Golden Memories

Page 1




Milisifilem Jakarta, Indonesia Januari 2018 Katalog Penulis Afrian Purnama, Akbar Yumni, Mahardika Yudha, Peter Post Editor Afrian Purnama, Mahardika Yudha, Manshur Zikri Perancang Grafis Abi Rama Foto Andang Kelana, Mahardika Yudha Dicetak sebanyak 200 eksemplar TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN Diterbitkan oleh Forum Lenteng Jl. H. Saidi no 69 RT.07/RW.05 Tanjung Barat, Jagakarsa Jakarta – 12530 Indonesia Email. Info@forumlenteng.org Website. forumlenteng.org


Tim Kerja Filem Realisasi Afrian Purnama, Mahardika Yudha, Syaiful “Paul” Anwar Juru Kamera Ario Fazrien, Mahardika Yudha, Mohammad Fauzi, Syaiful “Paul” Anwar Produser Hafiz Rancajale Produser Eksekutif Yuki Aditya Penerjemah Anggraeni Widhiasih, Yuki Aditya Penyunting Mahardika Yudha, Syaiful “Paul” Anwar Penyelaras Warna & Suara Syaiful “Paul” Anwar Poster Andang Kelana & Robby Ocktavian Informasi Teknis Filem Judul Golden Memories Tahun Produksi 2018 Durasi 118’ Bahasa Indonesia & Inggris Rasio 16:9 Audio Stereo Warna Berwarna Format Full HD (1920 x 1080)


6


7


Daftar Isi

Sinopsis 11 Catatan Produser Eksekutif

Yuki Aditya 12

Dari Reproduksi Image ke Reproduksi Image Afrian Purnama, Mahardika Yudha, Syaiful Anwar

16

Sejarah Publik dan Sejarah Image Akbar Yumni 22 Sinema Keluarga Kwee, Sumber Baru untuk Studi Kehidupan Peranakan Elit di Kolonial Jawa

Peter Post 30

Sinema Keluarga, Sinema Indonesia

Afrian Purnama 40

Si Penonton Filem yang Membuat Filem

Mahardika Yudha 48

Biografi 58 Terima Kasih 62


9


“ 10


“

Tiga orang pembuat filem menelusuri jejak-jejak sinema keluarga di Indonesia. Dalam perjalanan itu mereka bertemu dengan sinema Kwee Zwan Liang dan sinema Rusdy Attamimi. Dari Jakarta ke Amsterdam, dari Den Haag ke Jatipiring, sinema keluarga tidak hanya membawa tiga orang itu pada persoalan kultur sinema yang dibangun oleh publik, tetapi juga estetika serta ontologi mengenai apa itu sinema keluarga dari masa ke masa.

11


Catatan Produser Eksekutif oleh: Yuki Aditya

12


Sejarah sinema dunia tidak bisa lepas dari kehadiran home movie atau ‘sinema rumahan’. Sejak kemunculan kamera PathĂŠ Baby di Prancis pada dekade 1920-an beserta perangkat proyektor dan stok filemnya, medium filem dokumenter masuk ke ranah yang personal sebagai cara untuk mengabadikan keseharian di sekitar pembuatnya. Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema adalah filem fitur ke-10 yang diproduksi Forum Lenteng. Filem ini mencoba menelusuri bagian sejarah yang selama ini belum dibicarakan jika memetakan perkembangan sinema Indonesia, yaitu sinema rumahan. Penelitian tentang sejarah sinema Indonesia telah dilakukan Forum Lenteng sejak lama, dan pameran Kultursinema sejak perhelatan ARKIPEL ke-2 adalah salah satu bentuk presentasi hasil penelitian tersebut. Dengan filem ini, ketiga pembuat filem, yaitu Mahardika Yudha, Afrian Purnama, dan Syaiful Anwar menemui Kwee Zwan Liang dan keluarganya melalui filem-filem yang mereka buat di Jatipiring pada dekade 1930-an dan Rusdy Attamimi melalui cerita dan filem-filemnya—juga menonton filem-filem tersebut di lembaga arsip, museum, dan rumah mereka. Kami ingin mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang mendukung produksi filem ini sejak proses perekaman gambar dimulai dua tahun lalu, yaitu kepada Erasmus Huis, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Ford Foundation, dan Goethe Institut. Juga terima kasih kepada komunitas, institusi, maupun perorangan lainnya. Semoga filem ini bisa menjadi pemantik untuk penelitian lebih lanjut dan penyebaran informasi dan pengetahuan mengenai sejarah sinema Indonesia.

13


14


15


Dari Reproduksi Image ke Reproduksi Image oleh: Afrian Purnama, Mahardika Yudha, Syaiful Anwar

16


Judul filem ini mengacu pada pengalaman kami ketika berinteraksi dengan dua keluarga pembuat filem yang menjadi pondasi utama filem ini. Dalam suatu pertemuan, Rusdy Attamimi yang sedang berlatih vokal dan bebunyian, bernyanyi di depan kami. Ia menyayikan lagu Rindu Lukisan ciptaan Ismail Marzuki yang juga digunakan Usmar Ismail pada filem Asrama Dara (1958). Bagi kami, lagu ini tidak hanya membicarakan soal percintaan, tetapi juga soal representasi. Di saat yang lain, ketika bertemu dengan anak-anak dari Kwee Zwan Liang, kami dikejutkan oleh lagulagu tembang kenangan yang dijadikan sebagai musik latar filem-filem ayah mereka. Setahu kami, filem-filem Kwee Zwan Liang tidak bersuara. Ketika kami tanyakan hal itu kepada mereka, salah seorang mengatakan bahwa Kwee Kiem Han, anak kedua Kwee Zwan Liang, yang mengeditnya dan memasukkan lagu-lagu tersebut ke dalam filem. Selama menonton filem-filem Kwee Zwan Liang bersama anak dan cucunya itu, lagu-lagu tembang kenangan tahun 60-70-an menjadi musik latar yang menemani kami masuk ke dalam dunia sinema Kwee Zwan Liang. Golden Memories adalah filem dokumenter fitur yang bersumber dari penelitian Sejarah Sinema Kecil yang merupakan filem pertama produksi Milisifilem, platform produksi dan pembelajaran budaya gambar bergerak yang diinisiasi oleh Forum Lenteng. Sejarah Sinema Kecil berupaya mencari jejak lain di luar sejarah sinema Indonesia yang sudah mapan dan umum diketahui. Kami percaya, masih banyak kepingan lain dalam sejarah sinema Indonesia yang belum terungkap sehingga perlu untuk ditelisik lebih dalam. Usaha ini juga mencoba mengisi celah-celah kosong dan menambah khasanah informasi dan data perkembangan sinema di Indonesia. Terutama kultur sinema yang dibangun oleh publik, si penonton filem. Selama ini, penulisan sejarah selalu menggunakan sudut pandang negara, korporasi, atau lembaga-lembaga resmi lainnya. Amat jarang penulisan sejarah menggunakan amatan yang didasarkan dari pengalaman publik, yang dalam tanda kutip, tidak 17


pretensius. Di sisi lain, publik adalah subjek dari sejarah. Sinema telah berusia lebih dari seratus tahun. Entah sudah berapa kali sebuah subjek telah dijadikan image. Dan entah sudah berapa kali, image itu direproduksi, direpresentasikan lagi dan lagi. Atau bahkan diubah dari satu bentuk ke bentuk visual lainnya. Image hari ini adalah image yang sudah direproduksi sebelumnya. Dan yang memegang peranan penting atau kunci dalam kultur tersebut adalah publik, si penonton filem. Banyak sekali lapisan yang dapat ditelusuri dari kultur sinema yang dibangun oleh publik, dari pengalaman menonton ke membuat filem. Bagaimana publik menanggapi gambar-gambar, ekspresi-ekspresi, kultur-kultur, bentuk-bentuk, atau kenyataan-kenyataan teknologis yang mereka peroleh dari sinema, kemudian diterjemahkan ke dalam adegan dan filem mereka sendiri. Inilah proses ulang alik reproduksi representasi sinema yang akan terus berlangsung hingga “tak ada lagi� yang memproduksi image. Dari zaman ke zaman, dari reproduksi ke reproduksi. Sinema keluarga adalah representasi dari kultur tersebut. Melalui dua tokoh yang menjadi pondasi filem ini, Rusdy Attamimi dan Kwee Zwan Liang yang produktif membuat filem, kami melakukan perjalanan menelusuri bagaimana perjalanan reproduksi image bekerja. Dari Jakarta, Arnhem, Harleem, Amsterdam, Zaandam, Den Haag, hingga ke Djatipiring; kami menemui berbagai kisah reproduksi image yang membawa kami pada pertanyaan apa itu amatir, apa itu profesional, apa itu kamera, apa itu sinema, apa itu kenyataan, hingga apa itu presentasi. Kisah-kisah ini memiliki pengalamannya masing-masing. Dari tokoh akademisi, pedagang kamera, hingga kepala desa. Kisah-kisah mereka kemudian memperlihatkan dua organisme yang berbeda; antara reproduksi image teknologis dengan reproduksi image non-teknologis. Dan keduanya saling bersimbiosis. ***

