok kiri. Menelusuri Beestenmarkt, Prinsessekade, dan Rapenburg. Di persimpangan antara Rapenburg dan Noordeinde, dia belok kanan. Jalan lurus, belok kiri. Di situlah Rembrandtstraat. Tidak jauh dari simpang tersebut di sebelah kiri terdapat Masjid Al-Hijrah tersebut.


Halaman ~ 21

Simongel agak kaget juga karena bangunan masjid tersebut tidak seperti biasa yang dia temui di Indonesia. Bangunannya diapit oleh rumahrumah biasa. Berlantai tiga. Rupanya rumah itu disulap menjadi masjid yang bisa menampung sekitar 250 orang jama’ah. Ketika dia sampai di sana, sekitar pukul 15.00 sore, jemaah Jum’atan sudah bubar. Simongel langsung wudhu’ dan shalat. Setelah itu dia naik lantai atas dan bertemu dengan beberapa mahasiswa IAIN yang sedang mengikuti Program S2 melalui skema Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS). Mereka sedang minum teh khas Maroko bersama mahasiswa dari Mesir, duduk mengelilingi imam tetap masjid tersebut. Simongel memperkenalkan diri, dan salah seorang dari mahasiswa Indonesia itu, Ramadhan, dari IAIN Medan mengajaknya ke Nieuweroord tetapi dia mau ke Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) terlebih dahulu. Begitu keluar dari pintu masjid, mereka bertemu dengan Muslihan, juga peserta program INIS tapi dari IAIN Semarang. Dia ingin pulang ke Nieuweroord tetapi terlebih dahulu singgah ke Digros, sebuah swalayan (supermarkt) cukup besar di Leiden. Ramadhan memperkenalkan Simongel kepada Muslihan dan Muslihan mengajak Simongel untuk bersamanya ke Supermarkt Digros, lalu ke Nieuweroord. Karena sepeda Muslihan tidak kuat dibuat membonceng mereka terpaksa berjalan kaki ke Digross di Langegracht. Sementara Muslihan terpaksa mendorong sepedanya. Setelah belanja di Digross, mereka kembali ke berjalan kaki ke Nieuweroord. Muslihan ternyata orang yang suka bercerita, sehingga sepanjang jalan dia mengoceh seperti tak habis-habisnya. Sampai di halaman Nieuweroord Muslihan menaruh dan mengunci sepedanya di antara ratusan sepeda yang diparkir di sana. Mereka menuju kamar Muslihan. Kamar itu nomor 212. Muslihan dengan bangga mengatakan bahwa kamarnya itu kamar Wiro Sableng karena, menurutnya, 212 itu nomor kampak jagoan silat komik itu. Walaupun nomornya 212 tapi menurut kebiasaan di Indonesia kamar Muslihan itu terletak di lantai 3. Sedangkan nantinya Simongel akan menghuni kamar nomor 122, satu lantai di bawah kamar Muslihan. Sebelum mereka makan siang Simongel lalu membantu Muslihan menggoreng ikan dan membuat sambal. Sambil mendengar celoteh Muslihan tentang banyak hal, termasuk pengalamannya mengikuti malam babak final World Cup 1998 di Paris, Simongel menikmati makan siangnya dengan lahap. Hingga saat itu dia masih bersyukur karena masih dapat makan nasi. Karena baru dapat ‘induk semang’, Simongel bekerja dengan rajin dan semangat. Muslihan terus bercerita hingga pukul tujuh sore. Karena Simongel mulai terlihat mengantuk Muslihan menggelar kasur cadangannya. Si-


Halaman ~ 22

mongel pun tertidur dengan lalap selama 2 jam. Ketika bangun hari sudah agak gelap dan dingin. Tubuh Simongel terlihat menggigil menahan hawa dingin. Muslihan belum menyalakan pemanas ruangan (verwarming) di kamarnya karena hari belum dingin betul katanya. Menurut Muslihan, kalau terlalu cepat menggunakan verwarming, sedikit sekali efek alat pemanas tersebut bila musim dingin tiba. Simongel tidak mengerti mengapa Muslihan punya pendapat demikian. Menyadari hari sudah agak gelap dan suhu cukup dingin, Simongel membujuk Muslihan kiranya berkenan menerimanya menginap di kamar itu. Muslihan merasa kasihan dan malah menawarkan kalau tidak keberatan bersempit-sempit Simongel boleh menginap di sana sampai tanggal 1 September tanpa bayar. Simongel sangat bersyukur dan terngiang-ngiang di telinganya pepatah sewaktu kecil dulu: ‘Kalau anak mau ke pekan, hiu beli belanak pun beli, ikan panjang beli dahulu. Kalau anak pergi merantau, ibu cari, bapa pun cari, induk semang cari dahulu.’ Simongel sudah mendapatkan ‘induk semang’ dan bahkan akhirnya menganggap Muslihan (beliau menyelesaikan studi S2-nya dan kembali ke Indonesia September 1999, tetapi kini kembali lagi ke Leiden untuk menyelesaikan studi S3) sebagai kakak angkatnya. Esok siangnya, Simongel pergi ke youth hostel itu (setahun kemudian fasilitas di Lange Scheistraat tersebut tidak digunakan lagi). Dia menemui pengelolanya dan memutuskan untuk pindah dan minta kembali uang sewa malam yang tersisa. Simongel mendapatkan kembali uangnya sebesar NLG 30,00 karena deposit yang NLG 15,00 itu tidak bisa diambil karena tidak tinggal di sana sesuai dengan kesepakatan semula. Simongel tidak ambil pusing. Daripada tidak aman, pikirnya. Dengan bantuan Muslihan Simongel mengangkut barang-barangnya ke Nieuweroord. Muslihan tertawa ngakak barangkali merasa bisa ngerjain Belanda. Maklum, jatah Simongel mulai masuk ke Nieuweroord tanggal 1 September, tanpa sepengetahuan SLS, dia sudah menginap di sana sejak tanggal 28 Agustus!

N

8. NIEUWEROORD

ieuweroord adalah flat yang sangat akrab di telinga mahasiswa asing yang pernah kuliah di Leiden. Menurut asal negara, populasi mahasiswa yang terbanyak berasal dari Spanyol dan Italia. Walaupun demikian, mahasiswa Indonesia cukup dominan di Nieuweroord. Meskipun dalam satu periode jumlah rata-rata mahasiswa Indonesia biasanya kurang dari 30 orang, tetapi mereka dapat dipastikan ada di setiap lantai ataupun koridor. Kalau bicara bahasa Indonesia


Halaman ~ 23

mereka suka keras-keras. Kalaupun bicara bahasa Inggris dengan penghuni dari negeri lain, aksennya sudah bisa ditebak bahwa mereka itu dari Indonesia. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang suka memutar lagu pop Indonesia atau dangdut keras-keras. Suasananya seperti di ‘Kampung Melayu’ saja. Nieuweroord berlantai 13, yang terdiri lebih dari 300 kamar. Untuk standar Indonesia, kamarnya berukuran kecil, yakni sekitar 2,5 X 3,5 meter (ukuran rumah di Belanda cenderung tidak begitu besar. Tetapi bidang ruang (ruimte) dimanfaatkan secara optimal. Hampir tidak ada bidang yang tidak ada manfaatnya), dengan kamar mandi serta wc di dalam kamar. Masing-masing koridor terdiri dari 8 kamar dan 1 dapur bersama. Masing-masing lantai ada satu ruangan untuk kegiatan bersama (common room). Setiap 3 lantai tersedia 1 mesin cuci. Dalam kamar sudah tersedia dipan lengkap, selimut, meja belajar, lemari pakaian, dsb. Setiap minggu ada penggantian selimut, alas kasur, handuk dan serbet yang bersih, yang biasanya masing-masing terdiri dari 3 stel kecuali selimut dan alas kasur. Untuk itu setiap penghuni dikenakan NLG 450 per bulan, inklusif biaya listrik, air, dan kebersihan. Pagi 1 September itu Simongel dengan langkah tegap menuju ruangan Hans, sang pengelola flat. Setelah semuanya diatur, Simongel mendapatkan kunci kamarnya. Dan mulai memindahkan barang-barangnya. Muslihan juga ikut membantu. Enaknya kamar itu sudah dibersihkan sebelum penghuni baru masuk. Simongel tinggal menyusun baju-bajunya di lemari pakaian. Malang bagi Simongel karena selimut tebalnya belum dicuci. Rambut-rambut wanita berwarna pirang masih banyak melekat pada selimut tersebut. Rupanya sebelum ini kamar itu ditempati oleh mahasiswi yang suka garuk-garuk kepala. “Barangkali dia ketombean,� kata Simongel. Dia kembali ke Hans dan menukarnya dengan selimut yang baru. Kemudian dia mandi, masak nasi, sambal, dan makan siang. Dia mengundang Muslihan untuk makan bersama karena dia sudah banyak membantu. Bahkan rice cooker-nya juga dibeli dari Muslihan dengan harga miring. Setelah itu Simongel mulai bertandang ke kamar mahasiswa Indonesia lainnya. Simongel menempati kamar 122. Kamar sebelah kanannya ditempati oleh Alden asal Oregon, Amerika Serikat. Dia mengambil program pertukaran satu tahun di fakultas hukum. Kamar sebelah kiri ditempati oleh Sandra, mahasiswi dari Universitas Roma, Italia, yang juga mengikuti program yang sama. Walaupun tidak begitu cantik, gadis Italia ini sering bergaya genit. Hubungan mereka sebagai tetangga cukup baik. Alden yang baru berumur 18 tahun rupanya belum begitu banyak tahu tentang Indonesia


Halaman ~ 24

hanya tercengang-cengang mendengar cerita tentang Indonesia. Tetapi dia tahu banyak tentang Bali. Sedangkan Sandra pernah, tanpa sengaja, cukup grogi karena ulah Simongel. Suatu ketika gadis Italia itu bersama temannya, Paola, sedang masak kopi khas Italia di dapur umum. Tapi itu bukan cappucino atau espresso. Kopinya lebih keras daripada espresso dan dikenal sebagai ristretto (varian espresso yang lebih keras). Kebetulan Simongel juga sedang merebus sayur di sana. Kemudian gadis itu menawarkan kopi kepada Simongel. Tawaran itu dia terima karena dia penasaran bagaimana rasanya kopi Italia. Setelah satu hirup, Simongel bilang, “Sandra, wah kopinya enak sekali!� Terkejut juga mahasiswi Italia itu dibuatnya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih. Karena rebusan sayurnya sudah matang Simongel masuk ke kamar. Lalu dia makan dan melanjutkan minum kopi Italia itu. Tidak lama kemudian dia merasa kepalanya agak pusing dan jantungnya berdetak lebih kuat dan kencang. Simongel sedikit cemas. Lalu dia ke dapur lagi. Ternyata kedua mahasiswi Italia itu masih ada di sana tetapi sudah ditemani oleh mahasiswa dari Italia juga, Isodoro. Simongel mengatakan kepada Sandra, bahwa kopinya membuat jantungnya berdebar kecang dan keras. Muka gadis itu kontan bersemu merah. Entah salah tanggap, setelah kejadian itu gadis tersebut setiap kali berserobok Simongel bertingkah agak grogi. Barangkali dikiranya Simongel lagi naksir. Padahal Simongel cuma mengatakan apa sebenarnya yang dia rasakan akibat kopi Italia itu. Nggak ada maksud lain. Na’uzubillah! Beberapa hari kemudian barulah suasananya normal kembali. Kalau mau mencuci (berbeda dengan anekdot tentang beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Amerika atau Australia, mesin cuci di Nieuweroord itu gratis dan tidak dioperasikan dengan koin, sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk ngerjain mesin tersebut dengan koin-koin rupiah) baju, anak-anak Nieuweroord harus menuliskan namanya terlebih dahulu pada daftar antri. Biasanya itu dilakukan beberapa hari sebelumnya karena daftarnya hampir selalu penuh. Untuk satu giliran (beurt) dapat jatah maksimal 2 jam. Kalau lagi perlu Simongel sering mengambil jam setelah tengah malam atau pagi-pagi sekali karena pada waktu tersebut biasanya lagi kosong. Pernah suatu ketika menurut jadwal Simongel harus mencuci mulai pukul 23.00. Kebetulan waktu itu dia hanya mengambil jatah untuk satu jam. Dia segera membawa pakaian yang kotor ke tempat mesin cuci di lantai 3. Alangkah terkejutnya Simongel ketika dia sampai di sana. Ternyata mesin cucinya sedang bekerja. Tetapi tidak seorang pun di sana. Simongel agak geram karena itu jatah dia. Mengingat masa kerja mesin cuci


Halaman ~ 25

itu adalah satu jam untuk sekali cuci Simongel takut kalau ditunda maka jatah yang mencuci berikutnya akan terpakai dan itu akan menimbulkan keributan. Simongel bertindak. Dia matikan mesin cuci itu, lalu mengeluarkan pakaian yang ada di dalamnya dan menaruhnya di atas mesin cuci dan menggantinya dengan pakaian dia sendiri. Menurut ciri-ciri yang ada ternyata itu pasti pekerjaan seorang mahasiswi karena yang ditemukan Simongel waktu beberapa stel pakaian dalam wanita dan barangkali selusin kaos kaki panjang. Agak bergidik juga Simongel jadinya. Simongel sengaja menunggu di depan kamar cuci sambil menyelesaikan PR-nya disamping itu dia juga ingin tahu siapa gadis yang tidak tahu jadwal itu. Sekitar setengah jam kemudian dia datang. Simongel segera mencegatnya. Tanya nama dan dari mana. Namanya Natasha baru datang dari St. Petersburg, Rusia. Dia buru-buru masuk ke kamar cuci dan menemukan pakaiannya belum siap dicuci tapi sudah ditaruh di atas mesin cuci. Dia keluar sebentar kemudian melihat daftar jadwal mencuci yang tertempel di pintu. Dia sangat kaget karena dia memang belum menuliskan nomor kamarnya sebagai pemakai mesin cuci untuk waktu itu. Dia segera mengambil pakaiannya yang masih basah dan tanpa melihat lagi kepada Simongel dia langsung berlari dari sana sambil berkata, “Sorry!” Simongel hanya tersenyum-senyum saja. Padahal dia kasihan juga dengan gadis itu. Tapi dia tidak bisa berbuat lain karena semuanya sudah ada jadwalnya. Simongel juga pernah di-‘kerjai’ mesin cuci tersebut. Waktu itu dia mengambil jatah mencuci tengah malam. Dia bangun setelah tidur dari senja. Dengan setengah ngantuk dia pergi membawa pakaiannya yang kotor ke kamar mesin cuci. Karena belum sadar betul, dia memutar kontrol suhu mesin ke angka 80°C. Satu jam kemudian dia mendapati seluruh pakaiannya telah menjadi kering dan keriting. Termasuk pula yang menjadi korban malam itu celana pantolannya untuk stelan jas yang dia bawa dari Padang. Punya dapur bersama juga kurang menyenangkan bagi Simongel. Pernah suatu ketika dia menggoreng ikan makreel (harganya lebih murah dan dagingnya enak, apalagi digoreng). Tentu saja baunya menyebar ke mana-mana. Salah seorang penghuni koridor itu, Rebecca, mahasiswi dari Florida, keluar dari kamarnya ke dapur. Dia mencak-mencak kepada Simongel dan memaki-maki: bad smell, smelly berkali-kali sambil menutup hidungnya. Simongel balik marah kepadanya dia bilang bukan dia yang smelly tapi ikan yang digoreng itu yang mengeluarkan bau. Dan bilang bagi dia bau itu sangat harum dan gurih. Lalu dengan pura-pura marah besar Simongel menantang: “What do you want? Kalau mau marah, ya,


Halaman ~ 26

marah kepada ikan itu, ‘kan dia yang mengeluarkan bau!” teriak Simongel dengan bahasa sepotong Inggris sepotong Indonesia. Gadis itu dengan mangarumok (marah dan merajuk) lari kembali ke kamarnya. Simongel sebenarnya tidak mau marah. Tetapi dia takut nanti secara luas bisa berakibat jelek terhadap citra Indonesia terpaksa dia berbuat demikian. Simongel takut kalau semua orang Indonesia dianggap smelly pula oleh si Amerika ‘yang kurang bersahabat’ itu. Dan sebagai akibatnya sejak itu Simongel pun tidak mau lagi menggoreng ikan. Konsekuensi dari sebuah toleransi, pikirnya. Di Nieuweroord juga tinggal beberapa teman kuliah Simongel, yaitu Paula dari Italia, Tomo dari Jepang, Lisa dari California, Merryl dari Kanada. Kadang-kadang Simongel belajar bersama Tomo khususnya tentang Jepang. Dengan yang lain-lainnya hanya kadang bertandang saja ke tempat Simongel, sedikit diskusi tentang pelajaran, dan negara masingmasing. Padahal kehidupan mahasiswa lainnya di Nieuweroord terlalu permisif untuk ukuran Indonesia. Bebas pula berganti-ganti pasangan dan berganti-ganti pula yang di-‘sekap’-nya di kamar. Memasuki semester kedua, seluruh kawan kuliah Simongel itu pindah ke flat yang lain di mana mereka bisa menyewa suatu kamar yang bisa ditempati berdua atau bertiga sehingga biaya lebih hemat. Hanya si Jepang, Tomo (dia sudah kembali ke negaranya msekipun sebenarnya tidak ingin lagi kembali ke kampungnya di Tokyo, karena biaya hidup di sana terlalu tinggi dan ramai, belum lagi ancaman gempa bumi dan serangan rudal nuklir Korea Utara!?), yang pindah dan menyewa kamar yang lebih besar dan mahal daripada di Nieuweroord. Tetapi akhirnya dia pindah lagi ke Leiderdorp, di pinggiran Leiden, karena tidak kuat membayar sewanya. Suatu ketika Nieuweroord pernah kebakaran. Titik apinya tepat satu kamar di atas kamar Simongel. Beberapa waktu sebelumnya Simongel memang 3 malam berturut-turut mimpi tersedot hawa panas yang berasal dari atas kamarnya. Waktu itu dia belum tahu apa maksud dari mimpi itu. Kejadiannya selepas makan malam. Selesai makan Simongel istirahat sebentar. Tidak lama kemudian terbau aroma asap yang diiringi derap langkah orang berhamburan keluar dari kamar masing-masing. Simongel belum sadar juga. Sayup sayup terdengar orang-orang berteriak: “Fire...fire...fire....” Waktu itu Simongel masih mengira mahasiswa Barat di atas sana sedang ‘main api’. Tetapi suhu kamarnya terasa semakin panas. Lalu Simongel melongok dari kaca jendela. Ternyata asap sudah tebal dan sebagian masuk ke kamar Simongel. Kebakaran! Baunya bukan main. Dia segera menutup jendela, berlari mengambil document keeper


Halaman ~ 27

yang berisi seluruh arsip penting dan paspor, keluar kamar, berlari menuju tangga menebus asap yang sudah tebal menutupi koridor. Sambil menahan napas Simongel menuruni tangga dan ke halaman flat. Teriakan minta bantuan ramai terdengar, ditingkahi suara terbatuk-batuk. Anakanak di lantai agak atas tidak sempat lagi turun karena lift-nya macet. Mereka hanya menunggu nasib. Untunglah pasukan pemadam kebakaran segera datang dan cepat bereaksi. Di luar Simongel sempat bertemu dengan beberapa teman kuliah dan mahasiswa Indonesia seperti Muslihan. Melihat Simongel menenteng dokumen pentingnya, Muslihan baru teringat akan miliknya yang penting yang masih tertinggal di kamar. Dia terus berdo’a semoga api tidak merambat hingga ke kamarnya karena yang terbakar adalah kamar yang selantai dengan Muslihan. Hanya berbeda koridor. Untunglah api dengan cepat bisa dikuasai. Tetapi kamar di atas kamar Simongel itu tidak bisa diselamatkan sama sekali. Akhirrya pakaian-pakaian Simongel pun semuanya harus dicuci karena berbau. Bahkan pakaian yang digunakannya kuliah pagi itupun masih beraroma asap yang cukup menyengat baunya. Tetapi di kelas itu tidak jadi masalah karena semua orang tahu bahwa tadi malam ada kebakaran di Nieuweroord! Beberapa hari sesudah itu peristiwa kebakaran di Nieuweroord menjadi berita hangat di tabloid kampus Universitas Leiden (MARE) dan koran Gemeente Leiden (Het Leidse Nieuwsblad). Beberapa bulan kemudian datang Sutan Palangai, dosen Antropologi Universitas Andalas mengikuti Advanced Master’s Program (AMP), sejenis program persiapan untuk S3, di Universitas Leiden. Dia tinggal satu lantai dengan Simongel tapi berbeda koridor. Bulan berikutnya datang Ajo Lawas, asli Pariaman alumni Jurusan Sastra Minangkabau dan Daerah Universitas Andalas yang menjadi dosen tamu di Program Studi Indonesia di Universitas Leiden. Sebelum ke Leiden beliau mengajar di Universitas Indonesia. Ajo Lawas tinggal di lantai 7. Sejak itu kerinduan Simongel kepada kampung halamannya sedikit berkurang karena dia bisa saban waktu bicara dalam bahasa Minang dengan kedua orang itu. Markas besarnya tentu saja di kamar Sutan Palangai, tetapi kadang-kadang di Ajo Lawas dan Simongel. Mereka dinamakan oleh mahasiswa Indonesia di Leiden sebagai ‘Urang Awak Grup’. Walaupun demikian, hampir setiap waktu senggang kalau urang awak ini sedang berkumpul, mahasiswa dari daerah lain juga berkumpul juga di sana. Kalau sudah begitu, tentu saja bahasa pengantarnya beralih dari Minang ke bahasa Indonesia. Kegiatan akhir minggu ‘Urang Awak’ ini antara lain menggulai kepala ikan. Yang menjadi sasaran adalah kepala ikan kabeljauw. Simongel menyebut ikan kabeljauw ini sebagai ikan gaguk dari Laut Utara. Di


Halaman ~ 28

Belanda, kepala ikan harganya lebih murah dibandingkan dagingnya. Hanya orang yang berasal dari Cina atau Thailand yang sering terlihat membeli kepala ikan. Kadang-kadang mereka saling rebutan. Di Leiden setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu ada markt. Tetapi biasanya orang-orang menjual ikan pada hari Sabtu. Ajo Lawas biasanya dapat tugas membeli ikan. Simongel mendapat tugas membersihkannya. Sutan Palangai menjadi juru masaknya. Karena seringnya membeli kepala ikan, Ajo Lawas sudah menjadi langganan di salah satu warung ikan. Pernah Simongel melihat bahwa ketika Ajo Lawas baru sampai di depan salah satu warung ikan dia menunjukkan jarinya ke atas, lalu tukang ikan itu sudah tahu maksud Ajo Lawas itu. Dia mengambil 5 atau 6 kepala kabeljauw dari peti es, lalu membungkusnya dan menyerahkannya kepada Ajo Lawas. Ajo Lawas pun menyerahkan uang 5 gulden kepada penjual itu. Sepertinya mereka sudah sepakat dengan harga demikian tanpa ada tawar-menawar lagi. Memang harga segitu sangat murah. Tetapi kadang-kadang Ajo Lawas timbul akalnya. Sering dia mengajak Simongel bersamanya ke pasar. Setelah kepala ikan dibelinya lalu diserahkan kepada Simongel untuk dibawa pulang dan dibersihkan. Alasan Ajo Lawas biasanya dia ingin mengecek e-mailnya dahulu di kampus atau alasan-alasan lain. Karena Simongel tidak punya alternatif lain, ya dia bawa ikan itu pulang. Karena merasa di-‘kecoh’ oleh Ajo Lawas, Simongel biasanya sering pula ‘ngerjai’ Sutan Palangai sehingga dia bisa diajak bersama-sama membersihkan kepala ikan itu. Padahal itu harus dikerjakan sendiri oleh Simongel karena jatah Sutan Palangai adalah memasak ikan tersebut. Biasanya siang atau sore gulai sudah masak. Pada waktu itu biasanya Ajo Lawas sudah pulang pula. Tidak banyak komentar lagi lalu makan bersama-sama. Pada waktu makan itu biasanya Ajo Lawas mengeluarkan leluconnya untuk menghilangkan perabun-nya. Benar-benar lihai Ajo Lawas ini.

