S A S T R A
Majalah Budaya Memajukan Kesenian Yogyakarta
Jogja Library Center dan Koleksi Koran-Majalah

Lawas
Media, Pengarang, dan Pembaca Sastra Tahun
1950
Media Massa Cetak Akan Punah?
Majalah Budaya Memajukan Kesenian Yogyakarta
Jogja Library Center dan Koleksi Koran-Majalah
Lawas
Media, Pengarang, dan Pembaca Sastra Tahun
1950
Media Massa Cetak Akan Punah?
Sejak awal terbitnya, majalah ini tidak mencantumkan nama- nama redaksi. Di cover dalam (berisi motto, daftar isi, keterangan mengenai gambar cover luar dan harga langganan) hanya tertulis bahwa majalah Budaya dipimpin oleh Dewan Redaksi.
Nama-nama redaktur baru muncul dalam Budaya No. 1, Januari 1956 dengan susunan Adianto Hardjoputro (penanggung jawab), Suroso (sekretaris redaksi), Kusnadi (pimpinan dewan redaksi), Kirdjomulyo, Nasjah Djamin, Himodigdojo, dan Sumarjo, L.E. (dewan redaksi).
Majalah berukuran 15 X 22 sentimeter ini memiliki tulisan-tulisan yang berhubungan dengan kesenian (sastra, tari, karawitan, patung, lukis, dsb.) yang tersebar. Artinya, majalah ini tidak memiliki rubrik khusus untuk setiap tulisan yang ditampilkan. Rubrikasi yang ada dan muncul teratur adalah “Catatan Redaksi”, “Berita Kebudayaan”, dan “Ruangan Buku”. Tulisan lain berupa artikel, esai, dan karya sastra muncul secara tidak teratur dan tidak memiliki rubrik khusus.
Hal yang menarik adalah meskipun karya sastra tidak dimunculkan secara rutin, tetapi majalah Budaya memiliki redaktur khusus yang menangani rubrik sastra, terdiri dari Kirdjomuljo, dan Nasjah Djamin. Keberadaan redaktur sastra yang terdiri dari orang-orang “terkemuka” di bidang sastra menyebabkan kegiatan sastra mendapat perhatian yang cukup besar.
Kegiatan tersebut adalah pementasan drama “Sayang Ada Orang Lain”, dilaksanakan tanggal 5 Februari 1958. Kegiatan lainnya adalah lomba deklamasi pada tanggal 4 Mei 1958 dalam rangka memperingati penyair Amir Hamzah. Ceramah sastra pernah dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Chairil Anwar.
Rubrik “Catatan Redaksi” diletakkan di halaman depan, berisi keinginan, harapan, dan tanggapan redaksi terhadap suatu persoalan atau gagasan. Dalam majalah Budaya Nomor 29 (1952) “Catatan Redaksi” berisi harapan agar kesenian dapat dihargai dan mendapat tempat selayaknya, baik di kalangan seniman sendiri atau dalam masyarakat luas.
Persoalan yang dimuat dalam “Catatan Redaksi” tidak sebatas pada bidang kesenian semata melainkan meliputi masalah sosial budaya, politik, dan psikologi.
Rubrik “Berita Kebudayaan” sudah ada sejak majalah ini terbit. Rubrik ini memuat berbagai berita mengenai pelaksanaan kegiatan kesenian. Artinya, rubrik ini tidak sekadar memuat informasi jadwal pelaksanaan kegiatan kebudayaan/kesenian yang dilakukan oleh institusi tertentu sehingga pemuatan beritanya pun tidak cukup hanya satu halaman. Semula berita- berita tersebut ditulis oleh redaksi, tetapi dalam perkembangan berikutnya berita kebudayaan yang dimuat diambilkan dari berbagai surat kabar yang beredar.
