WARTA Edisi Februari 2013

Page 1

ISSN 1410-8550

EDISI FEBRUARI 2013

1


DARI REDAKSI

DEWAN REDAKSI Christine Wulandari, Udiansyah, Emi Roslinda, Nurul Qomar, Syamsu Alam, Fadrizal Labay, Hesti Sagiri, Dian Novarina, CP. Munoz, IBW Putra, Bambang Widyantoro, Berdy Steven, Wisma Wardana, Rakhmat Hidayat, Rustanto, Muhammad Adib, Subhan, Anwar Ibrahim, Didik Suharjito, Moira Moeliono, Arif Aliadi, Aulia LP. Aurian

H

utan Lestari Masyarakat Sejahtera tidak bisa diwujudkan dengan hanya membalikkan telapak tangan, sekedar memberikan ruang kebijakan, tetapi dibutuhkan kerja keras dan semangat pantang menyerah. Dalam WARTA FKKM kali ini, Redaksi mengajak para penggiat KM berbagi kisah bagaimana kerja keras dan semangat pantang menyerah itu coba dilakukan. Kongres Pertama AWKMI di Semarang 20-23 Juni 2012 menjadi tonggak perjuangan para penggiat KM melakukan konsolidasi dalam mewujudkan Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera. Kisah-kisah sukses Borneo Chic, APIKRI, Madu Hutan Sumbawa, Masyarakat Mitra RAPP,dan Mebel Jepara, diharapkan dapat memicu para penggiat KM lain untuk berwirausaha berbekal sumberdaya hutan mereka. Tips dari Jokowi dan pembelajaran dari sebuah training di Thailand juga diharapkan dapat memberi inspirasi para penggiat KM, para pengusaha hutan skala kecil. Cerita dari training yang dilakukan FKKM bersama RECOFTC & BALANG yang dilakukan di Bantaeng-Sulsel 5-10 Januari 2013 juga turut dibagikan sebagai upaya FKKM mendorong wirausaha kehutanan masyarakat. Sebuah kisah tentang Sujarni Alloy yang dituturkan Rufinus, salah satu DPN FKKM, menjadi kenangan untuk mengenangnya, semoga menjadi pemicu kita untuk terus memperjuangkan kehutanan masyarakat. Redaksi berharap kisah-kisah ini dapat memberi harapan akan pengusahaan hutan oleh rakyat, di sela-sela carut marutnya kebijakan dan berbagai konflik sumberdaya hutan yang ada. Salam Kehutanan Masyarakat, REDAKSI WARTA

DAFTAR ISI 3

Wirausahawan Kehutanan, Masyarakat Bersatulah...

5

Menembus Pasar Internasional Lewat Kerajinan Non-Kayu

6 7 8 9

Saat Petani Madu Hutan Sumbawa Dipinang Amway Joko Widodo: Harus Bisa Pasarkan Produk Pentingnya Memahami Pasar, Sebuah Pelajaran dari Ban Huay Sapan Samakee

PENANGGUNG JAWAB Andri Santosa REDAKTUR PELAKSANA Samiaji Bintang, Hasantoha Adnan, Andhika VP. REPORTER & KONTRIBUTOR Julmansyah, Awaluddin, Andika Wiguna, Benediktus Krisna, Rufinus Daeng

PHOTOGRAPHER Awaluddin, Benediktus Krisna, TATA LETAK muem art studio DISTRIBUSI Titik Wahyuningsih, Redi

11 Imam Samekto:

Kami Ikut Mendampingi Hingga ke Lapangan

Si Kecil 12 Dorong Wujudkan Mimpi Mebel Jepara 13 Kisah Mengukir Sejarah Alloy: 14 Sujarni Hidup Itu Sejarah

ALAMAT REDAKSI Gedung Kusnoto Lt 1 Jl. Ir. H. Juanda No. 18 Bogor 16002 Telp/Fax: 0251.8310396 Email: seknas-fkkm@indo.net.id Website: www.fkkm.org diterbitkan oleh:

Mereka yang Mengubah Haluan FKKM

2

EDISI FEBRUARI 2013


Naskah: Samiaji BN, Andhika Vega P

Sejumlah pengusaha kecil kehutanan berhimpun di Semarang. Mereka berharap asosiasi dapat membantu mengatasi problem dalam berbisnis.

“SAYA

sangat merasakan susahnya membangun usaha kecil,” kata Gusti Putu Armada. Semula lelaki kelahiran Singaraja, Bali, itu bekerja sebagai auditor pemerintah pada kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pada awal 2000, status pegawai negeri itu ia tinggalkan. Ia berniat memulai usaha kecil di bidang produksi kayu, khususnya untuk interior dan eksterior rumah, seperti kusen, pintu, jendela, mebel, dan sebagainya. “ Tapi langkah menjadi wirausaha tak semudah mengedipkan mata. Armada tak punya modal. Dan yang lebih mengganggu, ia dihantui sederet keraguan. Sebagai pemula, ia tak yakin mampu membuat produk yang berkualitas. Ia juga ragu, apakah kelak produk yang ia buat bisa laku dijual dan diterima konsumen. Keraguan itu mulai pupus ketika Armada mulai membangun komunikasi, berkumpul dengan wirausahawan UKM di Buleleng, Bali. Ia membangun jaringan dan menimba ilmu dari sesama wirausahawan. Usahanya mulai berkembang. Lewat perusahaan Tia Mandiri, ia menerima pesanan produk-produk kayu. “Saya memandang bahwa teman pengrajin lainnya adalah partner dari kita, bukan kompetitor. Apabila saya mendapatkan jumlah order yang cukup banyak yang tidak semuanya saya bisa kerjakan, saya bagikan kepada teman-teman lainnya,” kata Armada. Model bisnis yang ia bangun memberi aneka keuntungan, terutama baginya dan komunitas usaha kecil. Lewat model jaringan antar pengrajin, misal, waktu pengerjaan pesanan bisa lebih diatur sehingga konsumen bisa menerima barang tepat waktu. Paralel dengan itu, kepercayaan konsumen makin meningkat. Manfaat berikutnya, para pengrajin mendapat kepastian pekerjaan dan pembayaran. “Dengan model ini, kita memiliki kesempatan untuk bisa mengerjakan order-order lain yang masuk ke perusahaan,” tambahnya. Kini omset usaha mebel yang digelutinya rata-rata berkisar Rp 350 juta hingga Rp 450 juta per tahun. Sejak 2009, Armada menambah aktivitas usahanya, penanaman kayu. Jenis kayu yang ia tanam antara lain Jati Gmelina, Albasia, Mahoni, dan sebagainya. Namun keberhasilan usaha bersama sesama wirausahawan di Bali tak membuat Armada tak puas. Untuk menjadi besar, meningkatkan jangkauan pasar atau menambah modal, wirausahawan kecil sepertinya masih kerap menemui “tembok”. Ia dan rekan-rekannya tak jarang mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Itu pernah ia alami ketika berniat meminjam modal kerja dari sebuah bank pemerintah. Pihak bank menolak permohonan pinjamannya tanpa alasan yang jelas. “Ini juga membuat saya jengah dan bertekad bahwa saya tidak pantas ditolak,” katanya. Ia meyakini, hambatan-hambatan itu juga dialami pengusaha-pengusaha kecil lain, terutama yang bergerak di bidang kehutanan. “Karena itu kami terus berjuang. Kami harus berkomunitas,” ujar Armada. ***

