Yang Dulu Yang Sekarang

Page 1



YANG DULU YANG SEKARANG Disusun Untuk Mendokumentasikan Training Konservasi Bangunan cagar Budaya Berstruktur Bata Yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali 10-17 September 2013


E d i t o r i a l

tak baik memaksakan kehendak menggotong pacul

dan meregenerasi tenaga-tenaga terlatih di bidang

hendak bercocok tanam ketika diluar sana masih

konservasi dikemudian hari. Oleh sebab itulah Train-

musim salju, bukan...? lebih baik kita bekerja di

ing Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur

dalam rumah ..

Bata yang Berpotensi untuk Pemanfaatan Kembali diselenggarakan pada tanggal 10-17 September 2013 yang lalu yang telah berlangsung dengan sangat me-

Ditengah-tengah belum adanya kesepahaman

muaskan.

tentang konsep dan metode praktek pemugaran serta peraturan di berbagai tingkat pemerintah yang masih banyak belum disepakati, atau tidak jarang antar

TRAINING SAMBIL TRAVELING ATAU TRAVELING SAMBIL TRAINING ?

pihak yang saling menuntut tanggungjawab satu den-

Rupa-rupanya hanya dengan membaca buku-buku

gan lainnya, pelatihan atau training adalah cara yang

sejarah dan mengetahui teori konservasi saja ternya-

efektif untuk membangun kesadaran. Kita tidak bisa

ta masih jauh dari cukup untuk mampu mengambil

menutup mata lagi begitu banyak aset properti di In-

keputusan atau tindakan yang berangkat dari kesa-

donesia yang berupa bangunan tua (stockbuilding)

daran. Mengenali sebuah bangunan eksisting dengan

yang semakin hari semakin mengalami degradasi,

seluruh problemnya, membutuhkan waktu, pun sangat

roboh, runtuh, baik secara disengaja maupun tidak

sulit dengan tanpa melihatnya, menyentuh, meraba,

karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, dan ketidak-

mendengar, dan merasa. Tidak ada cara lain selain

mampuan. Contohnya Kota Tua yang berisi banyak

pergi mendatangi tempat itu dan mengamati apa yang

bangunan tua kosong dengan seluruh total area lua-

ada. Dengan training yang berorientasi pada praktek

san sekitar kurang lebih 334 hektar. Apakah kontri-

dan kondisi lapangan, training ini dirancang agar

businya pada kota Jakarta? Mungkin kita bisa mem-

disela-sela perjalanan, peserta, mentor, nara sumber

bayangkannya seperti setengah isi dari rumah kita

mampir untuk melakukan survey dan memberi kuliah

adalah barang-barang rongsok yang tidak terpakai!

lapangan, dan diakhir perjalanan peserta harus mer-

Tapi akan lain jadinya jika ternyata kebanyakan dari

angkumnya menjadi laporan.

barang-barang itu masih bisa diperbaiki dan dipakai lagi! Saya yakin, siapapun yang melihat Kota Tua atau

STUDI KASUS

kota-kota lain di Indonesia dengan kondisi serupa

Bermula dari diskusi dengan Pak Chandrian At-

pasti merindukan sebuah perubahan. Tetapi mulai dari

tahiyat yang sangat antusias untuk mengadakan work-

mana dan bagaimana? Padahal arsitek yang dibekali

shop di luar Jakarta di Pulau Jawa, maka dibentuklah

dengan kemampuan me-reuse bangunan tua rupanya

tim Steering Comitee. Sangat kebetulan, saya pernah

jumlahnya masih sedikit, juga tenaga profesional yang

menyebutkan Benteng Van der Weicjk saat workshop

bekerja di bidang itu masih kurang kesadaran dan ket-

konservasi struktur bata di Pulau Kelor bersama Pak

rampilannya. Untuk itu hal yang lebih penting dilaku-

Candrian setahun sebelumnya. Ternyata tim Steering

kan saat ini adalah dengan melatih diri, salah satunya

Comitee dan nara sumber sangat tertarik dengan ben-

dengan training yang tujuannya untuk mempersiapkan

teng di Gombong ini setelah saya tunjukkan foto-foto

A


dua tahun sebelumnya saya mengunjungi tempat itu

kan banyak pencerahan dari insinyur Josia Rastandi

karena rasa ingin tahu. Konsekuensinya, artinya akan

karena penjelasannya yang sangat baik, jelas, dan

ada perjalanan jalan darat menuju tempat di daerah se-

mudah dengan peragaan mengenai perilaku struktur

latan Pulau Jawa itu dan pergantian moda transportasi.

bata dari latar belakang teknik sipilnya sehingga ia

Dan telah disetujui tiga kota yang akhirnya menjadi

menjadi pemberi kuliah paling disukai peserta. Tel-

lokasi training, yaitu Kota Tua di Jakarta, Benteng

adan mengenai sikap dan ketekunan kerja diajarkan

Van Der Weicjk di Gombong dan Situs Trowulan di

oleh arsitek Han Awal lewat pengalamannya meresto-

Mojokerto untuk mendapatkan topik studi kasus ban-

rasi museum Bank Indonesia dan bangunan lainnya.

gunan cagar budaya yang bermaterial bata, di loka-

Hubertus Sadirin memberikan banyak tips tentang di-

si-lokasi yang berbeda konteks dan dimensi waktu

agnosis kerusakan yang disebabkan oleh banyak fak-

pembuatan yang berbeda pula. Kota Tua memiliki

tor biotis. Saiful Mujahid menjelaskan aspek-aspek

bangunan-bangunan

yang kelihatannya sama-sama

hukum dan proses bagaimana sebuah bangunan da-

tua, tetapi sesungguhnya berbeda-beda tipe teknologi

pat diregistrasikan menjadi cagar budaya. Percobaan

struktur di jamannya beserta problem-problem degra-

kadar garam, dan teknik desalination oleh Joy Singh

dasinya. Benteng Van der Weicjk sendiri adalah se-

adalah hal yang sangat baru dan sangat menarik bagi

buah studi kasus yang sangat menarik karena seluruh

semua peserta. Dan presentasi Bruce Pettman dalam

struktur hingga atapnya yang masif terbuat dari bata,

mentransformasi, me- reuse bangunan, membangun

menerapkan teknologi struktur lengkung/ arch dan

tim, dan mengatur proyek konservasi, sangat mem-

tanpa plester.

berikan harapan dan semangat baru di masa depan . Joy dan Bruce merasa sangat bangga menjadi mentor

KONSERVASI = KOLABORASI

dalam pelatihan ini, dan tentu saja terkesima meli-

Training ini tidak mungkin terselenggara tanpa

hat aset properti yang dimiliki Indonesia, dan sangat

kolaborasi. Boleh dibilang ini yang pertama kalinya

menikmati perjalanan training.

dilakukan oleh Balai Konservasi bersama Ikatan Arsitek Indonesia. Kami pun boleh berbangga karena

TARGET DAN IMPACT

menghadirkan mentor dan pemberi kuliah dari ber-

Training ini didanai secara penuh oleh UP Balai

bagai disiplin ilmu yang sangat berpengalaman di

Konservasi yang merupakan unit pelaksana di bawah

lapangan, seperti Ismijono, arkeolog praktisi yang

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemprov DKI

berpengalaman melakukan ekskavasi, penelitian dan

Jakarta dan mempercayakan kepada Ikatan Arsitek

restorasi dari Aceh sampai Papua. Saya diberi tahu

Indonesia sebagai fasilitator. Dengan menyesuaikan

untuk menghubungi beliau oleh Pak Mundarjito ka-

kebijakan lingkup pendanaannya, maka target peserta

rena baginya beliau adalah tenaga ahli yang dimi-

sudah ditentukan yaitu staff pemerintah yang diutam-

liki bangsa kita sendiri yang sesungguhnya bekerja

akan bekerja di wilayah DKI Jakarta yang menangani

merestorasi Borobudur dibelakang Jacque du Marcay,

langsung atau berhubungan dengan pemugaran ban-

dan yang ternyata sangat memahami struktur candi-

gunan cagar budaya. Dengan demikian training ini

candi di Indonesia yang terbuat dari bata termasuk

menjadi kesempatan strategis untuk saling berkoordi-

perkuatan-perkuatan dan intervensi yang telah dilaku-

nasi lintas dinas dan instansi pemerintah yang mung-

kan terhadapnya. Arsitek yang pernah menjadi De-

kin selama ini tidak saling mengenal keberadaan dan

wan Kehormatan IAI Bali, Widnyana Sudibya sudah

tupoksi satu dengan lainya. Dalam resume pendaf-

lebih dari 20 tahun terlibat dan melakukan pemugaran

tarannya, yang berisi motivasinya mengikuti training

bangunan-bangunan religius di Bali sebagai wujud

yang kemudian menjadi dasar pemilihan calon peserta

pengabdiannya. Guru Besar arkeologi Universitas In-

sebanyak 25 orang, beberapa dari peserta menyata-

donesia , Prof. Mundarjito tiada habisnya memiliki

kan kesulitan dan permasalahan di instansinya dalam

banyak cerita menarik dalam pengalaman ekskavas-

menjalankan tugas dan tanggung jawab berkaitan den-

inya di berbagai tempat. Peserta merasa mendapat-

gan tupoksinya. B


Dian, peserta dari Kementrian PU menjelaskan;

intah daerah dan pemilik bangunan dalam melakukan

“Operasionalisasi peraturan pelestarian belum disepaka-

pelestarian bangunan cagar budaya.

ti , padahal tiap Kementrian/lembaga wajib menerapkan

2. Mahalnya biaya atau anggaran untuk melakukan kon-

aturan standar harga satuan bangunan gedung negara

servasi dan revitalisasi.

yang menjadi acuan penganggaran.

3. Aplikasi insentif dan disinsentif terhadap kepemi-

Prosedur pemeriksaan , pendokumentasian material,

likan bangunan cagar budaya belum diterapkan secara

penilaian memakan waktu, padahal metode penyeleng-

intens dan sebaiknya tidak hanya pada terbitnya Undang-

garaannya dibatasi tahun penganggaran. Pentahapan

Undang tentang Cagar Budaya tetapi perlu juga diatur

multiyears sudah diterapkan, tetapi karena kerumitan

lebih teknis dengan Peraturan Pemerintah tentang Cagar

maka proses pra perencanaan sering digabung dengan

Budaya.

perencanaan, sehingga proyek pelaksanaan mundur dari

4. Pemanfaatan dan pemilihan material-material fisik

jadwal, pendokumentasian kurang memadai, anggaran

dalam melakukan konservasi dan revitalisasi kawasan/

untuk tahun berikutnya dikurangi karena dianggap tidak

bangunan cagar budaya yang belum jelas dan terkesan

layak dilaksanakan. “

subyektif.

Peserta dari beberapa Suku Dinas Tata Ruang

5. Belum adanya kajian atau masterplan dalam me-

menyatakan,

nangani secara serius dari pemerintah/pemerintah daer-

“Masyarakat meminta keterangan dan penjelasan ten-

ah untuk melakukan revitalisasi dan konservasi kawasan/

tang perbedaan antar golongan pemugaran. Banyak

bangunan cagar budaya.

kesalahpahaman membedakan apa-apa saja yang dapat dipugar/ direnovasi pada golongan B,C, dan D. Ketika bekerja sebagai Perencana Blok Plan pada lay-

Peserta dari Biro Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, menjelaskan :

anan prasyarat IMB, sering menemukan kesulitan me-

“Belum ada kesepakatan atas prosedur atau SOP penga-

madukan ketentuan tata ruang yang berlaku dengan

wasan Bangunan Cagar Budaya di lapangan, mengingat

keinginan dari arsitek perencana. “

penyelenggaraan Bangunan Cagar Budaya melibatkan

Perubahan fungsi bangunan menjadi tempat usaha su-

banyak intansi maupun SKPD.

dah tak terkendali sehingga merusak pembagian kavling

Kepemilikan Bangunan Cagar Budaya di luar milik

walaupun sudah ada advice planning dan telah mengi-

Pemprov DKI Jakarta membuat Pemprov DKI Jakarta

kuti aturan sesuai Perda, tetapi masih juga ada pelang-

tidak dapat melakukan tindakan pencegahan atau pun

garan.”

penanganan langsung terhadap Bangunan Cagar Budaya

Wedmaerti, peserta dari BIMTEK Perawatan

yang mengalami kerusakan. Namun Undang-Undang

Gedung Pemda menyatakan bahwa tupoksinya ada-

Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dalam

lah melakukan perbaikan gedung aset pemda, melaku-

pasal 19 ayat (2) menyatakan setiap orang yang tidak

kan survey, dalam penyusunan program, perencanaan,

melapor rusaknya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau

perhitungan biaya perawatan, dan pemeliharaan ban-

dikuasainya rusak, hilang, atau musnah wajib melapork-

gunan.

annya kepada instansi yang berwenang dan/atau instansi

Peserta dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemprov DKI menuliskan,

terkait paling lama 30 hari sejak diketahui Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya rusak dapat diambil

“sering pengelola cagar budaya melakukan peker-

alih pengelolaannya oleh Pemerintah dan/atau Pemerin-

jaan fisik/konstruksi tanpa rekomendasi dari Di-

tah Daerah.

nas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI ,

Tingginya pajak (PBB) atas Bangunan Cagar Budaya.

karena ketidaktahuan dan kesulitan birokrasi.”

Pemilik Bangunan Cagar Budaya terutama bangunan

Ephraem, yang berlatar belakang teknik sipil dan

rumah tinggal mengeluhkan tingginya pajak, sedangkan

bertugas di bidang prasarana dan sarana, Disparbud

perbaikan atau pun pemanfaatan kembali bangunan

menyatakan :

dibatasi. Hal ini berakibat pada banyaknya pembiaran

1. Kurangnya perhatian baik dari pemerintah/pemer-

C

(kerusakan) terhadap Bangunan Cagar Budaya di lapa-


ngan.�

privatisasi kawasan dalam benteng Fort Oranje. Alih

Yunarwan dari PT KAI (Persero) mengikuti train-

fungsi tidak sesuai dengan arahan Rencana Tata Ru-

ing ini karena motivasinya untuk mempelajari per-

ang Kota Ternate. Relokasi kepala keluarga pun se-

masalah teknis kelembaban dinding, pengecatan dan

dang diupayakan. Ada oknum yang melegalkan PKL

plester terkait dengan pemeliharaan gedung aset-aset

sehingga semrawut tak terhindarkan ditambah lagi

PT KAI.

masih banyak cagar budaya yang belum tersentuh.

Selain kuota peserta dari Jakarta, undangan khu-

Sungguh saya sangat berharap training ini semak-

sus diberikan kepada staff pemerintah daerah Sawahl-

in menyempurnakan wawasan dan sikap kesadaran

unto, Batusangkar-Kepulauan Riau, Ternate dan Solo

serta menjadi kesempatan untuk saling berbagi dan

untuk mengirim wakil-wakilnya agar ikut mendapat-

berkoordinasi bagi para peserta.

kan pengetahuan dalam training ini dan dapat men-

Saya sangat senang dengan impresi dan antu-

gadopsi kegiatan pelatihan ini untuk daerah-daerah

siasme para peserta sejak awal hingga akhir training

di luar Jakarta yang memiliki banyak bangunan cagar

berlangsung. Ada yang merasa sangat beruntung ka-

budaya.

rena menjadi tahu, ada yang merasa waktunya masih

Maiyozzi Chairi, sudah bertugas selama 8 bulan

kurang karena kesadaran dan keingintahuannya baru

di Kantor Walikota Sawahlunto sebagai tenaga per-

saja dibangkitkan, ada yang sadar akan isu dan tang-

encana dan berlatar belakang teknik sipil, menyatakan

gung jawabnya di masa datang di tempat ia bekerja dan

bahwa pemahamannya masih kurang di bidang pele-

langkah-langkah konkrit apa yang harus disiapkan,

starian akan tetapi sangat menyadari bahwa pelak-

bahkan ada juga yang merubah orientasinya setelah

sanaan di lapangan tidak semudah seperti di atas

melihat banyak hal yang harus dilakukan di lapangan.

kertas, penanganan konservasi masih terganjal dengan

Saya sangat senang karena kegiatan ini memberikan

kepentingan-kepentingan yang kontra dengan proses

banyak manfaat bagi semuanya yaitu peserta, pem-

konservasi.

bicara dan mentor, host di lokasi, Balai Konservasi,

Visi dan misi kota Sawahlunto tahun 2020 sendiri

bahkan termasuk Event Organizer (EO) pun menjadi

adalah untuk menjadi kota wisata tambang yang ber-

tertarik dengan bidang konservasi. Untuk itu saya

budaya.

menghaturkan rasa terimakasih sebesar-besarnya ke-

Kendala yang dihadapinya di Sawahlunto ada-

pada seluruh panitia, EO, peserta , pembicara, mentor,

lah sulitnya sosialisasi kepada masyarakat yang pola

bahkan host di setiap lokasi studi kasus yang sangat

pikirnya mengutamakan kepentingan pribadi diband-

kooperatif.

ingkan kepentingan umum (kota). Banyak bangunan

Training serupa ternyata juga ditunggu oleh ban-

yang sudah terlanjur diubah bentuknya,sehingga sulit

yak rekan arsitek-arsitek, sipil, arkeolog sehingga

untuk dikonservasi, dan masih sangat kurangnya tena-

perlu diselenggarakan secara lebih berkala.

ga ahli di bidang itu. Sri Sugiharta, telah bekerja selama 9 tahun sebagai staff arkeolog di BPCB Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau menyatakan kantor pusat dan daerah kewalahan dalam melaksanakan dan mengasistensi program pelestarian. Sangat sedikit sumber daya

Indah Sulistiana

manusia yang berkompetensi. Terlebih lagi banyak

Manager Program

pemerintah daerah yang sama sekali tidak memiliki

Training

tenaga arkeolog. Rusdiyanto Ahmad dari Ternate sudah bekerja selama 5 tahun di Dinas Tata Kota dan Pertamanan mengatakan bahwa terdapat perumahan dan bangunan rumah sakit dan aktifitas yang mengarah pada D



I D

N U

T K

R O S I


INISIATIF STEERING COMMITTEE

I N I S I AT I F S T E E R I N G COMMITTEE Pembangunan dan perkembangan kota-kota besar maupun kecil di Indonesia jika tidak dikendalikan maka akan berpengaruh terhadap keberadaan bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya maupun kawasan cagar budaya yang sudah barang tentu mengancam kelestarian cagar budaya tersebut. Demi menyelamatkan cagar budaya, setiap pemerintah di daerah sudah berusaha melakukan tindakan konservasi dalam bentuk pemugaran, perlindungan, pemanfaatan dan bahkan revitalisasi. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya didukung oleh sumber daya manusia yang dimiliki oleh setiap Pemerintah Daerah atau Pemerintah Provinsi karena keterbatasan keahlian dan pengetahuan di bidang konservasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari akan adanya keterbatasan tenaga ahli konservasi bangunan cagar budaya. Oleh karena itu melalui Unit Pengelola Balai Konservasi, pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan Workshop Konservasi Cagar Budaya dalam bentuk pelatihan praktek lapangan bagaimana menangani kerusakan bangunan cagar budaya. Pelatihan praktek lapangan ini memang diutamakan bagi Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena mengingat kebutuhannya, akan tetapi walaupun demikian penyelenggara juga memberi kesempatan kepada Pemerintah daerah lainnya untuk ikut dalam pelatihan praktek lapangan ini. Maksud dari pelatihan praktek lapangan ini adalah memberi pengetahuan teknis menangani kerusakan pada bangunan cagar budaya yang berstruktur tembok bata, batu atau karang yang berpotensi utuk dimanfaatkan kembali (adaptive reuse) sesuai kengan kaidah konservasi dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Peserta Pelatihan yang terdiri dari arsitek, sipil dan arkeolog yang telah mengikuti Pelatihan ini diharapkan mampu mengelola bangunan cagar budaya di wilayah Pemerintah Daerah atau Pemerintah Provinsi masing-masih.

Jakarta 9 September 2013 KEPALA BALAI KONSERVASI

Candrian Attahiyyat

2 – Introduksi


MENTOR FEEDBACK

M E N T O R F E E DB A C K

Both Ms Joy Singh and myself were very pleased to be part of the course program implemented by the Jakarta City Government Balai Konservasi. The focus on masonry buildings was a very good means for the participants in the course to understand the methods of traditional masonry structures over the last 200-300 years, their strengths and weaknesses and to see the outcomes of deterioration when there is little or no repair or ongoing maintenance. The linking of the masonry focus with the potential for adaptation (for extending the same use) or for adaptive reuse (sometimes called ‘re-purposing’ ) was also a commendable strategy by the course organisers as it provided a wider consideration of each building / structure when decisions were needed to be made on how to repair them and to justify the commitment to such repairs, etc. The beginning of the course provided an excellent introduction for course attendees to understand built heritage conservation and all of the factors that need to be considered when making decisions about heritage masonry buildings and other places. COURSE CONTEXT The course was set up with the excellent concept of course attendees from many different parts of Indonesia. In addition the very good mix of diverse professions of the attendees all related, in some way, to heritage places and the decisions that need to be made about their protection, management, presentation and viable uses. The introduction by Pak Candrian was an inspiring familiarisation and team building exercise which has set the scene for an ongoing collaborative network of young, informed and enthusiastic heritage professionals across Indonesia. This network could be the beginning of a very collaborative interchange of information sharing and problem solving for heritage materials issues, site adaptive reuse, planning and conservation policy development, financial mechanisms to help heritage places, government strategies to enable good conservation and cultural tourism opportunities. These, and all of the other matters, will help the making of well informed decisions for Indonesia’s built heritage. It is hoped these people, and many more in the future, remain connected by traditional face to face networking as well as emails and other contemporary media connectivity. The proven method of asking for help and advice, as well as showcasIntroduksi – 3


MENTOR FEEDBACK

ing successful project outcomes, across a familiar network of professional practitioners, colleagues and friends, is a highly valuable tool for spreading the good news and the good advice. This first course visited several sites in Jakarta and across Java. It was an ideal way to create small collaborative teams. The variety of sites and sites conditions and issues was good exposure for the course attendees. The only issue with it was the extensive time required to travel to each location. COURSE CONTENT & OBSERVATIONS Kota Tua The buildings inspected and investigated in Kot Tua are part of the main fabric and character of that place. Their rehabilitation and interpretation are important as they are central buildings of the very significant national and world history of Kota Tua. Early advice to the owners and government decision makers could see the potential vitality of the area come to the fore. Vehicle traffic in this area is a big issue and the exclusion of cars from the central area has enabled pedestrian areas for better appreciation of this historic precinct. A major issue is the need for interim/ temporary physical protection of the deteriorating and dilapidated buildings from the weather. There seems to be no effort in this regard. Some basic guidelines about the repair of masonry and render, as well as the management of rising dampness, might be a worthy outcome of the course for Kota Tua property owners and also the course participants and others. The gathering of information by the teams was very good considering that most people were working together for the first time. The supplementary information by the course organisers helped to consolidate the understanding of the original form and history of the buildings being investigated and the streets, plazas and other spaces around them. It would be good to also understand the expectations of the owners of the buildings to determine what kind of future uses could be considered. It is understood that it is often very hard to determine who are the owners. Developing and promoting a concept master plan for the area might be a key to moving this forward and bring relevant stakeholders to participate in the future of this highly significant place. Fort Van Der Weicjk The team’s visit and inspection of the old octagonal ‘fort’ building at Fort Van der Weicjk was an interesting exercise and a lesson in what might be appropriate or not appropriate as adaptive reuse. It is understood this building was an early Dutch military training academy rather than a defensive fort complex. The adjacent site seems to continue this training tradition in a more modern facilities. The changes made to the whole of the old fort site to form a childrens’ theme park, swimming centre and motel accommodation, with some museum content in the main 4 – Introduksi


MENTOR FEEDBACK

building, is an unusual decision made several years ago. While we are not clear why this occurred there are some good consequences and some which might need to be rectified. The course attendees were very keen to understand the main two storey building and how it was used originally and identify later adaptations. Photos in the rooms dedicated as a museum section indicate that the building was for most if its life whitewashed and not red. The whitewash was a means of reflecting heat, allowing the walls to breathe and as a biocide keeping mould and plants off the masonry. The red paint is a plastic (PVA) paint which smothers the face brick facades and has caused masonry decay in some locations. Broken downpipes and blocked drains have also caused masonry decay and mould inside some of the many rooms in the structure. A major issue was the existing childrens’ motorised train ride on top of the building which not only trivialises the importance of the fort but also has altered some of the vaulted brick roof structure to accommodate the train track around the top edge of the building. Vibration of the train and carriages moving around the roof may have long term impacts on the structure. Fortunately most of the train track set up is not fixed to the building and can be removed and the missing vaulted brick roof sections reinstated. There may still be the opportunity for a walking promenade in the same location and with appropriate and sympathetic safety barriers for visitors. It is not certain whether there was originally a parapet around the top of the building. Part of the building might be interpreted better with a set of 3- 4 rooms furnished in the original or early furniture and show how it was used. (A dormitory room, an officers room, an office, a classroom, an eating area ?) . The opportunity for re-enactment of some of the old training school activities and to have engagement through visitor conversations with uniformed guides would bring the history component of the site to everyone’s attention. This could be done by cadet soldiers and officers from the military base next door as part of their understanding of the military life of their predecessors trained at the fort. An important part of the interpretation is the area around the building. There needs to be a buffer zone of approx 20m wide where there is no army tanks, plaques, fountains, large concrete animals, etc. Paving and roadway surfaces need to reflect early period so that when you come to this place you enter the historic interpretation zone. This would not necessarily exclude new contemporary uses for other parts of the fort building interior. However they need to be simple uses and not involve too much high tech facilities which involve major or radical interventions. The central courtyard may have been used extensively by the training academy as parade ground and other daily activities. There may have been temporary tent like structures for food preparation and the like. If researching the history in both Indonesia and the Netherlands can find out more about this courtyard space then its interpretation and functional use would bring the complex to life. There are other old buildings in the site which might also be interpreted better even if they continue their current use. There is a large stable building closer to the main gate and near the large swimming pool. This building is currently used as a bumper cars hall. There Introduksi – 5


MENTOR FEEDBACK

is also an auditorium of a later period which may have some historic use and significance. While there may be no option but to continue the theme park use of the bigger site there seems to be several opportunities to bring more meaning to the Fort Van der Weicjk site than currently exists. Trowulan, Mojokerto Little physical evidence remains from the Hindu Majapahit Empire dating from 1300’s. The group’s site visit to Trowulan in Mojokerto, located in the province of east Java provided the opportunity to inspect the archaeological remains of this ancient period. Sites visited included temples, a bathing place and archaeological excavations. The Group were guided by a specialist who has worked on the monuments and this was a great benefit to share experience and answer questions on site. The main themes of discussion included the history of repairs such as structural intervention and understanding original and new brickwork. CONCLUSIONS The Balai Konservasi masonry and adaptive reuse course has provided a significant precedent for ongoing training in masonry and other material conservation and in herit-

Museum Sejarah Jakarta kini di tahun 2013. Bangunan yang telah beberapa kali berganti fungsi ini dibangun tahun 1707 pada masa kolonial Belanda dengan tipe struktur dinding pemikul terbuat dari bata.

6 – Introduksi


MENTOR FEEDBACK

age management training capabilities. It has also hopefully established a network of collaboration and heritage information sharing across Indonesia. This network needs to be fostered and managed and should be promoted widely to encourage others to also participate and to link together for the better conservation of Indonesia’s heritage by Indonesian professionals and associated decision makers at local, provincial and national levels. Joy Singh and I have also learnt about many aspects of the built heritage of Java and would be keen to continue in the collaborative sharing of information and experiences into the future.

Bruce Pettman Principal Heritage Architect New south Wales Government Architect’s Office Sydney, Australia December 2013.

Introduksi – 7


Practical Survey Observasi, Sketsa, Identifikasi Kerusakan

On Site Lecture Struktur Bata pada Benteng dan Bangunan Cagar Budaya Typical Causes of Damage and Repair

3 - GOMBONG

Gathering Teori dan Diskusi Undang-undang dan Aspek Hukum Metodologi Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata Teknologi & Struktur Bata Masa Purbakala Construction & Project Management

Practical Survey Jasindo, Standard Chartered Bank, Bank Mandiri, Dasaad, Palad

Presentasi Kerusakan

dan

Interpretasi

1 - JAKARTA

Penyebab


R U T E DESTINASI STUDIKASUS

Individual Reporting Group Reporting On Site Lecture Teknologi & Struktur Bata di Situs Trowulan Pemugaran Bangunan Religius Berbahan Bata di Bali

4 - MOJOKERTO

Kunjungan Pabrik Tegel Cap Koenci Proses Pembuatan + Produk

2 - YOGYAKARTA


DAFTAR ISI

10 – Introduksi


DAFTAR ISI

Introduksi – 11



P R I N S I P T E O R I P R A K T E K


BALAPAN: PELESTARIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA VS PEMBANGUNAN KOTA

ditulis kembali oleh: Rofianisa

14 – Prinsip, Teori, dan Praktek


BALAPAN: PELESTARIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA VS PEMBANGUNAN KOTA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 15


BALAPAN: PELESTARIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA VS PEMBANGUNAN KOTA

Candrian Attahiyat, lahir September 1957, sebelum bergabung resmi dengan Dinas Museum dan Sejarah (DMS), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1987, sudah terlibat 5 tahun dalam setiap kegiatan penelitian arkeologi yang diselenggarakan oleh DMS yang kemudian diserahi tanggung jawab penggalian arkeologi di Pulau Onrust Teluk Jakarta dan Kota Tua Jakarta. Pengetahuannya tentang peninggalan sejarah di Jakarta sangat menguasai. Lulus jurusan arkeologi Universitas Indonesia 1985 dan sekarang sudah pensiun namun tetap aktif membantu konservasi bangunan cagar budaya dan berbagi pengetahuan tentang arkeologi dan sejarah Jakarta. Jabatannya terakhir adalah Kepala Balai Konservasi Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010-1013), sebelumnya Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengembangan dan Penataan Kawasan Kotatua Jakarta (2007-2010). Sempat juga menjadi Kepala Bidang Pengawasan Bangunan Cagar Budaya DKI Jakarta tahun 2000-2007.

16 – Prinsip, Teori, dan Praktek


BALAPAN: PELESTARIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA VS PEMBANGUNAN KOTA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 17


Survey identifikasi kerusakan dan kondisi eksisting di Gedung Jasindo oleh Grup 1 didampingi Bruce Pettman.

18 – Sesi Kelas


Sesi Kelas – 19


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

ditulis kembali oleh: Rofianisa

20 – Prinsip, Teori, dan Praktek


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 21


Interior Gedung Palaad yang kosong tidak dihuni. Sebagian plank lantai kayu sudah hilang sementara struktur dinding pemikul, kolom dan balok kayu masih relatif kokoh

22 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 23


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

24 – Prinsip, Teori, dan Praktek


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Saiful Mujahid, S.H adalah seorang advokat yang kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Registrasi Nasional Cagar Budaya. Pada tahun 1976 – 1986 pernah menjadi guru SD, SLTP, SLTA. Menjadi anggota Penyusun Naskah Akademis dan Draft UU CB pada tahun 1991-1992 dan 20012003.

Prinsip, Teori, dan Praktek – 25


. Grup 1. Citra Sari Ayu, Isfi Ervitasari dan Bruce Pettman mencoba merekonstruksi bentuk atap Gedung Jasindo yang sudah lama runtuh tak berbekas dari foto-foto lama.

26 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 27


PERENCANAAN KONSERVASI DAN MANAJEMEN PROYEK

Bruce Pettman

Perencanaan Konservasi dan Manajemen Proyek ditulis kembali oleh: Adi Reza Nugroho Sebelum melakukan perencanaan konservasi, kita harus mengeluarkan banyak pertanyaan untuk memahami benar akan bangunan atau lokasi yang akan kita konservasi. Apa fungsinya? Bagaimana perannya dalam budaya dan sejarah? Apa potensi dan hambatan yang akan terjadi jika kita mengkonservasi tempat ini? Bagaimana kondisi bangunan saat ini? Apa yang harus diutamakan dalam pekerjaan konservasi ini? Apa yang ingin diutamakan pemilik dan yang diharapkan untuk tempat ini? Apa keahlian dan sumber dana yang bisa didapat untuk kegiatan konservasi ini? Apa fungsi yang bisa diajukan? Apakah sesuai? Perijinan apa yang harus kita urus? Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat membantu

ing, cukup penting, sedikit penting, biasa saja (netral),

menentukan sejauh apa tindakan yang akan kita laku-

atau justru mengganggu? Setiap bagian dalam ban-

kan terhadap bangunan cagar budaya. Terkadang ban-

gunan memiliki tingkatan makna yang berbeda-beda,

yak orang melakukan intervensi pada bangunan yang

sehingga penambahan pada bangunan tersebut akan

dalam jangka panjang berpotensi untuk merusak. Kita

dilakukan pada bagian-bagian yang kurang bermakna.

harus berhati-hati dalam memperlakukan bangunan

Konservasi biasanya berkaitan dengan kegiatan

cagar budaya. Peraturan konservasi di Australia men-

yang berkontribusi untuk melestarikan nilai budaya

gacu pada Burra Charter (internasional) dan dalam

suatu tempat. Konservasi dapat melibatkan satu atau

Australia ICOMOS Charter.

beberapa kegiatan lainnya seperti (sesuai urutan pri-

Bangunan yang patut dikonservasi selayaknya

oritas):

harus memiliki makna budaya. Makna budaya (cultur-

1.

Proteksi

al significance) adalah istilah yang dipakai untuk mer-

2.

Preservasi

angkum makna sebuah tempat bagi masyarakat, diluar

3.

Perbaikan & Perawatan

fungsinya. Biasanya hal ini mengacu pada nilai este-

4.

Restorasi

tika, sejarah, ilmiah, sosial, maupun spiritual untuk

5.

Adaptive re-use (pemanfaatan kembali)

generasi tua maupun muda, dan demi nilai yang akan

6.

Rekonstruksi

diwariskan kepada generasi mendatang. Dan makna

7.

Intepretasi (menceritakan kembali)

ini tidak harus berkaitan dengan usia bangunan, mel-

Terdapat beberapa tahapan yang diperlukan sebe-

ainkan nilai yang dimiliki bangunan. Bangunan yang

lum dilakukannya sebuah konservasi bangunan. Tahap

penting bagi masyarakat dalam konteks budaya akan

ini melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah, pro-

memiliki makna budaya yang kuat, dan berpotensi di-

fessional, hingga komunitas.

jadikan cagar budaya.

1. Pendataan Bangunan Cagar Budaya

Maka, makna budaya dalam sebuah bangunan

( legislasi dilakukan oleh pemerintah )

harus dipahami lebih dahulu. Mengapa bangunan atau

Status Cagar Budaya dapat diklasifikasikan menu-

tempat itu bermakna bagi sekitarnya? Sejauh apa ting-

rut tingkatan pengakuan formal yaitu, lokal, daerah,

katan makna bangunan tersebut: sangat penting, pent-

nasional, dan world heritage (dunia.) Pengakuan

28 – Prinsip, Teori, dan Praktek


PERENCANAAN KONSERVASI DAN MANAJEMEN PROYEK

Prinsip, Teori, dan Praktek – 29


PERENCANAAN KONSERVASI DAN MANAJEMEN PROYEK

pun dapat dilakukan secara informal melalui komunitas, grup dan asosiasi professional. Pengakuan ini dapat dijelaskan nilai cagar budaya menggunakan kriteria yang dapat dipahami oleh umum. 2. Perencanaan Menejemen Konservasi (dilakukan oleh pemilik bangunan dengan bantuan professional dan pihak otoritas bangunan cagar budaya) proses ini meliputi pengumpulan data, perencanaan dan referensi bagi pengambil keputusan. Pihak yang terlibat dalam proses ini yaitu, otoritas bangunan cagar budaya, pemilik bangunan, menejemen aset, perencana, desainer, kontraktor, komunitas, dan penghuni. Perencanaan ini selalu di tinjau ulang setiap 1-5 tahun. 3. Dampak Keberadaan Cagar Budaya (dilakukan pada proyek tertentu) Laporan ini dilakukan untuk mengetahui dampak positif dan negatif terhadap lingkungan. Dokumen ini dapat membantu dalam membuat kebijakan dan strategi menejemen konservasi lebih lanjut. 4. Laporan pengajuan & rekomendasi (respon dari pihak otoritas) Dokumen ini yang dapat menentukan proyek ini dapat disetujui untuk dilanjutkan atau tidak.

Setiap bagian dalam bangunan memiliki tingkatan makna yang berbedabeda, sehingga penambahan pada bangunan tersebut akan dilakukan pada bagian-bagian yang kurang bermakna.

Pemerintah kota New South Wales melalui dinas pekerjaan umum menerbitkan secara gratis New South Wales Heritage Guidelines sebagai panduan umum dalam proses menejemen konstruksi. Dalam panduan ini terdapat penjelasan dalam perawatan, pemanfaatan ulang bangunan, konteks desain, investigasi arkeolog, spesifikasi teknis material, perencanaan pengembangan, dan proses penyetujuan konservasi. Panduan ini dapat diakses oleh publik dengan mengunduh di www.heritage.nsw.gov.au

30 – Prinsip, Teori, dan Praktek

Bruce Pettman is a pricipal heritage architect in Government Architect’s Office, New South Wales Public Works. His principal expertise is building conservation including restoration, adaptive reuse and maintenance management of heritage structures and places as well as urban conservation management planning. One of his international experiences was become project leader for conservation works in George Town, Penang, Malaysia others in Hong Kong, Taiwan, Sri Lanka, Indonesia. And had been awarded by UNESCO Asia Pacific Heritage Award of Merit - Ohel Leah Synagogue restoration year 2000 and various Australian awards for his practice in refurbishment, and adaptive-reuse from monuments, mansion, house of botanic garden and industrial complex.


PERENCANAAN KONSERVASI DAN MANAJEMEN PROYEK

Selasar samping Gedung Standard Chartered yang tidak lagi digunakan. Tezza Nur Ghina dan Ambarita Ulvah didampingi Hubertus Sadirin di Grup 2 untuk identifikasi kerusakan

Prinsip, Teori, dan Praktek – 31


32 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 33


METODOLOGI KONSERVASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA BERSTRUKTUR BATA

ditulis kembali oleh: Rofianisa

34 – Prinsip, Teori, dan Praktek


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 35


METODOLOGI KONSERVASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA BERSTRUKTUR BATA

36 – Prinsip, Teori, dan Praktek


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Arsitek Han Awal, IAI lahir pada tahun 1930, dan berpraktek sejak 1971 hingga sekarang setelah menyelesaikan studi di Belanda dan Jerman. Pengalaman konservasinya Gedung Arsip Nasional Gajah Mada, Bank Indonesia Kota, Gedung Eks Dekranas, dan Gereja Immanuel. Penghargaan yang telah diterimanya IAI Award 2009 dan 2011, Unesco Asia Pasific Award 2001, dan Bank Indonesia Heritage Award 2010, dan IAI Award untuk Life Time Achievement. Saat ini masih aktif mengajar di Universitas Indonesia dan salah satu pendiri Pusat Dokumentasi Arsitektur.

Prinsip, Teori, dan Praktek – 37


METODOLOGI KONSERVASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA BERSTRUKTUR BATA

38 – Prinsip, Teori, dan Praktek


UNDANG-UNDANG DAN ASPEK HUKUM PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 39


40 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 41


TEKNOLOGI STRUKTUR BATA SEJAK MASA PURBAKALA

ditulis kembali oleh: Rofianisa

42 – Prinsip, Teori, dan Praktek


TEKNOLOGI STRUKTUR BATA SEJAK MASA PURBAKALA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 43


TEKNOLOGI STRUKTUR BATA SEJAK MASA PURBAKALA

44 – Prinsip, Teori, dan Praktek


TEKNOLOGI STRUKTUR BATA SEJAK MASA PURBAKALA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 45


TEKNOLOGI STRUKTUR BATA SEJAK MASA PURBAKALA

Mundarjito adalah arkeolog yang lahir Oktober 1936 yang hingga sekarang aktif mengajar sebagai guru besar Universitas Indonesia jurusan arkeologi yang mengutamakan Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya. Banyak terlibat dalam kegiatan pelestarian di Borobudur dan Prambanan, Kota Banten Lama, Candi Muara Jambi, Candi Muara Takus, Situs Trowulan serta pemugaran di Situs Royal Palace, Angkor Thom Kamboja. Di tahun 1976 menggagas berdirinya Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Sejak tahun 2006-sekarang menjadi Anggota Board of Experts, National Geographic Indonesia. Hingga kini menjadi tim penasihat gubernur Kota Jakarta untuk bidang pelestarian (Tim Sidang Pemugaran).

46 – Prinsip, Teori, dan Praktek


TEKNOLOGI STRUKTUR BATA SEJAK MASA PURBAKALA

Prinsip, Teori, dan Praktek – 47


48 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 49


INSPEKSI TEKNIS, IDENTIFIKASI, DAN DIAGNOSIS KERUSAKAN PADA BANGUNAN

50 – Prinsip, Teori, dan Praktek


INSPEKSI TEKNIS, IDENTIFIKASI, DAN DIAGNOSIS KERUSAKAN PADA BANGUNAN

Prinsip, Teori, dan Praktek – 51


INSPEKSI TEKNIS, IDENTIFIKASI, DAN DIAGNOSIS KERUSAKAN PADA BANGUNAN

52 – Prinsip, Teori, dan Praktek


INSPEKSI TEKNIS, IDENTIFIKASI, DAN DIAGNOSIS KERUSAKAN PADA BANGUNAN

Prinsip, Teori, dan Praktek – 53


54 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Percobaan sederhana dengan mengetuk-ngetuk plaster untuk mengetahui kondisi resistensi bahan pada plaster yang telah berlapis-lapis menggunakan tapper oleh Joy Singh di Gedung Palaat. Prinsip, Teori, dan Praktek – 55


TIPIKAL PENYEBAB KERUSAKAN DAN PERBAIKANNYA

Joy Singh

Tipikal Penyebab kerusakan dan Perbaikannya ditulis kembali oleh: Adi Reza Nugroho I. PENYEBAB UMUM PELAPUKAN KONSTRUKSI BATA Bata merupakan bahan yang sering dijumpai

permukaan tanah. JIka akar sudah menyelimuti seluruh permukaan bata, akan sulit untuk memperbaikinya. Bata mengalami perlemahan pada tiap spesi.

dalam bangunan cagar budaya. Material ini sering sekali digunakan sebagai struktur pondasi dan dind-

II. MENILAI KONDISI KERUSAKAN

ing. Namun bata dapat mengalami pelapukan. Be-

Setelah kita mengetahui penyebab kerusakan yang

berapa penyebab pelapukan dapat berasal dari kadar

terjadi, kemudian perlu dilakukan penilaian kondisi

garam dalam bata, kelembaban, korosi besi sambun-

kerusaakan. Penilaian ini membantu kita dalam mem-

gan, erosi udara.

buat skala prioritas untuk melakukan perbaikan. Ter-

Buruknya kondisi drainase dapat mempercepat

dapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk

pelapukan konstruksi bata yang berada dipermukaan

menilai kondisi kerusakan. Cari tahu tingkat pelapu-

tanah. Air membawa kandungan garam yang dapat

kan (rate of decay), investigasi keretakan dan Inspeksi

melapukan bata. Ada beberapa tipikal pelapukan oleh

lokasi.

garam yaitu efflorescence dan subflorescence. Ef-

Mengetahui tingkat pelapukan dapat dilakukan

florescence terjadi ketika kristal garam berada pada

dnegan melihat dokumentasi mengenai bangunan.

permukaan bata, air garam melapisi permukaan bata

Dengan membandingkan foto dokumetasi bangunan

dan ketika mengering air menguap namun kristal ga-

yang lama dengan foto terkini, kita dapat mengetahui

ram tetap menempel. Subflorescence lebih merusak

bagian mana saja yang tingkat pelapukannya cepat.

bata, karena kristal garam mengendap didalam pori

Dengan begitu kita dapat menentukan prioritas per-

pori bata. Kristal garam yang terjebak didalam akan

baikan pada bagian yang tingkat pelapukan tinggi.

mengembang ketika kering dan membuat bata retak.

