
7 minute read
Wawasan
from Tabloid Edisi 78
Ada Keajaiban Jika Bersungguh-sungguh Oleh : Tiwi Veronika*
Aku terhening di tengah malam dengan cahaya bulan yang sempat menyinari atap rumahku yang bolong. Dalam hening aku bermimpi menjadi seorang penguasa kerajaan. Di sana aku memiliki banyak pelayan sekaligus seorang pangeran yang teramat tampan. Apakah ini sebuah keajaiban atau jawabaan dari pertanyaan-pertanyaan aku selama ini? Aku tak tahu yang pasti ada sebuah kebahagiaan yang sempat kurasakan. Senang memang senang, namun semua itu hanya khayalan yang terbawa angan.
Advertisement
Aku hidup di tengah keterbatasan dan tidak punya apa-apa. Semenjak kecil aku hanya diasuh oleh seorang nenek yang sudah tua renta. Orang lain memanggilnya Miyam. Orang yang setia menemaniku, yang selalu ada ketika aku butuh, yang selalu menyemangatiku hingga aku tetap bisa bertahan hidup sampai sekarang. Ya seperti itulah nenek, yang sering aku panggil dengan sebutan inyiak. Ibuku meninggal saat ia melahirkanku ke dunia ini. Sedangkan bapak aku tidak tahu entah dimana keberadaannya saat ini. Bagiku sosok inyiak adalah orang yang luar biasa, paling kuat, dan motivator hebat bagiku. Meskipun ia bukan orang yang berpendidikan, tapi banyak hal yang aku pelajari dari dia. Mulai dari agama, cara berkomunikasi, sopan santun, dan masih banyak lagi.
Tinggal di sebuah rumah kayu di tengah hutan yang dikelilingi semak belukar dengan atap yang bolong, begitupun dengan dindingnya yang terbuat dari bambu. Tidur pun hanya di atas lantai yang beralaskan daun pisang. Untuk mencari air minum dan masak pun aku harus menempuh perjalanan hingga 8 k m
jauhnya, yang lebih parahnya lagi air itu pun sudah dikotori oleh tangantangan jahat yang tidak pernah mensyukuri nikmat. Mau gimana lagi? aku terpaksa tetap memakai air yang sudah dibilang tidak layak sama sekali untuk dikonsumsi oleh manusia. Mencari makanan untuk dimakan pun aku harus mencarinya ke hutan. Aku tidak peduli, boleh dimakan atau tidak, yang penting perutku terisi.
Namun kondisi rumahku semakin parah semenjak terjadinya angin topan dua tahun silam yang sempat menimpa tempat tinggal kami. Sehingga keadaanya sudah dibilang tidak layak lagi untuk ditempati. Apa daya? aku dan inyiak tidak punya tempat tinggal selain itu, dan kami pun tetap bertahan hidup hingga sampai sekarang. Meskipun begitu, kami tetap mensyukuri dan menerima keadaan yang terjadi. Tidak ada yang harus ditangisi dan tidak ada yang harus diratapi. Memang sudah cobaan dari Yang Maha Kuasa dan kami pun harus menerimanya dengan lapang dada.
Hal yang membuatku bersedih hanyalah ketika inyiak sedang sakit dan terbaring tak berdaya. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan disaat itu terjadi. Bayangkan saja kami hanya berdua di dalam hutan, tidak ada siapa-siapa. Sepi, namun tidak terasa sebab terdengar suara jangkrik yang saling menyahut satu sama lain dari dalam rumah, dan masih banyak lagi suara binatang lainnya. Aku sering duduk terdiam disebelah tempat tidur inyiak. Berharap inyiak bisa lekas sembuh, dan aku rindu berbagi cerita dengan dia. Waktu itu, langit begitu cerah. Matahari belum berada di tengah, itu artinya masih ada waktu sholat dhuha. Inyiak sering bilang kepadaku agar sering melaksanakan sholat dhuha biar rezeki kita dimudahkan oleh Yang Maha kuasa. Setelah melihat kondisi langit, aku bergegas menuju sungai untuk mengambil wudu. Selesai sholat aku berdoa agar dipermudah rezekiku dan inyiak dan semoga Allah segera mengangkat penyakit inyiak sehingga ia bisa sehat kembali dan aku pun tidak sedih lagi.