18


19


20


21


Sejarah Publik dan Sejarah Image oleh: Akbar Yumni

22


Sejauh ini, pengertian sejarah sosial-politik yang berlangsung di sebuah negara selalu sejarah yang dibangun oleh negara, atau para akademisi. Sementara, warga negara yang sebenarnya adalah subjek sejarah dan sering kali mengalami dampak langsung dari konstruksi sejarah tersebut, tidak pernah diberikan peluang untuk dilibatkan dalam merumuskan sejarah. Dalam kasus sejarah kekerasan di masa lalu, misalnya, dominasi negara dan para akademisi kerap mempersempit pengertian ‘korban’ dan ‘bukan korban’ yang sebenarnya juga mempersempit usaha-usaha rekonsiliasi dari peristiwa kekerasan tersebut. “Seperti diketahui bahwa karya-karya sejarah dari tahun 1965 sampai 2000an sangat minim pelibatan masyarakat. Seolah-olah penafsir tunggal sejarah adalah sejarawan profesional dan pemerintah. Padahal, hakikat dari sejarah adalah masyarakat. Artinya, masyarakatlah pendukung sejarah untuk terus berkembang. Jika masyarakat hanya sebagai objek, maka di situlah sebenarnya sejarah akan berjarak dengan pemiliknya.” (Restu Gunawan, “Sejarah Publik dan Media Sosial”, Kompas 5 Desember 2015). Pelibatan masyarakat dalam merumuskan sejarahnya tersebut, bisa dianggap sebagai sebuah penciptaan sejarah publik, sebagai antitesa dari sejarah negara yang sering kali berjarak dengan subjek masyarakat (publik). Dalam pandangan sejarah publik, masyarakat sendirilah agen yang aktif dalam penciptaan sejarah; tidak lagi diperlukan suatu batas yang tegas antara ‘sejarawan’ dan ‘publiknya’. Sejarah publik merupakan bagian dari proses histografikal yang bisa mendorong sebuah penciptaan makna bersama yang dimungkinkan dari perbedaan pemahaman yang berlangsung di masa lalu. Di dalam sejarah publik, pengertian sumber sejarah tidak lagi merujuk kepada pengertian objek yang absah dalam konteks sains sosial. Sejarah publik mendorong masyarakat untuk berpartisipasi merumuskan sejarahnya sendiri. Hal ini juga bisa 23


melibatkan sumber-sumber berupa memori, mitos, dan bahkan sumber-sumber yang tidak lagi berada pada pengertian sejarah yang berisikan kronologi atau peristiwa yang objektif dalam dokumen-dokumen sejarah. Sejarah publik adalah sejarah yang berasal dari mereka sebagai warga negara biasa, yang selama ini tidak mendapatkan tempat untuk memberikan pengalaman sendiri dalam rumusan sejarah bangsa yang dikenakan pada mereka. Selain pelibatan partisipasi publik, pengertian sejarah publik sebenarnya juga bisa dilakukan dengan memperluas asumsi dan definisi dari hal tertentu yang ingin diangkat. Seperti membayangkan konsepsi filem yang sebenarnya memuat banyak aspek, di mana bagi Sergei Eisenstein yang paling utama dari sinema adalah sinematografi itu sendiri, dan yang paling utama dari sinematografi adalah montase. Sebagai sebuah rangkaian dari satu kode visual ke kode visual yang berbeda, dan yang secara keseluruhan membentuk sebuah makna baru, montase itu sendiri sudah lahir sebelum filem, di mana Eisenstein melihat pola-pola hieroglif Cina pada Bambu di masa lampau. Berangkat dari konsepsi sinematografi tersebut, kita bisa membuka pengertian sinema itu sendiri secara luas, khususnya terkait dengan keterbukaan terhadap pengertian sejarah filem itu yang lebih menjangkau partisipasi yang lebih luas pada peran-peran kultural masyarakat dan publik dalam memberikan sumbangsihnya terhadap sejarah kebudayaan di sebuah bangsa. Sinema sebagai sebuah montase ini yang kemudian juga mengkritik sejarah sinema di banyak bangsa yang kerap dituliskan tanpa sinematografi. Strategi-strategi memperluas pengertian sinema ini juga menjadi bagian dari upaya untuk membayangkan sebuah sejarah yang lebih terbuka dan peluang bagi keterlibatan dan partisipasi publik. Hal yang sama juga mungkin berlaku dalam wilayah bidang seni yang lain, seperti membayangkan sejarah seni performatif, di mana secara kultural mungkin publik sudah mempraktikkannya. Meski tanpa kepekaan formalisme seni, praktik-praktik macam aksi pepe masyarakat Jawa di alun-alun di masa lampau, misalnya, bisa dianggap sebagai praktik sipil dari performance melalui tindakan performatif masyarakat dalam menyatakan sesuatu. Keterbukaan terhadap peluang keterlibatan publik atau masyarakat ini, selain mengubah asumsi-asumsi modernisme tentang sejarah dan seni, juga menjadi bagian dari penolakan atas penunggalan sejarah yang notabene lebih banyak didominasi oleh ‘negara’. Mazhab sejarah umumnya berangkat dari hasrat akan asal-usul, asal-muasal, atau keinginan yang kuat untuk mencari hal yang dianggap ‘paling’ pertama kali. Klaim asal-usul ini sendiri juga tidak lepas dari pretensi politik, dan juga kepercayaan akan sebuah ‘kemurniaan’ dan esensialisme pada suatu hal. Secara tidak langsung, mazhab sejarah juga berhasrat untuk membuat penunggalan akan sejarah. Kerjakerja pencarian akan asal-usul biasanya berangkat dari dokumen-dokumen atau arsip resmi, atau bisa juga dokumen tidak resmi, namun masih berkutat pada pengertian 24


korpus terhadap sebuah dokumen. Sejarah yang berangkat dari korpus ini juga yang menjadikan semacam formalisme atas sejarah, atau sejarah negara sebagai sejarah yang dirumuskan oleh para profesional atau para akademisi. Perdebatan di seputar korpus dokumen atau arsip ini juga mengandaikan sebuah perdebatan antara yang ‘absah’ dan ‘tidak absah’. Hasrat akan ‘asal-usul’ secara tidak langsung mengandaikan sebuah tradisi naratif tertentu, di mana di dalamnya memuat penokohan dan mungkin juga akhir. Formalisme inilah yang kemudian membentuk kecendrungan sejarah negara secara tidak langsung adalah praktik-praktik narasi-narasi besar dan memiliki pretensi tertentu dari hasrat representasional. Tradisi naratif ini belum tentu bisa kita temui dalam sejarah publik, karena selain sumber daya dari sejarah publik tersebut yang tidak lagi berkutat pada perihal penokohan, representasionalisme, dan seterusnya, sedemikian hingga sejarah publik cenderung berkutat pada sesuatu yang personal, pengalaman. Dalam spasial ini, sejarah publik bisa diandaikan sebagai sebuah sejarah image jika dilatari oleh spektrum antara tradisi naratif yang bergerak ke tradisi visual. Sejarah filem bisa saja ditahbiskan pada Luimere bersaudara dalam sebuah sesi pemutaran untuk publik. Namun, sejarah sinema sebagaimana postulat yang ada dalam bidang seni yang lain, sudah hadir jauh-jauh hari semenjak surga platonis ada di benak manusia. Sebagaimana sejarah filem tanpa sinema, sejarah masyarakat tanpa membuka peluang partisipasi publik akan menciptakan jarak yang lebar antara sejarah dan subjek sejarah itu sendiri. Kwee Zwan Liang (1896-1959), adalah salah seorang keturunan peranakan Tionghoa di Indonesia yang memproduksi image keseharian kehidupannya semasa kolonial. Ia berlatar kelas ekonomi mampu, dari ayahnya yang seorang kepala laboratorium di sebuah pabrik gula di Jatipiring, Cirebon, Jawa Barat, sehingga membuat ia sanggup membeli kamera di masa itu. Peter Post menyebut image-image Kwee Zwan Liang sebagai ‘filem rumahan’ sebagai sebuah gambaran di luar Koloniaal Instituut (Institusi Kolonial) di Amsterdam yang memproduksi image bagi kepentingan informasi, propaganda, pendidikan di Hindia Belanda. Image produksi Kwee Zwan Liang menurut Post, adalah gambaran yang lebih intim dari produksi image yang dihasilkan pada masa itu, ketimbang produksi image yang dihasilkan Intitusi Kolonial yang cenderung menggambarkan dominasi para koloni Barat. Image Liang adalah semangat akan pengarsipan keseharian dirinya, atau bisa juga disebut semacam photogenie-nya Jean Epstein sebagai sebuah ketakjuban akan medium yang menghasilkan gambaran secara optik ketimbang hasrat akan muthos yang cenderung naratif. Ketulusan optik Liang mungkin terletak pada personalitas akan ketakjuban medium dalam merekam keseharian, dan bukan hasrat akan peristiwa keseharian itu sendiri. Sisi personal dari Liang menjadi penting, di tengah rezim naratif di dalam sejarah yang dianggap cenderung menonjolkan satu aspek sosial politik tertentu dari realitas yang digambarkannya. 25