P

9. SEPEDA

enduduk Belanda sekarang sekitar 16 juta orang. Di sana juga ada sekitar 13 juta sepeda. Artinya, menurut statistik, hampir setiap orang di Belanda punya sebuah sepeda. Disamping itu, di kiri-kanan jalan raya selalu disediakan jalur bagi pengendara sepeda yang bertanda simbol sepeda.


Halaman ~ 29

Banyak anggota DPR Belanda (Tweede Kamer) pergi ke kantor mereka di Lange Poten, Den Haag (biasanya dari stasiun) mendayung sepeda (di Indonesia pernah ada beberapa pejabat tinggi negara ‘ngambek’ karena belum diberi Volvo versi terbaru sebagai mobil dinas). Bahkan pernah sebuah universitas di Belanda memiliki ‘Professor of Bicycling’. Sepeda orang yang sudah berkeluarga biasanya dilengkapi dengan tempat duduk anak baik di stang maupun di sadel boncengan. Barangkali mereka ingin memperkenalkan anak-anak mereka dengan kebersahajaan naik sepeda sedari balita. Ada pula yang menaruh sadel sekedar untuk anjing atau kucing miliknya, atau krat bir. Di Amsterdam dulu misalnya pernah ada witte fiets beweging atau gerakan sepeda putih. Di sana ada sejenis sepeda yang bercat putih yang disediakan untuk siapa saja. Maksudnya, setelah selesai memakainya lalu ditaruh dengan baik dan tinggalkan saja. Lalu yang lain memerlukan bisa langsung membawanya lagi. Waktu itu konon sepeda putih itu terdapat di hampir seluruh pelosok Amsterdam. Inisiatif gerakan sepeda putih ini sebenarnya muncul untuk menurunkan tingginya angka kehilangan sepeda di Amsterdam. Logikanya, kalau orang bisa bersepeda dengan gratis mereka tidak akan mencuri sepeda lagi. Tetapi ternyata angka kehilangan sepeda di Amsterdam tetap tinggi karena motif pencurian sepeda bukanlah karena kebutuhan akan transportasi tetapi uang (Informasi ini diberikan oleh seorang kenalan yang sedang mengikuti S3 di Universiteit van Amsterdam). Bersepeda di Belanda memang cocok karena negerinya kecil dan datar. Sebuah kota besar di Belanda bisa dikelilingi dengan sepeda dalam sehari. Di stasiun-stasiun, kampus-kampus dan fasilitas umum selalu tersedia tempat parkir sepeda. Ada yang bayar dan ada pula yang gratis. Penitipan yang dibayar tentu lebih terjamin daripada yang ditaruh begitu saja. Di sekitar stasiun Leiden misalnya ada ribuan sepeda yang diparkir. Dan ada pula tempat penitipan di dalam stasiun (fietsenstalling) yang tentu dibayar. Kalau di luar, gratis tetapi resikonya tanggung sendiri. Sepeda yang mahal biasanya diasuransi sehingga kalau hilang bisa membuat pengaduan (aangifte) kepada polisi untuk mengklaim asuransinya. Tetapi kalau sepedanya murahan atau yang sudah tidak begitu bagus hilang dan kebetulan ketemu polisi, paling-paling polisinya akan bilang: ‘Ambil saja sepeda yang lain.’ Kalau begitu, kehilangan sepeda di Belanda sepertinya kehilangan sandal di Indonesia dong, pikir Simongel. Maling-maling di Belanda sangat spesialis. Para maling sepeda pun memilih-milih bagian sepeda yang dimalingnya. Ada yang spesialis maling sadelnya saja. Ada yang suka maling roda depannya saja. Ada yang suka maling dinamonya saja. Ada-ada saja Belanda ini.


Halaman ~ 30

Mahasiswa atau orang yang bekerja biasanya punya sepeda. Bedanya orang yang bekerja biasanya bersepeda bagus dan mahal dan dititipkan di dalam stasiun. Tetapi mahasiswa suka sepeda butut, tidak begitu bagus, asal bisa jalan, dan menaruhnya di mana saja. Kadang-kadang sepedanya sudah berderak-derak bunyinya sementara pengendaranya cuek saja melaju ke kampus atau ke mana-mana. Biasanya sepeda yang sudah cukup rewel akan ditelantarkan saja oleh pemiliknya. Dan ini jumlah tidak sedikit. Dalam sebuah koran mingguan di Leiden Simongel pernah membaca bahwa dinas kebersihan setempat mengumpulkan sepeda-sepeda yang tidak terpakai ini, lalu diperbaiki dan dihibahkan ke negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, bahkan ke Papua New Guinea. Harga sepeda pun bervariasi, dari yang gratis hingga ribuan gulden atau lebih. Bahkan ada yang lebih mahal lagi. Harga sepeda mahasiswa biasanya rata-rata NLG 75,00. Bahkan mahasiswa Indonesia biasanya mendapatkan sepeda hibah dari kawan-kawannya yang mau pulang. Kadang dengan harga yang sangat miring bahkan seringkali gratis. Memperbaiki sendiri sepeda yang sedikit rusak atau bocor jauh lebih baik daripada di bengkel karena upah reparasinya sangat mahal. Tradisi bersepeda ini pun dialami oleh Simongel. Dia membeli sepedanya dari Muslihan. Sepeda itu sebenarnya milik kawan Muslihan yang sudah pulang ke Indonesia. Dia menitipkan kepada Muslihan agar sepeda itu dijual nantinya kalau ada yang mau membeli. Simongel membelinya dengan harga NLG 30,00. Mereknya Batavus, dengan 4 gigi (versnelling). Tetapi malang, giginya itu tidak bisa digunakan lagi. Sudah rusak. Kuncinya juga masih cukup bagus. Tetapi tidak bisa diboncengi lagi karena pelek rodanya sudah agak rapuh. Dengan sepeda itu Simongel ke kampus, pustaka, pasar, Digros, atau berkunjung ke rumah kenalan di Leiden, Voorschoten, dan Oegstgeest. Sepeda Batavus itu bertahan sekitar 7 bulan. Kemudian dalam kunjungan ke rumah Keluarga Pak Endang, seorang diplomat Indonesia yang tinggal di Voorschoten, sekitar 8 km dari Leiden, sepeda Simongel tertabrak dari belakang oleh sepeda kawannya yang menyebabkan roda belakangnya bergelung seperti angka delapan dan tidak bisa dinaiki lagi. Sepeda Batavus itu terpaksa dihela oleh Wildan, juga mahasiswa INIS, kembali ke Nieuweroord. Menjelang sampai di Nieuweroord di pinggir jalan tergeletak sepeda yang sudah rusak tetapi kondisinya masih cukup bagus. Sepeda yang roda depannya sudah bocor itu ternyata sudah dibuang pemiliknya. Sepeda itu sejenis ‘sepeda jantan’ kalau di Indonesia. Tetapi menurut batangnya itu bukanlah ‘sepeda jantan’ untuk laki-laki tetapi untuk per-


Halaman ~ 31

empuan karena perempuan di Belanda badannya besar-besar dan jangkung. Tanpa membuang kesempatan Simongel menghela sepeda itu ke Nieuweroord. Dan mengangkutnya ke ruang reparasi di lantai 3 yang khusus diperuntukkan buat mahasiswa Indonesia. Di sana Simongel memperbaiki sepeda itu. Beberapa hari kemudian sepeda itu sudah menjadi sepeda trail koboi karena tempat duduk belakangnya dicopot. Simongel memodali sepeda itu dengan uang sekitar NLG 75,00. Lampu dan dinamonya baru. Kuncinya juga baru. Larinya luar biasa kencangnya. Susahnya kalau lagi belanja dan barang bawaan cukup banyak karena tidak ada tempat untuk menaruh barang. Entah karena apa sepeda itu hanya bertahan sekitar 1,5 bulan. Hilang dicuri orang. Suatu pagi Simongel cuma menemukan potongan kunci sepeda koboinya itu tergeletak di lantai parkir di muka Nieuweroord. Kunci itu sudah terpotong dua dan rusak. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” do’a Simongel dalam hati. Sementara Simongel ke mana-mana harus lenggang-kangkung. Tidak berapa kemudian dia mendapat informasi dari A. Khatib, dosen IPB yang sedang mengikuti program S2. Menurutnya, sepeda bisa dibeli dari Patrick van Dronkaardsalah seorang petugas kebersihan (schoonmaker) di Nieuweroord. Harganya cukup murah bervariasi antara NLG 20,00 dan NLG 100,00. Bahkan dia pun membeli sepedanya dari Patrick ini. Simongel kenal betul dengan Patrick ini karena sering bertemu dan ngobrol. Orangnya rada urakan, rambutnya dikucir, pakai anting-anting, dantentu sajasering menegak minuman keras. Tetapi dia tidak suka mengganggu orang lain. Kalau berjalan badannya mengangguk-angguk seperti orang yang sedang fly, mungkin juga disebabkan oleh badannya yang jangkung. Simongel bertemu Patrick dan diajak ke gudang bawah tanah (kelder) Nieuweroord. Di sana berjejer sepeda. Pada umumnya masih sangat laik pakai. Ada juga yang masih cukup bagus. Setelah tawar menawar, mereka setuju. Patrick menjualnya NLG 50,00 dan transaksi pun berlangsung. Dengan langkah tegap Simongel mendorong sepeda itu ke lift dan membawanya ke atas serta menaruhnya sementara di ruang perlengkapan mahasiswa Indonesia lantai 3 karena sepedanya belum punya kunci (sepeda yang dijual Patrick biasanya tidak punya kunci). Ketika mendengar bahwa Simongel membeli sepeda dari Patrick, Muslihan segara datang ke kamar Simongel dan menceritakan informasi yang cukup seram. Menurut Muslihan, entah bagaimana riwayat


Halaman ~ 32

ceritanya, si Patrick inilah yang sering mencuri sepeda anak-anak Nieuweroord yang di parkir di halaman depan. Modus operandinya, Patrick mengambil sepeda itu terlebih dahulu, lalu menyimpannya di kelder. Setelah beberapa bulan kemudian barulah dia memperbaiki (vermaken, bandingkan dengan kata dalam bahasa Indonesia: mempermak) seperlunya sepeda curian itu sehingga yang punya pun ragu atau lupa apakah itu sepedanya yang hilang dulu. Atau pemiliknya sudah pulang ke negeri masing-masing. Dan setiap orang yang kehilangan sepeda pasti mencari sepeda yang baru. Orang inilah yang akan menjadi mangsa si Patrick itu. Meskipun demikian, seperti biasanya, Simongel agak skeptis dengan informasi Muslihan ini. Dia berharap mudah-mudahan sepeda yang baru dibelinya dari Patrick itu bukanlah sepeda curian. Kali ini usia sepeda Simongel cukup lama, bahkan sempat dibawanya sewaktu dia pindah ke Den Haag akhir 1999. Bahkan dengan sepeda itu juga Simongel bersama dengan Sutan Palangai dan Ajo Lawas pergi ke pantai Katwijk dekat Leiden. Tetapi riwayat sepeda itu dengan sadis terpaksa berakhir di tempat penampungan sampah di Den Haag ketika seorang yang tidak dikenal memakai sepeda itu tanpa sepengetahuan Simongel dan menabrakkan roda depannya hingga bergelung-gelung seperti angka delapan, dan tidak bisa diluruskan lagi. Pada malam itu sepeda itu memang dimasukkan di beranda rumah kosnya tetapi tidak dikunci. Memakai sepeda di Belanda juga harus mengikuti aturan tertentu dan tantangan alam. Aturan manusia misalnya harus mengendarai sepeda pada jalurnya dan itu biasanya di sebelah kanan jalan. Simongel pernah ditegur polisi ketika dia mengendarai sepedanya di atas trotoar di sebelah kiri. Simongel membuat kesalahan yang cukup fatal ketika dia berpapasan dengan polisi dari kejauhan, dia menyapa polisi wanita tersebut. Kemudian dia cuek saja mendayung sepedanya. Lalu dia diteriaki polisi itu supaya pindah jalur. Simongel tidak mau mengambil resiko. Dia turun dan mendorong sepedanya. Polisi itu tidak berteriakteriak lagi ke arahnya. Sebagaimana di Indonesia kalau sedang terpaksa melakukan kesalahan dalam lalu lintas kemudian terlihat polisi, jangan melihat ke arah mereka. Palingkan muka seolah-olah tidak tahu. Kalau bertemu muka mereka pasti akan langsung menegur atau bertindak. Tantangan alam dalam bersepeda di Belanda adalah hujan dan hembusan angin yang kadang-kadang sangat kuat, dan seringkali berhawa sangat dingin. Bahkan Simongel pernah melihat seseorang seperti sedang diterbangkan angin bersama sepedanya. Orang itu hampir masuk ke dalam parit. Untung dia tersangkut di pagar di pinggir parit itu. Kalau tidak, dia pasti sudah berenang bersama sepedanya. Kalau angin bertiup


kencang sebaiknya segera turun dari sepeda dan cari tempat berlindung dari hembusan angin. Kalau hujan, ya, kenakan jas hujan. Keanehan yang lain adalah waktu perempuan berboncengan. Yang diboncengi biasanya duduknya menghadap ke sisi kanan, sedangkan di Indonesia menghadap ke sisi kiri. Hal itu karena jalur sepeda berada pada sisi kanan jalan. Bagi wanita berkerudung kalau mau memakai sepeda sebaiknya kenakan celana panjang terlebih dahulu baru rok panjang. Kalau hanya pakai rok panjang saja, tidak ada jaminan kalau anginnya tidak ‘nakal’. Bagi yang punya rencana datang ke Belanda tetapi belum bisa mengendarai sepeda, sebaiknya cepat-cepat belajar naik sepeda sekaligus teknik-teknik reparasi sepeda secara praktis. Mana tahu di masa depan, misi diplomatik Belanda di luar negeri memasukkan keterangan ‘bisa mengendarai sepeda’ dalam persyaratan pengajuan visa ke Belanda.

10. SELAMAT DATANG, MAHASISWA ASING!

Halaman ~ 33

A

da tradisi di Leiden untuk menyambut mahasiswa baru. Khususnya untuk program-program yang diperuntukkan bagi mahasiswa luar negeri, berupa kegiatan orientasi kampus dan bidang studi. Tetapi dalam acara ini tidak dikenal adanya perploncoan atau ontgroening (di SD tertentu di Belanda ada juga semacam ‘plonco’ ini, tetapi hanya bersifat ‘balas dendam’ angkatan sebelumnya terhadap anak-anak baru) seperti yang sering terjadi di kampus-kampus di tanah air. Acara tersebut biasanya diadakan di awal September karena perkuliahan semester ganjil (I) di Belanda dihitung 1 September hingga 31 Januari tahun berikutnya. Semester genap (II) dihitung 1 Februari hingga 1 September. Jumlah pertemuan di kelas masing-masing semester adalah 13 minggu. Walaupun pada semester kedua lebih panjang tetapi dipotong dengan liburan musim panas (zomervakantie), akhir Juni hingga akhir Agustus. Biasanya ada ujian ulangan (herkansing) bulan Agustus. Perkuliahan dimulai dalam minggu pertama atau kedua bulan September. Simongel pun mendapat undangan dari Internationaal Contactpunt. Sebenarnya Simongel harus mengikuti acara orientasi di jurusannya, Department of Dutch Studies karena dia terdaftar pada One-Year Program in Dutch Studies. Tetapi karena dia terlambat mendaftar dia tidak mendapat undangan. Padahal acara di jurusannya diadakan sehari sebelumnya,


Halaman ~ 34

Rabu, 2 September 1998. Simongel merasa ada untung dan ada ruginya mengikuti salah satu acara ini. Ruginya Simongel ketinggalan informasi dan terlambat kenal dengan kawan-kawan satu program begitu juga dengan dosen-dosennya. Untungnya Simongel bisa berkenalan dengan mahasiswa asing lainnya dengan spektrum negara asal dan latar balakang pendidikan yang lebih luas dan beragam serta peserta yang lebih banyak. Acara ini berlangsung selama 2 hari, hari Kamis dan Jum’at. Simongel hanya ikut acara yang hari Kamis karena hari Jum’atnya tidak lagi bersifat orientasi tentang perkuliahan tetapi hanya bersifat rileks dan fun seperti berperahu keliling Leiden atau olah raga bersama di studentensportcentrum. Simongel datang tepat waktunya. Ketika di sampai di Leids Academisch Kunstcentrum (LAK) Theater, mahasiswa lainnya sudah penuh. Sudah dapat diduga kalau Simongel yang tingginya hanya 165 cm dan mungil itu ‘lenyap’ di antara mahasiswa asing itu, yang umumnya berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Penyelenggara acara ini adalah Erasmus Student Network (ESN) yang bekerjasama dengan Internationaal Contactpunt. Setelah mendaftar Simongel mencari anggota kelompoknya yang sudah ditentukan. Simongel mendapat nomor pengenal 11 (Ada yang mengatakan bahwa angka 11 di Belanda dianggap sebagai ‘Gekkengetal’ (nomor untuk orang gila). Nomor itu masih dia simpan dengan baik hingga sekarang), sekaligus mendapat tiket untuk makan siang di restoran mahasiswa (Mensa) ‘De Bak’ di Kaiserstraat 25. Anggota kelompok Simongel 10 orang. Banyak dari penghuni Nieuweroord dia temui di sini. Mereka sempat saling berkenalan sebentar, lalu seluruh peserta diminta masuk ke ruang kuliah umum yang mirip ruang teater. Ruang itu cukup besar di mana podium dan pembawa acara jauh di bawah sedangkan mahasiswa duduk di kursi yang semakin ke belakang semakin tinggi tingkatannya. Paul dari IC menjadi pembawa acara dalam kegiatan tersebut. Acara diawali dengan sambutan dari Rector Magnificus, IC, dan ketua senat mahasiswa universitas. Yang cukup mengejutkan bagi Simongel adalah ulah ketua senat itu mem-pleset-kan singkatan ESN menjadi Erasmus Sex Network yang mendapat tepuk tangan menggelegar dari peserta. Sebagian dari mereka bahkan berjingkrak-jingkrak di bangku masing-masing. “Gawat, nih,” pikir Simongel. Selanjutnya diputarkan film tentang Belanda dari berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dsb. Ketika waktu makan siang masuk, semua peserta bergegas ke mensa.


Halaman ~ 35

Simongel dengan tiket di tangan langsung berbaris dalam antrian yang sangat panjang. Karena belum pernah makan demikian, Simongel sambil mencuri-curi memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di depannya. Sehingga begitu sampai gilirannya dia dengan tenang dan terkesan biasa sekali dengan kegiatan tersebut. Dia mengambil tampan memesan roti berlapis keju karena kalau daging nanti dia takut itu daging babi, lalu sekotak susu dan yoghurt, dan sebuah apel. Simongel duduk di meja bagian tengah. Dengan susah dia menghabiskan roti beserta kejunya karena makanan itu sangat asing di lidah Simongel. Lalu dia meneguk susu, menghabiskan apel dan menutup makan siangnya dengan yoghurt. Dia tidak peduli lagi dengan sekelilingnya. Setelah menaruh sampah sisa di tempat yang telah disediakan Simongel langsung keluar dan pulang ke Nieuweroord. Padahal acara hari itu belum selesai dan sampai sore acara dilanjutkan dengan perkenalan lebih dekat antar peserta. Tetapi Simongel tidak peduli dan tetap mendayung sepedanya pulang ke rumah. Untuk apa? Biasa. Memasak nasi! Perutnya sudah keroncongan lagi. Sebagai kelanjutan dari acara penyambutan itu Simongel mendapat undangan lagi seminggu kemudian. Tetapi kali ini ESN sendiri yang mengadakannya, di Café Einstein, Nieuwe Rijn. Sebenarnya Simongel kurang suka dengan acara tersebut. Tetapi karena ingin tahu, bagaimana sih acaranya mahasiswa Eropa ini akhirnya Simongel datang juga. Dia berangkat bersama tetangganya, Alden. Sampai di sana Simongel naik ke atas. Alden sudah kelayapan entah ke mana. Lantai atas sudah penuh dengan mahasiswa. Masing-masing memegang gelas besar. Sebagian sedang mencari anggota kelompoknya. Sebagian lagi antri di dekat kran bir dan minuman keras lainnya. Setelah gelas mereka penuh mereka pergi ke kelompok masing-masing dan antri lagi kalau gelas mereka sudah kosong. Berulang-ulang. Simongel cuma mengambil segelas cola. Setelah diabsen nama Simongel tidak tercantum dalam acara tersebut. Tetapi bagi mereka yang namanya belum tercantum boleh mendaftar dan diminta untuk tetap mengikuti acara hingga selesai. “Syukur, saya jadi tamu tidak tercatat, nih,” bisik Simongel dalam hati. Dia memang tidak mau mendaftar karena bagaimanapun dia memang tidak termasuk dan tidak ingin ikut dalam ESN. Simongel mencoba bertahan di sana beberapa waktu dan ngobrol sebisanya dengan beberapa mahasiswa yang terlihat masih ‘waras’ (Ada pepatah Belanda yang mengatakan “Kinderen en dronken spreken de waarheid” atau “Anak-anak dan orang mabuk berkata yang sebenarnya.” Andaikan pepatah ini benar, tentu tetap lebih baik berbicara dengan orang yang waras daripada orang yang mabuk. Dan itu tidak otomatis


orang yang berkata sebenarnya adalah anak-anak dan orang yang mabuk). Suara musik sudah terdengar berdentam-dentam. Sepertinya café itu mau runtuh. Sebagian mahasiswa terlihat menghilang. Dengan muka memerah dipengaruhi alkohol, mereka pergi keluar café berpasangpasang entah ke mana. Simongel tidak peduli karena memang sedang ‘tidak berakal’. Tidak lama kemudian Simongel tancap gas keluar pula. Sebelum ke Nieuweroord dia sempat pula belanja di Toko (toko yang satunya lagi di Leiden terletak di Pieterskerk Choorstraat. Istilah toko di Belanda secara umum merujuk kepada toko di mana dijual barang, makanan, atau rempah dari Indonesia, Cina, Suriname, Asia, dsb. Barangkali di Eropa, di Belanda-lah orang menjual bahan makanan dan bumbu-bumbu khas Indonesia yang paling lengkap. Ini berkat hubungan kedua bangsa yang sudah ratusan tahun. Dan tidak heran kalau hampir semua orang Belanda suka makanan Indonesia, kecuali yang terlalu pedas atau asin) di Korte Mare. Terus terang Simongel agak shock dengan apa yang baru dialaminya. Bahkan dia lebih terkejut lagi ketika dia sampai di Nieuweroord. Ternyata kawan-kawannya penghuni Nieuweroord yang ikut tadi membawa pasangannya ke kamar masing-masing. Simongel tentu tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan ber-dua-an dalam kamar terkunci. Kalau ditanya kepada orang Eropa, sambil mengangkat bahu paling-paling mereka akan bilang, “Toh, mereka sudah dewasa!” Merinding juga bulu tengkuk Simongel dibuatnya.

