Bulang Cahaya

Page 1



RIDA K LIAMSI

BULANG CAHAYA SEBUAH NOVEL


Bulang Cahaya

Rida K Liamsi Bulang Cahaya Sebuah Novel Editor: Dahlan Iskan Hary B Kori’un Desain Sampul/Tata Letak Furqon LW Diterbitkan pertama kali oleh JP Book, Surabaya, bekerjasama dengan Yayasan Sagang, Pekanbaru

Hak cipta dilindungi undang-undang. Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KTD) Rida K Liamsi, Bulang Cahaya, Sebuah Novel Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2007 ISBN: Cetakan pertama, Juli 2007

ii


Bulang Cahaya

ROSE Rasa rinduku padamu adalah ragi rapuhkan ranting ragaku adalah racun lecuhkan urat raguku adalah rayap runtuhkan ruang rahasiaku

iii


Bulang Cahaya

Daftar Isi Catatan Pembuka dari Penulis ........................................ 1 Prolog ............................................................................... 9 1. Luka yang Berdarah Kembali ...................................... 17 2. Burung Elang Berekor Panjang .................................... 35 3. Ranjang Pengantin Melayu Bugis ................................. 45 4. Dendam Sejarah di Teluk Ketapang ............................ 59 5. Mengasah Pedang, Membarakan Dendam ................... 99 6. Membawa Rindu, Membunuh Benci .......................... 125 7. Desau Air, Hanyutlah Kasih ....................................... 145 8. Membawa Dendam ke Tumasik ................................ 155 9. Sembilu Cinta di Ulu Hati .......................................... 189 10. Dari Kelang Garuda Terbang ..................................... 201 11. Mengubur Mimpi di Indera Sakti ............................... 241 12. Dendam Seorang Kekasih ......................................... 257 Epilog ............................................................................ 315 Catatan Penutup: Antara Cinta, Kekuasaan dan Marwah ............................. - oleh Maman S Mahayana ............................................. 319


Bulang Cahaya

v



Bulang Cahaya

Catatan Pembuka Oleh Penulis NOVEL Bulang Cahaya ini, ditulis dengan setting daerah Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semananjung Malaysia,dengan latar belakang sejarah Kerajaan Melayu Riau Lingga. Tetapi, novel ini tetaplah sebuah karya fiksi. Sebuah karya hasil rekaan dan imajinatif. Karena itu, kalau sekiranya di dalam novel ini terdapat nama, waktu, peristiwa, dan indikasi-indikasi lainnya yang sama atau hampir bersamaan dengan nama-nama tokoh sejarah, sama dengan peristiwa, dan sama dengan waktu di mana Kerajaan Riau Lingga itu eksis, maka semuanya itu adalah suatu kebetulan, yang dimaksudkan bukan sebagai fakta sejarah, namun semata-mata hanya untuk dijadikan sebagai alur dan kerangka cerita, agar berbagai peristiwa yang diceritakan, yang sempat terpikirkan, akan menjadi mudah diingat, gampang dibaca, dan enak direnungkan. Novel ini, semula saya rencanakan berupa sebuah trilogi. Bagian pertama diberi judul “Luka Yang Berdarah Kembali�, dan sempat dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Riau Pos, beberapa tahun lalu. Namun karena teknis pemuatannya kurang teliti, dan terdapat banyak salah ketik, salah sambung dan lainnya, sehingga menjadi karya yang sangat tidak utuh. Banyak kelemahan, dan memerlukan revisi dan penulisan ulang. Bagian kedua diberi judul “Merajut Mimpi di Inderasakti�, sudah hampir rampung dan siap untuk dipublikasi. Namun dengan berbagai pertimbangan, dan perbaikan di sana-sini, akhirnya bagian ini tetap belum ter 1


Bulang Cahaya

publikasikan. Bahagian ketiga, direncanakan akan diberi judul “Dendam Seorang Kekasih�, belum sempat ditulis, meski kerangka ceritanya sudah disiapkan. Tetapi, ketika ketiga-tiga bagian itu saya baca ulang, dan saya kembangkan sebagai sebuah kerangka cerita yang utuh dan berkelanjutan, maka saya membayangkan ceritanya mengalir bagaikan cerita dalam film drama sejarah Helen of Troy. Akhirnya saya memutuskan untuk menyatukan saja semua bagian tersebut sebagai sebuah cerita, dan kemudian memberikannya judul Bulang Cahaya. Sebuah judul yang tidak serta-merta merujuk dan menunjuk pada nama tokoh- tokoh dalam novel ini. Tidak juga untuk menandai peristiwa-peristiwa utamanya yang menjadi teras novel ini. Judul ini lebih dimaksudkan untuk melambangkan sebuah sisi kehidupan, sebuah percikan waktu dan dinamika hidup, di mana cinta, harapan, dendam, benci, dan ketidakberdayaan menyatu dan berbancuh di dalamnya. Saya selalu terkesan dengan pantun lama Melayu: Sudah tahu peria pahit Mengapa digulai dalam pasu Sudah tahu bercinta sakit Mengapa tak jera dari dahulu Novel ini ujud, tentu saja berkat bantuan dan dukungan banyak pihak. Baik dalam bentuk gagasan, saran maupun percikanpercikan percakapan yang menjadi sumBulang Cahayaber inspirasi. Karena itu, saya ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang dalam kepada semua pihak yang telah membantu.

2


Bulang Cahaya

Hasan telah mendedahkan kepada saya sejumlah aspek dramatik dari bingkai sejarah Kerajaan Riau Lingga yang kemudian mengilhami saya untuk menjadikannya sebagai alur cerita dan peristiwa yang dibangun dalam novel ini. Hasan Junus juga telah menunjukkan kepada saya fase-fase penting dari sejarah Kerajaan Riau Lingga yang menarik untuk diangkat sebagai kekuatan dan teras cerita ini. Saya berhutang budi padanya, karena melalui berbagai buku yang telah ditulisnya, terutama tentang perjalanan sejarah dan kebudyaaan Melayu Riau, telah menjadi referensi saya. Saya telah mencatat bagian-bagian yang menarik dari bukubuku itu, untuk saya renungkan dan kemudian menjadi nafas dan geliat dalam novel ini. Tak jarang dalam berbagai diskusi dengannya, saya mendapat semangat dan inspirasi baru untuk memperkaya novel ini. Untuk bahan riset saya memang membaca juga beberapa sumber sejarah Kerajaan Riau Lingga seperti Tuhfat an Nafis karya Raja Ali Haji, Silsilah Melayu Bugis karya Arenawati, Sejarah Riau (Muchtar Luthfi dkk.) dan karya-karya bernafaskan sejarah Riau Lingga lainnya. Bahkan berdasarkan bahan bacaan itu, beberapa tahun lalu saya pernah membuat sebuah kertas kerja dengan judul “Ranjang Pengantin Melayu-Bugis“ untuk bahan diskusi yang diselenggarakan oleh KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Riau yang diadakan di Pulau Penyengat. Kertas kerja itu boleh dikatakan menjadi embrio novel ini. Terima kasih yang dalam juga saya sampaikan kepada saudara Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group, yang bukan hanya seorang entrepreneur yang sukses dan wartawan yang handal, tetapi juga pembaca yang sangat kritis. Dia telah membaca bab demi bab dari novel ini, yang saya e-mail-kan kepadanya