Dalam sejarah sinema Indonesia, misalnya, spontanitas dan personalitas dari publik yang memproduksi visual, sejauh ini belum mendapatkan tempat sebagai bagian dari sejarah kebudayaan. Hal ini bisa jadi karena mungkin masih dominannya sejarah negara yang mewarnai sejarah sinema di Indonesia, atau untuk menyatakan masih berkuasanya penunggalan atau tradisi naratif terhadap sejarah. Sebagaimana yang bisa kita ambil pelajaran dalam pandangan Eisenstein, bahwa sejarah sinema tanpa sinematografi justru mempersempit kekayaan sebuah bangsa, maka akan sama naifnya ketika sejarah sinema tanpa mengandaikan sejarah image dan tradisi visual di dalamnya. Hans-Gadamer nyatakan bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat terbuka, bahwa ketika manusia membaca sejarah, ia sesungguhnya berada di dalam situasi sejarah pula. Sebagaimana jika kita coba membaca pandangan Andre Bazin yang sesungguhnya tidak lagi melekatkan pengertian sinema sebagai sesuatu yang disandarkan pada pengertian ‘asal-usul’, karena baginya sinema telah lahir jauh-jauh hari sebelum munculnya filem, bagaikan surga platonis yang ada di benak manusia. Sebagaimana tradisi visual, sejarah sinema sudah saatnya mencoba membuka ruang sejarah image di dalamnya, termasuk juga mencoba keluar dari tradisi naratif yang cenderung membatasi peran dan partisipasi publik yang notabene adalah subjek sejarah itu sendiri. ***

26


27


28


29


Sinema Keluarga Kwee, Sumber Baru untuk Studi Kehidupan Peranakan Elit di Kolonial Jawa oleh: Peter Post

Artikel ini ditulis Peter Post dengan judul “The Kwee Home Movies. A new resource for the study of peranakan elite life in colonial Java� yang diterbitkan dalam publikasi CHC Bullletin, A Publication of Chinese Heritage Centre #4. Desember 2004. Diterbitkan atas izin penulis. Diterjemahkan oleh Afrian Purnama. 30


Penemuan yang Menggetarkan

Beberapa kali seorang sejarawan membuat penemuan yang benar-benar menggugahnya sehingga tulang punggungnya menggigil. Ketika melihat beberapa fragmen filem Keluarga Kwee saat masih tinggal di Cirebon dari masa pra-perang untuk pertama kalinya, saya langsung menyadari bahwa ini adalah sumber unik tentang kehidupan peranakan elite dan sejarah sosial di Jawa pada masa kolonial yang sampai sekarang tidak diketahui orang-orang di luar lingkaran keluarga dekat. Pertama kali saya diperlihatkan saat di Den Haag sekitar dua tahun yang lalu ketika Els Bogaerts1 dan saya, setelah berbulan-bulan berjalin di Indonesia melalui beberapa saluran peranakan Tionghoa di Belanda, diperkenalkan kepada Tuan dan Nyonya Kwee Kiem Han. Kwee (lahir 1916) memberi tahu kami bahwa ayahnya Kwee Zwan Liang (1896 - 1959), kepala laboratorium pabrik gula Djatipiring di dekat Cirebon, memiliki hobi besar terhadap fotografi dan pembuatan filem selama hidupnya, dan bahwa filem-filemnya juga selamat dari gejolak perubahan rezim di Indonesia. Dia dengan senang hati menunjukkan kepada kami beberapa fragmen foto dan filem, tapi dia bertanya-tanya apakah ini akan menarik bagi kami karena kebanyakan foto keluarga. Saat kami melihat dan mendiskusikan fragmen tersebut dengan Tn. dan Ny. Koordinator program penelitian NIOD, “Indonesia across Orders. The reorganisation of Indonesian society�. Lihat www.indie-indonesie.nl

1

31


Kwee, segera menjadi jelas bahwa koleksi tersebut jauh lebih kaya dari apa yang telah kami duga. Karya Kwee Zwan Liang tidak hanya menggambarkan kehidupan sosial keluarga dekatnya, namun sepanjang periode 1927-1939, dia dengan terampil menangkap berbagai gambar situasi Jawa sebelum perang, seperti kehidupan perkotaan di kota-kota besar, upacara resmi, upacara dan perayaan di Jawa pada masa kolonial, kegiatan rekreasi dan olahraga yang populer bagi warga Eropa, dan semua aspek pabrik gula Djatipiring. Selama beberapa bulan setelahnya, kami memilih sejumlah bagian dari filem aslinya dan menunjukkannya di pameran, “Van de kolonie niets dan goeds. Nederlands-Indië di beeld 1912-1942“, di Netherlands Filmmuseum.2 Penonton bereaksi dengan takjub dan antusias. Ini adalah pertama kalinya bagi sebagian besar pengunjung untuk melihat gambar nyata yang “bergerak” tentang orang kaya Tionghoa di lingkungan mereka sendiri di Indonesia zaman kolonial. Banyak peneliti yang hadir di pameran tersebut mengakui bahwa gambar tersebut membuat mereka merevisi pandangan mereka tentang kehidupan sosial di Jawa sebelum masa perang pada umumnya dan kehidupan peranakan elite pada khususnya. 3 Selain bahan-bahan filem Belanda yang ada pada periode itu, kumpulan unik filem peranakan Tionghoa ini merupakan sumber baru yang disambut baik bagi siapa saja yang tertarik dengan sejarah sosio-ekonomi dan budaya di Jawa.

Kehidupan Kolonial di Hindia Belanda sebagaimana yang Ditampilkan dalam Filem Produksi Belanda4 Sejak diperkenalkannya filem modern, badan pemerintah kolonial Belanda dan produser filem swasta telah berkeinginan untuk mengenalkan kepada masyarakat umum pencitraan di daerah tropis dan kehidupan kolonial Belanda. Pada tahun 1912-13, filem-filem pertama dibuat oleh Koloniaal Instituut (Institusi Kolonial) di Amsterdam. 5 Institut ini didirikan pada tahun 1910 dan tidak lama kemudian 2 Pada musim gugur tahun 2002, Netherlands Filmmuseum menyelenggarakan pameran, “Van de Kolonie niets dan goeds. Nederlands-Indie di Beeld 1912-1942 “[Kabar Baik dari Koloni. HindiaBelanda dalam filem, 1912-1942] yang menampilkan koleksi filem Belanda, dokumenter dan filem rumahan yang sangat banyak di Indonesia sebelum perang. Ini adalah pertama kalinya setelah tahun 1949 filem-filem ini diperlihatkan kepada khalayak umum. Pameran yang unik berlangsung selama hampir dua bulan dan menarik banyak orang. Untuk informasi lebih lanjut, lihat www.filmmuseum.nl/ nederlandsindie 3 Dalam pertunjukan berikutnya di Belanda, baik untuk khalayak akademis maupun non-akademis, reaksi mereka serupa; filem-filem tersebut dipuji sebagai sumber baru yang unik dan kekal untuk mempelajari kehidupan elite peranakan dan sejarah sosial Jawa kolonial. 4 Dalam menulis bagian ini, saya mendapatkan banyak manfaat dari manuskrip yang tidak diterbitkan oleh Nico de Klerk, “Home Away from Home: Private Films from the Dutch EastIndies in the Archive “, Filmmuseum, Amsterdam, 2002, 20 hlm. 5 Sekarang disebut Koninklijk Instituut voor de Tropen (Royal Institute for the Tropics).

32


memutuskan untuk memproduksi filem-filem di kepulauan Hindia Belanda untuk mendapatkan informasi, pendidikan, propaganda, dan rekrutmen. Sebagian besar filem awal ini dibuat di pulau Jawa, Madura, dan Bali, dengan memuji sistem dan kebijakan kolonial Belanda termasuk pengenalan modal, kewirausahaan, dan teknologi Barat di kepulauan Hindia. Mengikuti teori masyarakat ganda dari ekonom kolonial berpengaruh J.H. Boeke.6 Filem-filem tersebut menghasilkan sebuah kontras antara penjajah Barat yang dinamis, inovatif, dan modern dengan warga lokal yang stagnan, percaya takhayul, dan agraris. Orang Jawa dan Bali sering diperlihatkan sebagai masyarakat yang riang dan “anak” lugu yang menikmati kehidupan dengan sepenuhnya di tanah tropis yang subur dan asri, jauh dari hingar-bingar kehidupan urban di mana penduduk Belanda tinggal.7 Suara teks narator dan teks dalam filem biasanya bernuansa melecehkan, merendahkan, dan sering juga secara eksplisit rasis, mencerminkan pandangan Belanda kontemporer tentang kolonialisme, masyarakat asli, dan misi peradaban Barat untuk memajukan mereka. Sebagai dokumen sejarah, filem tersebut sangat berharga bagi peneliti dan mahasiswa sejarah Asia Tenggara karena ini menambahkan dimensi visual yang nyata dari materi tertulis pada periode tersebut. Kategori koleksi lainnya terdiri dari sinema keluarga yang dibuat oleh orang Belanda pemilik kebun, konsesi pemilik pertambangan, dan pejabat pemerintah. Filem keluarga ini tidak dibuat untuk tujuan propaganda dan tidak mencoba melegitimasi kekuasaan kolonial. Mereka, yang pertama dan paling utama, tidak dimaksudkan untuk publik dan menggambarkan “kehidupan nyaman” orang Belanda di daerah tropis. Filem-filem ini filem bisu dan karena itu banyak meninggalkan imajinasi. Banyak filem tentang anak-anak, liburan dan perjalanan, dan hal-hal lain yang menarik dalam kehidupan keluarga, seperti pertunangan, perkawinan, kelahiran, dan ulang tahun. Umumnya, mereka menunjukkan keluarga inti, termasuk pelayan, lokasi di beranda rumah mewah mereka, minum teh, dan menikmati alam yang rimbun dan alami dengan hewan peliharaannya. Ada juga sejumlah filem keluarga yang menggambarkan keseharian kerja pemilik rumah, seperti di perkebunan tembakau atau agave di Jawa, atau tambang batu bara di Sumatera tempat kita bisa melihat secara sekilas para tenaga kerja dan proses produksi di antara hal-hal yang lainnya. Besarnya nilai sinema keluarga ini adalah, tidak seperti filem resmi buatan pemerintah, mereka memberikan perspektif “orang dalam” yang intim. Menonton filem-filem ini, penonton akan menyadari bahwa keluarga Belanda merupakan J.H. Boeke, Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi dari Dual Societies—seperti yang dicontohkan oleh Indonesia (New York: Institute of Pacific Relations, 1953). 7 Banyak dari filem-filem ini menggemakan argumen tentang kebijakan kolonial Belanda yang diajukan oleh J. Alexander dan P. Alexander, dalam “Protecting Peasants from Capitalism: The Subordination of Javanese Traders by the Colonial State”, Comparative Studies in Society and History 33 (1991): 370-94. 6

33


bagian yang tidak terpisahkan dari lanskap kolonial, meski mereka dalam keadaan terlindungi dengan baik.