Halaman ~ 36

T

11. KULIAH LAGI

anggal 14 September 1998 kelas Simongel dimulai. Nama programnya cukup keren ‘One-Year Program in Dutch Studies,’ atau dalam bahasa Belandanya disebut ‘Eenjarig programma in Nederlandkunde.’ Sebenarnya program itu setara dengan program ‘propedeuse’ dalam sistem tradisional tingkat universitas Belanda. Kuliah tahun pertama disebut propedeuse. Memasuki tahun kedua hingga tahun keempat dinamakan fase doctoral. Jadi program doctoral memakan waktu 3 tahun sesudah fase propedeuse. Sesudah tahun keempat, seorang mahasiswa bisa mendapat gelar doctorandus (drs). Program ini dibagi dua. ‘Program I’ diperuntukkan bagi yang tidak memiliki kemampuan bahasa Belanda sama sekali dan ‘Program II’ untuk yang sudah memiliki kemampuan bahasa Belanda yang tentu saja mereka


Halaman ~ 37

harus lulus tes. Simongel dimasukkan ke dalam ‘Program I’ karena dia nyaris tidak pernah mengenal kata-kata bahasa Belanda. Setelah belajar baru dia tahu bahwa kata-kata seperti ‘rijbewijs’ dan ‘achteruit’ sudah lama diserap oleh bahasa Indonesia tetapi menjadi ‘rebewes’ dan ‘a tret’. Ingat itu semua Simongel sering senyum-senyum sendiri. Kawan-kawan Simongel berasal dari berbagai negara. Dan tidak ada satu pun orang Belanda. Simongel berteman cukup akrab dengan beberapa dari mereka. Misalnya dengan Irwan, asal Yogyakarta tetapi lahir dan besar di Jakarta. Dia satu-satunya orang Indonesia selain Simongel. Lalu dengan teman sekelasnya yang berasal dari Jepang, Amerika, Prancis, Canada, Rusia, Swedia, dan Hongkong. Tentu saja kawan Simongel yang paling akrab adalah Irwan, lalu Tomo karena si Jepang itu sering mengundang kawan-kawan sekelasnya makan di rumah kosnya walaupun yang jadi sponsor masaknya ketiga anak Asia itu. Disamping itu Simongel juga sering bercanda dengan Odell karena dia pernah menjadi Atase Militer di Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tahun 1980-an. Dia tinggi besar, Afro-Amerika, purnawirawan kolonel marinir Amerika yang diterjunkan dalam Perang Vietnam. Ketika kuliah lagi di Leiden usianya sudah cukup lanjut ukuran orang Indonesia. Isterinya waktu itu bertugas sebagai Kepala Konsulat Amerika di Amsterdam. Semangat dan disiplin belajarnya pantas diacungkan jempol. Dia sering bercanda dan memanggil Irwan dengan ‘Charles Barkley’ karena ia mirip dengan figure National Basketball Association tersebut (Charles Wade Barkley); dan Simongel dengan ‘Simongel the Magnificent.’ Simongel tidak mengerti mengapa Odell memanggilnya demikian. Sebaliknya Irwan dan Simongel sering pula menyapanya dengan panggilan ‘Chief’. Sebagian besar tempat kuliah mereka di LAK Theater. Di LAK Theater ini pula Simongel kenal baik dengan salah seorang pegawainya karena sering ngambil kunci ruangan komputer melalui orang itu. Namanya Jacobus Laterveer, asli Leiden. Tetapi dia lebih suka dipanggil John dan orangnya suka kocak dan bagus bahasa Inggrisnya. Ayah si John ini pernah dikirim sebagai tentara Belanda ke Indonesia tahun 1946-1949, sehingga dia sedikit-banyak tahu tentang Indonesia. Kalau bertemu Simongel atau Irwan, si John sering bilang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak, “Aduh, nee, Blandas!” (lelucon si John ini pula akhirnya yang mengilhami judul buku ini). Sebagaimana dengan beberapa dari teman sekelasnya, Simongel memilih program tersebut karena adanya hubungan emosional atau budaya. Walaupun terkesan kebetulan Simongel memiliki motivasi nostalgia untuk belajar kembali bahasa Belanda karena kakeknya dulu yang bekerja pada Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (KPM) menguasai ba-


Halaman ~ 38

hasa Belanda. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia, bahasa Belanda pun menjadi asing kembali di Indonesia sehingga tidak ada lagi dalam lingkaran keluarga besar Simongel yang menguasai bahasa tersebut. Sedangkan kawan-kawannya yang lain malah lebih jelas lagi motivasinya: mencari kembali akar mereka. Lèni misalnya, adalah peranakan Tunisa dan Belanda yang menetap di Prancis Selatan. Keluarga ibunya masih banyak yang tinggal di Belanda. Begitu pula Laureen, walaupun lahir dan besar di Montpellier, tetapi peranakan Prancis dan Belanda. Bahkan ada paman dan bibinya yang lahir dan besar di Indonesia. Tetapi mereka termasuk Indo yang masih dominan fisikal totoknya. Kasus yang sama juga terjadi dengan Anna dari Italia, ayahnya Italia ibunya Belanda. Sedangkan Lorrine adalah orang Belanda asli tetapi lahir dan besar di Canada. Semua mereka masih memiliki famili yang berserakan di Belanda. Kuliah lagi sebagaimana tahun pertama di universitas agak berat juga bagi Simongel karena dia sudah 3 tahun tidak terbiasa dengan tempo kehidupan mahasiswa yang tentu lain daripada tempo kehidupan orang yang sudah bekerja. Jadi, seolah-olah Simongel tidak saja mulai belajar dengan jurusan yang baru tetapi juga mulai belajar dengan tempo yang baru. Hal ini membuatnya menjadi under achiever di perkuliahan. Artinya dia menunjukkan performa di bawah kapasitas dia yang sebenarnya. Hal yang sama sering dialami oleh tim sepakbola nasional Belanda, bukan? Di samping itu dia juga tidak melihat target yang jelas mengapa dia belajar bahasa Belanda. Simongel sering berpikir, “Mau jadi apa?â€? Padahal dia ingin sekali kuliah pada bidang yang lain, pada disiplin Hubungan Internasional, Sosiologi, atau Sosial Politik, misalnya. Hal lain yang cukup mengganggu konsentrasinya adalah bagaimana untuk bisa memperpanjang masa tinggalnya di Belanda atau pindah ke negara lain karena dia tidak ingin lagi pulang ke Indonesia. Perkuliahan di Belanda ternyata sangat padat. Setiap hari, Senin sampai Jum’at, pasti ada kuliah. Rata-rata waktu belajar mahasiswa adalah 40 jam per minggu. Atau 1.700 jam dalam dua semester. Tugastugas mandiri dan PR selalu bejibun. Belum lagi harus basitungkin berjam-jam di labor bahasa. Tetapi hasilnya terhadap penguasaan bahasa sangat lumayan. Dua minggu pertama perkuliahan masih menggunakan bahasa Inggris. Sesudah itu tidak lagi, kecuali untuk mata kuliah Sejarah Seni (Kunstgeschiedenis). Selama program mereka harus mengikuti mata kuliah bahasa Belanda, pengantar sejarah seni Belanda, kultur dan masyarakat Belanda dan sejarahnya, serta Inleiding in bibliografische bronnen (Kuliah Pengantar Referensi Bibliografis).


Halaman ~ 39

Di Universitas Leiden ada istilah ‘het Leidse kwartiertje’ artinya perkuliahan dimulai terlambat 15 menit (kwartier) dari jadwal yang tertulis. Misalnya di jadwal tertulis kuliah mulai jam 09.00, tetapi sebenarnya mulai jam 09.15 (bagi mahasiswa Indonesia yang suka ngaret, sistem seperti ini cukup membantu). Tapi ingat, untuk jadwal ujian tetap dimulai tepat pada waktunya. Setiap jam 10.00 kalau kuliah pagi biasanya ada jeda selama 15 menit untuk minum kopi atau teh, yang disebut koffiepauze. Begitu pula setiap jam 13.00 sewaktu kuliah siang. Menjelang perkuliahan semester pertama berakhir seluruh mahasiswa diminta menonton video film-film terpilih Belanda. Sesudah pemutaran tersebut biasanya akan ada pertanyaan dan diskusi. Katanya untuk pengenalan budaya Belanda dan latihan berbicara dan menyimak. Pernah Simongel, Irwan dan kawan-kawannya menonton bersama di kelas. Karena filmnya tidak disensorkalau di Indonesia film tersebut pasti tidak akan lolos dari sensor BSFI tanpa pemotongan di sana-sinijadi, banyak juga adegan-adegan yang ‘syuur’. Astaghfirullah! Kalau sudah begitu Simongel malu sendiri dan memejamkan mata. Irwan pada awalnya juga demikian. Tetapi setelah melihat kawankawanya dari negara-negara lain cuek saja bahkan menghayati adegan demi adegan, si ‘Charles Barkley’ itu pun terlihat tenang-tenang saja. Di samping itu menjelang berakhirnya perkuliahan semester, jurusan mengundang mahasiswa peserta program ‘propedeuse’ untuk mengikuti minum-minum (borrel) di jurusan atau di tempat lain yang disponsori oleh jurusan. Mahasiswa yang ingin menyumbangkan masakan khas dari negara masing-masing pun boleh membawanya. Yang suka bawa makanan khas biasanya mahasiswa asal Indonesia, Jepang, dan Korea. Minuman pun beragam. Simongel dan Irwan paling-paling minum cola, fanta, atau spa (di Indonesia dikenal sebagai air mineral tanpa karbonat). Sementara kawan-kawanya yang lain-lain, khususnya yang dari Rusia, Jepang, dan Kanada sudah berbotol-botol minuman keras, entah apa merek dan berapa kadar alkoholnya, sudah masuk ke dalam lambung mereka. Simongel pulang duluan. Besoknya Tomohiro bercerita bahwa sewaktu pulang dari acara borrel itu dia terhuyung-huyung mendayung sepeda ke Nieuweroord. Hampir saja tidak celaka katanya. ‘Kalau begitu mengapa minum juga?’ tanya Simongel. Dengan enteng si Jepang itu menjawab, “Just for fun. Di Jepang, pesta minum seperti itu malah lebih gila lagi,” sambungnya. Kemudian masuk perkuliahan semester kedua. Pada semester tersebut ada mata kuliah yang diajar oleh seorang profesor. Beliau dikenal ‘galak’. Profesor ini pernah mengajar di Universitas Indonesia Jakarta. Jadi cukup fasih bahasa Indonesianya dan mengetahui banyak tentang


Halaman ~ 40

perilaku orang Indonesia. Pernah suatu kali Irwan dan Simongel kurang perhatian dan berbicara di belakang sewaktu dia sedang mengajar. Tibatiba dia berteriak marah dalam bahasa Indonesia, “Hei, kambing, harap tenang!” Irwan dan Simongel kontan terkejut dan duduk tenang serta memperhatikan penjelasan profesor itu dengan baik. Sementara kawankawannya yang lain tidak mengerti apa yang dikatakan profesor tadi. Di kelas Simongel beliau mengajar mata kuliah ‘Schrijven II’. Suatu hari dia menyuruh mereka membuat esai sebagai tugas. Esai itu dibuat untuk menjawab pertanyaan ‘Apa yang dimaksud ‘poldermodel’?’ Karena sangat kagum dengan sistem pengendalian air di Belanda Simongel menjawab pertanyaan tersebut dengan esainya. Bahkan dia terpaksa membolak-balik banyak ensiklopedi untuk mencari arti ‘poldermodel’ tersebut. Ternyata dia salah memahami konsep ‘poldermodel’ yang diminta. Dia memberikan penjelasan yang harfiah (letterlijk). Padahal bukan itu yang dimaksud oleh sang profesor. Simongel menulis esai yang sangat bagus tentang poldermodel. Dia melukiskan bahwa Belanda merupakan negeri yang selalu terancam oleh air. Karena ancaman tersebut mereka mengembangkan sistem pengaturan air dengan cermat. Parit-parit, kolam, kanal, kincir, tanggul (dijken), bukit pasir (duinen), semuanya itu merupakan bagian integral dari suatu kawasan yang dikembangkan menjadi polder. Dalam lingkungan yang serba terkurung dan terancam itulah mereka membangun perumahan, lahan pertanian, dan tempat mengembala ternak, dst...dst. Tetapi ‘poldermodel’ yang diminta adalah dalam istilah konotatif, dan lebih banyak merujuk kepada suatu sistem ekonomi. Istilah ini muncul tahun 1983. Waktu itu pemerintah Belanda, yang didukung oleh serikat kerja dan majikan (werkgevers), sedemikian rupa memotong pengeluaran publik yang sebelumnya merupakan 60% dari GDP menjadi 50%. Keberhasilan itu merupakan kombinasi pasar kerja yang tenang dan fleksibel yang didukung oleh kebijakan moneter dan fiskal yang solid serta pengembangan pasar yang lebih dinamis. Kemudian kemakmuran didistribusikan sehingga masyarakat sungguh merasakan pemerataan, misalnya melalui penerapan sistem pajak pendapatan yang bertingkat. Sistem yang sangat solid dan cermat seperti ini diilhami oleh cara hidup masyarakat di daerah polder. Walaupun Simongel menulis hal yang tidak dimaksud, dia mendapat angka yang cukup baik dari profesor yang juga dikenal cukup ‘pelit’ dalam memberi nilai, barangkali dia berpendapat bahwa esai Simongel itu lumayan bagus. Pernah pula dalam suatu kuliah Woordenschat atau semacam pelajaran kosa kata Belanda. Waktu itu sedang dibahas tentang kata-kata yang berkaitan dengan ‘godsdienst’ atau agama. Dalam kelas Simongel


Halaman ~ 41

waktu itu ada sekitar 30 orang karena bergabung dengan mahasiswa tahun kedua. Kemudian dosen bertanya, “Siapa yang masih percaya kepada tuhan, harap menunjuk.â€? Kelas diam. Pertanyaan itu diulang lagi. Kemudian ada yang menunjuk. Dari populasi kelas hanya empat orang yang mengacungkan tangan, yaitu Simongel, Irwan, seorang mahasiswa dari Kroasia dan seorang lagi dari Polandia. Kedua mahasiswi yang disebutkan terakhir ternyata Katolik. Mahasiswa selebihnya cuek saja. Simongel tidak tahu persis apakah mereka benar-benar tidak percaya lagi kepada adanya Tuhan (athĂŤist) atau mereka menganggap kepercayaan kepada tuhan merupakan hal yang sangat pribadi di mana orang lain tidak boleh tahu, atau menganggapnya sebagai keyakinan orang yang terkebelakang. Entahlah. Pada semester kedua tersebut juga ada perkuliahan excursies. Program ini berupa kunjungan ke museum-museum, tempat-tempat bersejarah, dan gereja-gereja di beberapa kota besar di Belanda seperti Utrecht, Haarlem, Amsterdam, Leiden, dan Den Haag. Gereja-gereja besar dan bersejarah di Belanda sepertinya sekarang sudah beralih fungsi menjadi semacam museum, karena pengunjung kebaktian di gereja (ontkerkelijking) cenderung menurun. Menurut data CBS (Centraal Bureau voor de Statistiek) tahun 1999 misalnya, hanya 1/4 dari penganut Kristen di Belanda yang masih datang ke gereja sekali atau lebih dalam sebulan, sedangkan 2/3 dari mereka sudah jarang dan bahkan tidak pernah ke gereja sama sekali. Ada beberapa bangunan gereja yang sudah dijual dan dijadikan masjid, atau dirobohkan (gesloopt) lalu di lokasi tersebut didirikan bangunan atau fasilitas lain. Dalam setiap kunjungan mahasiswa diberikan daftar banyak pertanyaan yang berkaitan dengan kunjungan tersebut dan sebagian pertanyaan tersebut keluar juga dalam ujian. Ada pengalaman memalukan Simongel sewaktu ekskursi di Leiden. Sewaktu mereka berhenti sejenak di dekat Pieterskerk, dosennya menjelaskan tentang tempat persembunyian The Pilgrim Fathers di Leiden sebelum mereka bertolak ke Amerika. Saking asyiknya Simongel tidak melihat lagi ke bawah. Tidak disangka sepatunya menginjak seonggok tahi anjing. Awalnya dia tidak mau tahu. Tetapi setelah sepatunya sering terasa melekat dibawa berjalan dan sedikit berbau baru dia sadar bahwa dia sudah menginjak tahi anjing. Benar. Tahi itu juga sampai berlepotan ke bagian depan sepatunya. Belum lagi sepatu yang dia gunakan bersol lumayan tebal dan bercelah dalam. Teman-temannya berteriak dan tertawa geli melihat nasib apes Simongel. Lagi pech, kata orang Belanda. Tetapi ekskursi tetap dilanjutkan. Simongel terpaksa menyeret-nyeret sepatunya di atas rumput tetapi tahi itu tidak hilang karena terselip dalam di celah-celah sol sepatunya.


Halaman ~ 42

Terus terang Simongel tidak bisa konsentrasi lagi mengikuti kegiatan tersebut. Ketika waktu ada acara singgah di sebuah café dekat De Burcht, Simongel langsung permisi dan pulang ke Nieuweroord dan membersihkan sepatunya. Dia ngomel sendiri, kesal dengan ulah anjing-anjing Belanda yang suka berak di sembarangan tempat. Akhir Juni 1999 ada cara perpisahan karena program sudah selesai. Setelah acara seremonial di Academiegebouw (sering jadi simbol Universitas Leiden) mereka pergi ke café di seberangnya. Udara sudah cukup panas. Ngobrol-ngobrol dengan dosen dan kawan-kawan untuk yang terakhir kalinya. Minta dan memberikan alamat masing-masing, dan berfotofoto bersama. Sampai pada akhirnya perpisahan. Seorang kawannya, gadis dari San Francisco (California) ingin menciumnya (farewell kiss)—sebuah kelaziman di Barat, Simongel menolak. Tetapi ‘Charles Barkley’ yang sedang berdiri di dekat sana segera beraksi. ‘Lisa, biar dengan saya saja,’ teriaknya sekaligus berciuman dengan gadis itu. Alis mata Simongel cuma bisa berkerut dengan adegan itu. Itulah harga yang harus dia bayar untuk sebuah prinsip. Beberapa bulan setelah program selesai Simongel tidak bertemu dengan seorang pun dari mereka, kecuali dengan beberapa kawannya. Dia bertemu Irwan terakhir misalnya, musim panas 1999. Waktu itu Irwan sudah kuliah di Sekolah Tinggi Pariwisata dan Transportasi di Breda (Netherlands Institute of Tourism and Transport Studies). Waktu itu dia bilang, “Wah susah Mas, kuliah di Belanda ini. Dari 10 mata ujian saya hanya lulus 2 mata kuliah. Delapan mata kuliah harus herkansing (ujian ulang).” Sejak itu Simongel tidak mendapat kabar lagi dari anak Jakarta itu. Sedangkan dengan Tomo sekali-sekali masih ada kontak lewat e-mail. Yang lain-lainnya bagai lenyap ditelan bumi. Sebagai orang Timur kadang Simongel agak sedih juga dengan sikap kawan-kawannya itu, khususnya yang dari barat. Dia teringat tulisan Makmur Makka di suatu harian terkemuka di Indonesia menceritakan pengalamannya kuliah di Amerika. Setelah tamat dan pulang ke Indonesia di mengirimkan surat dan kartu pos kepada kawan-kawannya yang pernah paling akrab sekalipun di Amerika, tetapi dia tidak mendapat balasan sama sekali. Dia mengatakan itu barangkali termasuk dari budaya mereka. Seolah persahabatan itu hanya karena ada kepentingan saja. Barangkali tidak salah kalau ada satu lirik lagu berbahasa Belanda menyatakan: Vriendschap is een illusie, vriendschap is een droom (Persahabatan adalah ilusi, persahabatan adalah mimpi), yang dilantunkan oleh grup ‘Het Goede Doel’ (Belgia, 1982). Lagu itu sering diputar dosen di kelas Simongel sewaktu kuliah menyimak (luisteren vaardigheden).


12. MAHASISWA PROGRAM STUDI INDONESIA

Halaman ~ 43

S

eminggu pertama kuliah dijalani Simongel dengan berat. Karena di Padang dulu dia pernah belajar bahasa asing, dia tahu persis bahwa inti belajar suatu bahasa adalah usage dan practice. Sementara tinggal di Nieuweroord dapat dipastikan kemampuan bahasa Belandanya tidak akan meningkat karena tidak ada milieu Belanda sama sekali. Ada sih beberapa perawat Belanda yang tinggal di lantai yang paling atas, tetapi tidak mungkin Simongel menjadikan mereka sebagai kawan bicara dan belajar bahasa Belanda. Dia mesti mencari kelompok yang memiliki kepentingan yang sama. Dari sinilah Simongel punya ide. Dia harus membuat iklan! Sehabis kuliah di jurusannya suatu siang dia pergi ke Program Studi Indonesia yang sekretariatnya di gedung yang sama dengan jurusan Simongel. Hanya saja, jurusannya berada setingkat di lantai atas. Program Studi Indonesia tersebut merupakan bagian dari Jurusan Talen en Culturen van Zuid-Oost Azië en Oceanië (TCZAO). Penggemar program ini cukup lumayan, rata-rata intake-nya sekitar 12 orang per tahun. Kasus yang terjadi di pada Jurusan Kajian Belanda ditemukan pula pada Program Indonesia ini. Pada umumnya, mereka memilih program tersebut karena masih punya hubungan emosional dengan Indonesia. Ada yang Indo, ada anak Indonesia yang lahir dan besar di Belanda, ada pula anak Indonesia yang diadopsi Belanda, ada totok yang kekek-nenek-buyut mereka lahir di Indonesia, dsb. Dan tentu ada pula yang ingin belajar bahasa dan budaya Indonesia bukan karena alasan-alasan di atas. Sampai di lantai jurusan TCZAO, Simongel mengetuk pintu salah satu ruangan dosen. Tulisan namanya tergantung di pintu ruangannya. Simongel masuk dan berkenalan serta bercerita banyak dengan dosen itu yang ternyata pernah tinggal di Pantai Air Manis Padang sebagai peneliti yang ‘menyamar’ sebagai backpacker. Isterinya peranakan Medan dan Padang yang sudah lahir dan besar di Medan dan punya anak satu. Sebelum permisi pulang Simongel minta izin kepada dosen itu untuk menempelkan pengumuman di papan pengumuman jurusan. Isi maklumat tersebut: ‘Mahasiswa Indonesia sedang belajar di Jurusan Studi Belanda mencari yang berminat belajar bahasa dan budaya Indonesia. Hubungi Simongel, Rijnsburgerweg 124, kamer 122, Leiden.’ Dosen itu tersenyum-senyum dengan ide Simongel ini. Dia bahkan berjanji kalau nanti dia masuk ke kelas dia akan mengumumkan juga iklan Simongel tersebut. Dan kalau Simongel punya waktu silahkan masuk dan ikut bela-


Halaman ~ 44

jar di kelas yang sedang diampu oleh dosen itu. Simongel tentu berterima kasih sekali dengan kebaikannya. Simongel lalu pulang untuk istirahat siang. Sorenya, ketika dia masih tertidur, bel kamarnya berbunyi. “Wah, ada gangguan nih,� bisik Simongel sambil melipat selimutnya dan menggapai intercom di dinding dan bertanya. Ternyata ada serombongan anak jurusan studi Indonesia menunggunya di bawah. Simongel segera berbenah. Setelah gosok gigi dan cuci muka dia bergegas menuruni tangga ke ruang tunggu. Benar adanya! Tujuh orang ABG menunggunya di halaman Nieuweroord. Sebagian besar blasteran, dan ada seorang yang totok. Ketuanya sekaligus satu-satunya lelaki waktu itu yaitu Johann, asli Jawa yang diadopsi oleh keluarga Belanda dari Groningen. Dia sudah bisa berbahasa Indonesia sepatah dua karena pernah liburan ke Pulau Samosir, Danau Toba karena pacarnya orang sana. Ada blasteran Sunda-Belanda, tetapi secara fisik telah menyerupai totok. Ada yang mengaku bahwa buyutnya dari pihak ayah adalah bekas Tuanku Laras. Simongel pikir, wah dia pasti ada darah Minangnya, walaupun ibunya blasteran Ambon - Belanda. Ada beberapa yang lain, tetapi Simongel sudah lupa nama mereka. Semuanya mahasiswa tahun pertama, sama dengan Simongel, dan mereka mendapat informasi itu dari dosen di atas. Rupanya sehabis belajar sore itu mereka langsung ke Nieuweroord. Pertanyaan yang sering dan diulang-ulang adalah mengapa Simongel belajar bahasa Belanda. Setelah menjelaskan alasannya Simongel balik bertanya mengapa mereka belajar bahasa Indonesia. Lalu mereka saling mentertawakan. Setelah puas ngobrol dengan bahasa Belanda dan Indonesia yang bagalemak-peak (kacau), mereka sepakat untuk bertemu secara rutin di KITLV di Reuvensplaats. Sampai beberapa bulan mereka berdiskusi setiap minggu di sana sampai akhirnya masing-masing sibuk dengan jadwal kuliah dan belajar sendiri menjelang semester pertama berakhir. Sejak itu mereka sudah jarang ketemu, tetapi masing-masing pihak mendapat banyak infomasi dan pengalaman dari kegiatan pertukaran budaya tersebut. Setidaknya bahasa Belanda Simongel semakin lancar dan bahasa Indonesia mereka juga demikian. Ada yang berpendapat bahwa secara umum orang Belanda punya bakat bahasa, artinya mereka bisa belajar bahasa asing dengan cepat dan menggunakannya dengan baik khususnya dalam kemampuan berbicara (spreekvaardigheid). Tidak itu saja. Kalau punya waktu Simongel juga masuk di kelas yang sedang diajar dosen yang baik hati tadi. Sekali-kali dia diminta pula memberikan penjelasan tentang suatu terjemahan, misalnya. Atau membacakan teks kalau ada ujian dikte.