Rubrik “Ruangan Buku” merupakan rubrik yang keberadaannya tidak tetap; artinya bisa muncul dan bisa tidak sama sekali. Penempatan rubrik ini di bagian belakang setidaknya. mengisyaratkan bahwa rubrik ini bukan merupakan rubrik unggulan yang perlu dikedepankan. Rubrik ini memuat informasi mengenai penerbitan buku, nama pengarang, dan sedikit infor- masi mengenai buku tersebut, Rubrik ini terakhir muncul dalam Budaya, No. 29, tahun 1952.
Karya sastra yang dimuat dalam majalah Budaya antara lain “Ulang Tahun” (puisi, karya Motinggo Boesje, No. 8, Maret 1958), “Suara-suara Mati” (drama, karya Sunoto Timur, No. 5- 6, Mei Juni 1958). “Setumpuk Kekalahan” (cerpen, karya Ananta Pinola, No. 8-9, Agustus September 1958), “Bulan Siang” (puisi, karya Trisno Sumardjo, No. 1-2, Januari- Februari 1961), “Kami Selalu Bertemu di Kota” (puisi, karya Sapardi Djoko Damono, No. 6-8, Juni-Agustus 1961), dan “Iblis” (drama, karya Mohammad Diponegoro, No. 1-2, Januari Februari 1963).
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Majalah Budaya Memajukan Kesenian Yogyakarta”, Klik untuk baca: https://www.kompasiana.com/herrymardianto4204/641ec5c608a8b539d543e3b2/majalah-budaya-memajukan-kesenian-yogyakarta
Kreator: Herry Mardianto
Dulu saat pedagang kaki lima masih menyesaki Malioboro, gedung perpustakaan Jogja Library Center (JLC) Jalan Malioboro No. 175, tertutup oleh lalu lalang ratusan pengunjung yang ingin shopping di deretan toko sepanjang Malioboro. Bahkan papan nama JLC tidak terbaca karena tertutup papan nama toko yang tampil penuh warna, garang, dan seksi.
Kini sejak pedagang kaki lima direlokasi ke Teras Malioboro (berada di sisi selatan), lorong Malioboro di sisi utara menjadi lengang. Beberapa toko tutup permanen. Dampak positifnya, keberadaan gedung JLC sebagai cagar budaya dengan arsitektur kolonial Belanda tampak menonjol.
Saat ditemui (14/3/2023), Budiyono, koordinator pelayanan JLC menjelaskan berbagai upaya memperkenalkan perpustakaan JLC ke masyarakat. “Dulu masyarakat takut masuk ke sini. Tukang becak yang mangkal di depan mengira kalau Jogja Library Center hanya untuk pelajar dan mahasiswa. Dikira kalau masuk harus membayar.
Setelah dipersilakan masuk, baru ia percaya kalau gratis dan bisa membaca dengan nyaman di dalam,” jelas Budiyono mengenang peristiwa beberapa tahun lalu.
Pustakawan utama itu menjelaskan kalau dari sisi gedung dan fasilitas, JLC sudah memadai, tinggal upaya mengajak masyarakat luas memanfaatkan fasilitas JLC.
Mahasiswi dari jurusan ilmu sosial UNY, Eka Tiya, mengaku sering berkunjung ke JLC.
“Saya senang ke sini karena banyak data yang bisa didapatkan. Terutama data dari koran-koran lama. Terlebih sebagian koran tua sudah didigitalisasi,” ujar Eka sambil menunjukkan data lewat layar komputer.
Di bagian belakang gedung masih terdapat beberapa bagian alat percetakan. Dari sejarahnya, pada zaman penjajahan Belanda, gedung JLC pernah dimanfaatkan sebagai toko buku NV Boekhandel en Drukkerij Kolff-Bunning. Juga merupakan gedung perusahaan percetakan dan penerbitan buku pendidikan.