JUNI 2012. Armada sengaja datang dari Buleleng ke Semarang, Jawa Tengah. Ia menghadiri Kongres I Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI) yang digelar di gedung Rimba Graha pada 20-23 Juni 2012. Ia bersama-sama beberapa rekannya di kawasan utara Bali bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Industri Kecil (APIK). Organisasi ini dibentuk untuk menghimpun sesama pengusaha industri kecil yang tersebar di kawasan utara dan selatan Pulau Dewata. Sebab, secara geografis, jarak antara wilayah utara Bali dengan dan wilayah selatan cukup jauh. Perhimpunan ini punya mimpi besar, tak sekedar mampu bertahan di tengah dinamika ekonomi yang berubah dan kerap tak memberi peluang bagi pengusaha kecil berbasis kehutanan seperti Armada dan beberapa pengusaha kecil lain di Bali. Siang itu duduk bersebelahan dengan mantan Menteri Kehutanan Marzuki Usman, Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto, Staf Khusus Menteri Kehutanan bidang Pemberdayaan Masyarakat San Afri Awang, Direktur BP2H Dirjen BUK Kementerian Kehutanan Dwi Sudarto, dan Direktur Eksekutif Kehati M.S. Sembiring. Armada menjadi salah seorang pembicara dalam talkshow yang digelar sebelum kongres. Ia mewakili pengusaha-pengusaha kecil lain. Saat itu tak kurang 350 pelaku Wirausaha Kehutanan Masyarakat mengikuti kongres pertama para pelaku usaha Kehutanan Masyarakat. Mereka berasal dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. “Kami mendengar AWKMI, kami senang, dengan harapan bisa mempersatukan semua pengusaha dari Sabang sampai Merauke,” kata Armada penuh harap. Peserta kongres di Semarang itu memiliki impian besar: lahirnya asosiasi yang dapat mendorong lebih keras upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat berbasis potensi sumberdaya alam, kehutanan. Sebab, Kehutanan Masyarakat (KM) menjadi keharusan ketika pengelolaan hutan yang tidak melibatkan masyarakat terbukti gagal dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Sebelumnya, Direktur Multistakeholder Forestry Program (MFP) Diah Raharjo dalam sambutannya menyatakan ada empat hal persoalan yang sampai saat ini mereka hadapi. Pertama, minimnya mengakses modal. Kedua, terbatasnya informasi kebutuhan pasar. Ketiga, rendahnya kemampuan pengelolaan usaha. Terakhir, rendahnya upaya menjaga kontinuitas dari hasilhasil usaha masyarakat. Apabila empat hal ini tidak dilakukan, penggiat pelaku usaha Kehutanan Masyarakat tidak bisa menjadi pelaku utama dalam pengelolaan yang berkelanjutan.

EDISI FEBRUARI 2013 EDISI FEBRUARI 2013

33


LAPORAN UTAMA

“Itu sebabnya hari ini kita semua berkumpul melakukan sebuah kongres. Ini merupakan suatu upaya ke depan kawan-kawan pelaku usaha untuk bisa memastikan bahwa mereka juga dapat berkiprah dan juga memberikan sumbangan yang besar dalam ekonomi nasional,” kata Diah yang disambut tepuk tangan ratusan peserta kongres. *** MENURUT Andri Santosa, Ketua Panitia Pelaksana Kongres I AWKMI, semangat ‘Hutan Untuk Rakyat’ seharusnya tidak menjadi slogan semata tetapi diwujudkan dalam program nyata yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Penguatan kapasitas masyarakat harus dilakukan kepada masyarakat pelaku untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin keras. Asosiasi ini diharapkan dapat memfasilitasi dan membantu sejumlah kalangan pelaku usaha kehutanan di sejumlah daerah yang mengalami pelbagai kesulitan. Dalam lima tahun terakhir, menurut Andri Santosa yang menjadi ketua panitia pelaksana Kongres I Asosiasi Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), Kehutanan Masyarakat telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kebijakan pemberdayaan masyarakat hutan melalui Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan, PHBM, Hutan Adat, Hutan Rakyat, dan berbagai skema lain telah menempatkan masyarakat sebagai aktor pengelola hutan di Indonesia. Dalam pengembangan usaha kehutanan, dibutuhkan perubahan pola pikir dan paradigma. Menurut Marzuki Usman, akses informasi menjadi modal besar dalam mengembangkan usaha. Ia mendukung Armada bersama wirausaha Kehutanan Masyarakat lain di sejumlah daerah untuk berhimpun dan membangun jaringan. “Kita harus punya jaringan, dan Jaringan kita harus kuat,” ujar mantan Menteri Kehutanan ini. Sementara, Bambang Sukmananto menilai, negara memiliki tugas dan tanggung jawab dalam membina dan mengembangkan Hutan Rakyat dan untuk memberdayakan masyarakat. Terlebih lagi, menurut direktur utama Perum Perhutani ini, dalam beberapa tahun ke depan produk kayu Indonesia akan menghadapi tantangan dan memiliki beberapa pesaing dari negara tetangga, seperti Myanmar. “Kayu jati akan dapat saingan dari kayu jati Myanmar. Kayu dari Myanmar merupakan jati alam yang belum ada sertifikatnya. Ini peluang bagi kita,” ujar Bambang. “Dengan adanya asosiasi akan ada seleksi. Yang punya kemauan keras akan berkembang,” imbuh Bambang yang menyatakan bersedia menjadi “bapak angkat” AWKMI. Sedangkan Staf Khusus Menteri Kehutanan bidang Pemberdayaan Masyarakat San Afri Awang memandang, tantangan terbesar asosiasi wirausaha kehutanan adalah ikut serta dan mendukung pembenahan tata perdagangan produk kayu dan hasil hutan yang selama ini timpang. Saat ini, marjin keuntungan yang diperoleh para pengelola Hutan Rakyat hanya sekitar 10 persen. Sedangkan keuntungan yang didapat para pedagang mencapai 47 persen. Dalam catatannya, saat ini persentase jumlah pengusaha dalam kategori usaha kecil menengah (UKM) di seluruh Indonesia

4

EDISI FEBRUARI 2013

mencapai 99,8 persen. Sisanya pengusaha besar. “Itu sebenarnya yang harus dibenahi. Jika AWKMI tidak bisa memperjuangkan, tidak perlu dibentuk. Yang rugi selalu petani,” komentar Awang. *** WIRAUSAHA Hutan Masyarakat, termasuk di dalamnya para petani hutan yang tersebar di kawasan hutan rakyat, hutan tanaman rakyat dan kawasan hutan lain. Pengelolaan kawasan hutan tersebut, sepenuhnya bergantung kepada rakyat. Hutan, sejatinya bisa berfungsi sebagai kawasan rehabilitasi, serta manfaat ekonomi yang bisa dikuatkan, sebagai hasil kelola tanaman hutan. Namun, para petani tersebut seringkali dihadapkan persoalan keuangan. Tak jarang mereka mengijon tanaman hutannya. Untuk mengatasi kesulitan para petani hutan, Kementerian Kehutanan siap memberi bantuan modal usaha. Kesempatan akses permodalan akan lebih mudah bila dijabarkan dalam bentuk proposal. Melalui Badan Layanan Umum, Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H), Kemenhut membantu pembiayaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), dapat diterapkan untuk pembangunan dan pemeliharaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Desa (HD), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan restorasi ekosistem. Saat ini yang baru melayani HTR dan Hutan Rakyat, sedangkan Hutan Desa, HKm, HHBK, dan Restorasi Ekosistem masih dalam tahap perencanaan. Walau demikian, ke depan keempatnya akan dilayani P2H. Tahun 2013, P2H Kemenhut menargetkan penyaluran pinjaman Hutan Tanaman Industri (HTI) tahun 2013 sebesar Rp 336 miliar atau setara dengan 21.000 Ha. Sedangkan HTR sebesar Rp 42.659.500.000 atau seluas 5.000 Ha. Untuk Hutan Rakyat seluas 24.000 Ha dengan nilai Rp 492.000.000.000 dan HTI sebesar Rp 336 miliar. Agus Isnantio Rahmadi, Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Kemenhut, kepada Oktober tahun lalu menyatakan, total rasionalisasi itu mencapai Rp. 870.659.500.000 dengan luas 50.000 Ha. Pengelolaan dana bergulir ini memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Tujuannya, untuk mendukung pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja, serta perbaikan mutu lingkungan melalui kegiatan RHL. Syarat keterjangkauan dan kehati-hatian dalam penyaluran, tetap menjadi perhatian BLU. Mendengar beragam saran dan penjelasan, sebagai pelaku usaha kehutanan Armada mengaku

mendapat inspirasi. Keinginannya untuk berhimpun dalam asosiasi bersama wirausahawan kehutanan yang lain kian besar. “Kami perlu banyak belajar,” ujar Armada. Peserta kongres di Semarang kala itu, yang terdiri dari pengusaha kecil dan petani hutan, mendaulat Armada sebagai Ketua AWKMI hingga 2015 mendatang. *** PASCA kongres I AWKMI di Semarang, Armada mulai menyambangi anggota dan pengusahapengusaha kecil yang bergerak di bidang kehutanan. Daerah-daerah yang dikunjungi antara lain Jawa, Bali, Lampung, Jambi, Sumatera Utara, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Saat ini ia bersama rekan-rekannya tengah melakukan pemetaan potensi dan kebutuhan anggota di beberapa daerah. Selain menyerap aspirasi, ia dan rekanrekannya berbagi ilmu tentang wirausaha. Menurutnya, modal utama dalam usaha tidak semata-mata berbentuk uang, tetapi kemauan dan kerja keras. Ini membuat pengusaha-pengusaha kecil dapat memperoleh kepercayaan dalam pergaulan usaha itu sendiri. Tak cuma itu, ia juga menyadari manfaat dan pentingnya membangun jaringan dan kerjasama dengan sesama pengusaha-pengusaha kecil lainnya. “Kadang, tanpa sadar kita egois tidak mau membagi order kepada orang lain dan memaksakan diri mengerjakan sebuah order tanpa memperhatikan kapasitas yang dimiliki. Sehingga pada akhirnya kita tidak bisa mendapat kepercayaan akibat kualitas kurang baik, waktu yang lewat, dan sebagainya,” ungkap Armada. Rencananya, selama Januari 2013 ini ia dan rekan-rekannya akan ke Kalimantan Tengah dan Jayapura. “Kami mungkin tidak bisa datang ke setiap anggota AWKMI yang ada, tetapi paling tidak dari setiap daerah yang dikunjungi bisa diambil gambaran tentang potensi dan harapan yang dimiliki oleh anggota di daerah tersebut,” ujarnya. 5