Halaman ~ 45

Tidak itu saja. Kalau anak jurusan tersebut mengadakan acara, mereka pasti mengajak Simongel ikut. Pernah suatu ketika di musim dingin, PERMAI, demikian nama himpunan mahasiswa program studi Indonesia itu, mengadakan pesta gala. Simongel belum tahu apa itu gala. Dia bertanya kepada Johann, yang menjelaskan bahwa itu pesta anak-anak muda dengan pakaian yang bagus dan indah (smoking), dasi kupu-kupu, dan membawa pasangan masing-masing. Karena ingin tahu, Simongel hadir dalam acara tersebut. Tetapi dia bilang kepada Johann bahwa dia belum punya pasangan. Johann cuma mencibirkan bibirnya tanda cemooh, karena dia sering bilang kepada Simongel, “Ik heb alles meegemaakt!” (Saya sudah me-‘rasa’-kan semuanya). Dia juga pernah bilang kepada Simongel bahwa sebaiknya Simongel hidup di abad ke-18 yang lalu. Tetapi Simongel menanggapi cemooh Johann itu dengan positif. Barangkali anak itu belum kenal persis dirinya. Malamnya dia dijemput Johann bersama yang lainnya di stasiun. Mereka berjalan kaki ke sebuah café di Rembrandtstraat. Acara pertama makan malam. Karena duduknya sudah diatur masing-masing pasangan duduk berhadapan dengan meja di tengahnya. Untunglah ada juga mahasiswi yang datang tidak berpasangan waktu itu. Jadi untuk sementara klop sudah. Dia duduk di depan Simongel dan sedikit ngobrol. Tetapi Simongel lupa menanyakan nama gadis itu. Duduk di depan Simongel tetapi agak ke kanan, Madek namanya. Dia dari Nusa Tenggara tapi sudah bertahun-tahun samenleven (kumpul kebo) di Utrecht dengan Helen, mahasiswi tahun 3. Dasar Madek ini hanya tamatan SD dia bertingkah sesuai dengan taraf pendidikan formal yang dia peroleh. Dia bercerita kepada Simongel ngalor-ngidul, tidak tahu ujung pangkalnya. Tidak jelas topik dan strukturnya. Kadang dia terkekeh-kekeh sendiri. Karena terbiasa menjadi ‘pendengar yang baik’, Simongel melayani pembicaraan Madek dengan serius. Si Madek pun semakin semangat bercerita. Yang ditangkap Simongel adalah Madek ini dulunya pemandu wisata di kampungnya lalu ketemu Helen di sana yang waktu itu jadi turis, lalu membawanya ke Belanda. Sekarang dia bekerja sebagai instruktur mancing, katanya. Dia makan sambil terus bercerita. Mulutnya berlepotan saus tomat dan mayonaise. Berkali-kali Simongel melihat Helen menendang kaki Madek supaya berhenti dulu bercerita karena lagi makan. Tetapi dia terus saja nyerocos. Sebagai orang Indonesia, Simongel pun malu sendiri dengan ulah kampungan si Madek ini. Selesai makan, istirahat sebentar, lalu berfoto bersama. Kemudian perlahan-lahan mereka turun ke lantai bawah, di diskotek. Suara musik berdentum keras. Cahaya lampu berputar-putar dan berkedip-kedip. Mereka menegak minuman keras dulu berulang-ulang. Setelah itu turun


Halaman ~ 46

berdisko. Berpasang-pasanganan. Ada juga yang bergantian pasangan. Lalu berhenti untuk minum lagi. Berjoget lagi. Madek pun turun bergoyang beringas dengan Helen. Simongel yang hanya duduk di kursi terus memperhatikan ulah anak muda Belanda ini. Inilah barangkali yang dinamakan kebebasan Barat itu, pikir Simongel. Dasar orang yang lagi dipengaruhi alkohol, apa yang tabu bagi mereka ketika sedang sadar, dengan mudah bisa dilanggar. Lalu Madek pun istirahat dan duduk dekat Simongel. Mungkin dia agak segan juga kepada Simongel. Dia bercerita bahwa dulunya sewaktu menjadi pemandu wisata di kampungnya dia sudah ‘bermain’ barangkali dengan ribuan wanita asing yang dipandunya. Simongel bergidik mendengarnya. Jangan-jangan Si Madek ini sudah ngidap HIV yang menyebabkan penyakit AIDS. Dia bilang sebenarnya dia sudah merasa bosan dengan Helen ini dan sedang mencari wanita yang lain. Simongel berfikir, kalau maksud Madek itu serius, di mana rasa terima kasihnya kepada pasangannya itu, padahal gadis Belanda itulah yang menanggung dan menjamin dia datang ke Belanda dulunya. Kemudian Helen mengajak Madek bergoyang lagi ke depan. Tetapi Madek menolak dan bilang capek. Helen lalu bergoyang sendiri. Madek lalu bilang kepada Simongel bahwa ajakan Helen itu tidaklah murni dari nuraninya hanya karena nafsu yang dipengaruhi oleh minuman keras. Dia juga menyarankan agar Simongel berkenalan dengan salah seorang gadis di sana. Untuk dijadikan pacar atau just for fun, kata si Madek. Tetapi Simongel menolak. Karena malam semakin larut dan agak terkaget-kaget dengan apa yang baru saja dialaminya, Simongel permisi pulang duluan. Di Program Studi Indonesia, melalui Simone Simongel juga berkenalan dengan para dedengkot linguistiks, sejarawan, ahli sejarah dan tata-kota Padang, dan ahli sejarah (ekonomi) Indonesia di Universitas Leiden. Simongel mengungkapkan keinginannya untuk ikut program S3 atau setidaknya AMP untuk tahun akademik 1999-2000. Ada profesor yang menyarankan dia membuat proposal untuk S3 dengan syarat usulan itu harus benar-benar menarik, realistis dan bisa bersaing dengan proposal yang lain. Dosen yang lain mengatur pula pertemuan Simongel dengan seorang sejarawan kenamaan Belanda di Program studi tersebut, yang waktu itu sebagai orang yang cukup menentukan dalam keuangan AMP. Simongel bilang dia menjajaki peluang ikut AMP. Profesor itu cukup antusias khususnya setelah membaca outline awal proposal penelitian, CV serta berdiskusi dengan Simongel. Kemudian dia mengusulkan: pertama, agar Simongel mengambil gelar S2 terlebih dahulu karena bagaimanapun nanti diterima di AMP tentu juga tidak ada artinya kalau tidak bisa


melanjutkan ke program doktor (S3), karena syarat mengikuti program tersebut mahasiswa di luar Belanda harus memiliki gelar S2. Kedua, supaya Simongel berkonsultasi terlebih dahulu dengan Koordinator Program tentang kemungkinan ikut AMP itu. Kemudian Profesor itu bertanya lagi tentang topik yang akan menjadi fokus penelitiannya. Simongel ingin meneliti pengaruh budaya Minang terhadap semangat wirausaha pengusaha Minang. Lalu dia merujuk Simongel kepada seorang dosen, yang waktu itu baru saja menempatkan posisi mengajar di Program Studi Indonesia tersebut, karena dia ahli tentang Padang dan tentu juga budaya Minangkabau di sekitar Padang. Simongel berdiskusi dengan dosen itu. Diskusi semakin menarik apalagi dia pernah tinggal di Padang dalam beberapa periode untuk penelitian. Tetapi dia mengusulkan agar Simongel mengambil dulu S2nya. Kalau di Belanda itu sulit, dia menyarankan mengambilnya di Padang. Kuliah saja S2 dengan jurusan apa saja yang mudah dan murah, yang penting ada gelar S2. Sarannya cukup realistis. Tetapi yang jadi persoalan adalah, Simongel tidak mau lagi balik ke Indonesia. Meskipun demikian, dosen itu memberikan alamat dan nomor kontak Sekretaris Eksekutif AMP untuk membicarakan kemungkinan mengikuti AMP tersebut selanjutnya. Karena melihat alternatif itu tidak sesuai dengan keinginannya, Simongel tidak meneruskan rencananya untuk bertemu dengan orang tadi. Walaupun demikian, Simongel mendapat banyak manfaat dari pergaulan tersebut serta pantas berterima kasih atas concern orang-orang kampus itu terhadap dirinya. Dan dia semakin yakin dengan keampuhan salah satu strategi network-building yang sejak lama dia terapkan yaitu: “Les amis de mes amis sont mes amis” (Kawan dari kawan saya adalah kawan saya juga).

i Nieuweroord, mahasiswa Indonesia sering mengadakan acara yang biasanya diadakan malam hari karena siangnya mereka pada ‘terbang’ semua entah kemana. Secara tidak resmi kegiatan tersebut dinamakan Malam Indonesia. Kalau sudah begitu, pasti selalu ada makan-makan. Yang masak tentu mahasiswi. Ada pula mahasiswa yang suka membantu di dapur, yang tentu saja dia yang pertama ‘membantu’ mencicipi makanan sebelum di bawa ke common room. Momen acara tersebut bervariasi. Ada yang berulang tahun, ada yang merayakan wisuda, ada perpisahan, penjamuan khusus, berbuka puasa

Halaman ~ 47

D

13. MALAM INDONESIA


Halaman ~ 48

atau ada diskusi, dan biasanya diadakan di common room lantai 3. Di lantai tersebut terdapat konsentrasi mahasiswa Indonesia yang cukup dominan disamping mereka mendapat kamar khusus di depan common room yang mereka jadikan sebagai gudang dan tempat perbaikan sepeda kalau suhu di luar sedang dingin. Citra mahasiswa Indonesia di kalangan mahasiswa asing yang tinggal di Nieuweroord cukup bagus karena mereka terkenal luwes, ramah, dan suka menolong. Hanya yang kurang suka bau-bau masakan yang terlalu tajam saja yang sering gondok dengan mahasiswa Indonesia di sana. Apalagi yang kamarnya tepat di depan dapur umum karena aroma masakan Indonesia memang lebih ‘menyengat’ namun tentu saja—bagi mahasiswa Indonesia di Leiden—terasa lezat dan nikmat. Kalau ada acara ulang tahun misalnya, yang berulang tahun menjadi sponsor utama dalam penyediaan makanan. Sedang yang lain-lainnya akan membawa minuman atau buah-buahan, atau hadiah. Kalau sudah begitu banyak mahasiswa asing yang ikut nimbrung. Bahkan Simongel sering melihat seorang mahasiswi asal Kroasia—tetapi sudah berpaspor Belanda dan dia tidak tinggal di Nieuweroord—yang hampir selalu hadir kalau ada acara seperti itu. Kelihatannya dia kenal dengan banyak mahasiswa Indonesia, dan berinteraksi serta menikmati makanan Indonesia baginya sangat eksotis. Ada pula momennya berbuka puasa. Kadang mereka membuat jadwal berbuka bersama. Uniknya, acara ini juga dihadiri dan dinikmati bersama oleh mahasiswa Indonesia yang non-muslim. Kadang ada pula keluarga Indonesia yang sengaja datang membawa makanan dan berbuka bersama di Nieuweroord seperti yang sering dilakukan oleh Keluarga Moch. Chaeron dari Den Haag. Pada saat yang lain acaranya diisi dengan diskusi berbagai topik yang biasanya diselenggarakan oleh anak-anak INIS. Sebenarnya topik yang dibicarakan banyak yang bertema tentang Indonesia dan diisi oleh narasumber Indonesiais asal Belanda seperti N. Scholten, Van Bruinessen, N. Kaptein. Ada pula beberapa Indonesianis dari Amerika. Yang dari Indonesia misalnya antara lain Cak Nur, A. Azra, Gus Dur, dll. Yang berpartisipasi pun tidak saja anak INIS tetapi juga mahasiswa dari program lain serta orang Indonesia lainnya yang berminat. Sering pula kawan-kawan ngerjain mahasiswa asing yang ikut nimbrung dengan mengajarkan mereka dengan kata-kata dan ungkapan Indonesia yang punya konotasi atau makna yang lucu atau bahkan terkesan ‘kurang ajar’. Mereka membeo saja, entah karena antusias atau telah terbit air liurnya melihat makanan Indonesia yang sudah terhidang.


Makanan yang tersisa? Oh, nggak pernah! Kalau Perlu, dibungkus dan dibawa ke kamar masing-masing. Sepertinya mereka tinggal dan hidup di Indonesia saja.

ota Leiden terbagi atas beberapa bagian, yang barangkali sama seperti wijken pada zaman kolonial di Indonesia. Misalnya, kota Padang di zaman Belanda dahulu dibagi ke dalam beberapa wijk. Nah, di Leiden ini ada Burgemeesterwijk, Rijndijkbuurt, Transvaalbuurt, Meerenwijk, Haagweg, De Waard, Zijlkwartier, dsb. Salah satu wijk yang paling dikenal oleh mahasiswa ataupun malah oleh orang Indonesia di Leiden adalah Groenoord, karena di sini terdapat Groenoordhallen. Bahkan Simongel pernah berserobok dengan duta besar dan diplomat Indonesia yang sedang berkunjung di sana. Secara harfiah Groenoordhallen bermakna ‘hallen-nya Groenoord’. Kata ‘hal’ (bentuk jamaknya = ‘hallen’) dalam bahasa Belanda yang salah satu maknanya adalah ruangan besar yang beratap, seperti kata fabriekshal (bangunan pabrik), atau veilinghal (tempat pelelangan). Sesuai dengan namanya, Groenoordhallen ini juga beratap. Serupa stadion tertutup. Tempat itu digunakan untuk bermacam kegiatan, seperti olahraga sepakbola, bolabasket, tennis, volleyball, bahkan konser musik. Tetapi kegunaan yang paling disenangi mahasiswa Indonesia adalah sebagai vlooienmarkt atau ada juga yang menyebutnya rommelmarkt (pasar barang-barang bekas). Atau, kalau di negeri Anglo-Saxon dikenal sebagai flea market. Groenoordhallen ini biasanya dibuka setiap hari Sabtu, dan kadangkadang juga hari Minggu. Biasanya dimulai jam 9 pagi dan ditutup jam 5 petang. Waktu itu, karcis masuk masih 4 gulden per hari untuk seorang dewasa. Untuk anak-anak lebih murah lagi. Biasanya bagi mereka disediakan pula tempat bermain di dalamnya seperti yang ada di time zone di mall atau supermarket di tanah air. Tetapi tentu saja yang di Groenoordhallen ini lebih sederhana dan meriah. Oleh karena itu, kalau sudah masuk, tetapi tidak ada sesuatu pun yang kita beli, rasanya kita rugi, atau setidaknya tidak imbas dengan harga karcis masuk. Bagi yang sudah masuk tetapi ingin keluar, misalnya untuk makan, tangannya harus distempel dulu sehingga kalau mau masuk lagi tidak perlu beli karcis. Barang-barang yang diperdagangkan sangat bervariasi. Mulai dari pakaian, perabot rumah tangga, perhiasan, sepatu, barang-barang antik, alat-alat elektronik, sepeda, dll. Pokoknya lengkap, deh. Kalau pun perut

Halaman ~ 49

K

14. GROENOORDHALLEN


Halaman ~ 50

mulai keroncongan restoran ada di gedung sebelahnya. Walaupun kegiatan ini dikenal sebagai rommelmarkt, tetapi ada juga yang berdagang barang-barang baru yang seringkali harganya sedikit agak miring. Yang berjualan rata-rata orang Belanda di samping ada pula yang berkulit warna seperti orang-orang Turki, Maroko, Suriname, Karibia, Afika, dll. Tetapi, para pengunjungnya sebagian besar adalah yang berkulit warna. Banyak perlengkapan dan aksesori kamar mahasiswa Nieuweroord yang dibeli di Groenoordhallen ini. Banyak pula anak-anak Belanda yang berjualan. Barang dagangan mereka biasanya terdiri dari buku-buku bekas, alat-alat permainan, sepatu-sepatu, dan barang-barang lain milik mereka yang tidak mereka perlukan lagi. Nampaknya jiwa dagang di Belanda itu dibina sedari kecil. Mereka yang berdagang ini pun diharuskan membayar uang tempat. Persisnya Simongel tidak tahu berapa besarnya iuran itu untuk sehari berjualan. Barangkali rata-rata sekitar 50 gulden dan harus mendaftar jauh hari sebelumnya. Sistem transaksinya pun kontan karena di sana tidak ada jaringan pembayaran elektronik. Berbelanja di Groenoordhallen memang tergantung nasib. Ada kalanya kita merasa beruntung karena, misalnya, terbeli dengan harga murah tetapi barangnya masih bagus dan antik. Tetapi bisa pula terjadi sebaliknya. Simongel pernah merasa tertipu di Groenoordhallen ini. Kekeliruan pertama—walaupun tidak begitu parah—adalah ketika dia membeli 2 stel celana panjang. Celana itu merek dan kondisinya masih bagus. Karena di Groenoordhallen tidak ada kamar pas (paskamer), dan pada nomor celana itu sesuai dengan ukuran Simongel yang biasa lalu dia beli saja. Keduanya dibayar 10 gulden. Tetapi sampai di Nieuweroord, pinggang celana itu ternyata lebih besar, dan kalau dipakai pasti akan melorot. Kalau begitu rugi juga berbelanja di Groenoordhallen itu, pikir Simongel. Tetapi dia belum jera hingga dia mengalami kerugian kedua kalinya. Waktu itu masih semester pertama. Dosennya menyarankan agar mahasiswa di kelas Simongel memiliki TV karena piranti elektronik tersebut sangat mendukung untuk pembelajaran bahasa Belanda. Pendapat itu cukup bagus dan masuk akal. Karena terdorong untuk membeli TV murah, Simongel pergi bersama Muslihan ke Groenoordhallen. Padahal di Nieuweroord waktu itu belum ada jaringan TV kabel (Belanda memiliki jaringan TV kabel yang paling awal dan komprehensif di Eropa. Selain saluran TV lokal, ada pula saluran dari Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Belgia, dan tentu saja, Amerika. Jaringan TV kabel ini sekarang digunakan pula untuk berlangganan internet (harganya tetap setiap bulan karena tidak menggunakan jaringan dan pulsa telepon). Hanya kamar bagian atas yang bisa menangkap 3


Halaman ~ 51

saluran TV lokal Belanda. Kalau ingin menangkap pemancar yang lebih banyak lagi harus digunakan antena atau parabola kecil. Padahal, kalau TV dipasang di lantai bawah seperti di kamar Simongel maka gambar dan suaranya tidak bagus. Simongel tidak menyadari hal sebelumnya. Setelah masuk, mereka berkeliling hingga ke stand penjualan alatalat elektronik. Di samping tape recorder, radio, piringan hitam, di sana juga ada TV bekas (tweedehands atau gebruikt). Setelah tawar-menawar Simongel sepakat dengan penjual itu—seorang Belanda totok yang sudah agak berumur—membeli TV itu dengan harga NLG 125,00. Setelah dicoba TV itu menyala dan ternyata masih bagus. Gambarnya pun cukup bersih. Tetapi tidak pakai garansi. Untuk meyakinkan Simongel, penjual itu bilang kalau TV itu ngadat barang itu boleh dibawa kembali ke Groenoordhallen minggu berikutnya untuk diperbaiki karena dia selalu berdagang di sana setiap minggu. Simongel minta advis dari Muslihan, dan dia setuju dengan transaksi itu. Karena yakin dengan Belanda itu, Simongel membawa TV tersebut. Karena sepedanya tidak mempunyai tali pengikat di belakangnya maka sepeda itu terpaksa didorong sambil memegang TV itu supaya tidak terjatuh. Muslihan mengiringi dari belakang. Sampai di Nieuweroord TV itu dipasang, jangankan gambarnya yang keluar, bunyinya saja tidak muncul. Yang terdengar adalah bunyi deburan ombak saja. Setelah puas mengutak-atik TV itu sesuai dengan kemampuannya tetapi alat itu tetap tidak berfungsi. Untuk mengembalikannya ke Groenoordhallen tentu lebih sulit lagi dan mencari perkara saja. Akhirnya TV yang dibeli ‘cukup mahal’ itu segera menjadi sampah. Terus terang Simongel sangat kecewa dengan ‘ulah’ pedagang (penggalas) Belanda tersebut. Tetapi Simongel berdo’a semoga pedagang tua itu diberi petunjuk oleh Tuhan agar untuk selanjutnya dia berbisnis dengan jujur. Setelah peristiwa tersebut, Simongel masih bertemu dengan si Belanda itu beberapa kali di Groenoordhallen tetapi dia tidak menceritakan hal itu kepadanya. Hal itu juga yang membuat Simongel tidak pernah lagi berkunjung ke sana.


15. TIGA OKTOBER DAN UNIVERSITAS LEIDEN

Halaman ~ 52

H

ari nasional Belanda adalah tanggal 30 April yang dikenal sebagai Koninginendag. Sedangkan hari pembebasan kota Leiden dirayakan setiap tanggal 3 Oktober. Leiden memiliki makna yang penting dalam sejarah Belanda karena kemenangan itu merupakan titik balik dari perjuangan bangsa Belanda yang Protestan di bawah pimpinan Prins Williem van Oranje yang waktu itu terlibat dalam Perang 80 Tahun (Tachtigjaarige Oorlog) melawan Spanyol yang Katolik dari 1568 hingga 1648. Perayaan 3 Oktober itu untuk mengenang kemenangan heroik rakyat kota Leiden sewaktu pecah pembangkangan beberapa provinsi yang menentang pendudukan Spanyol memilih berpihak kepada Prins Willem van Oranje, atau Prins Willem de Zwijger, atau Pangeran Willem Si Pendiam. Selama hampir setahun pengepungan Spanyol, rakyat Leiden berhasil bertahan di bawah pimpinan komandan militer Johan van der Does, walikota (burgemeester) Pieter van der Werff, dan sekretaris kota Jan van Hout. Selama pengepungan, kelaparan dan penyakit melanda penduduk. Bahkan di Stedelijk Museum de Lakenhal di Leiden, terdapat lukisan di mana walikota Leiden waktu itu menyerahkan pedangnya kepada rakyat yang kelaparan datang kepadanya meminta makanan. Dia ingin mengorbankan dirinya dan tubuhnya bisa dijadikan makanan untuk mengurangi kelaparan yang diderita rakyatnya. Lukisan itu memiliki makna yang simbolik. Untungnya selama musim dingin pasukan Spanyol tidak bisa mengepung perbatasan Leiden dengan Haarlem karena danau-danau di sekitar itu membeku sehingga penyusupan makanan ke dalam kota Leiden bisa dilakukan. Setelah bertahan dengan gagah berani, mereka berhasil mendobrak pengepungan Spanyol tanggal 3 Oktober 1574, dengan cara membobolkan tanggul-tanggul sehingga terjadi banjir dan kapal-kapal perang mereka bisa masuk dan menghantam tentara Spanyol. Pada waktu itu makanan yang tersedia hanyalah roti dan ikan haring. Oleh karena itu, mengapa dalam setiap perayaan 3 Oktober hingga sekarang anak cucu mereka mengulang kembali pesta kemenangan waktu itu dengan memakan ikan haring mentah yang dibumbui dengan sejenis bawang, dan hutspot. Hutspot (makanan yang terbuat dari adonan kentang, wortel, dan bawang) ini termasuk ke dalam makanan khas dalam perayaan 3 Oktober, punya kisah tersendiri. Sewaktu tentara Spanyol melarikan diri, seorang anak yatim-piatu Leiden menemukan makanan tersebut dalam se-