Melihat lokasi secara langsung sangatlah pent-

Pelapukan akibat garam ini akan semakin parah

ing. Pengamatanpun tidak hanya mengamati bagian

jika dinding menggunakan lapisan cat yang kedap.

sebatas tinggi manusia. Jika perlu kita menggunakan

Biasanya cat ini adalah cat akrilik. Cat ini dapat men-

alat bantu untuk menggapai lokasi yang sulit dicapai.

jebak garam yang berada dipermukaan bata. dalam

Pengumpulan sampel secara langsung dibutuhkan

kondisi ini garam akan terus melakukan kerusakan

agar data yang dikumpulkan valid. Inspeksi yang bisa

pada bata .Untuk itu hindari penggunaan cat ini dalam

dilakukan biasanya adalah mengetuk dinding dengan

kegiatan konservasi, gunakan cat yang memiliki pori

besi. Suara ketukan dapat mengindikasikan kondisi

yang lebih besar. Penggunaan lapisan semen yang ter-

bangunan. Semakin keras suara ketukan, dinding men-

lalu kedap pun dapat menjebak garam pada bata.

galami pelapukan pada bagian dalam.

Adanya akar tanaman dapat menyebabkan pelapukan. Akar terus menembus sela sela bata. Biasanya hal ini terjadi pada konstruksi bata yang berada di bawah

56 – Prinsip, Teori, dan Praktek

III.

PENGEMBANGAN

KONSERVASI

PENDEKATAN


TIPIKAL PENYEBAB KERUSAKAN DAN PERBAIKANNYA

Contoh tidak baik saat melakukan perbaikan

Desalinasi menggunakan air

Hasil penilaian ini kemudian dikumpulkan sebagai bahan strategi konservasi. Beberapa pertanyaan

pun menampung air buangan dari pipa. Desalinasi, yaitu mengurangi kadar garam pada

yang dapat digunakan dalam analisis peniliaian yaitu :

dinding. Terdapat 3 metode desalinasi yaitu :

1. Kerusakan mana yang sangat signifikan? Bentuk

1. Diffusion Wet Poulticing

atau material?

Dinding dilapisi mortar dengan kondisi basah. Ion

2. Apa penyebab pelapukan?

garam akan pindah dari substrat awal (bata) men-

3. Seberapa cepat pelapukan terjadi?

uju mortar. Proses difusi ini membutuhkan waktu

4. Seberapa banyak bagaian yang harus diganti dan

yang lama (bulan) dan kondisi yang basah dapat

dibiarkan?

membuat masalah baru seperti mikroba tumbuh subur.

Pertanyaan tersebut dapat membantu kita dalam

2. Diffusion Immersion (perendaman)

memahami tipikal kerusakan secara mendalam dan

Perendaman obyek kedalam air dapat menguragi

menentukan solusi perbaikan secara tepat. Hasil ana-

kandungan garam pada obyek. Kekurangannya

lisa tersebut kemudian dibahas oleh tim. Konservasi

adalah, benda yang direndam terbatas pada uku-

merupakan pekerjaan tim. Tim ini melibatkan berba-

ran.

gai pihak dari tim ahli, kontraktor, hingga pengrajin.

3. Advection Drying Poulticing Dinding dilapidi mortar kering. Garam terlarut

IV. PROSES KONSERVASI DAN TANTANGANYA

akan terangkut ke mortar oleh gaya kapiler selama proses pengeringan. Arah perpindahan tegantung

Terdapat beberapa solusi panggulangan kerusa-

pada struktur berpori substrat dan mortar. Larutan

kan. Sacrificial Renders, menghilangkan tambalan se-

garam akan berpindah dari pori-pori yang besar

men yang membuat bata sulit bernapas. Drying walls,

ke dalam pori pori halus.

yaitu membuat saluran pembuangan air di tepian dinding. Saluran air ini dilerakan pada daerah yang

Permasalahan dari penggunaan mortar ini ketika

sering menggenang air. Pembuatan ini diharapkan

obyek yang dikenakan adalah material yang sangat

dapat mengurangi intrusi air pada bangunan. Saluran

sensitif. Dalam proses melepaskan mortar terkadang

Prinsip, Teori, dan Praktek – 57


TIPIKAL PENYEBAB KERUSAKAN DAN PERBAIKANNYA

dapat menyebabkan kerusakan fisik. Biasanya untuk mengurangi risiko ini, dinding dilapisi lapisan seperti kertas minyak / roti sebelum dilapisi mortar. namun ada beberapa material yang meninggalkan noda setelah mortar dihilangkan. Ketika proses konservas, arsitek wajib untuk mengunjungi lokasi. Tingginya intensitas kunjungan lapangan dapat meminimalisir risiko kesalahan. Dengan mengunjungi lokasi, beberapa detail detail perbaikan dapat diselesaikan dengan baik. Hal Terakhir yang tidak kalah penting dalam proses konservasi adalah dokumentasi. Dokumentasi ini merupakan catatan yang dapat dijadikan acuan untuk perbaikan dimasa datang. Bahkan proses awal konservasi adalah mencari studi literatur, dokumen yang terkait dengan bangunan.

Pemahaman kerusakan pada bangunan cagar budaya sangat penting. Dengan mengetahui tipe kerusakan pada bangunan cagar budaya kita dapat merencanakan perawatan bangunan hingga masa yang akan datang

Dokumentasi ini dibuat sedetail mungkin. Jika tampak bangunan terbuat dari tumpukan bata/batu maka dibuat gambar yang memperlihatkan setiap susunan bata/batu tersebut. Setiap bata diberi penomoran dan terukur dengan pasti. Semakin detail gambar yang dibuat. maka semakin mudah bagi generasi yang akan datang untuk melakukan perbaikan. Akan lebih baik lagi jika dibuat dokumentasi sebelum dan sesudah konservasi. Pemahaman kerusakan pada bangunan cagar budaya sangat penting. Dengan mengetahui tipe kerusakan pada bangunan cagar budaya kita dapat merencanakan perawatan bangunan hingga masa yang akan datang. Dengan perawatan yang terencana,umur bangunan akan bertambah sehingga dapat terus menginspirasi generasi yang akan datang.

58 – Prinsip, Teori, dan Praktek

Joy Singh is senior heritage architect Government Architect’s Office, New South Wales Public Works. Her specialist interests include materials conservation, and development of inter-agency partnerships. Her skills and experience include Program Management and Project Management; Maintenance and conservation planning; Leading multi-disciplinary teams; Technical documentation and inspection of works during construction; Advice and documentation of adaptive reuse of historic buildings; Developing repair guidelines and strategic planning; Economic appraisal and value management. Her role is to coordinate the architectural services for delivery of the Ministers Stonework Program. In 1996 had been awarded as International Specialised Skills Fellowship, European Centre for the Conservation of Architectural Crafts, Venice, Italy. And being the winner of Repointing Mortars, Research and Invesigation, National Trust, 2013.


TIPIKAL PENYEBAB KERUSAKAN DAN PERBAIKANNYA

Proses pendokumentasian yang baik. Penomoran bata dilakukan untuk mengidentifikasi setiap bagian bangunan

Prinsip, Teori, dan Praktek – 59


Museum Bahari masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kadar garam didalam bata maupun di dalam mortarnya termasuk untuk medeteksi jika terjadi subflorescene yang dapat sangat mempengaruhi daya dukung material terhadap kekuatan strukturnya. Subflorescene adalah terjadinya pengkristalan garam-garam di dalam bata di lapisan bagian dalam dinding yang dapat melemahkan kekuatan struktur bata.

60 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 61


EVALUASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA STRUKTUR BATA

Josia Rostandi

Evaluasi bangunan Cagar Budaya Struktur Bata ditulis kembali oleh: Adi Reza Nugroho Pada umumnya bangunan-bangunan kolonial yang ada di Indonesia merupakan bangunan struktur bata atau load bearing wall yang memiliki perilaku yang berbeda dengan tipe struktur rangka terbuka atau open frame structure yang banyak kita jumpai pada tipe struktur masa kini. Pada bangunan struktur bata, dinding berfungsi sebagai struktur penahan gaya gravitasI (beban mati + beban hidup) dan juga struktur penahan gaya lateral, sedangkan pada struktur rangka terbuka dinding hanyalah sebagai beban partisi dan bukan sebagai struktur.

LANTAI SEBAGAI DIAFRAGMA HORIZONTAL

DINDING SEBAGAI DIAFRAGMA VERTIKAL

Struktur lantai atas selain berfungsi menahan be-

Dalam bangunan stuktur bata (load bearing wall

ban gravitasi juga sebagai diafragma horizontal yang

structure), dinding mempunyai kekakuan yang sangat

merupakan satu elemen yang penting dalam ketahanan

besar dalam arah bidangnya (in-plane), sedangkan

bangunan struktur bata ini terhadap gempa. Hubungan

kekakuan dalam arah tegak lurus bidang (out-of-

balok lantai dan dinding memegang peranan penting

plane) relatif kecil.Dinding ini terdiri dari susunan

dalam ketahanan bangunan terhadap gempa. Dilihat

bata yang direkatkan satu sama lain oleh spesi adu-

dari sisi material, lantai pada bangunan struktur bata

kan, dimana adukan inilah yang berfungsi sebagai

dapat terbuat dari kayu ataupun dari beton. Di Indo-

interface elemen. Baik material bata maupun spesi

nesia, bangunan yang dibuat sebelum abad 20 dapat

adukan sama-sama mempunyai sifat kuat menahan

dipastikan mempunyai lantai kayu atau pasangan bata,

tekan, tetapi mempunyai lemah atau tidak mempu-

sedangkan memasuki abad 20 baru mulai mengguna-

nyai kekuatan untuk menahan tarik. Karena sifatnya

kan lantai beton. Dalam mekanisme penyaluran gaya,

tersebut, maka dalam bangunan struktur bata, secara

struktur lantai berfungsi sebagai diafragma horizontal

struktural struktur bangunan harus dibuat sedemikian

yang mengikat antar dinding sehingga jika ada gaya

rupa hanya menahan gaya aksial tekan saja. Atau den-

lateral pada bangunan (gempa), lantai menyebarkan

gan kata lain, pada diafragma vertikal sedapat mung-

gaya gempa ini ke seluruh dinding bangunan. Oleh

kin dihindari terjadinya gaya dalam lentur (bending),

sebab itu lantai harus dijamin memiliki ikatan yang

baik in-plane bending, ataupun out-of-plane bending.

baik dengan dinding. Ikatan lantai pada dinding ini,

Dalam fungsinya sebagai diafragma vertikal, dinding

pada lantai beton berupa kolom pedestal pendek yang

ini tidak hanya berfungsi mehanan gaya vertikal atau

tertanam di dinding, sedangkan pada lantai kayu, ika-

gaya gravitasi saja, tetapi juga berfungsi menahan

tan ini berupa angkur baja yang tertanam di dinding.

gaya lateral, terutama gaya akibat gempa bumi, dengan mengandalkan kekuatan dalam arah bidangnya.

62 – Prinsip, Teori, dan Praktek


EVALUASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA STRUKTUR BATA

Museum Bank Indonesia sebelum restorasi dilakukan, diketemukan retakan mayor pada dinding yang diindikasikan disebabkan oleh penurunan tanah

STRUKTUR : LANTAI BAWAH

Masalah struktur yang menjadi musuh utama

Berdasarkan penelitian dan studi yang pernah di-

dari bangunan bata adalah pergerakan. Seperti telah

lakukan, sistem struktur bawah atau pondasi dari ban-

dikemukankan bahwa kekuatan utama dari bangunan

gunan dinding struktur bata pada umumnya adalah

struktur bata adalah daya tahannya terhadap gaya ak-

merupakan pondasi jalur dari pasangan bata, dengan

sial tekan. Pergerakan dari bangunan seringkali men-

alas balok dan cerucuk balok. Berdasarkan studi yang

gakibatkan terganggunya stabilitas bangunan, seh-

dilakukan Pusat Dokumentasi Arsitektur pada Ge-

ingga dimungkinkan pada lokasi-lokasi tertentu dari

dung AA Maramis, Depkeu, diketahui bahwa pondasi

bangunan stuktur bata terjadi tegangan tarik. Pada

gedung ini merupakan pondasi jalur dari pasangan

kenyataannya tidak ada bangunan yang tidak mengala-

bata dengan kedalam sekitar 3 m dan di dasar pasan-

mi pergerakan, getaran bangunan akibat orang ber-

gan bata ini diberi alas balok- balok kayu dan pada

jalan ataupun getaran dari pengaruh kendaraan yang

dasar pondasi, untuk perkuatannya diberi cerucuk. Di

melajupun merupakan contoh pergerakan bangunan

daerah kota tua ketika dilakukan pembangunan Ter-

yang pasti terjadi setiap hari. Hanya saja pergerakan

owongan Penyeberangan Orang (TPO) pernah diketa-

semacam ini jika masih dalam batas tertentu tidak

mukan suatu sistem pondasi yang mirip seperti yang

mengakibatkan kerusakan pada bangunan.

digunakan pada Gedung AA Maramis. Sepertinya me-

Beberapa tipe pergerakan yang kadang kala mem-

mang struktur pondasi yang jalur pasangan batu bata

butuhkan tindakan perbaikan yang segera adalah (1) :

dengan alas balok dan cerucuk balok kayu adalah

Cracking

umum digunakan pada masa itu.

Tilt

Out-of –plane movement

In-plane-movement

PERMASALAHAN STRUKTUR BANGUNAN BATA : PERGERAKAN

1) :Forsyth, Michael, “Structures & Construction in Historic Building Conservation”, Blackwell Publishing, Oxford, 2007

Prinsip, Teori, dan Praktek – 63


EVALUASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA STRUKTUR BATA

Ilustrasi sistem dinding struktur bata dan struktur lantai beton degan kolom pedestal sebagai pengikat diafragma vertikal dan horiontal

Pengujian destruktif dapat berupa :

PERMASALAHAN STRUKTUR BANGU•

Coredrilling dan compression test untuk beton dan bata

Masalah utama lainnya yang menjadi perhatian

Insitu compression test untuk pasangan bata

khusus adalah air. Interusi air selain dapat menyebab-

Insitu shear strength test untuk pasangan bata

kan kelembaban juga akan menyebabkan degradasi

NAN BATA : INTRUSI AIR

Uji tarik, tekan dan lentur untuk kayu

Sedangkan pengujian non destruktif dapat berupa

pada mortar dan juga pada bata itu sendiri. Bocoran air pada talang, kebocoran pada atap atau

UPV test untuk mutu dan keretakan beton

tidak kedap airnya lantai atap serta tertutupnya salu-

UPV test untuk mengetahui rongga dalam dinding bata

ran air sehingga menyebabkan genangan pada struktur

Statik loading test untuk mengetahui kapasitas aktual

bata merupakan hal yang harus dihindari.

sistem struktur •

Dynamic loading test untuk mengetahui karakteristik

PENGUJIAN STRUKTUR

dinamik suatu struktur.

Dalam suatu pekerjaan konservasi seringkali terja-

INVESTIGASI STRUKTURAL

di perubahan fungsi peruntukan dari suatu bangunan,

Dalam melakukan suatu investigasi struktur untuk

perubahan ini sering pula mengakibatkan perubahan

suatu pekerjaan konservasi, perlu dicari jawaban dari

pembebanan ataupun perubahan sistem strukturnya.

pertanyaan berikut :

Diperlukan data-data struktur primer yang meliputi

Kapankah ia dibangun ?

data kekuatan material struktur maupun data kekua-

Bagaimana ia dibangun ?

tan sistem struktur. Untuk keperluan tersebut perlu

Bagaimanakah detail konstruksinya ?

dilakukan pengujian, yang secara garis besarnyadapat

Perubahan apakah yang telah dibuat sejak pembangu-

dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pengujian destruktif

nannya ?

dan non destruktif.

Apa yang diketahui dari sejarahnya ?

(1) : Beckman, Poul and Bowles, Robert, “Structural Aspect of Building Conservation”, Elsevier, Oxford, 2004

64 – Prinsip, Teori, dan Praktek


EVALUASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA STRUKTUR BATA

Apakah fungsi peruntukannya ? Bagaimana ia dapat bertahan sekian lama ? Masalah apakah yang dihadapinya ? Berapa lama ia telah memiliki masalah tersebut Apakah ada pergerakan tanah ? Apakah drainasenya berfungsi dengan baik ? Apakah ada masalah dengan pergeseran atap ? Apakah ada masalah dengan jamur atau rayap ? Apakah ada masalah yang berulang-ulang ? Apakah suatu perbaikan yang sederhana dapat meningkatkan kekuatan dan memperpanjang hidupnya ?

EVALUASI STRUKTUR BATA Seperti pada proyek renovasi lainnya, langkah yang perlu dilakukan dalam mengevaluasi suatu struktur Bata adalah : 1.

Pengumpulan informasi dan dokumentasi mengenai bangunan

2.

Melakukan review terhadap dokumentasi dan informasi yang tersedia

3.

Melakukan Investigasi Lapangan termasuk evaluasi secara visual

4.

Pemodelan struktur berdasarkan hasil investigasi

5.

Analisa hasil pemodelan

6.

Perencanaan Perkuatan jika diperlukan

Dalam pekerjaan konservasi, pemahaman mengenai sistem struktur bangunan adalah hal yang men-

Josia Rastandi adalah ahli struktur, insiyur sipil kelahiran tahun 1970 yang berpraktek sebagai konsultan struktur sejak 1994 di bidang desain struktural, testing, dan assesment termasuk pasca gempa dan retrofit. Hingga kini terus aktif mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Tarumanagara. Telah menyelesaikan doktor di TU Munchen dengan beasiswa DAAD. Menjadi staf ahli Laoratorium Struktur dan Material Teknik Sipil Universitas Indonesia.

dasar yang harus dipahami. Pemahaman ini dapat membantu melihat permasalahan secara sistemik. Masalah struktur yang terbesar adalah berkaitan dengan ketahanan lateral bangunan terhadap gaya gempa, dan daya dukung pondasi. Pemeliharaan adalah masalah kedua, terutama yang berhubungan dengan drainasi merupakan hal yang sangat mempengaruhi kelanjutan umur bangunan. Pemeliharaan drainase dapat mengurangi risiko kerusakan bangunan dari intrusi air yang dapat melemahkan struktur. Perbaikan atau perkuatan struktur harus dilakukan secara menyeluruh sampai ke akar masalah. Perbaikan seperti ini berbeda dengan perbaikan non struktural, karena dengan mencapai akar permasalahan, perbaikan akan dapat bertahan lama dan memberikan umur yang lebih panjang bagi bangunan untuk dinikmati anak cucu kita kelak. Prinsip, Teori, dan Praktek – 65


66 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Kerusakan pada bangunan yang disebabkan oleh degradasi akibat faktor biologis

Prinsip, Teori, dan Praktek – 67


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN MEKANISME PROSES DEGRADASI BAHAN BANGUNAN BERSTRUKTUR BATA

Hubertus Sadirin

Faktor-faktor Penyebab dan Mekanisme Proses Degradasi Bahan Bangunan Berstruktur Bata ditulis kembali oleh: Adi Reza Nugroho Sebagaimana diketahui bahwa semua benda yang ada di dunia ini termasuk di dalamnya bangunan cagar budaya tidak mungkin akan terlepas dari kondisi lingkungannya. Sehingga cepat atau lambat akan terjadi akan terjadi permasalahan yang berakibat terjadinya penurunan kualitas bahan dasar yang digunakan untuk cagar budaya tersebut. Sejauhmana pengaruh yang ditimbulkan akan sangat tergantung dari kondisi lingkungan tempat cagar budaya tersebut berada dan sifat-sifat alami bahan dasar yang digunakan. Berdasarkan atas sumbernya, pada dasarnya faktor

bakar. Beberapa contoh bahan organik adalah kayu.

penyebab proses degradasi bahan dasar koleksi dapat

Bahan non organik: adalah bahan yang berasal dari

dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor lingkungan

mineral batuan. Beberapa contohnya adalah batuan

(eksternal) yaitu kondisi lingkungan tempat koleksi

yang meliputi batu vulkanis (batu gunung), batu en-

tersebut berada dan faktor internal yang lebih terkait

dapan.

dengan kualitas bahan dasar yang digunakan untuk untuk cagar budaya.

Teknik Konstruksi Bangunan, pada dasarnya ada dua teknik konstruksi bangunan cagar budaya. Teknik yang pertama yaitu teknik konstruksi bahan bangunan

I.

FAKTOR INTERNAL

tanpa spesi pada nat-natnya, yang lebih dikenal dengan

Termasuk dalam faktor internal adalah kualitas

istilah dry masonry technique. Sebagai contoh adalah

bahan dasar yang digunakan untuk cagar budaya,

bangunan klasik seperti halnya candi-candi. Sedang-

teknologi konstruksi, dan lokasi geotopografi cagar

kan untuk teknik yang kedua adalah sisten konstruksi

budaya.

bangunan dengan menggunakan spesi diantara nat-

Kualitas Bahan Cagar Budaya, Berdasarkan atas

natnya, yang lebih dikenal dengan istilah wet masonry

sifat-sifat alaminya, kualitas bahan dasar cagar budaya

technique. Kedua metode konstruksi tersebut mempu-

pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok

nyai implikasi yang berbeda satu sama lain, sehingga

yaitu cagar budaya yang terbuat dari bahan organik

akan membawa dampak terhadap kondisi kelestarian

dan cagar budaya yang terbuat dari bahan non organik.

bangunan tersebut.

Bahan organik: adalah bahan yang berasal dari

Kondisi Geotopografi, lingkungan tempat cagar

jasad hidup, terdiri dari hidrokarbon, serta dapat men-

budaya berada sangat dipengaruhi oleh kondisi geo-

galami pembusukan secara biologis dan mudah ter-

topografi suatu tempat. Tempat yang berada di daerah

68 – Prinsip, Teori, dan Praktek


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN MEKANISME PROSES DEGRADASI BAHAN BANGUNAN BERSTRUKTUR BATA

Ganggang tumbuh pada permukaan batu

Kerusakan biotis oleh tanaman tingkat tinggi

beriklim tropis lembab akan berbeda dengan daerah

beradaannya tidak hanya sekedar tumbuh pada permu-

beriklim dingin. Demikian juga tempat yang berada

kaan cagar budaya saja tetapi akibat dari aktifitasnya

di daerah pantai akan berbeda dengan daerah pedala-

dapat berakibat terhadap penurunan kualitas bahan

man, ataupun di dataran tinggi. Hal tersebut terutama

dasar yang digunakan. Faktor utamanya adalah kelem-

berkaitan dengan kondisi suhu dan kelembaban udara,

baban lingkungan.

tekanan udara, Semakin tinggi tempat tersebut akan

Untuk cagar budaya yang berada di ruangan ter-

semakin rendah tekanan udaranya, dan semakin din-

buka yang terkena sinar matahari baik secara tidak

gin, dan suhu udaranya pun juga akan berbeda. Perlu

langsung (sinar diffus) dan terlebih yang terkena sinar

dicatat bahwa di daerah beriklim dingin tidak ada

matahari dan hujan secara langsung akan mudah di-

masalah rayap, sementara itu di daerah tropis lembab,

tumbuhi oleh berbagai jenis jasad renik, tidak hanya

rayap menjadi musuh utama dalam pelestarian cagar

jamur dan bakteri saja tetapi juga jenis ganggang

budaya.

(algae), lumut sejati (moss), dan bahkan lumut kerak (lichens), spermatophyta/pteridophyta. Untuk menge-

II.

FAKTOR EKSTERNAL

Pada dasarnya, faktor eksternal dapat dikelompok-

nal lebih dekat beberapa jenis jasad yang merupakan agensia pelapukan biotisuraiannya

kan menjadi 2 (dua) yaitu faktor biotik dan faktor

Cahaya matahari maupun cahaya lampu buatan

non biotik. Faktor biotik adalah faktor yang berasal

mempunyai pengaruh yang cukup serius terhadap be-

dari jasad hidup. Beberapa contoh yang paling utama

berapa jenis bahan cagar budaya. Dalam kehiduÂŹpan

meliputi jenis jasad renik/mikrobia dan serangga. Se-

sehari-hari dampak cahaya yang bisa teramati adalah

dangkan faktor non biotik adalah faktor-faktor yang

terjadinya perubahan warna dari warna yang sebel-

disebabkan bukan dari jasad hidup, misalnya suhu

umnya cerah menjadi pudar. Proses kerusakan karena

udara, air, sinar matahari, polusi udara. Guna menda-

cahaya ini secara teknis dikenal dengan istilah reaksi

patkan gambaran secara lebih jelas, berikut ini diurai-

“photo-kimia� (photo chemical reaction). Sejauh

kan mengenai beberapa jenis jasad renik dan serangga

mana pengaruh yang diakibatkan oleh sinar pada sua-

yang sering berperanan dalam proses kerusakan dan

tu benda akan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal

pelapukan cagar budaya.

yang meliputi kepekaan benda koleksi terhadap sinar,

Jasad renik merupakan salah satu agensia utama dalam proses degradasi bahan cagar budaya. Ke-

intensitas penyinaran, lamanya kena sinar, dan panjang gelombang sinar.

Prinsip, Teori, dan Praktek – 69


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN MEKANISME PROSES DEGRADASI BAHAN BANGUNAN BERSTRUKTUR BATA

Sinar adalah suatu bentuk gelombang elektro-

(wheathering), pelapukan secara kimia (chemical de-

magnet yang mempunyai dua buah tipe cahaya yaitu

terioration), dan pelapukan secara biotis (biodeterio-

cahaya yang bisa dilihat (visible light) dan sinar yang

ration).

tidak bisa dilihat (invisible light). Cahaya yang tampak

Kerusakan mekanis adalah jenis kerusakan yang

ini pada dasarnya merupakan spektrum sinar dengan

disebabkan oleh adanya faktor gaya dari luar, baik

panjang gelombang antara 400-760 nanometer, yang

berupa gaya yang sifatnya statis karena beban atau

terdiri atas tujuh macam warna yaitu merah, jingga,

gaya yang bersifat dinamis, misalnya akibat gempa,

kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Se¬dangkan cahaya

runtuhan, terjatuh, dll. Akibat yang ditimbulkan dapat

yang tidak tampak terdiri dua macam yaitu sinar ul-

berupa retakan atau pecahan, yang skalanya tergan-

tra violet dengan panjang gelombang lebih kecil dari

tung dari besar kecilnya gaya yang ditimbulkan.

400 nanometer dan sinar infra merah dengan panjang gelombang lebih besar dari 760 nanometer.

Pelapukan secara fisis (wheathering process), yang terjadi pada cagar budaya disebabkan oleh fak-

Hasil penelitian yang dilakukan secara intensif

tor lingkungan mikro dimana koleksi tersebut berada.

menunjuk¬kan bahwa makin pendek panjang gelom-

Perubahan tersebut kadang-kadang mendadak sifatnya

bang suatu sinar makin tinggi energinya terhadap

yang tentu saja akan membawa dampak yang berba-

proses kerusakan cagar budaya (OP Agrawal, 1977).

haya pada kondisi keterawatan cagar budaya yang pada

Pada dasarnya, semua benda dapat ter-pengaruh

umumnya telah rapuh. Gejala yang terjadi dan dapat

oleh pencemaran udara lingkungan. Hanya tingkat¬an dan prosesnya satu sama lain berbeda, dari yang ringan sampai kepada bentuk ancaman yang serius. Pencemaran udara bisa berasal dari berbagai macam sumber, misalnya bangunan (baru) tempat penyimpanan koleksi yang melepaskan partikel-partikel yang sangat halus (0,01 mikron) dan bersifat alkali, sisa pembakaran gas/bahan bahan yang mengandung gas

Pada dasarnya, semua benda dapat ter-pengaruh oleh pencemaran udara lingkungan. Hanya tingkat¬an dan prosesnya satu sama lain berbeda

sulfur dioksida (S02) dan karbon dioksida (C02), alatalat elektronik tertentu yang menghasilkan ozone dan

diamati secara makroskopis antara lain berupa peru-

nitrogen dioksida serta radiasi UV dengan panjang

bahan warna asli cagar budaya oleh faktor cahaya yang

gelombang lebih kecil dari 300 nanometer.

secara teknis dikenal dengan istilah fading affect seabagai akibat adanya reaksi photo kimia (photo chemi-

III.

PROSES DEGRADASI BAHAN CA-

GAR BUDAYA

cal reaction), pengekerutan dimensi benda, retakanretakan mikro, atau pengelupasan.

Secara teknis dari segi prosesnya, degradasi bahan

Agensia utama proses terjadinya pelapukan secara

cagar budaya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu

kimiawi secara ekstrem adalah air. Air baik dalam

dalam bentuk kerusakan dan pelapukan. Pada aspek

bentuk air hujan, air rembesan, maupun air kapiler

kerusakan, perubahan terjadi pada bahan yang digu-

yang naik melalui pori-pori bahan bangunan yang di-

nakan tanpa diikuti oleh perubahan sifat-sifat kimiaw-

gunakan merupakan salah satu faktor pemicu terjadin-

inya, misalnya retak dan pecah. Sedangkan pada aspek

ya reaktifitas kimiawi. Air yang masuk ke dalam ba-

pelapukan terjadi perubahan baik pada sifat-sifat fisik

han bangunan akan melarutkan sebagian unsur-unsur

(desintegrasi) maupun kimiawinya (dekomposisi),

bahan yang digunakan. Larutan garam yang terben-

yang diikuti dengan gejala kerapuhan, korosi, dan pe-

tuk bersifat korosif, terutama khlor (Cl), baik dalam

rubahan dimensinya.

bentuk uap air dalam kelembaban yang terlalu tinggi,

proses degradasi yang terjadi pada koleksi dapat

air tanah, maupun air laut, misalnya sewaktu tingga-

dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu proses keru-

lan arkeologi tersebut masih berada di dalam laut. Di

sakan secara mekanis, proses pelapukan secara fisis

samping itu, juga disebabkan oleh adanya

70 – Prinsip, Teori, dan Praktek


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN MEKANISME PROSES DEGRADASI BAHAN BANGUNAN BERSTRUKTUR BATA

Secara garis besar mekanisme proses kerusakan/pelapukan cagar budaya dapat digambarkan sebagai berikut

FAKTOR

PROSES

AKIBAT

Prinsip, Teori, dan Praktek – 71


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN MEKANISME PROSES DEGRADASI BAHAN BANGUNAN BERSTRUKTUR BATA

udara tercemar di sekitar cagar budaya yang dapat memacu proses pelapukan secara kimia. Hasil pelarutan yang terjadi akan terbawa ke luar pada waktu terjadi penguapan air dan terendapkan dalam bentuk kristal-kristal garam yang warnanya akan dipengaruhi oleh jenis mineral yang terlarut. Pelapukan Biotis (Biodeterioration Process), Jenis pelapukan ini terutama disebabkan oleh adanya mikrobia atau jasad renik pada koleksi baik pada bagian dalam maupun pada permukaan koleksi. Adanya pertumbuhan mikrobia tersebut tidak hanya mengganggu secara estetis, tetapi sebagai akibat dari aktifitasnya dapat menimbulkan kerusakan pada koleksi tersebut. Hal ini akan sangat tergantung dari jenis dan kualitas bahan cagar budaya tersebut. Untuk benda cagar budaya yang berada di dalam ruangan, masalah utama yang dihadapi pada umumnya berupa pertumbuhan jamur, bakteri, atau serangan serangga/insek. Sedangkan untuk cagar budaya yang berada di tempat terbuka dapat berupa jasad-jasad renik seperti halnya ganggang (algae) lumut (musci), atau bahkan lumut kerak (lichens), walaupun hal tersebut jarang terjadi, tetapi tidak menutup kemungkinan juga bisa terjadi. Pemahaman tentang faktor lingkungan dan proses degradasi bahan cagar budaya merupakan suatu hal yang mendasar sifatnya sebelum melakukan intervensi terhadap cagar budaya. Hal ini penting agar penanganan konservasi dapat dilakukan secara mendasar, tidak hanya berdasarkan atas gejala yang secara visual nampak tetapi atas dasar akar permasalahan yang dihadapi di lapangan. Disadari sepenuhnya bahwa tindakan konservasi yang dilakukan tidaklah bersifat menghentikan secara total proses degradasi yang terjadi tetapi hanyalah menghambat. Karena bagaimanapun juga khususnya untuk cagar budaya berbahan dasar bata yang terletak di alam terbuka pengaruh faktor lingkungan tidak akan bisa dihentikan secara total, tetapi hanya bisa dikendalikan.

72 – Prinsip, Teori, dan Praktek

Hubertus Sadirin mendapatkan pengalaman konservasi dari tugas belajar dari Unesco di India, Italia, dan di Belanda. Tahun 1993/941995/96 menjadi Project Manager di Proyek Konservasi Borobudur. Pernah menjadi Kepala Laboratorium Konservasi di Borobudur, dan Ditlinbijarah, Ditjen Kebudayaan dan Kepala Bidang Registrasi dan Penetapan. Menjadi pengajar di training konservasi tingkat regional dan internasional.


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN MEKANISME PROSES DEGRADASI BAHAN BANGUNAN BERSTRUKTUR BATA

Salah satu sudut dinding di Benteng Van der Weickj yang permukaannya telah ditumbuhi lumut karena tingkat kelembaban yang tinggi didalam dinding akibat penetrasi air dalam jangka waktu yang sangat lama.

Prinsip, Teori, dan Praktek – 73


74 – Prinsip, Teori, dan Praktek


Prinsip, Teori, dan Praktek – 75


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

ditulis kembali oleh: Rofianisa

76 – Prinsip, Teori, dan Praktek


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

Prinsip, Teori, dan Praktek – 77


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

78 – Prinsip, Teori, dan Praktek


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

Prinsip, Teori, dan Praktek – 79


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

80 – Prinsip, Teori, dan Praktek


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

Prinsip, Teori, dan Praktek – 81


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

82 – Prinsip, Teori, dan Praktek


PEMUGARAN BANGUNAN RELIGIUS BERBAHAN BATA DI BALI

Prinsip, Teori, dan Praktek – 83


84 – Studi Kasus


S K

T A

U S

D U

I S Studi Kasus – 85


PASANG SURUT REVITALISASI KOTA TUA JAKARTA

Candrian Attahiyat

Pasang Surut Revitalisasi Kota Tua Jakarta

86 – Studi Kasus


PASANG SURUT REVITALISASI KOTA TUA JAKARTA

Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan memiliki sepenggal kawasan lama yang bisa dikategorikan sebagai kota tua yang umumnya berkembang pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Kota-kota tua tersebut masih bertahan keberadaannya hingga sekarang. Akan tetapi keberadaan unsur “tua”nya selalu mengalami perubahan. Contohnya, Kota Tua Jakarta, banyak yang terkecoh oleh sejarah bahwa kota yang pernah terkenal dengan sebutan Batavia ini dibangun sejak tahun 1620 dan tetap bertahan hingga kini. Padahal tidak demikian. Kenyataannya adalah 95% bangunannya berasal dari pertengahan abad ke-20.

P

erubahan bangunan pada sebuah kota selalu terjadi bongkar-bangun-bongkar dan bangun lagi. Kota Batavia mempunyai pengalaman yang sangat ekstrim sebagai kota. Kota yang dibangun selama 30 tahun oleh VOC Belanda dan dihuni selama 288 tahun terpaksa harus dibongkar total pada tahun 1808. Alasannya, Kota Batavia dianggap tidak sehat karena acapkali terjadi epidemik yang menewaskan banyak penghuninya; sanitasi buruk, bangunan rapat, banjir, dan tanahnya lembek. Pokoknya tidak sehat. Kota dipindah ke selatan yang lebih sehat dan tinggi, kini daerah tersebut adalan sekitar Lapangan Monas dan Lapangan Banteng. Dulu disebut sebagai Nieuw Batavia atau disebut juga Weltevreden yang artinya kira-kira “daerah sehat”. Kini, kawasan Kota Tua Jakarta sudah dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata. Banyak pengunjung yang datang kesini, sehari hampir 5000 orang yang 10% diantaranya adalah turis asing. Sebuah angka yang menggembirakan, tetapi di sisi lain menyedihkan karena ternyata 90% pengunjung berasal dari kelas bawah dan kondisi tersebut tidak bergerak selama 3 tahun terakhir. Kelas menengah ke atas enggan berkunjung ke Kota Tua Jakarta karena kotor, semerawut, macet, dan tidak aman. Padahal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah beberapa kali melakukan revitalisasi. RIWAYAT REVITALISASI Batavia menjadi kota terbengkalai sejak 1808 dan tidak mendapat perhatian hampir 100 tahun. Namun ada sebuah kabar gembira tahun 1905, ketika Kota Batavia membentuk Dewan Kotapraja semacam DPRD. Dewan Kota mencanangkan program revitalisasi Kota Batavia. Realisasi pekerjaannya baru dimulai tahun 1912 dengan membangun gedung-gedung megah bergaya art deco di sekitar Taman Beos hingga Taman Fatahillah (Stadhuisplein). Kali Besar Barat dan Timur dirancang menjadi Central Bussines District (CBD) pertama. Revitalisasi ini hampir berlangsung 30 tahun yang di penghujung waktunya ditandai dengan peresmian penggunaan Stasiun Kereta Api Beos tahun 1929. Kota Batavia hidup kembali, banyak investor yang menanam modalnya, terbukti dengan maraknya perusahaan-perusahaan di Kali Besar dan sekitarnya.

Ternyata Kota Batavia hasil revitalisasi pertama mulai meredup ketika pendudukan Jepang dan Indonesia merdeka. Antara tahun 1944-1949 Kota Batavia sudah tidak terurus lagi, bahkan pengusaha Belanda sudah banyak yang hengkang. Tahun 1950 semua perusahaan Belanda yang ada di daerah ini diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Anti kolonialisme semakin kuat berhembus, banyak monumen yang dibongkar, salah satunya adalah Gerbang Amsterdam di Jalan Cengkeh. Pada tahun 1950, Pemerintah Indonesia membuat program revitalisasi kedua terhadap kawasan Kota Tua, tetapi dengan semangat nasionalisme, Pemerintah mendirikan dan bangunan megah modern untuk mengalahkan gaya bangunan kolonial. Bangunan pertama yang megah adalah sebuah bangunan yang arsitekturnya sangat nyeleneh, kontradiksi dengan arsitektur sekitar. Bangunan tersebut diperuntukkan untuk Bank of China yang lokasi tepat disebelah selatan Museum Wayang sekarang. Kemudian dibangun lagi sebuah bangunan megah karya rancangan anak bangsa F. Silaban, bangunan tersebut adalah Gedung BNI 46 yang diresmikan tahun 1962. Inilah revitalisasi ekonomi yang dilakukan dibawah wewenang Presiden Soekarno. Hasil revitalisasi kedua ini merosot drastis ketika terjadi perubahan rezim pemerintahan yang berkuasa pada tahun 1965-1966. Kawasan ini menurun kualitasnya, banyak investor China yang hengkang akibat kerusuhan dimana-mana. Melihat Kondisi kawasan Kota Tua yang memprihatinkan, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin cepat bergerak untuk memulihkan kembali roda perekonomian. Tahun 1971 dicanangkan revitalisasi ketiga dengan program Proyek Pemugaran Djakarta Kota. Lingkup pekerjaan 20 hektar meliputi Taman Fatahillah, Taman Beos dan Kali Besar. Revitalisasi ini selesai dalam tiga tahun. Adaptive reuse dilakukan untuk mengubah tiga bangunan tua, yaitu Stadhuis (Balai Kota) diberi fungsi baru sebagai Museum Sejarah Jakarta, Gedung Pengadilan diberi fungsi baru menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik, dan bekas Museum Old Batavia diubah menjadi Museum Wayang. Lapangan Fatahillah yang sebelumnya adalah terminal bus diubah menjadi Taman Fatahillah dan Kali Besar dipercantik, begitu juga Taman Beos.

Studi Kasus – 87


PASANG SURUT REVITALISASI KOTA TUA JAKARTA

Cafe Batavia, Gedung Jasindo dan Gedung Kantor Pos Indonesia adalah pemandangan yang dapat dilihat dari Taman Fatahillah, Kota Tua. Foto ini diambil ketika atap gedung Jasindo (di tengah) masih ada sebelum rusak sebagian lalu kemudian runtuh karena hujan angin sangat kencang sekitar tahun 2011 di Jakarta.

Tahun 1974 bagi revitalisasi ini adalah masa apes karena tahun tersebut adalah tahun gejolak anti ekonomi asing diseluruh kota besar yang puncak kerusuhannya terjadi pada tanggal 11 Januari. Bangunan sekitar Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada hingga Taman Beos menjadi target penjarahan. Walaupun demikian Gubernur Ali sadikin tetap meresmikan sesuai jadwal agenda pembukaan Konferensi Pariwisata Asia-Pasifik tahun 1974, dengan maksud agar para inverstor tetap percaya bahwa Jakarta masih aman untuk investasi. Kenyataannya investor tetap enggan nongkrong di Kota Tua. Kawasan Taman Beos, Taman Fatahillah, dan Kali Besar yang menjadi ikon Kota Tua pada tahun 1990 hingga 1995 sudah terlihat penurunan kualitasnya dengan adanya kemacetan, polusi udara yang sangat tinggi, tergenang, dan rawan kriminal. Lagi-lagi ada gubernur yang mencoba membangkitkan perekonomian kawasan yang sudah hampir colapse. Dialah Surjadi Soedirdja, Gebernur DKI yang mencoba merevitalisasi Kota Tua Jakarta yang keempat, difokuskan pada pembenahan CBD Kali Besar dan normalisasi beberapa sungai pada tahun 1996. Pekerjaan ini berlangsung tidak lebih dari enam bulan. Banyak yang menyambut gembira dengan upaya yang dilakukan oleh Surjadi Soedirdja, karena dengan langkah kecil tersebut dipastikan mendatangkan investor.