Syarat Pengajuan Bantuan Dana Bergulir BLU Pusat Pembiayaan Pem-bangunan Hutan*

Surat permohonan pinjaman dari pemegang IUPHHK-HTR, Pernyataan keinginan meminjam dari anggota, Surat rekomendasi Dinas Kehutan-an kabupaten setempat, Fotokopi KTP anggota, SK Pendamping.

*) Seluruh persyaratan dapat dikirim melalui pos.


LAPORAN UTAMA

Menembus Pasar Internasional Lewat Kerajinan Non-Kayu Kisah sukses Borneo Chic dan APIKRI memasarkan kerajinan unggulan non kayu dari hutan kemasyarakatan di Kalimantan dan Jawa.

Naskah: Andhika Vega

B

ORNEO Chic. Bagi yang terbiasa berbelanja, merek itu terdengar seperti merek sebuah produk impor. Atau produk dari sebuah butik ternama di luar negeri. Jika Anda mengunjungi galeri produk yang dipampang pada halaman situsnya (www.borneochic.com), di sana dijajakan aneka jenis tas, perhiasan, hingga aksesoris dengan desain dan mutu yang prima. Desain produkproduk unggulannya yang menggoda, tak berbeda dengan dengan barang-barang branded alias bermerek terkenal. Tapi siapa sangka, barang-barang itu 100 persen produk Indonesia. Tepatnya, produk kerajinan nonkayu berbasis kehutanan masyarakat yang ada di Pulau Kalimantan. Produk ini digagas oleh masyarakat lokal di tiga provinsi dan enam wilayah masyarakat adat Dayak, antara lain di Sanggau, Sintang, Danau Sentarum, Kapuas, Kedang Pahu dan Bentian. Salah satu fasiltator sekaligus motor Borneo Chic adalah Maria Cristina S. Guerrero yang akrab dipanggil Crissy. Borneo Chic merupakan salah satu program yang dilakukan jaringan lembaga Non-timber Forest Products Exchange Programme for South and Southeast Asia (NTFP-EP), sebuah lembaga yang berfokus pada pengelolaan dan kelestarian hutanhutan di Asia Tenggara dan Selatan lewat pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Di sela Kongres I Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), di Semarang, Juni 2012, Chrissy memaparkan pengalamannya dalam acara temu pasar HHBK. Sejak 2008 ia bersama rekan-rekannya mulai merancang dan membuat produk Borneo Chic melalui jaringan pendampingan masyarakat. Lewat jaringan itu, ia mendorong peningkatan kualitas produk, untuk mendapat harga premium. Borneo Chic mengusung mekanisme sertifikasi partisipatif untuk produknya yang memanen hasil hutan bukan kayu secara lestari. Selain itu, bahan baku produk yang digunakan Borneo Chic memanfaatkan beragam bahan alami sebagai pewarna, semacam kunyit, mengkudu, dan symplucus sebagai pengikat warnanya. Namun produk-produk dari bahan yang berkualitas hanya satu aspek dalam rantai perdagangan Borneo Chic. “Paling penting setelah produk adalah kemasan dan brand (merek),” ujar Chrissy. Tak heran, persoalan merek hingga desain produk digarap serius oleh Crissy dan kawan-kawan. Dalam proses perancangan, misalnya, Chrissy harus melakukan riset terlebih dulu, terutama mengenai gaya hidup masyarakat dan kaum urban. Ia menambahkan, setiap tahun Borneo Chic mengadakan

pertemuan dengan konsumen agar lebih memahami keinginan dan selera para pembeli. Untuk menjangkau beragam pasar, wanita asal Filipina ini bersama kelompoknya bekerja sama dengan berbagai komunitas dan perancang busana. Hasilnya, Borneo Chic selalu memiliki desain-desain baru yang selalu eksklusif untuk pembeli produk yang umumnya kalangan menengah ke atas. Lantas, bagaimana Borneo Chic memasarkan produknya? Menurut Chrissy, ia dan kawan-kawan memasarkan produk mereka lewat beragam media. Termasuk memanfaatkan teknologi informasi seperti penggunaan website dan jejaring sosial (social media), seperti Facebook dan Twitter. Ini dilakukan untuk menembus pasar internasional. Guna mendongkrak keuntungan, Borneo Chic bahkan tak segan mengeluarkan dana yang tak sedikit. Termasuk dana untuk membuka gerai penjualan yang menarik dan representatif. Crissy dan kawan-kawan bahkan berani membuka gerai di kawasan yang banyak dihuni para ekspatriat, orang asing yang tinggal di Jakarta. “Dengan begitu, pasar yang memiliki daya beli dapat lebih mudah diraih,” katanya. Berbeda dengan Borneo Chic, Asosiasi Pengembangan Industri dan Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI) justru meluaskan pemasarannya dengan ekspor. Menurut Atikah, perempuan asal Klaten yang bergiat di APIKRI, lembaga ini bertujuan menjembatani kepentingan pasar dan pengrajin, mencari sumber-sumber pendapatan secara mandiri serta membantu meningkatkan standar kualitas produk. Sejak berdiri tahun 1987, APIKRI terus melakukan pendampingan kepada pengrajin. Pendampingan dilakukan untuk sisi ketepatan waktu produksi serta teknis pemenuhan spesifikasi produk, agar sesuai pesanan pembeli. Untuk strategi pemasaran produk dilakukan bertahap. Pertama, ia mendampingi pengrajin agar bisa memenuhi kriteria pasar serta meningkatkan kualitas produknya. Kedua, ia mempertemukan para pengrajin langsung dengan calon pembeli potensial. Terakhir, APIKRI akan membantu proses ekspor dari pengrajin hingga sampai ke tangan pembeli di belahan dunia lain. Sejak tahun 2000, APIKRI telah memiliki anggota 296 kelompok pengrajin. Semula legalitas badan usaha tidak menjadi perhatian Atikah dan kawan-kawan. Namun seiring perkembangan, APIKRI berubah dan berbadan hukum, menjadi koperasi. Sehingga memudahkan proses perdagangan antar negara. Disamping badan usaha, standardisasi dan sertifikasi produk-produk kerajinan dari anggota APIKRI menjadi poin penting untuk menembus pasar internasional. Untuk itu APIKRI terus mendorong anggotanya untuk menggunakan kayu-kayu legal. Berbagai forum perdagangan nasional maupun

internasional kerap diikuti APIKRI sebagai salah satu cara pemasaran produk-produk kerajinan. Selain itu, kata Atikah, agar tetap berjejaring dan mengikuti tren pasar, lembaga ini selalu terlibat untuk isu perdagangan yang seimbang, adil (fair trade). Atikah dan kawan-kawannya juga turut memutus mata rantai tengkulak dalam perdagangan kerajinan. Mereka kini mengikat kerjasama dalam bentuk kontrak, langsung dengan pembelinya. Dengan begitu, ia bisa lebih meyakinkan para pengrajin. APIKRI bahkan memiliki staf khusus pengendali kualitas dan pemasar, di dalam maupun luar negeri. “Aturan main produksi dan pemasaran memang harus digarap serius,” imbuh Atikah. Dari APIKRI, pelajaran berharga tentang kontrak resmi antara pembeli dengan pengrajin, penting diperhatikan. Jejaring dalam berbagai forum perdagangan, terbukti berhasil membangun hubungan erat dengan pembeli. Bahkan hubungan itu berlanjut ke soal kemanusiaan. APIKRI bahkan sempat mengelola bantuan dari para pembelinya ketika bencana gempa Jogja melanda tahun 2006 silam. Dari pengalaman Borneo Chic dan APIKRI, tampaknya Indonesia tak akan pernah menjadi negara miskin. Terlebih jika sumberdaya alam yang ada dikelola dengan baik. HHBK masih menyimpan daya jualnya untuk dipoles menjadi cantik, sebelum diperkenalkan ke mancanegara, untuk dipinang pembelinya. Keberagaman hasil hutan di Indonesia, khususnya HHBK memiliki berjuta potensi untuk diolah dan dipasarkan. Namun, perlu upaya khusus yang serius menanganinya. Lemahnya kemampuan untuk mengolah bahan menjadi barang bernilai jual tinggi seringkali menjadi persoalan. Belum lagi kendala memasarkan dan menjangkau pembeli yang tepat. Peningkatan kapasitas produksi; dari sisi konsistensi produk, ketepatan waktu, hingga kualitas yang sesuai adalah salah satu kata kunci di sisi hulu. “Mengingat target pasar produk kerajinan yang cukup dinamis, saya menekankan kepada pengrajin agar memiliki motivasi belajar dan berkembang yang kuat agar bisa maju,” tandas Chrissy. ***