Sinema Keluarga Kwee

Filem keluarga Kwee lebih kurang menggabungkan perspektif pribadi dari “orang dalam” di filem-filem keluarga Belanda dengan perspektif publik dari “orang luar” di filem-filem produksi pemerintah kolonial Belanda; durasinya yang panjang (hampir 12 jam!) membuat ini menjadi harta karun yang nyata. Keluarga Kwee di Jawa Barat, dekat dengan perbatasan Jawa Tengah, keturunan dari Kwee Giok San yang lahir di Longxi, sebuah kota kecil dekat Zhangzhou di provinsi Fujian. Pada tahun 1840-an, Giok San pergi ke Nanyang dan pada tahun 1850 tiba di Jawa Tengah, di mana dia menjadikan dirinya sebagai pedagang di Ciledug, di pantai utara Jawa sebelah timur Cirebon. Tahun-tahun awal Giok San ini masih diliputi kegelapan, tapi yang kita dapat ketahui adalah di tahun 1873 anak keduanya, Kwee Boen Pien, membeli pabrik gula Djatipiring di wilayah Ciledug dan tahun 1874 Kwee Boen Oien diangkat sebagai Letnan Cina di kawasan SindanglautLosari. Kemudian, selama enam puluh tahun keluarganya menjadi sangat kaya raya. Keluarga Kwee termasuk dalam keluarga peranakan elite di Jawa, dan membentuk aliansi perkawinan strategis dengan keluarga peranakan lainnya di Jawa Tengah dan Timur, sehingga mencapai status sosial yang tinggi baik di masyarakat Eropa dan Tionghoa. Ketika sudah berusia matang, empat anak Kwee Keng Liem mulai bekerja di pabrik gula, masing-masing memegang posisi yang berbeda. Setelah kematian ayah mereka pada tahun 1924, ketiga putra dari istri keduanya itu membayar putra sulung dari istri pertamanya, Kwee Zwan Hong, dan mengambil alih pabrik gula tersebut seluruhnya. 8 Kwee Zwan Lwan (1891-1947), yang tertua, menjadi direktur pabrik Djatipiring dan menikahi Be Kiam Nio, putri dari Mayor Cina Be Kwat Koen yang terkenal. Keluarga Kwee-Be kebanyakan tinggal di rumah keluarga di Linggadjati (daerah sejuk dan bergunung di selatan Cirebon), tetapi mereka juga memiliki tempat tinggal mereka sendiri di daerah pabrik gula Djatipiring. Kwee Der Tjie (1894-1977), sang putri, menikah dengan keluarga Han yang terkenal di Jawa Timur. Dia dan suaminya, Han Tiauw Bing, tinggal di Lawang (Jawa Timur), di kediaman utama keluarga Han. Kwee Zwan Liang (1896-1959), anak laki-laki kedua, menjadi kepala laboratorium dan menikahi Liem Hwat Nio dari keluarga Liem yang terhormat di Kwee Keng Liem (1850-1924) memiliki dua istri. Istri pertamanya, Tjoa Swie Lan Nio, melahirkan satu anak laki-laki, Kwee Zwan Hong (b.1870), dan dua anak perempuan. Mereka menerima pendidikan Tionghoa-Jawa. Istri keduanya, Tan Hok Nio (1870-1951), berusia sama dengan anak laki-laki pertamanya, dan melahirkan tiga putra dan satu anak perempuan. Anak-anak ini mendapat pendidikan Belanda.

8

34


Jawa Timur.9 Sering kali mereka tinggal di Djatipiring, tetapi juga tetap tinggal di tempat yang biasa disebut dengan Hooge Huis di Lawang, yang dimiliki oleh keluarga Liem. Kwee Zwan Ho (1898-1979) menjadi pemilik perkebunan tebu dan menikahi Tan Ing Nio dari keluarga Tan dari Buitenzorg (Bogor). Mereka awalnya tinggal di kediaman keluarga di sekitar pabrik gula, tapi kemudian pindah ke Linggadjati. Istri kedua Kwee Keng Liem dan keempat anaknya, istri dan suami mereka beserta anak-anaknya, juga ayah dan ibu mertua mereka, adalah tokoh utama filem keluarga Kwee. Mereka diperlihatkan di lingkungan yang sangat intim dan pribadi (di meja dapur, di beranda, di kolam renang pribadi, di tempat pemakaman, dan upacara penguburan), berjalan-jalan dengan mobil mahal mereka (Marmon dan Cadillac) dari Lingga ke Salatiga lalu Lawang kemudian Surabaya, dan kembali lagi. Acara hiburan yang tidak hanya menghibur tamu keluarga, tetapi juga Bupati dan Residen Cirebon, dan tamu resmi ternama, seperti Raja Prajadhipok dari Siam dan istrinya Ratu Ranbai Bami. Kita melihat Tuan dan Nyonya Be Kwat Koen dalam pakaian renang menikmati waktu santai mereka di salah satu kolam renang besar mereka, dan anggota keluarganya berkunjung ke rumah besar dan mewah milik pedagang gula terkenal dari Taiwan Kwik Djoeng Eng di Salatiga. Ada upacara pemakaman yang sangat besar seperti upacara pemakaman raja-raja, yaitu upacara pemakaman Nio Swie Lan dengan ratusan pasukan berkuda lokal berparade, dihadiri oleh anggota kerajaan Jawa setempat dan pejabat kolonial Belanda. Para perempuan, di awal tiga puluhan, selalu berpakaian dengan mode terbaru (pakaian Shanghai, kimono Jepang, dll.). Dalam beberapa cuplikan yang sangat instruktif, kami melihat anggota laki-laki keluarga Kwee sebagai pemilik dan pengelola perkebunan gula dan pabrik, mengawasi petugas pekerja Jawa dengan pakaian kolonial berwarna putih, lengkap dengan tongkat berjalan dari rotan. Kwee bersaudara menyukai olahraga, berburu, automotif, pesawat terbang, kuliner, dan belanja. Semua ini, mereka perlihatkan bersama dengan penduduk elite Eropa di koloni tersebut. Dalam koleksi yang banyak itu, ada sejumlah filem yang menampilkan turnamen tenis dan sepak bola, pameran mobil dan pertunjukan udara, parade militer, dan mal perbelanjaan populer di kotakota besar di Jawa. Dibandingkan dengan banyak filem keluarga Belanda, filem keluarga milik Kwee lebih kaya dan detail, menawarkan liputan kehidupan sehari-hari yang lebih baik dan lebih intim, dan penting bagi sejarawan, termasuk juga bagi keluarga peranakan Tionghoa elite. Kwee Zwang Liang, pembuat filem ini, dididik di Sekolah Koning Willem III, mengambil jurusan kimia. Pada usia muda, ia mengembangkan minat pada fotografi dan teknologi (mekanika mobil, misalnya, menjadi hobinya seumur hidup). Ketika di tahun 1920-an kamera filem mulai memasuki pasar Jawa, dia segera mengambil syuting sebagai hobi utamanya. Dia mulai membuat filem secara sistematis setelah anak-anaknya lahir, dengan tujuan membuat arsip filem untuk mereka.