3


Bulang Cahaya

di Tian Jin, China, dan dia telah membuat beberapa catatan dan melakukan editing yang sangat baik, sehingga telah ikut memberi warna dan kekuatan lain bagi isi novel ini. Kesediaannya meluangkan waktu, sungguh merupakan surprise buat saya, dan telah menandai persahabatan intelektual kami yang telah kami bangun selama ini. Kemudian, tentu saja terima kasih yang sama besarnya kepada saudara Hary B Kori’un, dan Furqon LW, dua anggota dewan redaksi harian pagi Riau Pos. Koriun yang juga seorang novelis itu,telah mengedit bahasa, struktur kalimat, dan istilahistilah,sehingga novel ini tetap terjaga dalam aspek bahasanya, namun tetap terasa geliat dan semangat kemelayuannya. Sementara Furqon yang juga seorang perupa, merancang ilustrasi sampul dan menata wajah buku ini, sehingga novel ini, menjadi sebuah buku yang menarik, mudah dibaca, dan gampang dibawa. Novel ini, juga disertai dengan sebuah catatan penutup yang ditulis oleh saudara Maman S Mahayana, seorang sastrawan Indonesia yang sangat dikenal dengan kritik dan telaah sastranya. Dengan catatan itu, novel ini menjadi sebuah karya yang dapat berbagi pikir kepada pembaca dengan sejumlah pemahaman dan pandangan-pandangan yang sangat menarik dan kritis.Untuk itu, saya sangat berterima kasih kepadanya, yang telah bersedia meluangkan waktunya, untuk menulis catatan-catatannya. Sebuah kehormatan lain buat saya. Akhirnya, novel ini saya dedikasikan kepada isteri saya Asmini Syukur yang senantiasa sabar dan tetap memberi ruang dan waktu bagi saya untuk menyiapkan novel ini. Juga kepada anak-anak dan cucu saya, dan mereka yang selama ini juga telah menjadi lautan dan samudera cinta saya.

4


Bulang Cahaya

Elang putih berekor panjang mengigal berahi di ujung tanjung mengirim isyarat ke semua pintu : Terimalah cintaku cinta tak berkeris cinta tal bersuku cinta yang tak tersurat dalam lagu-lagu Angin berkisar perahu berlayar ku dengar sendumu di ujung sitar : layang-layang bertali benang putus benang tali belati cinta ku lepas, cinta ku kenang cinta sejati, ku biar pergi hati ku kusut rindu ku hanyut berahi ku luput Ombak gemuruh

5


Bulang Cahaya

mengobar dendam membakar hari mengubur mimpi mengirim rindu ke semua pintu : Inilah cinta ku ku dulang jadi timah ku pahat jadi patung ku rendam jadi rempah ku gulai bagai rebung ku simpan duka ku sampai ke ujung Kemarau menderau padang kerontang sedih pedih dendam rindu sangkak pantang sumpah seranah jadi barah jadi luka sejarah Elang putih berekor panjang mengingal sendiri di ujung petang 6


Bulang Cahaya

mengirim rindu ke semua pintu : Kini cinta ku jadi sembilu

Pekanbaru, Juli 2007.

7


Bulang Cahaya


Bulang Cahaya

Prolog “AYAH, itu ada kiriman dari Belanda. Tebal amplopnya,” kata Raja Azizah kepada Raja Ikhsan, ayahnya. “Tapi pasti bukan wesel-lah.“ Anak tunggal Raja Ikhsan itu sudah menginjak dewasa. Sudah bisa menggoda ayahnya yang sering mendapat honorarium tulisan dari karya-karya yang dimuat di berbagai media lewat pos wesel. “Ya. Taruh di situ. Jangan menyindir soal wesel. Sebab kalau datang, engkau yang paling dulu menghabiskan. Mana kiriman itu.” Azizah membawa amplop tebal itu bersama teh es pesanan ayahnya. Ikhsan segera merebut teh esnya dan meneguknya dalamdalam. Lalu membawa gelas yang hampir kosong itu bersama kiriman dari Belanda itu meluru ke meja kerjanya. Matahari siang di bulan Juli bukan main teriknya. Ubun-ubun Raja Ikhsan seakan hangus. Bibirnya kering. Sejak masih jauh dari rumah dia sudah ingin benar meneguk segelas teh es. Karena itu, begitu memasuki rumah yang dia lakukan pertama adalah berteriak memanggil anaknya. Minta dibuatkan teh es. Haus. “Jahanam. Panasnya bukan main. Kemarau tak sudahsudah,“ teriaknya. Raja Ikhsan menyumpahi cuaca yang buruk. Waktu mau masuk rumah, kakinya nyaris tersangkut di bendulan semen pintu. Tergesa-gesa menghindar panas hari. Rumahnya yang mungil dan tidak jauh dari bibir jalan kelihatan juga berdenyar di bawah terkaman matahari siang. Begitulah kota Pekanbaru, kalau tiba musim kemarau. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini makin parah. Sudahlah kemarau, udara sehari-hari juga kelam dan berkabut. Kadang sampai sore pun masih tidak lebih baik. Papan penunjuk kualitas udara di beberapa simpang kota, selalu memberi data bahwa 9