Ternyata Allah menunjukkan kekuasaan-Nya
kepadaku tiba-tiba saja sehabis sholat inyiak memanggil namaku dan aku pun bersyukur kepada Allah karena telah mengabulkan doaku. Sebelumnya inyiak hanya terbaring lemah di atas kasur, tidak mau makan dan tidak mau berbicara. Tuhan telah menunjukkan keajaibannya kepada keluargaku dan sekarang inyiak telah bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Kekuatan dari inyiak yang membuatku bisa semangat kembali. Inyiak kembali sehat adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Kebahagian itu yang membuat aku tetap bertahan hidup di tengah hutan bersama dengan inyiak. Segala sesuatu hanya kepada inyiak aku ceritakan tentang lika-liku hidup ini. Aku tidak mengeluh lahir dengan situasi dan kondisi seperti ini, yaa walaupun sesekali terlintas sedikit keluhan. Yang namanya manusia tidak akan bisa mensyukuri nikmat Tuhan sepenuhnya. Tapi, yang lebih aku sesali hanya belum bisa membuat inyiak bahagia dan tinggal di tempat yang layak dihuni.
Seandainya aku bisa merubah keadaan ini menjadi sebuah kehidupan yang tertera didalam ingatanku maka aku mungkin menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Mendapatkan sesuatu yang diinginkan serta bisa tinggal di tempat yang tidak jauh dari sumber air dan makanan. Ketika suatu saat inyiak sakit lagi aku tidak akan susah mencari obat atau pun meminta bantuan kepada orang lain.
Kekurangan harta bukanlah menjadi penghambat dalam menjalani hidup ini, dengan adanya inyiak aku bisa lebih kuat. Bahkan aku dan inyiak menjalani kehidupan yang susah ini dengan senang hati dan bahagia walaupun kami hanya berdua tinggal di tengah hutan. Kami sudah cukup lama tinggal di dalam hutan dan disana menjadi tempat pengaduan hidup kami selama belasan tahun. Tanpa adanya hutan ini mungkin kami tidak tahu entah ke mana kami harus bernaung.
Dahulunya inyiak adalah orang yang sangat lincah dalam hal mencari makan dan kayu bakar. Namun sekarang tak lagi sama, inyiak mulai sakit-sakitan karena faktor usianya yang sudah tua. Sekarang giliranku yang menjadi tulang punggung. Meski kadang letih, namun semangatku selalu muncul ketika melihat senyuman manis dari wajah inyiak. Aku bahkan merasa khawatir jika inyiak terlalu lama ditinggal sendirian. Pada suatu hari aku didatangi oleh seseorang anak muda dan dia memberi aku pemahaman tenang bagaimana caranya menjadi orang kaya. Seiring perjalanan waktu, aku mencoba untuk memperbaiki rumah yang telah rusak dengan kayu yang ku dapatkan dari hutan. Menggunakan alat seadanya saja, perlahan-lahan setiap sisi rumah ku perbaiki. Kayu yang sudah tidak terpakai lagi tidak ku buang begitu saja.
Pada akhirnya dalam jangka waktu yang lama Alhamdulillah rumah sudah selesai diperbaiki dan Insyaallah sudah aman untuk ditempati. Memanfaatkan kayu yang ada, aku berusaha membuatkan tempat tidur yang nyaman untuk inyiak beristirahat. Hanya saja kayu tersebut diatasi dengan dedaunan kering, yang kadang kala bisa saja membuat inyiak gatal-gatal. Tapi, aku berpikir kondisi ini akan lebih baik.