Halaman ~ 53

buah periuk (pot) di kemah tentara Spanyol itu. Patung anak itu sekarang masih ada di Station Lammenschans, yang selalu dilewati kalau naik kereta dari Leiden ke Utrecht, atau sebaliknya. Kegiatan biasanya sudah dimulai sore hari tanggal 2 Oktober. Malamnya anak-anak muda mengadakan berbagai acara di pusat kota. Ledakan mercon dan kembang api menggelegar dan menerangi langit hingga larut malam. Pagi esoknya, dari stasiun Leiden Centraal arak-arakan manusia tumpah ruah menuju pusat kota. Sepertinya seluruh orang Belanda datang ke Leiden. Jalan-jalan penuh dengan manusia. Belum lagi pedagang kaki lima di kiri kanan jalan. Korting di mana-mana. Pokoknya semua orang melampiaskan uneg-uneg masing-masing dan dengan cara masing-masing pula. Jalur kendaraan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu acara. Biasanya acara resmi dilaksanakan dengan mengarak walikota (burgemeester) keliling kota. Dia bersama isterinya menaiki kereta kuda terbuka. Kuda yang menarik kereta itu besar-besar. Sutan Palangai menyebutnya ‘kuda gajah’ karena memang badannya tinggi besar. Sementara di depan dan belakang rombongan itu terdapat berbagai barisan pawai, pasar kaget, atraksi, dan kermis. Di kiri-kanan jalan yang dilalui parade itu penuh dengan barisan manusia yang ingin mengucapkan selamat serta mengelu-elukan walikotanya. Ucapan selamat dan lambaian tangan juga datang dari jendela-jendela rumah. Anehnya, keesokan harinya tanggal 4 Oktober, seluruh kota sudah bersih tanpa ada tanda-tanda bahwa 2 hari sebelumnya telah diadakan suatu pesta besar. Dinas kebersihan mereka benar-benar bekerja secara efektif dan efisien. Sebagai hadiah atas ketabahan dan keberanian rakyat Leiden itulah Prins Willem van Oranje tanggal 8 Februari 1575 mendirikan sebuah perguruan tinggi di kota mereka yang dikenal sebagai Universitas Leiden (Universiteit Leiden). Ini merupakan universitas pertama di belahan utara Lowlands yang dipengaruhi tradisi Protestan. Sementara itu beberapa tahun sebelumnya telah didirikan pula universitas pertama belahan selatan yaitu Universitas Leuven, Belgia, yang mewarisi tradisi pendidikan Katolik. Sejak berdirinya reputasi dan prestasi Universitas Leiden pantas diacungkan jempol. Banyak profesornya yang memperoleh Hadiah Nobel seperti Kamerlingh Onnes (Fisika), Hendrik Antoon Lorentz dan Pieter Zeeman (optik dan fenomena elektonik), Willem Einthoven (string galvanometer), serta Albert Einstein dan Ehrenfest (fisikawan). Selain penerima Hadiah Nobel, Universitas Leiden juga pernah punya Cornelius van Vollenhoven (ahli hukum), dan Christian Snouck Hurgronje (Arabist). Di


Halaman ~ 54

abad ke-19 universitas ini juga menghasilkan Johan Rudolph Thorbecke, penyusun konstitusi Belanda 1848. Di abad ke-20 ia melahirkan sejarawan dan filsuf budaya, Johan Huizinga. Pada umumnya pendidikan tinggi Keluarga Oranye—khusus yang akan mewarisi tahta—mereka tempuh di Universitas Leiden, seperti Ratu Beatrix dan Putera Mahkota Kerajaan Belanda, Prins Willem Alexander. Universitas Leiden tidak punya kampus yang terkonsentrasi pada suatu areal seperti di Universitas Indonesia atau Universitas Andalas misalnya. Kampus masing-masing fakultas terletak di lokasi yang terpisah-pisah dan kadang-kadang cukup jauh jaraknya satu sama lain. Walaupun tradisi keilmuwan di Leiden cukup terjaga dan masih terkesan ‘klasik’, khususnya dalam pendekatan sains sosial dan humaniora, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa ia sebuah universitas yang state-of-the-art. Perpustakaannya sangat lengkap, computerised, dan on-line. Sampai-sampai wc dan toilet-nya pun bersih sekali. Kalau memungkinkan Simongel berminat menyelesaikan pendidikannya hingga ke strata yang terakhir di Universitas Leiden ini. Tapi itu tampaknya ‘bagai pungguk merindukan bulan.’ Karena keberadaan Universitas Leiden itu pula akhirnya hingga sekarang kota Leiden dikenal sebagai Kota Universitas karena dari sekitar 115.000 penduduknya terdapat lebih dari 15.000 mahasiswa dan 5.000 tenaga akademik. Perkumpulan mahasiswa berkembang dengan marak di Leiden. Sepertiga dari mahasiswa Universitas Leiden menjadi anggota dari salah satu klub mahasiswa tersebut. Kegiatan mereka bervariasi mulai dari dinner dances, beer evenings, festival film, kabaret, theater, kursus, forum diskusi, mendaki gunung (untuk kegiatan ini terpaksa dilakukan di luar negeri karena di Belanda tidak ada gunung), beladiri, hingga olahraga dayung, panjat tebing, layang gantung serta gliding. Yah, itulah kehidupan mahasiswa di sana.

K

16. KONINGINNEDAG

oninginnedag dirayakan sebagai hari ulang tahun ex-Koningin Juliana setiap tanggal 30 April. Walaupun hari ulang tahun Koningin Beatrix (ratu yang sekarang) di awal tahun, tetapi untuk menghormati ibunya (Ibu Suri Juliana), perayaan Koninginendag masih tetap dirayakan akhir April. Ada pula keuntungannya kalau perayaan itu dirayakan dalam musim semi karena suhu sudah cukup hangat untuk mengadakan perayaan di luar.


Halaman ~ 55

Setiap tahun, pusat perayaan Koninginnedag digilirkan di kota-kota besar di Belanda. Perayaan tahun 1999 secara umum dipusatkan di Utrecht. Simongel, Sutan Palangai, dan Ajo Lawas dari pagi sudah siap-siap untuk berangkat ke Utrecht. Ajo Lawas bahkan juga telah mengontak kenalannya, Liesbeth, yang dikenalnya sewaktu mantan mahasiswi Univeritas Leiden itu belajar di Padang, dan kini dia tinggal di Utrecht. Dengan stoptrein (kereta yang berhenti di setiap stasiun) mereka berangkat dari Leiden Centraal. Kereta penuh sesak dengan penumpang. Sebagian besar berkostum warna oranye, atau menggunakan aksesori dengan warna tersebut seperti topi pet, syaal, mahkota, bola di hidung, kacamata, sepatu, terompet kertas, balon, atau kaus kaki. Di dalam kereta terdengar ramai suara terompet, balon-balon oranje yang meletus, gelak tawa dan canda terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Tidak berapa lama kemudian mereka sampai di Utrecht Centraal Station. Karena Simongel sudah pernah ekskursi di sekitar centrum kota Utrecht beberapa minggu sebelumnya dalam rangka mata kuliah Pengantar tentang Kultur dan Masyarakat Belanda, dia sedikit hafal medan di sana. Dari stasiun mereka berjalan ke centrum. Toko-toko pada tutup. Jalan-jalan penuh dengan orang yang lalu-lalang. Suasananya mirip acara 3 Oktober di Leiden. Tetapi tentu saja Koninginnedag lebih ramai. Di suatu lapangan (plein) mereka bertemu dengan dua orang Indonesia, mereka mirip Indo tetapi lebih banyak Indonesianya. Mereka sudah sangat berumur, barangkali sudah di atas 70 tahun. Satu lahir di Bandung dan satunya lagi—yang waktu itu sedang berjualan layang-layang— lahir di Jawa Tengah, yang saat itu lagi asyik bermain layang-layang di tengah orang yang sedang lalu-lalang. Mereka berdua sudah puluhan tahun menetap di Belanda, bahkan ada putera mereka yang menjadi anggota polisi Belanda. Mereka sangat gembira bisa bertemu dengan orang Indonesia karena sudah lama tidak pulang ke sana. Mereka bercerita ngalor-ngidul tentang pengalaman masing-masing. Akhirnya, Bapak yang menjual layang-layang itu menawarkan barangnya kepada mereka bertiga dengan harga yang lebih murah karena dia merasa sebagai satu bangsa. Menurut Bapak itu—yang lebih suka dipanggil ‘Meneer de Vlieger’ (Pak Layang-layang)—dia berjualan bukan karena uang sebab dari uang pensiun dia sudah merasa lebih dari cukup. Tetapi uang berjualan tersebut digunakan untuk membantu anak-anak miskin di Indonesia, yang membuat layang-layang itu untuk kemudian dipasarkan ke Belanda (Walaupun di Belanda layanglayang dari kertas seperti itu akan lebih cocok digantung pada dinding rumah sebagai hiasan karena orang lebih suka bermain layangan di pantai dan layangannya terbuat dari bahan parasut yang tahan air dan hem-


busan angin yang keras). Cukup kreatif dan mulia aktifitas Meneer de Vlieger ini, pikir Simongel. Di Indonesia, para pejabat sering berceramah dan berseminar tentang bagaimana cara mengentaskan kemiskinan tanpa bisa berbuat banyak di lapangan. Tetapi Meneer de Vlieger ini, yang sudah puluhan tahun meninggalkan Indonesia, telah berbuat sesuatu tanpa banyak bicara atau berteori. Dari sana mereka bertiga menyusuri jalan-jalan yang kiri-kanannya dipenuhi oleh orang yang sedang berjualan (braderie). Ada yang menjual barang-barang, pakaian bekas dan baru, minuman, makanan, dan bermacam atraksi dan permainan ketangkasan (kermis) yang barangkali bisa termasuk kategori judi. Disamping itu—di sekitar suatu plein—terdapat pula mobil-mobilan serta buaian hidrolik yang bisa mendebarkan jantung orang yang menaikinya. Di sana mereka bertemu lagi dengan Meneer de Vlieger yang dengan piawai sedang memainkan layang-layangnya. Orangorang Belanda berdecak-decak kagum dengan kemahiran orang itu bermain layang-layang tetapi mereka kelihatannya tidak berminat membeli dagangan Meneer de Vlieger tersebut. Beberapa waktu kemudian, karena sudah janji sebelumnya, Ajo Lawas bertemu dengan Liesbeth di sana dan mereka asyik ma ota. Sementara itu Sutan Palangai sudah tersesak pula mau pipis. Tapi mau dibuang di mana? Di sana tidak ada fasilitas buang hajat. Yang namanya hajat, dia tidak bisa ditahan-tahan lagi sehingga Sutan Palangai berlari-lari mencari sudut rumah orang dan ‘mojok’ di sana, sementara orang lalulalang di sekitar itu. Nekad, deh! Sekitar jam 14.00 siang rombongan Ratu Beatrix mulai diarak. Tetapi lokasinya agak jauh dari plein di mana Simongel dan kawan-kawannya berada. Karena sudah capek dan ada jadwal mencuci pakaian di Nieuweroord, Simongel permisi pulang duluan. Sementara kedua kawannya masih ingin bertahan di Utrecht dengan alasan mereka ingin berfoto bersama Ratu. Lang zal zij leven, lang zal zij leven, lang zal zij leven in de gloria! Hiep, hiep, hoera! Hiep, hiep, hoera! (Panjang umurnya, panjang umurnya, serta mulia! Hiep, hiep, hoera! Hiep, Hiep, hiep, hoera!).

Halaman ~ 56

17. TALIS AWARDEES’ GATHERING

S

epanjang pengetahuan Simongel, TALIS 1998/1999 merupakan suatu pilot project kerjasama pendidikan yang baru antara Belanda dan Indonesia walaupun itu belum bersifat bilateral akibat mendinginnya hubungan kedua negara yang di Indonesia lebih dikenal sebagai ‘Kasus Pronk’ tahun 1992. Skema beasiswa ini dikelola oleh


Halaman ~ 57

The Netherlands Universities Foundation for International Cooperation (NUFFIC) dan di Jakarta ditangani oleh The Netherlands Education Centre (NEC), yang waktu itu berada di kawasan Jl. Jend. Gatot Subroto. Sejak itu, NEC terus mengembangkan skema beasiswanya sekaligus menggunakan skema-skema program yang baru, dan skema TALIS tidak terdengar lagi. Sejak tahun 2000 skema beasiswa Belanda untuk Indonesia menjadi Study in the Netherlands Scholarship Programme (STUNED), dengan kuota yang lebih banyak. Target pesertanya hampir sama dengan dengan penerima beasiswa TALIS sebelumnya, yaitu mahasiswa, profesional, dosen, dan pegawai pemerintah. Meskipun skalanya masih lebih kecil daripada beasiswa ADS dari Australia yang menyediakan 300 kuota (200 untuk pegawai negeri atauswasta, 100 berstatus lepas) dan ada jatah untuk program Ph.D., Belanda merupakan pemberi beasiswa dengan jumlah peserta terbanyak dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Penerima beasiswa TALIS angkatan Simongel kurang dari 20 orang dari seluruh Indonesia. Bahkan 1 orang mengundurkan diri karena ikut program beasiswa ke negara lain. Pada umumnya mereka adalah dosen muda dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hanya Simongel yang termasuk dalam kategori non-pegawai dan lebih bersifat pribadi, tanpa ikatan dinas dengan pihak mana pun. (Hal itu pula salah satu faktor yang menyebabkan dia akhirnya bisa menetap dan bekerja di Belanda. Sedangkan kawan-kawannya yang lain harus pulang ke tempat kerja masingmasing di Indonesia begitu studi mereka selesai, walaupun banyak di antara mereka sebenarnya ingin menambah masa tinggalnya di Belanda). Penerima beasiswa TALIS tersebut belajar di berbagai universitas dan perguruan tinggi di Belanda. Ada yang di Rotterdam, Groningen, Twente, Delft, dan beberapa kota lainnya di Belanda. Tiga orang di antaranya studi di Leiden yaitu Simongel, A. Khatib (dosen IPB), dan A. Hasan (dosen Sosiologi UI). Kedatangan mereka pun tidak serentak karena program studi mereka mulai dalam waktu yang berbeda pula. Yang termasuk yang paling awal berangkat ke Belanda adalah Simongel. Sekitar bulan Maret Simongel dan penerima beasiswa TALIS lainnya mendapat undangan untuk berkumpul akhir April 1999. Tempatnya di gedung Institute of Social Studies (ISS) di Kortenaerkade 12, Den Haag. Tepat di sebelah gedung NUFFIC. Acara dimulai dari pagi. Di sana Simongel bertemu lagi dengan Manajer NEC yang datang dari Jakarta. Kebetulan mereka punya nama panggilan yang sama. Hadir juga dalam acara tersebut Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI, Bapak Tandi Andi Lolo, dan Menteri Muda Kementerian Pendidikan, Budaya, dan Sains Kerajaan Belanda menyampaikan kata sambutan.


Halaman ~ 58

Kemudian masing-masing peserta secara bergiliran diminta bercerita tentang pengalaman masing-masing sebagai penerima beasiswa TALIS. Lalu masing-masing bercerita dalam bahasa Inggris. Simongel memulai cerita dengan motivasinya mengapa dia datang ke Belanda untuk belajar di Jurusan Studi Belanda. Dia mengatakan bahwa ada dua motivasi utama yang mendorongnya. Pertama motivasi emosional, yaitu untuk ‘menguasai kembali’ bahasa asing yang dulunya pernah dikuasai oleh kakeknya. Motivasi kedua, adalah perlunya penguasaan bahasa tersebut untuk masa depan. Simongel sengaja tidak menjelaskan apa yang dia maksud dengan masa depan. Di sana Simongel bertemu langsung dan berbincang dengan Han van der Horst, staf ahli NUFFIC, penulis buku The Low Sky (Belanda: De Lage Hemel). Buku itu pernah dibaca oleh Simongel di kantornya dulu di Padang tahun 1997. Sebenarnya buku itu dihadiahkan oleh Netherlands Management Cooperation Programme (NMCP) Den Haag sewaktu Simongel menjadi asisten pribadi NMCP’s Local Representative di Padang. Waktu itu Simongel cukup tertarik dengan isi buku itu, tetapi dia tidak pernah punya bayangan bahwa dia akan berangkat ke Belanda dan mengalami secara langsung apa yang ada dalam buku tersebut tahun berikutnya. Meneer Van der Horst itu hanya melongo mendengar cerita Simongel tersebut. Sesudah makan siang di kantin ISS yang cukup lapang, acara dilanjutkan lagi dengan kuiz tentang Negeri Belanda. Dalam kuiz tersebut Simongel masuk 3 besar dan mendapat hadiah yang cukup menarik. Di samping itu dia dapat lagi buku The Low Sky. (Ketika pulang ke Nieuweroord, buku itu dihibahkan kepada Sutan Palangai sebagai kenangkenangan), serta beberapa paket informasi penting lainnya tentang Belanda. Setelah itu, mereka dibawa berkunjung ke Museum Panorama Mesdag, yang terletak tidak seberapa jauh dari tempat pertemuan. Masuk gratis (karena dibayar panitia). Di sana mereka menyaksikan lukisan pemandangan lukisan pelukis kawakan Belanda itu. Lukisan itu menceritakan saat terakhir Pantai Scheveningen tahun 1881, sebelum kawasan tersebut berubah selamanya karena pengaruh modernisasi. Panorama tersebut dilukis di selembar layar kain (doek) yang cukup lebar dan tinggi. Kemudian digantung berkeliling berupa lingkaran yang panjangnya mencapai 120 meter dan tinggi 14 meter. Kemanapun mata memandang yang terlihat adalah scene laut lepas, nelayan, perahu layar, dan orang-orang yang sedang piknik. Panorama itu ditata sedemikian indah dan berkesan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Peserta pertemuan itu sangat terkesan dengan Panorama Mesdag tersebut. Panorama itu digarap Mesdag bersama isterinya, Breitner, dan pelukis ‘De


Haagse School’ lainnya seperti ‘De Block’ dan ‘Blommers’. Di museum ini juga terdapat koleksi lukisan Mesdag dan isterinya yang sebagian besar bertema pantai, kehidupan nelayan, dan keganasan gelombang laut. Lalu mereka kembali lagi ke ISS. Sebelum pulang mereka disuguhi lagi makan dan minuman ringan. Bermacam-macam masakan Indonesia bisa dipilih gratis di restoran ISS itu karena memang dipesan khusus oleh NUFFIC. Ada bakwan, goreng udang dan ayam, kerupuk sanjai, lumpia, dll. Setelah berfoto bersama mereka akhirnya berpisah dan pulang ke kota masing-masing.

anganlah ke Eropa kalau tidak singgah di Paris. Atau, kalau sudah ke Paris berarti sudah mengunjungi Eropa. Paris adalah representasi dari Eropa. Itulah argumentasi yang selalu digunakan oleh Sutan Palangai ketika Simongel bertanya kepadanya mengapa harus berkunjung ke Paris. Mengapa, misalnya, tidak ke Berlin, Roma, atau ke London saja. Mengingat masa tinggal Sutan Palangai yang tidak lama lagi di Belanda, akhirnya Simongel bersedia menemaninya ke Paris. Sebenarnya ada paket perjalanan akhir pekan yang lebih murah ke sana untuk dua orang. Tetapi karena Sutan Palangai tidak ingin perjalanannya diatur oleh agen perjalanan (reisbureau) paket itu tidak mereka ambil. Oleh karena itu, mereka menggunakan sistem Minangkabau karena mereka punya kenalan ‘Urang Awak’ yang sedang studi di Paris. Namanya Uda Herman Munaf, dosen FMIPA IKIP Padang yang sedang menyelesaikan program S3 di Universitas Caen (Caen adalah salah satu kota di Prancis yang paling porak-poranda beberapa waktu setelah pendaratan pasukan ekspedisi Sekutu (D-Day) di Normandia, 6 Juni 1944. Sekutu perlu waktu 6 minggu setelah pendaratan itu untuk merebut Caen ini dari tangan Nazi Jerman karena medannya memang lebih menguntungkan bagi pihak yang bertahan). Dia tinggal sementara di Paris karena ada praktek labor di sebuah rumah sakit di sana. Dia tinggal di Rue de l’Assomption, dekat halte metro Ranelagh. Sutan Palangai segera mengontak Uda Herman ini lewat e-mail. Gayung pun bersambut, dan dia bersedia menjadi tuan rumah selama kunjungan mereka di Paris. Mereka pun membeli tiket keretapi cepat TGV alias train à grande vitesse milik THALYS di Leiden Centraal. Harganya sedikit lebih mahal karena mereka terpaksa pulang Senin malam sebab kereta minggu malam

Halaman ~ 59

J

18. À PARIS


Halaman ~ 60

yang ke Amsterdam telah penuh. Untuk itu mereka membayar NLG 248,00 untuk masing-masing retour-kaart. Pagi Sabtu, tanggal 8 Mei 1999 mereka bertolak ke Den Haag Hollands Spoor karena kereta THALYS dari Amsterdam akan berhenti di sana, tidak di Leiden Centraal. Mereka menukar sejumlah gulden ke dalam Franc Prancis di Grenswisselkantoor (GWK). Tidak berapa lama kemudian kereta ke Paris pun tiba. Mereka naik dan kereta segera berangkat. Kereta melaju dengan cepat, tetapi kecepatan maksimum hanya ditempuh antara Brussel dan Paris. Dari Belanda ke Brussel kecepatannya agak lambat karena lalu lintas yang cukup sibuk. Namun kecepatan itu sudah di atas kecepatan kereta intercity untuk wilayah lokal Belanda. Memasuki daerah Belgia pemandangan landskap Negeri Belanda yang serba datar mulai ketinggalan. Di Belgia ini banyak bukit-bukit, lembah, dan ladang pertanian yang sangat luas. Air tidak lagi mendominasi pemandangan. Bagi Simongel, semakin ke selatan pemandangan semakin indah. Pemandangan semakin menakjubkan ketika kereta memasuki wilayah Prancis. Padahal kereta sudah berlari dengan kecepatan rata-rata 300 km per jam! Walaupun demikian, di dalam kereta tidak terjadi goncangan yang berarti. Botol minuman mineral yang ditaruh Simongel di atas platform di depannya tidak terjatuh. Sekitar tengah hari mereka sampai di Stasiun Gare du Nord, Paris. Karena Herman ada rapat mendadak untuk pelaksanaan pemilu di KBRI Paris, dia tidak bisa menjemput rombongan ‘Urang Awak’ dari Belanda tersebut di stasiun. Perubahan jadwal itu benar-benar di luar dugaan sebelumnya dan baru diketahui setelah mereka bertemu beberapa jam kemudian di tempat kos Uda Herman. Walaupun demikian, mereka masih beruntung karena membawa catatan alamat rumahnya. Simongel dan Sutan Palangai sudah hampir satu jam menunggu, tetapi Uda Herman belum juga tampak menjemput. Suasana semakin panas karena kebetulan para supporter salah satu klub sepakbola Inggris juga baru sampai di stasiun. Mereka datang menumpang kereta cepat. Simongel dan Sutan Palangai kuatir kalau-kalau mereka itu termasuk bonek (hooligans), yang bisa saja mengamuk di stasiun. Para pendukung sepakbola itu meriakkan yel-yel dengan keras sambil melambaikan syaal klub kesayangan mereka. Sebagian mengecat wajah dan rambut mereka dengan berbagai motif dan warna. Karena orang yang bertanya di bagian informasi berjibun dan antrian yang luar biasa panjangnya sekaligus untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Simongel mengajak Sutan Palangai menjauhi keramaian pendukung fanatik Inggris tersebut. Mereka keluar dan berkeliling di se-


Halaman ~ 61

kitar stasiun mencari informasi bagaimana untuk pergi ke Rue de l’Assomption tersebut. Kesulitan lain adalah kamar yang ditempati Uda Herman belum punya sambungan telepon sehingga tidak bisa dikontak sama sekali. Mereka bertanya kepada hampir semua orang yang mungkin memberikan informasi. Dari orang-orang yang berpakaian jas rapi hingga polisi mereka tanyai. Tetapi sebelum pertanyaan mereka selesaiyang tentunya dalam bahasa Inggrisorang yang mereka tanyai sudah melengos pergi atau menggeleng-gelengkan kepala, lalu pergi. Kalau sudah begitu Simongel akan berteriak, ‘Merci beaucoup, monsieur!’ (Terima kasih, Pak!). Hanya itu yang bisa dia hafal dan mengerti dari bahasa Prancis, disamping beberapa ungkapan yang lain seperti: Bon appétit! (Selamat makan!), Ça va (Baik-baik saja), S’il vous plaît (Silakan), dan Bonjour! (Selamat Pagi!). Itu pun ungkapan yang diperolehnya dari kenalan asal Prancis sewaktu kuliah di Leiden: Laureen, Lèni, dan Oliver. Lebih dari itu Simongel tidak mengerti lagi. Setelah puas bertanya, tetapi tetap sesat di jalan! Akhirnya Simongel mengajak Sutan Palangai ke tempat pembelian karcis metro, yang terletak sekitar satu lantai di bawah tanah. Mereka turun dan Simongel bertanya kepada petugas loket karcis berapa biaya dan bagaimana untuk pergi ke Rue de l´Assomption. Baru setelah pertanyaan kesekian kalinya, pertugas itu menjelaskan cara dan biayanya. Itu pun dengan bahasa Inggris yang kurang memadai. Petugas itu mengatakan bahwa dari Gare du Nord mereka naik metro 4 arah Porte d’Orléans dan turun di halte Strasbourg St-Denis dan mengambil metro 9 arah Pont de Sèvres, jangan ambil arah sebaliknya sebab mereka bisa terdampar ke Mairie de Montreuil. Simongel dengan cepat mengingat nomor metro, tempat ganti metro, dan halte terakhir yang dekat ke alamat yang dicari. Diaseperti biasa kalau sedang berjalan jauh atau ke negeri asingmerasa intuisinya bekerja lebih peka dan sangat yakin akan sampai di tempat yang dituju, padahal jangankan Paris, rute di Leiden saja belum semuanya masuk ke dalam memori otaknya. Mereka segera membeli one-way ticket untuk metro dan turun lebih dalam lagi di terowongan metro. (Kadangkala haltenya terletak jauh sekali di bawah permukaan tanah dan tangganya pun melingkar-lingkar seperti spiral yang bisa membuat nafas ter-sengal-sengal). Tidak seperti pintu masuk ke halte metro di Belanda, di Paris setiap orang harus menggesekkan karcisnya di tempat khusus dekat pintu masuk tersebut lalu pintu akan terbuka dan calon penumpang tadi harus segera lewat. Kalau tidak, pintunya akan tertutup lagi atau kita akan didorong dengan cepat oleh calon penumpang gelap yang mengintai di belakang kita sehingga sewaktu kita masuk, dia pun tanpa tedeng aling-aling masuk pula. Suatu