Bulang Cahaya

kualitas udara benar-benar buruk. Tapi data itu seperti tidak bernyawa. Seperti mati lemas oleh kelam dan kabut itu sendiri. Kebakaran hutan dan belukar terjadi di mana-mana. Baik karena sengaja dibakar, atau pun karena keteledoran. Karena puntung rokok yang dicampakkan, atau pergesekan dedahan belukar yang kering. Semua seperti ingin berebut mana yang bisa lebih tinggi mengotori langit. Titik-titik api yang membara dilaporkan terjadi di semua daerah. “Inilah sebenarnya bahaya yang paling mengerikan bagi nasib umat manusia. Memburuknya iklim dunia. Termasuk rusaknya kualitas udara tempat manusia itu sendiri menghirup sumber kehidupannya. Bumi cuma satu. Manusia yang hidup di atasnya juga tahu. Tapi terus saja seperti tak mau tahu. Terus merusak. Baik karena miskin, maupun karena kaya,“ Raja Ikhsan seperti bersungut-sungut. Tidak tahu sedang protes pada siapa. Kalau sudah mengingat kenyataan demikian itu, tensi darahnya langsung naik. Dia mudah emosi, dan bisa memaki-maki siapa pun, dan di mana pun. Hari itu dia baru pulang dari kantornya. Kantor sebuah majalah sastra dan budaya. Dialah Chief Editor-nya. Sudah hampir sepuluh tahun dia berkarya di sana. Raja Ikhsan sangat menikmati kerjanya. Semangatnya mengokohkan fisiknya. Usianya memang sudah lebih 60 tahun, tapi masih tegap dan sehat. Bicaranya masih menggebu-gebu. Di rumah, Raja Ikhsan juga tidak mau menganggur. Menulis dan terus menulis. Tidak siang, tidak malam. Apalagi sejak punya laptop. Kalau sudah kelihatan kelelahan, isterinya sering menasehatinya agar tidak terlalu maniak dalam bekerja. “Cari uang ya cari uang. Tapi jangan sampai bunuh diri. Ingat anak isteri. “ “Ini bukan hanya soal cari uang. Ini soal hidup, soal karya, ” jawab Raja Ikhsan. Tapi hanya di dalam hati. Isterinya mungkin tidak akan mengerti kalau pun harus dia jelaskan mengapa dia 11


Bulang Cahaya

terus menulis. Di rumah. Di kantor. Karena itu dia tidak ingin berbantah dengan isterinya. Dia langsung ke meja kerjanya dan mulai membuka amplop tebal dari Belanda. “Hhm, dari Jan Van der Plaas,“ gumamnya. Jan adalah sahabatnya. Mereka bertemu ketika Jan datang ke pusat pemerintahan kerajaan Melayu Riau masa lalu, Pulau Penyengat. Di situ Jan berbulan-bulan, melakukan penelitian sejarah kerajaan Melayu Riau untuk bahan disertasinya. Raja Ikhsan menjadi salah satu narasumbernya. Juga banyak meminjamkan buku-buku dan bahan referensi yang penting. Karena itu Jan sangat berhutang budi pada Raja Ikhsan . Sebagai bentuk terima kasih dia selalu mengirimi Ikhsan buku-buku dan naskah-naskah lama. Tidak hanya mengenai kerajaan Melayu Riau tapi juga tentang sejarah kerajaan Melayu di semenanjung Malaysia.tv “Anda beruntung punya Leiden dan Utrecht,” kata Raja Ikhsan kepada Jan saat anak muda itu akan kembali ke Belanda. Ikhsan tahu bahwa di dua universitas itu tersimpan naskah-naskah lama tentang Riau dan Melayu. Di Riau, dan tempat-tempat lain di rantau ini, semua peninggalan sejarah, terutama naskah-naskah kuno itu sudah hampir punah dan tidak diperdulikan. “Kalau bisa copy-kan dan kirim ke saya,” kata Ikhsan terakhir kali,sewaktu Jan sudah masuk ke kapal ferry di dermaga Tanjungpinang, di seberang pulau Penyengat. Jan mengangguk dan mengangkat dua jarinya tanda berjanji. Dia senang, akan segera meninggalkan Penyengat, Tanjungpinang, lalu menuju Singapura. Dengan rute itu, dia akan kembali melakukan napak tilas pusat-pusat utama peristiwa sejarah kerajaan Melayu Riau yang sedang ditelitinya. Dari Singapura nanti, dia akan menyeberang jembatan dan menuju kota Johor, pusat awal kerajaan Melayu Johor itu, sebelum dipindahkan ke Riau. Setelah itu, dia akan mampir di Malaka, negeri yang menjadi cikal bakal kerajaan Melayu. Setelah itu, ke 12


Bulang Cahaya

Selangor dan beberapa tempat penting lain di semenanjung Malaysia yang menjadi mata rantai sejarah dan pergulatan kekuasaan di Imperium Melayu itu, yang eksis hampir 500 tahun. Setelah kembali ke Den Haag, tempat dia bermukim, hampir 3 bulan sekali Jan mengirimi Ikhsan bahan-bahan yang ditemukannya. Sebuah persahabatan intelektual yang, menurut Ikhsan sangat berharga. Dan persahabatan demikian itu bukan hanya dengan Jan. Beberapa peneliti asing, kebanyakan dari Belanda dan Australia, juga telah menjadi sahabatnya dan mereka saling berbagi budi. “Apa kabar, Pak Ikhsan? Mudah-mudahan selalu sehat ya! Ini saya kirimkan satu copy naskah lama yang saya temukan di perpustakaan Leiden. Tidak jelas siapa penulisnya, tetapi menarik sekali. Sebuah cerita lama dengan latar belakang sejarah Riau Lingga. Sebuah pergulatan kekuasaan dengan warna romantisme lama. Sangat mengesankan. Tapi dalam soal sejarah Melayu Riau, tentu Pak Ikhsan lebih paham daripada saya. Baca dan simpanlah sebagai kenang-kenangan dari saya dan terima kasih karena menjadi sahabat saya selama ini. Salam, dan juga untuk keluarga dan sahabat-sahabat di Riau,“ begitu isi surat yang mengantar naskah yang tersimpan dalam amplop tebal. Kuning dan bersegel. Raja Ikhsan tersenyum membaca isi surat itu. Gaya khas Jan. Selalu menggoda dan menggelitik . Dia lalu mengeluarkan naskah itu. Membalik-baliknya. Ditulis dalam huruf Arab Melayu. “Ini pasti ditulis oleh orang Melayu. Mungkin orang Riau, atau mungkin orang Malaysia,“ katanya dalam hati. Dia mulai membaca halaman demi halaman. Ikhsan langsung terkesan dengan naskah lama itu. Sebuah cerita roman yang setting dan aktor ceritanya sudah amat dikenalnya. Para pembuat sejarah, dan para pemberi warna kehidupan dan perjalanan kerajaan Riau Lingga. Di mata Raja Ikhsan , Kerajaan Riau Lingga yang jatuh bangun dalam 13