9

35


Sinema Keluarga Pra-Perang sebagai Sumber Baru untuk Penelitian Sejarah

Filem-filem kolonial pada umumnya, dan filem keluarga pada khususnya, hampir tidak digunakan sebagai bahan sumber oleh peneliti sosial dan sejarawan. Segera setelah negara-negara di Asia Tenggara mencapai kemerdekaannya, filem-filem kolonial pada umumnya dianggap sebagai alat propaganda rezim kolonial represif yang lampau dan karenanya dianggap tidak berharga sebagai bahan sumber. Paradigma pasca-perang yang kuat tentang perwujudan negara dan bangsa modern di “Dunia Ketiga� membuat para peneliti berfokus pada perkembangan struktural, dan catatan pemerintah yang semi-resmi juga surat kabar dalam mempelajari proses berskala besar tersebut. Filemfilem itu lenyap dari arsip-arsip lokal, berakhir di rak-rak perpustakaan yang berdebu dan di rumah-rumah pribadi, dan biasanya terlupakan, kecuali kadang-kadang dilihat oleh siswa sejarah filem. Alasan lain, karena kurangnya daya tarik filem bagi peneliti humaniora dan ilmu sosial karena disiplin ini sebagian besar bertujuan untuk mengungkap struktur dan proses, sedangkan sebagai sumber bahan, filem— terutama filem keluarga—bersifat situasional, khusus dan konkret, yang membuat mereka sangat sulit digunakan sebagai alat penelitian.10 Namun saat ini, studi kolonial pasca-modern telah bergerak melampaui struktur dan proses pembangunan yang besar, dalam upaya untuk menangkap pengalaman manusia, dan perspektif pribadi dalam mikro-sosiologis. Telah muncul kesadaran yang berkembang di kalangan peneliti bahwa, sebagian karena studi pembangunan-bangsa telah banyak dilakukan, dan sebagian karena kegagalan model studi negara-bangsa semakin terlihat sehingga negara-bangsa menjadi tidak lagi sentral dalam cara kita memandang dunia, ada kebutuhan untuk melihat dalam sudut yang lebih segar dan inovatif pada sejarah Asia Tenggara yang modern. Reorientasi ini telah memunculkan realisasi kebutuhan untuk menemukan dan menggunakan bahan sumber baru, seperti surat dan catatan harian, catatan perusahaan, novel, foto dan lukisan, dan alat sejarah lisan. Filem, dan terutama genre sinema keluarga, sejauh ini hanya digunakan dengan segan. Ini tidak bisa disangkal, dan saya bisa perdebatkan hal ini. Jika digunakan dengan hati-hati dalam kaitannya dengan materi tertulis dan lisan, dan dengan pengakuan akan sifat dan karakteristik yang spesifik dari filem dan isinya, filem keluarga bisa menjadi sumber tambahan utama untuk penelitian ilmu sejarah dan sosial. Sinema Keluarga Kwee bisa memberikan rincian tentang kehidupan peranakan elite seperti di Jawa pada masa kolonial, yang biasanya tidak ditemukan dalam studi sosiologis. Mereka memberi wajah dan substansi, dan melampaui deskripsi dasar yang sering ada dalam karakteristik di banyak penelitian tentang 10

Argumen ini sudah dikembangkan oleh Nico de Klerk dalam artikelnya yang disebutkan di atas.

36


kehidupan masyarakat Tionghoa sebelum perang di Indonesia. Selain itu, filem-filem ini memaksa kita untuk mengatasi masalah kekuasaan dan etnisitas, identitas sosial dan stratifikasi sosial, modernitas dan teknologi, serta tenaga kerja dan adaptasi budaya. Sinema Keluarga Kwee tentu saja tidak mencerminkan kehidupan peranakan di Hindia sebelum perang pada umumnya. Filem-filem tersebut tidak juga mencerminkan kehidupan dalam berbagai macam komunitas peranakan Tionghoa di Jawa sebelum perang. Membuat filem, pada waktu itu, adalah hobi yang sangat mahal dan hanya orang kaya Tionghoa kelas atas yang bisa melakukannya. Bagaimanapun, filem-filem tersebut mengungkapkan aspek penting kehidupan peranakan Tionghoa yang sampai saat ini hanya tercatat dalam sumber tertulis. Dengan demikian, Sinema Keluarga Kwee merupakan bagian integral dari warisan Tionghoa Rantau. ***

37


38


39


Sinema Keluarga, Sinema Indonesia oleh: Afrian Purnama

40


Pada mulanya, kedatangan kami – Mahardika Yudha, Saiful Anwar, Andang Kelana, dan saya sendiri – ke kediaman Kwee Kiem Han di Den Haag adalah untuk mendapatkan sumber data autentik tentang filem-filem keluarga milik Kwee Zwan Liang melalui cara berinteraksi langsung dengan anggota keluarga Kwee yang saat ini sebagian besar tinggal di Belanda. Namun ternyata, apa yang kami dapatkan saat berada di sana betul-betul sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Kami cukup beruntung, pada saat itu sedang berkumpul anak-anak dari Kwee Zwan Liang, yaitu Evie Kurniawati (Kwee Lee Siok Nio), Kwee Kiem Han, dan Kwee Kiem King, yang semuanya dalam kondisi sehat walaupun sudah cukup berumur. Evie Kurniawati dan putrinya Christina Murwindah Wanamarta membantu kami menerjemahkan percakapan dari Indonesia ke Belanda dan sebaliknya, karena tidak ada dari kami berempat yang mampu berbahasa Belanda sementara Kwee Kiem Han dan Kween Kiem King sudah kesulitan berbahasa Indonesia. Adegan pertemuan itu, seperti yang terlihat dalam filem Golden Memories (2017), adalah moment ketika kami pertama kali berjumpa dengan subjek utama di filem keluarga produksi Kwee Zwan Liang yang sudah kami teliti sebelumnya, sebagai bagian dari penelitian besar “Sejarah Kecil Sinema Indonesia”. Riset Sejarah Kecil Sinema Indonesia diawali pada awal tahun 2016. Kami secara intensif mencari berbagai sumber, seperti kajian akademik dan materi filem yang berkaitan tentang pembuatan filem skala rumahan di Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Peter Post di artikelnya yang berjudul “The Kwee Home Movies. A New Resource for the Study of Peranakan Elite Life in Colonial Java”1, yang terjemahannya juga dimuat dalam katalog ini, praktik pembuatan filem keluarga sudah ada sejak masa kolonial Hindia-Indonesia oleh beberapa kalangan. Dengan Post, Peter. 2004. “The Kwee Home Movies. A new resource for the study of peranakan elite life in colonial Java.” Chinese Heritage Centre Bulletin, 4: 5-9.

1

41


argumen tersebut, bisa dikatakan bahwa pembuatan filem keluarga di Indonesia sendiri sudah mengakar cukup lama dan memiliki posisi sejarahnya sendiri bila dibandingkan dengan sinema arus utama. Riset ini mengantarkan kami ke salah satu tokoh pembuat filem keluarga yang bernama Rusdy Attamimi di bilangan Pondok Indah. Dia adalah seorang pilot yang juga memiliki hobi merekam filem dengan kamera 8mm. Di rumahnya itu, kami bisa melihat sejumlah gulungan koleksi filem keluarga yang masih dia rawat sendiri. Kecintaannya pada dunia filem dimulai saat dirinya masih tinggal di Maluku, pada masa akhir kolonial Belanda sesaat sebelum invasi Jepang ke HindiaIndonesia. Saat itu Rusdy Attamimi sering berkunjung ke bioskop yang kebetulan dimiliki oleh kawan sekolahnya. Saat kami melakukan wawancara, Rusdy Attamimi menjelaskan kondisi sosio-ekonomi di ruang bioskop yang terjadi masa itu. Penonton yang memiliki kekuatan finansial untuk membeli tiket bioskop menyaksikan filem dari depan dengan kursi menatap langsung ke layar, sedangkan penonton yang tidak bisa membayar tiket menyaksikan filem dari balik layar; atau disebut juga dengan ‘kelas kambing’, sehingga apa yang dilihatnya terbalik dari apa yang seharusnya ditunjukkan. Rusdy Attamimi juga menggambarkan keriuhan di dalam bioskop; saat tokoh protagonis di dalam filem menjadi pemenang, penonton akan bersorak-sorai dan bersiul gembira, sebaliknya, saat tokoh antagonis berada dalam situasi unggul, maka penonton akan berteriak dan mencela sembari melemparkan sesuatu ke layar. Pengalaman menonton filem sejak dini ini, dan ketertarikannya akan sistem kerja kamera dan seluloid, lalu membuatnya terdorong untuk membuat filem sendiri, filem keluarga, yang sudah ditekuninya sejak tahun 1960-an saat berkuliah di Inggris. Rusdy Attamimi juga berupaya melakukan preservasi filem-filem miliknya. Dia mendigitalisasi tidak hanya filem-filemnya saja, tetapi juga filem kerabatnya, seperti cerita saat dia melakukan digitalisasi filem yang dimiliki Des Awli. Upaya digitalisasi dilakukannya sendiri, dengan alat yang juga sesuai untuk kebutuhan rumahan demi mempertahankan gambar dari kerapuhan medium seluloid terhadap waktu. Pada perkembangan riset selanjutnya, kami menemukan nama Kwee Zwan Liang sebagai salah satu praktisi sinema keluarga pertama di Indonesia. Kamera filem untuk kebutuhan rumahan pertama kali dijual di Hindia-Indonesia pada Pada 11 September 1926. Sebuah iklan di koran Bataviaasch Nieuwsblad 2 menampilkan iklan kamera Cine Kodak model B dan proyektor Kodascope model C. Pada tampilan atas iklan ini, tertulis dengan huruf besar dan tegas “CINEMATOGRAFIE VOOR AMATEURS” yang berarti alat rekam dan tayang ini dijual untuk kebutuhan amatir, sehingga cocok digunakan sebagai produksi rumahan. Kwee Kiem Han, putra dari Kodak. 1926 ,11 September 1926, “Cine Kodak model B & proyektor Kodascope model C.” Bataviaasch Nieuwsblad, 267: 3