EDISI FEBRUARI 2013

5


LAPORAN UTAMA

Saat Petani Madu Hutan Sumbawa Dipinang Amway Oleh Julmansyah*)

Naskah: Julmansyah*)

T

ahun 2007 menjadi tonggak bagi para petani madu di Sumbawa. Saat itu terbentuk Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) yang terdiri dari tiga koperasi dan sembilan kelompok tani. Sejak terbentuk, lembaga ini menginisiasi perubahan pola panen madu, dari panen peras tangan menjadi sistem tiris. Selain memperkenalkan pola panen, JMHS menjadi penjamin harga madu petani, khususnya anggota JMHS yang telah mengadopsi sistem panen lestari dan proses tiris yang menghasilkan produk madu higienis. JMHS mengikat para anggota dengan menyepakati harga setiap musim panen, terlepas barang melimpah atau langka. Seperti hukum permintaan dan penawaran, harga madu juga dipengaruhi oleh hukum pasar ini. Kesepakatan harga ini menjadi perangsang bagi petani untuk bergabung di jaringan. Pola ini ikut merangsang kenaikan harga madu. Dalam lima tahun sejak terbentuknya jaringan ini, tahun 2012, harga madu petani segera melonjak, dari Rp 12.000 menjadi Rp 60.000 per botol.

Dipinang Amway Tahun 2008, madu Sumbawa yang diproduksi JMHS diterima oleh Amway, perusahaan multilevel marketing melalui PD. Dian Niaga Jakarta sebagai sayap bisnis dari Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI). Proses menembus pasar ini memakan waktu satu tahun sejak 2007. “Pinangan� Amway ini tidak mudah. Ada sederet syarat, seperti jaminan mutu (quality control) yang ketat karena produk ini merupakan produk pangan. Selama tiga tahun terakhir ini, madu JMHS mendominasi pasokan madu hutan ke Amway. Pada 11 November 2012, berlokasi di Sumbawa Besar, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berkenan melepas secara resmi satu ton madu hutan Sumbawa yang merupakan bagian dari total kontrak empat ton antara JMHS dengan Dian Niaga Jakarta. Total volume pengiriman madu hutan dari tahun 2008 – 2012 telah mencapai hingga 15 ton. Selain Amway, JMHS dengan sejumlah anggotanya telah memiliki pasar lokal dan regional yang margin keuntungannya cukup membuat para pegiat JMHS bergairah. Bahkan sekarang JMHS telah secara bertahap menerapkan pemasaran online melalui blog www.jaringanmaduhutansumbawa.blogspot.com. Hingga sekarang posisi JMHS di pemasaran

6

EDISI FEBRUARI 2013

madu hutan di pasar nasional cukup kuat seiring dengan menurun produksi madu hutan dari Danau Sentarum yang dikelola oleh Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) di Kalimantan Barat.

Pengembangan jaringan dan strategi pasar Nama madu Sumbawa tak jarang juga digunakan sebagai merek dagang oleh banyak pedagang madu di berbagai tempat. Tentu ini merugikan Sumbawa sebagai lokus geografis daerah penghasil madu. Untuk itu JMHS telah mendaftarkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Indikasi Geografis (geographic indication) Madu Sumbawa kepada Kementerian Hukum dan HAM. Pada Desember 2011, JMHS resmi sebagai pemegang sertifikat HAKI Madu Sumbawa. Ini sebagai antisipasi dini perlindungan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat tak disalahgunakan oleh perusahaan produsen madu lain. Ketika berbagai tamu yang berkunjung ke Sumbawa, khususnya Kabupaten Sumbawa, pertanyaan pertama yang diajukan adalah dimana beli madu Sumbawa yang asli. Sejak Kab. Sumbawa ada, relatif tidak ada tempat atau outlet yang diyakini tempat penjualan madu Sumbawa yang kualitas baik. Untuk itu, JMHS menangkap peluang ini dengan mendirikan outlet resmi madu Sumbawa dengan nama Rumah Madu Sumbawa. Rumah Madu Sumbawa telah dibuka secara resmi oleh Bupati Sumbawa Drs. H. Jamaluddin Malik pada bulan Juli 2012. Dimana bangunan Rumah Madu ini merupakan milik pemerintah daerah yang diberikan pengelolaan kepada JMHS. Rumah Madu Sumbawa ini juga menjadi ujung tombak pemasaran madu di tingkat lokal mengingat arus wisatawan, tamu daerah yang kerap menjadikan madu Sumbawa sebagai oleh-oleh.

Disamping itu Rumah Madu sekaligus workshop bagi JMHS dan pusat informasi madu hutan Sumbawa. Untuk memperkuat kerja jaringan selama ini, JMHS menetapkan di Desa Batudulang Kec. Batulanteh sebagai desa pusat pembelajaran madu hutan. Di desa ini JMHS telah memulai membangun Pusdiklat mini untuk tempat berbagi pengetahuan antar petani madu di Sumbawa. Beberapa pelatihan dilaksanakan di desa ini. Inisiatif ini sekaligus upaya untuk mengintegrasikan perlindungan DAS Sumbawa terpadu dengan inisiatif pengelolaan hutan. Dimana Desa Batudulang merupakan desa hulu DAS yang menjadi sumber air bagi 11 ribu pelanggan PDAM kota Sumbawa Besar. Untuk itu JMHS bersama KPH Model KPHP Batulanteh telah menggagas adanya model perlindungan DAS terpadu berbasis pengelolaan madu hutan di Sumbawa. Sisi lain dari keberadaan madu hutan yang banyak dilupakan yakni kemampuan lebah sebagai peneyerbuk tanaman hutan (pollinators). Kita mesti berterima kasih pada lebah hutan (apis dorsata) karena atas jasa lebah-lah (pollinator services) kita masih bisa menyaksikan permudaan alami tanaman hutan di berbagai kawasan. Mengingat sebagian besar (85%) penyerbukan tanaman oleh insekta, dan lebah hutan mendominasi sebagai penyerbuk tanaman hutan. Inilah nilai lebah yang belum bisa dikuantifikasikan sebagai jasa lingkungan (environtmental services). Bahkan inisiatif pengelolaan madu hutan dalam satu unit kawasan hutan berpotensi juga bagi penyedia carbon untuk dapat naik kelas menjadi perdagangan carbon (carbon trading).5 *) Inisiator dan fasilitator Jaringan Madu Hutan Sumbawa/JMHS, julmansyahjmhs@gmail.com


WAWANCARA

Jok oW idodo: Joko Widodo:

Harus Bisa Pasarkan Produk

S

osoknya makin dikenal publik ketika mencalonkan diri dan berambisi menjadi orang nomor satu di Jakarta dalam Pemilihan Kepala Daerah pada September 2012 lalu. Kini ambisi Joko Widodo, akrab disapa Jokowi, telah tercapai. Ia menjadi Gubernur DKI Jakarta yang ke-16 setelah melewati pemilihan dua putaran. Sebagai orang nomor satu di ibukota negeri ini, beban Jokowi menggunung. PR-nya adalah membenahi problem di Jakarta yang diwariskan dari pejabat sebelumnya. Untuk “mempercantik” Jakarta, ia dihadapkan pada problem kemacetan, permukiman murah, transportasi publik, tata ruang, pendidikan yang terjangkau semua kalangan, kesehatan dan pelayanan publik cuma-cuma hingga masalah banjir yang mendera Jakarta hampir setiap tahun. Agenda Jokowi super-padat. Dari rapat ataupun terjun ke tengah-tengah masyarakat, melihat langsung ke lapangan. Saat Warta FKKM meminta kesediaannya untuk diwawancara secara khusus di awal November 2012, ia nyaris tak punya waktu. Staf Humas di Balaikota menyatakan, jadwal wawancara Jokowi padat hingga akhir tahun. Namun itu tak membuat reporter Warta FKKM, Benediktus Krisna Yogatama menyerah. Pertengahan November itu tengah menunggu di luar Balaikota, upaya Krisna berbuah. Wawancara itu pun dilakukan di atas mobil dinasnya selama perjalanan menuju Rumah Sakit Koja, Jakarta Barat. Jokowi menjawab sederet pertanyaan berkaitan dengan rencana dan program prioritasnya selama menjabat sebagai gubernur. Tak hanya itu, ia juga memberi tips dalam berwirausaha. Khususnya usaha yang memanfaatkan hasil hutan sekaligus mengelola kelestariannya. Sekedar informasi, Jokowi adalah rimbawan jebolan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada tahun 1985. Ia memiliki usaha yang bergerak di bidang permebelan. Produksi mebelnya sudah menjangkau pasar internasional. Untuk memenuhi pasar ekspor, kayu jati yang menjadi bahan baku industri mebelnya telah memenuhi standardisasi dan sertifikasi. Berikut ini hasil wawancara reporter Warta FKKM, Krisna, dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Memasuki musim hujan ini apa rencana bapak untuk mengatasi banjir di Jakarta? Banjir itu masalah besar. Macet itu masalah besar. Jadi jangan... apa, jangan... tanya atau janga meminta langsung balik tangan selesai. Artinya ada proses, tahapan-tahapan, pendek, tengah dan panjang. Tapi yang paling penting tiap tahun itu ada progressnya, kelihatan progress-nya, berkurang-berkurang dan nanti bisa sama sekali hilang. Lalu upayanya apa? Apakah dengan mengajak pemda Bogor, Depok, dan sekitarnya? Iya sudah, kita (pemda) sudah dengan gubernur Jawa Barat, Banten, untuk ikut bersama-sama menanggulangi banjir itu. Juga dengan kementerian PU (Pekerjaan Umum) juga. Karena apa, terutama untuk

kali-kali besar butuh pengerjaannya dilakukan oleh kementerian PU dan juga, ya progress-nya nanti kelihatan. Waktu di Solo, Anda menggunakan pompa air untuk menanggulangi banjir. Apa Anda akan menggunakan strategi itu lagi di Jakarta? Ada yang pakai pompa, ada yang pakai normalisasi sungai. Itu macem-macem. Yang banyak itu normalisasi sungai, tapi di beberapa titik harus ada yang pakai pompa. Rencana itu kapan realisasinya? Ya itu rencananya tahun depan. Mulai tahun depan dikerjakan, dikerjakan, dikerjakan. Soal Tata Ruang DKI Jakarta, sejauh mana perkembangannya? Apakah ada evaluasi dan realisasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta? Inikan Perda-nya dalam pengerjaan, mungkin sebulan dua bulan ini selesai. Tetapi yang paling penting kan bukan masalah detailnya, tapi dalam pelaksanaan itu, yang namanya tata ruang itu jangan bisa dibeli gitu. Kalau itu untuk hijauan, ya untuk hijauan. Kalau untuk tangkapan air, ya tangkapan air. Kalau untuk embung(?) ya untuk embung. Jangan hijauan dijadikan mal, tangkapan air jadi apartemen, itu yang ga boleh. Percuma kita punya RDTR, Rencana Detail Tata Ruang, tapi pelaksanaannya tidak ada konsistensi. Apakah Anda akan melibatkan warga Jakarta untuk evaluasi tata ruang DKI Jakarta? Dari RT/RW, Lurah, semua dilibatkan, ikut semua. Saat kampanye Bapak berjanji untuk menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH)menjadi 30% RTH Jakarta. Langkah-langkah apa yang akan Bapak lakukan? Beli lahan sebanyak-banyaknya, setiap tahun. Untuk dijadikan ruang terbuka hijau, jadikan taman, ruang publik. Apakah hal itu bisa dicapai, kan 20 persen itu sekitar 120 kilometer persegi ...? Bisa, bisa. Itu kan 10 persen privat, 20 persen kita (pemda) kan untuk ruang publiknya. Bisa, yang paling penting niat, komitmen. Itu saja sudah. Apa upaya Anda untuk melindungi kawasan konservasi seperti gedung bersejarah Jakarta dari pembangunan jalan dan pusat perbelanjaan? Sudah ada perdanya. Tidak bisa diutak-atik. Dengan alasan apapun. Karena itu adalah masalah proteksi dan konservasi, benda-benda cagar budaya. Heritage. Omong-omong soal kewirausahaan. Selama di Solo, anda dikenal sebagai sahabat pedagang kaki lima. Di Jakarta yang telah dikepung mal, waralaba, bagaimana anda bisa melindungi dan mendorong ekonomi pedagang kecil ini? Sama. Diproteksi, diberi ruang, diberi kesempatan. Dibuatkan pasar, sentra PKL, dibuatkan gerobak, sehingga secara penampilan, secara pelayanan mereka mempunyai peningkatan. Sehingga tidak kalah bersaing dengan mal dan supermarket-supermarket. Harus riil, ya,harus riil. Sebagai wirausahawan kehutanan yang mengelola hasil olah dari pohon, bagaimana Anda menghadapi kesulitan-kesulitan birokrasi, pembiayaan, produksi, hingga pemasaran?

Kalau sekarang ini bukan masalah problem produksinya. Problem-nya itu problem pasar. Kalau produknya bisa diterima pasar ya, mereka akan terus berproduksi, tidak masalah. Urusan dengan birokrasi hanya pada saat-saat tertentu saja tidak harianlah. Bila kalangan-kalangan petani berniat sejahtera dan maju seperti Anda, bagaimana caranya? Ya... selain menanam, ya kan? Harus bisa memproduksi, harus bisa memasarkan. Orientasinya harus orientasi pasar, lihat pasar dulu baru berproduksi, baru menanamnya. Jadi dibalik, jangan menanam dulu, berproduksi dulu, baru cari pasar. Nanti bingung cari pasarnya, gak bisa jual. Kenapa bapak harus sampai repot-repot membawa kasur kayu jati dari Solo, apa keistimewaannya? Keistimewaannya ya kalau dipakai tidur bisa pulas. Karena sudah dipakai lama, dipakai tidur pulas. Jawabannya, ya itu. 5 BIOGRAFI Karir: Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) Ketua Bidang Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007) Penghargaan Individu: 10 Tokoh di Tahun 2008 oleh Majalah Tempo Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Award Bung Hatta Anticorruption Award (2010) Charta Politica Award (2011) Wali Kota teladan dari Kementerian Dalam Negeri (2011) Beberapa penghargaan saat menjabat Walikota Solo: Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia Piala dan Piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden Republik Indonesia (2009), untuk kinerja kota dalam penyediaan sarana Pelayanan Publik, Kebijakan Deregulasi, Penegakan Disiplin dan Pengembangan Manajemen Pelayanan Penghargaan dari Departemen Keuangan berupa dana hibah sebesar 19,2 miliar untuk pelaksanaan pengelolaan keuangan yang baik (2009) Penghargaan Kota Solo sebagai inkubator bisnis dan teknologi (2010) dari Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia (AIBI) Pemerintah Kota Solo meraih penghargaan kota/ kabupaten pengembang UMKM terbaik versi Universitas Negeri Sebelas Maret alias UNS SME’s Awards 2012 Penghargaan Langit Biru 2011 dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk kategori Kota dengan kualitas udara terbersih. Penghargaan dari Presiden dalam bidang Pelopor Inovasi Pelayanan Prima (2010).