Bulang Cahaya

rentang waktu yang cukup panjang (1511-1912), adalah sebuah kerajaan yang cukup penting di Nusantara ini. Kerajaan ini, pada tiap eranya, telah memberi sumbangan yang sangat penting bagi pembentukan tamaddun dan budaya Melayu di rantau ini, terutama dari aspek bahasa dan adat istiadat. Dan Ikhsan dengan kemampuan intelektualnya, kekayaan wawasan dan pemahamannya terhadap sejarah dan kebudayaan Melayu, telah menjadikan bentangan perjalanan imperium Melayu Riau itu sebagai sumber penjelajahan dan penggalian inspirasinya, yang kemudian menjadi materi utama karya-karya tulisnya. “ Memahami makna sejarah, dan belajar dari geliat peristiwa dan keletah para tokohnya “ begitu dia selalu berseloroh kalau ada teman-temannya kepingin tahu mengapa dia begitu sangat suka para karya-karya yang berlatar belakang sejarah dan budaya. Makin lama, naskah kiriman Jan itu makin menarik dan makin mengasyikkan. Ikhsan, nyaris lupa makan, lupa minum. Terus membaca naskah lama itu. “Hhm…. Ini dia. Sebuah penafsiran yang berani,“ ketika selesai secara cepat membaca sebahagian naskah itu. “Penulisnya mencoba berimbang dan memberi peran yang adil untuk pihak Melayu dan Bugis. Tidak terlalu memihak. Sebelum ini sulit mencari naskah lama yang berimbang. Kebanyakan, kalau tidak pro keturunan Bugis, pasti pro keturunan Melayu. Bahkan untuk karya master seperti Tuhfat an Nafis saja, ada yang dikatakan versi Bugis, ada yang dikatakan versi Melayu,“ gumamnya sambil terus membaca. Huruf Arab Melayu baginya bukan masalah. Sudah sangat mahir. Dia juga menguasai dua bahasa asing, Inggris dan Belanda. Masih ditambah sedikit Jerman. Ini memudahkan kerjanya sebagai penulis. Kemampuan bahasa asing ini berkat kuliahnya di jurusan bahasa dan sastra dunia dulu di Bandung. ”Menjadi penulis, kalau 14


Bulang Cahaya

kemampuan bahasa asing cekak, ya, pendeklah langkah kita,“ katanya kepada beberapa teman, sebagai nasehat. Karena itu tak heran, kalau dia selalu dianggap sebagai sumber rujukan dan pemberi inspirasi oleh teman-temannya sesama penulis dan budayawan. Bahkan ada yang menggelarnya “Paus budaya Melayu“. Sambil membalik lembar demi lembar naskah lama kiriman Jan itu, pikirannya mengalir mengikuti cerita yang dituliskan di dalamnya. Tak tahu, sudah berapa lama dia terduduk di kursi kerjanya, sejak pulang siang tadi. Kalau kehausan dia berteriak lagi untuk dibuatkan teh. Kalau mulai mengantuk dia minta dibuatkan kopi. Rokok di mulutnya mengepul bagaikan kereta api. Marlboro putih, bungkus demi bungkus. Rumahnya kelihatan senyap. Isterinya di dapur, dan anak perempuan semata wayangnya sudah terbang keluar menyambar sepeda motor pergi latihan olahraga kegemarannya, taekwondo. Dengan baju olahraga taekwondo-nya dia nyaris seperi anak lelaki. Sekilas Ikhsan mengerling ke arah anaknya. Hanya sekilas saja. Sudah itu dia kembali ke tumpukan naskah yang mulai bertaburan di mejanya. Telinganya sesekali menangkap suara pekikan tukang sate Madura yang sangat dia sukai melintas di muka rumahnya . ”Dulu waktu susah, santapan utama ya Indomie. Tapi sekarang, ya, satelah. Sate Madura,“ katanya selalu sebagai kelakar. Tapi kali ini Sate Madura itu dibiarkan berlalu, dan dia hanya coba membayangkan nikmatnya sate ayam Cak Kandar itu melalui imajinasinya. Membayangkan bumbu kecapnya.Membayangkan rangupnya sayatan ayam yang ditusuk dengan lidi daun kelapa . ”Ini kisah roti canai. Lebih sedap…“ katanya tertawa sendiri. Mengangguk-angguk senang. Menyilangkan kaki, dan membenamkan huruf-huruf Arab Melayu ke lensa kacamatanya yang sudah minus 3,5 itu. Hhm… tentang roti canai! 15


Bulang Cahaya

16


Luka yang Berdarah Kembali

1. Luka yang Berdarah Kembali GEMURUH ombak musim utara terdengar bagaikan pekik elang. Nyaring dan membahana. Terdengar sayup ketika suara itu mencecah puncak-puncang gelombang yang bergulung menghempas Pantai Kelang. Matahari petang, rebah, dan berangsur menghilang. Bayang-bayang petang yang memanjang membangun siluet coklat, sehingga rumah besar yang tesergam tak jauh dari pantai itu, tampak bagai sebuah istana yang sepi dan sendiri. Raja Djaafar tercenung di depan jendela yang menghadap ke arah pantai. Janggutnya yang hitam dan teratur rapi, menyentuh gorden. Pikirannya jauh merayap ke celah-celah gemuruh ombak. Dia tiba-tiba merasa ada rasa getir dan pedih di ulu hatinya, dan kadang-kadang seperti ada rasa marah dan dendam yang menggelepar bersama angin petang, menyerbu lubuk kalbunya.Daun-daun kelapa yang tampak meliuk-liuk dimainkan angin seakan berubah menjadi cemeti yang menyebat-nyebat ulu hatinya. Bilur dan pedas. Djaafar mengalihkan pemandangan yang menimbulkan rasa benci itu.Dari pantai ke arah laut, ke arah angin dan gelombang. Pikirannya ikut bergemuruh. “Sudah lama beta ingin melupakan Riau. Melupakan rasa sakit yang sudah mereka toreh. Beta sudah setengah bersumpah. Tapi sekarang, mereka membuka lagi luka lama itu. Mereka ingin beta tidak hidup damai bersama anak dan isteri beta,� Djaafar bergumam. Sendiri, dan dengan pikiran yang sayup. Kedatangan Raja Husin, utusan Yang Dipertuan Muda Riau, sore tadi bersama beberapa petinggi Kerajaan Riau, 17