Jogja Library Center/Foto: HermardDulu saat pedagang kaki lima masih menyesaki Malioboro, gedung perpustakaan Jogja Library Center (JLC) Jalan Malioboro No. 175, tertutup oleh lalu lalang ratusan pengunjung yang ingin shopping di deretan toko sepanjang Malioboro. Bahkan papan nama JLC tidak terbaca karena tertutup papan nama toko yang tampil penuh warna, garang, dan seksi.
Kini sejak pedagang kaki lima direlokasi ke Teras Malioboro (berada di sisi selatan), lorong Malioboro di sisi utara menjadi lengang. Beberapa toko tutup permanen. Dampak positifnya, keberadaan gedung JLC sebagai cagar budaya dengan arsitektur kolonial Belanda tampak menonjol.
Saat ditemui (14/3/2023), Budiyono, koordinator pelayanan JLC menjelaskan berbagai upaya memperkenalkan perpustakaan JLC ke masyarakat. “Dulu masyarakat takut masuk ke sini. Tukang becak yang mangkal di depan mengira kalau Jogja Library Center hanya untuk pelajar dan mahasiswa. Dikira kalau masuk harus membayar.
Setelah dipersilakan masuk, baru ia percaya kalau gratis dan bisa membaca dengan nyaman di dalam,” jelas Budiyono mengenang peristiwa beberapa tahun lalu.
Pustakawan utama itu menjelaskan kalau dari sisi gedung dan fasilitas, JLC sudah memadai, tinggal upaya mengajak masyarakat luas memanfaatkan fasilitas JLC.
Mahasiswi dari jurusan ilmu sosial UNY, Eka Tiya, mengaku sering berkunjung ke JLC.
“Saya senang ke sini karena banyak data yang bisa didapatkan. Terutama data dari koran-koran lama. Terlebih sebagian koran tua sudah didigitalisasi,” ujar Eka sambil menunjukkan data lewat layar komputer.
Di bagian belakang gedung masih terdapat beberapa bagian alat percetakan. Dari sejarahnya, pada zaman penjajahan Belanda, gedung JLC pernah dimanfaatkan sebagai toko buku NV Boekhandel en Drukkerij Kolff-Bunning. Juga merupakan gedung perusahaan percetakan dan penerbitan buku pendidikan.
Buku-buku yang pernah diterbitkan, antara lain Ramawijaya (1922) dan Serat Pustakaraja Purwa (1939).
Pada zaman pendudukan Jepang, bangunan Kolf
Bunning dijadikan kantor berita Domei. Berfungsi sebagai kantor penerangan/propaganda. Pada tahun 1950-an pemerintah memanfaatkan gedung ini sebagai perpustakaan negara.
Koleksi koran-majalah lawas/Foto: Hermard
Keunggulan JLC berkaitan dengan koleksi koran dan majalah sejak tahun 1945-an.
Pengunjung bisa membaca berbagai koran, misalnya Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Kompas, Bernas, dan Suara Karya. Sedangkan koleksi majalah meliputi Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Gatra, dan lainnya.
Buku-buku yang pernah diterbitkan, antara lain
Ramawijaya (1922) dan Serat Pustakaraja Purwa (1939).
Pada zaman pendudukan Jepang, bangunan Kolf Bunning dijadikan kantor berita Domei. Berfungsi sebagai kantor penerangan/propaganda. Pada tahun 1950-an pemerintah memanfaatkan gedung ini sebagai perpustakaan negara.
Koleksi koran-majalah lawas/Foto: Hermard
Keunggulan JLC berkaitan dengan koleksi koran dan majalah sejak tahun 1945-an.
Pengunjung bisa membaca berbagai koran, misalnya
Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Kompas, Bernas, dan Suara Karya. Sedangkan koleksi majalah meliputi Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Gatra, dan lainnya.
Keunggulan JLC berkaitan dengan koleksi koran dan majalah sejak tahun 1945-an.
Pengunjung bisa membaca berbagai koran, misalnya Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Kompas, Bernas, dan Suara Karya. Sedangkan koleksi majalah meliputi Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Gatra, dan lainnya.