Tak hanya sampai di sana. Niat yang cukup kuat untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Aku terus berusaha melakukan sesuatu yang baru. Beruntung tinggal di dalam hutan. Akan banyak hal yang bisa dimanfaatkan tanpa diperebutkan dan dipermasalahkan. Tanah yang ada disekitar rumah digali untuk dijadikan lahan pertanian. Setelah itu, kutanam padi dan sayur. Hasilnya digunakan untuk keperluan makan sehari hari, sehinggs aku pun merasa tidak kesulitan untuk mendapatkan makanan. Di saat aku menyuapi inyiak makan siang, tiba-tiba saja terdengar suara kokok ayam dari luar. Kemudian masuk ke dalam rumah ku, lalu bertelur. “Nak, sepertinya ini adalah rezeki yang diberikan tuhan. Alangkah baiknya ayam ini kita pelihara, “ ujar nenek kepadaku. Ucapan inyiak ada benarnya. Bermula dari itu, bergegas aku keluar rumah untuk membuatkan kandang ayam tersebut. Kebutuhan gizi kami sangat terpenuhi dengan kehadiran ayam hutan itu.
“Kukuruyuk” suara ayam pagi itu membangunkanku. “Nak, mari kita ke sungai. Sholat subuh nanti habis waktunya,” tiba-tiba saja terdengar sahutan inyiak dari luar. “Iya nyiak, bentar nyiak. Aku, aku...,” jawabku dalam kondisi masih ngantuk. “Ayo, cepat!” sahut inyiak lagi. Dalam kondisi mata tertutup menuju ke arah sungai untuk mengambil air wudhu. Biasanya setelah melaksanakan Sholat Subuh, inyiak tidak mengizinkan aku untuk tidur lagi. Sebab kata inyiak kalau kita tidur lagi nanti rezekinya hilang. Makanya sehabis itu aku dan inyiak selalu melakukan kegiatan apapun, entah itu menyapu, cari kayu, ambil air dari sungai sehingga sehabis Sholat Subuh rasa ngantuk itu bisa hilang. Wah, apalagi aktivitas kami ditambah dengan adanya ternak ayam dan menanam sayuran. Pasti setiap pagi akan lebih semangat lagi.
Dua tahun sudah kami bertani dan beternak ayam, hasil didapatkan sangat melimpah, sayang kalau tidak dijual. Tidak tega rasanya meninggalkan inyiak seorang diri di rumah. Tapi mau bagaimana lagi, kami hanya tinggal berdua di sana. Menempuh perjalanan sejauh 10 kg sambil membawa beberapa ekor ayam dan telur untuk dijual, akhirnya aku sampai di perkampungan rakyat. Uang yang aku dapatkan digunakan untuk membeli obat inyiak dan beberapa helai pakaian.
Beberapa kali sudah aku menjual telur dan ayam dan sangat diminati oleh orang-orang diperkampungan itu. Hingga membuat mereka berlangganan. Usaha aku dan inyiak sukses. Aku sangat bahagia dan Alhamdulillah inyiak bisa kembali sembuh dari penyakitnya.
Tidak puas sampai disitu, lagi-lagi aku mengembangkan usaha beternak ikan. Memanfaatkan air sungai yang mengalir didekat rumah dengan cara membuat galian disamping rumah sebesar 5x5 meter dan hasilnya juga cukup memuaskan. Pepatah memang benar “Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia pasti bisa” Tuhan tidak pernah sia-sia memberikan cobaan pada setiap hambanya. Yeah, pada akhirnya aku bisa membangun rumah didekat perkampungan rakyat. Namun, aku tetap melanjutkan usaha yang ada.
Semua khayalan dan impianku terwujud sudah. Aku dan inyiak merasa bersyukur dan lebih bahagia. Tinggal ditempat mewah dan penuh keramaian. Penghasilan yang cukup menjanjikan untuk masa depan. Aku membuktikan bahwa keterbatasan pendidikan dan biaya tidak membuat seseorang tidak mampu sukses. Sukses hanya pada diri orang-orang yang benar menginginkannya. Apapun keadaan kita, maka belum keadaan yang sebenarnya terjadi. Seperti sebuah permainan ular tangga. Tingginya angka yang kita peroleh kapan saja bisa membuat kita jatuh dan kembali berada diposisi terbawah. Begitu juga sebaliknya, perolehan angka yang rendah belum tentu akan membuat kita selalu berada di bawah. Kata dari inyiak yang selalu aku pegang adalah “Apapun kondisinya jangan panik, tenang, dan begeraklah dengan cepat.”
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan Universitas AndalasUniversitas Andalas