88 – Studi Kasus

Upaya revitalisasi yang dilakukan oleh Gubernur Surjadi Soedirdja tetap tidak membuahkan hasil karena dalam perjalanan waktunya dihadang dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1998. Bahkan ketika terjadi huru-hara, lagi-lagi kawasan Kota Tua mulai dari Glodok hingga kearah Pluit menjadi target pembakaran dan penjarahan. Kondisi inilah yang membuat Kota Tua terpuruk kembali. Tak mau ketinggalan, Gubernur DKI Jakarta berikutnya, Sutiyoso pada tahun 2005 mencanangkan kembali revitalisasi Kota Tua. Kalau dihitung-hitung revitalisasi yang dilakukan Sutiyoso adalah revitalisasi yang kelima. Sehat (aman, nyaman, sejahtera), dikunjungi banyak pelancong, dan diminati para investor; demikian yang harus diangkat dalam revitalisasi Kota Tua periode Sutiyoso. Tiga tuntutan ini bagaikan menancapkan bambu diatas batu, mungkin akan lebih mudah jika batu tersebut diganti tanah gembur. Walaupun demikian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap memvitalisasi kembali Kota Tua dan bahkan menjadikannya sebagai program dedikasi. Pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 34 tentang Penguasaan Perencanaan Dalam Rangka Penataan Kawasan Kota Tua seluas 846 hektar. Terakhir luasnya telah dikoreksi menjadi 334 hektar sedangkan


PASANG SURUT REVITALISASI KOTA TUA JAKARTA

batas-batasnya tidak berubah yakni batas paling utara adalah sebagian pelabuhan Sunda Kelapa; batas paling selatan adalah Gedung Arsip Nasional Jalan Gajah Mada; batas paling barat adalah masjid tua di Jalan Bandengan; dan batas paling timur adalah satu blok di belakang Bank BNI Kota. Alasan diterbitkannya Peraturan Gubernur tersebut adalah untuk memberi kejelasan arah pengembangan kawasan Kota Tua dan batas kawasan yang berdampingan sebagai zona pengaman. Batas-batas tersebut ditentukan oleh persebaran bangunan tua dan aktivitas kultural, didalamnya terdapat kawasan inti yang merupakan kawasan padat bangunan tua yakni sekitar Taman Fatahillah, Taman Beos, Kali Besar, Pasar Ikan, dan Glodok. Sutiyoso sudah cukup banyak berbuat termasuk pembuatan dan masterplan Kota Tua. Sayang masterplan tersebut hingga kini belum disahkan. Walaupun demikian secara garis besar sudah disepakati bahwa kawasan Kota Tua terbagi kedalam Lima Zonasi Kawasan Pengembangan yang didasari pada karakter morfologi yaitu Zonasi 1 Kawasan Sekitar Sunda Kelapa; Zonasi 2 Kawasan Sekitar Taman Fatahillah, Kali Besar dan Taman Beos; Zonasi 3 Kawasan Pecinan Sekitar Glodok; Zonasi 4 Kawasan Sekitar Pakojan; Dan Zonasi 5 Kawasan Peremajaan Sekitar Glodok hingga Gedung Arsip. Revitalisasi kelima ini sejak tahun 2005 hingga

2013 hanya tergarap 10% dari luas Kota Tua yang ditetapkan. Pekerjaannya memang difokuskan pada kawasan sekitar Taman Fatahillah dengan membuat pedestrianisasi Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Poskota dan Jalan Kali Besar Timur. Penataan ini berhasil menarik pengunjung tetapi belum sanggup menarik investor.

MENCARI SOLUSI Pergantian Gubernur DKI Jakarta dituding menjadi penyebab gagalnya revitalisasi Kota Tua Jakarta, karena gubernur baru membawa kebijakan baru, kebijakan tersebut belum tentu sejalan dengan kebijakan sebelumnya. Ada yang berpendapat lain, keberhasilan revitalisasi sangat tergantung pada suhu politik dan ekonomi Indonesia. Ada lagi yang berpendapat ekstrim yang menyebut bahwa jika revitalisasi ingin berhasil, pilih gubernur yang gila seperti Ali Sadikin. Nampaknya saya setuju dengan dua pendapat terakhir. Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama bisa dikategorikan gila karena mau turun langsung melihat lapangan, mau menerobos peraturan yang bikin mandek, dan mau berbuat sesuatu tanpa latar belakang keuntungan pribadi. Tinggal menunggu momen suhu politik, keamanan dan perekonomian kondusif. Yakin Kota Tua beres.

Studi Kasus – 89


GEDUNG JASINDO

Struktur solid void di Gedung Jasindo

Studi Kasus 1

GEDUNG JASINDO Abdul Halim Hani Feli Napraiseti Maiyozzi Chairi Rahmat Gino Sea Games Wedmaerti

G

edung Jasindo adalah bangunan bekas Gedung West Java NV yang dibangun tahun 1912. gedung tersebut dimiliki oleh PT. Jasindo, namun sudah tidak dipergunakan lagi. Saat ini Gedung West Java NV itu dimanfaatkan untuk hiburan permainan biliar, namun sebagian digunakan untuk berjualan pakaian, rokok, dan minuman ringan. Kondisi bangunan saat ini sangat memprihatinkan karena dibiarkan terbengkalai oleh PT. Jasindo tanpa ada pemeliharaan dan perbaikan. Peninjauan lapangan oleh Kelompok 1 hanya dilakukan pada lantai 3 bangunan karena lantai 1 dan 2 tidak dapat di akses. Peralatan yang digunakan antara lain palu, sarung tangan, me-

90 – Studi Kasus

teran, alat pengukur kelembaban, kamera, dan lain-lain. Bagian-bagian bangunan yang ditinjau antara lain adalah kondisi struktur atap dan kuda-kuda, struktur dinding dan tiang, bukaan pintu dan jendela, struktur lantai, struktur tangga, instalasi mekanikal elektrikal dan drainase bangunan seperti kondisi talang air dan saluran keliling bangunan. Pada saat peninjauan, dilakukan dokumentasi terhadap kondisi eksisting bangunan, mengecek kondisi bangunan, membuat sketsa bangunan beserta kerusakan yang ada, serta melakukan uji kelembaban bata. HASIL INSPEKSI GEDUNG JASINDO KOTA TUA JAKARTA


GEDUNG JASINDO

Dapat dijelaskan bahwa kondisi yang ditemukan adalah atap di lantai 3 sisi selatan Gedung Jasindo telah runtuh. Dinding sisi barat juga telah rubuh hingga separuh. Terdapat juga sedikit retak di kolom pada sisi barat dinding yang telah roboh. Pada dinding-dinding baik di sisi barat dan ditimur serta beberapa joint antara dinding dan tembok terlihat lapisan dinding (plaster) yang telah terkelupas. Kondisi jendela yang terdapat pada bangunan terlihat mulai lapuk pada kusen dengan beberapa kaca jendela telah lepas atau pecah. Di bawah jendela terpadat lubang angin dengan dua pola bentuk yaitu persegi dan bujur sangkar yang berornamen. Terdapat bangunan atap darurat di atas tangga. Terlihat pula vegetasi yang tumbuh di atap bangunan yang masih tertinggal. Ruangan yang terdapat pada lantai 3 menggunakan ubin dengan paduan antara warna merah, oranye dan ubin polos. Pola yang digunakan dalam menyusun ubin berupa persegi panjang membentuk huruf L. Terdapat dua pintu besar pada area masuk bangunan. Pada sisi utara ruangan terdapat ruang yang merupakan bekas lift. Plat lantai dan balok bangunan terbuat dari beton dan pada kondisi terkini terlihat bahwa lapisan terluar beton telah terkelupas sehingga terlihat tulangan besi yang digunakan. Sedangkan kolom terbuat dari batu bata yang disusun dengan pola memanjang dan melintang dan bergantian pada tiap baris. Instalasi elektrikal pada gedung tidak tertata dengan baik dan ada beberapa instalasi yang rusak. Ditemukan beberapa boks panel listrik tetapi tidak terdapat komponen listrik didalamnya. Sebagian besar lampu telah hilang. Tidak ditemukan saluran drainasi di sekeliing bangunan, dan sebagian besar talang air yang ditemukan dalam kondisi rusak. Saat dilaksanakan tapping dengan cara mengetuk dinding terdengar suara yang menggema sehingga dapat dikatakan dinding memiliki pori dan kepadatan yang kurang. Tes kelembaban yang dilakukan pada beberapa bata di sisi dinding ditemukan bahwa pada dinding sisi barat

terdapat bata yang memiliki kelembaban diatas 60% sedang pada sisi dinding di sebelah selatan dan timur memiliki kelembaban yang rendah yaitu antara 13-20%. Tidak dilaksanakan tes sampling salinasi pada batu bata dan plester, tim hanya menyatakan secara visual bahwa plesteran yang ada rapuh dan terlihat kristal-kristal putih yang diduga kristal garam. ANALISIS PENYEBAB KERUSAKAN Penyebab kerusakan didasarkan pada kondisi terkini bangunan adalah sebagai berikut, tim mengasumsikan bahwa telah terjadi kegagalan struktur atap disebabkan pelapukan pada struktur atap dan juga kegagalan kolom bata di sisi barat untuk menahan beban atap. Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan terjadinya penggaraman di pori-pori bata, sehingga melemahkan struktur bata hingga tidak mampu untuk menahan beban atap. Terdapat retakan di dinding kolom bata juga memperkuat asumsi bahwa kolom tidak mampu untuk menahan beban diatasnya. Sedangkan apakah hal ini disebabkan oleh pengaruh damp rising juga sulit untuk diasumsikan disebabkan tim tidak melihat kondisi di lantai 1 dan 2 serta kondisi pondasi gedung. Upaya konservasi bangunan yang perlu dilakukan di Lantai 3 Gedung Jasindo adalah sebagai berikut : Tim merekomendasikan upaya konservasi bangunan di Lantai 3 Gedung Jasindo sebagai berikut : • Mendokumentasikan dan menginspeksi keseluruhan kondisi bangunan agar didapatkan deskripsi kerusakan dan penyebab kerusakannya secara komprehensif. • Perbaikan struktur kolom dinding bata sebelum dilaksanakan pembangunan lantai atap. • Pembangunan atap bangunan mendapatkan prioritas utama agar bila pemugaran total bangunan dilaksanakan dalam jangka waktu lama, maka struktur atap akan memberikan perlindungan yang baik terhadap bangunan secara keseluruhan. Studi Kasus – 91


GEDUNG JASINDO

Sketsa denah dan fasade hasil survey Grup 1 Gedung Jasindo tahun 2013 dalam kondisi yang lebih dari setengah bangunannya sudah tidak beratap lagi.

92 – Studi Kasus


GEDUNG EX STANDARD CHARTERED

Gedung Ex Standard Chartered sebagai focal point berkubah yang amat penting karena terletak di hook jalan .

Studi Kasus 2

GEDUNG EX STANDARD CHARTERED Ambarita Ulvah Kayato Hardani Erman Tezza Nur Gina R. Thanti Felisiani

B

erdasarkan kajian sejarah, sebagian besar

merupakan Kawasan Cagar Budaya Kota Tua.

kawasan Sunda Kelapa dan Zona 2 Kawasan

Pada awalnya kawasan ini merupakan kekuasaan

Cagar Budaya Kota Tua adalah cikal bakal

Banten, namun Setelah dikuasai pada awal abad 17,

Kota Tua, yaitu kota yang pada masa kolonial berada

VOC merombak dan membangunnya selain men-

di dalam dinding benteng, yang sebagaian besar dihu-

jadi pelabuhan, juga pusat perdagangan, militer dan

ni oleh bangsa Belanda. Kawasan ini dahulu dibatasi

pemerintahan, dilanjutkan hingga jaman penjajahan.

oleh Sungai Ciliwung di sebelah timur, Kanal Stadt Buiten Gracht sebelah barat (kini Sungai Krukut) di sebelah barat, Kanal Stadt Buiten Gracht di sebelah selatan (kini Jalan Jembatan Batu dan Jalan Asemka), dan laut di utara (termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa). Di luar kawasan ini terdapat permukiman-permukiman lain yang bersama-sama kota di dalam benteng

Tidak sedikit bangunan bersejarah di Kota Tua hilang, musnah dan menghadapi masalah keruntuhan karena tidak terawat tidak dihuni dan tidak dipakai

Studi Kasus – 93


GEDUNG EX STANDARD CHARTERED

Pada abad 18, terbentuk menjadi kota di dalam

mengahadapi masalah kehancuran, sejalan dengan di-

tembok, berbentuk segi empat, dengan bagian utaranya

namika kota Jakarta yang berkembang dengan sangat

pelabuhan, yang menjadi gerbang, masuk ke kota dari

cepat. Tidak sedikit bangunan bersejarah di Kota Tua

arah laut, melalui kanal yang berasal dari Sungai Cili-

hilang, musnah dan menghadapi masalah keruntuhan

wung yang diluruskan, dan disebut Kali Besar hingga

karena tidak terawat tidak dihuni dan tidak dipakai.

sekarang. Polanya kotak-kotak, tidak terbentuk oleh

Kegiatan observasi yang dilakukan berada di Ge-

jalan seperti kota-kota di jaman pertengahan, namun

dung Ex Standard Chartered Bank, dibangun semasa

oleh kanal-kanal melintang dan membujur, dengan

perdagangan pemerintah Hindia Belanda sedang ber-

bangunan-bangunan di tepiannya. Perkembangan kota

jaya dan pembangunan gedung di kota Batavia bagian

ke arah selatan, benteng tidak lagi terlalu diperlukan

utara sedang gencar dilakukan. Bangunan ini awalnya

untuk pertahanan, tetap berorientasi ke Kali Ciliwung

digunakan sebagai kantor cabang Chartered Bank of

dengan rumah-rumah berhalaman luas di kirikananya,

India, Australia and China di Batavia. Sejak 2 maret

membuat kota Batavia sangat indah dan nyaman hing-

1965 pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah ke-

ga mendapat sebutan Ratu dari Timur (Queen of the

pada bank umum negara (BUNEG) yang kemudian

East). Hingga pusat kota berpindah ke arah selatan

menjadi Bank Bumi Daya (BBD) pada bulan Desem-

pada awal abad 20, Kota Lama Batavia tetap menjadi

ber 1968.

pusat pemerintahan, perdagangan, pelayanan dan jasa, bahkan di dalamnya terdapat kantor-kantor dagang internasional. Peninggalan-peninggalan pada masa itu,

DESKRIPSI ARSITEKTUR DAN ARKEOLOGI BANGUNAN EX CHARTERED BANK

berupa tata ruang, arsitektur dan konstruksi pelabu-

Bangunan ini memiliki focal point berupa kubah

han, perkantoran, fasilitas sosial, perdangan termasuk

yang tepat berada di sudut jalan. Serta lantai 1 yang

berbagai bank sangat unik dan indah, namun saat ini

berupa lengkung-lengkung arcade yang merupakan Warna kuning menunjukkan zona kawasan Kota Tua yang dikonservasi. Letak Gedung Ex Standard Chartered.

94 – Studi Kasus


GEDUNG EX STANDARD CHARTERED

Sketsa kelompok gambaran umum denah dan pola peletakan kolom bangunan

Studi Kasus – 95


GEDUNG EX STANDARD CHARTERED

galeri bagi pejalan kaki. Gedung tiga lantai di

akibat rembesan air hujan dari atas dan kapilarisasi

atas lahan seluas 2.279 m² yang terletak di sudut Ja-

air tanah dari bagian bawah bangunan. Dengan intrusi

lan Kali Besar Barat No. 1-2, memiliki citra arsitektur

air pada bangunan juga setelah dicermati telah menu-

klasik yang mengawali gaya modern dengan banyak

runkan kualitas struktur bangunan seperti berkaratnya

ornamen hias. Gedung yang dibangun tahun 1920 ini

tulangan beton pada kolom serta bagian atap. Selain

dirancang oleh arsitek EHGH Cuypers (1859-1927).

itu pengaruh air juga menyebabkan kadar air bata

NILAI PENTING BANGUNAN

dinding menjadi jenuh sehingga memudahkan tana-

NILAI SEJARAH

man untuk tumbuh, yang mana akan memperparah

Keberadaan Gedung Ex Standard Chartered Bank

kerusakan bangunan, terbukti akar tanaman pohon

yang merupakan komponen tidak terpisah dari ka-

beringin yang tumbuh di sisi timur dapat menyusup

wasan Kota Tua Jakarta merupakan bukti fisik perkem-

hingga bagian dalam bangunan. Penggunaan cat ber-

bangan kota Jakarta khususnya dari masa kolonial. Ke-

bahan dasar minyak juga turut mempercepat rusaknya

beradaannya telah memberi rona pada kawasan yang

plesteran dinding yang pada dasarnya merupakan

secara makro sebagai kawasan historis.

plester non-semen sehingga memungkinkan untuk

NILAI ILMU PENGETAHUAN

terjadi penguapan apabila terjadi kapilerisasi.

Gedung Ex Standard Chartered Bank menampa-

Kerusakan struktur yang dijumpai pada lantai

kkan ciri arsitektural sebuah bangunan khas kolonial

2 bangunan adalah berupa keretakan diagonal pada

modern abad 20 yakni mulai dikenalnya sistem beton

dinding di mana di sisi selatannya dijumpai penurunan

bertulang pada bangunan yang masih tetap berupaya

lantai yang cukup signifikan yakni sekitar 20 cm. Pada

mengadaptasikannya terhadap lingkungan tropis. Ciri

bagian ini apabila diamati dari sisi timur terlihat ba-

arsitektural yang demikian menjadikan bangunan Ex

gian dinding miring sebagian ke selatan. Meski terjadi

Standard Chartered Bank menjadi sebuah bangunan

penurunan lantai sepertinya itu merupakan bentuk

yang penting bagi ilmu pengetahuan khususnya ar-

‘kegagalan’ teknik di masa lalu, terbukti pada bagian

sitektur yakni mengenai teknologi modern yang di-

dinding bawah tidak terlihat rekahan akibat penurunan

adaptasikan dengan lingkungan sekitar.

serta pada lantai 1 bagian atas tidak terlihat adanya

NILAI KEBUDAYAAN

kerusakan.

Gedung Ex Standard Chartered Bank yang berada

Selain kerusakan dari alam yang berupa air dan

di kawasan Kota Tua Jakarta turut memperkuat corak

tanaman, kerusakan juga disebabkan oleh aktivitas

budaya fisik di kawasan tersebut. Di kawasan tersebut

manusia ketika memanfaatkan bangunan ini. Be-

keragaman arsitektur, unsur budaya maupun kegiatan

berapa kerusakan tersebut diantaranya adalah sebagai

ekonomi yang hidup dan tumbuh bersama. Sehingga

berikut :

eksistensi Gedung Ex Standard Chartered Bank ini

1.

harus tetap

dipertahankan keberadaannya sebagai

bukti fisik budaya. NILAI EKONOMI

Penggantian penutup lantai (tegel asli) dengan bahan baru;

2.

Penghilangan profil pada kolom-kolom;

3.

Pembuatan partisi baru dengan bahan permanen den-

Berada di kawasan strategis kota yang bernilai

gan merusak dinding lama.

ekonomi tinggi, sehingga memungkinkan untuk dilakukan revitalisasi dengan tanpa mengabaikan aspek

REKOMENDASI

konservasi bangunan cagar budaya. Dengan revital-

Setelah dilakukan observasi, hal yang perlu segera

isasi maka Gedung Ex Standard Chartered Bank da-

dilakukan untuk pelestarian bangunan adalah:

pat dihidupkan kembali dengan fungsi yang baru dan

1.

kembali bersinergis dengan konteks yang baru.

terial komponen bangunan secara detil yang dilakukan setiap bidang dinding per lantai.

KERUSAKAN BANGUNAN Kerusakan secara umum pada bangunan ini lebih banyak berupa degradasi kualitas material bangunan 96 – Studi Kasus

Melakukan pemetaan kerusakan struktur maupun ma-

2.

Menyusun rencana/desain pemugaran dan pelestarian serta pemanfaatan bangunan kedepannya.


GEDUNG DASAAD

Kondisi eksisting Lantai 3 Gedung Da Saad yang sudah tidak beratap.

Studi Kasus 3

GEDUNG DASAAD Isfi Ervitasari Citra Sari Ayu Ferdy Ardiansyah Sri Sugiharta

P

erjalanan diawali dari kawasan Kota Tua, Ja-

gai kantor milik kelompok usaha Dasaad Musin kini

karta. Dasaad Musin Concern. Sebuah gedung

berubah menjadi gudang. Ya, gudang, tempat penyim-

yang dibangun sekitar 1929. Di kawasan Kota

panan barang-barang milik pedagang. Bahkan sedikit

Tua jakarta, gedung ini kerap luput dari perhatian para

bagian dari lantai pertamanya digunakan sebagai toi-

pengunjung. Sepertinya konsentrasi pengunjung lebih

let umum. Miris. Gedung yang mewakili era koloni-

mengarah ke Gedung Tua milik Kantor Pos atau Mu-

alisme, masa dimana Nusantara diperas sedemikian

seum Wayang, Museum Sejarah dan Taman Fatahillah.

rupa oleh penjajah, dibuat oleh ratusan pribumi dalam

Gedung tua di atas lahan seluas sekitar 240 m2 yang

kesakitan dan airmata. Sejarah negeri. Saat ini hanya

mencoba memberi irama dalam fasade 3 (tiga) lantai

semangat zaman yang dibawa oleh gedung itu. Apa

itu kini sudah tak cantik lagi. Kondisinya sudah rapuh

yang harus dilakukan? Tentu pemilik gedunglah yang

tanpa penutup atap, dinding-dinding terkelupas, jen-

berhak mau diapakan gedung miliknya. Hanya saja

dela besar yang dirancang bangun sesuai iklim tropis

rasanya negara dalam hal ini pemerintah kota bahkan

sebagian sudah hancur bahkan lantai pertama pun su-

mungkin pemerintah pusat bisa mengintervensi pemi-

dah tidak dapat dimasuki lagi.

lik gedung untuk menata kembali Dasaad Musin Con-

Alam dan perilaku manusia. Dua hal penyebab

cern ini. Sayang sekali jika warisan sejarah ini hilang

kerusakan. Iklim tropis dengan kelembaban lingkun-

begitu saja. Renovasi dengan tetap mempertahankan

gan dan curah hujan tinggi mengakibatkan retak,

arsitekur aslinya tentu perlu dilakukan. Minimum in-

pecah, pelapukan ditambah perilaku manusia untuk

terventions maximum inventions. Jika tidak, gedung

mengembangkan dan memanfaatkan atau mengabai-

ini hanya akan tinggal catatan.

kan bahkan merusak. Gedung tua yang dulunya sebaStudi Kasus – 97


GEDUNG DASAAD

Sketsa hubungan balok dan kolom Gedung Da Saad

Rangka struktur gedung Da Saad menggunakan bata.

98 – Studi Kasus

Jejak struktur atap yang masih tersisa


GEDUNG PALAD

Reruntuhan dan sisa bangunan tua ditengah-tengah kota bercampur baur dengan aktifitas ekonomi informal, sangat membutuhkan arahan pemanfaatan lahan.

Studi Kasus 4

GEDUNG PALAD Yunarwan Dwi Syahputra Aras Pamungkas Sri Wahyuni Wahyu Imam Santosa Wenny Kustianingrum

G

edung Palad yang terletak di kawasan kota

Palad memiliki konstruksi dinding batu bata tebal (90

tua Jakarta didirikan pada masa kolonial di

cm) yang berfungsi sebagai load bearing wall atau

Tahun 1620 M dan awalnya difungsikan se-

dinding penahan beban. Konstruksi balok lantainya

bagai gudang rempah-rempah milik VOC. Pada masa

menggunakan kayu jati setebal 30 cm dan meno-

pendudukan Jepang, bangunan ini berfungsi untuk

pang lantai-lantai kayu di atasnya. Balok-balok kayu

menyimpan persenjataan dan logistik makanan. Ge-

tersebut diangkur ke dinding dengan angkur yang da-

dung yang memiliki tampilan mirip dengan Museum

pat diperhatikan dengan jelas dari façade bangunan.

Bahari ini terdiri atas 2 (dua) lantai dengan 1 (satu)

Meskipun berfungsi sebagai gudang atau penyim-

lantai attic.Layaknya bangunan kolonial, Gedung

panan, penghawaan dan pencahayaan alami pada

Studi Kasus – 99


GEDUNG PALAD

bangunan ini direncanakan dengan baik. Pada setiap

dan perkembangannya berasal dari spora yang

lantai Gedung Palad dilengkapi dengan jendela den-

kemudian tumbuh dan berkembang menjadi be-

gan dimensi yang cukup memadai untuk memasukkan

sar sehingga mengganggu kelestarian bangunan.

cahaya ke dalam ruangan sehingga kelembaban dan

Kusen pintu dan jendela yang terbuat dari kayu

suhu udara dalam ruangan tetap dalam keadaan baik.

sudah mulai rapuh, keropos atau lapuk. Bahan

Namun kondisi bangunannya saat ini tidak terpelihara

untuk pintu dan jendela berasal dari kayu yang

dan terawat dengan baik, terlihat dari banyaknya kom-

merupakan bahan organik atau berasal dari

ponen-komponen bangunan yang mulai rusak tanpa

jasad hidup yang mudah mengalami pembusu-

adanya perbaikan atau penggantian dari pemiliknya.

kan secara biologis dan peka terhadap pengaruh

Pada mulanya gedung ini memiliki 4 (empat)

kondisi lingkungan sehingga lebih cepat men-

massa bangunan.Saat ini hanya tersisa 1 (satu) massa

galami pelapukan. Kondisi geotopografi pada

bangunan karena 3 (massa) bangunan lainnya telah di-

lokasi Gedung Palad memiliki kelembaban ting-

robohkan pada saat pelaksanaan pembangunan jalan

gi sehingga komponen bangunan yang terbuat

tol lingkar dalam Jakarta meskipun bangunan tersebut

dari kayu mudah diserang oleh rayap.

termasuk ke dalam bangunan cagar budaya. Hingga

Korosi pada angkur balok lantai. Air yang men-

saat ini Gedung Palad belum pernah mengalami pe-

gandung garam pada dinding menyebabkan ter-

mugaran dan kini dimiliki atau berada dalam pen-

jadinya korosi tersebut.

guasaan TNI Angkatan Darat. Pemiliknya tersebut

PT Remicon yang bergerak dalam bidang pembuatan

Lapisan dan cat pada jendela dan pintu mengelupas.

saat ini menyewakan lahan dan bangunannya kepada •

Plester sudah tidak melekat pada batu bata atau

ready mix. Bangunannya digunakan sebagai gudang

mengelupas akibat kapilaritas air pada dinding.

atau penyimpanan barang, sementara itu halamannya

Air tersebut mengurangi daya ikat (kohesi) pada

dimanfaatkan untuk kegiatan batching plan.

kapur dan batu bata. •

Air tanah yang banyak mengandung garam naik

IDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN

secara kapiler sehingga merusak dinding batu

Pada saat Practical on Site Survey di Gedung Pal-

bata. Disaat panas tiba, air menguap dan menyi-

ad guna observasi, mengidentifikasi dan memetakan

sakan garam dan garam tersebut “mengembang”

kerusakan bangunan, beberapa hal yang kami temu-

saat panas yang menyebabkan kerusakan pada batu bata.

kan adalah sebagai berikut: •

Terdapatnya akumulasi debu dan kotoran pada dinding, lantai, pintu dan jendela. Hal ini dis-

Adanya porositas sehingga mengakibatkan rising damp.

ebabkan sekitar bangunan ini berfungsi sebagai

pergudangan maupun aktivitas pembuatan beton

Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan

curah (batching plan), sehingga rentan terhadap

bahwa penyebab kerusakan Gedung Palad berasal

debu maupun kotoran dan minimnya pemeli-

dari air tanah yang mengandung garam. Air yang

haraan oleh pemilik/pengguna bangunan.

menyebabkan dinding batu bata menjadi lembab dan

Munculnya tumbuhan merambat yang merusak

kelembapan itu menciptakan lingkungan yang ideal/

dinding, kelembaban pada dinding memungkin-

cocok untuk berkembangbiaknya vegetasi ringan

kan tumbuhan untuk tumbuh subur.

hingga berat dan vegetasi inilah yang merusak fisik

Akar halus pohon beringin masuk di sela-sela

pada bangunan. Begitu juga garam, garam yang ter-

dinding batu bata, dengan berjalannya waktu

campur dengan air bertemu dengan besi dan terjadi

dan makin membesarnya akar tersebut mengaki-

reaksi kimia yang menyebabkan besi menjadi berkarat

batkan kerusakan pada bata yang akhirnya akan

serta garam juga menjadi biang kerusakan fisik bata,

merusak dinding. Beringin termasuk ke dalam

sebagai akibat dari mengembangnya garam saat ter-

tanaman tingkat tinggi yang awal pertumbuhan

jadi kenaikan suhu ruangan disaat musim kemarau.

100 – Studi Kasus


GEDUNG PALAD

Percobaan kadar garam pada sampling bata yang diambil dari Gedung Palaad.

Skematik denah Gedung Palaad oleh Grup 4

Studi Kasus – 101


GEDUNG BANK MANDIRI

Tampak luar Gedung Bank Mandiri

Studi Kasus 5

GEDUNG BANK MANDIRI Ashdianna Rahmatasari Bayu Dwi Rahmatyo Dian Prasetyawati Ephraem Widjojo Sianturi Rusdiyanto Ahmad

I.

LATAR BELAKANG

Dalam rangka pelaksanaan pelestarian bangunan cagar budaya diperlukan beberapa tahapan antaralain

beberapa bagian yang akan disurvey tertutup untuk umum 2.

Kondisi fisik dan sejarah perawatan

observasi lapangan yang bertujuan untuk melakukan

Langgam bangunan merupakan arsitektur Art

inventarisasi data baik secara teknis maupun historis,

Deco yang cukup popular pada jaman tersebut (peri-

kondisi fisik dan potensi daur guna. Kelompok 5 men-

ode awal 1900 - 1930). Gaya arsitektur ini khas bangu-

dapatkan tugas untuk melaksanakan observasi lapa-

nan Eropa dengan detil kolom berornamen geometrik,

ngan di gedung Bank Mandiri, Jl. Pintu Besar Utara

asimetris yang tercetak pada struktur bangunan.

kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.

Struktur bangunan sendiri menggunakan konstruksi

1.

Latar belakang historis

bata tanpa kolom, dan material lantai atas mengguna-

Gedung Bank Mandiri dibangun pada tahun

kan material dak kayu. Material asli yang digunakan

1912 pada masa Kolonial Belanda dan pada tahun

sebagian diimpor dari Belanda untuk bahan finishing

1960 asset diambil alih oleh Bank Dagang Negara.

arsitektural dengan kombinasi material local khu-

Saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai Kan-

susnya pada kayu, batubata, besi, dan material spesi

tor Bank Mandiri dan gedung arsip bank sehingga

pengisi pasangan bata. Menurut penjelasan pemilik

102 – Studi Kasus


GEDUNG BANK MANDIRI

bangunan gedung, bangunan ini pada awalnya dibangun untuk Bank milik Belanda, dan masih difungsikan dengan beberapa area di bangunan tersebut disesuaikan fungsinya untuk kegiatan social (Dojo Karate dan aktifitas olahraga pegawai). Saat ini belum diketahui catatan perawatan bangunan, kecuali keterangan adanya kegiatan renovasi pada tahun 1960-an ketika Bank Dagang Negara mengambil alih asset Gedung Bank milik Belanda. 3.

Potensi daur guna

Sebelum ditentukan potensi daur guna, diperlukan dokumentasi menyeluruh terhadap keseluruhan strukturbangunan, dan identifikasi perawatan bangunan yang telah dilakukan untuk menentukan periode yang tepat upaya restorasi dan prioritas perbaikan bagian bangunan yang rusak, terancam rusak dan yang terbengkalai. Selain itu, diperlukan penanganan menyeluruh dengan memperhatikan konteks penataan

Gambar potongan Gedung Bank Mandiri Ex Compto, menunjukkan penyusun atap bangunan dan hubungan vertikal

ruang pada skala kawasan kotatua khususnya system

12. Lift asli tidak difungsikan

drainase kotatua agar di kemudian hari, ancaman ban-

13. Pelapisan berulang pada setiap railing sehingga

jir dan pelapukan material struktur bata akibat terendam banjir dapat diminalisasi

tidak diketahui material aslinya 14. Area bawah tangga patung Hermes difungsikan

.

sebagai gudang dan material lantainya diganti dengan keramik roman

II. ANALISIS DAN DOKUMENTASI OBSERVASI LAPANGAN

15. Box drainase tersumbat.

Lantai 1 Hasil observasi: 1.

Lantai 2

Cat eksterior keropos / mengelupas, dilapis akrilik

Hasil observasi : 1.

Cat eksterior keropos / mengelupas, dilapis akri-

2.

Struktur bata baik

3.

Ditemukan lumut pada dinding bata

2.

Struktur bata baik

4.

Penggantian lantai keramik lama di area en-

3.

Ditemukan lumut pada dinding bata

trance/lobby

4.

Kerusakan lantai mozaik

Penggantian material lapisan anak tangga dari

5.

Penggantian material lapisan anak tangga dari

5.

lik

marmer utuh menjadi potongan

marmer utuh menjadi potongan

6.

Area lubang angin ditutup, dipasang exhaust

6.

7.

Vandalisme di dinding eksterior,

7.

Lift asli tidak difungsikan

8.

Pemasangan pipa PVC tambahan di lubang an-

8.

Pelapisan berulang pada setiap railing sehingga

gin, 9.

Pemasangan box AC di dinding eksterior

10. Peninggian permukaan lantai dan penutupan sebagian bukaan bangunan (area pintu dengan dinding setengah tembok) 11. Permukaan drainase lingkungan berada di atas level sump-pit

Area lubang angin ditutup, dipasang exhaust

tidak diketahui material aslinya 9.

Pada area lobby dan koridor plafond diganti dengan gypsum dan pada area lobby sebagian pintu ditutup gypsum

10. Pada area Hall, difungsikan sebagai lapangan futsal dengan kondisi lantai teraso sebagian terlepas dan terdapat retakan memanjang sepan Studi Kasus – 103


GEDUNG BANK MANDIRI

Caption You could save your drawings to EPS or PDF and Place them in Indesign,

Posisi Gedung Mandiri dilihat dari foto udara menggunakan google map

Hasil observasi :

jang struktur balok bangunan 11. Plafond kayu pada hall keropos dan lapisan

1.

baja

catnya mengelupas 12. Dinding pada area Hall lembab dan ada bagian

2.

Terjadi pelapukan pada beberapa bagian kudakuda namun tidak mempengaruhi kekuatan

yang ditumbuhi tanaman dari gedung sebelah.

struktur atap karena diperkuat dengan sling baja

13. Hasil tes lakmus menunjukkan kadar keasaman pH 6

Sebagian kuda-kuda kayu telah diberi perkuatan

3.

Rekonstruksi atap dengan penambahan perkuatan struktur baja dan sling baja diperkirakan dilakukan pada periode 1960-an, setelah ke-

Lantai 3

merdekaan RI

Hasil observasi : 1.

Lantai area arsip masih asli

4.

Terjadi kebocoran di atap disebabkan:

2.

Lantai area lobby yang berupa mozaik sudah

-

Genteng lapuk

pecah-pecah dan berlubang

-

Sistem talang drainase di atap bocor

3.

Beberapa bagian lantai anak tangga telah diganti dengan marmer potongan

4.

Kondisi struktur dinding bata baik tanpa ada retak

5.

Plafon pada ruang arsip telah diganti dengan

ANALISA HASIL DOKUMENTASI AWAL 1.

Peninggian lantai 1 dilakukan karena terjadi

backwater akibat rob serta ancaman banjir 2.

Terjadi penurunan struktur yang belum

modul panel dan dilengkapi dry sprinkler

diketahui penyebabnya yang tampak pada retak ram-

6.

Ditemukan tangga tambahan menuju keatap

but di kolom lantai 2 yang melintang dan menerus

7.

Kusen pintu dan jendela secara visual tampak

bangunan

utuh 8. 9.

3.

Sejarah

perawatan

bangunan

dalam

Terdapat penggantian material lantai pada ruang

perkiraan masih perlu dipelajari lebih lanjut, namun

servis di belakang ruang arsip

dapat diketahui telah terjadi renovasi pada periode ta-

Kerusakan pada plafon dan atap ruang servis

hun 1960-an oleh Bank Dagang Negara

10. Lantai ruang arsip merupakan dak beton yang

4.

Kondisi struktur dinding bata masih baik,

dicor pada tahun 1960-an dan merupakan area

dimana kerusakan lumut maupun pelapukan terjadi

tambahan

pada bagian spesi dan bukan pelapukan bata, serta tidak ditemukan retak dinding kecuali karena ditum-

Area Atap/Loteng

104 – Studi Kasus

buhi akar tanaman dan bagian yang mengalami penu-


GEDUNG BANK MANDIRI

Sketsa denah dan pemetaan kerusakan yang terjadi pada Gedung Mandiri

runan 5.

Rehabilitasi bangunan yang dilakukan oleh

owner secara umum telah mempertimbangkan kaidah pelestarian dengan berupaya untuk tidak merubah struktur bangunan dan memberikan penanda pada bagian yang dirubah. 6.

Belum diketahui dampak penambahan dak

beton terhadap keseluruhan struktur bangunan III.

REKOMENDASI DAUR GUNA

Mengingat bangunan saat ini masih aktif digunakan serta kondisi struktur bangunan bata yang cukup baik pada bagian yang dilakukan observasi, maka pemanfaatan di kemudian hari untuk kantor Bank Mandiri sebagaimana pemanfaatannya saat ini masih dapat dilanjutkan. Namun demikian pemanfaatan kembali perlu memperhitungkan prioritas bagian bangunan yang akan direstorasi dan bagian bangunan yang akan dimanfaatkan secara maksimal serta analisis dan dokumentasi bangunan yang mengalami kerusakan secara lebih mendetil, khususnya yang terpengaruh akibat sejarah perawatan bangunan gedung yang belum terlacak dokumentasinya.

Denah Atap dengan posisi kuda-kuda yang sudah diganti

Studi Kasus – 105


Today the plaster on the walls of the reduit in Gombong has the wrong colour. Red plaster was common in British colonial buildings and not in the Dutch East Indies.

106 – Studi Kasus


Studi Kasus Fort van der Wijk

Studi Kasus – 107


BUILDING AS FORT ON JAVA

This treatment of stone is common for Dutch buildings

Hans Bonke

Buildings as Fort on Java In 1830 governor General Van den Bosch (1830-1833) made a plan to defend Java against an invasion of a European enemy. The enemy will land near one of the three big cites on the north coast. Forts in Batavia, Semarang and Surabaya should delay their attack. The Dutch colonial army takes position behind defenses along the river Tuntang and the fort in Ambarawa in Central Java. From there it will launch a counter attack against the invaders. Forts in Bandung, Ngawi and Gombong and Melirip must prevented pincer movement of the enemy to attack the Dutch forces in the back1. It was the start of the biggest building project ever undertaken by the Dutch on Java.

C

olonel (later general) Van de Wijck was in

I (1815-1840) and the minister of Colonies. In August

charge of the military engineers of the colo-

1837 he was back with the royal approval and appoint-

nial army. He was responsible for the design

ments about the financing of the project

of eight big forts, three defense lines and ten batteries

During the absence of Van der Wijck his officers

(table 1). According to the planning the realization of

had prepared the mega project. They were confronted

the whole defense project would take circa 20 years. In

with many more problems than with the usual small

December 1834 Van der Wijck departed to the Neth-

scale building projects of the colonial government.

erlands to discuss the defense plan with king Willem

This article gives a general impression of some of

In 1838 the construction of the maritime position Onrust, with tower forts and batteries on the islands Onrust, Kelor, Bidadari and Cipir was added to the original defense plan.

108 – Studi Kasus


BUILDING AS FORT ON JAVA

these problems and solutions during the building of the forts.

The coolies were Javanese peasants who had to work several months a year for the government. They got some money and food for their work but could

HOW TO BECOME THE OWNER OF THE LAND?

only be used for crude work like digging or transport of building materials. During the plant- and harvest

The building of a fort could only start if the gov-

time these men went back to their villages. A test in

ernment owned the land. This was no problem in Am-

Surabaya proofed that if coolies were paid a regular

barawa, Gombong and Ngawi were the building site

wage they were more motivated, worked harder and

was uninhabited marsh or rice field. The situation in

stayed the whole year on the job. The result was that

the three coastal cities was different. In Semarang a

theconstruction work was cheaper! This was thebegin

deal was made between the owners of land and build-

of a general change to pay workers for government

ings to sell their property to the government. In Bata-

work.

via the citadel was built inside the military camp in

The biggest problem was the lack of experienced

Weltevreden, but the construction of the defense line

native craftsman like bricklayers, carpenter, smiths

Van den Bosch around this area was only possible after

and stonemasons. The citadel in Batavia was built by

demolishing houses of the European population. The

Chinese craftsman. They were experienced artisans,

owners started lawsuits against the government to get

worked hard but were expensive. The Dutch believed

a high compensation for the loss of their real estate.

that Javanese were less qualified than the Chinese, but

The total costs were so high that the defense line was never finished. The biggest problem was the acquisition of land for the defenses of Surabaya, where complete kampongs and the oldest mosque of the city were demolished to make space for the fortifications. The native population was forced to leave the city and move to a location outside the defenses. The government paid some compensation but that was not enough to cover the costs. CONSTRUCTION WORKERS In the past the supply of building materials and construction work for the government was always done by contractors. This time there was too much work and not enough people. This started already with the management. A captain of the military engineers was in charge of the building site of a fort. He was assisted by (non-) commissioned officers for technical support and administration and a company of the engineering corps. They were experienced craftsman, but now there were too many projects at the same time. In the Netherlands architects and craftsman were recruited on very good conditions for temporary work on Java. They got an honorary military rank and uniform but remained civilians and didn’t become regular members of the army.

The biggest problem was the acquisition of land for the defenses of Surabaya, where complete kampongs and the oldest mosque of the city were demolished to make space for the fortifications there were exceptions. The Javanese carpenters were as good as the Dutch or Chinese but they worked slower. The forts were built of brick but there were no bricklayers. The people on Java lived in wooden of bamboo houses and had no tradition of building in brick. In 1837 a Dutch bricklayer of the citadel in Surabaya started training on the spot. He gave a group of Javanese foreman every morning one hour theory and practical training. Every foreman used the rest of the day to train 20 men. The training started with the crude brickwork of the foundations of the fort. When the Javanese reached the more complicated parts of the building they had enough experience to make good quality masonry. This example was followed on the other building sites. A special group of workers were criminals who were convicted to several years forced labor for the

Studi Kasus – 109


BUILDING AS FORT ON JAVA

Table 1 The Forts of the defense system Van den Bosch LOCATION

FORT

BUILD

Ambarawa

Tuntang defense line

not built

Ambarawa

Fort Willem I

1836-1848

Batavia

Citadel Prins Frederik

1837-844

Batavia

Defense line Van den Bosch

1840- never finished

Batavia

Coastal batteries

1840-1845

Bandung

Fort Generaal van der Wijck

not built

Gombong

Fort Cochius (today Van Der Wijck)

1842-construction stopped 1848

Melirip

Fort Generaal De Kock

not built

Ngawi

Fort Generaal van den Bosch

1839-1845

Onrust

Six Martello towers, 5 batteries

1851-1860 (1 tower not finished)

Semarang

Citadel Prins van Oranje

1835-1848

Semarang

Batteries

1840-1850

Surabaya

Citadel Prins Hendrik

1837-1848

Surabaya

Defense line around the city

1837 -never finished

government. They were used for all kind of heavy

BUILDING MATERIALS

work. There were several jobs which were not very

Industrial production of building materials was

popular by free Javanese and it was not possible to find

something of the future. In most cases the builder

volunteers. Convicts were trained to become stonema-

bought raw materials and prepared these on the spot.

sons, smiths or workers in the brick factory. They got

E.g. paint could not be bought in tins ready for use.

some pocket money to buy tobacco or other things.