Koleksi koran dan majalah tersusun dan dijilid rapi, sehingga pembaca dapat membaca dengan nyaman. Bahkan tedapat koleksi buku hasil kerja sama dengan negara Jepang di ruang Kyoto Book Corner.
Gedung JLC berupa bangunan cagar budaya dua lantai. Memiliki ruangan yang bisa dimanfaatkan masyarakat luas/komunitas untuk acara diskusi.
Ruang baca di lantai bawah terasa luas dan nyaman. Ada beberapa komputer yang disediakan bagi pengunjung yang ingin melihat hasil digitalisasi koran-koran lawas.
Kini, JLC berada di bawah pengelolaan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) Daerah Istimewa Yogyakarta. Siapa pun bisa mengunjungi JLC secara nyaman tanpa harus berdesakan dengan pengunjung Malioboro.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Jogja Library Center dan Koleksi Koran-Majalah Lawas”, Klik untuk baca: https://www.kompasiana.com/herrymardianto4204/6412a36908a8b5134b1d5ee3/jogja-library-center-dan-koleksi-koran-majalah-lawas?page=2&page_images=1
Kreator: Herry Mardianto
Ruang Baca Nyaman/Foto: HermardDiperlukan hubungan “mesra” antara penerbit, pengarang, dan pembaca agar keberlangsungan penerbitan surat kabar/majalah dapat berjalan dengan baik.
Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern menyatakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk melek huruf bisa ditandai dari oplah surat kabar yang meningkat.
Tahun 1950 tercatat 500.000 eksemplar oplah surat kabar di Indonesia. Pada tahun 1956 menjadi di atas 933.000 eksemplar. Artinya ada kenaikan hampir dua kali lipat. Sementara oplah majalah meningkat tiga kali lipat menjadi di atas 3,3 juta eksemplar dalam kurun waktu yang sama.
Tulisan ini bermaksud mengetahui keberadaan majalah-majalah atau surat kabar yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1950-an, siapa pengarang dan pembaca yang terlibat dalam mempertahankan keberadaan majalah atau surat kabar dan bagaimana pengarang dapat hadir dalam majalah atau surat kabar.
Pengamatan ini berpijak dari gagasan bahwa karya sastra hadir karena adanya jaringan yang melibatkan pengarang (pencipta karya sastra), penerbit (sebagai pengayom dan berfungsi menyebarluaskan karya sastra lewat koran/majalah), serta pembaca (penanggap).
Seperti diketahui, pada awal tahun 1950-an di Yogyakarta mulai bermunculan surat kabar/majalah, yaitu majalah Budaya, Seriosa, Basis, Suara Muhammadijah, Pusara, dan Gadjah Mada; meskipun tidak semuanya memuat karya sastra.
Hal ini terjadi karena sejak awal kemerdekaan, Yogyakarta berupaya mengembangkan diri menjadi salah satu kota budaya karena memiliki tradisi budaya kerajaan yang kuat.
Di samping itu bermunculan perguruan tinggi yang mendukung pengembangan sastra dan budaya.
Beberapa perguruan tinggi tersebut menerbitkan media komunikasi, antara lain Universitas Gadjah Mada menerbitkan majalah Gadjah Mada (GAMA) dan Tamansiswa menerbitkan majalah Pusara.
Kehadiran berbagai majalah dan surat kabar mampu memberi sumbangan cukup besar bagi perkembangan sastra di Yogyakarta.
Dari segi kualitas, beberapa pengarang cerpen yang berproses kreatif di Yogyakarta menunjukkan kelebihan sebagai sosok mumpuni.
Pada tahun 1961 redaksi majalah Sastra memberikan “Hadiah Sastra 1961” kepada A. Bastari Asnin untuk cerpen “Di Tengah Padang” (Sastra, No. 2, Juni 1961). Cerpen ini dipandang memiliki kelebihan berkaitan dengan teknik bercerita yang penuh ketegangan, kerahasiaan, dan diperkuat oleh keajaiban nasib serta perjalanan hidup tokoh-tokohnya.