EDISI FEBRUARI 2013

7






KOMUNITAS

Pentingnya Memahami Pasar, Sebuah Pelajaran dari Ban Huay Sapan Samakee Naskah: Awaluddin*

H

UTAN tropis menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat yang berada di dalam dan sekitarnya. Ia menyediakan pelbagai kebutuhan masyarakat ini, seperti sumber pangan, energi, air, bahan bangunan dan sebagainya. Untuk menambah pendapatan mereka memanfaatkan dan menjual hasil-hasil hutan non kayu. Namun tidak sedikit dari masyarakat ini yang terbelenggu dalam kemiskinan. Ada sejumlah faktor yang memicu kemiskinan ini. Mulai dari persoalan regulasi hingga minimnya pemahaman tentang bagaimana meningkatkan kesejahteraan melalui pasar dan produk-produk hutan. Di sini saya tak akan bicara masalah regulasi, tapi tentang pasar. Khususnya, dari apa yang saya pelajari baru-baru ini di Bangkok, Thailand. Selama 1 hingga 5 Oktober tahun lalu, saya mengikuti pelatihan yang diadakan The Center for People and Forest (RECOFTC). Kegiatan ini diikuti oleh 17 peserta dari negara ASEAN dan Sri Langka. Tema kegiatan ini pelatihan ini “Community Livelihoods and Markets; Improving Market Access in the Context of Climate Change.” Dari Indonesia ada empat peserta yang berkesempatan mengikuti pelatihan ini, yakni utusan dari Kementerian Kehutanan RI, Sekretariat ASEAN-Jakarta, dan dari Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) yang terdiri dari 2 orang. Saya sendiri mewakili FKKM – Sulawesi Selatan dan Sulawesi Community Foundation (SCF). Di sana saya berkesempatan bertemu, bertukar pikiran dan pengalaman dengan seluruh peserta dari berbagai negara ASEAN + Sri Langka tentang bagimana sebuah masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan (community forest) dapat memahami konteks sumber pendapatan atau mata pencarian dalam sebuah sistem perdagangan yang berbasis pasar. Juga, tentang rantai nilai (value chain) dan nilai tambah (value added) dari produk-produk hasil hutan atas produk yang mereka hasilkan. Pemahaman terhadap rantai nilai dan identifikasi nilai tambah produk-produk hasil hutan ini menurut saya amat penting. Karena keduanya berkaitan erat dengan upaya masyarakat melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Sehingga keberlanjutnan (sustainability) sumber pendapatan masyarakat dapat terus berlangsung. Ada tiga kerangka obyektif yang ingin dicapai melalui pelatihan ini. Pertama, bagaimana para peserta memahami potensi pasar sebagai sebuah sistem yang dapat berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, bagaimana kita memanfaatkan dan menggunakan rantai nilai sebagai sebuah pendekatan untuk mengakses sistem berbasis pasar. Dan ketiga, melakukan pemetaan terhadap setiap rantai nilai untuk menentukan intervensi seperti apa dan bagaimana yang dapat kita lakukan untuk memperkuat kehidupan masyarakat sebagai respon terhadap perubahan iklim. Pendekatan dan metode yang digunakan selama

8

EDISI FEBRUARI 2013

Masyarakat Ban Huay Sapan Samakkee di Provinsi Kanchanaburi, Thailand

pelatihan sangat partisipatif. Saya dan para peserta lainnya diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam setiap sesi maupun topik yang dibicarakan Suasana pelatihan menjadi sangat dinamis dan konstruktif. Tidak ada sesi pembahasan tanpa diskusi kelompok maupun presentasi untuk mendalami masalah yang ada, baik itu contoh kasus yang ada di negara masingmasing maupun beberapa contoh fakta yang disampaikan oleh para trainer dan fasilitator. Di hari pertama hingga hari ketiga pelatihan, para trainer dan fasilitator menjejali kami dengan beberapa konsep dan teori dasar tentang apa yang dimaksud dengan “community livelihood” dan bagaimana perubahan iklim “climate change” berdampak terhadap kehidupan kita. Di sini kami belajar memahami konsep sumber pendapatan atau “livelihood” yang diterjemahkan dalam lima elemen (asset) penting. Elemen pertama, sumberdaya manusia. Kedua adalah sumberdaya alam. Elemen ketiga adalah infrastruktur. Keempat adalah dukungan keuangan, finansial. Elemen terakhir adalah apa yang disebut sebagai modal sosial. Kelima elemen ini mempengharuhi setiap keputusan atas intervensi seperti apa yang akan kita lakukan. Konsep tentang rantai nilai menjadi sebuah konsep yang rumit untuk dipahami. Sebab, kita harus memahami betul setiap mata rantai untuk pasar dari sebuah produk yang dihasilkan oleh komunitas dan bagaimana kita mengidentifikasi setiap mata rantai tersebut. Untuk lebih memahami konteks, hari keempat pelatihan diagendakan untuk mengunjungi salah satu “community forest” di sebelah utara Kota Bangkok. Namanya Ban Huay Sapan Samakee. Masyarakat ini tinggal di subdistrik Nong Rong, Provinsi Kanchanaburi, Thailand. Mereka mengelola potensi hutan seluas kurang lebih 161.28 hektar. Salah satu aturan prinsipil yang mereka tetapkan bahwa setiap anggota komunitas dilarang untuk menebang pohon yang sudah ditanam di kawaasan

hutan tersebut. Anggota komunitas hanya dapat memanfaatkan potensi komoditas selain kayu (nontimber forest product) untuk dimanfaatkan sebagai produk yang dapat bernilai ekonomis. Beberapa produk yang mereka hasilkan dari memanfaatkan kawasan hutan tersebut dapat digolongkan dalam empat kategori produk utama yaitu jamur (mushroom), sayur-sayuran yang tumbuh liar (wild vegetables), tanaman herbal (herbs) kurang lebih 200 jenis dan beberapa jenis hewan “Animals”. Dari semua produk non-kayu ini, setidaknya dari pengamatan yang saya lakukan telah mampu berkonstribusi terhadap peningkatan kesejahteraan anggota komunitasnya. Karena memiliki kemampuan dalam mengelola kawasan hutan ini masyarakat Ban Huay Sapan Samakee menjadi tempat “belajar” bagi banyak orang yang ingin mengetahui lebih jauh tentang pengelolaan kawasan hutan oleh komunitas. Terutama, belajar tentang manfaat secara ekonomis yang dapat diambil dari menjaga kawasan hutan. Bahkan ke depan mereka telah merencanakan pembangunan gedung pelatihan training center sebagai pusat pembelajaran, mengingat banyaknya orang yang datang untuk belajar. Di akhir pelatihan, saya dan para peserta lain diminta untuk menunjukkan komitmen pribadi (personal commitment), tentang apa yang telah didapatkan melalui pelatihan ini dapat berkonstribusi terhadap pembangunan “community forest” melalui program nyata yang dapat dilakukan di daerah saya. Saya sendiri berkomitmen untuk melaksanakan kegiatan pengembangan potensi lokal masyarakat di Muna Sulawesi Tenggara yang sudah terlembagakan melalui Koperasi Jati dalam bentuk pelatihan pengembangan produk kerajinan (handicraft) berbahan baku limbah Jati dan sumber daya hutan lainnya yang ada di lahan mereka sendiri.5 *) FKKM Sulawesi Selatan


RESENSI BUKU

Kisah Mebel Jepara Mengukir Sejarah Naskah: Hasantoha Adnan 1.

Menunggang badai: Untaian kehidupan, tradisi dan kreasi aktor mebel Jepara; Penyunting: Herry Purnomo, Rika Harini Irawati dan Melati, CIFOR-Bogor, 2010.

usaha, dan harapanya agar lembaga-lembaga, seperti CIFOR, dapat memfasilitasi pengembangan sumber daya manusia dan pendirian warung kayu, mempermudah akses keuangan dan pasar, serta memberdayakan asosiasi pengrajin kecil. Cerita lain diungkapkan kelompok pengrajin kecil yang dipimpin oleh Edy Turmanto dan Muhtadi, yang menceritakan jatuh-bangunnya mebel Jepara, terjadinya penebangan liar, penurunan kualitas mebel, munculnya kelompok dan koperasi, perpecahan kelompok, dan upaya mempertahankan kelompok. Kisah Bambang Kartono Kurniawan, Ketua Pusat Pengembangan Desain Mebel Jepara (Jepara Furniture Design Centre atau JFDC) lain lagi. Ia berusaha memahami motivasi generasi muda dalam pelestarian budaya ukir Jepara, serta dampak degradasi hutan yang disebabkan oleh permintaan kayu yang berlebihan tanpa disertai dengan pengelolaan hutan yang baik dan kebijakan pemerintah yang dibutuhkan untuk mendukung kewirausahaan. Peran pendidikan dan pelatihan mengukir, serta kepemimpinan dan keterlibatan Suhud, pelaku ukir lokal juga diungkap di dalamnya. Buku ini juga memperlihatkan peran Salembayong, seorang pejabat pemerintah Jepara yang memprakarsai pembangunan gedung Jepara Trade and Tourism Centre (JTTC) untuk mengembangkan dan memberi nilai tambah industri mebel melalui pengembangan desain produk; perlindungan dan sertifikasi desain produk; mengembangkan pasar yang luas untuk produsen Jepara dan perdagangan alternatif seperti pelelangan, peningkatan sumber daya manusia; dan teknologi informasi berbasis promosi, bisnis dan informasi; serta mendorong munculnya pengusaha muda untuk merevitalisasi Asmindo.