Bulang Cahaya

meminta dia pulang ke Riau dan menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Raja Ali yang baru saja wafat dua bulan sebelumnya. Permintaan itu telah membuat bungkahbungkah kenangan masa lalunya mulai meleleh di depan mata. Djaafar benci kenangan itu bangkit kembali.Sudah lebih lima tahun dia berusaha keras membekukan semua kenangannya selama di Riau, dan dia merasa sudah berhasil. Hampir semua kepedihan dan dendam masa lalunya sudah dilupakannya. Tetapi sekarang keping-keping kenangan itu mulai melintas lagi , dan beberapa bagian bagaikan sembilu mulai mengiris-iris kembali ulu hatinya. “Kakanda Engku Puteri minta Abang Djaafar kembali ke Riau. Juga Yang Dipertuan Besar Mahmudsyah,” kata Raja Husin memulai percakapan. Raja Djaafar cuma diam, dan memandang alas meja yang putih. Pandangannya memang bergerak, tapi hanya ke beberapa cangkir kopi yang beratur di atas meja. Meja dari kayu jati, yang lebar dan kukuh itu, adalah meja tamu , tempat dia menerima kunjungan tetamunya. Karena tak ada reaksi, Raja Husin melanjutkan penuturannya. “Kata Kakanda Engku Puteri, siapa lagi yang layak menggantikan almarhum ayahanda Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda, kecuali Abang Djafar. Sudah saatnya Abang kembali ke Riau.“ Tetap tak ada respon apa-apa. Tapi sekarang Raja Djafar menatap muka Raja Husin dengan tajam. Bola mata yang agak kebiru-biruan itu tampak bulat, dan menghunjam. Seakan-akan menggugat. Dan seakan-akan mengatakan pada Raja Husin, “Adinda kan sudah tahu mengapa beta tak mau pulang ke Riau?“ Tapi protes itu tercekat di kerongkongannya. Tertelan kembali dan terasa pahit. Melihat sikap Raja Djaafar demikian itu, Raja Husin pun seperti mulai pasrah. Tapi bagaimana pun dia harus 18


Luka yang Berdarah Kembali

menyampaikan amanah para Petinggi Riau. Meskipun pesan itu tadi sudah dia utarakan, tapi dia ingin mengatakannya sekali lagi. Karena itu dengan suara kering dia coba menegaskan pesanpesan yang dibawanya itu, sambil mencoba mengajuk sikap Raja Djafar. Meskipun mata yang bulat dan agak muram itu tetap tak beralih. Bahkan dari sudut bibirnya yang agak tebal, tampak sekilas senyum yang sinis. Mengenyek. Raja Husin memang makin tak sedap hati melihat sikap Raja Djaafar. Ketika berangkat dari Lingga, Raja Husin begitu gembira. Dia membayangkan satu pertemuan yang penuh kerinduan. Pertemuan dua sahabat yang sudah hampir empat tahun lebih tak berjumpa. Raja Husin membayangkan Raja Djaafar akan memeluknya, tertawa terkekeh-kekeh, sambil menepuk-nepuk pudaknya, seperti gaya persahabatan mereka dahulunya. Tapi, kenyataannya jauh berbeda. Raja Djafar menjadi agak dingin, sinis, dan tak banyak bicara. “Apa kira-kira Abang Djaafar sudah mendengar rencana ini, lalu membuat keputusan lebih dahulu untuk menolak?” Raja Husin membatin. Bermenit-menit tidak ada suara. Senyap. Masing-masing lebih banyak melakukan dialog tanpa kata. Tiba-tiba mata Raja Djaafar melunak. Raut muka yang tegang dan keruh, mulai mengendor, dan sebersit rasa persahabatan melompat dari bola matanya. ”Bagaimana angin petang ini. Sekarang musim Utara. Biasanya gelombang besar,“ tiba-tiba Raja Djaafar memecah suasana yang senyap itu. Raja Husin nyaris tersedak. Meskipun Djaafar membelokkan persoalan ke cerita soal gelombang dan angin, tapi Raja Husin merasakan adanya perubahan. Suasana mulai mencair, dan inilah kesempatannya untuk melunakkan hati sahabatnya itu. ”Dengan Bulang Linggi, sebesar apapun gelombang, dapat 19


Bulang Cahaya

diajak bermain,“ kata Raja Husin kembali bersenda. “Hhm...Bulang Linggi?“ kata Djaafar seperti memendam rasa yang getir. *** RAJA Djaafar sebenarnya sudah tahu tentang mangkatnya Yang Dipertuan Muda V Riau, Raja Ali. Sebab Raja Ali itu masih termasuk pamannya, abang dari ibu tirinya Raja Perak. Dia sudah dikabari dan diminta pulang ke Riau, tapi dia menolak dan menyatakan akan mengirim doa dari jauh. Kemudian, ketika dia ke Malaka beberapa hari setelah kabar meninggalnya Raja Ali, dia diberitahu lagi oleh beberapa saudagar yang datang dari Riau dan Lingga. Mereka itu para pedagang gambir dan timah. Mereka memberitahu Raja Djaafar, bahwa sepupunya Raja Ali wafat karena menderita sakit berat. Sudah dua tiga tahun, dan sudah berobat ke mana-mana. ”Ada yang mengatakan Yang Dipertuan Muda terkena tuju orang Pulau Tujuh,“ kata Encik Manap, salah seorang pedagang. ”Tuju itu, kalau sudah mengena memang sulit untuk diobati,“ bual mereka lagi. “Iyalah. Kalau soal sihir menyihir itu, sampai ke ikan-ikan pun main sihir. Tengoklah, dalam perut ikan pun penuh besi, penuh jarum, panuh racun “ Encik Amin, pedagang ikan kering dari Senayang berkelakar. “ Sampai nak mengail ikan seekor pun harus berjampi-jampi “ Pedagang lain menggerutu, karena orang berkata serius, tapi Encik Amin berseloroh. Tapi dia itu memang begitu, suka bergurau. Sesama pedagang sudah tahu. Raja Djaafar tak begitu percaya tentang sihir. Tapi dari cerita orang tua-tua dia tahu bahwa salah satu sihir yang paling ditakuti, khususya dari Pulau Tujuh, adalah tuju. Kononnya, tuju itu bentuknya seperti sebiji telur ayam yang terbang dan berekor. 20