2

42


Kwee Zwan Liang menunjukan pada kami kamera pusaka yang dipakai ayahnya itu saat kami berkunjung. Kwee Zwan Liang mulai membuat filem di tahun 1927, setahun setelah kamera untuk kebutuhan rumahan masuk ke pasar Hindia-Indonesia. Kwee Zwan Liang adalah seorang kepala laboratorium pabrik gula Djattipiring, salah satu pabrik gula terbesar di Cirebon saat itu, yang dimiliki oleh keluarga besar Kwee. Kwee Zwan Lwan, kakak dari Kwee Zwan Liang adalah kepala pabrik gula Djattipiring. Dalam filem yang direkam Kwee Zwan Liang, kita bisa melihat keseharian keluarga Kwee yang terdiri dari anak, istri serta anggota keluarga besar lainnya yang tinggal di sekitar pabrik gulanya, seperti saat mereka berolahraga dan bertamasya. Juga terekam keadaan di pabrik gula yang memiliki akses kereta api sendiri untuk kebutuhan logistik. Kita juga bisa melihat beberapa peristiwa penting, seperti kedatangan Raja Siam Prajadhipok beserta Ratu dan rombongannya, dan upacara pemakaman tokoh penting yang diperingati oleh banyak khalayak. Tidak ada informasi apakah Kwee Zwan Liang juga seorang penonton filem aktif seperti Rusdy Attamimi, tapi di filemfilemnya kita bisa menemukan teknik sinematografi yang mumpuni. Kwee Zwan Liang tidak hanya mampu mengoperasikan kamera sebagai alat dokumentasi saja, tetapi dia berhasil mencapai level teknis tinggi sehingga menghasilkan kekuatan artistik seperti studi terhadap gerak benda dan cahaya dari filem-filem yang direkamnya. Salah satu contohnya adalah saat dia merekam kereta yang bergerak dengan kecepatan tinggi dari dalam mobil dan adegan kembang api di malam hari. Butuh keahlian khusus untuk menetapkan fokus yang tepat ketika sebuah benda bergerak dengan cepat, juga dibutuhkan pemahaman yang baik tentang pengaturan bukaan lensa kamera terhadap cahaya untuk merekam peristiwa kembang api agar baik hasilnya tanpa menjadi terlalu terang dan gelap. Filem-filem Kwee Zwan Liang itu, kami tonton bersama-sama di kediaman Kwee Kiem Han. Filem yang kami saksikan sudah dalam bentuk digital, sementara filem aslinya, sudah disimpan dalam badan arsip filem EYE Filmmuseum Amsterdam. Walaupun yang kami saksikan adalah salinan yang sudah mengalami transformasi medium, yaitu dari seluloid asli 16mm menjadi digital, lalu direproduksi kembali dan disaksikan menggunakan televisi, sehingga tidak lagi memiliki ‘aura’ autentik karena reproduksi mekanika mereduksi keberadaan ‘ruang dan waktu’ yang autentik itu bila merujuk pada Walter Benjamin, 3 namun kami tetap merasakan ‘aura’ yang lain ketika menonton filem tersebut saat itu. ‘Aura’ ini tidak berasal hanya dari filem Kwee Zwan Liang saja, tapi juga karena kehadiran subjek eksternal, yaitu anak-anak Kwee Zwan Liang yang ikut menonton dengan kami dan melihat dirinya di masa kecil Benjamin, Walter (1969 [1936]). “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction.” Illuminations. Ed. H. Arendt. New York, Schocken. 217–251.

3

43


terrefleksikan di layar televisi. Ada sensasi yang tidak dapat dijelaskan saat melihat Evie Kurniawati, Kwee Kiem Han, dan Kwee Kiem King mengidentifikasikan diri mereka di televisi. Di dalam filem yang saat itu sedang tayang, ketiga anak Kwee Zwan Liang ini masih berusia kanak-kanak dan sibuk bermain dengan kawan dan mainannya, sementara ketika memalingkan mata keluar dari layar televisi, kami melihat orang yang sama, yang berjarak waktu lebih dari 70 tahun dari perekaman filem yang terlihat di televisi, berada di ruang yang sama. Bagi Evie Kurniawati, Kwee Kiem Han, dan Kwee Kiem King, filem-filem tersebut adalah dokumentasi biografis saat mereka masih kanak-kanak. Mereka berinteraksi dan bernostalgia dengan filem itu. Sementara bagi kami, pengalaman tersebut seakan melintasi ruang dan waktu karena representasi dari gambar di televisi berbaur dengan realita yang ada di ruang tempat kami bersama-sama menonton filem. Sensasi auratik semacam ini juga muncul saat kami menonton filem keluarga milik Rusdy Attamimi. Filem yang ditayangkan adalah filem asli dalam format 8mm tanpa suara, yang dibuat pada tahun 1970-an. Rusdy Attamimi memperlihatkan berbagai aktivitas yang direkamnya, seperti perjalanan di pesawat dan kondisi demonstrasi anti perang Irak di Jerman Barat. Ketika layar menampilkan rekaman keluarga, Rusdy Attamimi langsung menjelaskan subjek-subjek yang terekam dan apa yang terjadi dengan subjek tersebut saat ini, seperti saat Rusdy Attamimi bercerita tentang keponakannya yang sekarang sudah mempunyai anak dan beberapa subjek filem yang saat ini sudah meninggal dunia. Filem lalu menjadi suatu kepanjangan dari ingatan yang dimiliki Rusdy Attamimi. Ketiadaan suara dari filem menambah kesan tersebut karena suara yang muncul hanyalah dari suara milik Rusdy Attamimi dan suara reel filem dari proyektor di belakang kami. Nilai representasional pada filem di layar seakan-akan memudar karena filem terhubung langsung dengan realita di luar dari yang ditampilkan di filem tersebut. Situasi ini menciptakan semacam lorong waktu yang muncul akibat dari narasi biografis yang diucapkan oleh Rusdy Attamimi. Sebagai dokumentasi sejarah personal, apa yang kita lihat dari filem-filem keluarga tersebut adalah proyeksi kepingan dari aktivitas kehidupan manusia yang pada waktu tertentu, tubuhnya terekam oleh kamera. Filem-filem itu menjadi penting bagi keluarga tersebut untuk membantu mengingat peristiwa lampau, dan mengidentifikasikan kembali diri mereka dengan masa lalu yang terbayang di layar. Filem-filem ini juga penting bagi para sejarawan, seperti yang dikatakan oleh Peter Post, sebagai sumber riset non-tertulis untuk studi sosiologis pada suatu masa tertentu. Bagi kami, filem-filem keluarga Attamimi dan Kwee penting untuk dilihat sebagai landasan bahwa Indonesia memiliki akar sejarah yang cukup kokoh bila membicarkan Sinema Keluarga. *** 44


45


46


47


Si Penonton Filem yang Membuat Filem oleh: Mahardika Yudha

48


Ketika menonton filem-filem Indonesia Hindia1 yang dibuat oleh sutradara Belanda, seperti J.C. Lamster, Willy Mullens, L.P. de Bussy, Willy Rach, L. van Vuuren, dan Matthew W. Stirling, kami melihat bahwa sebagian besar ambilan gambar sangat berjarak dengan objek, bersifat formal, namun rapih dan terkonstruksi dengan baik. Jarang sekali ditemukan gambar yang goyang atau bergerak. Umumnya statis. Bidikan gambar juga cenderung diambil dari jauh (long shot) atau menengah (medium shot). Filem-filem itu seakan-akan berupaya untuk mendapatkan lanskap Indonesia Hindia seluas-luasnya namun tetap detail, jelas, dan lengkap. Contohnya, sebuah filem yang merekam proses produksi karet—dari kejadian mengambil karet di perkebunan hingga proses produksi di dalam pabrik; atau filem etnografi yang merekam prosesi sebuah peristiwa adat dan religius. Hampir tidak ada satu proses yang tertinggal atau tidak terekam. Semuanya diupayakan untuk selengkap mungkin merekam peristiwa. Mereka membuat filem atas pesanan lembaga resmi, seperti pemerintah kolonial, korporasi, lembaga penelitian dan pendidikan, atau lembaga keagamaan dari Eropa, termasuk Belanda. ‘Beban’ untuk menangkap Indonesia Hindia seutuhnya seakan menjadi batas tegas yang sangat memengaruhi bidikan dan konstruksi editing filem. Dengan kata lain, hampir dipastikan tidak ada gambar yang main-main. Sangat sedikit ditemukan gambar yang diambil dari bidikan dekat (close-up) atau bahkan bidikan ekstra dekat (extreme close-up). Mungkin hal ini sengaja dihindari atau tabu karena dapat mereduksi informasi atau bahkan berdampak pada pergeseran intepretasi. Kepentingan utama dari para sutradara-sutradara profesional generasi awal sutradara dari Eropa yang membuat filem di Indonesia Hindia ini adalah merekam sebanyakCatatan Penyunting: Dalam risalah ini, Mahardika Yudha menggunakan istilah ‘Indonesia Hindia’ untuk merujuk era yang selama ini kita kenal sebagai ‘Hindia-Belanda’. Penggunaan istilah itu ialah salah satu usahanya dalam rangka meng-counter diskursus sejarah yang melulu melekatkan wilayah dan masa Indonesia pra-kemerdekaan pada kepemilikan bangsa penjajah, Belanda.