The painter bought oils and pigments and mixed the

Infantry guarded the building sites. The soldiers

ingredients before use.

were also used as unskilled laborers for work like dig-

Most materials came from Java. Before 1835

ging the moats. They got some extra money to do this

wood, coral, bamboo or firewood for kitchen en kilns

kind of extra work.

were always bought from contractors who delivered it at the building site. After the start of the megaproject

TEMPORARY CAMP

the demand rose and the prices became higher and

During the building of the forts, which took five or

higher. The government decided to reduce the costs

more years, several thousand people lived at the build-

by doing as much as possible themselves. Government

ing site. Before the work started a temporary camp

coolies dug sand, gravel, cut trees and transported eve-

with houses and work sheds was built. In Ambaraba

rything to the government plant at the building site.

this was a village with 4500 inhabitants. There 17

A small part of the buildings materials and techni-

wooden houses for officers; several barracks for the

cal equipment came from the Netherlands. The Min-

soldiers and forced laborers, bamboo sheds for the

istry of Colonies bought special technical equipment

coolies, an open wooden shed for the carpenters, a

like drills for making water wells or iron and shipped it

smithy with four fires and storage for iron and coal, a

with the Nederlandsche Handel Maatschappij to Java.

brick factory with three kilns, a shed for the stonema-

It also happened that a private merchant bought the

sons, a water mill for sawing wood and making cement

goods in the Netherlands and sold it in Batavia to the

and several warehouses for the storage of equipment

government. This happened with the brick before the

and building materials. Every day the kitchen of the

production on Java. The average voyage by sailing ship

camp prepared food for 5000 people,

from Holland to Batavia was 130 days.

110 – Studi Kasus


BUILDING AS FORT ON JAVA

The forts were built long before the construction

Wood Teak was the common wood for every part

of the first railroad on Java. All the people, equipment,

of the building. Contractors cut the teak trees, brought

food and building materials were transported by boat

these to the building sites and sold the logs to the gov-

(if possible), ox card, pack horse or human porters. In

ernment. After 1840 their prices became too high and

the wet monsoon the roads were too bad to use and the

there were problems with the transport. The govern-

transport came to a halt.

ment decided to use their own lumberjacks to fell the trees and transport the logs. The logs were sawn in a

A SELECTION OF BUILDING MATERIALS

water powered saw mill. The work of the Javanese car-

Bricks All the forts were built of bricks. This

penters was not different from that of their European

caused a mayor problem, because there was almost no

colleagues.

experience in making bricks. Clay was excavated in the area and transported to the kilns, which were built

“Sierap” or teak shingles were used as roof cover for temporary buildings.

close to the site of the fort. Here the clay was cleaned, mixed with sand, shaped in molds, dried and the bricks fired. The first result was disappointing because the

THE CONSTRUCTION FROM THE FOUNDATION TO THE ROOF

bricks were too soft or burned. This didn’t stop the

A fort with its heavy walls and thick layers of earth

construction work because bricks from Holland were

was a very heavy construction. The choice of the foun-

exported to Java. It also happened that “double sized”

dation was based on experience because there was still

foundations and walls were built with the soft the Java

no scientific possibility to calculate the strength of the

bricks. Both solutions were expensive, but after two

soil. The most common was a foundation of wooden

years of trial and error the first good bricks and floor

piles, which were rammed in the soil till they reached

tiles were made. The factory in Ambarawa produced

the hard layer. This was done by a group of 40 man

every campaign (7 months) 2.000.000 bricks.

who pulled the 400 or 600 kilo heavy iron ram to the

Floor tiles The factory also made square floor

top of the piling frame, let it drop of the top of the pile,

tiles of a mixture of five parts white earth, three parts

pulled the ram up, dropped it and continued till the

red earth and two parts sand.

pile reached the hard layer. In the citadel of Surabaya

Lime The lime was made of coral or limestone.

15000 piles of 10 meter long were used. Over the piles

Grinded bricks were burned to make cement. The

came raster of teak beams and a wooden foundation

composition of the mortar depended on the situation.

floor.

The most common mixture was two parts lime with

The fort in Ambarawa was built in the middle of

three parts sand. For work under water two part lime

the big marsh Rawa Pening. The hard bottom of the

and thee parts cement was used.

marsh was too deep to use a foundation of piles. For

Stone Stairs, thresholds, keystones and corner-

the foundation of the buildings a trench was dug and

stoneswere made of stone. The stones didn’t come

a floor of stones lied on the bottom of the pit. On this

from a quarry but were big boulders from rivers.

floor a raster of teak beams and a floor were laid. On

Stonemasons – often forced laborers – cut the stones

the floor came a very a heavy load of bricks, which

in the shape and made the decorations. (picture 1)

was heavy enough to compress the soft soil under the

Bamboo, alang alang and atap Bamboo, alang alang and atap were bought from the local population.

floor. After several months the soil was stable enough to start with the construction of the foundation.

Bamboo was used for thousand and one things, like the sheds for the coolies, the scaffolds for the bricklayers

The top of the foundation floor was three meter

and roofs. Alang alang and atap for the use of tempo-

below the surface. The bricklayers used a mortar of

rary and smaller buildings.

four parts lime, three parts cement and three parts sand

According to description from 1930 these walls were white with a black plinth.

Studi Kasus – 111


BUILDING AS FORT ON JAVA

The bricks in the walls of the Martello tower on Pulau Bidadari are in crossbond.

to make the foundation walls. The foundation was

square in the fort, which provided good drinking water

invisible and the brickwork could be rather crude. That

for the soldiers. The carpenters made the plank beds

changed above the surface. Here the bricks were laid in

for the soldiers and the other wooden furniture for the

the so called “kruisverband” or cross bond. (Figure 2

barracks, storerooms and stables. Then the soldiers

and 3). The mortar was two parts lime with three parts

moved into the fort.

sand. The sun was very hot and it was necessary to

The last part of the construction was to put the

keep the masonry wet to prevent that dried too fast and

earth against the walls, dig the moats around the fort

did not glue. After three or four weeks the walls were

and make the glacis (open slope extending from the

strong enough to continue with the higher levels of the

ditch giving a clear field of fire). This work was done

building (figure 4)

carefully and took much time to prevent the movement

Wooden beams were laid and with iron anchors

of the soil.

connected with the walls. (Figure 3). All the wooden floors in the fort were covered with floor tiles. The living rooms got a ceiling of plastered bamboo.

STOP BUILDING FORTS! King Willem I, who had been a firm supporter

The main buildings had a flat roof made wooden

of the construction of the forts on Java, abdicated in

beams with small brick vaults, covered with plaster

1840. His successor king Willem II (1840-1849) had

and floor tiles. Special attentions were paid to the re-

his doubts about the use of the forts and especially the

moval of the rain water with lead rain pipes.

huge amount of money needed for their construction.

The walls were plastered with a mixture of four

He sent general Von Gagern on an inspection tour

parts lime and three parts sand. According to the old-

to Java (1844-1847). The general decided that build-

est description the outside of the main buildings were

ing forts was wasting money. It was better to have a

covered with a light brown yellow plaster of three parts

stronger field army, which could also be used outside

lime, one part yellow earth and eight parts water2.

Java. The reduit tower of the fort in Gombong was still

The walls of smaller building and the walls inside the

under construction. Von Gagern gave permission to

buildings were plastered white, which was a mixture

finish the building but ordered to cancel that the con-

of four parts lime and three parts sand. (pictures 5

struction of the other buildings and the earthen walls.

and 6) The wooden doors and windows were painted

The work on the defense line Van den Bosch in Bata-

green.

via and the wall around Surabaya was stopped. The

An artesian well was drilled in the middle of the

112 – Studi Kasus

forts in Bandung and Melirip were never built.


BUILDING AS FORT ON JAVA

Iron anchors connect the wooden beams of the floor with the wall. (Willem I, Ambarawa)

Studi Kasus – 113


STUDI KASUS KELOMPOK 1 // BENTENG VAN DER WIJK

Studi Kasus Kelompok 1 Ashdianna Rahmatasari Bayu Dwi Rahmatyo Dian PrasetyaAwati Ephraem Widjojo Sianturi Rusdiyanto Ahmad

yaitu sebagai hotel dan wisata taman bermain sebagai upaya dari pihak pengelola saat ini untuk menjaga bangunan cagar budaya namun tetap bermanfaat secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Namun kurangnya pengetahuan pengelola mengenai kaidah

A.

LATAR BELAKANG

konservasi terlihat dari beberapa hal seperti menjadi-

Penelitian konservasi bangunan cagar budaya

kan kereta wisata diatas atap gedung benteng, tanpa

penting dilakukan untuk memperoleh data rekaman

melakukan upaya penelitian terlebih dahulu mengenai

fakta sejarah atau kajian daya dukungan bangunan ter-

kekuatan struktur benteng dan daya tahan menerima

hadap lingkungan baru pada saat ini. Hal tersebut di-

beban aktivitas tersebut. Maka observasi yang dilaku-

karenakan sudah banyak bangunan cagar budaya yang

kan saat ini melalui metoda quick scan dapat berman-

di refungsi dengan penggunaan yang tidak ramah ter-

faat untuk penelitian lebih lanjut dan merekam jejak

hadap bangunan cagar sebagai.

upaya konservasi di Benteng Van Der Wijck.

Salah satu bangunan cagar budaya adalah Benteng

B.

HASIL OBSERVASI

Van Der Wijck yang terletak di desa Sidayu, Kecama-

Dengan luas mencapai 3606 m2 dan tinggi 9,67

tan Gombong, dibangun tahun 1818 dengan ciri khas

m, warna merah yang mendominasi menjadikan

khusus adalah berbentuk segi delapan dengan dinggi

benteng ini tampak mencolok dibanding bangunan-

10 meter, luas 7.168 m2, tebal dinding 1,40 m, tebal

bangunan kuno di sekelilingnya. Benteng ini memi-

lantai 1,10 m, dan mempunyai dua lantai (Sumber :

liki 16 barak dengan ukuran 7,5 x 11 m2. Material

Brosur PT. Indo Power MS)

lantai bervariasi diantaranya menggunakan tegel dan

Jika menilik penggunaan Benteng VDW saat ini

114 – Studi Kasus

sebagian dengan coran. Pada sebagian besar dinding


STUDI KASUS KELOMPOK 1 // BENTENG VAN DER WIJK

Iron anchors connect the wooden beams of the floor with the wall. (Willem I, Ambarawa)

Iron anchors connect the wooden beams of the floor with the wall. (Willem I, Ambarawa)

Iron anchors connect the wooden beams of the floor with the wall. (Willem I, Ambarawa)

khususnya pada titik sejajar dengan pipa talang air

penataan kembali bangunan tersebut tidak mengikuti

dari atap mengalami kelembaban yang sangat tinggi

kaidah konservasi yang sesuai. Karena sudah di ga-

sehingga ditumbuhi jamur dan lumut, disekitar kuzen

bung dengan unsur-unsur yang modern lainnya. Sep-

pintu terjadi keretakan dan pengelupasan plesteran.

erti digabung dengan unsur yang tidak semestinya

Pintu dan jendela sebagian besar sudah tidak ada dan

berada pada kawasan bersejarah. Mengenai faKtor

sebagian masih terpasang dengan kondisi pada bagian

degradasi yang ada pada bangunan tua benteng Van

bawah dan samping sudah mengalami pelapukan pada

Der Wijck udah banyak yang ditumbuhi lumut dan

kuzen dan daun pintu. Pada beberapa ruangan yang

hal-hal yang ada pada atap, tangga dan bagian dind-

dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan dilakukan

ing.

plester ulang dengan menggunakan plesteran semen

C.

yang dibuat motif garis bata dan pada dinding atau-

BAIKAN

pun plafon dikerok untuk pemasangan pipa instalasi

a. b.

Mulai menyeleksi beban yang masuk ke dalam bangunan [ berkaitan dengan aktivitas di lan-

yang mengitari benteng lantai 3.

tai 2 dan 3

Sisi yang di observasi adalah dari bagian entrance sampai ke sisi kiri bangunan benteng van der

Memperkuat struktur bangunan dengan memperhatikan kaidah konservasi

listrik. Bagian atas benteng digunakan sebagai lokasi permainan kereta untuk pengunjung objek wisata

REKOMENDASI KONSERVASI /PER-

c.

Telah terjadi pemugaran tahun 1998-2000 [ in-

wijck. Bisa di lihat pada denah tampak atas dari ben-

ventarisasi intervensi yang sudah dilakukan [

teng van der wijck pada gambar di bawah ini.

sebagai bagian analisis kerusakan yang terjadi akibat “ konservasi yang kurang tepat/salah�

Pada benteng Van Der Wijck ini sebagian dari bagian bangunannya sudah mengalami konservasi dan sudah ada bagian yang diperbaharui. Tetapi proses

d.

Pemanfaatan kembali [ disarankan museum [lebih ramah terhadap bangunan cagar budaya

Studi Kasus – 115


STUDI KASUS KELOMPOK 2 // BENTENG VAN DER WIJK

Foto Kelompok 2 saat melakukan observasi di Benteng van der Wijk

Studi Kasus Kelompok 2 Ambarita Ulvah Kayato Hardani Erman Tezza Nur Ghina R. Bayu Dwi R. Thanti Felisiani I.

SEJARAH

BENTENG

VAN

DER

WIJCK Benteng Van der Wijck adalah salah satu bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang berada di

rah Bagelen (salah wilayah karesidenan Kedu), Van der Wijck merupakan perwira militer dengan karir cemerlang karena konon mampu memenangkan berbagai peperangan di Indonesia.

Kompleks Secata (Sekolah Calon Tamtama A) Gom-

Ada beberapa pendapat mengenai tahun pemban-

bong beralamat di Jalan Sapta Marga Gombong, Ka-

gunan Benteng Van der Wijck. Diperkirakan benteng

bupaten Kebumen, Jawa Tengah. Benteng ini diguna-

tersebut dibangun pada masa Perang Diponegoro

kan sebagai benteng pertahanan Hindia-Belanda yang

(1825-1830) dengan mengerahkan tenaga rakyat se-

dibangun sekitar abad ke 18, Nama Van Der Wijck

cara paksa. Belanda menciptakan politik Benteng

sendiri berasal dari nama komandan pada saat itu

Stelsel, yaitu mendirikan benteng-benteng pertahanan

yang karirnya cukup cemerlang dalam membungkam

di setiap daerah yang berhasil dikuasainya untuk

perlawanan rakyat Aceh. Pada awal didirikan, benteng

mempersempit wilayah gerak Pasukan Diponegoro.

ini diberi nama Fort Cochius (Benteng Cochius) dari

Tidak ada catatan pasti dalam sejarah kapan dimu-

nama salah seorang Jenderal Belanda Frans David

lainya pembangunan benteng tersebut, namun ada

Cochius (1787-1876) yang pernah ditugaskan di dae-

yang memperkirakan tahun 1827. Pada sumber lain

116 – Studi Kasus


STUDI KASUS KELOMPOK 2 // BENTENG VAN DER WIJK

Sketsa tampak Benteng van der Wijk

dikatakan bahwa benteng dibangun pada tahun 1844,

obyek wisata sejarah sekaligus taman rekreasi anak di

sementara sebelum tahun 1844 bangunan tersebut

kota Gombong.

merupakan bangunan kantor kongsi dagang VOC di Gombong. Sementara itu, pengunjung mempercayai

II.

DESKRIPSI BANGUNAN BENTENG

VAN DER WIJCK

catatan pada fasade di pintu masuk utama Benteng

Bangunan ini berbentuk segi delapan dengan

Van der Wijck yang mencantumkan kalimat bahwa

tinggi 10 m, luas 7.168 m2, tebal dinding 1,4 m,

benteng tersebut dibangun pada tahun 1818.

tebal lantai 1,1m dan mempunyai dua lantai. Lantai

Pada masa pendudukan Jepang, Kompleks Ben-

pertama memiliki empat pintu gerbang, 16 ruangan

teng van Der Wijck dijadikan sebagai tempat untuk

besar dengan ukuran 18 m x 6,5 m, 27 ruangan ke-

melatih anggota PETA (Pembela Tanah Air). Para ang-

cil dengan berbagai macam ukuran, 72 jendela, 63

gota PETA diasramakan di barak-barak di depan ben-

pintu baik pintu penghubung antar ruangan maupun

teng, sementara benteng dijadikan pusat penyimpanan

pintu keluar benteng, 8 anak tangga ke lantai dua dan

bahan makanan dan senjata-senjata Jepang.

2 tangga darurat. Sedangkan lantai kedua memiliki

Sejak tahun 1984, Kompleks Benteng ditempati

70 pintu penghubung, 84 jendela, 16 ruangan besar

oleh TNI AD yang bertugas di Secata A sampai bulan

dengan ukuran 18 m x 6,5 m, 25 ruangan kecil den-

Oktober 2000. Selanjutnya melalui kerja sama antara

gan berbagai macam ukuran dan 4 anak tangga yang

pihak Secata dan PT. Indo Power MS selaku inves-

menghubungkan ke bagian atap benteng. Atap ben-

tor memugar benteng pada kurun waktu 1998-2000

teng terbuat dari batu bata merah berukuran 3 m x 3

dan mengembangkan Benteng Van der Wijck sebagai

m x 1,5 m.

Bangunan Benteng van der Wijck terdiri atas susunan bata dengan struktur dinding pemikul yang juga terbuat dari bata. Spesifikasi batu bata yang digunakan pada bangunan benteng ini memiliki dimensi tinggi 6 cm lebar 13 cm x panjang 25 cm. Susunannya sebagai berikut:

Studi Kasus – 117


STUDI KASUS KELOMPOK 2 // BENTENG VAN DER WIJK

Pelapis dinding menggunakan plester baru dan banyak tambahan di bagian luar maupun dalam bangunan.

Lantai eksterior bagian luar berupa bata merah yang disusun. Sedangkan bagian dalam lantai 1 tegel 30 x 30 cm, lantai 2 ubin merah (asli) yang kemudian diplester dan ditutup dengan tegel abu-abu.

Bagian benteng yang diobservasi kelompok kami berada di sisi timur laut:

118 – Studi Kasus


STUDI KASUS KELOMPOK 2 // BENTENG VAN DER WIJK

III.

HASIL OBSERVASI LAPANGAN

ANALISIS KERUSAKAN CEROBONG PENGHAWAAN Atap bangunan

lupas diakibatkan oleh kelembaban dan perubahan

Beberapa cerobong sudah roboh dan di tutup dengan

cuaca

plester untuk mencegah masuknya air hujan

KOMPONEN KAYU (kusen) yang mengalami ke-

DINDING LUAR BANGUNAN Secara umum pada

lapukan

sisi luar disebabkan oleh pengecatan pada dinding

PENGGARAMAN

bata ekspose sehingga kelembaban material menjadi

KERUSAKAN AKIBAT SERANGGA RAYAP

sangat tinggi, beberapa kerusakan yang dijumpai di

KERUSAKAN AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA Struktur Atap di potong Pemotongan struktur

sisi luar: Spesi antar bata yang lapuk/terlarut

atap dilakukan dengan sengaja dan diisi dengan pa-

Rembesan pada dinding bagian atas

sangan bata untuk di gunakan sebagai jalur kereta

Damp rising pada dinding bagian bawah

lori

Tumbuhan tingkat rendah yang tumbuh di dinding

Cat yang tidak breathable

(paku-pakuan dan lumut)

Penambahan komponen bangunan permanen

Bata lapuk

yang tidak memperhatikan aspek konservasi

PLESTERAN MENGELUPAS Plesteran menge-

Penggunaan unsur semen PC sebagai bahan penambal/pengganti bata yang aus/hilang

Tumbuhan Paku yang tumbuh di dinding membuat kerusakan pada bangunan

IV.

KESIMPULAN

ase) serta dari kapilarisasi air dalam tanah.

Sebagai bangunan cagar budaya, Benteng van der

Di dalam pemanfaatannya bangunan ini tidak

Wijck ketika dimanfaatkan untuk kepentingan masa

memperhatikan aspek kelestarian bangunan cagar bu-

kini ternyata tidak memiliki keterkaitan kontekstual

daya dengan tidak menciptakan buffer zone sehingga

sebagai sebuah tinggalan sejarah yang memberi nilai

obyek tidak terlindung dari kegiatan saat ini.

edukatif kepada masyarakat. Kerusakan bangunan di

Rekomendasi untuk bangunan ini adalah apabila

Benteng van der Wijck pada umumnya disebabkan

melakukan perbaikan pada bangunan harus mematuhi

oleh intrusi air baik dari atap (buruknya sistem drain-

kaidah konservasi bangunan cagar budaya.

Studi Kasus – 119


STUDI KASUS KELOMPOK 3 // BENTENG VAN DER WIJK

Tampak dalam bangunan van der Wijk

Studi Kasus Kelompok 3 Isfi Ervitasari Citra Sari Ayu, Ferdy Ardiansyah Sri Sugiharta

B

enteng Van Der Wijck didirikan oleh

sebagai tempat melatih tentara PETA, kemudian di-

pemerintah Belanda pada tahun 1818,

jadikan sebagai tempat latihan tentara Indonesia se-

hal ini dapat dilihat pada pintu masuk

masa KNIL, lalu pada orde baru digunakan oleh TNI

benteng sebelah kanan, sebelum kami melihat lang-

angkatan darat, sampai tahun 2000 pengelola men-

sung kondisi benteng tersebut, yang terlintas di pikiran

jadikan benteng sebagai suatu obyek wisata keluarga

kami adalah sebuah benteng megah yang kokoh dan

dengan memberikan fasilitas yang cukup lengkap sep-

sedikit berkesan arogan menggambarkan kekuasaan

erti penginapan, taman hiburan dan ruang pertemuan.

Belanda pada saat itu. Tapi apa yang kami lihat sung-

Bangunan benteng putih menjulang megah itu

guh diluar perkiraan, bangunan cantik itu jauh dari

berubah menjadi berwarna merah menyesuaikan ba-

kesan angker, tampaknya pengelola bangunan ingin

han dasar pembuatan benteng yang menggunakan

menampilkan konsep yang berbeda dari bangunan ca-

batu bata. Asrama tentara berubah fungsi menjadi

gar budaya pada kebanyakan.

penginapan tamu yang dilengkapi ruang pertemuan,

Pada zaman Belanda benteng tersebut digunakan

landscape dan atmosphire disulap menjadi aura ber-

sebagai benteng logistik dan Puppilen School atau

main, pemakaian warna-warna terang dan ceria serta

dikenal sebagai sekolah militer ketika terjadi perper-

tersedianya taman bermain anak-anak dan kereta

angan Diponegoro, setelah bergulirnya waktu, terjadi

wisata untuk mengitari benteng, dan yang paling

perubahan fungsi bangunan yang cukup signifikan,

menonjol dalam pelayanan yang diberikan oleh pen-

dalam perjalanan waktu benteng pernah difungsikan

gelola adalah mereka memanjakan pengunjung sesuai

120 – Studi Kasus


STUDI KASUS KELOMPOK 3 // BENTENG VAN DER WIJK

dengan permintaan, hal ini dapat dilihat dari penco-

Dari keseluruhan perjalanan yang telah kami tem-

potan air mancur dan pengisian air diatas genteng,

puh selama 7 hari, kami menilai pelestarian Benteng

tapi sangat disayangkan pemenuhan kebutuhan ini

merupakan yang terbaik, karena obyek wisata berseja-

memberikan andil yang cukup besar dalam pengeru-

rah ini disamping tetap memberikan perawatan demi

sakkan bangunan, hal ini dapat dilihat di pintu masuk

kelangsungan berdirinya benteng ini dengan segala

benteng, disebelah sisi atas ditemukan goresan yang

keterbatasan yang dimiliki, telah memberikan kon-

disebabkan oleh kendaraan yang lalu lalang untuk di-

stribusi kepada masyarakat berupa lapangan peker-

gunakan dalam mengangkut air dalam jumlah yang

jaan dan berdasarkan interview yang kami lakukan,

besar, dan memindahkan air mancur.

masyarakat Gombong sangat berterima kasih terhadap

Kurangnya pemahaman akan kaidah-kaidah yang

pengelola yang telah berkenan untuk memugar ban-

benar dalam pemugaran, menyebabkan bangunan

gunan tersebut, dimana bangunan tersebut telah lama

tersebut kehilangan keaslian, pemakaian bahan ban-

ditelantarkan tanpa ada keinginan pemerintah untuk

gunan yang tidak mengindahkan material asli, me-

ikut berperan dalam pemugaran dan melestarikan

nyebabkan terjadinya distorsi style, hal ini dapat dilihat

bangunan tersebut, karena terkadang pemerintah lupa

dari pemakaian ubin tegel yang menutupi bahan asli

memikirkan kelangsungan bangunan cagar budaya

ubin yang menggunakan terakota, sehingga perlunya

setelah melakukan pemugaran, karena akanlah sia-sia

pendampingan oleh tim ahli dalam proses pemugaran

bila pemugaran dilakukan tanpa adanya pemeliharaan

bangunan cagar budaya.

bangunan tersebut. Detail sebagian ubin di lantai II yang merupakan komponen tambahan (baru)

Studi Kasus – 121


STUDI KASUS KELOMPOK 4 // BENTENG VAN DER WIJK

Bagian atap Benteng van der Wijk dijadikan sebagai tempat rekreasi dengan adanya mainan kereta

Studi Kasus Kelompok 4 Yunarwan Dwi Syahputra Ephraem Widjojo Sianturi Aras Pamungkas Sri Wahyuni Wahyu Imam Santosa Wenny Kustianingrum

B

enteng Vander Wijck merupakan salah satu

gunan yang sangat signifikan, selain bentuk lengkung

bangunan peninggalan kolonial Belanda

(arc) pada bagian fasad dan struktur bangunan. Saat

yang dibangun pada tahun 1818. Bangunan

ini, seluruh muka bangunan dicat berwarna merah

dua lantai dengan bentuk segi delapan (oktagonal)

yang dimaksudkan memberi identitas tersendiri bagi

ini memiliki luas 3606,625 m² serta tinggi ¹ 10 m.

bangunan ini.

Benteng Vander Wijck merupakan aset milik TNI AD yang saat ini dikelola oleh PT Indo Power MS.

IDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN Material batu bata pada Benteng Vander Wijck

Keberadaan benteng ini seringkali dihubungkan

digunakan baik sebagai penutup maupun struktur

dengan Perang Diponegoro yang berlangsung pada

bangunan. Tebal dinding pada lantai 1 mencapai 1,6

tahun 1825-1830. Berdasarkan informasi pengelola

m sedangkan pada lantai kedua tebal dinding 1,4 m.

benteng, bangunan ini awalnya merupakan kantor

Dinding ini sekaligus juga menjadi struktur bangunan

dagang VOC Belanda sebelum akhirnya dijadikan

yang menopang beban hingga beban atap. Satu hal

sebagai benteng pertahanan pada masa perang Di-

yang disayangkan, cat yang digunakan untuk melapisi

ponegoro. Berdasarkan monumen yang ada di bagian

seluruh fasad bangunan ini adalah cat berbahan dasar

depan benteng, bangunan ini pernah dipugar pada ta-

acrylic yang menyebabkan material bata sebagai pe-

hun 2000 oleh TNI AD.

nyusun bangunan ini tidak bernafas.

Penggunaan material bata pada hampir seluruh

Indikasi awal permasalahan atau kerusakan ban-

bagian bangunan merupakan salah satu ciri fisik ban-

gunan Benteng Vander Wijck terlihat pada kerusakan

122 – Studi Kasus


STUDI KASUS KELOMPOK 4 // BENTENG VAN DER WIJK

cat di sekitar daerah pipa-pipa saluran air yang terda-

gian atap. Hal ini secara tidak langsung menghalangi

pat pada fasad luar bagian dalam benteng. Kerusakan

skenario pergerakan aliran air ke bawah. Gambar di samping menunjukkan spesi bata

cat di sisi-sisi pipa saluran air benteng ini bersifat tipikal, yaitu hampir di seluruh fasad bangunan dengan

pada atap sudah aus/ hilang. Kondisi ini memungkin-

pola serupa. ]INDIKASI KERUSAKAN SALURAN

kan air masuk dan meresap ke dalam bangunan dan

AIR

menjadi salah satu faktor kelembaban.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapa-

Selain celah pada spesi, terdapat pola (pattern)

ngan, kerusakan berupa pengelupasan cat yang berada

pada bata yang jika dibandingkan dengan kondisi

di sekitar pipa saluran air ini disebabkan oleh rembe-

sekitarnya ditujukan untuk mengikat atau menjadi

san air pada pipa saluran air yang seharusnya mengal-

dasar lapisan plester yang menutupi sebagaian atap

irkan air dari atap banguanan ke tanah.

(gambar bawah).

Rembesan air dari pipa saluran juga menyebab-

Hal ini menunjukkan permasalahan rembesan air

kan kerusakan pada dinding bagian dalam bangunan.

dari atap sudah terjadi cukup lama dan melapisi atap

Rembesan air serta kondisi udara/ ruangan yang lem-

dengan plester menjadi salah satu upaya menghambat

bab menyebabkan tumbuhnya vegetasi (lumut) pada

rembesan air di masa lalu. Disamping kondisi material dan spesi pada atap

dinding bagian dalam di sekitar pipa saluran air. Pada lantai 2 bangunan vegetasi (lumut) yang

yang mengalami degradasi, terdapat beberapa peruba-

tumbuh membentuk pola tumbuh di area spesi bata,

han yang diduga dilakukan oleh pengguna bangunan

bukan pada area batu batanya. Hal ini menunjukan sp-

terdahulu yang turut mengakibatkan kerusakan pada

esi bata lebih lembab dan berrongga, sehingga udara

bangunan.

serta air meresap melalui material atau bagian ini.

Sebagian ‘cerobong asap’ pada atap bangunan

Dengan kata lain, material pada bangunan ‘bernafas’

ditutup dengan semen, sehingga menghasilkan efek

melalui bagian ini.

rembesan air.

Jenis serta lokasi kerusakan yang serupa (tipikal)

Kondisi atap sebagaimana disebutkan di atas du-

dengan area kerusakan yang sama pada lantai 1 dan

duga menjadi penyebab kebocoran atau rembesan air

2, menunjukkan terdapat penyebab (kerusakan) lain

dari atap, ditambah lagi dengan kerusakan pipa air di

yang mengakibatkan kerusakan terjadi pada lantai 1

dinding bangunan. Resapan air serta udara yang lem-

dan lantai 2.

bab memicu pertumbuhan vegetasi perusak (lumut)

Bagian atap bangunan ini dapat menjadi jawaban terhadap indikasi kerusakan atap yang ditemukan se-

yang pada akhirnya menyebabkan keruskaan pada bangunan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dapat

belumnya. Atap bangunan hexagonal ini berupa susunan

disimpulkan penyebab utama kerusakan bangunan

atap pelana yang sejajar di seluruh bagian bangaunan,

Benteng Vander Wijck adalah rembesan air, baik yang

ditambah dengan sebuah atap pelana yang memotong

terjadi pada atap maupun dinding bangunan, serta

tegak lurus pada sudut-sudut bangunan yang menjadi

kelembaban udara yang memicu pertumbuhan veg-

atap dari tangga/ akses menuju ke atap.

etasi perusak (lumut).

Kemiringan serta sudut-sudut yang ada pada atap menunjukkan air yang jatuh ke atap akan dialirkan ke

UPAYA PENYELESAIAN/ KONSERVASI 1.

Terhadap kerusakan yang pada bagian atap

lubang-lubang pembuangan yang terletak di sisi-sisi

Perlu dilakukan perbaikan untuk mencegah

bangunan, yang kemudian dihubungkan dengan salu-

rembesan air pada bagian atap dengan mem-

ran pembuangan air hingga ke dasar.

beri spesi baru pada celah-celah batu bata yang

Namun kondisi eksisting di lapangan saat ini,

mengalami degradasi dengan material yang se-

lubang-lubang pembuangan tersebut terhalang den-

rupa dengan material sebelumnya (dengan tidak

gan sampah maupun kolom beton tambahan yang

menggunakan semen), serta membersihkan

menjadi penopang bagian bangunan tambahan di ba-

selokan yang ada dari material sampah atau apa Studi Kasus – 123


STUDI KASUS KELOMPOK 4 // BENTENG VAN DER WIJK

pun yang menghalanginya (memperlancar jalan air).

bernafas. Setelah masalah rembesan air diatasi,

Dengan melihat kondisi lapangan dimana terda-

lapisan plester yang tidak sesuai perlu dilepas-

pat plester tambahan pada beberapa bagian atap

kan dan diganti dengan menggunakan material

yang mengindikasikan masalah rembesan air su-

asli sehingga dinding dapat bernafas. Setelah itu

dah terjadi sejak lama dan menggunakan plester

diberi perlakuan tambahan terhadap dinding un-

tambahan menjadi upaya mengatasi hal tersebut,

tuk menghindari tumbuhnya lumut (alami atau kimiawi).

perlu adanya pencegahan agar material yang ada pada atap tidak cepat mengalami kerusakan.

2.

Korosi pada besi dan paku

Alih-alih menggunakan coating langsung pada

Paku atau benda apapun yang terdapat pada ban-

material bata, penggunaan lapisan membran

gunan dapat memberikan petunjuk penggunaan

(tambahan) di hampir seluruh bagain atap dapat

bangunan atau ruang tersebut sebelumnya. Oleh

menjadi pertimbangan demi untuk memperta-

karena itu, ornamen-ornamen besi pada ban-

hankan kondisi material asli.

gunan yang mengalami korosi jangan langsung

Terhadap kerusakan pada bagian pipa saluran air

dibuang. Bisa dilakukan perawatan dengan men-

Di Sydney, untuk mengetahui letak kebocoran

cabut ornamen yang terkorosi kemudian dibersi-

yang terjadi pada saluran air dilakukan melalui

hkan (karatnya) serta diberi lapisan anti korosi,

pengetesan pengaliran air dengan zat pewarna

untuk kemudian dipasang kembali di tempat se-

yang dialirkan dari atas/atap. Dengan begitu

mula.

rembesan air yang berwarna dapat dilacak den-

REVITALISASI

gan lebih mudah. Hal ini dapat dicoba pada Benteng Vander Wijck apalagi saluran air pada 3.

4.

ATAU

PENGGUNAAN

KEMBALI BENTENG VANDER WIJCK Bentuk bangunan yang telah terbagi-bagi men-

badan bangunan terletak di bagian luar.

jadi ruang-ruang tersendiri ini memiliki potensi untuk

Kerusakan pada bagian dalam bangunan.

dijadikan sebagai galeri atau tempat pameran maupun

Kerusakan berupa lumut, pengelupasan cat,

outbond camp. Menjadikan tempat ini sebagai hotel

hingga lepasnya plester pada dinding disebabkan

atau pun sekolah juga memungkinkan, namun perlu

oleh perlakuan yang tidak sesuai pada dinding.

dipikirkan terkait kebutuhan akan air serta instalasi

Penggunaan plester dengan semen, tidak sama

listrik yang diperlukan mengingat sekolah atau pun

dengan material aslinya, penggunaan lapisan cat

hotel akan mendatangkan banyak kebutuhan baru ter-

yang berlapis-lapis bahkan dengan penggunaan

hadap pengguna yang datang.

cat acrylic membuat dinding (bata) tidak bisa

Sketsa potongan melintang Benteng van der Wijk

124 – Studi Kasus


STUDI KASUS KELOMPOK 4 // BENTENG VAN DER WIJK

Sketsa struktur atap Benteng van der Wijk

Studi Kasus – 125


Caption lorem ipsum dolor sit amet

126 – Studi Kasus


On Site Lecture di Situs Candi Trowulan

Studi Kasus – 127


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

Ismijono

Teknologi dan Struktur Bata di Trowulan Disampaikan dalam rangka Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Balai Konservasi Disparbud DKI Jakarta bekerja sama dengan IAI 15 September 2013 I.

PENDAHULUAN

Teknologi dan struktur bata di Trowulan dimaksudkan disini adalah bangunan cagar budaya atau

dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional.

bangunan candi yang terbuat dari bahan bata. Dari sekian banyak cagar budaya yang kita miliki salah

II.

satu diantaranya adalah candi bata peninggalan dari

Bangunan candi bahan bata adalah susunan bi-

zaman Hindu/Budha yang berkembang di Indonesia

naan yang terbuat dari benda buatan manusia untuk

pada sekitar abad ke 8-10. Peninggalan candi bata

memenuhi kebutuhan ruang berdinding atau tidak

ini umumnya ditemukan dalam sebuah kawasan jauh

berdinding dan beratap. Bata untuk candi ini dibuat

dari perkotaan, barupa kesatuan atau kelompok, atau

oleh manusia masa lalu menggunakan bahan dasar

bagian-bagiannya, atau sisi-sisanya, yang memi-

tanah liat dengan ukuran bata rata-rata lebih besar

liki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah

bila dibandingkan dengan bata sekarang. Bata un-

perkembangan manusia. Percandian dari bahan bata

tuk bangunan candi rata-rata berukuran 7 x 20 x 38

ini beberapa diantaranya ditemukan di :

Cm, sedangkan bata untuk bangunan sekarang rata-

TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA

1.

Situs Trowulan, Jawa Timur

rata berukuran 4 x 13 x 26 Cm. Bata candi ini terdiri

2.

Situs Batujaya, Jawa Barat

dari bata luar dan bata isian yang umumnya memiliki

3.

Situs Bumiayu, Sumatera selatan

bentuk empat persegi dengan kualitas relative sem-

4.

Situs Muara jambi, Jambi

purna. Tehnik pembangunan candi bata, satu demi

5.

Situs Padang Roco, Sumatera barat

satu bata disusun saling mengikat (tidak bareh) dan

6.

Situs Muara Takus, Riau

dipasang dengan sistem gosok (kosod) sampai rapat

7.

Situs Padang Lawas, Sumatera Utara

hingga membentuk sebuah bangunan sesuai dengan

Ketika ditemukan, candi bata sebagaimana dike-

desain yang di kehendaki. Susunan setiap bata luar

mukakan di atas pada umumnya sudah tidak berfungsi

atau bata kulit umumnya dipasang dengan pola susun

dalam kehidupan masyarakat (dead monument), se-

beraturan, pada setiap lapisan yang sama bata disu-

hingga keadaan nya sangat memprihatinkan atau su-

sun memanjang (strek) kemudian lapisan di atasnya

dah banyak yang rusak karena proses alam atau ak-

disusun melintang (kop) secara bergantian, sementara

tivitas manusia. Bangunan candi bahan bata ini pada

bata isian mengikuti susunan bata luar. Bangunan

hakekatnya merupakan warisan budaya (wujud pe-

candi bahan bata ini umumnya memiliki profil atau

mikiran dan perilaku) yang memiliki arti penting bagi

perbingkaian. Sebagian diantaranya mempunyai relief

pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu peng-

dan sebagian lainnya rata atau polos. Di samping itu

etahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilestarikan

terdapat pula berbagai elemen dekoratif seperti kala/

128 – Studi Kasus


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

makara, patung/arca, dan stupa/ratna yang merupakan

sakan ini telah menimbulkan permasalahan terkait

representasi arsitektur candi pada zaman Hindu/Bud-

dengan cara penanganan pemu garannya. Selain data

ha. Struktur pondasi candi bata umumnya menerapkan

untuk mendukung rekonsturksi candi sangat terbatas,

sistem pondasi langsung, yaitu susunan bata paling

juga diperlu kan cara penanganan yang tepat agar

bawah diletakkan di atas tanah dasar pada kedalamaan

tidak terjadi kesalahan dalam pemugarannya. Dari

tertentu yang diperkeras. Percandian bata sebagaima-

pengalaman pemugaran di tujuh propinsi permasala-

na dikemukakan ini dapat dikatagorikan sebagai ban-

han yang dihadapi umumnya terkait dengan bahan

gunan bata yang memiliki ciri spesifik, dalam hal

penyusun bangunan (kondisi bata). Dalam hal ini

ini berbeda dengan bangunan bata sekarang (masa

bata candi pada umumnya sudah banyak mengalami

kolonial). Perbedaan ini sangat jelas dilihat dari cara

proses degradasi karena faktor usia atau lingkungan.

pengerjaan dan ukuran bata yang digunakan. Struktur

Permasalahan yang lebih spesifik adalah ketika selu-

utama candi bata umumnya terbuat dari bata yang di-

ruh bata ternyata kondisinya sudah mengalami proses

pasang dengan sistem gosok dan tidak diplester seh-

pelapukan yang sangat intens (soiling proces) dan

ingga pola susun setiap lapis bata terlihat jelas dalam

tidak mungkin dipertahankan, maka upaya pemuga-

bentuk pasangan bata melintang (kop) atau membujur

ran seringkali dihadapkan pada sebuah polemik yaitu

(strek). Sementara bangunan bata sekarang pada um-

“dipugar rusak tidak dipugar juga rusak�. Di samping

umnya terbuat dari bata yang dipasang menggunakan

itu, ketika struktur candi bata kondisinya juga sudah

perekat dan ditutup plesteran.

tidak beraturan (berantakan) dengan kata lain bentuk dan pola susun bata sudah tidak dikenali sehingga

III.