Kisah inspiratif para pelaku usaha

2. Pelangi di Tanah Kartini: Kisah aktor mebel Jepara bertahan dan melangkah ke depan; Penyunting: Rika Harini Irawati dan Herry Purnomo, CIFOR-Bogor, 2012.

P

ERDAGANGAN mebel dunia berkembang sangat pesat. Tahun 2010, nilai perdagangan komoditi ini mencapai hampir 1,4 milyar dolar AS. Mebel dari kayu jati dan mahoni paling diminati di dunia karena alasan kekuatan dan estetika. Indonesia sebagai salah satu pemasok terbesar dunia, sangat berkepentingan dengan keberlanjutan industri mebel. Pasalnya, industri ini menyerap tenaga kerja yang besar, teknologi yang relatif dikuasai, dan bernilai ekonomi tinggi. Salah satu daerah penghasil mebel adalah Jepara, Jawa Tengah. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jepara tahun 2010, daerah ini menyumbang sekitar 10 persen dari total ekspor mebel Indonesia. Sebagai daerah yang terkenal dengan kerajinan ukir dan pusat industri mebel baik di Indonesia maupun dunia, Jepara terus mengembangkan potensinya untuk kembali mencerahkan permebelan Indonesia. Gambaran tentang industri permebelan Jepara, perjuangan dan prestasi yang berhasil ditorehkan para pelakunya diuraikan dalam dua buku yang diterbitkan Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, baru-baru ini. Buku pertama berjudul “Menunggang badai: Untaian kehidupan, tradisi dan kreasi aktor mebel Jepara.” Kedua, berjudul “Pelangi di Tanah Kartini: Kisah aktor mebel Jepara bertahan dan melangkah ke depan.” Keduanya merupakan hasil penelitian kaji-tindak yang dilakukan oleh CIFOR yang didukung oleh Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Riset ini dilaksanakan sejak tahun 2008, dan akan berakhir hingga 2013.

Bertahan di pusaran pasar mebel dunia Buku “Menunggang Badai...” memaparkan persaingan yang ketat di antara para aktor untuk bertahan dan sukses dalam bisnis permebelan dunia. Keadaan ini dialami oleh Jepara sebagai pusat industri mebel dengan budaya ukir yang tinggi. Pengrajin, pengusaha besar, birokrat dan budayawan berkisah tentang realitas, tantangan dan usaha yang mereka lakukan untuk bertahan. Mereka adalah gambaran dari ribuan orang yang mencoba untuk bertahan dan mencerahkan mebel Jepara khususnya dan Indonesia pada umumnya. Ada Margono, seorang pengrajin mebel skala kecil. Di sini ia mengungkapkan pengalamannya bekerja di industri mebel, susah-senang dalam mengembangkan

Sementara, buku “Pelangi di Tanah Kartini...” mengisahkan keragaman pelaku industri mebel yang saling melengkapi seperti sebuah pelangi yang indah. Terdapat kisah pengrajin kecil, perjuangan perempuan pelaku industri mebel dan ukir, sekelompok petani hutan, penggiat seni ukir relief serta dari kalangan birokrat. Harapannya, kisah mereka dapat menginspirasi dan menjadi pelajaran berharga bagi kelangsungan industri mebel di Indonesia, khususnya di Jepara. Dalam riset aksi ini, peran para aktor lokal sangat penting. Mereka sudah sekian lama berkutat dalam dinamika industri mebel dan berusaha bertahan serta sukses dalam mengembangkan industrinya. Mengambil cara penulisan yang relatif sama dengan buku sebelumnya, buku ini mengungkapkan beberapa pengalaman pribadi para pelaku industri mebel yang ditulis langsung oleh pelakunya. Para pelaku ini terdiri dari pengrajin pria dan wanita, petani hutan dan pengambil kebijakan. Cerita-cerita ini memberikan perspektif nyata mengenai mebel Jepara dari para aktor industri di lapangan, baik pria maupun wanita. Seperti kisah Sutrisno, seorang pengukir relief Jepara. Putra asli Jepara yang juga lulusan Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1996) meyakini bahwa seni relief kayu Jepara punya keunggulan unik yang berbasis budaya Jepara sehingga harus dilestarikan dan dikembangkan. Pemahaman dan keterampilan yang mendalam tentang relief menjadikannya sebagai seorang yang disegani di kalangan seniman Jepara. Sutrisno juga seorang penggiat koperasi yang berhasil menumbuhkembangkan koperasi di lingkungannya. Sedang sosok Intiyah yang diceritakan dalam buku ini menggambarkan perjuangan perempuan dalam industri mebel jati di Jepara. Ia adalah perempuan pengrajin ukir lokal di Desa Menganti, Jepara. Ia belajar mengukir dari pemahaman tentang ornamen dan ukiran, motif ukiran, serta peralatan. Selain itu Intiyah juga menjadi kader desa yang aktif berkiprah di Koalisi Perempuan Indonesia dan mencoba mengurai tantangan perempuan dalam dunia permebelan. Cerita Sudiharto agak berbeda. Ia adalah anggota sebuah kelompok tani di Jepara. Sudiharto menceritakan tentang hutan rakyat dan hutan yang dikelola Perhutani, beserta perhatiannya terhadap kerusakan hutan karena pembalakan liar dan kegiatan tambang. Ia juga menyoroti kegiatan Pemda Jepara dan kelompoknya dalam menghijaukan Jepara demi perbaikan lingkungan dan pasokan bahan baku mebel. Tak hanya pengrajin dan pengusaha, buku ini juga mengangkat sosok birokrat yang bergelut di bidang permebelan. Di sini diceritakan tentang Sujarot, sosok birokrat yang telah malang melintang di dunia kebijakan kehutanan dan permebelan di Jepara. Dari pengalaman itu, ia mempunyai pemikiran yang unik tentang efisiensi bahan baku, high-end product, eksplorasi sumber bahan baku kayu jati, permodalan, standardisasi harga, kemitraan, dan strategi untuk menembus pasar mebel. Kontribusi pemikirannya sangat penting bagi pengembangan industri mebel pada masa mendatang. Dari cerita-cerita tersebut diharapkan kita dapat mengambil pelajaran untuk meningkatkan keberlangsungan industri mebel di Jepara. Ini dilakukan tidak hanya karena alasan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tetapi juga karena alasan budaya dan kegigihan masyarakat mempertahankan karya dan peradaban mereka. Cerita keinginan masyarakat dalam meningkatkan nilai tambah dari produk asli mereka ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang menekuni wirausaha berbasis hutan. 5

EDISI FEBRUARI 2013

13


IN MEMORIAM

Sujarni Alloy

Hidup Itu Sejar ah Sejarah Naskah: Rufinus Daeng

O

KTOBER 2004. Institut Dayakologi, sebuah lembaga yang berfokus dalam penelitian, advokasi kebudayaan Dayak, mendorong peningkatan kesadaran perempuan, dan ekonomi kerakyatan masyarakat Dayak mengadakan seminar dan lokakarya tentang adat budaya. Di sini saya mulai mengenal sosok Sujarni Alloy yang bekerja di Institut Dayakologi. Selain menggelar semiloka, saat itu ia sedang melakukan penelitian terhadap wilayah masyarakat Dayak. Dari situ saya mengetahui, ia menyukai Kampung Sanjan. Ia senang karena hutan adat di kampung ini masih terjaga. Masyarakat di kampung ini menjunjung tinggi adat istiadat. Semiloka ini melahirkan sebuah lembaga yang akan berperan menguatkan kelembagaan Adat dan merevitalisasi budaya tradisi lisan, yaitu Perkumpulan Tapakng Olupm Macatn Sangi yang di singkat TOMAS. Persahabatan kami semakin erat setelah saya terpilih sebagai ketua TOMAS, sedang ia menjadi manajer program yang mendampingi TOMAS dalam melaksanakan kerjasama dengan Institut Dayakologi sesuai dengan nota kesepakatan. Selama satu tahun, ia bolak balik antara Pontianak-Sanggau. Setiap tiga bulan ia datang ke Sanjan. Ia adalah sosok sahabat dan guru yang baik. Saat mendampingi, banyak hal yang dapat dipelajari. Sosok santun disukai para orang tua, sikapnya ramah serta bicara sopan. Ia juga memiliki karakter kepemimpinannya tidak dipunyai para pemimpin lainnya. Kecendikiawanannya tentang masyarakat Dayak sudah diakui luas lewat hasil-hasil penelitiannya. Seorang peneliti yang telah menjejakkan kaki di seluruh kampung dan kota di Kalimantan Barat. Hampir tak seorangpun yang pernah melakukan hal serupa termasuk pejabat daerah seperti bupati atau gubernur. Hasil penelitiannya dituangkan dalam sebuah buku berjudul Keberagaman Suku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat diterbitkan oleh Institut Dayakologi. Ini penelitian yang lengkap dan menjadi referensi utama bagi peneliti lain yang melakukan penelitian terhadap masyarakat Dayak. Di balik kecendikiawanannya, saya lebih mengenalnya sebagai sosok yang bersahaja dan sederhana. Di Sanggau, ia sering menginap di rumah saya. Ini yang membuat saya paham minuman kesukaannya: kopi pahit tanpa gula. Sebaliknya, bila saya pergi ke Pontianak, saya menginap di rumahnya. Kami kerap berdiskusi tentang banyak hal. Dan, saya banyak menimba ilmu darinya. “Hidup itu sejarah,” katanya suatu kali kepada saya. “Hanya apakah kita akan tercatat dalam sejarah atau kita hilang dari sejarah.” Bagi saya, ia merupakan sosok seorang pejuang bagi masyarakat Dayak. Ia terlibat aktif dalam sejumlah organisasi. Lewat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kalimantan Barat, ia mendorong pemberdayaan dan kemandirian masyarakat Dayak. Ia selalu mengajak saya dalam kegiatan besar AMAN di