Luka yang Berdarah Kembali

Dia meluncur tengah malam di langit, menuju arah di mana sasaran yang akan disihir. Seperti sebuah meteor. Di telur itu, kononnya tersimpan benda-benda tajam, seperti jarum, kaca, dan racun. Dan kalau sudah mengena tubuh sasaran, langsung jatuh sakit, dan sulit diobati. ”Raja Muda Ali itu dulunya bengis. Semua pendekar Melayu diserangnya. Jadi, banyak yang sakit hati. Maka dituju orang,“ begitu para pedagang itu menyebar cerita penyebab meninggalnya Yang Dipertuan Muda Raja Ali. Cerita sihir itu terus merebak. ”Dia kualat pada daulat Raja-raja Melayu. Dulu dia mendurhaka kepada Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud ,“ tambah mereka lagi. Di Malaka ,yang datang berdagang kesana memang kebanyakan orang-orang Melayu . Saudagar-saudagar Bugis, lebih banyak ke Selangor. Mereka berdagang rempah, kain-kain sutera, dan pecah belah. Cerita yang menghujat Yang Dipertuan Muda Raja Ali itu, tentu dari pihak yang tak suka pada Raja Muda itu. Di Riau kala itu, bermacam sihir muncul. Ada tuju, ada plesit, ada sijundai. Tapi, dalam pikiran Raja Djaafar, Yang Dipertuan Muda Raja Ali sakit karena tua. Terlalu lelah berperang. Perang yang tak habishabisnya. Melawan Belanda, melawan orang Melayu, dan melawan para lanun. Mungkin saja bekas-bekas luka di tubuhnya bangkit dan ikut melemahkan daya tahan tubuhnya. Para saudagar gambir dan timah dari Lingga itu, juga menceritakan tentang rencana Yang Dipertuan Besar Riau, Sultan Mahmud, ingin meminta Raja Djafaar kembali ke Riau dan menggantikan Raja Ali. Meskipun Raja Djaafar sudah tahu kabar itu, tapi dia menjawab sekenanya. “Jangan dipikirkan benar ura-ura orang di Riau itu. Kalau Yang Dipertuan Besar berhajat benar, biarkan dia datang ke Kelang. Lagi pula beta tak berniat lagi menjadi Raja Muda. Biar 21


Bulang Cahaya

orang lain saja. Kan ada saudara-saudara beta, Raja Idris, Raja Ahmad. Mereka kan boleh menggantikan kakanda Raja Ali,� begitu ujarnya kepada beberapa pedagang itu. Beberapa dari mereka ada yang pernah dikenal Djaafar ketika masih di Riau. Agar percakapan tidak berkembang jauh dan menyakitkan hatinya, Djaafar beredar dan meninggalkan para saudagar itu. Di Kelang pun , Djaafar sudah berkali-kali menceritakan kabar itu kepada beberapa kerabat dekatnya. “Beta tak akan ke Riau lagi. Ini sudah keputusan, jangan ada yang coba membujuk,“ tambahnya dengan wajah memerah menahan amarah terpendam. Karena sudah hampir sebulan kabar meninggalnya Raja Ali dan tak ada orang Riau yang datang menemuinya, Raja Djaafar sudah hampir lupa dengan peristiwa itu. Meski dia sadar bahwa dia memang punya pertalian darah dengan para petinggi di Kerajaan Lingga, dan apalagi dia memang salah seorang pewaris jabatan Yang Dipertuan Muda. Namun karena dia sudah berpatah arang dengan Riau, dia tidak lagi begitu menghiraukan kabar-kabar angin itu. Kerajaan perniagaannya di Kelang dan Selangor lebih banyak mengambil perhatiannya, ketimbang memikirkan Riau. �Kalau boleh, sampai mati beta tak kan ke Riau lagi,“ begitu selalu dikatakannya kepada kerabatnya, terutama kepada isterinya. Dia tak mau banyak membuka rahasia mengapa dia begitu benci kembali ke Riau, tetapi isterinya sedikit banyak mendapat kabar dari berbagai kerabatnya yang lain. Sang isteri paham, dan dia tidak pernah mau mengorek luka itu dari suaminya. Tapi, petang ini, begitu Raja Husin datang, dan menyampaikan kabar itu, emosi Raja Djaafar bangkit, dan bara kemarahan serta dendam di dadanya, kembali mengelepar. Isterinya secara samar-samar menangkap percakapan itu. Dari balik tirai dia menyaksikan perubahan wajah sang suami. Gelap, dan kelam. Dia menarik napas dan berdoa. Hanya itulah yang 22


Luka yang Berdarah Kembali

dia bisa lakukan untuk terlibat dalam persoalan masa lalu suaminya. Raja Husin sendiri, sejak sampai ke rumah Raja Djaafar, menangkap kilatan rasa marah itu. Meskipun dia yakin, dan itu juga keyakinan para petinggi di Riau, dia sanggup melunakkan hati Raja Djaafar. ”Adinda Husin kan kawan sepermainan adinda Djaafar,“ kata Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud. ”Lebih mudahlah bertutur kata, dan membujuknya untuk kembali ke Riau,“ lanjut Sultan Riau itu lagi. Raja Husin mengangguk dan yakin akan hal itu, dan karena itu pula dia mencoba mencari celah dari mana endapan persahabatan lama itu, dapat menjadi pembangkit pembicaraan, dan akhirnya melunakkan hati sahabatnya itu. Sambil kembali menatap ke arah mata Raja Djaafar yang masih memendam bara itu, Raja Husin mencoba melepas tombak kelakarnya. Cara yang dahulunya selalu dia pakai untuk meredakan emosi sahabatnya itu. “Yang sudah, ya sudahlah. Abang Djaafar ingat cerita burung garuda kita? Sekarang saatnya burung garuda mulai mengepakkan sayap. Jangan jadi elang laut terus- menerus,” katanya tersenyum, sembari membetulkan tanjaknya. Persis seperti kebiasaannya dulu kalau lagi menggoda dan mengajuk hati Djaafar. Karena merasa kepalanya berkeringat dan agak gatal, dia menanggalkan tanjaknya dan meletakkan di atas meja, sehingga tanjak yang bersulam benang emas, yang kiri kanannya berlipat rapi bagaikan sebuah kopiah itu, teronggok disana. Dia tersenyum lagi, sambil terus memandang wajah sahabatnya. Menimang-nimang tanjak itu, sebelum akhirnya memasangnya kembali di kepalanya. Raja Husin memang sahabat dekat Raja Djaafar. Sahabat sepermainan. Mereka berdua seperti kuku dengan daging. Di mana ada Djafaar, di situ ada Husin. Semakan seminum. 23