PERMASALAHAN

tidak ada petunjuk untuk penanganan rekonstruksin-

Permasalahan utama berkenaan dengan upaya

ya. Persoalan lainnya adalah penanganan rekonstruksi

pelestarian candi bata khususnya yang dilakukan den-

pada bagian candi yang hilang sementara bentuk seu-

gan cara pemugaran adalah terjadinya kerusakan pada

tuhnya tidak memilki data, maka keadaan seperti ini

sebagian besar percandian karena proses alam atau

menimbulkan kesan bahwa pemugaran candi bata se-

aktivitas manusia. Berbagai kerusakan ini antara lain

lalu tidak tuntas. Dalam hal ini pemugaran candi bata

bangunan candi yang strukturnya miring, melesak,

seringkali hanya sampai sebatas bagian kaki bahkan

retak, pecah dan elemen yang hilang, serta terjadinya

terdapat pula yang hanya sebatas bagian pondasinya.

proses pelapukan yang mengakibatkan sebagian besar

Bicara masalah pemugaran candi bata, barangkali

bata candi keadaannya rapuh dan berlumut, bahkan

tidaklah bijak ketika hasil akhir dari sebuah upaya

ditemukan sebagian bata yang sudah mengalami pros-

pemugaran semata-mata hanya dinilai dari sudut pan-

es pelapukaan menjadi tanah (soiling proces). Selain

dang baik atau tidak, utuh atau tidak utuh, lengkap

itu, lahan di sekitar bangunan umumnya juga sudah

atau tidak lengkap. Dalam hal ini yang semestinya di-

banyak mengalami kerusakan seiring dengan pengem-

pahami adalah bagaimana pemugaran dilakukan den-

bangan dan pemanfaatan lahan untuk pembangunan

gan benar agar tidak menimbulkan salah interpertasi.

maupun pemukiman. Seperti diketahui bahwa candi

Seperti diketahui bahwa candi bata merupakan hasil

bata yang kita miliki pada umumnya berada di alam

kegiatan manusia masa lalu yang dalam hal ini meru-

terbuka pada suatu wilayah beriklim tropis dengan

pakan sumber daya budaya yang rapuh dan tidak ter-

kelembaban lingkungan dan curah hujan relatif tinggi.

baharukan (non-renewable). Oleh karena itu pekerjaan

Di samping itu terdapat pula beberapa diantaranya

pemugaran senantiasa harus dilakukan dengan hati-

yang berada di suatu wilayah yang ditengarai sebagai

hati agar tidak terjadi kesalahan. Kesalahan dalam

daerah rawan longsor atau rawan gempa serta berdeka-

memugar cagar budaya pada hakekatnya berpotensi

tan dengan permukiman. Dalam rentang waktu yang

menimbulkan salah interpertasi atau dapat diartikan

sangat panjang, keadaan seperti ini berpotensi men-

sebagai pemutar balikan sejarah (Soekmono, 1971).

imbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi

Dari aspek arkeologis, ketentuan-ketentuan normatif

kelestarian candi dan lingkungannya. Berbagai keru-

mengisyaratkan bahwa penggunaan bata baru untuk Studi Kasus – 129


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

mengganti bagian yang rusak atau hilang dapat di-

sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan

lakukan sejauh memiliki argumentasi yang dapat

cara kerja pemugaran sesuai norma-norma dan etika

dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini antara lain

pelestarian cagar budaya. Pemugaran candi bata pada

dengan cara analogi atau dengan berpedoman pada

dasarnya dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi

bagian bangunan yang mempunyai bentuk simetris.

fisik yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, ben-

Sementara dari aspek teknis, penggunaan bata baru

tuk, tata letak, dan teknik pengerjaan, dengan cara

harus dilakukan dengan memper timbangkan perlu

memperbaiki, memperkuat, dan mengawetkannya

dan tidaknya penggantian melalui kajian teknis dengan

untuk memperpanjang usianya. Tujuan utamanya ada-

tetap mengedepankan otentisitas bangunan. Kedua

lah terlaksananya pemugaran dengan sejauh mungkin

aspek tersebut sudah dipastikan merupakan standart

mencegah terjadinya “Perusakan Diri-sendiri� dan

operasional prosedur (SOP) dalam setiap pengambi-

“Perusakan akibat Kreasi Baru�. Cara kerja pelestarian

lan keputusan yang bersifat tehnis dan arekeologis.

mengisyaratkan bahwa keberadaan bangunan candi

Namun demikian hingga sejauh ini upaya penggu-

bata dalam keadaan seperti apa adanya adalah fakta

naan bata baru masih menyisakan berbagai persoalan

sejarah yang selayaknya diperlakukan secara propor-

terkait dengan perlu dan tidaknya penggatian dan se-

sional sesuai data yang ada. Parameter kinerja pemu-

jauh mana dapat dilakukan. Permasalahannya seka-

garan dalam hal ini tidak diukur dari sudut pandang

rang adalah batasan penyelesaian bagian candi yang

agar menjadikan bangunan candi terlihat lebih baik

tidak sepenuhnya dapat direkonstruksi yang hingga

atau tidak baik, terlihat indah atau tidak indah, terlihat

sekarang sering menimbulkan pro dan kontra. Dalam

utuh atau tidak utuh, tetapi lebih pada sudut pandang

penyelesaiannya seringkali muncul tuntutan diluar as-

bagaimana mendudukan persoalan pemugaran di-

pek teknis dan arkeologis, yaitu tuntutan estetika yang

lakukan secara benar agar tidak menimbulkan salah

seringkali mendorong pada berbagai penyelesaian pe-

interpertasi. Berdasarkan berbagai permasala han se-

mugaran yang sifatnya relatif bahkan cenderung sub-

bagaimana dikemukakan di atas dan dengan merujuk

yektif. Di satu sisi secara konsisten diselesaikan den-

pada ketentuan peundangan yang berlaku metode pe-

gan merujuk pada aspek arkeologis dan teknis, di sisi

mugaran bangunan candi bata secara garis besar dapat

lain lebih menekankan pada penyelesaian atas dasar

dijelaskan sebagai berikut.

pertimbangan estetika. Paradigma pelestarian cagar budaya, dalam perkembangannya telah membawa kita

TAHAPAN DAN PROSES PELAKSANAAN

pada penyelesaian yang seringkali bersifat win-win

PEMUGARAN

solution, dalam hal ini semata-mata tidak hanya di-

a.

Pemugaran bangunan candi bahan bata merupakan

maknai untuk kepentingan masa lalu tapi juga untuk

pekerjaan spesifik, dalam hal ini terkait dengan keg-

kepentingan masa kini maupun untuk masa yang akan

iatan pelestarian cagar budaya yang harus dapat diper

datang. Menyikapi hal ini sudah barang tentu diperlu-

tanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan admin-

kan sebuah pedoman yang tidak hanya mengakomo-

istratif. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus

dasi pada hal-hal yang bersifat teknis dan arkeologis

dilakukan melalui prosedur studi atau penilaian guna

tapi juga rambu-rambu yang bersifat estetis. Dengan

memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan. Studi

demikian tuntutan estetika ini diharapkan tidak lagi

atau penilaian sebagai mana dikemukakan ini meliputi

menjadi bola liar yang dapat mendorong pada upaya

studi kelayakan dan studi teknis sebagai pekerjaan pen-

pemugaran yang tidak proporsional.

dahuluan dalam rangka menyusun rencana kerja secara sistematis dan terukur untuk pedoman pelaksanaan.

IV.

METODE PEMUGARAN STRUKTUR

BATA

b.

Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan dalam rangka pengumpulan dan pengolahan data untuk menetapkan

Guna memperoleh pemahaman yang sama terkait

kelayakan pemugaran. Penetapan layak dan tidaknya

dengan metode pemugaran candi bata terlebih dahulu

candi dipugar dapat dilakukan berdasarkan penilaian

perlu disepakati bersama beberapa hal yang mendasar

atas data terkait yang meliputi data arkeologis, historis,

130 – Studi Kasus


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

Dokumentasi kegiatan tentang metoda kerja pemugaran bangunan candi berstruktur bata

c.

dan teknis. Kesimpulan dari hasil studi ini berupa saran-

teknis. Perencanaan ini dimaknai sebagai sebuah pem-

saran atau rekomendasi tentang layak dan tidaknya candi

buatan dokumen teknis pemugaran yang disusun secara

dipugar dengan lebih mengedepankan pada penilaian

sistematis dan terukur ke dalam suatu format perenca-

atas kondisi fisik dan tingkat kerusakannya.

naan yang meliputi kegiatan dan sasaran, metode dan

Studi Teknis adalah tahapan kegiatan dalam rangka

tehnik, tenaga kerja, sarana dan prasarana, tahapan

pengumpulan dan pengolahan data untuk menetapkan

pelaksanaan, rencana anggaran biaya, gambar kerja dan

langkah-langkah teknis pemugaran apabila dalam studi

dokumen terkait.

kelayakan dinyatakan layak untuk dipugar. Penetapan

e.

Pelaksanaan pemugaran adalah tahapan kegiatan dalam

langkah-langkah teknis pemugaran candi bata dapat

rangka pencapaian tujuan yaitu pemugaran bangunan

dilakukan berdasarkan penilaian atas data terkait yang

dan penataan lingkungannya. Untuk mewujudkan ter-

meliputi data arsitektural, struktural, keterawatan, dan

laksananya kegiatan yang efisien dan efektif, pekerjaan

lingkungan. Kesimpulan dari hasil studi ini berupa

pemugaran dikelom pokan kedalam tahapan pelakasan-

saran-saran atau rekomendasi tentang langkah-langkah

aan yang meliputi pelaksanaan pekerjaan persiapan,

teknis atau indikasi kegiatan yang dapat dilakukan

pekerjaan pelaksanaan, dan pekerjaan penyelesaian.

dalam rangka pemugaran candi dan penataan lingkun-

Pekerjaan Persiapan adalah tahapan kegiatan

gannya. d.

Perencanaan adalah tahapan kegiatan dalam rangka

dalam rangka mempersiapkan segala sarana dan

membuat rancangan detail pemugaran atau detail en-

prasarana yang meliputi :

genering design (DED) yang disusun dengan merujuk

•

pada indikasi kegiatan yang diperoleh melalui studi

Persiapan ruang kerja (werkit) untuk kegiatan administrasi/teknis;

Studi Kasus – 131


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

Persiapan tempat untuk penampungan bata candi yang

dibongkar; • •

dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan

Persiapan tempat untuk gudang peralatan dan bahan kerja ;

pasca pemugaran. •

Pengadaan peralatan dan bahan pemugaran termasuk pengadaan bata baru;

Memelihara dan merawat hasil kerja pemugaran

Dalam melaksanakan pemugaran bangunan candi bahan bata senantiasa harus memperhatikan:

Persiapan gambar kerja dan obeservasi lapangan;

Pendokumentasian atau Perekaman.

Pekerjaan pelaksanaan adalah tahapan kegiatan

Keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan; Kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;

dalam rangka melaksanakan pekerjaan pemuagaran yang meliputi: (1) •

Pemugaran Bangunan

• •

Dalam melaksanakan pemugaran bangunan candi bahan bata harus didukung kegiatan pendokumentasian yang dilakukan baik melalui pengukuran,

diganti/diubah dari keadaan aslinya, atau hilang/

peng gambaran, dan pemotretan sebelum dilaku-

terlepas dari konteksnya.

kan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya

Memperbaiki dan memperkuat kerusakan struk-

perubahan keasliannya. •

Dalam melaksanakan pemugaran bangunan candi

melesak, retak/pecah, atau runtuh/hancur.

bahan bata harus memungkin kan dilakukannya

Mengawetkan elemen bata candi sesuai kondisi

penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap

teknis dan keterawatannya.

memper timbangkan keamanan masyarakat dan

Membongkar dan memasang kembali bata candi mengawetkan.

Kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.

sitektural, seperti elemen bata candi yang telah

dalam rangka memperbaiki, memperkuat dan

(2)

bersifat merusak; dan •

Memperbaiki dan mengembalikan kerusakan ar-

tural seperti bagian candi yang keadaannya miring/ •

Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak

Penataan Lingkungan

keselamatan cagar budaya. •

Dalam pemugaran bangunan candi bahan bata yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik

Melakukan pematangan dan perkuatan tanah hala-

harus didahului analisis mengenai dampak ling-

man untuk kepentingan pemeliharaan candi dan

kungan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-

lingkungannya.

dang-undangan.

Membuat sistem drainase dengan sedapat mungkin memfaatkan kembali saluran lama atau mem-

METODE DAN TEHNIK PENANGANAN

buat saluran baru sesuai kebutuhan.

Pemugaran Candi Bata

Membuat tanggul atau turap penahan tanah pada

Metode dan tehnik pemugaran pada dasarnya

lokasi yang ditengarahi sebagai daerah rawan long-

ditetapkan melalui proses kajian atau studi teknis yang

sor atau erosi.

meliputi kajian fisik dan tingkat kerusakannya. Keru-

Membuat pagar pengaman untuk perlindungan si-

sakan yang menyangkut elemen candi, yang dalam hal

tus candi sesuai kebutuhan pengamanannya.

ini di katagorikan sebagai kerusakan arsitektural, ada-

Pekerjaan penyelesaian adalah tahapan kegiatan

lah kemungkinan ditemukannya bata candi yang telah

dalam rangka mengakhiri seluruh pekerjaan pe-

diganti atau diubah dari keadaan aslinya, dan/atau yang

mugaran (finishing), beberapa diantaranya adalah :

hilang atau lepas dari konteksnya. Pendekatan yang di-

Menyempurnakan hasil pekerjaan pemugaran den-

pakai adalah kaidah-kaidah arsitektur bangunan cagar

gan sedapat mungkin mem perbaiki ulang peker-

budaya dan pengetahuan tentang ilmu kepurbakalaan.

jaan yang tidak sempurna.

Kerusakan yang menyangkut struktur candi yang

Membersihkan lingkungan dari segala sarana dan

dalam hal ini dikatagorikan sebagai kerusakan struk-

prasarana serta sisa-sisa pekerjaan pemugaran.

tural, adalah kemungkinan ditemukannya bagian candi

132 – Studi Kasus


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

yang strukturnya rusak seperti miring/melesak, retak/

gunan kembali. Dalam hal ini dapat dilakukan apabila

pecah, runtuh/ hancur termasuk di dalamnya bata

seluruh elemen candi dapat terkumpul dan dikenali.

candi yang mengalami proses pelapukan. Pendekatan yang dipakai adalah kaidah-kaidah teknis bangunan dan pengetahuan tentang ilmu bahan. Melalui penelu-

(2)

Metode Perbaikan Kerusakan Struktural

(Perbaikan Struktur)

suran secara sistematis terkait dengan faktor penyebab

Perbaikan kerusakan terkait dengan bagian candi

dan mekanisme proses kerusakan (diagnose process),

yang strukturnya rusak seperti miring/melesak, retak/

pemugaran dapat dilakukan melalui pemugaran total

pecah, hancur/runtuh dapat dilakukan dengan cara

atau pemugaran parsial. Pemugaran total adalah upaya

rehabili tasi dan/atau konsolidasi. Rehabilitasi adalah

pengembalian kondisi fisik yang rusak melalui proses

upaya perbaikan dan pemulihan yang kegiatannya di-

pembongkaran struktur, sementara pemugaran parsial

titik beratkan pada penanganan yang sifatnya parsial.

hanya dilakukan sesuai kebutuhan. Pengem balian

Sedangkan konsolidasi adalah perbaikan terhadap

kondisi fisik yang rusak baik dalam bentuk kerusa-

bangunan candi yang bertujuan memperkuat kon-

kan arsitektural maupun kerusakan struktural dapat

struksi dan menghambat proses kerusakan lebih lan-

dilakukan dengan cara memperbaiki, memperkuat,

jut. Berdasar kan pemahaman ini bagian candi yang

dan mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi,

strukturnya miring atau melesak dapat diperbaiki dan

konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.

dikembalikan ke posisi semula melalui proses pembongkaran dan pemasangan kembali. Elemen candi

(1)

Metode Perbaikan Kerusakan Arsitektural

(Pemulihan Arsitektur) Perbaikan kerusakan terkait dengan elemen candi

yang rusak karena proses alam dan tidak mungkin dapat di pertahankan diganti baru serta memperkuat konstruksinya bila diperlukan.

yang telah diganti atau diubah, dan/atau elemen yang hilang atau lepas dari konteksnya dapat dilakukan dengan cara restorasi dan/atau rekonstruksi. Restorasi

(3)

Metode Perkuatan Konstruksi Candi Bata

(Perkuatan Konstruksi)

adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan mengem-

Untuk menanggulangi atau mencegah kemung-

balikan keaslian bentuk candi yang dapat dipertang-

kinan terulangnya kembali ke rusakan karena proses

gung jawabkan secara ilmiah. Sedangkan rekonstruksi

alam atau aktivitas manusia dapat dilakukan dengan

adalah upaya mengembalikan bentuk candi sebatas

cara memperkuat konstruksinya melalui kajian struk-

kondisi yang diketahui dengan tetap mengutamakan

tur dan pengetahuan tentang ilmu bahan. Cakupan

prinsip keaslian bahan, tehnik pengerjaan, dan tata

kegiatannya meliputi kajian struktur atas (upper struc-

letak, termasuk dalam menggunakan bata baru seba-

ture) dan struktur bawah (lower structure), dengan

gai penggganti bata asli yang sudah tidak mungkin

sejauh mungkin mempertahankan struktur utama

dapat dipertahankan. Berdasarkan pemahaman ini

pendukung bangunan. Metode perkuatan struktur atas

elemen candi yang telah diganti/ diubah dapat dikem-

dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menempatkan

balikan kebentuk semula sejauh menggunakan bahan

konstruksi beton di dalam tubuh candi yang sifatnya

aslinya, sementara elemen candi yang hilang dapat

permanen, atau menempatkan konstruksi yang ber-

dilakukan penggantian sebatas kondisi yang diketahui

sifat darurat misalnya kerangka kayu, atau kerangka

dengan menggunakan bata baru sesuai dengan keas-

besi baja, atau kerangka beton, di bagian luar candi

lian bahan, teknik pengerjaan, dan tata letaknya. El-

atas dasar pertimbangnan tehnis. Penempatan kon-

emen yang semula terlepas karena proses alam atau

struksi beton di dalam tubuh candi tidak diperbole-

karena aktivitas manusia dapat dikembalikan dengan

hkan sampai memotong batu kulit sekalipun dibagian

cara menempatkan kembali ke tempat semula melalui

dalamnya, demikian pula penempatan konstruksi yang

pekerjaan anastilosis. Upaya pengembalian keaslian

bersifat darurat. Sementara perkuatan stuktur bawah

bentuk candi secara utuh dapat dilakukan sejauh me-

juga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu memper

miliki data yang dapat dijadikan dasar untuk pemban-

baiki pondasinya melalui system injeksi/groutting Studi Kasus – 133


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

Kondisi Candi Brahu sebelum (kiri) dan sesudah pemugaran (kanan)

atau dengan memasang pelat beton melalui proses

cara analogi atau dengan berpedoman pada bagian candi

pembongkaran. Bahan untuk injeksi/grouting harus meng gunakan bahan yang tidak berakibat negative

yang mempunyai bentuk simetris. •

Bata baru untuk mengganti bata yang rusak atau hilang

terhadap bata candi, sedangkan pondasi pelat beton

dilakukan mengguna kan bata baru yang setara, antara

harus diletakkan di bawah permukaan tanah sehingga

lain bentuk dan ukuran serta kualitasnya. Keberadaan

tidak tampak dari luar.

bata baru pengganti harus diberi tanda untuk membedakan dengan bata asli. Penandaan dapat dilakukan di atas

(4)

Metode Pengawetan Bahan Penyusun Ban-

gambar dengan menggunakan simbol tertentu atau di-

gunan

beri tanda dengan warna.

(6)

Untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya

Metode Pembongkaran Bata Candi

proses pelapukan bata karena proses alam atau aktivi-

Pembongkaran bata candi dalam rangka mengem-

tas manusia dapat dilakukan dengan cara perawatan

balikan kondisi fisik yang rusak dapat dilakukan den-

sederhana atau perawatan intensif

gan cara sebagai berikut:

melalui proses

kajian konservasi.

Pembongkaran diupayakan hanya sebatas pada kondisi fisik yang rusak untuk memperkecil resiko kerusakan.

(5)

Metode Penggantian Bata Candi

Bata yang dibongkar dikembalikan ke tempat semula

Elemen candi atau bata candi yang rusak atau hilang karena proses alam atau aktivitas manusia dapat

mengikuti sistem registrasi pemugaran. •

Pembongkaran dilakukan dengan berpedoman pada

dilakukan penggantian dengan cara sebagai berikut :

gambar kerja yang telah di beri tanda/kode untuk

Bata candi yang rusak dapat dilakukan penggantian

mengetahui bagian yang akan dibongkar. Sebelum di

apabila secara teknis kondisinya sudah tidak dapat di-

bongkar terlebih dahulu diberi tanda atau kode yang

gunakan dan semata-mata demi mempertahan kan ke-

tidak tampak dari luar dan dicatat untuk memudahkan

beradaan bangunan, dalam hal ini seperti bata candi

dalam pemasangannya kembali.

yang sudah mengalami proses pelapukan menjadi tanah. •

Pembongkaran dilakukan secara bertahap, satu demi

Elemen candi yang hilang dapat dilakukan penggantian

satu bata dibongkar mulai dari atas menggunakan

apabila dalam pelaksa naannya memiliki argumentasi

peralatan tumpul dan tipis. Untuk melepas ikatan bata

yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain dengan

menggunakan peralatan seperti skrap, atau cetok, atau

134 – Studi Kasus


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

linggis kecil yang dimasukkan kecelah-celah bata ke-

Penempatan kembali dilakukan dengan berpedoman

mudian ditekan atau dipukul menggunakan palu kecil

pada gambar kerja yang telah diberi tanda/kode untuk

kemudian dicongkel dan diangkat pelan-pelan.

mengetahui bata yang akan dipasang kembali berikut

Lapisan bata yang celah-celahnya telah menyatu atau

sistem registrasinya agar tidak terjadi salah tempat. Un-

telah terjadi sementasi, sebelum dibongkar terlebih

tuk mendapat kan kepastian atas kebenaran dalam pen-

dahulu disiram air secukupnya untuk mengurangi daya

empatannya kembali diperlukan penyusunan percobaan

ikat bata hingga memudahkan dalam proses pembongkarannya.

(7)

(trial reconstructtion). •

Metode Penempatan Bata Hasil Pembong-

Untuk lapisan bata yang memiliki profil, penyusunan percobaan dilakukan hingga 2 lapis, bila tidak

karan

menemui kesulitan dapat langsung dipasang secara

Penempatan bata hasil pembongkaran di tempat

permanen. Untuk bata yang tidak memiliki profil, pe-

penampungan bata dapat dilaku kan dengan cara se-

nyusunan percobaan dilakukan hingga 4 lapis, dengan

bagai berikut:

maksud untuk mengontrol dan sekaligus menghindari

Bata hasil pembongkaran ditampung di atas sebidang

bertambah atau berkurangnya tinggi dinding dari pen-

tanah yang dilapisi hamparan kerikil dan pasir setebal 10

garuh ketebalan spesi atau akibat sistem gosok yang

cm, atau menggunakan papan kayu seluas volume bata yang akan ditampung. Tempat penampungan bata diberi

Pemasangan bata kulit dilakukan menggunakan sistem

atap pelindung dan sistem drainase untuk menghindari

gosok dan diberi perekat menggunakan campuran ba-

genangan air di sekitar tempat penampungan.

han semen murni dengan bubukan bata bekas gosokan

Bata hasil pembongkaran secara berkelompok dibawa

yang tersisa dipermukaan bata. Sistem gosok dilakukan

ke tempat penampungan menggunakan kotak kayu atau

sampai 5 kali dalam hitungan kedepan.

gerobak dorong yang di dalamnya diberi lapisan karet

dilakukan. •

Pemberian perekat diusahakan setipis mungkin atau

untuk mengurangi resiko kerusakan. Pengangkutan bata

disesuaikan dengan berkurangnya permukaan bata aki-

isian mengikuti perjalanan bata kulit dalam kelompok

bat gosokan dan tidak terlalu melebar keluar mendekati

yang sama dengan disertai pencatatan.

permukaan bata agar tidak tampak dari luar. Sisa

Penempatan setiap kelompok diletakan dalam kelompok

perekat yang meleleh kepermukaan bata harus segera

yang sama dan disusun setinggi lima lapis untuk meng-

dibersihkan karena lelehan perekat yang sudah menger-

hindari kerusakan bata karena pem bebanan. Penempa-

ing sulit untuk dibersihkan.

tan bata isian di tempat penampungan tidak boleh disat-

Penempatan kembali bata isian dalam pemasangannya

ukan dengan bata kulit. Untuk memudahkan pencarian

berbeda dengan bata kulit. Bata isian tidak dipasang

dilakukan dengan cara memasang label pada susunan

dengan sistem gosok tapi diberi perekat mengguna-

bata sesuai catatan kelompok.

kan campuran 1 PC : 3 Pasir halus. Pemberian perekat

(8)

ini dimung kinkan karena susunan bata isian semula

Metode Pemasangan Kembali Bata Candi

Pemasangan kembali elemen candi dalam rangka

celah-celahnya diisi tanah atau bubukan kepingan bata,

mengembalikan kondisi fisik candi yang rusak dapat

dalam hal ini sekaligus untuk memberikan perkuatan

dilakukan dengan cara sebagai berikut: •

Untuk pemugaran yang dilakukan melalui pembong-

struktur candi. •

Pemberian perekat semen ini diusahakan memenuhi se-

karan total, pemasangan kembali diawali dengan pen-

luruh celah-celah bata sehingga dimungkinkan terjadi

empatan bata lapis terbawah dengan merujuk pada

cairan perekat yang keluar kepermukaan bata kulit mel-

rencana penempatan kedudukan candi dengan meng-

alui celah-celah susuan bata yang kurang rapat. Untuk

gunakan alat ukur atau sistem bouwplank.

itu celah-celah dibagian ini ditutup dengan tanah liat,

Bata yang dipasang dalam pembangunan kembali terdi-

yang memungkinkan cairan yang tersumbat akan men-

ri dari dari dua macam, yaitu bata hasil pembongkaran dan bata baru untuk mengganti bagian candi yang rusak atau hilang.

gering dan sekaligus memperkuat ikatan antar bata. •

Pemasangan bata baru untuk mengganti bata yang rusak atau hilang pada dasarnya hampir sama seperti pe

Studi Kasus – 135


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

•

•

masangan bata asli yang dibongkar. Langkah pertama

•

Untuk bata baru pengganti bata isian cara pemasan-

adalah adalah menseleksi kualitas bata terutama dilihat

gannya sama seperti pemasangan bata isian asli. Na-

dari segi warna dan ukuran serta porositas bata. Setelah

mun untuk efisiensi waktu, pemacakan bata dilakukan

itu permukaan bata di bagian bawah, samping kanan

setelah seluruh bata isian selesai dipasang. Penting

dan kiri diratakan atau dipacak menggunakan alat yang

untuk diperhati kan bahwa setiap pemasangan bata

disebut tatas.

isian harus dilakukan mengikuti pemasangan bata kulit

Pemasangan bata baru pengganti untuk bata kulit sama

didepannya, demikian seterusnya hingga selesai.

seperti pemasangan bata asli, yaitu dilakukan menggunakan sistem gosok dan diberi perekat menggunakan

•

Metode Penataan Lingkungan

campuran bahan semen murni dengan bubukan bata

Penataan lingkungan merupakan kegiatan yang

bekas gosokan yang tersisa dipermukaan bata. Untuk

tidak dapat dipisahkan dalam pemugaran candi. Dalam

bata baru sistem gosok dilakukan sampai 8 kali dalam

hal ini dimaknai sebagai suatu upaya untuk mencegah

hitungan kedepan, dengan maksud untuk meratakan

atau menanggulangi kemungkinan terjadinya kerusa-

dengan bata disampingnya.

kan lahan situs yang dapat mempengaruhi kelestarian

Permukaan bata baru pengganti bata kulit di bagian

bangunan dan lingkungannya. Kerusakan lahan karena

depannya dibuat menonjol keluar 0.5 cm, untuk mem-

proses alam atau aktivitas manusia seperti genangan

berikan peluang meratakan atau pembentukan bidang

air, erosi tanah dan pemanfaatan lahan yang tidak terk-

candi sesuai yang direncanakan. Pertama-tama dirata-

endali berpotensi menimbulkan dampak yang kurang

kan dengan cara dipacak menggunakan tatas kemudian

meng untungkan bagi kelestarian bangunan dan ling-

dihaluskan menggunakan batu asah (produksi pabrik)

kungannya. Untuk mencegah atau menanggulangi

yang digosokan kepermukaan dengan menggunakan

kemungkinan terjadinya ke rusakan lahan situs dapat

air secukupnya. Bekas gosokan bata yang menempel di

dilakukan melalui proses kajian terkait dengan kondisi

permukaan harus segera dibersihkan karena jika sam-

teknis dan tingkat kerusakan lingkungan baik yang

pai mengeras akan menutup pori-pori bata dan dapat

disebabkan karena proses alam atau aktivitas manu-

mengganggu proses penguapan.

sia. Dengan merujuk pada hasil kajian, penataan ling-

136 – Studi Kasus


TEKNOLOGI DAN STRUKTUR BATA DI TROWULAN

kungan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1.

Pematangan dan perkuatan tanah halaman untuk menunjang

upaya

pemeliharaan

bangunan

dan

lingkungannya. 2.

Membuat sitem drainase untuk menghindari genangan air di sekitar halaman dengan sedapat mungkin memfaatkan kembali saluran lama atau membuat saluran baru sesuai kebutuhan.

3.

Membuat tanggul atau turap penahan tanah pada lokasi yang ditengarai sebagai daerah rawan longsor atau erosi dengan memperhatikan kondisi geotopografis sekitar bangunan.

4.

Membuat pagar pengaman untuk perlindungan bangunan dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan pengamanannya.

V.

PENUTUP

Materi training sebagaimana dikemukakan di atas masih sebatas pada teori terkait dengan metode pemugaran yang secara garis besar membahas tentang

Ismijono adalah mentor dan nara sumber Pemugaran Cagar Budaya pada Balai Konservasi Peninggalan Borobudur dan menjadi Pimpro Pelestarian Bekas Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan (1987-1991). Mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang Tekno Arkeologi di Borobudur dan . Menerima Medali Penghargaan dari UNESCO dan Depdikbud dalam rangka Pemugaran Candi Borobudur. Tim Pelaksana Bantuan Teknis Pemugaran Situs Angkor Kamboja (1995-2000). Studi, perencanaan dan pengawasan dalam bidang konservasi meliputi Bangunan Candi Bahan Batu (seperti Candi Borobudur, Candi Plaosan, Candi Sewu, Candi Dieng), Bangunan Candi Bahan Bata (seperti Trowulan, BatuJaya, Muara Jambi), Bangunan Tradisional Bahan Kayu (seperti Rumah adat Buntu Pune Toraja, Istana Tua Sumbawa,NTB; Rumah adat Bubungan Tinggi Negara, Kalsel), Bangunan Masa Prasejarah, Bangunan Masa Islam, Kolonial serta Penataan dan Revitalisasi Kawasan.

tahapan, proses daan tehnik pelaksanaan pemugaran. Sehubungan dengan hal tersebut dalam training ini perlu ditindak lanjuti dengan melakukan praktek langsung di lapangan untuk lebih menyentuh pada substansi teknis pemugaran.

Studi Kasus – 137



R E P O RTA S E


HARI 1 SELASA 10 SEPT 2013 09.00 - 17.45 Lokasi : Jakarta Pelatihan dibuka dengan sesi kuliah dari berbagai pakar mengenai konservasi bangunan. Hal yang mebuat menarik dari sesi pendahuluan ini yaitu materi yang diberikan terdiri dari berbagai sudut pandang, tidak hanya fokus terhadap sisi arsitektur. Saiful Mujahid, memberikan kuliah dengan judul “undang-undang dan aspek hukum pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya.” Han awal memberikan pengalaman profesi arsitekturnya dengan dituang ke dalam kuliah “metodologi konstruksi bangunan berstruktur dinding pemikul bata”. Prof. Mundarjito membahas dari sisi arkelog dengan kuliah “teknologi struktur bata sejak masa purbakala.” Bruce Pittman menjelaskan bagaimana merencanakan pekerjaan konservasi melalui kuliah “Conservation planning and Project Management.”

HARI 2 RABU 11 SEPT 2013 9.30- 17.00 Lokasi : Kota Tua, Jakarta Setelah peserta diberikan materi pada hari sebelumnya, pada hari ini peserta diajak untuk mendalami materi dengan praktik mengamati bangunan cagar budaya berstruktur bata. Peserta dibagi menjadi 5 grup dengan studi kasus masing - masing. Gedung yang diamati yaitu gedung Jasindo, Standard Chartered, Dasaad, Palaad, Mandiri ex Compto. Fokus pengamatan yang dilakukan peserta pada kerusakan bangunan. Beberapa peserta mendapatkan kasus kerusakaan struktural hingga kerusakan minor. Peserta mengumpulkan data dengan membuat beberapa sketsa tampak, denah dan potongan bangunan. Diakhir pengamatan, peserta berdiskusi dengan para mentor untuk mendalami kasus kerusakan dari penyebab, proses kerusakan hingga solusi penanganannya.

140 – Reportase


HARI 3 KAMIS 12 SEPT 2013 13.00-14.00 Lokasi : Pabrik Tegel Kunci, Yogyakarta Pabrik Tegel Kunci fokus pada pembuatan tegel dengan metode tradisional. 19.00-21.00 Lokasi : Benteng Van der Wijck, Gombong Setibanya di gombong pada sore hari, peseta bergegas untuk beristirahat sejenak setelah perjalanan yang cukup panjang, Yogyakarta - Kebumen dengan Bus. Pada malam hari, dilakukan diskusi terbuka antar peserta dengan panelis Joy Singh dan Bruce Pittman. Diskusi ini membahas permasalahan yang dihadapi oleh para pemerintah daerah (kecuali Jakarta) terhadap isu konservasi bangunan. Kasus menarik muncul, seperti tantangan Dinas Pemerintah Kota Ternate yang memiliki puluhan benteng untuk tetap dilestarikan. Pemerintah Kota Sawahlunto yang semula dikenal sebagai daerah penghasil batu bara semasa kolonial Belanda kini menjadikan bangunan cagar budaya sebagai daya tarik utama pariwisata. Diharapkan dari diskusi ini, peserta mendapatkan inspirasi untuk memcahkan permasalahan konservasi bangunan pada daerahnya kelak.

Reportase – 141


HARI 4 JUMAT 13 SEPT 2013 8.00-11.30 Lokasi : Benteng Van der Wijck, Gombong Benteng Van der Wijck menjadi studi kasus yang menarik. Bangunan peninggalan Belanda ini memiliki konstruksi bata lyang sangat lengkap, dari struktur pemikul, dinding hingga struktur atap. Sebenarnya Bangunan ini bukanlah benteng pertahanan namun memiliki tipologi ruang gudang, barak, dan kantor militer. Kondisi bangunan sudah pernah mengalami restorasi, saat itu bangunan ini dijadikan masyarakat sebagai hunian kumuh. Hunian dihilangkan dan kini dijadikan pariwisata. dari Observasi ini peserta diharapkan dapat mengidentifikasi kerusakan bata struktur dan non struktur yang terdapat pada bangunan ini. Observasi dibagi menjadi 5 kelompok.

HARI 5 SABTU 14 SEPT 2013 8.00-11.00 Sesi kuliah diadakan pagi hari. Kuliah hari ini diisi dengan materi yang terkait dengan bangunan bata. Josia Rastandi ahli struktur yang dengan pengalaman restorasi bangunan di Kota Tua Jakarta memberikan judul kuliah “Struktur Bata Pada Benteng,Penelitian dan Analisis Struktur pada Konstruksi Bata.” Joy Singh memberikan materi penanganan kerusakan bangunan konstruksi bata dengan judul “Typical damage and Repair Technic on Brickmasonry Building.”

142 – Reportase


Reportase – 143


HARI 6

MINGGU 15 SEPT 2013 8.00-9.00 Lokasi : Situs Trowulan, Mojokerto Setibanya di Trowulan, Mojokerto peserta dibekali kuliah terkait konstruksi bata pada situs Trowulan dan Pura di Bali. Ismiyono menceritakan pengalaman resorasi bangunan di situs Trowulan dengan judul “Teknologi dan Struktur Bata di Trowulan.” Made Widnyana Sudibya menceritakan keterkaitan bangunan religius yang ada di Bali dengan pasca kerajaan Majapahit dengan membandingkan konstruksi bata. Kuliah ini berjudul “Pemugaran Bangunan Religius Berbahan Bata di Bali.” 12.30-17.00 Lokasi : Situs Trowulan, Mojokerto Kebanyakan candi yang ada di situs sudah tidak berfungsi di kehidupan masyarakat (dead monument) sehingga terjadi kerusakan karena proses alam dan aktivitas manusia. Beberapa situs sudah berhasil direstorasi kemudian dijadikan obyek pariwisata. Peserta mengamati langsung beberapa bangunan yang sudah berhasil direstorasi. Konstruksi bata disitus ini berbeda dengan bangunan peninggalan Belanda, sehingga peserta dapat memperoleh pengetahuan yang berbeda dalam menidentifikasi kerusakan dan penangannya.

HARI 7 SENIN 16 SEPT 2013 18.00-21.00 Lokasi : Surabaya Pelatihan ini ditutup dengan pameran kecil dan pengupulan laporan pelatihan. Sesi penutup dibuat dengan kegiatan yang santai dan jauh dari kesan formal. Peserta tidak duduk di kursi melainkan leseh di lantai. Candrian Attahiyyat membawa sesi ini menjadi akrab, karena pelatihan ini adalah awal dari proses mengelola bangunan Cagar Budaya. Sehingga dari kegiatan ini peserta yang berasal dari pemerintahan saling berinteraksi dan berbagi pengetahuan dimasa yang akan datang.

144 – Reportase


Reportase – 145


146 – Reportase


Reportase – 147



A P P E N D I X


p a n i t i a Kami sangat berterimakasih kepada seluruh panitia yang telah bekerja untuk terselenggaranya Training Konservasi Bangunan cagar Budaya Berstruktur Bata Yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali 10-17 September 2013 (Steering Comitee) Candrian Attahiyat l Ninik Maruto l Asfarinal l Indah Sulistiana l (Manager Program Training) Indah Sulistiana l (Sekretariat) Heni Priyanti l Ninik Maruto l Veroni l Agnes l (Grafis) Budiarto l (Reviewer) Sutrisno Murtiyoso l Djulianto Susantio l (Nara Sumber,Mentor dan Kontributor) Joy Singh l Bruce Pettman l Hubertus Sadirin l Saiful Mujahid l Han Awal, IAI l Mundarjito l Josia Rastandi l Ismijono l Widnyana Sudibya, IAI l Hans Bonke l (Event Organizer) Leonardo Fabian l Ogun Gunawan l Angger Wiwara l Boyke Fernando Gultom l (Dokumentasi) Rofianisa Nurdin l Ronaldiaz Hartantyo l Adi Reza Nugroho l (Design Layout) Gierlang Bhakti Putra Host

Adhetya D.C Santosa Managemen Benteng Van der Weicjk Gombong Email : bentengvanderwijck@gmail.com Drs. Aris Soviyani, SH. MHum Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto Jl. Majapahit No 141-143 Trowulan Email : purbakala.jatim@yahoo.com

i n d e k s f o t o Adi Reza Nugroho 6-7, 15, 17, 18-19, 22-23,26-27,31,40-41, 90, 101, 150-155 Budiarto 141 Ronaldiaz Hartantyo 32-33, 35,47,48-49,59, 54-55, 93, 97, 140-145 Candrian Attahiyat 86, 88, 99 Han Awal 36 Hans Bonke 108, 112,113 Hubertus Sadirin 69 Indah Sulistiana 73 Ismijono 131, 134 Josia Rastandi 63 Pusat Dokumentasi Arsitektur 38 Mundarjito 42-43, 44 Widnyana Sudibya 74-74, 77,81,83 Seluruh anggota Grup 1, Grup 2, Grup 3, Grup 4

150 – Appendix


i m p r e s i p e s e r t a Abdul Halim Hani Bukankah mudah untuk merenovasi sebuah bangunan cagar budaya ? Bukankah teknologi masa kini telah memudahkan kita untuk melaksanakannya ? Pertanyaan ini sebenarnya mencerminkan pandangan penulis mengenai bagaimana merenovasi sebuah Bangunan Cagar Budaya sebelum mengikuti “Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata Yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali”. Walaupun materi training mengkhususkan hanya pada bangunan yang berstruktur bata saja, akan tetapi penekanan yang diberikan selama training adalah sebuah pemikiran yang komprehensif mengenai apa-apa yang disebut sebagai Cagar Budaya dan bagaimana menyikapinya. Jargon-jargon semacam, “Love Our Heritage”,”Mengenali Identitas Bangsa Melalui Cagar Budaya”, ”Minimum Intervention Maximum Innovation”, seakan-akan memberikan pemograman ulang terhadap kata Cagar Budaya yang selama ini dipahami oleh penulis. Sedangkan Bangunan Berstruktur Bata yang dipilih sebagai obyek studi juga memiliki kekhususan bila ditinjau dari ketersediaan bahan dan cara membuatnya, teknik pemasangan batu bata, dan juga cara perawatannya. Training ini juga memberikan teknik-teknik praktis macam quick scan buildings (Inspection), Salination Test Simpel Sampling, dan juga Tes Tingkat Keasaman dan masih banyak yang lain. Sehingga training ini memberikan Lompatan Quantum yang baik dalam pemahaman mengenai Konservasi Bangunan Cagar Budaya. Dalam training ini ada 3 obyek studi

yang dijadikan arena pembelajaran bagi para peserta training yaitu, Kota Tua Jakarta, Benteng Van Der Wijk Gombong dan Situs Trowulan Mojokerto. Peserta dilatih untuk melaksanakan quick scan pada dua lokasi yaitu kota tua dan Benteng Van Der Wijk. Sedang pada Situs Trowulan Mojokerto lebih menitikberatkan pada pengenalan hasil akhir dari sebuah proses konservasi dan siklusnya. Metode Quick Scan yang dilaksanakan oleh peserta training adalah dengan melakukan pengenalan bangunan, pendokumentasian kerusakan melalui foto, Sketsa lapangan, dan juga beberapa tes sampling di lapangan. Metode ini juga memungkinkan peserta untuk mengenali potensi pemanfaatan kembali dari bangunan yang telah diinspeksi. Dari hasil quick scan di dua lokasi yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan beberapa masalah utama yang sering terjadi didalam bangunan berstruktur bata yaitu diantaranya adalah penggaraman (salination), penurunan pondasi dan juga buruknya drainase yang dapat mengakibatkan kegagalan struktur. Hal menarik yang belum digali selama pelaksanaan inspeksi bangunan adalah potensi pemanfaatan kembali Bangunan Kota Tua dan juga Benteng Van Der Wijk. Kebanyakan Bangunan yang diinspeksi di Kota Tua adalah bangunan yang rusak dan belum dimanfaatkan kembali, sedangkan lokasi Benteng Van der Wijk adalah sebuah bangunan yang telah direnovasi dan dimanfaatkan kembali. Dua kasus yang berbeda yang apabila potensi pemanfaatan kembali bangunan-bangunan tersebut digali lebih dalam akan memunculkan inovasi atau bahkan

invention dalam pelaksanaan Konservasi Bangunan Cagar Budaya. Training ini juga memberikan suatu pemahaman mengenai hambatan dan tantangan ke depan yang akan dihadapi peserta dalam Konservasi Bangunan Cagar Budaya. Hambatan yang akan sering ditemui adalah minimnya dokumentasi, Tata Birokrasi yang mengikat, dan mind set masyarakat yang kurang memahami “Cagar Budaya”. Pada pelaksanaan Konservasi Bangunan Cagar Budaya ada dua hal yang setidaknya akan membangkitkan adrenaline pihak-pihak yang terlibat, yaitu Potensi Pemanfaatan Kembali Bangunan dan Lingkungan Kerja yang Terbatas (Bahan dan pilihannya terbatas). Harapan besar tertumpu pada peserta training, utamanya adalah dengan ikut serta mensosialisasikan makna “Cagar Budaya” di lingkungan sekitarnya (Keluarga, Tetangga, dan Rekan Kerja). Semakin banyak elemen masyarakat yang mengetahui dan peduli akan memudahkan pelaksanaan Konservasi Bangunan Cagar Budaya. Ilmu yang tidak diamalkan adalah sama dengan tidak mempelajari ilmu tersebut, sehingga dibutuhkan sebuah wadah khusus bagi peserta training agar dapat mengamalkan apa-apa yang telah dipelajari selama training dan juga berangkat dari pemahaman bahwa Konservasi adalah sebuah kerja tim dan bukan individu. Dan ini sesuai dengan konsep agama yang memerintahkan manusia untuk berjalan di atas muka bumi dan memperhatikan tanda-tanda Kekuasaan Tuhan. Afterall, It’s About Learning Who We Are ! Allahu Akbar.