Sedangkan B. Soelarto menerima hadiah atas cerpennya yang mengandung kritik jujur dan berani serta konstruktif terhadap kepincangan-kepincangan/ penyelewengan dalam masyarakat. Penghargaan tersebut diberikan untuk cerpen “Rapat Perdamaian” (Sastra, No. 6, Oktober 1961).
Di samping dua pengarang di atas, Satyagraha Hoerip memperoleh hadiah hiburan atas cerpennya “Seorang Buruan” (Sastra, No. 3, Juli 1961), bercerita mengenai pengorbanan dan penderitaan pejuang dalam melawan penjajah.
Pemerolehan hadiah sastra tersebut memberi gambaran bagaimana kesungguhan pengarang cerpen yang berproses kreatif di Yogyakarta dalam menciptakan cerpen berkualitas.
Sistem pendukung sastra yang juga perlu diperhitungkan adalah sistem pembaca atau penanggap (gatekeepers) yang diperlukan redaktur demi kelangsungan kehidupan surat kabar/majalah.
Dalam hal tertentu, pengayom (termasuk staf redaksi) memberi perhatian terhadap pembacanya agar timbul pengertian dan kerjasama saling menguntungkan.
Beberapa majalah yang terbit di Yogyakarta secara implisit memiliki sasaran pembaca tertentu, misalnya Media, Pusara, Gadjah Mada, Suara Muhammadiyah, Gema Islam, dan Darmabakti.
Majalah Media, Suara Muhammadiyah, Gema Islam, dan Darmabakti berisikan tulisan-tulisan yang bernapaskan Islam, sehingga target pembacanya adalah pemeluk agama Islam.
Secara sepesifik, majalah Media memiliki target sasaran pembaca angkatan muda Islam di Indonesia, khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Indonesia.
Sasaran pembaca tersebut tidak jauh berbeda dengan sasaran pembaca majalah Darmabakti karena majalah ini diterbitkan oleh dewan mahasiswa IAIN Sunankalijaga.
Hanya saja majalah Media sebenarnya memiliki sasaran pembaca lebih luas, sehingga karya-karya sastra yang ditampilkan pun tidak sepenuhnya bernuansa Islam, tema dan persoalan yang dikemukakan bersifat umum; hal ini berbeda dengan majalah Suara Muhammadiyah maupun Gema Islam.
Kedua majalah tersebut selalu menampilkan karya sastra dengan tema dan persoalan yang berkaitan dengan Islam. Majalah Gema Islam, misalnya, memuat cerpen “Dimulai dengan Kesulitan” karya S.N. Ratmana (Gema Islam, 15 November 1962) dan “Bersuluh di Hati Perempuan” karya M. Sunjoto (Gema Islam, 1 November 1964).
Cerpen pertama menggambarkan buruknya akhlak murid-murid di sebuah SMU ketika menghadapi guru baru. Sedangkan cerpen kedua berisi ajakan agar orang (pembaca) selalu beribadah dan ingat kepada Tuhan. Dalam cerpen kedua, warna Islam terasa begitu kuat dari awal hingga akhir cerita. Majalah Gadjah Mada dan Pusara memiliki target pembaca yang lebih umum dibandingkan dengan Suara Muhammadiyah, Gema Islam, serta Darmabakti. Hal serupa juga terlihat pada majalah Medan Sastra, Seriosa, Pesat, Api Merdeka, Minggu Pagi, Arena, dan Budaya.
Kenetralan majalah Minggu Pagi dapat kita cermati dari pemuatan iklan ucapan selamat hari natal dan tahun baru yang dimuat dalam Minggu Pagi, No. 40, 30 Desembar 1962 dan pemuatan cerpen lebaran “Di dalam Ada Cahaya” (karya Djakaria, N.E) dalam Minggu Pagi, 24 Februari 1963.
