
Alkisah, hidup seorang nenek sebatang kara di Bangka Belitung. Ia hidup sendiri bekerja sebagai seorang petani. Suatu hari, nenek yang lelah setelah bekerja berangan-angan jika ia punya anak yang dapat membantunya bekerja. Nenek pun berharap untuk dikaruniai anak, meskipun berbentuk katak.

Akhirnya, nenek tua itu terkabul permintaannya dan hamil dengan seorang anak. Namun, hal ini membuat warga berbisik, heran bagaimana si nenek bisa hamil padahal suaminya sudah lama meninggal. Warga semakin riuh saat mengetahui anak yang lahir berwujud katak.

Nenek tetap memutuskan untuk membesarkan anaknya itu. Si anak tumbuh menjadi pemuda yang baik dan rajin. Warga pun mulai menyukainya, dan menyebutnya Bujang Katak. Saat nenek menceritakan tentang negeri tempat mereka tinggal, Bujang Katak tertarik untuk menikahi salah satu putri negeri itu.

Bujang Katak akhirnya pergi menemui sang raja. Raja menyampaikan pinangan Bujang Katak ke tujuh putrinya. Namun, keenam putri raja menolak Bujang Katak karena tampaknya, kecuali putri bungsu.

Raja pun memberikan syarat kepada Bujang Katak jika ingin menikahi putri bungsu. Raja meminta Bujang Katak membuat jembatan emas dalam satu minggu atau dia akan dihukum mati. Bujang Katak menyanggupi syarat itu.

Bujang Katak pergi untuk bertapa. Pada hari ketujuh, tiba-tiba kulit Bujang Katak terkelupas dan terdengar suara yang menyuruhnya membakar kulit itu. Bujang Katak berubah menjadi pemuda yang tampan. Kulit kataknya dibakar dan berubah menjadi emas, digunakannya untuk membuat jembatan.

Raja pun akhirnya memberi restu kepada Bujang Katak. Putri-putri lain yang melihat ketampanan Bujang Katak sekarang, menyesal telah menolak pinangannya.

Raja marah saat mengetahui putri-putrinya memelihara katak sawah di dalam lemari. Mereka berharap katakkatak itu akan berubah jadi pemuda tampan seperti Bujang Katak. Namun, bukannya keinginan mereka terkabul, raja malah menghukum putri-putri itu.

