Bulang Cahaya

Page 18

Bulang Cahaya

kualitas udara benar-benar buruk. Tapi data itu seperti tidak bernyawa. Seperti mati lemas oleh kelam dan kabut itu sendiri. Kebakaran hutan dan belukar terjadi di mana-mana. Baik karena sengaja dibakar, atau pun karena keteledoran. Karena puntung rokok yang dicampakkan, atau pergesekan dedahan belukar yang kering. Semua seperti ingin berebut mana yang bisa lebih tinggi mengotori langit. Titik-titik api yang membara dilaporkan terjadi di semua daerah. “Inilah sebenarnya bahaya yang paling mengerikan bagi nasib umat manusia. Memburuknya iklim dunia. Termasuk rusaknya kualitas udara tempat manusia itu sendiri menghirup sumber kehidupannya. Bumi cuma satu. Manusia yang hidup di atasnya juga tahu. Tapi terus saja seperti tak mau tahu. Terus merusak. Baik karena miskin, maupun karena kaya,“ Raja Ikhsan seperti bersungut-sungut. Tidak tahu sedang protes pada siapa. Kalau sudah mengingat kenyataan demikian itu, tensi darahnya langsung naik. Dia mudah emosi, dan bisa memaki-maki siapa pun, dan di mana pun. Hari itu dia baru pulang dari kantornya. Kantor sebuah majalah sastra dan budaya. Dialah Chief Editor-nya. Sudah hampir sepuluh tahun dia berkarya di sana. Raja Ikhsan sangat menikmati kerjanya. Semangatnya mengokohkan fisiknya. Usianya memang sudah lebih 60 tahun, tapi masih tegap dan sehat. Bicaranya masih menggebu-gebu. Di rumah, Raja Ikhsan juga tidak mau menganggur. Menulis dan terus menulis. Tidak siang, tidak malam. Apalagi sejak punya laptop. Kalau sudah kelihatan kelelahan, isterinya sering menasehatinya agar tidak terlalu maniak dalam bekerja. “Cari uang ya cari uang. Tapi jangan sampai bunuh diri. Ingat anak isteri. “ “Ini bukan hanya soal cari uang. Ini soal hidup, soal karya, ” jawab Raja Ikhsan. Tapi hanya di dalam hati. Isterinya mungkin tidak akan mengerti kalau pun harus dia jelaskan mengapa dia 11


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.