Majalah Gadjah Mada meskipun dikelola oleh pihak kampus tetapi target pembacanya tidak terbatas pada kalangan civitas akademika melainkan melebar ke pembaca umum.
Sebagai majalah umum, majalah ini memuat cerita pendek yang kadang tidak mudah dipahami masyarakat awam. Kondisi tersebut tercipta karena kehadiran majalah ini berwawasan kepada kaum intelektual. Terlebih lagi kehadiran cerpen dalam majalah Gadjah Mada tanpa disertai illustrasi yang dapat berfungsi sebagai “petunjuk” dalam memahami cerpen tersebut.
Hal ini berbeda dengan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Minggu Pagi yang diperuntukan bagi siapa saja, sehingga cerpen-cerpen yang dihadirkan adalah cerpen-cerpen yang mudah dicerna oleh siapa pun. Setiap cerpen memiliki illustrasi yang menggambarkan tokoh, latar, atau adegan sebuah peristiwa dalam cerita.
Perhatian pengayom (Minggu Pagi) kepada pembaca yang menyenangi masalah sastra terlihat dari kehadiran beberapa tulisan yang membicarakan situasi dan perkembangan sastra di Yogyakarta, selain memuat tulisan mengenai profil pengarang Indonesia.
Kualitas karya sastra yang dimuat beberapa majalah khusus budaya dan sastra tentu lebih baik karena beberapa majalah tersebut memiliki pembaca spesifik, di samping pihak majalah mempunyai redaksi khusus yang menangani karya sastra.
Majalah Medan Sastera, Seriosa, Budaya, dan Arena di samping menampilkan karya sastra, juga mengedepankan tulisan/artikel sastra/budaya.
Majalah Medan Sastera mempermudah pembaca dalam mendapatkan informasi kegiatan sastra dengan rubrik “Lintasan Kesusasteraan Bulan Ini” seperti yang termuat dalam Medan Sastera, No. 7, Oktober 1953. Di dalam catatan tersebut dimuat segala kegiatan kesusastraan yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri.
Asal-usul pembaca sebuah majalah dapat dirunut dari surat/ pengumuman redaksi, iklan, boks redaksi, berita keluarga, dan sebagainya. Pembaca majalah
Gadjah Mada tidak saja berasal dari Indonesia karena dari boks redaksi diketahui majalah ini memiliki pembantu tetap di Amerika, Nederland, dan Denmark. Majalah inipun tidak hanya dikonsumsi oleh pembaca di Yogyakarta tetapi juga pembaca di luar wilayah Yogya, misalnya Madiun, Bukittinggi, Bandung, Kalimantan, Jakarta, Palembang.
Majalah Arena/Foto: Hermard
judul “Media, Pengarang, dan Pembaca Sastra Tahun 1950-an”, Klik untuk baca: https://www.kompasiana.com/herrymardianto4204/640c26bb08a8b57c897a7d6c/mediapengarang-dan-pembaca-sastra-tahun-1950an?page=2&page_images=1
Kreator: Herry Mardianto
Wah... mestinya Kompasiana meramaikan momen ini dengan sebuah topik tentang pers itu sendiri. Atau besok atau lusa? Semoga. Tetapi itu bukan menjadi halangan bagi saya untuk menuliskan sesuatu menyangkut pers. Sebab, jelek-jelek gini penulis pernah juga berkiprah di dunia yang satu ini, bahkan menjadi “saksi” masa transisi Orde Baru Soeharto ke era reformasi yang kebablasan.
Di era Orde Baru yang otoriter itu, pers sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Maka tidak heran jika tidak ada media yang berani mengkritik pemerintah secara terbuka. Tidak seperti sekarang ini, di mana seorang presiden pun bisa jadi bulan-bulanan media. Yang bagus ditulis buruk, atau yang jelek dari pihak oposisi dipuja-puja sebagai kebenaran. Dan itulah kehidupan yang selalu berubah.