Ambarita Ulvah I send many thanks to Balai Konservasi Kota Tua and IAI that held this program specially Mr. Candrian on the last year of his dedication in Jakarta Local Government he still care about the leakness of concervation experts and very concern about heritage building. I can meet specialist and expertise in this short training. The technical training how to quick scan assessment for heritage building is applicative and the technical method how to measure the salt and humidity is easy to used and interactive. From the list of the trainee and mentor from architecture, archaeologist, engineering, law and regulation background, and additional mentor from Australia, based on that I know that the committee is all out to held this training, they are expected knowledge transfer is occur and I’m very enthusiastic during the training. FORESIGHT A. Local Government Regulation and Incentive Due the decentralization system, local government has authority to collect property tax. Many beautiful heritages building in Kota Tua that belongs to private company, but many of them abandon by the owner. The local government should make a regulation for give an incentive to the private company who has willingness to optimize the heritage building that they have. If the local government doesn’t have money to give, the incentive could be given by way

of tax reduction for property tax, that we know that the property tax in kota tua is very high because the location is very strategic. The other incentives that can given to the owner of heritage building of kota tua is in Urban Design Guide Line (UDGL) for kota tua that still formulating by our Urban Design Agency. The UDGL ordinance will mention that there will be incentive for the obligation to provide parking and incentive for building flow that can develop. The Local Government supposes provide the public parking facilities and the others public facilities that can support the optimization of kota tua. B. Highest and Best Uses Study What we should develop for the heritage building? Is it for café, hotel, or apartments? The first of all i think we should do the highest and best uses (HBU) Study. The building can say that is it highest and the best uses have to fulfill 4 criteria: • Physically possible • Legally permissible • Financial feasible • Maximally productive

With that 3 point that I write above is the thing in my mind that I can do for the future of heritage building di Jakarta, I hope it can be implemented and successfully, I know that it will be many problems to be faced. Let’s work hard, because work hard is another name of miracle. May God help us… aamiin…

C. Scheme of The Funding The local government can do join operation with the private investor to do the optimization of the heritage building. The scheme of the join operation can be Acquisition, Built Operation Transfer (BOT) or Join Venture, we can see the scheme like bellow.

Appendix – 151


Aras Pamungkas Pelatihan konservasi BCB berstruktur bata yang diadakan di sejumlah daerah di pulau Jawa selama beberapa hari diselenggarakan oleh Unit Pengelola Balai Konservasi yang bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Acara ini menyasar para pegawai negeri sipil yang pekerjaan sehariharinya berkaitan baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cagar budaya. Tujuan diadakannya acara ini adalah agar didapatkan pengetahuan mengenai permasalahan dan solusi teknis mengenai konservasi bangunan cagar budaya khususnya yang berstruktur bata bagi para pegawai pemerintahan tersebut. Untuk bisa melakukan upaya konservasi atau pelestarian cagar budaya, kita harus mengetahui terlebih dahulu aturan-aturan atau kaidah-kaidah konservasi. Aturan hukum terbaru yang telah diterbitkan oleh pemerintah adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Di dalam undang-undang disebutkan bahwa upaya pelestarian cagar budaya terdiri dari pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Dengan ini dapat diketahui bahwa cagar budaya tidak hanya harus dilindungi saja, tetapi juga harus dikembangkan menjadi sesuatu yang bisa mempunyai manfaat yang baik untuk cagar budaya tersebut. Sehingga diharapkan setelah cagar budaya tersebut dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan dengan cara dan tujuan yang baik, cagar budaya tersebut akan tetap terjaga kelestariannya. Selain itu ada juga kaidah atau norma dalam konservasi. Sebagian negara-negara di dunia menggunakan Burra Charter atau Venice Charter

sebagai pedoman dalam pekerjaan konservasi bangunan-bangunan bersejarah. Pedoman-pedoman tersebut bisa kita gunakan di dalam pekerjaan konservasi di Indonesia atau setidaknya bisa diadaptasikan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan disini. Namun begitu, para ahli atau pelaku konservasi di Indonesia setidaknya telah memahami satu hal di dalam pekerjaan konservasi, yaitu “less intervention, high invention� atau dalam kata lain, sesedikit mungkin melakukan intervensi dan sebanyak mungkin melakukan terobosan teknologi dalam konservasi bangunan cagar budaya. Kemudian di dalam pekerjaan konservasi yang harus diperhatikan adalah unsur keaslian dari cagar budaya tersebut yang meliputi keaslian bahan, design, metode pengerjaan dan tata letak. Aturanaturan atau kaidah-kaidah pemugaran tidak hanya untuk diketahui, tetapi juga harus dipahami dan benar-benar menjadi pegangan di dalam konservasi cagar budaya. Sebelum melakukan pekerjaan konservasi, maka kita harus tahu bagian apa yang dipugar, lalu apa akar penyebab kerusakan dari bangunan cagar budaya tersebut sehingga harus dipugar. Dengan begitu kota bisa fokus untuk mengatasi akar masalah tersebut dan pekerjaan konservasi menjadi tepat sasaran. Kemudian yang juga harus menjadi perhatian adalah bagaimana metode pengerjaan yang tepat dengan bahan apa yang harus dipergunakan di dalam pekerjaan konservasi bangunan cagar budaya. Pada umumnya bangunan cagar budaya dahulunya dibuat tidak dengan menggunakan semen sebagai perekat/ plesteran. Baik plesteran dan cat penutupnya dibuat

bersifat breathable atau dapat bernapas. Untuk itu sebaikya di dalam mengkonservasi bangunan tersebut hendaknya menggunakan plesteran dan cat yang bersifat breathable pula, tidak menggunakan semen dan cat acrylic. Yang tak kalah penting kemudian adalah bagaimana kita bisa memberi suatu fungsi pemanfaatan yang tepat pada bangunan cagar budaya yang telah dikonservasi. Jika bangunan cagar budaya dibiarkan saja setelah dikonservasi atau dipugar, maka lama-kelamaan bangunan tersebut pasti akan rusak. Hal inilah yang mungkin sering terlupakan. Ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi para pelaku konservasi dan pemilik/pengelola bangunan cagar budaya. Dengan adanya fungsi pemanfaatan yang tepat, yang tidak merusak bangunan tersebut, maka bangunan tersebut akan tetap terpelihara dengan sendirinya karena terpakai dalam sehari-hari, dan nantinya diharapkan akan menambah nilai dari bangunan cagar budaya itu sendiri. Acara pelatihan konservasi bangunan cagar budaya berstruktur bata ini merupakan suatu awal yang baik bagi para peserta khususnya saya. Materi bahan ajar telah disusun sedemikian rupa dan sistematis sehingga saya dapat memahami kaitan antara satu materi dengan lainnya, dan tidak hanya teori di dalam kelas saja tetapi juga praktek di lapangan. Walaupun di dalam praktek di lapangan baru sebatas survey atau observasi saja, diharapkan ke depannya akan ada training atau pelatihan lagi dengan materi yang lebih beragam dan mendalam yang akan lebih menambah pengetahuan dan wawasan saya.

Ashdianna Rahmatasari Provinsi DKI Jakarta memiliki tiga kawasan yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur sebagai kawasan pemugaran yang harus dilindungi dan dilestarikan. Salah satu kawasan pemugaran di Jakarta adalah Kawasan Kota Tua yang berdasarkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 Provinsi DKI Jakarta, Kawasan Kota Tua termasuk kawasan strategis kepentingan sosial budaya, yang mana kawasan strategis pengembangannya diatur dengan Peraturan Gubernur. Kawasan Kotatua yang dahulu menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pusat kegiatan pemerintahan serta pintu gerbang memasuki Kota Jakarta melalui Pelabuhan Sunda Kelapa, masih menyisakan jejak struktur Kota Tua era kolonial serta arsitektur bersejarah dengan nilai historis sangat tinggi yang merupakan cerminan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya dan peradaban masyarakat Jakarta di masa lampau, merupakan bagian penting dalam sejarah pembentukan dan perkembangan Kota Jakarta, sehingga Kota Tua harus dipertahankan dan dilestarikan. Training ini memberikan pengetahuan teknis menangani kerusakan pada bangunan cagar budaya yang berstruktur tembok bata yang berpotensi untuk dimanfaatkan kembali (adaptive reuse) sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi dan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dimana hampir seluruh bangunan di kawasan Kota Tua merupakan bangunan berstruktur tembok bata sehingga training ini memberikan banyak masukan mengenai

bagaimana pelaksanaan konservasi yang benar dan dapat diterapkan di Kawasan Kota Tua. Melalui training ini, banyak masukan mengenai bangunan cagar budaya dengan struktur tembok bata yang didapat baik pengetahuan mengenai dasar hukum pelaksanaan konservasi, proses pemugaran dan revitalisasi, proses rekonstruksi bangunan cagar budaya, dokumentasi dan penelitian sejarah serta memberikan arahan dan solusi untuk pemanfataan kembali. Masukan yang didapat selama training semakin diperkuat dengan adanya survei dan analisa lapangan (site visit survey) dan hadirnya narasumber dari berbagai profesi. Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta saat ini sedang menyusun Panduan Rancang Kota/Urban Design Guidelines (UDGL) Area Dalam Tembok Kota Tua seluas 139 Ha dimana UDGL merupakan panduan bagi perencanaan kawasan yang memuat uraian teknis secara terinci tentang kriteria, ketentuanketentuan, persyaratan-persyaratan, standar dimensi, standar kualitas yang memberikan arahan bagi pembangunan suatu kawasan yang ditetapkan mengenai fungsi, fisik bangunan prasarana dan fasilitas umum, fasilitas sosial, utilitas maupun sarana lingkungan. Training ini dapat memberikan arahan-arahan detail teknis pelaksanaan fisik konservasi setiap bangunan dan revitalisasi Kawasan Kota Tua, dimana UDGL merupakan panduan teknis pelaksanaan pengembangan Kawasan Kota Tua yang akan disahkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta sehingga seluruh pelaksanaan dan pengembangan baik dalam konteks

bangunan maupun Kawasan dalam Kota Tua harus mengacu kepada UDGL ini. Training ini juga memberikan pengetahuan bahwa suatu bangunan bersejarah atau cagar budaya harus memiliki makna yang diberikan baik kepada bangunan itu sendiri maupun lingkungan disekitarnya. Makna ini dapat melalui kegiatan atau fungsi baru yang dimasukan kedalam bangunan cagar budaya ataupun bangunan baru sebagai pendukung dari bangunan cagar budaya. Hal ini penting dilakukan untuk melestarikan bangunan cagar budaya itu sendiri, memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai sejarah dan pentingnya melestarikan bangunan yang dimaksud serta memberikan pembelajaran kepada masyarakat bagaimana menghargai dan merawat bangunan cagar budaya. Makna pada sebuah bangunan cagar budaya atau kawasan pemugaran juga penting untuk diketahui oleh para pengembang dan Dinas teknis terkait pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan arahan pengembangan yang berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi. Pengembangan dapat pada berbagai aspek seperti wisata, akademis, penataan ruang kota, struktur dan infrastruktur dalam dan sekitar kawasan pemugaran serta pengembangan lainnya. Diharapkan training ini akan diadakan setiap tahunnya dengan tema yang berbeda untuk memberikan pelatihan dan pengetahuan di bidang konservasi.

Bayu Dwi Rahmatyo Bangunan Cagar Budaya merupakan bagian dari sejarah bangsa yang menjadi jati diri bangsa sehingga pelestarian terhadap bangunan cagar budaya menjadi suatu hal yang sangat penting agar bangsa tidak kehilangan jati diri dan generasi mendatang tetap mengetahui perjalanan sejarah yang terjadi terhadap bangsa dengan melihat bukti secara fisik dari sejarah tersebut. Peraturan mengenai pelestarian bangunan cagar budaya sudah tertuang dalam batang tu-

152 – Appendix

buh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung pasal 38. Melalui training konservasi bangunan cagar budaya berstruktur bata yang berpotensi untuk pemanfaatan kembali, didapatkan berbagai macam pembelajaran, pengetahuan, dan pengalaman dalam pelestarian bangunan cagar budaya. Dalam proses pelestariannya, bangunan cagar budaya memiliki ke-

unikan dan karakteristik masing-masing. Tidak ada bangunan yang sama persis dalam penanganannya. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi antara lain usia bangunan, teknik konstruksi yang digunakan, material yang digunakan, kondisi lingkungan, tingkat kerusakan, dan lain-lain. Dengan demikian, teknik-teknik konservasi bangunan yang tepat sesuai dengan kaidah konservasi adalah hal yang penting diketahui dan untuk dilaksanakan.


Dalam mengonservasi bangunan cagar budaya, tahap pertama yang dibutuhkan adalah mengumpulkan dokumentasi dari bangunan tersebut. Dokumentasi ini didapatkan melalui observasi mulai dari inventarisasi sejarah, arsitektur, lokasi, dan sebagainya. Selain itu juga dibutuhkan pendokumentasian bangunan melalui pengukuran dan penggambaran bangunan sehigga didapatkan data dokumentasi yang spesifik dari bangunan tersebut. Tahap selanjutnya adalah survey untuk identifikasi kerusakan bangunan. Dokumentasi dan identifikasi kerusakan berguna untuk memutuskan metode / langkah yang akan diambil dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya agar kembali ke kondisi yang aman dan layak digunakan kembali. Prinsip dalam konservasi bangunan cagar budaya adalah minimum intervention, maximum invention. Dalam pemahaman pribadi hal ini berarti dalam pelaksanaan konservasi bangunan dilakukan seminimal mungkin intervensi yang dapat merusak nilai sejarah dari bangunan tersebut namun mendapatkan hasil maksimal dari usaha konservasi bangunan tersebut. Hal ini berarti keaslian bangunan harus dijaga semaksimal mungkin dengan memahami konstruksi bangunan tersebut termasuk metode pembangunannya, dan juga material yang digunakan sehingga dalam upaya konservasi, kerusakan yang terjadi semaksimal mungkin diperbaiki dengan metode yang casama dengan metode yang digunakan pada bangunan cagar budaya, penggantian material sedapat mungkin dihindari namun jika tidak, maka material pengganti harus dibuat sama dengan material asli. Selain upaya perbaikan, upaya pencegahan untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut pada bangunan juga diperlukan dalan konservasi bangunan cagar budaya, sehingga nilai dari bangunan tersebut tetap terjaga. Pada kasus bangunan berstruktur bata, pe-

nyebab kerusakan pada umumnya adalah karena tingkat kelembaban, kandungan garam dalam dinding, pergeseran struktur, tanaman baik tingkat rendah seperti jamur, ganggang, lumut maupun tanaman tingkat tinggi yang merusak dari sisi akarnya. Pada bangunan cagar budaya bermaterial bata, biasanya terdapat kandungan air dalam dinding dan struktur bata dikarenakan porositas dari material bata itu sendiri. Kadar air yang tinggi dalam dinding dan struktur bata merupakan hal yang sangat dihindari. dalam dinding dan struktur bata karena dapat menyebabkan pelapukan. Pelapukan dapat terjadi lumut atau jamur yang tumbuh karena tingkat kelembaban yang tinggi pada material bata atau jika dinding dan struktur bata diplaster dengan menggunakan plaster yang “tidak bisa bernafas� sehingga air terkurung di dalam bata. Selain itu juga kandungan air dalam bata juga dapat menyebabkan garam dalam dinding yang dapat menyebabkan keretakan dan pelapukan akibat dari akumulasi kristal garam. Oleh karena itu dalam konservasi, pengendalian air diperlukan dalam upaya mengurangi kadar air dalam bata misalnya dengan mengelupas plester dinding agar dinding bisa bernafas atau mengganti material plaster dinding menjadi yang lebih bernafas, pembuatan drainase untuk mencegah air merembes ke dinding, membuat jeda antara perkerasan dengan dinding sehingga kelembaban / air tanah dapat menguap tanpa melalui dinding dan lain sebagainya. Apabila kerusakan akibat adanya indikasi pergeseran struktur, maka yang terlebih dulu dilakukan adalah upaya perbaikan struktur. Kerusakan pada material bata dapat disikapi dengan 2 cara. Apabila kerusakan tidak terlalu parah maka dapat dilakukan upaya pencegahan seperti yang sudah diuraikan diatas agar material bata tetap asli tanpa dilakukan penggantian. Namun jika kerusakan sudah parah dan diperlukan penggantian beberapa hal perlu diperhatikan antara lain susunan/

komposisi pemasangan bata, teknik pemasangan bata (dry masonry/wet masonry technique), dimensi bata, spesi yang digunakan apabila menggunakan wet masonry technique, jika perlu, dilakukan uji lab, sehingga nilai keaslian dari bangunan cagar budaya tersebut tetap terjaga walaupun material yang digunakan merupakan material baru. Isu-isu yang terjadi pada konservasi bangunan cagar budaya dalam bidang yang dijalani saat ini adalah keterbatasan pengetahuan dari pemerintah dan masyarakat akan kaidah konservasi dan rendahnya awareness dari masyarakat akan pentingnya bangunan cagar budaya. Saat ini, apresiasi pihak pemerintah dan masyarakat akan konservasi bangunan cagar budaya dapat dikatakan tinggi, akan tetapi dalam pelaksanaannya seringkali tidak mengindahkan kaidah konservasi. Seringkali dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya bertujuan untuk menghidupkan kembali (merevitalisasi) bangunan cagar budaya namun dengan membuat sesuatu yang tidak kontekstual terhadap bangunan cagar budaya tersebut, sehingga pada akhirnya nilai-nilai yang terdapat dalam bangunan tersebut malah berkurang atau sama sekali hilang. Training konservasi seperti yang dilaksanakan sangat diperlukan bagi aparat pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan pemahaman mengenai kaidah konservasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dalam hal konservasi, lebih jauh lagi diperlukan juga training konservasi yang bersifat teknis bagi pelaksana di lapangan (kontraktor, tukang, dan sebagainya) untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi mereka dalam menangani bangunan cagar budaya. Awareness masyarakat akan pentingnya cagar budaya dapat ditingkatkan melalui event-event atau festival-festival yang dikemas secara menarik dan menghibur tentang kesejarahan yang secara langsung mengedukasi masyarakat akan sejarah.

Citra Sari Ayu Dimulai dari salah satu bangunan di Kota Tua, Jakarta. Dasaad Musin Concern, sebuah bangunan kantor sekitar 1929. Cantik, mencoba menampilkan irama dalam fasade 3 (tiga) lantai dengan luas lahan sekitar 260 m2. Tidak terapresiasi pada saat ini sudah menjadi umum, disebabkan perbedaan kepentingan dan sebagainya. Perjalanan berpindah ke Benteng Van Der Wijck, sebuah benteng tua di bagian Utara Kecamatan Gombong yang dibangun tahun 1827. Benteng seluas 7.168 m2 merupakan markas pertahanan Belanda dan pendidikan militer. Entah kenapa kini menjadi tempat wisata keluarga dengan kereta wisata di atasnya. Trowulan, perjalanan selanjutnya. Sebuah situs peninggalan Kerajaan Majapahit yang dihancurkan sekitar abad ke-15. Saat ini masih ada yang tetap berdiri, sementara lainnya ada yang mulai ditutupi dengan bangunan yang lebih mewakili masa ini. Apa yang menarik selanjutnya. Alam dan perilaku manusia. Dua hal penyebab kerusakan. Iklim tropis dengan kelembaban lingkungan dan curah hujan tinggi mengakibatkan struktur miring, retak, pecah, pelapukan ditambah perilaku manusia untuk mengembangkan dan memanfaatkan

atau mengabaikan bahkan merusak. Dasaad Musin Concern tidak sendiri, banyak bangunan Kota Tua yang terbengkalai entah karena sengketa kepemilikan diamini dengan pemerintah yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kenapa pula Benteng Van Der Wijck muncul dengan warna merah dan penataan lansekap yang menurut saya bertentangan dengan karakter benteng itu sendiri. Sedangkan Trowulan, kebanggaan Pulau Jawa, semoga tidak kehilangan pesonanya. Tugas pokok dan fungsi di Suku Dinas Tata Ruang Kota Administrasi Jakarta Timur memang tidak behubungan langsung. Tapi saya sebagai manusia yang pernah belajar arsitektur dan berpola pikir di dalamnya, berharap apapun itu bangunannya, bangunan itu ingin tampil sesuai seperti apa karakter yang dulu dilekatkan. Kecantikan Dasaad Musin Concern, si irama 3 (tiga) lantai dengan menara sebagai ciri arsitektur masa itu dan gaya jendela yang mengadopt karakter iklim tropis harus ditampilkan kembali. Begitu pun dengan Benteng Van Der Wijck. Menjadi tempat wisata keluarga menurut saya tidak penting. Cukup tampilkan karakter sesuai sejarah, sehingga wisatawan yang datang dapat merasakan atmosfir

sesuai cerita yang ditinggalkan. Menyiasati bangunan di Kota Tua. Pemerintah (mungkin) mengambil hak kepemilikan perseorangan pada bangunan cagar budaya. Beruntung jika si pemilik bersedia mengembalikannya, pemerintah dapat memberikan insentif. Atau apapun itu mekanismenya. Mengikuti Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali membuat saya belajar, know how to ketika menghadapi bangunan cagar budaya berstruktur bata khususnya, bukan untuk menjadikannya menjadi indah atau lebih indah, baik atau menjadi lebih baik, tapi membuatnya sesuai dengan sejarah. Minimum interventions and maximum inventions is a must-mengutip lecture salah satu pengajar. ‌mengambil keputusan yang tepat untuk melakukan tindakan perbaikan apa yang harus diambil‌memahami dengan benar tentang metode dan konstruksi bentuk dan sifat dari berbagai macam bangunan cagar budaya di lokasi yang berbedabeda, seperti yang tercantum dalam latar belakang training ini.

Dian Prasetyawati Melalui pelaksanaan Training Bata yang dilakukan oleh Unit Pengelola Balai Konservasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 1017 September 2013, terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik bagi para peserta, yaitu: 1. Memahami prinsip-prinsip pelestarian sebagaimana tercantum pada Undang-Undang No.10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya serta konvensi-konvensi lain yang berlaku umum seperti Piagam Venice dan Piagam Burra. 2. Memperoleh transfer ilmu teknik pelestarian bangunan gedung berstruktur bata, khususnya bangunan gedung kolonial, serta metode identi-

3. 4. 5.

fikasi kerusakan struktur bata melalui tes sederhana. Memahami perbedaan jenis-jenis bangunan berstruktur bata yang ada di Indonesia serta metode restorasi struktur bata yang diperkenankan. Memahami makna bangunan cagar budaya sebagai bagian dari identitas diri dan wilayah yang tak ternilai dan wajib dilestarikan. Memahami bahwa upaya pelestarian bangunan cagar budaya merupakan usaha bersama, melibatkan para pemangku kepentingan dari jajaran pemerintah daerah hingga pusat, yang didukung oleh pelaku profesi seperti arsitek, ahli bangu-

6.

nan bersejarah, arsitek dan masyarakat setempat. Melalui pembelajaran dengan tim asing, diketahui bahwa tim pelestari bangunan bersejarah setidaknya terdiri dari beberapa tenaga arsitek, ahli arkelolog, ahli sejarah, dan teknik sipil yang memahami struktur bangunan bersejarah yang diselidiki. Selain itu, dibutuhkan kesadaran pemilik bangunan gedung bersejarah untuk memahami pentingnya pelestarian. Hal ini berarti, upaya pelestarian bukanlah upaya sektoral dan untuk itu, pembinaan penataan bangunan dan lingkungan di bidang pelestarian bangunan ber-

Appendix – 153


sejarah perlu menjadi upaya kolaboratif. Secara khusus, pelatihan ini membuka wawasan peserta dari Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan untuk dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip pelestarian dalam skema perencanaan dan pembinaan penataan bangunan dan lingkungan di lingkup kawasan strategis nasional. Penanganan bangunan cagar budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari peran pembinaan yang wajib dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan. Namun demikian, terdapat beberapa kendala, termasuk belum ditemukan kesepakatan mengenai substansi atas perlindungan hukum tenaga teknis arsitek bangunan bersejarah, yang sudah selayaknya tertuang dalam RUU Arsitek. Selain itu, mekanisme pelatihan ahli bangunan bersejarah masih dilakukan secara sektoral oleh Kemendikbud, yang umumnya dilakukan oleh ahli arkeolog. Penanganan bangunan bersejarah di kawasan strategis nasional oleh Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan tentunya merupakan bagian integral dari strategi besar upaya pelestarian. Untuk itu, setiap program pelestarian bangunan gedung

bersejarah yang diusulkan melalui mekanisme APBN di lingkup Kementerian Pekerjaan Umum diwadahi dalam program yang mampu mengakomodasi aspek kolaboratif yang seharusnya terjadi dalam proses. Dalam hal ini, program pembinaan tersebut terkait pada penyediaan peraturan terkait profesi arsitek termasuk penyediaan wadah pembelajaran arsitek bangunan bersejarah, penyediaan manual bagi tenaga konservasi bangunan bersejarah yang direhabilitasi, penyediaan skema kerjasama teknis dan pendampingan teknis pelestarian, serta penyediaan dana stimulan produk pengaturan revitalisasi kawasan bersejarah yang memadukan kaidah-kaidah pelestarian dengan desakan kebutuhan pemanfaatan baru (adaptive reuse) khususnya pada kota-kota tua yang terdegradasi di Indonesia. Beberapa strategi menjawab alternatif solusi yang ditawarkan adalah sebagai berikut: 1. Mendayagunakan tenaga pengelola teknis sebagai arsitek bangunan gedung bersejarah dan mendampingi proses pengelolaan bangunan gedung bersejarah yang ditangani oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Pemerintah Daerah. 2. Menyusun manual teknis konstruksi dan do-

3.

4.

5.

kumentasi kegiatan sesuai kaidah pelestarian untuk Program Rehabilitasi Bangunan Gedung Negara. Meningkatkan upaya kolaboratif dengan melakukan pertemuan berkala dengan pihak-pihak terkait penyusunan RUU Arsitek dan RUU Insinyur untuk mencari kesepakatan perlindungan hukum bagi ahli bangunan gedung bersejarah dan ahli bangunan gedung tradisional. Memberikan dana stimulan untuk melakukan studi dan riset di beberapa lokasi kawasan strategis nasional dalam program Kota Pusaka, sebagai sarana pembelajaran teknis konservasi bangunan berstruktur bata peninggalan kolonial maupun bagi tenaga teknis (ahli arsitektur, ahli sipil) yang dibina oleh Kementerian Pekerjaan Umum untuk disusun manual yang dapat diterapkan secara umum oleh tenaga teknis di daerah. Melakukan perbaikan terhadap beberapa pedoman yang telah disusun termasuk panduan Revitalisasi Kawasan serta Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, agar dapat mengintegrasikan kaidah pelestarian sesuai Undng-Undang No.10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya.

Ephraem Widojo Sianturi A. LATAR BELAKANG Bangunan Cagar Budaya merupakan warisan peninggalan sejarah yang menjadi kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. B. KESAN / IMPRESSION Selama mengikuti training i n i , terdapat 3 (tiga) lokasi yang dikunjungi untuk dilakukan observasi, antara lain Kawasan Kota Tua di Jakarta, Benteng Van Der Wicjk di Gombong, Jawa Tengah dan Situs Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur. Kesan yang didapatkan dalam melakukan observasi tersebut adalah banyaknya peninggalan sejarah yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang belum dilakukan penanganan dengan baik dan benar

yang ditandai dengan tidak terawatnya kondisi bangunan dan masih perlunya dilakukan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan yang sesuai dengan nilai-nilai sejarah dari bangunan dan situs tersebut.

C. PENGETAHUAN YANG BARU TENTANG BANGUNAN CAGAR BUDAYA (BCB) Dalam mengikuti training ini, terdapat beberapa hal dan pengetahuan yang baru yang dapat dilakukan untuk penanganan Bangunan Cagar Budaya dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, antara lain dengan melakukan survei lapangan, analisa dan forensik terhadap kondisi bangunan, pemilihan material-material yang akan digunakan serta melakukan monitoring/pengawasan selama proses pelaksanaan pekerjaan konservasi berlangsung. D. ISU DAN RENCANA KE DEPAN Isu / permasalahan ke depan terhadap penanganan Bangunan Cagar Budaya (BCB) akan terus menghadapi kendala selama peran dari pemerintah/

pemerintah daerah belum memiliki kesamaan visi dan misi serta aturan-aturan yang lebih detail dalam melakukan pelestarian, baik dari sisi perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kembali dari Bangunan Cagar Budaya tersebut. Perlunya peran para pihak, baik pemerintah/ pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat terhadap pentingnya melakukan pelestarian terhadap bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di wilayah NKRI. Diperlukannya kerjasama dari para pihak yang mengerti kaidah-kaidah konservasi dalam menangani pelaksanaan konservasi bangunan cagar budaya, seperti kerjasama antara arsitek, arkeolog, ahli konstruksi dan ahli tanah dalam melakukan proses pelaksanaan konservasi suatu bangunan cagar budaya, sehingga dihasilkan konservasi yang tidak mengurangi nilai-nilai sejarah dan tetap mendapatkan kenyamanan, keamanan serta kekuatan struktur dari bangunan cagar budaya tersebut.

Erman PENDAHULUAN Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan�. Sedangkan Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/ atau tidak berdinding, dan beratap�. Yang dimaksudkan disini adalah bangunan cagar budaya atau bangunan candi yang terbuat dari bahan bata. MAKSUD Maksud dari kegiatan ini ialah agar kegiatan pelestarian dan konservasi Bangunan Cagar Budaya berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan yang benar. TUJUAN Memberikan pengetahuan mengenai permasalahan dan solusi teknis mengenai konservasi

154 – Appendix

khusus bangunan tua dengan struktur dan material bata yang berpotensi untuk pemanfaatan kembali (adaptive-reuse) yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. 1.

2.

3.

4.

TEMUAN / RESUME KEGIATAN Permasalahan utama berkenaan dengan upaya pelestarian cagar budaya khususnya yang dilakukan dengan cara pemugaran adalah terjadinya kerusakan pada sebagian besar bangunan karena proses alam atau aktivitas manusia. Berbagai kerusakan yang ada menimbulkan permasalahan terkait dengan cara penanganan pemugarannya. Selain data untuk mendukung rekonstruksi bangunan yang sangat terbatas, diperlukan juga cara penanganan yang tepat agar tidak terjadi kesalahan dalam pemugarannya. Dalam hal pelestarian, yang semestinya dipahami adalah bagaimana pemugaran dilakukan dengan benar agar tidak menimbulkan salah interpertasi. Bangunan cagar budaya merupakan hasil kegiatan manusia masa lalu yang dalam hal ini merupakan sumber daya budaya yang rapuh dan tidak terbaharukan (non-renewable). Oleh karena itu

5.

6.

7.

8.

9.

pekerjaan pemugaran senantiasa harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan. Kesalahan dalam memugar cagar budaya pada hakekatnya berpotensi menimbulkan salah interpertasi atau dapat diartikan sebagai pemutar balikan sejarah. Dari aspek arkeologis, ketentuan-ketentuan normatif mengisyaratkan bahwa penggunaan material baru untuk mengganti bagian yang rusak atau hilang dapat dilakukan sejauh memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini antara lain dengan cara analogi atau dengan berpedoman pada bagian bangunan yang mempunyai bentuk simetris. Dari aspek teknis, penggunaan material baru harus dilakukan dengan mempertimbangkan perlu tidaknya penggantian melalui kajian teknis dengan tetap mengedepankan otentisitas bangunan. Kedua aspek tersebut merupakan standar operasional prosedur (SOP) dalam setiap pengambilan keputusan yang bersifat tehnis dan arekeologis. Hingga kini upaya penggunaan material baru masih menyisakan berbagai persoalan terkait


dengan perlu tidaknya penggatian dan sejauh mana dapat dilakukan. 10. Seringkali muncul tuntutan di luar aspek teknis dan arkeologis, yaitu tuntutan estetika yang seringkali mendorong pada berbagai penyelesaian pemugaran yang sifatnya relatif bahkan cenderung subyektif. Di satu sisi secara konsisten diselesaikan dengan merujuk pada aspek arkeologis dan teknis, di sisi lain lebih menekankan pada penyelesaian atas dasar pertimbangan estetika. 11. Paradigma pelestarian cagar budaya, dalam perkembangannya telah membawa kita pada penyelesaian yang seringkali bersifat win-win solution, dalam hal ini semata-mata tidak hanya dimaknai untuk kepentingan masa lalu tapi juga untuk kepentingan masa kini maupun untuk masa yang akan datang. 12. Menyikapi hal ini sudah barang tentu diperlukan sebuah pedoman yang tidak hanya mengakomodasi pada hal-hal yang bersifat teknis dan arkeologis tapi juga rambu-rambu yang bersifat estetis. Dengan demikian tuntutan estetika ini diharapkan tidak lagi menjadi bola liar yang dapat mendorong pada upaya pemugaran yang tidak proporsional.

1. 2.

3.

1.

2. 3. a. b.

PENGALAMAN / HAL-HAL BARU Identifikasi permasalahan dan solusi teknis penanganan bangunan cagar budaya sangat diperlukan sebelum dilaksanakan kegiatan konservasi. Masih banyak ditemukan kegiatan pelestarian dan konservasi bangunan cagar budaya yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Keterbatasan sumber daya manusia baik dalam hal kualitas maupun kuantitas mengakibatkan upaya pelestarian bangunan cagar budaya seolah-olah dilaksanakan apa adanya. KESIMPULAN Kesadaran mengenai pelestarian bangunan cagar budaya sudah mulai tumbuh, sehingga perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup mengenai kaidah-kaidah konservasi. Upaya pelestarian dan pemanfaatan kembali cagar budaya harus sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Persyaratan yang harus diperhatikan dalam melakukan Pelestarian Cagar Budaya Pelestarian CB dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan. Kegiatan Pelestarian CB harus dilaksanakan

c.

d.

1.

2.

3.

atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian Tata cara Pelestarian CB mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian. Pelestarian CB harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian SARAN Kegiatan konservasi bangunan cagar budaya hendaknya merupakan satu kata dan perbuatan antara berbagai pihak, baik itu para penentu kebijakan, perencana, pelaksana dan pengawas kegiatan atau bahkan masyarakat/ khalayak publik, dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Semua yang terlibat dalam kegiatan konservasi bangunan cagar budaya harus segera dibekali pengetahuan yang cukup mengenai kaidahkaidah konservasi. Perlu dirumuskan mengenai “Reward and punishment” sehingga bangunan-bangunan cagar budaya yang ada tidak dibiarkan terbengkalai atau bahkan punah.

Feli Napraisetti A.

IMPRESI TERHADAP TRAIN-

ING 1. MATERI TRAINING Materi yang disampaikan dalam pelaksanaan training dari dasar hukum konservasi, kaidah konservasi bangunan berstruktur bata, hingga contoh kegiatan pemugaran diberbagai wilayah Indonesia dan luar negeri. Dengan menghadirkan berbagai expert pada bidangnya masing-masing, peserta memperoleh ilmu dan sharing knowledge yang bermanfaat untuk aktivitas kantor masing-masing instansi. Materi training yang diberikan banyak yang bersifat praktikal untuk proses konservasi, seperti halnya bagaimana cara mengobservasi kerusakan pada bangunan cagar budaya berstruktur bata dan upaya untuk mengatasi kerusakan tersebut. Solusi untuk menyelesaikan masalah kerusakan yang sudah ada dan inovasi untuk pencegahan potensi kerusakan dikemudian hari. 2. PELAKSANAAN Secara keseluruhan proses training berjalan baik dengan panitia dan EO yang handal pada bidangnya masing-masing. Walaupun ada beberapa perubahan rundown acara dari yang sudah di sepakati diawal oleh EO dan panitia, namun overall perubahan tersebut masih berada pada ambang batas waktu yang dapat ditolerir. B. MANFAAT TRAINING Training dilaksanakan dengan tujuan untuk proses sharing knowledge dari pakar-pakar konservasi kepada pihak-pihak (peserta) yang memiliki ketertarikan terhadap konservasi bangunan cagar budaya serta berkaitan dengan pekerjaan peserta pada khususnya. Training ini bermanfaat bagi saya secara personal untuk menambah ilmu dan pengetahuan tentang konservasi, kaidah dan permasalahannya. Selain itu training ini bermanfaat bagi instansi dimana saya bekerja, yaitu Suku Dinas Tata Ruang. Walaupun tidak berhubungan langsung dengan kegiatan konservasi bangunan cagar budaya namun pengetahuan yang diperoleh dapat menjadi bekal untuk menyusun rencana suatu kota yang tetap mempertahankan identitasnya melalui bangunan cagar budaya. Besarnya arus kapitalisme yang menyebabkan banyak ruang kota berubah fungsi menjadi kawasan komersial dan merusak kawasan/bangunan cagar budaya adalah hal yang dapat dicegah melalui regulasi tata ruang . C. PERMASALAHAN KEGIATAN KONSERVASI DI INDONESIA 1. BUANG-BUANG DUIT SAJA! Banyak pengambil kebijakan yang belum be-

gitu paham manfaat dari pelestarian bangunan cagar budaya, terutama di daerah. Hal ini terlihat dari banyaknya bangunan cagar budaya yang belum “tersentuh” upaya konservasi. Prioritas pembangunan lain dirasa lebih bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu kepemilikan dari banguna cagar budaya oleh swasta menyebabkan banyak bangunan yang terbengkalai atau jika dilakukan pemugaran namun belum sesuai kaidah yang seharusnya. Hal tersebut didukung pula oleh kurangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat kegiatan konservasi bagi suatu kota dan peradaban. Masyarakat mencoret. Merusakan, dan bahkan mencuri benda/bangunan cagar budaya. Permasalahan ini menjadi faktor penghambat dalam kegiatan konservasi di Indonesia, melalui training yang dilakukan saat ini diharapkan peserta yang akan menjadi pengambil kebijakan dikemudian hari dapat memberikan edukasi kepada masyrakat atau lingkungan kerjanya tentang manfaat kegiatan konservasi sehingga proyek/kegiatan konservasi tidak dinilai sebagai kegiatan “buang-buang duit” saja. Atau secara umum dapat menjawab kepada masyarakat/decision maker suatu kota tentang “untuk apa dikonservasi?” “Apa manfaatnya bagi kota?”, “Apa itu identitas kota?”, “Untuk apa identitas kota dipertahankan?” dll. 2. BATASAN KEGIATAN KONSERVASI Kegiatan konservasi yang dijelaskan dalam kegiatan training menjelaskan bahwa batasan kegiatan konservasi (khususnya pemugaran) terlihat kurang jelas dalam proyek pelaksanaannya. Hal ini terlihat misalnya ketika berada di Candi Tikus, ada bagian yang dibiarkan “apa-adanya” yaitu minim intervensi, sedangkan ada bagian yang di rekonstruksi dan replika secara utuh. Hal ini menunjukan bahwa belum ada kesepakatan antara pelaksana proyek dan pengambil keputusan dalam memberikan batasan proyek kegiatan konservasi. Permasalahan antara “boleh dan tidak” menjadikan kendala kegiatan ketika pertanggungjawaban kegiatan kepada masyarakat sebagai “sumber dana” (red : pajak) belum memberikan manfaat secara sosial apalagi ekonomi. 3. MINIMNYA TENAGA KERJA KONSERVASI Kurangnya tenaga kerja konservasi berkaitan dengan minimnya kecintaan masyrakat terhadap bangunan cagar budaya. Pekerjaan yang “kurang” bersifat komersil adalah salah satu alasan minimnya tenaga kerja kegiatan konservasi. Tidak bias hanya mengandalkan praktisi akademis dan pegawai negeri

saja , namun edukasi kepada masyarakat dapat dimulai melalui anak kecil misalnya melalui kegiatan rutin pembelajaran di museum. D. KESIMPULAN Kegiatan training yag dilaksanakan memilih 4 lokasi contoh kegiatan konservasi dengan thema yang berbeda-beda yaitu : • Kota Tua Jakarta ( adalah bekas perkantoran kolonial), • Benteng Van Der Wijck (adalah bekas benteng dan asrama kolonial), • Trowulan (adalah peninggalan kerajaan Majapahit), dan • Pura Agung di Bali (Religius). Dari ke emepat lokasi tersebut dapat disimpulkan kegiatan konservasi dipengaruhi oleh beberapa hal berikut ini : 1. Lokasi Bangunan Cagar Budaya Lokasi berpengaruh terhadap dua hal, yaitu bahan untuk kegiatan pemugaran dan bagaimana bangunan tersebut dipugar. Misalnya Kota Tua Jakarta, yang berada di kota Jakarta sebagai ibukota Provinsi dan Ibukota Negara perlu menjadi salah satu “ikon” kota sehingga pemanfaatan kembali dan intervensi yang dilakukan harus disesuaikan, misalnya untuk perkantoran diperbolehkan. Bahan yang digunakan dalam kegiatan pemugaran juga dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan dilokasi tersebut. 2. Sejarah Bangunan Cagar Budaya Sejarah penggunaan bangunan cagar budaya tersebut mempengaruhi bagaiman kegiatan konservasi dilakukan, misalnya Trowulan sebagai peninggalan kerajaan diprioritaskan untuk penyelamatan bangunan terlebih dahulu, dan penambahan ornament-ornamen replica secara utuh belum dilakukan mengingat “belum diketahui” secara pasti sejarah bangunan tersebut yang mempengaruhi arkeologinya. Selain itu misalnya Benteng Van Der Wijck, dengan sejarah sebagai asrama maka penggunaan kembali sebagai hotel diperbolehkan dengan penyesuaian-penyesuaian. 3. Budaya Setempat Misalnya pada Bangunan Pura di Bali, budaya setempat mengharusnya ada upacara adat sebelum pelaksanaan konservasi.