1

49


banyaknya dan selengkap-lengkapnya informasi kehidupan masyarakat di koloni mereka. Filem-filem etnografis, antropologis, sosiologis, dakwah, dan propaganda itu selalu dijadikan rujukan informasi resmi bagaimana keadaan negeri koloni Belanda itu. Dengan mengacu pada kata “informasi resmi”, pengetahuan yang diproduksi oleh filem-filem mereka memiliki muatan kepentingan politik dan kultural sebuah lembaga, serta menjadi narasi besar. Narasi besar terkadang membutuhkan perangkat-perangkat yang cukup banyak melegitimasinya. Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut saja. Sebab itulah, narasi besar selalu dibangun oleh lembaga yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang mumpuni untuk melegitimasi narasi tersebut. Narasi besar juga cenderung bersifat kaku, ajek, dan terstruktur. Ia tidak mungkin bersifat cair dan organik. Hal yang berseberangan jika kita kemudian melihat kepada narasi kecil yang berasal dari publik. Kata “kecil” terkesan menyudutkannya menjadi narasi remeh-temeh di lingkup kosmos kebudayaan. Padahal, pada hakikatnya, narasi kecil sebetulnya berada di inti kebudayaan itu. Ia tidak bersifat umum seperti narasi besar. Narasi kecil justru bekerja dengan spesifik dan langsung berada di tangan subjek sejarah. Narasi kecil dalam sejarah sinema di masa Indonesia Hindia dibangun oleh publik. Publik di sini adalah konsumen, publik si penonton filem, publik yang berhubungan dengan aparatus teknologi sinema, publik yang berhubungan dengan gambar-gambar, ekspresi-ekspresi, bentuk-bentuk baru, atau kenyataan-kenyataan teknologis yang baru mereka kenali. Dari filem yang ditonton, publik kemudian membangun kenyataan sehari-harinya. Bagaimana kemudian dampak dari sinema terhadap cara mereka memandang ‘alam’, tempat mereka tinggal; cara mereka memandang pendatang; cara mereka memandang masyarakatnya sendiri; hingga cara mereka memandang filem yang akhirnya mereka buat sendiri. ‘Sinema keluarga’ merupakan salah satu cara bagaimana publik membangun kultur sinemanya. Ia berasal dari ranah yang privat. Hadir dalam unit sosial terkecil suatu bangsa: keluarga. Dalam sejarah sinema, ‘sinema keluarga’ muncul sejak sinema dilahirkan. Di tahun 1895, dua gambar bergerak Lumière Bersaudara yang ditayangkan untuk publik, lebih bisa dikatakan sebagai ‘dokumentasi keluarga’. Le Repas de Bèbè (1895, Louis Lumière, 41 detik) yang merekam peristiwa sarapan pagi antara Auguste Lumière bersama isterinya, Marguerite, dan anak perempuan mereka Joséphine Léocadie Andrée Lumière. Atau Pêche aux poissons rouges (1895, Louis Lumière, 38 detik) yang merekam Auguste Lumière memegang Andrée Lumière yang mencoba memegang ikan mas dalam akuarium bulat. Andrèe Lumière, yang lahir 22 Juni 1894, adalah salah satu anggota keluarga Lumière Bersaudara yang banyak difilemkan semasa ia balita. Di Indonesia Hindia sendiri, ‘sinema keluarga’ muncul ketika teknologi film rumahan mulai dipasarkan untuk masyarakat umum. Di kisaran pertengahan tahun 20-an, kita dapat menyaksikan bahwa teknologi 50


tersebut telah sampai di rumah-rumah masyarakat kelas atas Indonesia Hindia. Ketika melacak amateur filems pada katalog koleksi EYE Filmmuseum yang bisa dikatakan sebagai pusat arsip filem masa Indonesia Hindia yang paling lengkap di dunia, sedikitnya ada 47 orang dari berbagai latar belakang,2 seperti pemilik perkebunan, pabrik, pekerja di pemerintahan, dan lain sebagainya, telah merekam keadaan Indonesia Hindia di masa sebelum Perang Dunia II. Rata-rata setiap pembuat, tidak lebih dari 5 reel. Ada tiga orang yang membuat lebih dari 5 reel, seperti Wim Smit, L.C. Reedijk, atau Jacobus Hermanus van Oeveren. Namun, rentang perekaman di Indonesia Hindia hanyalah rekaman singkat yang hanya bisa dikatakan sebagai rekaman kehidupan singgah. Paling lama sekitar 10 tahun, seperti yang dilakukan oleh Wim Smit (1930-1940). Dari nama-nama Eropa itu, terselip nama yang berbeda dan satu-satunya peranakan Tionghoa, Kwee Zwan Liang. Kwee Zwan Liang lahir di Djatipiring, Indonesia Hindia tahun 1896. Bertepatan dengan waktu ketika teknologi scenimatograph masuk ke Indonesia Hindia. Dalam beberapa catatan, ia mulai rutin membuat filem ketika anaknya lahir. 3 Ia telah memfilemkan kegiatan dirinya, keluarga, dan keadaan suatu wilayah di Indonesia dan kota-kota lainnya di beberapa negara. Dari Medan, Malang, Linggarjati, Cirebon, Jakarta, Salatiga, Solo, Surabaya, Porong, Madiun, Semarang, Bogor, Bandung, Sumedang, Blitar, Indramayu, Garut, Bali, hingga ke Amsterdam, Colombo, Paris, Versailles, Frankfurt, Deventer, Rotterdam, London, dan Singapura. Kwee Zwan Liang mulai membuat filem sinema keluarga di kisaran tahun 1927 hingga 1939. Kemunculannya hampir bersamaan dengan periode sutradara-sutradara bumiputera yang membuat filem cerita untuk kepentingan komersil. Berbeda dengan kelompok sutradara filem amatir peranakan Eropa yang tinggal di Indonesia Hindia tidak lebih dari 10 tahun dan lebih cocok dikatakan sebagai pendatang, Kwee Zwan Liang lahir dan besar di Indonesia Hindia hingga tahun 1957 dan pindah ke Belanda hingga meninggal dunia di tahun 1959. Ia telah membuat filem lebih dari 12 jam4 selama lebih dari 10 tahun; jumlah durasi filem yang tidak sedikit dan telah memperlihatkan bagaimana kehidupannya di Indonesia Hindia secara baik. Estetika filemnya juga berbeda dengan filem ‘pesanan’ yang dibuat oleh sutradara profesional dari Belanda yang berjarak dengan objek dan subjek, bersifat formal dan konstruktif; atau filemfilem buatan sutradara bumiputera yang membuat filem cerita untuk bioskop, yang enggan mengambil bidikan-bidikan dekat dengan alasan ‘membengkaknya biaya produksi’. Seperti kebanyakan filem sinema keluarga yang juga banyak kita jumpai Lihat di http://catalogue.eyefilm.nl/ Peter Post, The Kwee Home Movies a New Resource For The Study of The Life of The Peranakan Elite in Colonial Java, CHC Bulletin 4/Desember 2004, hlm. 9. 4 Peter Post, The Kwee Home Movies A New Resource For The Study of The Life of The Peranakan Elite in Colonial Java, CHC Bulletin 4/Desember 2004, hlm. 7. 2 3

51


hingga hari ini, filem-filem Kwee Zwan Liang menerabas pakem-pakem estetika sinema. *** “Menonton sinema keluarga seperti membawa kita ke sebuah rumah yang bentuknya tidak seperti rumah pada kenyataan sehari-hari. Bisa saja ketika membuka pintu depan, kita langsung bertemu toilet.” — Syaiful Anwar Di luar dari fungsi sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan sosial-budaya untuk melihat bagaimana kehidupan di masa lalu, biografi seseorang, merekonstruksi kejadian, arsitektural, gaya hidup, dan lain sebagainya, sinema keluarga juga dapat dilihat sebagai produk sinema itu sendiri, terutama kecenderungan bahasa estetika yang digunakannya. Hal ini sangat menarik untuk dilihat lebih jauh, dalam kaitannya dengan pemeriksaan dan pengujian atas kultur sinema yang dibangun oleh publik, si penonton filem yang membuat filem. Kami lebih senang mengatakannya sebagai filem ‘sinema keluarga’, ketimbang ‘filem amatir’. Ketika menontonnya’ sering kali kita tidak bisa menggunakan ukuran standar produk sinema karena filem mereka seakan ‘tak ada awal dan tak ada akhir.’ Untuk membatasinya, kami akhirnya menggunakan durasi 1 reel filem, sekitar 3 menit, sebagai batasnya. Inilah rata-rata filem sinema keluarga. Walau terkadang kita juga dapat menikmati beberapa reel sekaligus yang merupakan kesatuan kejadian. Hal yang paling aneh dan juga mendasar ketika menonton filem yang berangkat dari lingkungan yang privat lalu ke publik ini adalah tentang kepercayaan terhadap kenyataan sinema yang dibuatnya. Hampir tidak pernah kita mampu menyangkal bahwa apa yang disajikan dan telah kita saksikan itu adalah kenyataan, bukan imaji. Seperti yang dikatakan oleh D.A. Peransi bahwa “... film terdiri atau dibangun oleh gambar-gambar, bukan oleh seluloid. Gambar-gambar ini menimbulkan ilusi yang kuat sekali pada kita bahwa apa yang diproyeksikan pada layar sungguh-sungguh kenyataan. [...] Gambar-gambar atau imaji-imaji film tidak mempunyai volume, tapi kita menghayatinya sebagai kenyataan karena unsur gerak yang ada padanya. Misalnya saja dua orang yang saling melewati pada layar film akan menimbulkan ilusi tentang ketigadimensiannya. Karena ilusi tentang kenyataan itu begitu besar pada film, kita jarang mengalaminya sebagai imaji belaka. Kita tidak pernah mengatakan: lihat itu imaji Widyawati! Tetapi: lihat itu Widyawati!”5 Pernyataan D.A. Peransi ini kami temui ketika menonton sinema Kwee Zwan 5

D.A. Peransi, “Teori dan Estetika Film”, dalam D.A. Peransi & Film, Lembaga Studi Film, 1997, hlm. 3.