14

EDISI FEBRUARI 2013

Sanggau untuk jadi ketua panitia lokal. Dari sini saya paham betul karakter seorang pemimpin: memberi kepercayaan kepada orang lain untuk membantunya. Saya masih ingat beberapa pernyataan sederhana yang sangat berarti bagi saya. Termasuk yang selalu ia sampaikan kepada masyarakat Adat. “Bila kamu menyepelekan budayamu, maka hilanglah identitasmu,” kata-kata itu begitu membekas dalam ingatan saya. Apa yang rasakan tampaknya juga diungkapkan Sekjen AMAN Abdon Nababan pada saat misa requiem di Gereja St. Agustinus. Di sana ia mengatakan, “Bapak Sujarni Alloy tidak saja bekerja sesuai dengan manajemen organisasi, tapi ia bekerja dengan ketulusan hati. Panggilan jiwa sebagai aktivis sejati membuatnya bekerja ekstra. Kasus-kasus masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit, tambang dan hutan Adat selalu jadi perhatian. Saya masih ingat beberapa kasus-kasus yang menyedot perhatiannya. Perjuangan membebaskan Kepala Desa Semunying Jaya dari Tahanan Polres Bengkayang, karena mempertahankan hutan adat. Kasus lainnya, ia berjuang membebaskan Andi dan Japin masyarakat Adat Tanjung Kabupaten Ketapang dikriminalisasi oleh perusahaan sawit. Pekerjaan ini dilakukan bersama beberapa lembaga yang ada di Pontianak, terutama gerakan Pancur Kasih. Ia ikut memperjuangkan legalitas Hutan Adat yang diaspirasikan oleh masyarakat adat Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ia memperjuangkan pemetaan Hutan Adat Sanjan Sebiau dan pengakuan Pemerintah Kabupaten Sanggau bersama Perkumpulan TOMAS. Di tengah pelbagai kesibukan dan perjuangannya untuk masyarakat adat, ia mengingatkan saya akan mulianya perjuangan seorang aktivis. Suatu kali ia bilang, “Sadarilah bahwa kita lahir bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi kita dibutuhkan oleh banyak orang”. Yang paling berkesan dan selalu diingat adalah pada saat kami dari Pengurus TOMAS menyelesaikan satu pekerjaan dan mendesak harus diselesaikan. Semalaman ia tidak tidur, sementara kami bertiga bergantian tidur, satu diantara kami menemani beliau. Kecintaan Sujarni Alloy terhadap lingkungan, terutama untuk keadilan atau keseimbangan lingkungan menjadi hal mendasar yang penting dan harus diperjuangkan. Baginya tanah, hutan dan air merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tanah melambangkan kehidupan, hutan adalah nafas hidup, dan air adalah darah yang mengalir. Pengelolaan hutan berkelanjutan dan memperhatikan aspek lingkungan merupakan hal terpenting dalam pembangunan. Hentikan pembabatan hutan Adat untuk perkebunan skala besar, hutan tanaman Industri dan tambang. Baginya masyarakat Adat yang berdaulat adalah masyarakat Adat yang mengelola tanah dan hutannya sendiri untuk kesejahteraan dan diwariskan kepada anak cucu. Ini adalah perjuangan yang harus dilanjutkan oleh para generasi muda dan teman aktivis lainnya 5


KABAR FKKM

FKKM

bersama RECOFTC dan LSM BALANG menggelar Lokalatih Kehutanan Masyarakat, Kewirausahaan dan Perubahan Iklim yang dilakukan di Balai Desa Labbo, Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan. Acara ini digelar pada 5-10 Januari 2013. Selain staf dinas Kehutanan dan LSM pendamping, lokalatih diikuti oleh 28 peserta yang merupakan pengelola beraneka ragam kehutanan masyarakat: hutan desa, hutan kemasyarakatan (Hkm), hutan kemitraan maupun hutan rakyat yang tersebar di kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, dan Maros. Lokalatih ini merupakan bagian dari upaya mengembangkan kapasitas kelompok pengelola kehutanan masyarakat dalam kewirausahaan berbasis sumberdaya alam dalam kerangka perubahan iklim. Tujuannya, memberi pemahaman terkini tentang isu perubahan iklim dan kaitannya dengan peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan; mengembangkan kewirausahaan dalam pengelolaan hutan yang lestari dalam kerangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; mengembangkan strategi dan mekanisme perencanaan pengelolaan sumberdaya hutan yang kolaboratif dalam kerangka perubahan iklim; dan Memberikan keterampilan kepada para pemangku kepentingan pengelola hutan untuk mengelola hutan secara lestari dalam kerangka perubahan iklim. Dalam lokalatih ini, peserta diajak untuk mengenali dampak dan petanda Perubahan Iklim yang dipandu oleh Hasantoha Adnan. Selain itu, peserta juga diajak untuk merefleksikan model pengelolaan kehutanan masyarakat yang berkelanjutan serta peluang kewirausahaannya yang dipandu dan disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Samsu Alam, Kepala Dinas Pertanian Bantaeng dan juga anggota Dewan Pengurus Nasional FKKM. Materi berikutnya berkenaan dengan mengembangkan Kewirausahaan Kehutanan Masyarakat: Strategi dan Tahapan Pengembangan, yang dipandu oleh Awaluddin dari SCF. Dalam materi tersebut, peserta diperkenalkan dengan 3 tahapan dalam penilaian dan pengembangan wirausaha berbasis sumberdaya alam. Tahap pertama adalah upaya untuk menilai kondisi saat ini. Peserta diminta untuk mengidentifikasi model pengelolaan kehutanan masyarakat, potensi sumberdaya alamnya terutama yang bernilai ekonomi dan menyusun prioritas produk berdasarkan 4 kriteria seleksi: pasar, pengelolaan sumberdaya alam, kelembagaan dan kebijakan, serta teknologi dan pengetahuan. Tahap kedua adalah mengidentifikasi produk, pasar dan cara pemasarannya. Disini peserta selain mengidentifikasi hambatan utama dari system pasar yang ada, mengidentifikasi pelaku pasar dan rantai pasar. Tahap ketiga berupa merancang strategi pengembangan usaha dengan menggunakan alat kanvas model bisnis serta menyusun monitoring evaluasi. Di tahapan ketiga ini kemudian peserta diminta untuk merancang strategi bisnisnya masingmasing. Strategi bisnis ini nantinya akan dievaluasi dalam 3 bulan ke depan. Peserta juga berkesempatan melihat secara langsung pengelolaan air desa yang mengaliri lebih dari 400 rumahtangga di desa Labbo, Bantaeng. Akhirnya, kegiatan ditutup oleh sambutan dari Sekretraris DInas Kehutanan dan Perkebunan Bantaeng.5

Memperkuat kapasitas wirausaha pengelola kehutanan masyarakat dalam kerangka perubahan iklim

Kunjungan lapangan_KABAR FKKM

Lokakarya CC dan KM Bantaeng

EDISI FEBRUARI 2013

15

Penutupan Lokakarya WU_KM dan CC di Bantaeng


16

EDISI FEBRUARI 2013


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.