Appendix – 155


Ferdi Ardiansyah Dwinanto Assalamu alaikum wr wb Pak Haji, Selama sepekan diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan Pelatihan Konservasi Cagar Budaya Struktur Bata bisa saya katakan saya adalah orang yang beruntung, kenapa? Karena disini saya mendapatkan cara pandang berbeda dan juga tentunya ilmu-ilmu baru mengenai konservasi. Bukan hanya karena saya berkesempatan untuk mengunjungi bangunan-bangunan cagar budaya yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya tetapi juga karena pelatihan ini mendatangkan tenaga-tenaga ahli dibidangnya sebagai pengajar untuk menerangkan kaidah-kaidah dan filosofi dalam konservasi bangunan cagar budaya. Untuk memulai suatu konservasi kita harus terlebih dahulu memahami kaidah konservasi, seperti yang diterangkan Bpk. Han Awal di pelatihan hari pertama, adalah untuk tidak menghapus jejak sejarah yang mungkin terkandung di dalam suatu bangunan. Hal tersebut sudah coba dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan melindungi bangunan-bangunan yang bersejarah, sebagai contoh dalam kunjungan ke Trowulan Mojokerto, saya melihat suatu upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam melindungi sejarah bangsa Indonesia dengan melakukan konservasi bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang berhasil menyatukan sebagian besar wilayah Indonesia atau Nusantara. Walaupun belum maksimal dan adanya kontroversi terhadap cara konservasi, upaya tersebut patut mendapatkan apresiasi karena dapat memberikan pengetahuan bagi generasi sekarang dan yang

akan datang mengenai sejarah Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, di pelatihan ini saya jadi lebih mengetahui mengenai persiapan pra-konservasi, kaidah-kaidah maupun filosofi untuk memulai suatu pekerjaan konservasi. Pelatihan ini banyak mendatangkan tenaga pengajar yang merupaka ahli di bidangnya dan telah melakukan pekerjaan konservasi khususnya pada bangunan berstruktur bata selama puluhan tahun, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan beberapa pengajar seperti Bruce Pettman dan Joy Singh yang berasal dari Australia dapat melakukan konservasi terhadap lebih dari 10 bangunan dalam 1 tahun. Ada juga arsitek senior yaitu Bpk. Han Awal yang telah melakukan pekerjaan konservasi di beberapa bangunan penting di Jakarta dan kota lainnya seperti Katedral, Gereja Theresia Menteng, dll. Dan juga ahli-ahli lainnya seperti Bpk. Mundarjito, ahli arkeologi yang juga merupakan anggota dari Tim Sidang Pemugaran Disparbud Provinsi DKI Jakarta serta Bpk. Ismiyono dan Bpk. Made Widnyana Sudibya yang telah melakukan konservasi banyak bangunan di Bali. Walaupun berasal dari berbagai displin ilmu dan pengalaman berbeda, dari materi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa untuk memulai pekerjaan konservasi, sangat penting bagi kita untuk terlebih dahulu mendapatkan data-data desain maupun bahan material yang dipergunakan untuk membangun bangunan tersebut dan fungsi bangunan tersebut, juga yang tak kalah pentingnya adalah mengetahui cara atau metode pekerjaan. Karena semua data-data tersebut akan lebih memudahkan

kita dalam melakukan pekerjaan termasuk dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan pada bangunan yang biasanya terjadi karena kelembaban yang tinggi, garam, korosi, dan erosi angin. Dan pada pelatihan bukan hanya diterangkan bagaimana mengatasi itu semua tetapi juga yang lebih penting yaitu pelatihan mempertemukan orang dari berbagai macam instansi yang berkaitan dengan cagar budaya, tentunya hal ini dapat membuka jalur komunikasi dan koordinasi diantara kami semua apabila suatu saat ini kami diberi kesempatan untuk terjun langsung melakukan suatu pekerjaan konservasi sesuai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan kami masing-masing. Dan kedepannya saya berharap bahwa suatu saat dapat berpartisipasi kembali apabila ada pelatihan-pelatihan seperti ini lagi dengan pengajar yang lainnya serta tempat kunjungan bangunan cagar budaya yang lainnya pula. Ilmu konservasi adalah ilmu yang akan terus berkembang dari hari kehari dan akan terus dikembangkan oleh generasi selanjutnya, seperti yang diterangkan Bpk. Made Widnyana dalam filosofi orang Bali yang mengatakan bahwa “setiap generasi berhak memiliki catatan budayanya masing-masing”. Akhir kata saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang mewujudkan adanya pelatihan ini. Semoga ilmu-ilmu yang saya dapatkan pada pelatihan dapat berguna bagi masyarakat Indonesia khususnya Jakarta sebagai Bangsa atau Kota yang menghormati akan sejarahnya. Amin. Wassalamu aalaikum wr wb.

Isfi Ervitasari Indonesia telah mengalami pergantian berbagai macam zaman, dari zaman majapahit, kolonial hingga modern seperti saat ini, bangsa ini pun pernah mengalami masa kejayaan pada saat zaman Majapahit, dan pernah mengalami masa-masa pahit ketika zaman kolonial, tiap masa meninggalkan warisan, diantaranya warisan cagar budaya berupa bangunan. Bangunan yang indah itu makin lama makin hilang tergerus kerusakan-kerusakan, yang diakibatkan oleh alam maupun tangan-tangan jahil manusia, penanganan yang salah dalam memugar ikut memberikan konstribusi dalam kerusakan tersebut. Sebelum mengikuti pelatihan konservasi cagar budaya, saya sudah sering mendengar warisan bangsa kita, seperti bangunan peninggalan kolonial Belanda maupun peninggalan Majapahit kurang terawat, tapi setelah saya melihat langsung ke lokasi peninggalan-peninggalan tersebut, dapat dikatakan warisan cagar budaya terkesan di lupakan. Kita memiliki tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang, mereka akan kehilangan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia, bila kita tidak segera mengambil langkah untuk melestarikan cagar budaya tersebut, hal-hal yang dapat kita lakukan diantaranya: • Memberikan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat terhadap pentingnya memelihara warisan bangsa kita untuk generasi yang akan datang, karena warisan budaya merupakan jati diri suatu bangsa. • Mulai memperkenalkan dan memunculkan rasa kecintaan terhadap museum sejak usia dini, kita ambil contoh anak-anak usia Sekolah Dasar dapat melaksanakan study tur di Benteng Van Der Witjck dengan menginap didalam bangunan benteng tersebut dengan didampingi oleh seorang pengawas, didalamnya mereka diajarkan mengenai sejarah dari benteng tersebut, serta dapat merasakan atmosphre terhadap bangunan benteng tersebut. • Pemugaran yang dilakukan diberbagai daerah

156 – Appendix

memiliki kendala yang sama, dimana kurangnya pemahaman mengenai cara yang benar dalam memperlakukan bangunan tersebut, diantaranya dalam pemugaran tidak diperbolehkan pemakaian plesteran dan cat acrylic, tapi kenyataan dilapangan hal ini masih sering kita jumpai, sehingga perlunya pendampingan yang dilakukan oleh tim ahli dilapangan. Masih kurangnya tenaga ahli yang meguasai pemugaran bangunan cagar budaya, sehingga pemerintah diharapkan sering mengadakan pelatihan-pelatihan semacam training konservasi bangunan cagar budaya, dan memberikan sarana dan fasilitas untuk pendidikan formal yang dapat melahirkan tenaga-tenaga kerja yang profesional dan ahli dibidang konservasi bangunan cagar budaya. Kurangnya kordinasi antara pusat dan daerah, sehingga dengan seringnya diadakan pelatihan yang melibatkan seluruh daerah di Indonesia, dapat mempermudah kordinasi yanng diperlukan. Di jaman era informasi ini diperlukan sarana yang dapat memfasilitasi keinginan masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai bangunan cagar budaya dengan mudah dan cepat, sehingga perlu disediakan Website yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pemerintah dapat menyediakan konsultasi gratis kepada masyarakat, yang memiliki keinginan untuk merekonstruksi bangunan cagar budaya yang mereka miliki, dan untuk jangka panjang, diharapkan pemerintah dapat memberikan bantuan dana, serta memberikan intensif berupa pembebasan Pajak Bahan Bangunan untuk masyarakat yang memiliki bangunan cagar budaya, dengan syarat mereka harus membantu pemerintah dalam kelangsungan pelestarian bangunan tersebut. Untuk pemakaian fungsi bangunan setelah pemugaran, tidaklah kaku, dengan penyesuaian terhadap lingkungan, dan tetap berada dijalur

yang tidak merusak bangunan tersebut, hal itu diperkenankan, misalnya: bangunan yang berada di kota tua, lantai satu dapat digunakan sebagai cafe, dan lantai dua seterusnya tetap dipergunakan sebagai kantor. • Perlu adanya persepsi yang sama, visi dan misi yang sama antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara pemerintah dan masyarakat. • Untuk pembangunan yang termasuk didalam golongan A, B, C maupun D untuk tetap berada dalam koridor penataan ruang sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian cagar budaya, dan dimana pengawasan di lapangan agar lebih ketat dan makin ditingkatkan. Setelah mengikuti training ini sejak tanggal 10 September 2013, yang berawal di Jakarta hingga berakhir di Surabaya, saya mendapatkan kesimpulan, ternyata Konservasi merupakan pekerjaan yang harus dilakukan dengan kerja sama seluruh pihak, baik pemerintah, tenaga ahli maupun masyarakat. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan serius, penuh totalitas dan dilakukan secara bertahap, dari pengumpulan data dan segala dokumentasi yang diperlukan, konsep pemugaran, pelaksanaan pemugaran hingga perawatan setelah bangunan tersebut dipugar, hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Dengan kerja keras serta komitmen yang tinggi, kita dapat menjaga dan melestarikan bangunan cagar budaya yang merupakan warisan dan jati diri bangsa Indonesia.


Kayato Hardani Dengan mengikuti kegiatan Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata Yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali Tahun 2013 secara pribadi saya memperoleh kesempatan luar biasa dengan mengikutinya. Sejumlah mentor dan lecture yang berkompeten dan berpengalaman di bidang konservasi bangunan bata telah mentransfer ilmunya dalam kegiatan ini. Satu hal penting yang saya peroleh dari kegiatan ini adalah pemahaman bahwa dalam satu bangunan cagar budaya memiliki ruang-ruang yang berbeda nilai signifikansinya, dengan kata lain pemanfaatan ulang (adaptive re-use) tidak semata-mata dengan ‘membekukan keseluruhan ruang’ jadi ada beberapa ruang yang bisa dikembangkan secara fisik serta ada sebuah ruang yang lain untuk dipreserve ‘diawetkan’ sebagai ruang memori yang bernilai penting. Karena selama ini pemahaman saya adalah semua ruang bisa dimanfaatkan ulang dan mengabaikan nilai penting salah satu ruang dalam sebuah bangunan cagar budaya.

Beberapa catatan penting untuk kegiatan ini antara lain yakni kegiatan obeservasi yang sepertinya terlalu banyak mengambil porsi waktu serta lokasi yang saling berjauhan. Sehingga pendalaman tentang “pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya berstruktur bata” sebagaimana tema kegiatan kurang mengena. Pemanfaatan kembali ini sebenarnya memiliki dimensi yang luas khususnya dari aspek arsitektural bangunan maupun aspek teknis bangunan, seperti intervensi struktur baru (teknologi modern) di dalam sebuah bangunan cagar budaya dengan teknologi masa lalu. Isu ini sangat penting karena saat ini banyak sekali bangunan cagar budaya (masa kolonial) dengan teknologi bearing wall maupun struktur beton dari tahun 1915-1920-an yang kondisinya sudah mengalami degradasi kualitas dimana sangat mendesak untuk diintervensi dengan teknologi bangunan modern yang nantinya akan menjadi dasar rekomendasi pemanfaatan ulang. Hal tersebut bisa menjadi bagian utama dari terminologi ‘new safety and amenities insertions’ di dalam peman-

faatan kembali bangunan cagar budaya. Materi tersebut sangat perlu disampaikan kepada setiap peserta sebagai bahan dasar pemberian saran dan masukan terkait upaya pekerjaan fisik revitalisasi bangunan cagar budaya yang terwujud dalam detail engineering design. Pada kegiatan ini bisa disebut sebagai tataran ‘detektif bangunan cagar budaya’ yang nantinya saya mengharapkan adanya tahap ‘dokter bangunan cagar budaya’ dimana isinya peserta dibebasliarkan membuat konsep-konsep teknis –dengan berbagai latar belakang pendidikan- demi menyelamatkan bangunan cagar budaya, dimana nantinya ada seorang expert teknis yang akan menjadi ‘juri’ yang mengarahkan secara ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan bernilai budaya. Selain itu dengan selesainya kegiatan ini nantinya diharapkan tetap terjalin komunikasi dan kerjasama antara peserta, IAI Jakarta dan Balai Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta dalam upaya memajukan upaya konservasi bangunan cagar budaya.

Maiyozzi Chairi Benda cagar budaya merupakan hasil peninggalan masa lalu yang perlu dilestarikan. Karena benda budaya adalah identitas sebuah bangsa atau merupakan aset bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan. Dengan kebudayaan, berarti kita dapat mengetahui adanya perbedaan etnis dan politik. Oleh karena itu kita perlu melakukan pelestarian (perlindungan, pengembangan, pemanfaatan) terhadap benda cagarbudaya tersebut. Secara keseluruhan kegiatan training konservasi “bangunan cagar budaya berstruktur bata yang berpotensi untuk pemanfaatan kembali” ini telah menambah pengetahuan bagi saya, khususnya untuk BCB berstruktur bata, yang nanti tentunya bisa diaplikasikan pada daerah masing-masing. Beberapa pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat adalah : • Mengetahui undang-undang dan aspek hukum dalam pemanfaatan kembali BCB. Yang berisi tentang acuan untuk penelitian dan konservasi serta pelestarian tentang lokasi (situs).yang

• •

• •

mencakup aspek-aspek yuridis dan aspek teknis. Memahami kaidah-kaidah konservasi Mengetahui teknologi struktur bata sejak masa purbakala. Dalam hal ini bisa diketahui bahwa struktur bata yang rapat (tanpa spesi) bisa disebut candi. Kategori dalam ilmu arkeologi adalah dalam bentuk artifac (buatan manusia), feature (nonportable artifact), ecofact (bukan buatan manusia), site (lokasi), dan region (banyak situs). Aspek kajian ini meliputi tenaga arkeolog untuk mencari situs budaya (masa lalu) dan dilanjutkan oleh arsitek, sipil, perencana untuk konservasi masa depan. Mengadaptasi yaitu meminimalkan perubahan pada bangunan peninggalan bersejarah yang akan diperbaharui. Degradasi bahan dasar cagar budaya dan prosedur diagnostiknya. Dimana degradasi adalah penurunan kualitas bahan (dalam hal ini BCB) contohnya seperti kerusakan dan pelapukan. Serta memahami proses-proses degradasi.

Pengetahuan tentang cara melakukan evaluasi pada bangunan cagar budaya dengan mengetahui jenis beban dan load bearing wall structure (sistem struktur bangunan struktur bata) Memahami tentang kaidah konservasi pada benteng van der wijck di gombong serta mengetahui teknologi dan struktur bata pada candi di Trowulan Mojokerto Pengetahuan tentang cara pemugaran bangunan religius berbahan bata di bali.

Sehingga dalam berbagai pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat selama “training konservasi bangunan cagar budaya berstruktur bata” ini . Saya pribadi berharap hal ini hendaknya dapat terus di aplikasikan di daerah saya sendiri yaitu kawasan kota tua Sawahlunto Sumatera Barat. Karena disana terdapat banyak bangunan cagar budaya yang juga memiliki struktur bata. Serta memperluas pemahaman dan kecintaan akan pentingnya benda peninggalan bersejarah yang merupakan identitas bangsa.

Maiyozzi Chairi I. PENDAHULUAN Setelah mengikuti training ini banyak hal yang didapat khususnya dalam perlakuan yang tepat untuk Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata, beberapa poin materi pemahaman terhadap Pelestarian Cagar Budaya antara lain : • Undang – undang dan Aspek Hukum oleh Saiful Mujahid. Pemahaman Pelestarian, konservasi dan sejarah perundang – undangan, Pelerstarian dalam usaha dinamis untuk Perlindungan – Pengembangan – Pemanfaatan, PPNS sebagai penegak peraturan perundang - undangan dan penindak pelanggaran. Kriteria cagar budaya : Sejarah, Ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan. • Metodologi Konstruksi oleh Arch. Han Awal. Lima proses pemugaran dan revitalisasi inventarisasi data base – registrasi dan sertifikasi – perencanaan – Implementasi – Pengawasan dan Evaluasi, dari semua proses dilakukan public hearing. Dokumen rencana konservasi dengan data kerusakan, rencana tindakan, dalam format grid dan koordinat posisi/ lokasi yang tepat. • Teknologi Struktur oleh Prof. Mundarjito. Perkembangan teknologi struktur bata di Indonesia dari abad ke V, Proses pemugaran : Pra pemugaran (studi kelayakan, studi teknis dan peren-

canaan), Pemugaran (Perbaikan struktur, pemulihan arsitektur), pasca pemugaran (penataan halaman, pertamanan, sarana dan fasilitas). • Rencana dan Manajemen Proyek Konservasi oleh Arch. Bruce Pittman. Mengetahui atau pengenalan terhadap sebuah bangunan, penelitian dan pelaksanaan konservasi, sumber daya dalam manajemen proyek konservasi. Perencana daan pengawas Arsitek khusus konservasi dan pelaksana/ kontraktor dalam pengerjaan. • Degradasi Bahan Dasar oleh Hubertus Sadirin. Lingkungan cagar budaya dan pengelompokkannya, Unsur-unsur lingkungan dan perannya terhadap bahan penyusun cagar budaya, khususnya bangunan bata, Interaksi antara faktor lingkungan dengan bahan penyusun cagar budaya, Cara identifikasi unsur-unsur lingkungan dan contoh-contoh dampak yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya interkasi dengan lingkungannya. • Inspeksi Teknis, Identifikasi dan Diagnosis Kerusakan oleh Indah S Kuncoro. Langkah – langkah inspeksi dengan metoda penilaian cepat dengan menggunakan form survey dan dokumentasi untuk identifikasi serta diagnosa kerusakan.

Analisis Struktur oleh Josia Rastandi. Pengenalan strukur bangunan bata, perkuatan yang dapat dilakukan dan penggunaan teknologi dalam konservasi struktur. Tipe Kerusakan dan Cara Perbaikan oleh Joy Singh. Mengenal jenis – jenis dan penyebab kerusakan, mempelajari kondisi, pendekatan untuk konservasi, proses dan tantangan. Perlakuan dan penggunaan material yang salah dapat mengakibatkan kerusakan bagain lain pada bangunan. Struktur Bata Candi oleh Ismiyono. Struktur bata pada candi dan tahap – tahap pemugaran, khusunya pada candi – candi peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan Mojokerto. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya di Bali oleh Made Widyana Sudibya. Pemugaran yang unik di Bali dengan tidak mempertahankan bahan/ material sebagai bagian dari banguna cagar budaya, namun lebih kepada desain dan keahlian dari penerus kebudayaan yang ada.

II. PERMASALAHAN Beberapa permasalahan yang ada sebelum

Appendix – 157


mengikuti training konservasi ini adalah sebagai berikut : a. Peraturan perundang – undangan yang belum dapat diaplikasikan dengan baik. b. Kurangnya sumber daya manusia khususnya bidang Pelestarian. c. Sistem keuangan pada pemerintah yang terbatas dalam tata cara penganggaran untuk pelaksanaan suatu kegiatan pelestarian. d. Minimnya pengetahuan tentang pelaksanaan konservasi secara khusus di daerah. e. Belum adanya perencana, kontraktor dan pengawas khusus. f. Keterbatasan mendapatkan material sesuai dengan bahan yang ada pada bangunan cagar budaya. III. RENCANA APLIKASI Dari permasalahan diatas kami berencana akan melaksanakan langkah – langkah penerapan pengetahuan setelah training ini, yaitu : a. Pada penerapan undang – undang dan peraturan yang telah ada khusunya di Kota Sawahlunto, kami akan membentuk Tim Pengawas Cagar Budaya dan berusaha agar dapat mengirim pegawai untuk mengikuti diklat PPNS sebagai

b.

c.

d. e.

salah satu langkah penegakan peraturan perundang - undangan pelestarian. Diharapkan training ini dapat terus berlanjut ketingkat yang lebih tinggi dan seluruh peserta dapat menjadi pelopor dan berperan aktif dalam konservasi bangunan cagar budaya di instansi maupun di daerah masing – masing serta adanya komunikasi aktif antara peserta setelah kembali bertugas. Ada langkah efektif yang dapat dilakukan untuk lebih maksimal dan terjaganya kualitas pengerjaan kegiatan konservasi suatu bangunan cagar budaya, dengan cara Swakelola ataupun bantuan dana hibah dari pemerintah yang telah diterapkan Ikatan Arsitektur Indonesia di Bali. Agar tetap terjaganya sebuah situs atau bangunan cagar budaya dengan cara pemanfaatan kembali secara tepat dan benar. Dalam konservasi dapat dilakukan beberapa tahapan diantaranya studi kelayakan, studi teknis, perencanaan dan pelaksanaan. Studi kelayakan dilakukan untuk menyatakan layak tidaknya sebuah bangunan untuk dikonservasi dengan data meliputi data arkeologi, sejarah dan teknis. Studi teknis dengan data arsitektural, struktur, bahan dan lingkungan. Perencanaan dibuat se-

f.

g.

h.

cara sistematis dan terukur. Pelaksanaan meliputi persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. Untuk studi teknis dapat dilakukan beberapa langkah diantaranya Inspeksi, Identifikasi dan diagnosa kerusakan. Inspeksi dengan melakukan metoda penilaian cepat sangat membantu dalam mengidentifikasi kerusakan sebuah bangunan. Perlakuan dan penggunaan material yang salah akan mengakibatkan kerusakan tambahan pada bagian lain bangunan, seperti halnya penggunaan semen sebagai plesteran pada bangunan yang menggunakan bahan campuran kapur. Untuk material pengganti dapat dilakukan penelitian dilaboratorium dan dapt dilakukan pembuatan khusus, kecuali untuk material pabrikan dapat dilakkukan tindakan pencegahan kerusakan lebih lanjut tanpa penggantian material.

IV. PENUTUP Demikian laporan ini dibuat agar dapat bermanfaat, terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Ratih I.TANGGAPAN TERHADAP PELATIHAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA STRUKTUR BATA Pelatihan konservasi bangunan cagar budaya sangat diperlukan bagi pengembangan suatu kota yang mempunyai banyak peninggalan sejarah, termasuk Indonesia. Pelatihan konservasi menjadi hal utama dalam pengembangan SDM yang menangani pengelolaan bangunan cagar budaya. Teknik konservasi juga belum menjadi ilmu tersendiri di suatu universitas, sehingga tenaga siap pakai di bidang konservasi tidak tersedia. Pelatihan konservasi kepada pengambil kebijakan pemerintah juga perlu ditingkatkan kuantitasnya, mengingat kebanyakan dari bangunan peninggalan sejarah dilindungi oleh undang-undang, milik publik dan membutuhkan dana yang sangat besar, sehingga

perlu dukungan dan kebijakan pemerintah secara menyeluruh. II. TEKNIK KONSERVASI Teknik konservasi bangunan bukanlah suatu upaya yang mudah, dan tidak dapat disamakan dengan teknik membangun atau memperbaiki bangunan baru. Penerapan teknik konservasi membutuhkan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, pengalaman dari berbagai kasus, ketersediaan dana yang besar dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu upaya konservasi perlu dilakukan dalam beberapa tahapan. Dalam penentuan langkah konservasi terhadap situs atau kawasan yang mengandung peninggalan dalam berbagai masa, dapat menjadi polemik yang tiada akhir.

III. SARAN Konservasi cagar budaya merupakan hal inti dalam pengelolaan cagar budaya. Teknik konservasi harus dilakukan pada seluruh bangunan cagar budaya dengan kaidah-kaidah yang telah terbangun secara akademis dan empiris, agar tingkat kerusakan bangunan menjadi berkurang tanpa mengurangi keaslian bangunan dan dapat dimanfaatkan kembali. Biaya konservasi yang besar serta pengerjaan yang rumit dan membutuhkan waktu yang cukup, tetap harus ditempuh oleh pemerintah. Karena hal ini sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan. Agar konservasi optimal, seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan elemen kota dan bangunan cagar budaya harus memahami dan menegakan prinsip konservasi.

Rusdiyanto Ahmad I. PANDANGAN UMUM Ketika kegiatan Training Konservasi Cagar Budaya ini mulai di informasikan kepada Pemerintah Kota Ternate, maka Walikota Ternate merespons dengan mengirimkan beberapa nama untuk diikut sertakan dalam kegiatan tersebut, mengingat Kota Ternate merupakan salah satu kota sejarah (City Heritage) dan masuk dalam jaringan kota Pusaka Indonesia (JKPI) maka penting untuk mengikuti kegiatan tersebut guna menambah pengetahuan dalam bidang konservasi bangunan cagar budaya. Saya sebagai perwakilan dari Kota Ternate (satu – satunya dari Indonesia Timur) merasa berterima kasih atas nama Pemerintah Kota Ternate karena diberikan kesempatan untuk dapat mengikuti kegiatan Training Konservasi ini, ini adalah sebuah pengalaman baru untuk menambah khazanah pengetahuan tentang kaidah – kaidah konservasi bangunan cagar budaya. Transformasi pengetahuan adalah sebuah judul laporan yang sederhana yang saya angkat tetapi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sebuah pemikiran baru, yang boleh jadi itu juga mempengaruhi tindakan saya dalam memberikan masukan yang terkait dengan sebuah keputusan ataupun kebijakan di daerah. Selama beberapa hari ini mengikuti rangkaian kegiatan Training Konservasi Bangunan Cagar Bu-

158 – Appendix

daya berstruktur bata ini, dimulai dari Jakarta hingga Trowulan baik itu pada pemberian materi hingga observasi lapangan, banyak sekali pengetahuan dan pengalaman yang didapat sehingga saya menyebut hal ini dengan “Transformasi Pengetahuan”. Mengawali kegiatan hari pertama dengan materi landasan hukum bangunan cagar budaya yang dibawakan oleh Saiful Mujahid, dilanjutkan dengan Metodologi Konservasi Bangunan Cagar Budaya (ditinjau dalam aspek arsitektural) oleh Han Awal, IAI dan Prof. Mundarjito dengan materi penggunaan batu bata masa purbakala (dilihat dari aspek arkeolog), serta di tutup materi management project Konservasi bangunan cagar budaya oleh Bruce Pittman. Disamping itu, pemateri juga berbagi pengalaman mereka terkait dengan kegiatan konservasi bangunan cagar budaya yang pernah mereka lakukan dilapangan, akan tetapi waktu penyajian materi dan interaksi antar pemateri dengan peserta training cukup terbatas. Kegiatan di hari – hari berikutnya adalah mengkombinasikan materi/teori dengan kegiatan observasi lapangan terkait dengan obyek bangunan cagar budaya, ini adalah cara yang efektif untuk mengetahui seberapa jauh proses konservasi bangunan cagar budaya harus dilakukan secara baik dan benar, membenahi dan memberikan solusi terhadap persoalan di lapangan serta memberikan pemahaman

langsung dari para pemateri/mentor dilapangan. Ketika proses rangkaian kegiatan berlangsung saya kemudian mengetahui bahwa sebuah proses konservasi itu dimulai dengan perencanaan yang matang, prinsipnya bahwa bangunan cagar budaya itu harus dilestarikan dengan dasar yang tertuang dalam undang – undang No. 11 tahun 2010 tentang Bangunan Cagar Budaya. Proses perncanaan pun harus dengan memperhatikan kaidah – kaidah konservasi sehingga tidak salah dalam melakukan proses pemugaran ataupun revitalisasi bangunan cagar budaya. Observasi di lapangan memperkuat pemahaman terhadap materi yang diberikan, bagaimana melakukan sebuah tindakan terhadap sebuah obyek bangunan cagar budaya yang akan menjadi bahan ketika melakukan proses revitalisasi ataupun rekonstruksi. Cukup banyak proses transformasi pengetahuan yang diperoleh, tidak hanya sebatas pada apa yang ditulis dalam laporan yang sederhana ini. II. DAERAH DAN ISU – ISU KONSERVASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA Dalam konteks daerah, khususnya di Kota Ternate begitu banyak bangunan cagar budaya yang dalam proses pelestariannya masih banyak kesalahan yang perlu dibenahi mulai dari privatisasi kawasan untuk kepentingan kelompok sampai pada kesalahan pada proses pemugaran sehingga buat saya itu meng-


hilangkan estetika bangunan cagar budaya itu sendiri seperti penggunaan plesteran secara menyeluruh terhadap dinding benteng (contoh kasus bangunan Orange/Fort Roterdam – Ternate). Persoalan mendasar lainnya yang banyak dihadapi di daerah terkait dengan konservasi bangunan cagar budaya adalah minimnya ketersediaan anggaran, Pemerintah Daerah masih banyak bergantung pada anggaran dari Pemerintah Pusat terkait dengan pelestarian dan pemugaran bangunan cagar budaya, seharusnya ada alternatif lain yang bisa digunakan untuk mendorong upaya – upaya pelestarian dan pemugaran bangunan cagar budaya. Salah satu solusi yang mungkin bisa dicoba adalah dengan melibatkan lembaga donor, namun upaya ini perlu dikaji dan tentunya perlu mendapat persetujuan dari lembaga legislatif yang ada di daerah. Perumusan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bangunan cagar budaya perlu juga mendapat perhatian yang lebih serius, karena masih banyak masyarakat di daerah yang belum mengetahui tentang bangunan – bangunan cagar budaya, yang mereka tahu dan mereka pikir itu hanyalah bangunan – bangunan tua peninggalan zaman dahulu. Perlu ada peningkatan dalam pemberian pemahaman terhadap

masyarakat, maka melalui kegiatan ini saya mendapatkan sebuah transformasi pengetahuan yang cukup banyak dari para ahli dibidangnya. Begitu banyak peninggalan bersejarah yang ada di Kota Ternate pada Khususnya dan Maluku Utara secara umum yang apabila dikelola secara maksimal maka akan mendorong pertumbuhan dunia pariwisata di Kota Ternate, Pemerintah Daerah dapat mendorong program ekowisata sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. Yang jadi persoalan di daerah adalah pengemasan program ekowisata itu sendiri masih sangat jarang dan langka, daerah harusnya menyambut peluang ini dengan cara yang lebih efektif dan kreatif. Kegiatan Konservasi bangunan Cagar Budaya berstruktur bata ini mungkin tidak sepenuhnya dapat di implementasikan di Ternate, karena bangunan cagar budaya disana banyak menggunakan batu, baik itu batu gunung maupun batu laut. Akan tetapi, ada sebuah proses transformasi pengetahuan yang saya dapatkan ketika itu berkaitan dengan proses konservasi bangunan cagar budaya secara umum dan itu dapat dimanfaatkan ketika saya berada di daerah. Kegiatan ini juga akan menambah sumber daya manusia di daerah yang mengetahui tentang proses

dan kaidah – kaidah konservasi bangunan cagar budaya, memberikan manfaat terhadap Pemerintah Daerah Khususnya Kota Ternate akan ketersediaan sumber daya aparatur yang mengetahui tentang konservasi bangunan cagar budaya, dan membuka peluang terhadap daerah untuk bisa bersinergi dengan daerah lain dalam sebuah jaringan komunitas yang concern pada isu – isu konservasi bangunan cagar budaya, baik sekedar memberikan informasi baru maupun berbagi pengalaman dalam bidang konservasi bangunan cagar budaya. III. KESIMPULAN Kesimpulan disini diambil berdasarkan proses berlangsungnya kegiatan Training Cagar Budaya berstruktur bata, bukan pada substansi materinya. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kegiatan ini cukup baik dan menarik bagi kami yang berasal dari daerah, khususnya saya sebagai salah satu aparatur yang ada di Pemerintah Kota Ternate, karena telah memberikan sebuah transformasi pengetahuan yang berkaiatan dengan konservasi bangunan cagar budaya.

Sri Sugiharta Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang sangat kaya dengan warisan budaya bendawi atau cagar budaya. Jika ditilik periodisasinya, warisan budaya tersebut berasal dari bermacam-masa zaman, mulai dari prasejarah, Hindu-Budha, Islam, sampai kolonial. Masing-masing zaman melahirkan langgam warisan budaya yang khas. Salah satunya adalah bangunan-bangunan yang dibuat dengan struktur bata yang mulai dikenal sejak masa Hindu-Budha pada awal-awal abad Masehi. Bangunan-bangunan semacam ini terus diproduksi sampai masuknya kolonial Belanda ke Indonesia. Urgensi Konservasi Sebagai material bendawi, tentu saja (komponen-komponen) bangunan ini (bata) lambat atau cepat akan mengalami degradasi, baik dalam bentuk kerusakan atau pelapukan. Degradasi menjadi keniscayaan, disamping karena sifat alami material komponen bangunan itu sendiri, juga karena banyaknya faktor (internal dan eksternal) yang ikut mempercepat proses tersebut. Oleh karena itu, wajar jika bangunan-bangunan itu saat sekarang ini banyak yang mengalami kerusakaan dan pelapukan. Padahal, bangunan-bangunan tersebut mempunyai banyak potensi untuk dimanfaatkan kembali, baik pemanfaatan serupa dengan fungsi lama (asal) maupun pemanfaatan lain yang relevan dan adaptif (adaptive reuse). Sejalan dengan fakta di atas, upaya konservasi

terhadap bangunan cagar budaya menjadi penting, baik dalam rangka melestarikannya sebagai warisan budaya bangsa maupun dalam rangka pemanfaatannya kembali. Dalam konteks pemanfaatan kembali sebuah bangunan cagar budaya, aspek keamanan (safety) dan kenyamanan menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, konservasi terhadap bangunan-bangunan semacam ini tentu saja tidak cukup dilakukan dengan konservasi dalam arti sempit yang berupa pengawetan material atau bahan, tetapi juga konservasi dalam arti luas (rehabilitasi, restorasi, pemugaran) yang berupa perkuatan struktur dan penggantian bahan yang rusak (konsolidasi). Urgensi Training Konservasi Untuk melakukan konservasi dengan baik, baik dalam arti sempit maupun luas, tentu membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan teknik yang memadai. Hal ini karena kondisi bangunan-bangunan tersebut sudah cukup tua. Bahkan, ada yang sudah ratusan tahun umurnya. Bahan-bahan materialnya juga berbeda dengan bahan-bahan sekarang. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap teknologi bahan juga perlu dalam sebuah proyek konservasi. Dalam konteks uraian di atas, salah satu permasalahan yang ada adalah di kalangan pemerintah sendiri (terutama di instansi yang mengurusi bangunan-bangunan cagar budaya) masih sangat sedikit aparatur (baik staf maupun pejabatnya) yang mem-

punyai pengetahuan dan ketrampilan tentang teknik konservasi tersebut. Dengan demikian, menjadi sangat bijaksana jika dilakukan program-program training konservasi. Program-program seperti ini sangat perlu dalam rangka mentransfer secara cepat pengetahuan dan ketrampilan yang dimaksud. Walaupun tentu saja, hasilnya tidak seoptimal dengan pendidikan konservasi yang dilakukan melalui sistem pendidikan formal (S2 atau Spesialis Konservator). Memanfaatkan dan Mengawetkan: Antara Keseimbangan dan Sinergisitas Secara yuridis, undang-undang cagar budaya (UU 11/2010) sudah memberikan legalitas tentang peluang pemanfaatan kembali bangunan-bangunan cagar budaya (Pasal 85) untuk berbagai macam kepentingan (agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata). Namun demikian, karena sifat alami bangunan-bangunan tersebut yang lambat atau cepat pasti mengalami degradasi, maka harus ada upaya-upaya pengawetan (konservasi). Oleh karena itu, besarnya kepentingan untuk memanfaatkan kembali bangunan-bangunan tersebut harus diimbangi dengan upaya pengawetannya (konservasinya). Selain itu, upaya pemanfaatan juga harus sinergis dengan upaya pengawetannya, tidak boleh kontradiktif dengan bangunan yang dimanfaatkan tersebut.

Sri Wahyuni Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Cagar Budaya adalah Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Saya sangat tertarik untuk menambah wawasan dan mempelajari definisi tentang Cagar Budaya yang tercantum dalam Undang-dang Nomor 11 Tahun 2010 tersebut di atas. Oleh sebab itu saya mengikuti ‘Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata Yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali’ . Penyelenggara training adalah UP Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov. DKI Jakarta bekerjasama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) tanggal 10-17 September 2013 di Jakarta, Gombong dan Mojokerto.

Setelah mengikuti seluruh rangkaian acara training yang diselenggarakan panitia dari Balai Konservasi DKI Jakarta, berikut ini kesan dan kesimpulan yang saya dapatkan: Cagar Budaya khususnya bangunan cagar budaya dapat dianalogikan/ diibaratkan ‘manusia’ yang telah lanjut usia sehingga memerlukan penanganan yang khusus dalam hal pemeliharaan ataupun ‘penyembuhan’/perbaikan apabila mengalami ‘sakit’/kerusakan. Dalam hal konservasi, sebagai Tim Ahli Konservasi dapat diibaratkan sebagai ‘dokter’ bangunan. Mereka harus meng’observasi’ ‘pasien’nya sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat untuk ‘penyembuhan’. Tindakan pengobatan/penyembuhan/perbaikan yang dilakukan menggunakan prinsip minimal intervention (intervensi yang seminimal mungkin). Bangunan-bangunan cagar budaya yang telah saya kunjungi adalah gedung PALAD Kota Tua di Jakarta, Pabrik Tegel cap Koenci di Pathuk Yogyakarta, Benteng Van Der Weijck di Gombong Ke-

bumen, candi Brahu, candi Bajang Ratu, candi Tikus, dan Museum di Trowulan Mojokerto. Salah satu contoh kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan cagar budaya yang saya kunjungi tersebut disebabkan oleh air. Air tersebut masuk ke dalam bangunan secara kapiler. Air tersebut mengandung garam dan menyebabkan kelembaban. Hal tersebut mengakibatkan tumbuhnya ganggang, lumut. Garam yang masuk ke dalam bangunan berkembang secara terus menerus sehingga mengakibatkan retak pada bangunan. Contoh kerusakan pada Gedung PALAD Jakarta antara lain disebabkan oleh pohon yang akar-akarnya menghujam ke bangunan tua tersebut. Tindakan cepat / P3K(Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) terhadap bangunan tua tersebut melalui pembersihan. Pembersihan kandungan garam pada dinding dapat menggunakan vacum/dihisap, kemudian pembersihan untuk bangunan yang dihujam akar-akar pohon adalah menebang pohon tersebut dan mencabut akar-akarnya dengan hati-hati. Seharusnya perlakuan

Appendix – 159


yang diterapkan pada bangunan yang mengalami berbagai kerusakan tersebut diawali dengan identifikasi kerusakan. Identifikasi melalui penelitian, pengumpulan data lapangan berupa dokumentasi sejak kapan mulai didirikan, kapan mulai direstorasi/ dipugar, apa saja yang telah berubah, jenis bahan bangunan yang digunakan dan apa sajakah penyebab kerusakan yang terjadi (dokumentasi sejarah). Hasil dari penelitian identifikasi kerusakan tersebut dapat digunakan untuk mengambil tindakan yang sesuai/ tepat untuk perbaikan dengan menggunakan prinsip minimal intervention. Saya sangat senang mengikuti training ini karena dapat memperluas pergaulan dan

menambah wawasan ilmu pengetahuan saya. Saya menjadi bertambah paham tentang apa saja yang seharusnya dilakukan terhadap bangunan cagar budaya dan apa saja yang tidak diperkenankan terjadi pada bangunan cagar budaya. Selanjutnya perlu dibuat aturan yang mengatur tata cara khusus pembangunan/perbaikan bangunan yang termasuk cagar budaya sehingga pemugaran yang dilakukan tidak sembrono/serampangan/asal-asalan. Termasuk di dalam aturan tersebut memuat urutan pekerjaan yang sebaiknya dilakukan yaitu dimulai dari penelitian, pengumpulan data sampai dengan pembangunan/pemugaran mulai dilaksanakan.

Hal ini terkait dengan pekerjaan saya dalam hal penerbitan blokplan/Rencana Tata Letak Bangunan (RTLB) di Suku Dinas Tata Ruang Kota Administrasi Jakarta Timur. Jika RTLB yang saya terbitkan diperuntukkan bagi bangunan cagar budaya maka saya akan mencantumkan peraturan yang berlaku tentang tata cara khusus pembangunan/perbaikan bangunan yang termasuk cagar budaya tersebut jika sudah ada. Demikian reporting/laporan yang dapat saya sampaikan. Terima kasih kepada seluruh panitia penyelenggara dan permohonan maaf jika ada tingkah laku saya yang kurang berkenan baik lisan, tulisan maupun perbuatan.