52


Liang. Juga sinema Rusdy Attamimi, seorang pembuat filem sinema keluarga di Indonesia sejak tahun 60-an. Tarik menarik antara kenyataan sinema dan kenyataan sebenarnya, tak dapat dihindari. Filem-filem tersebut merekam berbagai peristiwa keseharian. Dari bermain di dalam rumah, makan-makan di taman, bermain dengan hewan peliharaan, kedatangan kerabat, pesta, peristiwa berkabung, dan hal-hal yang intim lainnya dari masa ke masa. Sebagai penonton, di satu waktu, kami merasakan sedang melakukan perjalanan lintas waktu. Terutama ketika kami dapat mengidentifikasi sebuah objek yang dapat dijadikan penanda waktu. Namun di sisi lain, kami merasakan hal yang berbeda. Terkadang sifat representasional menguat, lalu secara tiba-tiba drastis melenyap. Imaji yang kami lihat hanya bisa dikatakan sebagai imaji. Jendela pada sinema mereka adalah jendela yang berada di kenyataan sinema mereka walau bentuk jendela tersebut dapat kita lihat di rumah kita sendiri. Mengapa demikian? Hal yang paling memengaruhi adalah keintiman sang perekam dengan objek maupun subjek yang direkam. Kamera filem, sebagai katalisator tubuh, ruang, dan waktu, seakan menghilang. Kita dibawa masuk jauh ke dalam kenyataan sinema mereka. Operator dan kamera filem tersebut telah menyatu sebagai tubuh dan mata kita sendiri. Dari sudut pandang subjektif saya sendiri, di saat menonton filem fiksi, filem dokumenter, filem eksperimental, filem berita, dan lain sebagainya, agaknya kita dapat terjaga dari mimpi dan ilusi yang dibangun oleh kenyataan sinema. Namun di filem sinema keluarga yang kami tonton ini, rasanya hal tersebut sangat sulit. Keintiman yang tak berjarak seakan telah memberikan ruang terbuka bagi seorang manusia untuk menjadi ‘si tokoh perekam’. Alur sinema Kwee Zwan Liang dan Rusdy Attamimi berjalan sangat fluktuatif dan mengejutkan. Dari satu bidikan ke bidikan yang lain, dari satu adegan ke adegan yang lain, bisa terjadi dengan sangat radikal. Masing-masing bidikan memiliki nilai setara sehingga tak mungkin rasanya kita akan menemukan prolog dan klimaks. Dramaturgi pada sinema ini bukanlah dramaturgi pada gagasan teater atau filem fiksi. Dramaturginya justru dibangun oleh performativitas si perekam dengan mesin kameranya: meloncat dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Struktur filem dibangun ‘ditempat’, diedit di tempat oleh tangan. Montase menjadi penentu bagaimana filem 3 menit itu dikonstruksi. Semisal dari rekaman keadaan bahagia ulang tahun, langsung ke keadaan berkabung pada adegan selanjutnya. Perpindahan antara satu kejadian dengan kejadian lain, antara satu objek dengan objek lain, antara satu ruang dan ruang lain, dari dalam rumah ke luar rumah, mengalir ‘begitu saja’ dan kita tidak akan mengeluh mengapa susunannya seperti itu. Berbeda halnya ketika kita menonton filem yang sejak awal telah dikategorisasikan sebagai filem fiksi, filem dokumenter, atau filem eksperimental, struktur yang radikal tersebut akan membuat kita bertanya-tanya, mengapa dikonstruksi seperti itu. Ketika menonton filem 53


sinema keluarga, bekal representasi kita seakan dilepas begitu saja dengan sukarela. Kita telah menerima keadaan bahwa kita akan menyaksikan sebuah filem perjalanan sebuah keluarga yang ‘tidak butuh’ dikonstruksikan atau merepresentasikan sesuatu di luar peristiwa keluarga itu sendiri. Padahal, bagaimanapun, ia adalah sinema. Kenyataan teknologis yang diciptakan oleh mesin yang berbeda dengan kenyataan historis si pembuat filem. Cukup senang rasanya mendapatkan kesempatan untuk melihat filem-filem Kwee Zwan Liang dan Rusdy Attamimi yang jumlahnya cukup banyak itu. Filemfilem mereka telah memberikan gambaran imajinasi ‘rumah’ dan ‘keluarga’ dalam sinema mereka. Mungkin hal ini tidak akan kami dapatkan jika seandainya jumlah filem yang kami tonton terlampau sedikit. Yang dapat mengimajinasikan, misalnya, ialah ‘pintunya’ saja, ‘jendelanya’, atau ‘toiletnya’ saja. Di sini, kita dapat melihat bagaimana kuantitas dan kualitas dari intensitas seorang pembuat filem sinema keluarga sangat menentukan. Kwee Zwan Liang dan Rusdy Attamimi adalah dua orang yang telah memberikan kepada kami gambaran cukup lengkap tentang fantasi dan imajinasi rumah dan keluarga dalam sinema mereka. ***

54


55


56


57


Biografi Pembuat Filem & Penulis

Afrian Purnama (Lahir di Jakarta, 1989). Lulusan Universitas Bina Nusantara jurusan Ilmu Komputer. Sejak tahun 2013 aktif sebagai kurator filem dalam perhelatan ARKIPEL - Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Ia seorang pecinta sinema yang juga bekerja sebagai penanggung jawab dan penulis di jurnal filem www.jurnalfootage.net yang diterbitkan oleh Forum Lenteng. Saat ini, ia sedang menyelesaikan bukunya tentang Alfred Hitchcock. Mahardika Yudha (Lahir di Jakarta, 1981). Filem fitur pertamanya diberi judul Rangjebor (2014), yang disutradarainya secara bersama dengan Mohammad Fauzi. Selain membuat filem, ia juga membuat karya video dan mengkuratori beberapa pameran seni rupa dan seni media. Beberapa karya videonya telah dipresentasikan di beberapa perhelatan seni internasional, seperti Singapore Biennale 2013 (Singapura) dan Videobrasil 2013 (Brazil). Syaiful Anwar (Lahir di Jakarta, 1983). Golden Memories (2018) merupakan filem fitur keempatnya. Sebelumnya ia menyelesaikan Dongeng Rangkas (2011), Elesan deq a Tutuq (2013), dan Harimau Minahasa (2015). Ia juga banyak terlibat sebagai penata kamera di dalam filem-filem fitur produksi Forum Lenteng, seperti Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), Anak Sabiran Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) (2013), dan Marah di Bumi Lambu (2014). 58


Akbar Yumni (Lahir di Jakarta, 1975). Kritikus filem dan seni, anggota Forum Lenteng, dan redaktur utama Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net). Menempuh Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta. Akbar Yumni sering diundang dalam beberapa lokakarya dan diskusi kritik filem dan seni. Ia juga bekerja sebagai peneliti lepas di Dewan Kesenian Jakarta. Peter Post (Lahir tahun 1953). Mempelajari antropologi budaya di Vrije Universiteit Amsterdam dan lulus tahun 1991. Sejak tahun 1998, Peter Post bekerja di NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie) bagian departemen Asia. Ia sering diundang dalam berbagai lokakarya, juga peneliti tamu di bermacam institut di Jepang, Singapura dan Indonesia, dan merupakan rekan inisiator dari beberapa program penelitian internasional di Belanda. Beberapa publikasinya dimuat di CHC Bulletin Universitas Nanyang Singapura dan Journal of Asia-Pacific Studies Universitas Waseda.

59


60


61


Terima Kasih Keluarga Besar Rusdy Attamimi dan Kwee Zwan Liang Erasmus Huis Jakarta dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda (Michael Rauner, Emma Kay, Shaula Supit) EYE Film Institute Netherlands (Leenke Ripmeester, Dorette Schootemeijer) Ford Foundation (Heidi Arbuckle, Adyani Widowati) Goethe Institut Indonesien (Anna Maria StrauĂ&#x;, Dinyah Latuconsina, Gugi Gumilang, Nurlaili) Sinematek Indonesia Kepala Dusun Jatipiring (Kusnadi) Parallaxe Shop (Johan van Blerk) Super8 Reversal Lab Nederland (Frank Bruinsma) Ari Dina Krestiawan Asep Topan Mumuh Muhaemin Peter Post Reinaart Vanhoe Wim Van Der Aar

62


63


Milisfilem adalah platform produksi dan pendidikan gambar bergerak yang digagas oleh Forum Lenteng. Platform ini fokus pada pengembangan metode pembelajaran budaya visual, produksi gambar bergerak, dan sejarah visual. Secara reguler, Milisifilem melakukan pelatihan produksi gambar bergerak melalui eksperimentasi kemungkinan-kemungkinan muasal sebuah visual terbentuk.

64


Forum Lenteng merupakan organisasi nirlaba egaliter sebagai sarana pengembangan studi sosial dan budaya yang didirikan oleh mahasiswa komunikasi, pekerja seni, periset dan pengamat kebudayaan pada tahun 2003. Forum ini didirikan sebagai usaha pengembangan pengetahuan media dan seni para anggotanya, dengan cara; produksi, pendokumentasian, riset dan distribusi terbuka. Pengembangan pengetahuan ini menjadi pijakan bagi komunitas untuk membicarakan persoalan sosial masyarakat melalui seni dan media. Setelah lima belas tahun berdiri, forum ini telah berkembang dalam berbagai program atas dukungan kerjasama dengan berbagai lembaga dan komunitas di Indonesia dan internasional.

65


66


67


Supported by

68


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.