Halaman ~ 62

kali Simongel pernah mengalami hal ini. Dan di atas metro tidak ada pemeriksaan tiket lagi. Tanpa banyak kesulitan mereka naik metro dan turun di Strasbourg St-Denis. Mencek sebentar rute metro yang ke Port de Sèvres, sebab mereka harus turun di Ranelagh. Yang perlu diingat adalah halte sebelum halte Ranelagh tersebut yakni Boulainvilliers La Muette. Ketika metro ke Port de Sèvres datang mereka segera naik. Metro di Paris ternyata seringkali penuh sesak dan kurang aman karena tidak saja di peron yang seringkali berlampu suram dan terjadi aksi kejahatan tetapi juga di dalam metro yang penuh sesak penjahat pun suka beraksi. Anehnya, banyak juga pengamen yang mengadu nasib di perut terowongan yang pengap itu. Yang cukup membantu bagi pendatang baru ialah di setiap dinding halte tertulis nama halte tersebut dengan huruf yang besar-besar. Turun dari metro mereka harus menaiki tangga untuk keluar dari terowongan. Rue de l’Assomption memang dekat dengan Ranelagh tersebut sehingga dengan tidak begitu sulit alamat yang dicari bisa bertemu. Namun, Uda Herman belum pulang sehingga mereka berdua terpaksa menanti di serambi bawah. Tidak berapa lama kemudian dia datang dan mereka segera masuk ke kamar kosnya. Istirahat, mandi, shalat, dan makan karena Uda Herman ternyata pintar pula masak. Maklum, walaupun berasal dari Bukittinggi, tetapi dia pernah lama jadi anak kos di Padang dulunya. Malamnya mereka langsung menuju Menara Eiffel. Walaupun hari sudah agak sore, tetapi hari masih terlihat terang karena musim panas tidak lama lagi datang. Manusia berjubel di sekitar Musée de la Marine, Musée du Cinema, dan Musée de l’Homme yang semuanya menghadap ke Menara Eiffel. Berbagai aksi digelar dan pedagang asongan pun dengan agresif menawarkan dagangan masing-masing. Tidak ketinggalan para pengamen, atau pencopet. Sementara orang-orang yang berfoto dengan latar Menara Eiffel sepertinya tidak pernah terputus. Simongel dan Sutan Palangai pun tidak ingin ketinggalan berpose di sana. Setelah puas mereka turun berjalan ke arah menara. Berhenti sebentar melihat aksi akrobatik atlit sepatu roda amatir. Lalu menyeberang jalan dan melintasi Pont (Jembatan) d’Iena terus ke bawah Menara Eiffel. Malang, karena Sutan Palangai kurang tertarik naik ke atas menara sehingga mereka tidak jadi menikmati kota Paris dari puncak menara tersebut. Kemudian berhenti sebentar, duduk di kursi yang tersedia di taman, sambil mengagumi kehebatan arsitek Menara Eiffel (Simongel lebih kagum lagi dengan Sang Pencipta si Gustav Eiffel itu) sembari menghirup sebotol Jus d’Orange. Lalu mereka melangkahkan kaki sepanjang Parc du


Halaman ~ 63

Champ de Mars sambil menikmati taman itu, terus ke Ecole Militaire. Dari sana mereka naik bus dan pulang ke rumah. Ketika sampai di Rue de l’Assomption hari sudah hampir pagi. Esok pagi mereka dipandu Uda Herman berkeliling di kota Paris. Sebelum turun ke halte metro Uda Herman meminta mereka membeli karcis untuk sehari (MOBILIS). Mobilis ini hanya berlaku di zone-zone yang tercatat di kartu tersebut. Dan karena mereka masih mahasiswa maka biayanya pun lebih murah. Mereka juga mengunjungi Montmartre Basilika Sacré Coeur dari mana mereka bisa melihat kota Paris lebih leluasa karena terletak di atas bukit. Taman di bawahnya penuh sesak dengan manusia. Tua dan muda berpasang-pasangan, berpelukan dan bercumbu di tengah orang banyak. Lalu mereka ke Jardin du Luxembourg, Sorbonne. Dan tidak lupa singgah shalat di Mosquée de Paris (Masjid ini dibangun oleh pemerintah Prancis sebagai tanda terima kasih kepada veteran pasukan Prancis yang muslim dalam Perang Dunia I yang sebagian besar berasal dari Afrika Utara). Lalu mereka terus ke Saint-Michel dekat Notre Dame dan menginjak sebuah lempengan logam bundaryang menurut banyak orangmerupakan titik pusat kota Paris. Dari sana mereka berjalan lagi dan berfoto sejenak di atas terowongan di mana mobil Lady Diana dan pacarnya Dodi Al-Fayed mengalami kecelakaan fatal. Setelah menikmati makan siang di kedai shoarma Turki, mereka terus ke komplek Palais Royal di mana terdapat Musée du Louvre. Di sana juga ada La Pyramide. Lalu menikmati taman sepanjang Jardin des Tuileries. Di ujung taman tersebut terdapat sebuah kolam yang cukup luas dengan air mancur di mana terdapat kursi di sekelilingnya untuk orang-orang dengan santai menikmati cahaya matahari, suatu kegiatan yang tidak disukai oleh Simongel karena kulitnya yang coklat akan segera menjadi lebih gelap lagi. Di dekat itu juga terdapat Musée de l’Orangerie. (Nama museum ini sangat sering disebut-sebut oleh dosennya sewaktu Simongel mengambil mata kuliah wajib Kunstgeschiedenis atau Sejarah Seni di Universitas Leiden). Dari sana dengan semangat ‘45 mereka menapaki Des Champs Elysees yang terkenal itu. Singgah sebentar ke toko parfum dan setelah harum kena cipratan parfum Paris tersebut mereka merayap di tengah lautan manusia menuju ke Charles de Gaulle Etoile di mana Arch de Triomphe berdiri megah yang menantang siluet sinar matahari senja. Kebetulan pagi sebelumnya di sana ada perayaan pembebasan kota Paris dari pasukan Jerman. Setelah puas mereka terus ke obelisk di mana Raja Louis XIV dan isterinya Maria Antoinette dipenggal dengan guillotine. Dan karena hari sudah larut malam mereka bergegas pulang.


Halaman ~ 64

Selama di Paris, Simongel tidak saja menikmati keindahan taman, bangunan, suasana, tetapi juga mengamati manusia Paris itu sendiri yang dikenal sebagai les Parisiens. Secara fisik mereka lebih pendek daripada orang Belanda atau Skandinavia. Rambut mereka pun lebih gelap atau coklat, walaupun ada juga yang blonde. Jarang yang benar-benar pirang. Secara umum pria mereka tampan-tampan dan wanitanya cantik-cantik. Kalau mereka bicara, terdengarlah alunan dan tekanan serta tempo yang enak didengar. Memang, mereka lebih romantis dan hangat daripada manusia dari belahan Eropa Utara (Etnis lain juga banyak di Paris khususnya di pinggiran kota. Mereka pada umumnya datang dari negeri-negeri bekas koloni Prancis (Francophones). Mereka suka makan di restoran atau di teras restoran atau cafĂŠ di musim panas. Sambil menikmati makanan mereka akan duduk ngobrol berjam-jam lamanya. Kalau di Belanda kegiatan semacam itu dinamakan gezelligheid. (Berasal dari kata gezellig. Orang Belanda mengatakan bahwa tidak ada padanan yang tepat dari kata ini dalam bahasa-bahasa lain. Tetapi dalam bahasa Indonesia kata itu kira-kira bermakna ‘kehangatan dalam kebersamaan’). Ada pemeo pula bagi orang Prancis bahwa ada tiga hal bisa membuat mereka bahagia dalam hidup ini yaitu good friends, delicious food, and good wine. Kekurangannya ialah mereka sulit diajak berbicara kecuali dalam bahasa Prancis. Tetapi kalangan generasi mudanya yang pernah sekolah di luar negeri sebagian besar suka berbahasa Inggris, walaupun dengan aksen Prancis yang kentara. Esoknya Simongel dan Sutan Palangai harus pulang ke Belanda karena mereka telah absen kuliah sehari. Karena Uda Herman perlu berangkat pagi ke tempat kerja dan pulang agak malam sehingga dia tidak sempat mengantar Simongel dan Sutan Palangai ke stasiun. Tetapi tidak ada masalah karena dalam beberapa hari tersebut mereka sepertinya sudah cukup hafal dengan kota Paris. Mereka sangat berterima kasih atas kebaikan Uda Herman. Kalau tidak, tentu mereka harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk penginapan dan tentu saja agar bisa menyantap nasi hangat bersama sambal balado khas Minang! Sebelum ke Gare du Nord, Sutan Palangai masih belum puas untuk berfoto-foto di sekitar Menara Eiffel. Dia mengajak Simongel ke sana. Dari halte Ranelagh mereka naik metro 9 jurusan Mairie de Montreuil dan turun di halte TocadĂŠro untuk ganti ke metro 6 jurusan Nation, lalu turun di Bir-Hakiem, dan merayap menuju Eiffel. Setelah puas mereka pulang ke Rue de l’Assomption menjemput tas bawaan mereka dan kembali ke Ranelagh, lalu membeli one-way ticket untuk metro dan berangkat ke Gare du Nord. Setelah menunggu sebentar di


sana kereta THALYS pun berangkat menuju Amsterdam. Mereka sampai sekitar jam 22.00 malam di Leiden yang waktu sedang bermandi gerimis akhir musim semi.

etiap tahun dalam bulan Juni diadakan evenement yang dikenal sebagai ‘Pasar Malam Besar’ selama 12 hari di kota Den Haag. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Yayasan (Stichting) Tong-tong. Asal muasal pasar malam ini sebenarnya sebagai kelanjutan dari kebiasaan di Nederlands Oost-IndiĂŤ (Indonesia) sejak abad ke-19. Hal itu tidaklah mengherankan karena yang mengorganisasikan pasar malam di Den Haag adalah komunitas Indo di Belanda. Pasar malam merupakan gabungan antara pesta tahunan dengan banyak atraksi atau pasar rakyat, jaarbeurs (bursa tahunan) dan festival. Di abad ke-20 pasar malam mulai pula diisi dengan bisnis perlengkapan rumah tangga, dan dipertunjukkan pula seni sulam-menyulam (kunstnijverheidsdemontraties). Peserta pasar malam besar dulunya tidak saja dari IndiĂŤ tetapi juga dari beberapa negara Asia lainnya seperti IndoChina. Persis sebagaimana asal muasal pasar malam besar di IndiĂŤ, Pasar Malam Besar di Den Haag juga menjadi titik pertemuan antara barat dan timur. Oleh karena itu kegiatan ini tidaklah eksklusif acara yang hanya berbau Indonesia. Kini ada pula pasar malam yang diadakan oleh kelompok tertentu seperti etnis Maluku, misalnya. Tetapi dengan magnitude yang lebih kecil. Sampai tahun 2000 Pasar Malam sudah diadakan sebanyak 42 kali. Di sana ada toneel (pagelaran sandiwara), olah raga beladiri tradisional, teater, musik, dan diskusi serta kuliah umum. Kegiatan ini juga merupakan kesempatan untuk mengenal komunitas Indo secara lebih dekat, baik dengan yayasan, tradisi dan budaya mereka. Atau pasar malam ini menjadi wadah reuni karena ada pula papan khusus untuk menempelkan iklan misalnya mencari keluarga atau sahabat Indo yang telah terpisah puluhan tahun, dsb. Pasar Malam Besar di Den Haag dilaksanakan di Malieveld, dekat Den Haag Centraal Station. Sekarang mereka sudah menggunakan tenda besar yang khusus sehingga temperatur ruangan agak terjaga. Kalau cuaca agak panas, di antara tenda-tenda besar itu juga disediakan tempat bersantai yang disebut aloen-aloen. Walaupun namanya pasar malam

Halaman ~ 65

S

19. PASAR MALAM BESAR


Halaman ~ 66

tetapi mulai dibuka jam 12.00 siang hingga jam 22.00 atau 23.00 malam di hari terakhir. Di pasar malam orang-orang berjualan dan menyewa stand masingmasing. Banyak pula pedagang yang sengaja datang dari Indonesia untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Ada yang menjual barang-barang kerajinan tradisional, pakaian, dan makanan. Ada pula bagian khusus yang berjualan makanan. (Ada pengusaha restoran asal Indonesia tetapi sudah lama menetap di Belanda, yang berbisnis hanya selama 12 hari itu saja dalam setahun karena keuntungan mereka lumayan besar). Mahasiswa Indonesia, khususnya yang tinggal di Nieuweroord banyak yang bekerja sambilan selama pasar malam besar tersebut dengan hasil yang lumayan. Malangnya Simongel belum pernah mencoba kerja demikian. Beberapa hari menjelang Pasar Malam Besar 1999 ditutup Sutan Palangai mengajak Ajo Lawas dan Simongel pergi ke sana. Mereka pergi hari sudah sore. Naik kereta ke Den Haag kemudian jalan kaki dari stasiun ke Malieveld. Setelah membayar masing-masing (go Dutch, joh!), Sutan Palangai dan Simongel dapat korting dan mereka cuma bayar NLG 9,00 gulden karena punya kartu mahasiswa. Sementara Ajo Lawas, karena berstatus dosen, membayar sedikit lebih mahal. Di dalam orang-orang berdesakan. Penuh. Memang pengunjungnya selama 12 hari itu bisa mencapai 150.000 orang. Setelah berkeliling akhirnya Simongel berpisah dengan kedua kawannya itu karena dia ingin mencari kalau-kalau ada di antara yang berjualan itu pedagang dari Padang karena Simongel dari KADIN Sumbar dan pernah mendengar kisah tersebut sewaktu masih di Indonesia. Setelah lama bolak-balik ternyata tidak ada tanda-tanda bahwa mereka dari Padang. Setelah capek dia masuk ke tenda bagian makanan, di mana banyak yang berjualan makanan dan minuman khas Indonesia. Dia juga berharap di sana bisa bertemu dengan Sutan Palangai dan Ajo Lawas. Ternyata mereka tidak ada di sana. Setelah istirahat sambil menikmati makanan—harganya lumayan mahal—di sana Simongel berjalan lagi ke Podium Tong-tong yang waktu itu sedang ada atraksi olahraga beladiri Kuntao. Yang sedikit mengherankan bagi Simongel adalah banyaknya remaja dan anak-anak yang secara fisik persis Indonesia tetapi mereka tidak berbicara dalam bahasa Indonesia sepatah pun. Apakah mereka Indo atau asal Suriname, Simongel tidak tahu. Karena tidak ada temannya lagi, Simongel pulang ke Leiden. Tidak berapa lama kemudian di atas keretapi ke Leiden GSM-nya berdering. Ternyata itu telepon dari Ajo Lawas yang mengatakan mereka sudah dari tadi meninggalkan Malieveld dan sudah berada dekat stasiun Den Haag Hollands Spoor (Den Haag HS) ‘menyelidiki’ distrik ‘Lampu Merah’ yang ada di sana.


istem angkutan umum (openbaar vervoer) di Belanda sangat baik dan lancar. Yang termasuk alat angkutan umum di sini ialah keretapi (bertenaga listrik), tram. (Layanan angkutan tram hanya ada di kota-kota besar dan sibuk seperti Den Haag, Amsterdam, dan Rotterdam. Bahkan di dua kota yang disebutkan terakhir ada pula tram bawah tanah (metro atau subway). Sedangkan di Leiden cuma ada layanan bus, disamping keretapi di stasiun. Di stasiun juga disediakan koran gratis untuk para penumpang yaitu tabloid Metro dan Spits), bus, dan taxi yang hampir semuanya berkualitas baik. Jalur dan fasilitas jalannya pun sangat lumayan. Juga masinis atau sopirnya lumayan ramah dan profesional. Baik kereta, tram, bus maupun taxi semuanya kedap. Dan jarang bisa menemukan yang ber-ACkecuali keretapi bertingkat dengan kursi biru mudakarena alat itu memang tidak perlu karena sudah dingin. Yang ada malah verwarming untuk musim dingin. Dan di musim panas, pada kereta dan tram ada jendela bagian atas yang bisa dibuka. Sedangkan pada bus bisa dibuka jendela di atapnya kalau suhu terlalu panas. Kereta dan bus biasanya digunakan untuk angkutan dengan jarak yang agak jauh, misalnya antar kota. Sedangkan tram dan taxi biasanya untuk angkutan jarak dekat dan sedang, misalnya dalam kota atau ke pinggiran kota. Walaupun taxi bisa juga digunakan untuk jarak jauh, tetapi ongkosnya cukup mahal. Untuk kereta ada tiket khusus yang tidak bisa digunakan pada bus atau tram. Tiket ini bisa dibeli pada loket-loket karcis di stasiun-stasiun. Atau bisa juga didapatkan dari mesin penjualan tiket otomatis dengan menggunakan uang koin atau kartu ATM. (Pada stasiun-stasiun di Jerman, mesin otomat ini bisa pula dioperasikan dengan uang kertas, disamping dengan koin atau ATM. Disamping itu, informasi kedatangan atau keberangkatan kendaraan di stasiun-stasiun (Hauptbahnhof/Hbf) di Jerman lebih detail, reliable, dan tepat waktu jika dibandingkan di Belanda. Yah, itulah Jerman!). Bagi yang mau membawa anjing dan sepeda dengan kareta ada tiket tersendiri. Untuk kereta ini ada voordeel-urenkaart yang bisa mendapatkan korting 40% dari harga tiket normal. Cuma perlu diingat bahwa tiket korting (voordeel-urenkaart) ini berlaku mulai dari jam 9 pagi. Disamping itu bisa juga berlangganan (abonnement) selama periode tertentu dan dalam radius zone tertentu pula. Bagi yang rutin bepergian, misalnya belajar atau bekerja di kota tertentu, sebaiknya menggunakan fasilitas berlangganan ini karena lebih murah.

Halaman ~ 67

S

20. OPENBAAR VERVOER


Halaman ~ 68

Begitu pula kalau ingin bepergian dan pulang juga pada hari tersebut, maka sebaiknya gunakan retourtje (tiket pulang-pergi) karena kalau menggunakan enkeltje (sekali jalan) dan setelah itu dibeli pula karcis untuk pulang, maka harganya akan lebih mahal. Ada pula tiket pulang-pergi ini untuk akhir pekan, yang dikenal dengan weekend-retour, yang berlaku mulai dari Jum’at malam hingga Minggu malam. Di atas kereta biasanya selalu ada pemeriksaan karcis. Bagi yang kepergok dalam bus atau tram tidak punya karcis akan dikenakan denda yang cukup besar yaitu 60 gulden. Penumpang gelap ini disebut juga (zwartrijder). Penumpang gelap yang kepergok dalam keretapi harus membayar tiket dengan tarif yang jauh lebih mahal. Kadangkala kontrol dilakukan di tangga lift yang naik ke peron. Jadi, sebelum naik ke peron calon penumpang sudah harus menunjukkan karcisnya. Kontrol seperti ini sering terlihat di Amsterdam Centraal Station yang memang terkenal ramai, orangnya terdiri dari berbagai bangsa, dan banyak pencopet (zakkenrollers) dan pemabuk (dronkaards). Pada kereta di Belanda terdapat gerbong-gerbong yang berbeda kelasnya. Ada kelas 1, baik untuk perokok maupun untuk yang tidak merokok. Kemudian ada kelas 2, yang juga terdiri dari gerbong untuk penumpang yang merokok dan yang tidak merokok. Gerbong biasanya lebih banyak diperuntukkan bagi penumpang kelas 2 dan tidak merokok. Disamping itu, ada kereta yang dikategorikan stoptrein (yang berhenti di setiap stasiun yang dilewatinya), sneltrein (hanya berhenti di stasiun tertentu), dan ada intercity (yang berhenti hanya di stasiun kota-kota yang dilewatinya). Yang paling cepat lajunya tentu intercity ini. Sedangkan untuk bus dan tram ada karcis tersendiri yang dinamakan strippenkaart, yang memang bergaris-garis strip. Ada yang berwarna biru yang waktu itu harganya masih 11 gulden untuk 15 strip. Setiap strip menandakan satu zone. Jika kita ingin naik untuk jarak 1 zone misalnya, maka kita ceklek-kan 2 strip ke alat otomatis yang terdapat di dalam tram. Jadi, perhitungan stripnya adalah jumlah zone plus 1 strip. Jangan sekali-kali tidak menceklek strippenkaart sesuai dengan jumlah zone-nya, karena sering juga diadakan kontrol oleh tim khusus. Yang kedapatan tidak menggunakan strippenkaart akan dikenakan denda juga yang cukup besar. Hal yang sama berlaku juga untuk bus. Perbedaannya, di bus strippenkaart langsung distempel oleh sopir begitu kita masuk dari pintu depan (naik ke dalam bus di Belanda harus dari pintu depan. Pintu belakang hanya untuk turun. Tetapi ada pengecualian di kota-kota tertentu, misalnya di Rotterdam). Sebagaimana untuk kereta, bagi yang sering bepergian sebaiknya gunakan abonnement juga untuk bus dan tram sehingga begitu naik kita


Halaman ~ 69

cukup memperagakan kartu abonnement kepada sopir bus atau tim kontrol sewaktu-waktu di tram. Bahkan ada juga karcis abonnement yang berlaku untuk ketiga alat angkutan umum ini sekaligus. Untuk menghindari pengecekan yang berbelit-belit yang sering dilakukan oleh sopir bus Simongel menempel fotonya dengan ekspresi wajah yang paling ‘menyeramkan’ pada kartu abonement-nya, sehingga sopir bus biasanya keder duluan melihat foto itu, dan cepat-cepat akan mengangguk dan bilang, ‘Oke!’ Trik Simongel ini sering manjur. Kalau tidak, sopir itu biasanya akan melototkan matanya agak lama mencek kartu abonnement itu. Mungkin dia pikir kartu itu tidak asli atau tanggalnya sudah lewat, entahlah! Di dalam bus atau tram ada tulisan sejajar dengan tempat duduk tertentu disediakan untuk orang tua (ouderen) atau penderita cacat (invalide). Biasanya tempat duduk ini terdapat di bagian depan. Biasanya ada sindiran yang digunakan oleh nenek-nenek yang mau duduk di mana ada anak muda yang sedang duduk yaitu, “Waar zijn de jonge benen?” (Yang merasa muda, ayo berdiri). Fenomena lain yang ditemui Simongel di Belanda adalah ‘kenyamanan’ dalam menumpang angkutan umum. Di stasiun-stasiun Belanda (atau di Eropa Barat lainnya) tidak ada calo yang menarik-narik calon penumpang, atau menjual karcis dengan sistem ‘percaloan’ sebagaimana yang sering kita temui di tanah air. Di Indonesia, stasiun agak indentik dengan kawasan yang rawan terjadi tindak kejahatan. Pencopetan, pendongan, pemerasan, penipuan, dan bahkan perampokan serta pembunuhan sering terjadi di stasiun atau terminal angkutan umum. Di Belanda, angkutan umum tidak akan menunda keberangkatannya karena menunggu penumpang penuh terlebih dahulu. Kalau sudah waktunya berangkat, kendaraan tetap berangkat walaupun masih kosong. Keadaan sebaliknya sering terjadi di tanah air. Di Padang, misalnya, bus bisa saja menunda keberangkatan dan berjam-jam molor dari jadwal keberangkatan yang sebenarnya hanya karena menunggu sampai ‘kursi serap’ terisi. Belum lagi suhu yang cukup panas, dan bus yang sering tidak dilengkapi airconditioner, ditambah dengan asap rokok para pecandu rokok yang kebetulan menumpang. Atau hewan ternak yang kebetulan sedang ikut ber-musafir dengan pemiliknya. Dan kalau kebetulan bus telah terisi penuh lebih cepat, kernet akan teriak, “Capek, capek...laah, tarik, tarriiiik, awak ka barangkek lai!” walaupun waktu keberangkatan belum masuk, dan terkadang tanpa memperdulikan penumpang lain yang ketinggalan walaupun mereka sudah membeli tiket sebelumnya. Tetapi, tentu tidak semua perusahaan angkutan umum di Indonesia yang berbuat demikian.