Tezza Nur Ghina 1. Impresi mengikuti workshop Melestarikan peninggalan sejarah adalah penting, maka diharapkan bangunan cagar budaya dapat dipertahankan dengan memfungsikannya kembali. Oleh karena itu pemilik bangunan, arsitek dan pihak terkait lainnya bertanggung jawab untuk menyediakan aspek firmitas (kekuatan), venusitas (keindahan) dan utilitas (kegunaan/fungsi) dengan mempertahankan aspek historis bangunan tersebut. Saya sangat senang diberi kesempatan untuk mengikuti workshop konservasi bangunan cagar budaya ini, karena saya dapat menambah pengetahuan tentang konservasi cagar budaya dari para ahlinya; mulai dari aspek legal, aspek teknis maupun aspek perencanaan dan manajemen. Selain itu saya dapat bertemu dengan peserta-peserta lain yang dapat berbagi pengalaman di lapangan dan menambah jejaring sosial yang diharapkan dapat bermanfaat di masa mendatang. Mengikuti workshop ini menjadi semacam refreshment dari pekerjaan utamasebagai perencana yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada turun ke lapangan mengidentifikasi permasalahan dari sisi teknis. Menurut saya pelatihan-pelatihan semacam ini sangat penting dan kalau bisa diperbanyak untuk menambah wawasan pegawai Pemprov DKI Jakarta yang memiliki jenjang karir yang masih panjang. 2. Pengalaman baru yang didapatkan Training ini merupakan pengalaman baru bagi saya karena pada masa perkuliahan hanya mendapat sedikit wawasan mengenai heritage architecture. Training ini sangat bermanfaat dan penting untuk mempersiapkan SDM Pemprov DKI Jakarta menghadapi tantangan-tantangan masalah pemugaran di masa mendatang. Dengan mengikuti training ini, pengalaman-pengalaman baru yang saya dapat antara lain: • Mendapat wawasan penting mengenai proses pemugaran cagar budaya; bahwa pemugaran diawali dengan tahap pra-pemugaran (studi kelayakan, studi teknis dan perencanaan), kemudian dilanjutkan ke tahap pemugaran (perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur) dan yang terakhir adalah tahap pasca-pemugaran (penataan halaman/landscape, sarana dan fasilitas). Juga diketahui bahwa proses dokumentasi bangunan memiliki porsi yang besar dan sangat penting dari proses pemugaran. Proses tersebut memakan waktu yang cukup lama karena kita tidak hanya melihat kondisi eksisting bangunan, namun juga melihat sejarah berdirinya bangunan tersebut serta sejarah perbaikan atau pemugaran yang pernah dilakukan sebelumnya. • Mengenali permasalahan teknis yang umumnya terjadi pada bangunan tua berstruktur bata baik yang dibangun pada zaman kerajaan Indonesia (dalam hal ini Kerajaan Majapahit) dan pada zaman kolonial Belanda melalui pengamatan secara visual dan dengan bantuan alat. Kondisi bangunan berstruktur bata yang makin memburuk disebabkan faktor-faktor sebagai berikut: o Pengaruh kelembaban karena meningkatnya kadar air dalam bata melalui proses kapilarisasi

160 – Appendix

o

Pengaruh gaya/tekanan (gaya lateral dan gravitasi) Material spesi bata, plaster serta cat yang tidak dapat bernafas o Kualitas material bata itu sendiri o Kandungan garam yang mengkristal dan perlahan merusak material spesi bata o Pengaruh bahan metal yang berkarat o Erosi yang disebabkan angin o Daur basah dan kering yang berulangulang (terutama pada bangunan yang berlokasi di pinggir/tengah laut) o Sistem drainase yang buruk pada bangunan o Flora yang tumbuh pada bangunan o Fauna yang merusak material bangunan o Bencana (banjir, gempa bumi, peperangan, dsb) o Polusi o Vandalisme Mendapatkan pengetahuan teknis tentang bagaimana mengkonservasi bangunan tua berstruktur bata berdasarkan pengalaman-pengalaman ahli di lapangan. Bahwa untuk mengkonservasi bangunan, kita harus mengetahui akar permasalahannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bertindak (memberi perlakuan terhadap bangunan). Penting untuk menyelesaikan permasalahannya secara maksimal tanpa intervensi berlebihan. Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah pada saat memugar tidak diperkenankan menggunakan material spesi dan plester yang tidak dapat bernafas. o

3. Proyeksi issue-issue terkait konservasi bangunan yang ada di DKI Jakarta antara lain: • Sedikit menyinggung masalah yang lebih makro, menurut saya issue tentang kepemilikan aset dikaitkan dengan pembiayaan untuk konservasi masih menjadi perhatian utama. Dari data yang saya dapatkan, kepemilikan bangunan tua misalnya di Kota Tua sebagian besar dikuasai oleh swasta dan BUMN, Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki 2% dari total keseluruhan bangunan di Kota Tua. Kabar baik apabila pemilik bangunan tersebut dapat mempertahankan dan merawat bangunan mereka sesuai kaidah-kaidah konservasi. Namun hal ini menjadi berat diakibatkan kebutuhan dana yang sangat besar untuk memugar bangunan tua sedangkan kemampuan pemilik sangat minim. Jika pemilik membiarkan bangunan tersebut tanpa perawatan dan perbaikan, maka diprediksi kondisi bangunanbangunan tua akan memburuk bahkan bisa rubuh. Disinilah peran Pemerintah Pusat/Pemda sangat diperlukan, apakah kedepannya Pemerintah/Pemda memberikan insentif kepada pemilik bangunan atau perlu diambil alih asetnya. • Selain di Kota Tua, masih banyak bagunan cagar budaya lainnya yang tersebar di DKI Jakarta yang dimiliki oleh individu, swasta maupun milik Pemerintah Pusat/BUMN. Seharusnya pemilik bangunan tua memiliki pengetahuan ekstra tentang bagaimana melestarikan bangunan mereka. Oleh karena itu, issue sumber daya

manusia (SDM) yang mengerti tentang heritage sangat diperlukan agar tidak salah dalam memperlakukan bangunan mereka. • Akan lebih menarik apabila dalam workshop ini juga mengambil contoh bangunan yang berada persis di pinggir/tengah laut (pulau), karena DKI Jakarta juga memiliki bangunan cagar budaya yang lokasinya berada di Kepulauan Seribu. Akan menarik jika kami dapat mengetahui perbandingan kondisi bangunan heritage di daratan dan yang berada sangat dekat dengan bibir pantai/laut karena kemungkinan perlakuannya dalam konservasi ada perbedaannya karena kadar garam yang terkandung pada batu bata bangunan di pulau (laut) jauh lebih tinggi dengan kondisi kelembaban serta ancaman terpaan angin dan abrasi yang jauh lebih tinggi. Mungkin hal ini juga bisa bermanfaat bagi peserta dari daerah lain yang juga memiliki kriteria lokasi yang mirip. 4. Rencana ke depan dari issue-issue yang terjadi (rekomendasi) • Dikarenakan tahapan pemugaran sangat panjang dan memerlukan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan membangun bangunan baru, menurut saya Pemprov DKI Jakarta perlu membuat semacam peraturan yang berisi standar pelayanan serta memikirkan mekanisme penganggaran yang memuat ketiga tahapan tersebut, sehingga apabila tidak dimungkinkan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran, apakah memungkinkan untuk dibuat multiyears. Keterbatasan anggaran yang juga menjadi permasalahan perlu dicarikan solusinya, apakah perlu dengan skema Public Private Partnership (PPP) atau dapat memanfaatkan CSR atau dana bantuan lainnya. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut dan menjadi pekerjaan rumah bersama, antara Bappeda dan Dinas terkait. • Diperlukan sosialisasi panduan mengkonservasi bangunan kepada masyarakat. Jika diperlukan, arsitek atau pegawai yang terlibat dalam penanganan bangunan heritage diberikan training khusus dalam penanganan bangunan cagar budaya. • Rekomendasi saya yang bertugas sebagai perencana, bahwa perlu dibuat semacam rencana umum konservasi jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang lebih rinci walaupun secara makro sudah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) DKI Jakarta 2005-2025, Rencana tata Ruang dan Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2013-2017 serta Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Rencana tersebut perlu memuat bangunan apa saja yang diprioritaskan untuk dikonservasi, target yang ingin dicapai, schedule sesuai tahapan konservasi dan pendanaannya. Hal ini akan mempermudah bagi Pemprov DKI Jakarta, khususnya Bappeda dalam memonitor progres konservasi bangunan heritage yang sudah ada targetnya di dalam RPJMD 2013-2017.


Thanti Felisiani Sebelum mengikuti training ini sebelumnya saya pernah mengikuti Workshop Bangunan Berstruktur Bata yang diadakan oleh Balai Konservasi Pemprov DKI pada bulan Oktober 2012 selama tiga hari. Pada workshop tersebut saya belajar mengenai struktur dan bangunan bata serta contoh bangunan bata yang mengalami kerusakan di kepulauan seribu (onrust, pulau bidadari, pulau kelor). Ketika mengikuti training ini yang dilaksanakan selama 7 hari, dari Jakarta – Yogyakarta – Gombong sampai dengan Surabaya, saya mendapat banyak pengalaman dan pembelajaran tambahan. Bisa dikatakan bahwa training ini seperti kuliah lanjutan untuk materi bangunan berstruktur bata yang dilakukan dengan praktek dan melihat langsung kondisi bangunan di lapangan. Hal yang menarik dari training ini adalah, adanya gabungan peserta dari berbagai unsur pemerintah maupun BUMN yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan bangunan-bangunan tua di daerahnya masing-masing. Keberagaman latar belakang peserta training yang terdiri dari arkeolog, arsitek, teknik sipil, planologi hingga teknik lingkungan membuat suasana diskusi dan pemecahan masalah dapat dibangun. Selain itu, adanya pembicara ahli dari Dinas Pekerjaan Umum Australia, Joy Singh dan Bruce Pittman. Selama perjalanan tersebut diperlihatkan contoh-contoh bangunan tua berbahan bata di lapangan yang dapat didiskusikan langsung dengan para mentor dan tenaga ahli. Materi lapangan yang paling berkesan adalah ketika hari pertama menyusuri Kota Tua dan para peserta dibagi menjadi 5 kelompok untuk ditempatkan di 5 bangunan yang berbeda di Kota Tua. Satu

kelompok terdiri dari arsitek, arkeolog dan teknik dan disiplin ilmu lainnya. Dengan mendatangi langsung bangunan yang menjadi objek observasi, teknik investigasi terhadap kerusakan bangunan dapat dilakukan dengan melakukan pembagian tugas dan diskusi langsung bersama mentor pendamping, setelah itu dilakukan diskusi dalam ruang kelas mengenai kerusakan objek masing-masing bangunan yang diobservasi. Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berbahan Bata ini sangat penting, terutama bagi instansi yang berkaitan dengan bangunan-bangunan bata dan cagar budaya. Dengan adanya pemahaman mereka mengenai konservasi bangunan cagar budaya dan pengertian mengenai pentingnya bangunan-bangunan tua (baik cagar budaya maupun yang belum cagar budaya) agar dapat dilestarikan dan dikonservasi sesuai dengan kaidah-kaidah pemugaran yang sebagaimana mestinya. Bagaimana menangani bangunan cagar budaya yang mengalami kerusakan dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu kerusakan dan sumber kerusakannya lalu cara memperbaikinya atau mengkonservasinya dengan teknik atau cara yang lebih baik dengan mengurangi intervensi seminimal mungkin. Hal ini merupakan salah satu yang dipelajari dan dapat diterapkan pada penanganan bangunan cagar budaya milik PT. KAI (Persero). Sebagai perusahaan yang dahulunya berasal dari perusahaan kereta api Belanda di Indonesia, maka banyak bangunan-bangunan tua milik PT. KAI (Persero) yang merupakan bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan. Saat ini pelestarian bangunan yang telah dilakukan telah

mengikuti prosedur dan saran dari berbagai BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) sesuai dengan wilayah kerja. Tetapi karena pemugaran itu sendiri harus dilakukan dan diawasi langsung oleh unit Heritage KAI, maka perlu adanya pengetahuan mengenai pemugaran itu sendiri. Diharapkan dengan adanya pelatihan konservasi seperti ini akan meningkatkan ilmu dan dapat diterapkan sesuai dengan studi kasus setiap bangunan. Seperti misalnya apa yang harus dilakukan apabila pengecatan pada stasiun tidak sesuai dengan material aslinya dan apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan atau memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada bangunan tersebut. Unit heritage PT. KAI (Persero) hanya memiliki satu orang arkeolog (selain satu orang staf ahli), sedangkan bangunan dan benda cagar budaya milik PT. KAI (Persero) lebih dari 100. Oleh sebab itu, pelatihan seperti ini perlu dilakukan pada petugas PT. KAI (Persero) yang terlibat langsung dengan pemugaran maupun perbaikan aset-aset cagar budaya yang dimiliki oleh PT. KAI (Persero). Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan bangunan cagar budaya milik PT. KAI (Persero) akan lebih terawat, lebih diperhatikan lagi penanganannya dan lebih dimaksimalkan lagi pada proses pemugarannya. Besar harapan agar pemugaran yang akan dilakukan pada stasiun maupun bangunan tua sesuai dengan kaidah konservasi dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi seperti komersialisasi atau adaptive-reuse yang dilakukan pada bangunan tua milik PT. KAI (Persero) dapat dilakukan dengan tidak merusak bangunan.

Wahyu Imam Santoso Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata yang Berpotensi Untuk Pemanfaatan Kembali (Adaptive Reuse) yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi Pemprov. DKI Jakarta dalam bentuk pelatihan praktik lapangan menurut hemat saya adalah kegiatan yang sangat positif. Saya merasakan bahwa fenomena modernisasi khususnya dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung pada sebagian besar kota-kota di Indonesia saat ini pada satu sisi memberikan dampak positif dalam menunjang kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap tuntutan keamanan, kesehatan, kenyamanan, maupun kemudahan dalam beraktivitas pada bangunan gedung. Namun demikian pada sisi lain tampaknya fenomena tersebut juga tidak terhindarkan membawa dampak yang kurang baik terhadap kelestarian bangunan cagar budaya yang pada benak sebagian kalangan terkesan identik dengan masa lalu, tradisional, kuno dan tidak terpelihara serta terawat dengan baik. Karena persepsi tersebut bangunan-bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah, kebudayaan, mewakili ciri-ciri arsitektur tertentu maupun memiliki manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang semua itu tidak dapat dinilai dengan uang, semakin lama semakin disingkirkan keberadaannya. Penerapan international style atau modern style pada bangunanbangunan masa kini dianggap lebih sesuai dengan perkembangan zaman daripada bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur masa lalu yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat modern saat ini. Padahal jika dicermati kembali pendapat tersebut tidak seluruhnya benar, contohnya adalah arsitektur bangunan cagar budaya berstruktur bata yang umumnya merupakan bangunan kolonial yang dirancang menyesuaikan dengan kondisi iklim tropis Indonesia sehingga lebih nyaman penghawaan dan pencahayaannya. Lebih jauh lagi tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan bangunan-bangunan cagar budaya tersebut merupakan asset atau harta yang sangat berharga milik segenap bangsa Indonesia. Kita dapat mengenal sejarah bangsa melalui peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu sejarah

itu sendiri. Tentunya tak ada masa depan tanpa masa lalu, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah sehingga kurang bijak jika kemudian kita mengabaikan sejarah yang dalam banyak kasus dapat ditelusuri melalui bangunan-bangunan cagar budaya. Pola fikir dan persepsi yang positif atas keberadaan bangunan cagar budaya dengan demikian menurut pendapat saya perlu dibangun dan ditanamkan pada diri setiap pemangku kepentingan (stakeholder). Adanya kekeliruan dalam memahami keberadaan bangunan cagar budaya namun demikian juga dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran para pihak terkait. Kurangnya kesadaran dapat disebabkan oleh minimnya informasi dan pengetahuan mengenai bangunan cagar budaya yang didapat atau dimiliki oleh para pihak tersebut. Pepatah terkenal mengatakan “tak kenal maka tak sayang�, sehingga oleh karena itu perlu adanya pengenalan bangunan cagar budaya kepada para pemangku kepentingan termasuk diantaranya masyarakat luas dan perlunya sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian cagar budaya yang dilakukan secara terus menerus sehingga diharapkan dapat menanamkan kecintaan mereka terhadap bangunan dimaksud. Tidak sekedar sosialisasi, pemerintah perlu menjalankan mekanisme insentif, disinsentif maupun sanksi secara balance sehingga reward bagi pihak-pihak yang bersedia melestarikan bangunan cagar budaya maupun punishment bagi setiap pelanggaran peraturan dapat dilaksanakan. Tidak cukup upaya-upaya tersebut di atas, agar tetap eksis maka bangunan cagar budaya harus terus dilestarikan melalui upaya-upaya pemugaran, perlindungan, pemanfaatan atau revitalisasi. Untuk itu sungguh tepat jika selama 1 (satu) minggu ini diberikan pembekalan dan pengetahuan teknis oleh para instruktur, mentor dan tenaga ahli mengenai materi konservasi dan penanganan kerusakan pada bangunan cagar budaya kepada para peserta yang akan terlibat dalam upaya konservasi bangunan cagar budaya. Oleh karena itu kesan yang saya dapatkan adalah bahwa kegiatan ini bagi saya sangat bernilai

positif terutama dalam memberikan pengetahuan baru yang belum pernah didapatkan sebelumnya dalam hal penanganan kerusakan pada bangunan cagar budaya berstruktur bata. Training ini juga membuka pemahaman saya yang sebelumnya menganggap bahwa konservasi adalah tindakan yang sangat konservatif dengan tidak memberi ruang sama sekali terhadap perubahan pada fisik bangunan cagar budaya terutama yang bersifat dead monument. Melalui penjelasan praktik-praktik konservasi di berbagai kasus oleh para mentor dan instruktur telah memberikan pencerahan pada saya bahwa guna menyelamatkan dan melindungi bangunan cagar budaya kita diperbolehkan mengganti atau memperbaiki komponen-komponen bangunan yang rusak dengan material yang sama atau material yang mendekati aslinya jika sudah tidak ada atau sulit ditemukan lagi. Sehingga dengan demikian bangunan cagar budaya tetap dapat dilestarikan dan tidak dibiarkan rusak terbengkalai begitu saja karena ketiadaan komponen pengganti yang sama. Lebih lanjut saya menyadari bahwa tindakan konservasi juga dapat dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat living monument seperti yang terdapat dalam seni maupun ritual membangun dan memugar bangunan peribadatan masyarakat Bali yang mengizinkan adanya penambahan-penambahan sehingga dengan demikian memungkinkan setiap generasi untuk berhak memiliki catatan budayanya masing-masing. Korelasi Materi Training Terhadap Pekerjaan Sehari-hari saya bekerja pada Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama dalam hal penyusunan norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) bangunan gedung dan lingkungan. Selama ini saya belum pernah terlibat secara langsung dalam penanganan konservasi bangunan cagar budaya karena tidak termasuk dalam tupoksi unit kerja saya. Namun demikian dari sisi regulasi masih terdapat keterkaitan erat karena bangunan cagar budaya merupakan bangunan gedung yang dilestarikan sebagaimana diatur

Appendix – 161


dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam peraturan tersebut bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan sebagai benda cagar budaya adalah bangunan gedung yang berumur paling sedikit 50 tahun atau mewakili masa gaya sekurangkurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologinya. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36/2005 tersebut yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut terkait pelestarian bangunan cagar budaya, maka beberapa tahun yang lalu disusun Rancangan Peraturan Menteri PU tentang Pelestarian Bangunan Gedung dan telah dilakukan beberapa kali kegiatan konsensus namun hingga saat ini masih belum dapat diterbitkan sebagai peraturan. Hal itu terjadi karena belum diperolehnya kesepakatan dari para pihak atas materi rapermen yang dikonsensuskan tersebut. Saya berharap bahwa materi-materi yang telah diberikan oleh para instruktur dan mentor serta pengalaman dalam mengidentifikasi kerusakan bangunan cagar budaya dan bagaimana cara penanganannya yang saya peroleh selama mengikuti training ini dapat bermanfaat sebagai masukan guna penyempurnaan materi Rapermen PU tentang Pelestarian Bangunan Gedung yang saat ini masih belum dilanjutkan finalisasinya. Proyeksi Terhadap Bangunan Cagar Bu-

daya Berstruktur Bata Di masa depan saya memproyeksikan bangunan cagar budaya berstruktur bata akan semakin terancam kelestariannya. Desakan pembangunan dan arus modernisasi utamanya pada arsitektur bangunan gedung saat ini telah menjadi ancaman yang nyata. Tanpa penegakan instrumen pengendalian bangunan cagar budaya berupa perizinan, sanksi, insentif dan disinsentif, maka akan sulit mempertahankan keberadaan bangunan cagar budaya. Faktanya, saat ini konversi maupun demolisi terhadap bangunan cagar budaya khususnya yang dimiliki oleh masyarakat luas terus terjadi akibat kurangnya mekanisme reward dan punishment yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya. Pada satu sisi pemerintah memiliki keterbatasan anggaran untuk mengambil alih bangunan milik masyarakat yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sehingga tidak dapat secara leluasa melakukan tindakan konservasi yang diperlukan. Pada sisi lain kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk mengkonservasi bangunan cagar budaya miliknya sangat terbatas. Masyarakat dilarang untuk merubah fisik bangunan dan memanfaatkannya secara bebas termasuk untuk kegiatan komersial karena dikhawatirkan dapat merusak kondisi bangunan, sementara itu pemerintah tidak memberikan insentif atau kompensasi yang layak sehingga dipandang sangat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu jika persoalan-persoalan tersebut tidak ditemukan jalan keluarnya tanpa keragu-raguan saya proyeksikan keberadaan bangunan

cagar budaya khususnya yang berstruktur bata akan semakin terancam di masa mendatang. Saran Berdasarkan persoalan dan proyeksi di atas saya menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pemerintah/pemda perlu menegakkan mekanisme insentif dan disinsentif secara kontinyu dan konsekuen kepada masyarakat pemilik bangunan cagar budaya. 2. Pemerintah/pemda perlu melaksanakan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya dan public awareness rising secara terus menerus kepada masyarakat luas. 3. Pemerintah daerah perlu segera menyusun Perda Cagar Budaya di kabupaten/kota sebagai peraturan yang operasional di daerah guna melindungi keberadaan bangunan cagar budaya. 4. Pemerintah perlu terus melaksanakan peningkatan kapasitas dan kapabilitas aparatur yang terlibat dalam kegiatan konservasi bangunan cagar budaya khususnya berstruktur bata diantaranya melalui kegiatan training praktik lapangan sehingga mereka dapat melakukan pengelolaan bangunan cagar budaya dengan baik sesuai kaidah-kaidah konservasi. 5. Perlu peningkatan koordinasi antara instansi dan para pihak terkait guna menciptakan sinergi yang lebih maksimal dalam upaya konservasi bangunan-bangunan cagar budaya.

Wedmaerti KESAN Selama mengikuti kegiatan Training Konservasi 2013 dari tanggal 10 s/d 15 September 2013 di Jakarta - Gombong - Mojokerto, banyak pengalaman dan pengetahuan baru mengenai konservasi bangunan cagar budaya yang saya peroleh, baik dari pembicara di dalam kelas maupun dari kunjungan langsung ke lapangan. Dengan meninjau langsung kondisi bangunan Gedung Jasindo di Kota Tua Jakarta, Benteng Van Der Wicjk di Gombong dan candi-candi di trowulan seperti Candi Brahu, Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu, saya dapat mengetahui kerusakan-kerusakan yang terjadi, penyebab terjadinya serta cara-cara konservasi yang paling cocok diterapkan. Bangunan-bangunan cagar budaya tersebut sangat kokoh dan megah pada zamannya, namun seiring berjalannya waktu banyak bangunan yang kondisinya sudah mulai mengalami kerusakan dan memprihatinkan. Seringkali masyarakat tidak menyadari bahwa di sekitarnya terdapat bangunan cagar budaya, sehingga mereka membiarkan bangunan tersebut terlantar. Tindakan pemeliharaan yang kurang tepat, serta peruntukkan yang tidak sesuai dengan fungsi bangunan itu sendiri semakin memperparah kondisi bangunan cagar budaya yang ada. Beberapa tahun terakhir sudah banyak ilmuwan yang memiliki ketertarikan akan pelestarian bangunan cagar budaya. Berbagai perbaikan telah dilak-

sanakan oleh pihak terkait, namun upaya pelestarian bangunan cagar budaya tidaklah mudah dan hasilnya tidak optimal. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan data, dana dan tenaga ahli. Besarnya biaya yang diperlukan untuk kegiatan konservasi, pemeliharaan dan perawatan bangunan cagar budaya menjadi keterbatasan bagi mereka. Kurangnya dukungan dan monitoring dari pemerintah pusat dan daerah juga menyebabkan usaha konservasi berjalan sangat lambat dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Pelaksanaan perbaikan/pemeliharaan bangunan cagar budaya yang tidak mengikuti kaidah konservasi yang benar justru akan menghilangkan keaslian dari bangunan cagar budaya tersebut. Untuk itu diperlukan kerjasama antara pemerintah, tenaga ahli profesional di bidang konservasi, serta masyarakat setempat agar usaha konservasi dapat berjalan dengan optimal. Sehingga nantinya bangunan cagar budaya dapat dipertahankan keasliannya serta dapat dimanfaatkan untuk keperluan saat ini. Bidang Bimtek Perawatan Gedung Pemerintah Daerah merupakan salah satu bidang yang ada di Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta yang memiliki tupoksi untuk merencanakan perbaikan, pemeliharaan dan perawatan terhadap gedung-gedung milik pemerintah daerah Prov. DKI Jakarta. Dimana terdapat banyak bangunan-bangunan bukan cagar budaya yang usian-

ya sudah sangat tua. Pengetahuan yang saya peroleh dari training ini sangat membantu untuk membuat perencanaan yang tepat bagi perbaikan dan pemeliharaan bangunan-bangunan tua milik pemerintah provinsi DKI Jakarta. Atas pengalaman yang sangat berharga ini saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-sebesarnya kepada Bapak Candrian dkk dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Ibu Indah dkk dari Ikatan Arsitek Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti training ini. 1.

2. 3.

4.

PESAN Agar kegiatan konservasi dapat berjalan sesuai dengan kaidah yang benar diperlukan kerjasama antara pemerintah, tenaga ahli dan masyarakat setempat sehingga bangunan cagar budaya yang ada tetap terpelihara keasliannya. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pelestarian bangunan cagar budaya serta cara pemeliharaannya. Agar pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan pelestarian bangunan cagar budaya dengan cara menyediakan anggaran yang cukup bagi kegiatan konservasi Perlu adanya sosialisasi kepada generasi muda agar berminat untuk menjadi tenaga ahli di bidang konservasi

Wenny Kustianingrum Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata yang Berpotensi untuk Pemanfaatan Kembali memberikan banyak ilmu baru yang menarik bagi saya. Bahwa konservasi bangunan cagar budaya tidak hanya menekankan pada keberlangsungan kembali hidup bangunannya, namun juga keberlangsungan material penyusunnya, khususnya bata. Bata (butuh) Bernafas! Bangunan pada zaman kolonial umumnya menggunakan material bata, baik sebagai struktur maupun penutup bangunan. Salah satu sifat material bata bahwa bata ini memiliki rongga sehingga mam-

162 – Appendix

pu dilewati udara. Tidak hanya ruang atau bangunan yang butuh ‘bernapas’ dengan ventilasi dan bukaan yang dibuat oleh para perancang bangunan atau arsitek, namun material bata itu sendiri pun bernapas. Pentingnya material bata untuk bernapas ini nampaknya belum banyak diamini oleh para pengguna pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya, hal ini dapat dilihat pada bangunan- bangunan cgaar budaya dari zaman kolonial yang ada di Kawasan Kota Tua serta Benteng Van Der Wijk di Gombong yang menjadi studi kasus pada pelatihan ini. Permasalahan yang ada pada dua studi kasus di atas dapat dikatakan serupa, yaitu kelembaban pada

struktur dan dinding bangunan. Kelembaban ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu aliran air serta udara yang tidak baik pada bangunan. Aliran air yang tidak, baik itu air tanah yang mengalir secara kapilaritas ke bagain atas bangunan (seperti yang banyak terlihat pada bangunan di Kawasan Kota Tua) serta aliran air (hujan) dari bagian atas bangunan ke tanah, serta kondisi udara yang lembab umumnya memicu atau menimbulkan kerusakan dari vegetasi (lumut, dll) serta kelembaban berlebihan pada dinding bangunan. Hal ini diperparah dengan penggunaan cat sintetis atau akrilik pada bangunan yang membuat material didalamnya tidak dapat bernapas. Hal-hal


ini dapat menyebabkan kerusakan plester dinding, kerapuhan material bata, bahkan retakan struktur pada bangunan. Penrlakuan yang sesuia terhadap material bata dapat membuat material ini bertahan hingga ratusan tahun seperti yang dapat kita lihat pada bangunan kolonial yang masih berdiri hingga saat ini.

Do’s and Don’t Dalam Konservasi Hal yang perlu dipahami dalam konservasi bangunan cagar budaya adalah bangunan ini seperti orang sakit yang membutuhkan observasi dan penanganan yang detail dan menyeluruh. Walaupun memiliki permasalahan yang serupa dengan bangunan lainnya, nilai lokalitas dalam konservasi bangunan cagar budaya harus dikedepankan. Untuk itu perlu didapatkan informasi dan data yang menyeluruh terkait bangunan cagar budaya (BCB) yang akan dikonservasi, tidak hanya data bangunan tapi juga data sejarah bangunan, kondisi lingkungan, dsb. • Jangan menggunakan cat sintetis akrilik dalam konservasi BCB • Jangan menggunakan semen (pada spesi atau plester) karena material ini menghalangi batu bata untuk bernapas, namun penting untuk menggunakan material yang sesuai atau sama dengan material aslinya • Lakukan konservasi dengan tuntas dan rasa hormat Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta Sebagaimana disebutkan dalam paper terdahulu bahwa beberapa kendala dalam penyelenggaraan Bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta diantaranya adalah terkait status kepemilikan Bangunan Cagar Budaya sebagian atas nama pribadi atau swasta serta belum adanya kesepakatan prosedur atau SOP pengawasan Bangunan Cagar Budaya di lapangan. Status kepemilikan Bangunan Cagar Budaya

Dari Training Konservasi Bangunan Cagar Budaya Berstruktur Bata yang Berpotensi untuk Pemanfaatan Kembali ini terdapat dua alternatif yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam konservasi bangunan cagar budaya: 1. Membeli bangunan cagar budaya, baik dengan menggunakan APBD atau pun dengan memanfaatkan dana CSR pihak ketiga. 2. Melakukan konservasi melalui pihak ketiga. Pemerintah tidak harus memilki bangunan cagar budaya secara langsung, namun tetap melakukan konservasi bangunan melalui pihak ketiga. Hal ini dimaksudkan bahwa bangunan cagar budaya tetap dapat dikonservasi sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang ada serta tetap hidup tanpa terkendala masalah kepemilikan. • Pemerintah dapat memberikan insentif terhadap pemilik bangunan cagar budaya untuk merawat dan memugar bangunannya seperti dicontohkan oleh Pemerintah Sydney yang memberikan bantuan dana dalam pembuatan perencanaan pemugaran bangunan cagar budaya (gambar kerja hingga pelaksanaan konstruksi). Hal ini sebenarnya telah disebutkan dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Peraturan Daerah nomor 9 Tahun 1999 bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai cagar budaya berhak mendapat kompensasi apabila telah melakukan kewajiban melindungi cagar budaya. Pemberian insentif dapat menjadi lebih efektif dibanding larangan-larangan atau pun kewajiban yang dikenakan kepada masyarakat tanpa imbal balik. • Membangun kerja sama dengan pihak ketiga. Pemerintah memberikan kesempatan pengelolaan bangunan cagar budaya yang

akan dikonservasi dengan pihak ketiga, dengan catatan pihak tersebut harus terlebih dahulu melakukan konservasi bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan atau dokumen yang telah ditentukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Hal ini tentu Benteng Van Der Wijk di Gombong dapat menjadi contoh revitalisasi bangunan cagar budaya yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan baik. Benteng Van Der Wijk yang merupakan aset milik TNI AD namun dikelola oleh pihak ketiga dan dapat difungsikan dengan baik bahkan memiliki nilai ekonomi sehingga dapat membiayai perawatan bangunan hingga saat ini. Hal ini dapat menjadi satu contoh baik bagi Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan kerja sama dengan para pemilik bangunan cagar budaya untuk melakukan konservasi bangunan cagar budaya milik non-pemda. • Membuat panduan pemugaran bangunan cagar budaya untuk internal Pemprov DKI Jakarta yang terkait dengan pemugaran bangunan cagar budaya maupun para pemilik bangunan cagar budaya. Panduan ini dapat menjadi informasi dasar serta panduan dalam melakukan perawatan dan konservasi awal, terkait hal yang bolah dan tidak boleh dilakukan dalam pemugaran. Sekali lagi, dalam konservasi bangunan cagar budaya perlu dikedepankan penyelamatan banguna secara keseluruhan yang ditampilkan melalui fisik materialnya, dengan tidak menjadikan masalah kepemilikan menjadi hambatan. Agar bangunan cagar budaya dapat tetap hidup dan bernafas di tengah hiruk pikuk perkembangan kota dengan menunjukan identitas keasliannya.

Yunarwan Dwi Syahputra Program ini sangat berguna bagi mereka yang membidangi perawatan dan pelestarian Bangunan dan Benda Cagar Budaya (BBCB), khususnya saya yang saat ini bekerja di PT.Kereta Api (persero) yang sebagian besar sarana dan prasarana yang kami miliki dan kami kelola merupakan aset peninggalan jaman kolonial Belanda. Sebagian besar aset-aset tersebut masih kami pelihara dengan baik khususnya bangunan perkantoran, stasiun, wisma dan rumah dinas yang sebagian besar komponen konstruksi utamanya adalah terbuat dari batu bata. Secara umum banyak hal-hal baru yang saya dapati pada program training saat ini, antara lain adalah : 1. Mengenali UU no.11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. 2. Mengenali cara observasi bangunan cagar budaya dengan mengidentifikasi dari sejarah bangunan saat pertamakali dibangunan serta tujuan pembangunannya. Karena ini akan menentukan material perawatan dan cara penanganannya dikemudian hari. 3. Mengenali dan mengidentifikasi kerusakan yang terjadi pada bangunan dan mencatat semua permasalahan / penyakit yang terjadi pada bangunan akan memudahkan kita untuk membuat skala prioritas dalam pelaksanaan perawatan bangunan. 4. Mengenali bentuk dan sifat bangunan cagar budaya yang komponen konstruksinya didominasi oleh batu bata, yang berguna untuk analisa kekuatan struktur dan kestabilan bangunan cagar budaya.

khusus (mendetail) dalam pola perawatan dan dokumentasinya. Program training ini diharapkan dapat berkelanjutan. Selain mempererat tali silahturahmi juga ada hal mendasar berikutnya yang saya rasa perlu disepakati bersama, yaitu : 1. Pembuatan Analisa Harga Satuan (BOW), khususnya untuk bangunan konstruksi bata. Saat ini Analisa Harga Satuan yang ada hanya untuk bangunan umum dan gedung, namun untuk bangunan khusus seperti bangunan cagar budaya belum ada (penulis sampai saat ini belum menemukan). Analisa untuk bangunan umum tidak bisa digunakan untuk bangunan BCB, karena analisa bangunan umum menitik beratkan pada teknologi modern material-material bangunan yang sederhana namun kokoh sehingga tenaga yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaannya juga disesuaikan. Hal ini sangat berbeda dengan bangunan cagar budaya, dimana teknologi yang digunakan dalam membangunan masih sangat primitif dan dengan tentu berdampak dengan pola kerja dan kebutuhan tenaga. Atas dasar itulah penulis merasa hal tersebut sangatlah penting, mengingat analisa harga satuan pekerjaan khusus bangunan berstruktur bata ini akan digunakan untuk membuat taksasi (perencanaan) anggaran yang akan dieksekusi ditahun berikutnya. Sehingga sasaran dan target kinerja dapat tercapai sesuai rencana. 2.

Dengan dasar-dasar umum diatas, diharapkan pada unit kami dapat memulai mendalami secara

Pengetahuan untuk pemanfaatan dan pengembangan bangunan cagar budaya diluar fungsi aslinya. Yang dimaksud adalah, secara umum

bangunan-bangunan cagar budaya dari bekas peninggalan kolonial terletak pada pusat pergerakan perekonomian wilayah tertentu, contohnya Stasiun Kereta Api. Belanda mendesain sebuah stasiun memasukan unsur jumlah pertumbuhan penumpang untuk sampai masa waktu tertentu. Dan dengan meningkatnya perekonomian dan pertambahan jumlah penduduk, maka desain lama tersebut sudah tidak relevan lagi untuk melayani penumpang kereta. Sehingga perlu penambahan luas dengan tetap mempertahankan fasade bangunan lama. Ini merupakan tantangan kedepan yang perlu disikapi. Sebagai contoh : Stasiun Palmerah. Guna mendukung rencana program 1,2 juta penumpang/hari, maka di beberapa stasiun perlu dilakukan penyesuaian dengan memperlebar platform (peron). Pada stasiun palmerah kondisi ini tidak memungkinkan, dikarenakan posisi stasiun diapit oleh 2 jalan yaitu jalan gelora 1 dan 2 (jenis stasiun pulau), sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pelebaran peron. Solusi yang diambil adalah, membangun platform baru diatas bangunan platform lama. Pembangunan platform baru ini dengan tentu memindahkan aktifitas pelayanan penumpang yang awalnya dibawah menjadi diatas (bangunan baru), sehingga bangunan lama menjadi kosong dan dapat dimanfaatkan untuk area komersial. Dan pada saat pembangunan kegiatan pada stasiun tersebut tetap berjalan normal dengan tentu harus aman baik untuk penumpang dan untuk pembangunannya. Pada situasi disini diperlukan tim khusus yang terdiri dari teknik arsitek, arkeolog dan sipil.

Appendix – 163


Abdul Halim Hani Suku Dinas Tata Ruang Kota Administrasi Jakarta Pusat Jl. Tanah Abang No 1, Blok C Lt 2 Jakarta Pusat 10160 S1 Teknik Sipil

Ambarita Ulvah Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Pusat Walikota Jakarta Pusat Blok C Lt. 2 , Jl. Tanah Abang I Jakarta Pusat 10160 S1 Arsitektur S2 Ekonomi Pembangunan

Ashdianna Rahmatasari Dinas Tata Ruang Prov DKI Jakarta

Aras Pamungkas

Jl. Abdul Muis No. 66

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI

Jakarta Pusat 10160

Jakarta

S1 Arsitektur

Jl Kuningan Barat No 2

S2 Project Management

Jakarta Selatan

164 – Appendix

S1 Teknik Sipil


Bayu Dwi Rahmatyo Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Dirjen Cipta Karya ,Kemen PU Gd. Cipta Karya Lt 5 Jl. Pattimura No 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 S1 Arsitektur S2 Perencanaan Wilayah dan Kota

Citra Sari Ayu Suku Dinas Tata Ruang Kota Administrasi Jakarta Timur Jl. Dr. Sumarno Jakarta Timur S1 Arsitektur

Dian Prasetyawati Direktorat Penataan bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya

Ephraem Widjojo Sianturi

Kemen PU

Bidang Prasarana & Sarana Dinas Pariwisata

Gd. Cipta Karya Lt 5

& Kebudayaan Prov. DKI Jakrta

Jl. Pattimura No 20, Kebayoran Baru

Jl Kuningan Barat No 2

Jakarta Selatan 12110

Jakarta Selatan 12110

S1 Arsitektur

S1 Teknik Sipil

S2 Perencanaan Wilayah dan Kota

Appendix – 165


Feli Napraiseti Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan Erman

Kantor Walikota Jakarta Selatan

Dinas pariwisata dan Kebudayaan Provinsi

Jl. Prapanca Raya No. 9 gd. C Lt 6 Kebayoran

DKI Jakarta (Bid. Prasarana & sarana)

Baru

Jl. Kuningan Barat No 2 Mampang,

Jakarta Selatan 12110

Jakarta Selatan

S1 Teknik Perencanaan Kota

S1 Teknik Sipil

Ferdy Ardiansyah Dwinanto

Isfi Ervitasari

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI

Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan

Jakarta

Jl. Prapanca Raya No 9 Gd. C Lt 6, Kebayoran

Jl. Kuningan Barat No 2 Mampang

Baru

Jakarta Selatan 12110

Jakarta Selatan 12110

166 – Appendix

S1 Teknik Sipil

S1 Arsitektur


Maiyozzi Chairi Kayato Hardani Dinas Tata Ruang Kota Pemkot Surakarta Jl. Jendral Sudirman No 2 Surakarta - Jawa Tengah S1 Arkeolog

Rahmat Gino Sea Games Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kota Sawahlunto Jalan Kebun Jati No. 1 Kelurahan Saringan Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto S1 Teknik Sipil

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto Jalan Kebun Jati No. 1 Kelurahan Saringan Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto S1 Teknik Sipil

Rusdiyanto Ahmad Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Ternate Jl. Ahmad Yani No 11 Kel. Muhajirin Kota Ternate S1 Arsitektur

Appendix – 167


Sri Sugiharta BPCB Prov. Sumatera Barat, Riau dan Kepri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jl. Sultan Alam Bagagarsyah, Pagaruyung Batusangkar,Sumatera Barat S1 Arkeolog S2 Administrasi Publik

Sri Wahyuni Suku Dinas Tata Ruang Kota Administrasi Jakarta Timur Jl. Dr. Sumarno Jakarta Timur S1 Arsitektur

Thanti Felisiani Tezza Nur Ghina Rasikha

Heritage Conservation and Architecture

BAPPEDA Prov. DKI Jakarta

design PT KAI (Persero)

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9

Stasiun Gambir Lt 2, Jl. Medan Merdeka Timur

Jakarta Pusat 10160

Jakarta

S1 Arsitektur

Jakarta Pusat 10110

168 – Appendix

S1 Arkeolog


Wedmaerti Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Wahyu Iman Santoso

Daerah Pemprov DKI Jkt

Kementerian PU

Jl. Cileungir No 17 Rt 001/01 Kel. Cideng Kec.

Jl. Pattimura No 20, Kebayoran Baru

Gambir, Tanah Abang

Jakarta Selatan

Jakarta Pusat

S1 Arsitektur

S1 Teknik Lingkungan

Wenny Kustianingrum Biro Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Setda Prov. DKI Jakarta Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9 Jakarta Pusat S1 Arsitektur

Yunarwan Dwi Syahputra Heritage Conservation and Architecture design PT KAI (Persero) Stasiun Gambir Lt 2, Jl. Medan Merdeka Timur Jakarta Pusat 10110 Appendix – 169 S1 Teknik Sipil


k o n t a k Abdul Halim Hani l doelhalim@gmail.com

Ismiyono l ismijono@yahoo.com

Adi Reza Nugroho

Josia Rastandi l jrastandi@yahoo.com

Agnes

Joy Singh l Joy.Singh@services.nsw.gov.a

Ambarita Ulvah l ulvah.izzah@gmail.com

Kayato Hardani l k_thahar@yahoo.com l k.thahar80@gmail.com

Angger Wiwara l angger_ww@yahoo.com

Maiyozzi Chairi l ozzie_civil@yahoo.com

Aras Pamungkas l mr_pamungkas@hotmail.com

Ogun l ogun_gunawan@yahoo.com

Asfarinal l asfarinal2000@yahoo.com

Mundarjito l mundardjito@cbn.net.id

Ashdianna Rahmatasari l tasanis@yahoo.com

Rahmat Gino Sea Games l rahmatgino@gmail.com

Bayu Dwi Rahmatyo l bay_bye_u@yahoo.com

Rofianisa Nurdin l rofianisa@vidour.com

Boyke Gultom l boykefgultom@gmail.com

Ronaldiaz Hartantyo l ronaldiazhartantyo@gmail.com

Bruce Pettman l Bruce.Pettman@services.nsw.gov.au

Rusdiyanto Ahmad l udhy.tec@gmail.com

Budiarto l buds_tdnd@yahoo.com

Saiful Mujahid l gtr_thefox@yahoo.co.id

Cahayani

Sri Sugiharta l sugiarkeo95@yahoo.co.id l bp3bsk@gmail.com

Candrian Attahiyyat lcandrianattahiyyat@yahoo.com

Sri Wahyuni l kemuning410@gmail.com

l attahiyyat@gmail.com

Supriyadi

Citra Sari Ayu l citrasariayu@yahoo.com

Sutitah

Dian Prasetyawati l dianprasetyawati2012@gmail.com

Sutrisno Murtiyoso l sumur@yahoo.com

Djulianto Susantio l djulianto2006@yahoo.co.id

Teguh Mardiuntoro

Endrati Fariani l rati_tuuut@yahoo.co.id

Tezza Nur Ghina Rasikha l tezzanurghina@gmail.com

Ephraem Widjojo Sianturi l okkie.sianturi@yahoo.com

Thanti Felisiani l thanti.felisiani@gmail.com

Erman l kang_erman@yahoo.com

Tinia Budiati

Feli Napraiseti l feli_napraiseti@yahoo.com

Tri Praptiani l nini_maruto@yahoo.com

Ferdy Ardiansyah Dwinanto l vnerazuri@gmail.com

Veroni

Gierlang Bhakti Putra l gierlang.bhakti@gmail.com

Wahyu Imam Santoso l hananeysaimamsantosa@yahoo.com

Han Awal l han.awal2@gmail.com l lawanah@dnet.net.id

Wedmaerti l wedmaerti@yahoo.com

Heni Priyantih l heni.gheneadhe@gmail.com

Wenny Kustianingrum l wenny.kustianingrum@gmail.com

Hubertus Sadirin l hr_sadirin@yahoo.com

Widnyana Sudibya l widnyanasudibya@gmail.com

Indah Sulistiana Kuncoro l lichenes26947@yahoo.com

Yunarwan Dwi Syahputra

Isfi Ervitasari l isfi_ervitasari@yahoo.com

kereta-api.co.id

l yunarwan@yahoo.com l yunarwan@



UP BALAI KONSERVASI l IKATAN ARSITEK INDONESIA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.