Bulang Cahaya

Meskipun sejak kepergian Djaafar ke Kelang lima tahun lalu, hubungan mereka hampir terputus. Memang beberapa kali mereka masih kerap berbagi kabar dan bersurat-suratan. Tapi Djaafar akhirnya memilih untuk tidak terlalu banyak lagi menghubungi Husin, karena dia tak mau segala informasi tentang Riau dari Husin, membangkitkan lagi luka hatinya. Dalam surat terakhirnya kepada Husin, Djaafar dengan rasa pedih menulis: �Abang tahu, betapa berharga persahabatan kita. Rasanya tak adalah arti Riau buat Abang, kalau tak ada Adinda. Sunyi rasanya hidup ini tanpa Adinda. Pahit rasanya semua keinginan, tanpa mendengar kelakar Adinda. Tetapi, masa lampau, masa di Riau, adalah racun yang sedikit demi sedikit membunuh Kakanda. Dan Kakanda memilih untuk tidak mati merana. Kakanda memilih, biarlah membuang diri jauh di seberang, agar sisa hidup yang ada, berguna. Abang ingin membahagiakan anak istri Abang, tanpa rasa bimbang, dengan tidak bercabang hati. Karena itu, biarlah Abang sendiri, dan Adinda sendiri. Dalam batin kita tetap bersahabat, tetapi dalam kenyataan, bahwa Adinda juga adalah bagian dari kepedihan masa lalu Abang.� Itulah surat yang dia tulis tiga tahun lalu Tapi, wajah dan keletah Raja Husin tetap terpaku di benak Djaafar. Pongil, cerdik, dan tak pernah kehilangan akal. Kelakarnya, ketawanya yang berderai, adalah nyayian pengobat lara bagi Djaafar. Dan ketika Raja Husin muncul kembali di hadapannya, petang itu, dalam hati Djaafar, ada ledakan dahsyat yang bangkit. Rasa senang, rasa rindu, rasa lepas dari benaman dan kesunyian yang panjang. Tapi Husin juga telah membangkitkan lagi luka lamanya. Raja Husin telah membuat lukanya berdarah kembali. *** 24


Luka yang Berdarah Kembali

RAJA Husin tiba pukul 5 petang dengan rombongan kerajaan Riau lebih sepuluh orang. Mereka datang dengan perahu kebesaran Yang Dipertuan Muda Riau, Bulang Linggi. Perahu ini dahulunya dibeli oleh ayahnya almarhum Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda Riau IV, di Batubara, Asahan, ketika ayahnya bersama pasukannya singgah di sana dari Indragiri. Perahu itu dahulunya hanya sebuah penjajab. Perahu untuk perang. Tetapi amat besar. Panjangnya lebih dari 70 depa. Boleh dipasang sampai 16 meriam. Melihat penjajab yang bagus dan kukuh itu, Raja Haji lalu memerintahkan nakhodanya mengubah perahu itu menjadi perahu kebesaran Yang Dipertuan Muda. Lalu perahu itu disempurnakan. Di beri rumah-rumahan yang berukir dengan motif pucuk rebung. Panjang rumah-rumahan itu lebih 4 depa. Lalu di dalamnya dibuatkan kamar tempat berehat. Meja perjamuan. Di geladak bawahnya, dibuat kamar tidur, ruang kerja, tempat menyimpan perbekalan dan lainnya.Setelah diperbaiki dan ditambah berbagai perangkat, terutama untuk keperluan perang, kemudian dijadikan kapal kebesaran kerajaan. Dengan perahu kebesaran itulah Raja Haji malang melintang sebagai Kelana Jaya Putera, gelar yang disandangnya sebelum menjadi yang Dipertuan Muda . Dia berlayar sampai ke Palembang, Jambi, Kalimantan , dan terus ke Johor, Malaka, dan kawasan Selat Malaka.Bulang Linggi sudah mengharungi hampir separuh selat dan laut nusantara. Raja Husin memang sudah berkali-kali ikut berpergian dengan kapal kebesaran itu, terutama bersama Raja Djaafar dahulunya, ketika masih berada di Riau. Mereka berdua memang amat rapat, dan selalu berpergian bersama. Usia mereka pun hanya berselisih 2 tahun. Husin lebih muda, dan ketika datang lagi ke Kelang, usianya sudah 40 tahun. Karena itu, dia memanggil Djaafar dengan abang, dan selalu dengan nada bergurau, dan bahkan menyindir, sambil terkekeh-kekeh. Seperti petang ini, dia mencoba 25


Bulang Cahaya

menaklukan Djaafar dengan berkelakar, meskipun sudah lebih 5 tahun kebiasan itu hilang. Raja Husin agak tertegun, ketika melihat kelakarnya nyaris tak berpengaruh pada wajah Raja Djaafar. Sudah benar-benar tumpul,katanya dalam hati. Bahkan wajah itu semakin keruh, seakan pesan agar kembali ke Riau yang disampaikannya sudah menjadi pedang pembunuh terhadap sahabatnya itu. Mata sahabatnya yang bulat dan biasanya sangat bening itu, tiba-tiba menjadi kelabu. Husin lagi-lagi terkesima, ketika melihat Djaafar tiba-tiba meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan berpaling ke arah pintu, seakan tak mau mendengar semua pesan dan kelakar yang meluncur dari mulutnya. Tak sepatah pun jawaban yang diutarakan Djaafar. Bahkan dia beranjak dari sisi meja, menyisihkan gelas kopi, dan menuju ke depan jendela. Dia kemudian tercegat di sana, memandang jauh ke luar. Husin menyaksikan wajah sahabatnya itu demikian pedih dan bercampur geram. Husin segera sadar , bahwa pilihan sahabatnya meninggal meja, meninggalkan sisa-sisa pesan yang akan disampaikannya, sebagai cara yang terbaik untuk saat itu. Husin paham, seakan dengan memandang daun-daun kelapa di luar jendela, dan mendengar gemuruh ombak, sahabatnya itu ingin mencampakkan semua rasa pedih dan geram itu keluar dari dalam dadanya. Husin memang pernah, lima tahun lalu, menyaksikan suasana seperti itu. Takkan pernah dia lupakan. Karena itu, Husin juga meraup wajahnya, menunduk, dan merasakan penyesalan yang dalam. Tiba-tiba berkelebat wajah Yang Dipertuan Besar Riau Sultan Mahmudsyah dan Engku Puteri Raja Hamidah, permaisuri Sultan, yang kemarin melepas kepergiannya ke Kelang. “Astagafirullah! Kalau tidak hamba, siapa lagi yang bisa mengubahnya. Yang bisa menyelamatkan Riau?“ gumamnya, sendiri, sambil merenung balur-balur renda di atas alas meja yang 26