Di zaman Orba, tidak mudah mendirikan usaha penerbitan pers yang baru. Apalagi yang spesifikasinya politik. Sebab ada kesan pemerintah saat itu tidak ingin dikoreksi atau dikritik media. Maka apapun keputusan, kebijakan, ucapan dan tindakan Soeharto kala itu, akan diberitakan media-media dalam nada puja dan puji kepada pemerintah.
Sebab kalau berani berkata “miring”, atau menuliskan hal yang sebenarnya, alamat media atau surat kabar yang berbuat itu akan dihajar tanpa ampun. Sebagai contoh, tentu masih banyak di antara kita yang masih mengingat soal majalah Tempo dan harian sore Sinar Harapan yang dibreidel karena dianggap memberitakan sesuatu aib pemerintah?
Di era reformasi, kedua media ini bisa hidup kemSekarang, ini apa yang terjadi di belahan dunia lain, dapat kita lihat dan ketahui pada saat yang sama. Misalnya, gempa dahsyat yang terjadi di Turki dan Suriah, bisa kita saksiksan bersama-sama, atau bah-
Tapi semua harus menjalani seleksi alam. Sebab tidak semua media-media baru itu sukses di pasaran. Lebih banyak yang cuma sekadar numpang lewat, lalu hilang tak berbekas selamanya. Yang bertahan hanyalah media-media yang sejak dulu memang sudah mapan, sebab memiliki pembaca setia yang tidak kepincut dengan media-media baru yang dikelola secara amatiran.
Kini media memasuki zaman yang baru lagi. Setelah era Orba dan Reformasi, kini memasuki era online atau digital. Dengan sistem online, pemirsa di seluruh dunia tidak perlu menunggu satu hari untuk membaca berita di koran atau majalah yang dicetak pada tengah malam atau dini hari, dan diedarkan pagi harinya.
Sekarang, ini apa yang terjadi di belahan dunia lain, dapat kita lihat dan ketahui pada saat yang sama. Misalnya, gempa dahsyat yang terjadi di Turki dan Suriah, bisa kita saksiksan bersama-sama, atau bahkan dalam waktu yang bersamaan dengan mereka yang berada di TKP (tempat kejadian perkara).
Maka ketika berita tersebut diulas di koran-koran harian, rasanya sudah hambar. Bahkan mungkin saja pembaca lebih tahu banyak tentang kejadian itu ketimbang yang diulas habis-habisan di koran besar dan mapan sekalipun. Misalnya ada kawan atau sanak keluarga kita yang berada persis di lokasi, dia bisa menceritakan secara gamblang tentang peristiwa itu bukan?
Jadi dengan kemajuan zaman yang kini serba online, kita pun mulai berani menyimpulkan bahwa ke depan yang namanya media massa akan punah. Gejala itu sebenarnya sudah dimulai dengan makin menghilangnya media-media cetak dari ranah publik. Sebagai (mantan) aktivis media massa cetak, sedih dan pilu rasanya hati ini melihat dan menyaksikan satu demi satu tempat atau warung yang dulu menjual koran dan majalah, kini sudah tidak berbekas lagi.
Atau kawasan-kawasan yang dulu sudah menggeliat ramai menjelang tengah malam menanti datangnya truk-truk yang mendrop koran-koran harian dari percetakan, lalu didistribusikan dari lokasi itu. Sekarang sudah banyak yang tutup dan senyap. Itulah pertanda bahwa semua itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama lagi, direbut oleh dunia online.
Namun tetap mengucapkan: Selamat Hari Pers Nasional! Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Media Massa Cetak Akan Punah?”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/hanspanja/63e4ee3408a8b552b3712c62/media-massa-cetak-akanpunah?page=2&page_images=1
Kreator: Hans Pt Ilustrasi