Halaman ~ 70

Alat transportasi umum berikutnya adalah taxi. Taxi biasanya terdiri dari sedan-sedan bagus seperti Mercedes-Benz, Opel, dll. Setiap kota punya perusahaan taxi tersendiri. Sopir taxi di Belanda tahu persis seluruh jalan-jalan yang termasuk dalam wilayah operasinya. Dan ada juga yang dilengkapi dengan peta elektronik. Taxi biasanya lebih sering digunakan dari stasiun kalau sudah lewat tengah malam karena tidak ada bus dan tram lagi yang beroperasi. Disamping layanan taksi biasa, ada pula layanan dengan trein-taxi, dengan karcis tertentu, biasa dibeli di loket-loket stasiun, yang berfungsi sebagai karcis kereta sekaligus trein-taxi ini. Biasanya perusahaan treintaxi ini mendapat subsidi dari pemerintah. Di musim panas biasanya Nederlandse Spoorwegen (perusahaan keretapi Belanda) memberikan berbagai kemudahan. Begitu pula perusahaan bus dan tram yang sebagian besar di bawah konglomerasi Haagse Tramweg Maatschappij (HTM), dan Connexxion. Mereka memberikan paket-paket rekreasi yang menggunakan alat angkutan mereka dengan harga cukup murah. Walaupun demikian, ada kalanya layanan angkutan umum di Belanda ini membuat penumpang menjadi sebel. Misalnya kereta suka vertraging (terlambat) atau tidak jalan untuk rute tertentu karena ada perbaikan rel misalnya. Ada kalanya sopir dan masinis mogok (staking) menuntut kenaikan gaji atau meminta perlindungan ekstra karena meningkatnya tindak kekerasan di atas kendaraan selama perjalanan. Disamping itu, bus atau tram suka terlambat atau datang terlalu cepat menurut jadwal yang ada. Kalau penumpang sedang membludak. (Biasanya kereta penuh pada Jum’at sore (malam) karena orang-orang pulang untuk weekend), orang-orang harus berdiri berdesakan. Belum lagi jalurnya sering pula berubah-ubah karena banyak fasilitas umum di Belanda yang sering dibongkar-pasang (Kasus serupa sering juga kita temui di tanah air, tetapi di Belanda proyek-proyek perbaikan ini ditangani dan disikapi dengan lebih teratur dan jelas antisipasinya), seperti penggalian saluran telepon atau jalur air leding, pelebaran jalan, dll., yang membuat halte juga berubah-ubah. Pernah seorang kawan kuliah Simongel yang berasal dari California dengan kesal mengomel, “Kalau di Amerika perbaikan-perbaikan seperti hanya ditemui 50 tahun yang lalu.�


obias Asserlaan 8 adalah alamat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Hampir setiap orang Indonesia, baik mereka itu penetap, pekerja, mahasiswa, maupun yang tidak jelas statusnya, tahu persis alamat ini. Ataupun di kalangan orang-orang Belanda yang ingin datang ke Indonesia. Kawasan ini termasuk yang cukup elit karena di sekitarnya terdapat pula kedutaan besar negara-negara yang cukup berpengaruh di dunia internasional seperti Prancis, Jerman, Swiss, dan Jepang. Secara umum layanan di Tobias Asserlaan dimulai jam 9 pagi hingga 16 sore. Kalau dibandingkan dengan Kedutaan Besar Belanda di Jl. Rasuna Said di Jakarta Selatan, KBRI sedikit lebih fleksibel penjagaannya. Artinya setiap orang yang punya urusan (untuk visum) misalnya, selama jam-jam tersebut silakan pencet bel pintu pagar depan dan pintu segera dibuka, dan boleh masuk menunggu di ruang Imigrasi (barangkali suhu di Belanda dingin, jadi, lebih baik menunggu di dalam). Sedangkan ke Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, jangan coba-coba seperti itu karena sudah ada jam-jam tertentu: 2 jam menjelang siang untuk mengajukan permohonan visum, 1,5 jam siang hanya untuk menjemput paspor. Di Den Haag, yang menjaga orang Indonesia sendiri—yang biasanya dari kesatuan Kopassus. Sedangkan di Jakarta yang menjaga juga orang Indonesia—setidaknya secara fisik mereka mirip orang Indonesia, gitu. Jadi, kalau berurusan mereka berlagak sedikit lebih angker. Apalagi mereka tahu kalau kita orang Indonesia. Lumrah, toch? Bagi mahasiswa seperti Simongel tempat ini bisa dicapai dengan naik bus 4 atau tram 7 atau 10. Untuk rute bus 4 KBRI seolah terletak di antara dua halte yang kebetulan berbeda zone. Pertama, halte Laan van Meerdervoort yang dihitung sebagai batas zone (zonegrens) 1 dari Den Haag Centraal Station. Dengan demikian harus dikenakan 2 strip dari strippenkaart. Sedangkan halte berikutnya adalah Banstraat yang merupakan halte pertama dari zone 2. Kalau turun di sini, ya, otomatis harus dengan 3 strip. Padahal jarak halte Banstraat ke KBRI lebih dekat dibandingkan jarak halte Laan van Meerdervoort ke sana. Walaupun demikian, mereka sering turun di halte Laan van Meerdervoort saja, lalu berjalan ke KBRI. Sepanjang pengetahuan Simongel WNI yang terdaftar di KBRI Den Haag ada sekitar 13.000 orang. Itu belum termasuk yang tidak terdaftar. Tetapi jumlah yang pasti Simongel tidak tahu. Dalam setiap acara misalnya hari besar baik nasional maupun keagamaan, sering diadakan acara di KBRI. Orang-orang Indonesia diundang untuk datang. Begitu pula

Halaman ~ 71

T

21. TOBIAS ASSERLAAN 8


Halaman ~ 72

kalau ada pertunjukan dan diskusi. Tidak itu saja, shalat Jum’at juga diadakan di aula KBRI. Apalagi ketika kepala perwakilan negara Indonesia itu dijabat oleh oleh Bapak Abdul Irsan, ‘keangkeran’ KBRI Den Haag di mata masyarakat Indonesia di Belanda selama ini mulai mencair. Dubes yang dikenal ‘merakyat’ dan suka ‘informal’ ini bahkan selalu mengundang tokoh-tokoh yang sebelumnya termasuk dalam daftar cekal/dilarang pulang ke Indonesia. Bagi mahasiswa, acara yang paling menarik tentu saja kalau ada makan-makan, seperti halal bilhalal Lebaran, berbuka bersama, atau perayaan hari-hari besar lainnya. Untuk peningkatan gizi. Acara yang juga menarik bagi mahasiswa adalah kalau ada pejabat atau orang penting atau orang terkenal atau menteri atau presiden Indonesia yang sedang berkunjung ke Belanda. Biasanya mereka meluangkan waktu khusus untuk bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat Indonesia yang ada di Belanda (yang nggak enak tentunya kalau ada pejabat atau anggota DPR/MPR atau siapa saja yang datang ke Belanda dengan fasilitas negara, tetapi hanya sekedar untuk ‘reses’, ‘piknik’, atau ‘cuci mata’ dengan hasil yang tidak jelas buat negara. Fasilitas negara tentu milik rakyat juga. Padahal rakyatlah saat ini yang paling menderita di Indonesia selama krisis. Tegakah kita berfoya-foya di atas cucuran airmata dan keringat rakyat yang sedang menjerit pilu?). Bagi Simongel dan kawan-kawan ini merupakan kesempatan yang langka untuk bisa berdiskusi dengan menteri misalnya karena kalau di Indonesia, boro-boro bisa bertemu dengan mereka semudah itu. Palingpaling mereka sudah mundur duluan begitu dibentak satpam atau sekretaris mereka. Berkaitan dengan bertemu dengan orang penting ini, Sutan Palangai punya kisah tersendiri. Sewaktu dia habis kuliah di Nonnensteeg Leiden, dia berpapasan dengan seseorang. Dia ingat-ingat lupa orang itu. Rasarasanya orang itu W.S. Rendra, pemuka penyair Indonesia yang sedang berkunjung ke Leiden. Rendra ini termasuk tokoh yang cukup dikagumi oleh Sutan Palangai. Besoknya Sutan Palangai sengaja membawa kameranya ke kampus, kalau-kalau nanti bertemu Rendra lagi dia minta berfoto bersama. Mujur nasibnya, akhirnya di jalan dia bertemu lagi dengan Rendra yang sedang berjalan bersama isterinya. Setelah berbicara sebentar, Rendra dengan senang hati bersedia berfoto bersama dengan Sutan Palangai. (Barangkali prestise mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri cukup elit). Pose-pose mereka cukup bagus. Di kamarnya di Nieuweroord, sembari mengamati hasil jepretan tersebut Sutan Palangai berbisik-bisik sambil


menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kalau di Indonesia, tidak mungkin saya bisa berfoto begini dengan Rendra.” Ada-ada saja Sutan Palangai ini.

ecara geografis Belanda terletak di daerah sedang dengan iklim laut, maksudnya tidak terdapat perbedaan yang ekstrim antar musim. Negeri mungil ini terletak di wilayah yang punya 4 musim dalam setahun. Karena negeri ini terletak di bibir Barat Laut Benua Eropa, maka iklim Belanda secara umum dianggap sebagai daerah beriklim laut, yang agak berbeda dari iklim Eropa daratan. Akibatnya, badan meteorologi Belanda berkembang menjadi salah satu sistem yang paling maju di Eropa karena cuaca di daerah beriklim laut ini agak sulit diprediksi dan cepat berubah (veranderlijk). Di dunia belahan utara (northern hemispheres), termasuk Belanda, secara resmi musim panas dihitung dari 22 Juni. Di Belanda musim panas disebut de zomer. Musim rontok (gugur) yang mereka sebut dengan de herfst, mulai tanggal 23 September. Musim dingin (de winter) mulai 22 Desember, dan musim semi (de lente) mulai tanggal 21 Maret. Ketika Simongel sampai di Belanda penghujung Agustus 1998, musim panas hampir berakhir. Walaupun masih dalam musim panas, tetapi hawanya sudah terasa cukup dingin bagi Simongel. Sejak dia datang hingga masuk musim rontok, pakaian Simongel telah terdiri dari: singlet dan celana dalam tentunya, kemudian kemeja atau T-shirt, celana panjang, sweater, kaus kaki, sepatu, dan kalau keluar rumah ditambah jaket. Kawan-kawan kuliahnya yang sebagian besar berasal dari daerah utara itu cukup heran dengan kebiasaan berpakaian Simongel karena mereka menganggap suhu belum begitu dingin. Waktu musim rontok tiba, pakaiannya bertambah dengan syaal leher, celana panjang ketat. (Sebelum berangkat dari Padang dulu, bosnya mengingatkan Simongel dengan pakaian ini karena beliau pernah bertahun-tahun bermukim di negeri dingin, Jerman. Beliau menamakan celana itu sebagai ‘Sarawa Hanoman’. Dalam musim dingin beberapa bulan kemudian, di Nieuweroord Simongel mendapati Ajo Lawas sering mengenakan ‘Sarawa Hanoman’ versi lain. Celananya seperti kaus kaki panjang tebal yang sekaligus merangkap sebagai celana (panty), yang versi tipisnya sering dikenakan oleh para wanita. Tetapi panty tebal yang digunakan Ajo Lawasdan sering dia kombinasikan dengan kain sarungitu lucu kelihatannya karena bermotif warna-warni dan pakaian serupa ser-

Halaman ~ 73

S

22. MUSIM DI BELANDA


Halaman ~ 74

ing digunakan oleh anak-anak balita perempuan) sebagai lapisan dalam celana pantolan biasa, plus sarung tangan kalau bersepeda. Payung pun tidak kelupaan. Kemudian datang musim dingin. Lapisan pakaian Simongel bertambah tebal. Dia mulai memakai sweater yang lebih tebal, kaus kaki panjang dua lapis, sepatu jenis boot, plus seboh penutup kepala (muts), dan sarung tangan yang lebih tebal. Untuk pakaian musim semi tahun berikutnya Simongel sudah bisa mengenakan pakaian sebagaimana yang digunakannya sewaktu musim panas tahun sebelumnya karena sedikit demi sedikit dia telah menyesuaikan diri dengan iklim di Belanda. Akan tetapi, walaupun di musim panas, bagi orang yang berasal dari daerah tropis, usahakan selalu membawa jaket kalau sedang bepergian karena suhu bisa saja sontak turun, atau angin dingin bertiup, atau tiba-tiba turun hujan, dsb. Ketika musim rontok mulai masuk, hujan lebih sering turun. Walaupun hujan di Belanda jarang ada yang sederas hujan di daerah tropis yang sering disertai gelegar petir dan sambaran cahaya kilat, tetapi hujan dan gerimis (motregen) di Belanda seringkali turun bahkan sepertinya tidak mau berhenti. Siang musim panas yang panjang mulai semakin pendek, dan langit musim panas Belanda yang biru dan jernih akan semakin suram. Biasanya di pagi hari matahari muncul yang kemudian segera menghilang. Supaya aman, sediakan saja payung sebelum hujan. Kemudian daun-daun pehononan mulai berwarna keemasan, lalu kuning dan biasanya tanpa sempat menunggu berwarna coklat, daundaun itu akan segera melayang entah ke mana karena kerasnya terpaan angin. Desingan suara angin yang menderu-deru di musim rontok ini sangat biasa di Belanda. Di waktu malam, bagi telinga yang belum biasa, suara itu akan membuat mata semakin lambat dan susah terpejam. Belum lagi hawa dingin yang menyertai gelombang angin puting-beliung tersebut. Seringkali tiupan badai itu merobohkan pohon-pohon yang sudah meranggas sekalipun. Untunglah di Belanda tidak terdapat pohon-pohon yang terlalu besar tetapi lumayan tinggi untuk menahan laju angin. Memang pepohonan sengaja ditanam dan diatur sedemikian rupa untuk menjadi ‘pemecah’ tiupan badai. Di Belanda jangan coba-coba menebang pohon sembarangan khususnya pohon yang berbatang besar dan tinggi, karena pohon itu punya nomor registrasi dan ada foto udaranya. Walaupun pohon tersebut dalam pekarangan rumah kita, sebelum menebangnya harus mendapat izin dulu dan harus ditanam pohon penggantinya. Daun-daun yang berguguran berserakan di tanah. Di kota-kota, setiap hari ada dinas kebersihan yang membersihkan jalan-jalan dan tro-


Halaman ~ 75

toar dari timbunan daun-daun itu. Dahan-dahan yang terlalu tinggi dan panjang akan dipangkas. (Kalau di Indonesia fakir miskin dan anak terlantar ‘dipelihara’ oleh negara, maka di Belanda pohon-pohon pun dipelihara oleh negara). Sedangkan di taman-taman (park) tumpukan daundaun itu dibiarkan membusuk dan menjadi humus. Tetapi hingga masuk musim dingin ada juga pohon yang tidak meranggas, misalnya sejenis pinus, dan beberapa jenis tumbuhan perdu. Suhu pun semakin rendah dan berkisar antara 8°-10°C di siang hari, dan antara 4°-6°C di malam hari. Walaupun musim dingin (winter) resminya mulai tanggal 22 Desember, tetapi sejak tanggal 29 Oktober telah berlaku ‘waktu musim dingin’ (wintertijd) di daratan Eropa, di mana jarum atau angka jam dimajukan satu jam. Kemudian siang terasa lebih pendek dan malam terasa lebih panjang. Dalam keadaan begini, Simongel mulai menghidupkan verwarming di kamarnya. Malam-malam biasanya hagel (hujan berupa butir-butir es) turun. Kemudian masuk musim dingin. Matahari mulai jarang terlihat. Kalaupun nampak, matahari seolah beredar pada ketinggian yang sama di ufuk. Suhu semakin rendah. Siangnya suhu berkisar antara 2°-7°C dan malamnya sekitar titik nol (vriespunt). Suasana di musim dingin lebih mencekam dan sunyi senyap. Sesuatu yang kurang enak bagi Simongel tinggal di Nieuweroord adalah kalau PR dan tugas terlalu banyak dan harus diselesaikan malam itu juga. Hal itu disebabkan oleh sistem verwarming di flat itu centralised dan serba otomatis di mana penghangat hanya hidup sampai jam 24.00 malam, sewaktu penghuninya sudah dianggap tidur dan mendengkur di bawah selimut masing-masing. Atau, verwarming hanya nyala ketika suhu sudah benar-benar dingin bagi orang Belanda, padahal Simongel dalam suhu yang demikian sudah setengah ‘membeku’. Dan pena yang dibawa Simongel dari Indonesia tidak bisa lagi digunakan untuk menulis karena tintanya juga membeku. Pena tersebut rupanya dirancang hanya untuk daerah tropis! Kadang-kadang salju turun di malam hari. Air selokan, kanal, dan kolam sering membeku. Kalau sudah begitu, kalau ada gerimis jalan pun menjadi licin karena air yang membeku jadi es (ijzelen), becek dan menjadi comberan yang kotor ketika es-nya mulai mencair karena disirami (gestrooid) sejenis garam. Bersepeda, atau mengendarai bromfiets (sepeda kumbang) atau brommer, atau menyetir mobil dalam keadaan seperti ini cukup riskan. Bagi yang suka bersepeda, gunakan sepeda yang menggunakan rem dengan sistem tromol karena akan berfungsi lebih baikjika pelek roda dalam keadaan basahdaripada rem dengan sistem pemepetan sepotong karet pada pelek roda. Sedangkan sistem rem tromol bekerja pada sumbu roda.


Halaman ~ 76

Olah raga yang paling populer di musim dingin ini di Belanda adalah selancar es yang mereka sebut schaatsen dengan menggunakan sepatu khusus yang di bawahnya di pasang piranti seperti mata pisau sehingga orang bisa meluncur di atas es. Kalau musim dinginnya cukup dingin dan es yang membeku cukup tebal dan keras maka diadakan Elfstedentocht, lomba selancar es mengelilingi 11 kota di Friesland, sebuah provinsi di utara Belanda. Kawan-kawan kuliah Simongel sering mengajaknya untuk berselancar es di waktu senggang. Tetapi karena belum biasa dan suhu juga sangat dingin keinginan itu terpaksa tidak diturutinya (Di Belanda banyak terdapat tempat kursus schaatsen (selancar es) bagi yang belum biasa dengan olah raga tersebut). Dan Simongel masih berharap suatu ketika dia akan ikut ber-schaatsen. Pernah pula suatu malam ketika salju turun dengan derasnya. Kawan-kawan Indonesianya serta penghuni Nieuweroord lainnya yang berasal dari negeri di mana salju tidak pernah turun, berlarian keluar Nieuweroord. Mereka berguling-guling di atas salju, membuat patung salju, saling lempar dengan bola salju, dan berfoto bersama. Mereka tidak peduli. Mahasiswa dari Eropa dan Amerika Utara tercengang melihat ulah anak-anak tropis itu. Simongel waktu itu tidak ikut karena dia merasa masih bisa berjumpa dengan musim dingin berikutnya, dan tidak ingin dicap norak oleh mahasiswa lainnya yang sudah biasa dengan persaljuan. Simongel dapat cerita menarik tentang ulah seorang mahasiswa Indonesia di musim dingin itu. Mahasiswa tersebut, sebut saja si Doyok, pengen punya foto bersama gadis berambut pirang dengan latar belakang salju yang baru turun. Tetapi dalam peristiwa itu terjadi sedikit pemaksaan. Ketika salju terus turun di siang hari besoknya, si Doyok bergegas mencari salah seorang kawan Indonesianya sebagai juru foto. Kemudian dia mengetuk kamar di sebelahnya. Kamar itu baru ditempati oleh seorang mahasiswi dari Ukraina. Sebenarnya Doyok belum begitu kenal dengan gadis tadi, walaupun pernah bertemu dengannya di dapur. Dia membaca nama yang ditempel di pintu kamar gadis itu: Akalena Kuchenkov. Sambil mengetuk pintu kamar itu, Doyok berteriak, “Hello, Akalena. I’m your neighbour, Doyok. I do need your help. Help me...help me!� Tidak ada reaksi. Rupanya gadis itu sedang mandi. Karena Doyok takut salju segera berhenti turun, dia kembali mengetuk pintu kamar Yelena lebih keras. “Help ... Akalena! Hee..l.l.l.p...!� Tidak berapa lama kemudian pintu kamar itu terbuka. Seorang gadis yang masih mengenakan pakaian piyama mandi nongol setengah terkejut. Dia rupanya buru-buru menghentikan mandinya karena ada teriakan minta


Halaman ~ 77

tolong. Setelah negosiasi sebentar dan dengan setengah memaksa Doyok menarik gadis itu berdiri di balkon belakang kamarnya untuk berpose berdua. Untunglah salju masih melayang turun waktu itu. “Clik ... clik. What a nice shoot. Say: Cheese,” celotoh Doyok untuk mengurangi shock yang dialami si Ukraina itu. Setelah itu, belum hilang keterkejutannya, gadis itu segera berlari kembali ke kamarnya. Barangkali sambil menyumpah-nyumpah dalam hatinya. Tetapi si Doyok cuek saja serta mengucapkan, “Thank you, my friend, Akalena. That’s very kind of you.” Cerita ini berasal dari yang mengambil pose tersebut dengan kamera. Malangnya, Doyok tidak berani membawa foto itu ke Indonesia ketika dia pulang awal September 1999, karena dia takut kalau nantinya foto itu akan jatuh ke tangan isterinya. Kalau itu yang terjadi, bisa-bisa mereka cerai. Suatu lagi ciri khas Belanda memasuki musim dingin adalah kedatangan Sint Nicolaas (dulunya dari Asia Kecil atau Turki sekarang, tetapi kemudian asalnya berubah dari Spanyol). Menurut sejarahnya, Sint Nicolaas (disebut juga dengan Sinterklaas) ini benar-benar pernah ada. Dia dianggap sebagai tokoh (suci) bersejarah yang banyak membantu anak yatim-piatu. Dalam membagi-bagikan kadokepada anak yang telah bersikap baik dalam tahun ituSinterklaas dibantu oleh ‘Zwarte Pieten’ (Piet Hitam, yang dianggap sebagai representasi orang-orang Moor yang mungkin dulunya memang pernah membantu si Sinterklaas). Akhir November Sinterklaas datang bersama Pieten tadi, yang menurut cerita, selalu datang dengan kapal uap (stoombot) dari Spanyol. Tanggal 5 Desember ada ‘pakjesavond’ saat mana Sinterklaas dengan menunggang kuda putih (schimmel) mendatangi setiap rumah dan membagibagikan hadiah dan gula-gula buat anak-anak yang manis. Anak-anak yang nakal dalam tahun itu akan dimasukkan ke dalam karung oleh Zwarte Pieten dan dibawa ke Spanyol. Cerita ini tentu hanya untuk menakut-nakuti agar menjadi anak yang baik. Menjelang pergantian tahun, sekolah dan universitas libur selama 2 minggu. Biasanya mulai tanggal 23 Desember hingga 7 Januari tahun berikutnya. Pada waktu itu biasanya kawan-kawan kuliah Simongel apalagi yang berasal dari Eropa, ‘cabut’ ke negeri masing-masing atau ikut ke negara salah satu kawan. Sedangkan Simongel waktu itu tidak pergi ke mana-mana karena waktu puasa Ramadhan sudah masuk dan perlu persiapan untuk menghadapi ujian semester. Di daerah pedalaman seperti Arnhem, Heerlen, Maastricht, dsb. suhu di musim dingin terasa lebih dingin dan banyak salju karena dipengaruhi oleh iklim daratan. Sedangkan di daerah yang menjadi pusat politik dan


Halaman ~ 78

ekonomi Belanda (Randstad) seperti Den Haag, Leiden, Rotterdam, suhu sedikit lebih hangat daripada daerah pedalaman tersebut. Keadaan sebaliknya terjadi untuk pula di dalam musim panas. Dalam musim dingin ini kalau sedang di luar dari hidung atau mulut kalau sedang bernafas atau berbicara akan keluar uap air yang seperti asap. (Barangkali dari kentut pun di musim dingin itu, kalau diperhatikan, akan berasap pula). Memasuki akhir Maret, keadaan mulai berubah. Suasana sudah sedikit lebih terang. Tunas-tunas daun bermunculan dari ranting dan cabang pepohonan yang tadinya gundul meranggas. Semakin lama semakin lebat. Bahkan ada jenis pohon tertentu, yang pertama muncul adalah bunganya yang berwarna merah muda lalu disusul oleh daunnya yang kemudian menghijau. Suhu semakin hangat. Dan musim semi telah datang, suasana berubah menjadi romantis. (Tetapi perlu hati-hati juga karena pada bulan April suasana cuacanya masih transisi. Orang Prancis bilang, “En avril, ne te découvre pas d’un fil” (Bulan April berbuat sekehendaknya). Oleh karena itu, tidak jarang dikatakan bahwa musim semi merupakan musim jatuh cinta. Suasana semakin cerah, udara semakin segar, pepohonan semakin menghijau, bunga-bunga bermekaran. Oleh karena itu, bagi Simongel, musim yang paling elok di negeri yang beriklim sedang adalah musim semi ini, walaupun kalau orang Belanda ditanya tentang itu, tentu banyak dari mereka akan menjawab bahwa musim panaslah musim yang paling mereka nantikan karena verwarming atau kachel tidak perlu dinyalakan lagi, dan mereka bisa berjemur supaya kulitnya lebih coklat. Pada bulan April dan Mei kebun-kebun bunga tulip mulai sudah mekar berwarna-warni. Di Keukenhof (Lisse, dekat Haarlem) terdapat taman tulip yang sangat indah yang hanya bisa dinikmati dalam musim semi tersebut. Jutaan wisatawan asing berkunjung ke sana. Kalau lagi kuliah di musim semi tersebut dan salju turun melayanglayang seperti kapas, konsentrasi Simongel sering terganggu. Dia merasakan suasana yang sangat menakjubkan. Begitu kelas berakhir Simongel berlari keluar dan sengaja membuka tutup jaket hangatnya untuk sekedar merasakan tetesan salju yang mendarat lembut di kepalanya. Kawan-kawannya dari Eropa memandang perbuatan itu sebagai suatu keanehan. Akhir Juni datang musim panas. Suhu sudah hangat, yang berkisar antara 16°- 29°C siang hari, dan malam hari cukup hangat. Enak kalau buat kemping (kamperen). Simongel sebenarnya kurang suka dengan musim panas di Belanda. Dia sudah bosan berpanas-panasan karena dia memang berasal dari


Halaman ~ 79

daerah tropis. Di samping itu, panasnya negeri Belanda sangat berbeda daripada panasnya Indonesia. Panas di Belanda bersifat kering (droog) dan sedikit angin. Sedangkan di Indonesia, walaupun suhunya tinggi tetapi terasa lebih nikmat karena hembusan angin lembab (vochtig) sering terasa. Jadi, kalau bisa memilih, Simongel lebih enjoy merasai suhu 33°C di Indonesia daripada suhu 27°C di Belanda, misalnya. Pada suhu sekitar 30°C orang-orang di Belanda akan sudah segera berlarian berendam di laut. Atau yang berada jauh dari laut, lebih baik berlama-lama mandi, atau mengisi kolam plastik di taman di pekarangan (tuin) bagi anak-anak untuk berendam. Ada hal lain yang agak berat bagi Simongel di musim panas ini adalah ‘keterbukaan’ yang cukup keterlaluan di Belanda. Wanita-wanita dan gadis-gadis sering berpakaian seenaknya di mana-mana, bahkan dengan basibanak bermandi cahaya matahari secara terbuka. (Walaupun masalah keterbukaan di Belanda adalah hal yang biasa. Iklan-iklan di halte, TV, media masa seringkali dihiasai dengan eksploitasi ‘keterbukaan’ wanita ini tanpa mengenal musim. Dan wanita Belanda memang terkenal suka ‘buka-bukaan’, walaupun itu belum tentu sebagai isyarat seksual). Seringkali Simongel harus mengurut dada dan banyak mengingat bahwa ‘perjalanan masih jauh’ karena bagaimanapun dia adalah lelaki yang sehat jasmani dan rohani serta masih bujangan pula. Di musim semi dan panas Simongel sering duduk dekat jendela kamarnya sambil menikmati langit Eropa yang begitu bersih dan berwarna biru. Kemudian langit diwarnai oleh garis-garis asap pesawat jet yang berseliweran di mana Simongel seakan-akan sedang berada di angkasa menyaksikan ratusan speedboat yang sedang melaju kencang di laut biru. Laju pesawat itu persis seperti speedboat yang meninggalkan garis riak gelombang yang memutih di buritan. Sering pula Simongel berusaha untuk melihat langit musim panas yang penuh bintang di Belanda. Tetapi jarang terjadi karena malam tiba Simongel sudah tidur duluan. Maklum, matahari baru terbenam kadangkadang di atas jam sebelas malam. Itu pula salah satu kelebihan langit belahan tropis di kala malam yang hening, apalagi malam purnama, langit pasti akan bertaburan bintang. Setelah musim panas berlalu, musim rontok pun kembali datang. Begitulah seterusnya. Walaupun ada kelebihan dan kekurangan masingmasing antara alam negeri tropis dengan yang beriklim sedang, fenomena perubahan musim yang variatif ini membuat negeri-negeri beriklim seperti Belanda sedikit menghibur kerinduan Simongel dengan tanah air


Halaman ~ 80

P

23. PONSEL DI BELANDA

onsel punya banyak nama. Ada yang menyebutnya telepon mobil, telepon genggam, telepon satelit, dan barangkali masih ada beberapa nama yang lain. (Di Belanda lebih sering dinamakan mobiel atau mobieltje). Sepanjang pengetahuan Simongel, produk teknologi canggih ini mulai merebak di Indonesia sekitar awal 1990-an. Pada masa itu hanya orangorang tertentu saja yang ‘boleh’ mengantonginya. Mereka di-‘boleh’-kan dalam pengertian mereka punya uang yang cukup untuk membayar rekeningnya yang berlipat ganda daripada rekening telepon konvensional. Mereka juga di-‘boleh’-kan karena lingkungan dan status sosial ‘mengharuskan’ mereka untuk menggunakan ponsel. Dalam pengertian ini ponsel lebih banyak digunakan demi prestise daripada manfaat teknologinya. Di kota Padang, misalnya, pada umumnya hanya pejabat eselon atas atau pengusaha kaya atau putera-puteri mereka atau ‘spekulan’ yang berkantong tebal yang kelihatan mengantongi atau berkomunikasi dengan ponsel. Anehnya mereka menggunakan ponsel lebih banyak untuk pamer. Maklum piranti elektronik tersebut masih termasuk barang mewah. Simongel sering menggerutu kalau dalam suatu rapat penting di Padang kalau tiba-tiba ada seorang pembicara yang tiba-tiba meninggalkan ruangan sambil berbisik-bisik dengan ponselnya. Belum lagi deringannya distel demikian keras. Di Negeri Belanda, Simongel melihat kenyataan yang lain. Ponsel bukanlah barang mewah. Hampir di setiap sudut ada orang yang sedang menggunakan ponsel. Banyak sekali orang yang lalu-lalang, di centrum (pusat perbelanjaan dan pertokoan. Biasanya anak-anak muda suka mejeng dan ngeceng di sini atau sekedar melihat lautan manusia yang lalu lalang), di pasar, di stasiun, bahkan toilet, dengan ponsel tersisip di ikat pinggang masing-masing. Simongel cukup heran karena di Belanda ini juga tidak terlihat adanya diskriminasi kelas terhadap pengguna jasa telepon satelit tersebut (karena di Belanda, secara fisik memang sulit membedakan antara orang yang berada dengan orang yang kurang beruntung). Bahkan yang lebih sering meneteng ponsel adalah para schoonmakers (pekerja kebersihan atau cleaning service), pekerja bangunan, dan umumnya mereka yang melakoni profesi brown-collar. Para profesional lebih banyak menyembunyikan ponselnya. Keanehan yang lain, walaupun data pastinya dia tidak punya, tetapi Simongel melihat bahwa sebagian besar pengguna ponsel adalah mereka yang berkulit gelap. Dia tidak tahu mengapa demikian. Tetapi dia men-


Halaman ~ 81

coba berpikir positif bahwa ponsel tentunya sangat mendukung ‘mobilitas’ mereka yang sangat tinggi sebagai imigran. Atau mereka memiliki banyak mitra bisnis, sehingga dengan menggunakan ponsel mereka bisa mengelola bisnisnya dari mana saja. Ini tidak berarti bahwa orang kulit putih tidak doyan menggunakan ponsel. Terlihat semakin banyak dari mereka yang menggunakan ponsel khususnya kalangan muda. Tetapi gaya mereka tidak begitu ogah-ogahan, barangkali itu yang menyebabkan mereka terlihat kurang menggunakan ponsel. Meskipun harus diakui bahwa banyak dari mereka terlihat menggunakan ponsel sekedar aksi-aksian saja sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Mereka terlihat ber-cuap-cuap dengan ponsel hampir di semua tempat. Dalam bus, dalam kereta, di atas tram, di halte, di stasiun, di kafe, dll. Sebentar-sebentar, “Krrrrrk..krrrrrk,â€? ponsel mereka berdering. Padahal topik pembicaraan mereka hal-hal yang sepele saja. Simongel mulai belajar untuk tidak terlalu heran kalau sedang dalam kendaraan umum misalnya kereta, tram atau pun bus, kalau ada deringan ponsel, maka hampir dapat dipastikan bahwa hampir setiap orang akan kasak-kusuk meraba-raba tas atau kantong atau ikat pinggang masing-masing, mana tahu ponsel mereka yang berdering. Agak lucu memang, sekaligus ironis. Simongel pernah melihat suatu kejadian pada dua orang anak Belanda berusia sekitar 9 tahun yang baru turun dari tram. Tiba-tiba terdengar deringan ponsel. Salah seorang dari anak tersebut mengambil ponsel di kantongnya dan menaruhnya telinga: “Ya ... hallo ... met (bermakna: berbicara dengan) ... Wim....â€? Tidak ada jawaban. Rupanya yang berdering bukan ponsel Wim kecil itu, tetapi ponsel seorang bapak yang baru naik ke tram yang baru saja ditumpangi si Wim dan temannya itu. Orang-orang yang sedang menunggu di halte tersebut hanya tersenyumsenyum melihat si Wim yang lagi kecele. Bocah itu tidak kehilangan akal rupanya. “Even kijken ... hoor.â€? (ungkapan ini bermakna: Sebentar‌ya),â€? katanya pura-pura sambil ngeloyor pergi dan menyimpan kembali ponselnya di kantong celananya. Sekarang ada pula ponsel yang langsung dihubungkan dengan kabel langsung ke telinga (handloze). Jadi, kalau ada telepon masuk tidak kedengaran bunyinya oleh orang lain. Tiba-tiba orang yang menggunakan fasilitas tersebut bicara atau tertawa sendiri. Ternyata dia sedang bertelepon-ria dengan ponselnya. Menjamurnya penggunaan ponsel di Belanda banyak didukung oleh tuntutan terhadap sarana komunikasi yang efektif dan efisien. Faktor pendorong lainnya adalah ketatnya persaingan antara perusahaan penjual jasa telekomunikasi seperti PTT Telkom, Telfort, Dutchtone, Libertel, Ben, dll. Masing-masing berusaha sekuat tenaga memasarkan produk


Halaman ~ 82

mereka sekaligus memberikan banyak keunggulan baik pada mutu produk maupun dalam layanan, jaringan komunikasi, dan yang penting: harga tetap bersaing. Berkaitan dengan promosi dan kemudahan layanan tersebut Simongel menemukan kejadian menarik lainnya di Leiden. Hal itu dialami oleh kawan-kawannya yang terpaksa pindah ke sebuah flat di Stationsplein. Flat yang baru tersebut bisa dihuni hingga lantai ke-5. Masingmasing lantai terdiri dari 8 kamar. Empat kamar untuk mahasiswi dan 4 kamar untuk mahasiswa. Tiap lantai punya satu ruang makan sekaligus dapur, 2 kamar mandi dan 2 toilet. Tentunya kamar mandi dan toilet untuk cewek terpisah dari yang punya cowok. Padahal di flat yang lama mereka punya kamar mandi dan toilet di kamar masing-masing. Tetapi pemakaian fasilitas bersama (met gebruik van) seperti itu sudah lumrah dalam kehidupan mahasiswa di Belanda. Persoalannya bukan itu. Yang menjadi kendala justru ketiadaan sarana telepon. Bagaimana kalau flat yang dihuni puluhan mahasiswa tidak bisa dihubungi dengan telepon. Padahal di Leiden, mahasiswa asing biasanya sangat diperhatikan dan dilayani dengan baik oleh universitas. Mungkin karena protes penghuninya, tidak berapa lama kemudian dipasang satu unit telepon di lantai bawah, dekat lift. Dan telepon tersebut gratis baik untuk lokal maupun interlokal. Sejak itu Simongel melihat antrian anak asrama tidak putus-putusnya untuk menelepon. Pada umumnya mereka menelepon orang tua, famili, kenalan atau kekasih ke negeri masing-masing, atau barangkali saluran telepon erotis. Kesempatan menelpon gratis ini tidak ketinggalan juga dimanfaatkan oleh mahasiswa Indonesia yang lagi mondok di flat tersebut. Anehnya, entah bagaimana ceritanya, informasi tentang telepon yang gratis ini ternyata telah menyebar di kalangan banyak orang yang bukan mahasiswa dan tidak tinggal di flat itu. Mereka juga sering kelihatan lagi antri untuk menggunakan fasilitas gratis tersebut. Karena tidak punya kunci pintu depan, mereka biasanya dengan sabar menunggu kalau-kalau ada mahasiswa yang masuk atau keluar sehingga sewaktu pintu sedang terbuka mereka menerobos masuk. Akibatnya, tentu pengelola flat tidak mampu menanggung biaya telepon yang terlalu mahal, sehingga membongkar telepon gratis tersebut dan menggantinya dengan telepon umum kartu. Entah bagaimana ceritanya, kemudian pengelola flat membagikan masing-masing mahasiswa satu unit ponsel prepaid secara gratis inklusif kartu beltegoed (kartu pulsa) perdananya. Para pemakai ponsel tanpa abonemen ini baru perlu mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk membeli kartu beltegoed yang baru kalau kartu perdana tersebut sudah habis.


Sejak itu, suasana flat di Stationsplein seolah telah berubah menjadi suasana yang hiruk-pikuk di Bursa Efek Jakarta atau di Beurs van Berlage di Amsterdam. Masing-masing menggenggam ponsel. Bahkan ada mahasiswa yang sedang buang air di toilet menelepon kawannya yang sedang santai di ruang makan (dapur). Padahal toilet tersebut hanya berbatas dinding dengan ruang makan itu. “Benar-benar edan manusia di zaman mutakhir ini!” bisik Simongel dalam hati. Bahkan para Sinterklaas pun beberapa tahun terakhir ini di Belanda sudah menggunakan ponsel kalau memanggil para pembantunya, Si Piet Hitam (de Zwarte Piet).

24. TOT ZIENS, NIEUWEROORD!

Halaman ~ 83

S

alah satu masa yang paling berat bagi Simongel selama tinggal di Leiden adalah ketika dia dan para penghuni Nieuweroord lainnya harus keluar dari flat tersebut. Akhir 1998 sudah ada pemberitahuan bahwa flat itu akan dialihkan kepemilikannya dari SLS kepada pihak Gemeente Leiden. Karena hampir setiap keputusan di Belanda melibatkan seluruh pihak yang terkait, perwakilan mahasiswa Nieuweroord diajak berembug, tetapi mereka menolak untuk pindah. Tetapi, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa masa tinggal mereka di sana bisa diperpanjang, namun itu tidak lebih dari akhir Juni 1999. Akibatnya, pada akhir Juni 1999 semua penghuni flat yang bersejarah tersebut harus hengkang dari sana dan difungsikan sebagai tempat penampungan pengungsi (vluchtelingen) dan pencari suaka (asielzoekerscentrum). Ketika Simongel mengadakan vaarwel bezoekje ke sana, akhir Agustus 2000, gedung itu sudah ramai oleh para pengungsi. Secara fisik tidak banyak perubahan yang terlihat pada flat itu. Hanya di dekat tulisan besar NIEUWEROORD sekarang tertulis ucapan ‘Selamat Datang’ dalam 14 bahasa, diantaranya dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan bahasabahasa lain yang menandakan bahwa para pengungsi tersebut berasal dari negeri-negeri yang dilanda kecamuk konflik, perang, penindasan, dan kelaparan. Negeri Belanda tahun 1998 merupakan salah satu negara penerima pengungsi terbanyak di Uni Eropa. Simongel sangat bersimpati dengan nasib para pengungsiyang sebenar pengungsitersebut karena tidak ada kesedihan yang lebih dalam di dunia ini ketika manusia dipaksa kehilangan atau berpisah dengan orang tua, sanak famili, harta benda, dan bahkan tanah kelahiran mereka. Padahal tidak ada jaminan yang pasti bagi mereka di negeri yang baru. Simpati Simongel ini lebih didorong oleh rasa senasib, walaupun dia merantau bukan karena dipaksa,


Halaman ~ 84

tetapi sukarela (vrijwillig). Di samping itu, sebagai hasil didikan masa kecilnya, hati Simongel sangat cepat tersentuh ketika melihat orangorang lemah (dhu’afa) dan teraniaya. Bagi Simongel keharusan pindah itu akhir Juni itu tidak menjadi soal karena diamelalui jaringan dan koneksi tertentusudah mendapat kamar baru di Den Haag. Dan dia sudah mendaftar kuliah untuk tahun kedua di Jurusan Studi Belanda Universitas Leiden dengan biaya sendiri. Setelah akhirnya menyadari bahwa jurusan itu tidak cocok dengan pilihannya, akhirnya kuliah Simongel terbengkalai dan dia memutuskan untuk berhenti sekolah sampai cukup dana lagi untuk melanjutkan pendidikan pada jurusan atau universitas yang benar-benar sesuai dengan kehendak hatinya. Bagi kawan-kawan mahasiswa di Nieuweroord, keharusan tersebut diterima dengan bervariasi. Ada yang menganggap hal itu sebagai tidak ada masalah, sebagai sedikit masalah, dan bahkan sebagai masalah besar. Sutan Palangai, misalnya, menganggap ‘pengusiran’ tersebut sebagai ‘Anjing menggonggong kafilah berlalu’, karena dia memang akan terbang ke kandangnya di Jurusan Antropologi Universitas Andalas begitu selesai menerima sertifikat AMP-nya akhir Juni itu. Begitu pula bagi mahasiswa yang juga selesai studinya sebelum eksekusi pindah itu. Yang menjadi sedikit masalah adalah bagi sebagian mahasiswa INIS. Ada sekitar 8 orang di antara mereka yang baru pulang setelah ujian dan wisuda mereka awal September 1999 tersebut. Jadi, mereka harus menyewa kamar baru untuk masa sekitar 3 bulan itu. Termasuk diantaranya Muslihan. Masalah bagi mereka adalah mengepak barang 2 kali dalam waktu yang tidak lama: pertama, mereka harus mengepak barangnya sewaktu pindah dari Nieuweroord. Kedua, sewaktu mereka akan berangkat ke Indonesia. Untungnya, mereka mendapat kamar yang baru di Stationsplein (sebelumnya, seluruh unit bagian kemahasiswaan universitas di Stationplein telah dikosongkan dan dipindahkan ke Rapenburg 70). Di samping itu mereka juga mendapat bantuan biaya untuk pemindahan barang-barang mereka walaupun jarak flat di Stationsplein tidak seberapa jauh dari Nieuweroord. Tetapi, biaya sewa kamar di tempat yang baru itu lebih mahal daripada di Nieuweroord dan privacy-nya pun kurang. Mereka benar-benar ‘menikmati’ suatu Dutch comfort ketika di‘usir’ dari studentenflat yang lama tersebut. Ajo Lawas termasuk yang mengalami Dutch comfort itu karena kontrak mengajarnya masih ada sekitar 3 tahun lagi. Nasib yang lebih tragis lagi dialami oleh A. Khatib yang tidak kebagian kamar di Stationsplein. Dia terpaksa menempati kamar seorang mahasiswi Belanda di studentenflat di Middelstegracht yang sedang mengikuti program study-abroad selama 6 bulan di Australia. Di samping dia


Halaman ~ 85

semakin jauh mendayung sepedanya ke tempat kuliah dan kerja labor, serta ke tempat dia mencari nafkah sampingan. Belum lagi memikirkan mendapatkan kamar baru beberapa bulan kemudian, padahal kuliahnya masih ada sekitar setahun lagi. Belum lagi deraan culture shock ketika dia mendapati pergaulan yang terlalu bebas penghuni di flat barunya. Sedangkan dia sudah beristeri dan punya satu puteri. Tetapi, sejak dia pindah ke Den Haag akhir Juni 1999, Simongel jarang bertemu lagi dengan A. Khatib. Namun, melihat ketangguhan mental dan motivasi kawannya itu selama mereka bergaul, Simongel yakin bahwa A. Khatib dengan mudah akan bisa mengatasinya. Menjelang Juni 1999 berakhir, Simongel pun bergegas menyusun barang-barangnya untuk dibawa pindah ke Den Haag. Hanya barangbarang yang perlu saja yang dia bawa, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam plastik khusus dan ditaruh di dapur karena itu selanjutnya akan menjadi urusan Patrick van Dronkaard. Simongel tidak perlu menyewa verhuisbedrijf untuk mengangkut barang-barangnya ke Den Haag karena dia dibantu oleh salah seorang sahabatnya, Uda Fakhri—putera IV Angkek/Canduang, Bukittinggi yang sudah menyelesaikan program S3 di Technische Universiteit Delft (TU Delft) dan mengikuti program post-doc di almamaternya itu. Satu lagi puteri Bukittinggi yang sudah dianggap kakak angkat oleh Simongel yang bertemu sewaktu di Leiden adalah Uni Eng yang merampungkan program S3 di Universiteit van Amsterdam (UvA), November 1999. Sebelumnya Simongel juga membantu Sutan Palangai membereskan barang-barangnya untuk dibawa pulang ke Indonesia. Termasuk diantaranya rice-cooker eksentrik dan mungil yang dia beli di Bandung sebelum berangkat ke Belanda. Dia berangkat duluan ke Indonesia, sebelum bulan Juni 1999 berakhir. Dan ada pula beberapa kawan Simongelyang tidak pindah ke Stationsplein dan mendapat kamar di tempat lainyang sudah mengangkut barang-barang mereka ke sana. Suasana di Nieuweroord semakin suram dan sepi karena mahasiswa asing lainnya pun sebagian besar sudah menyelesaikan studi dan pulang ke negeri masing-masing. Siang, tanggal 30 Juni 1999, Simongel mengembalikan kunci kamar 122 yang telah hampir setahun di tangannya kepada Hans. Kemudian dia berdiri sejenak di depan Nieuweroord. Dalam masa sekejap itu hampir seluruh rekaman kenangan masa tinggalnya di flat itu kembali berputar di kepalanya. Dengan perasaan berkecamuk (gemengde gevoelens) dia mengambil sepedanya dan mendayungnya ke stasiun. Setelah mengunci sepeda yang dia beli dari Patrick di Leiden Centraal, dia berangkat ke Den Haag dengan keretapi. Di atas peron sambil menunggu kereta datang, pandangan Simongel tidak terlepas dari Nieuweroord yang


Halaman ~ 86

tampak dari kejauhan. Setelah kereta bergerak dan bangunan flat itu sudah samar-samar, barulah Simongel tersentak dan berbisik dalam hati: Sampai bertemu lagi, Nieuweroord!



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.