Luka yang Berdarah Kembali

putih itu. “Pergilah Adinda Husin ke Kelang. Bujuklah kakanda Djaafar kembali ke Riau. Yang Dipertuan Besar sudah mulai uzur. Baginda lelah. Kalau tak ada Raja Muda yang masih sehat, berani dan bijak, apa jadi negeri kita ini,“ begitu Engku Puteri, permaisuri Sultan dan juga adik kandung Raja Djaafar, meski berlainan ibu itu, menyampaikan kerisauan hatinya. Itulah yang membuat Raja Husin merasa harus berusaha sebisa-bisanya membujuk Raja Djaafar. Dia merasa berangkat ke Kelang bak seorang calon pahlawan, penyelamat negeri. Ingin berbuat sesuatu budi bagi kerajaan Lingga. *** BIAS matahari petang sudah hampir lenyap dari celah jendela. Sudah cukup lama Djaafar tercenung di depan jendela dengan pandangan yang sayup. Raja Husin dan rombongan yang duduk di ruang tengah, di meja besar sehabis santap, dibiarkannya saja di situ, seakan tidak diperdulikan. Dan Raja Husin pun membiarkan saja Raja Djaafar tercengung di depan jendela itu. “Tak usah diganggu. Biarkan abang Djaafar menetapkan hati dan membuat keputusan. Hamba yakin dia akan balik ke Riau. Cuma hatinya masih sakit. Hamba tahu penyebab semua itu,” kata Raja Husin kepada beberapa anggota rombongan yang tampak gelisah melihat suasana senyap dan murung itu. “Ya, hamba rasa kalau adinda Djaafar mengambil berat masalah kerajaan, dia akan pulang ke Riau. Tapi hamba dengar adinda Djaafar nyaris berpatah arang untuk kembali ke Riau lagi, meskipun hamba tak tahu persis apa sebabnya,” terdengar Daeng Ibrahim, nakhoda Bulang Linggi menyela. “Hamba dengar dari adinda Raja Idris sendiri ketika bertemu di Senggarang,” lanjut 27


Bulang Cahaya

lelaki kekar, berkulit gelap, yang umurnya sudah mendekati 50 tahun itu. “Tentulah berat betul soalnya,” timpal Silawatang Hasan. “Kabarnya, abang Djaafar kecewa karena sebetulnya ketika Yang Dipertuan Muda Raja Haji Syahid Fisabililah di Teluk Ketapang, abang Djaafar-lah yang sepatutnya menjadi Yang Dipertuan Muda, bukan nya abang Ali,” Silawatang Hasan mencoba memperkirakan alasan Djaafar enggan kembali ke Riau. Karena begitulah cerita yang banyak beredar ketika itu. Dan setahu Silawatang Hasan yang merupakan pejabat yang banyak berhubungan dengan para pejabat istana, banyak pembesar negeri Riau juga setuju, Raja Djaafar yang menggantikan Raja Haji Fisabilillah, karena dialah anak kandung Raja Haji yang paling tua. Raja Djaafar juga sudah dewasa, banyak pengalaman, dan arif dalam bersikap. Tetapi, rapat para pembesar kerajaan Riau, terutama dari pihak Bugis, justru memutuskan mengangkat Raja Ali, anak Daeng Kembodja, paman saudara Raja Djaafar sebagai Yang Dipertuan Muda. “Putusan inilah yang kononnya menyakitkan hati Djaafar,” cerita Silawatang Hasan lagi. “Kononnya ketika mendengar kabar itu, abang Djaafar langsung berteriak. Marah dan kecewa. ‘Apa kurangnya beta ini. Kurang berani bertikam? Kurang banyak berperang?’” Silawatang Hasan menggambarkan betapa kekecewaan Raja Djaafar ketika itu. Tetapi, Daeng Ibrahim memingkas cerita Silawatang Hasan. ”Tapi ada juga setengah pihak mengatakan, keengganan abang Djaafar kembali ke Riau, ada kaitan dengan soal Tengku Buntat, puteri Tengku Muda Muhammad. Kononnya, adinda Djaafar bukan main kecewa ketika Tengku Buntat dikawinkan dengan Tengku Husin. Sebab keduanya sudah berjanji sehidup semati, dan semua orang pun tahu kisah percintaan mereka,” lanjut Daeng Ibrahim. 28


Luka yang Berdarah Kembali

Sambil berkata demikian, dia mengarahkan pandangannya ke mata Raja Husin, karena dia tahu betul bagaimana Raja Husin dan Raja Djaafar berteman, dan berbagi rahasia. Raja Husin seperti tanpa reaksi. Diam, dan wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak mendengar percakapan anggota rombongannya tentang sahabatnya itu. Sebenarnya Husin mendengar, meskipun sayup-sayup dan bercampur-baur. Sebab pikirannya sendiri, saat itu, sedang mengembara jauh, melintas masa-masa muda mereka. Masa kanak-kanak, dan masa-masa muda mereka ketika bersama-sama di Riau beberapa tahun lalu. Dugaan-dugaan anggota rombongan, memang hampir semuanya benar. Tetapi Husin yakin, dialah yang lebih tahu, dan paling tahu di mana punca masalahnya. Tiba-tiba Husin tersenyum, ketika kembara pikirannya melintas seperti mesin waktu, dan menukik masuk ke lorong-lorong masa lampau mereka. Masa-masa manis, masa-masa segala rindu dan cinta bagaikan cerita tonel. Indah dan penuh gurau. Masamasa mereka berusia antara 20 sampai 30 tahun. Masa-masa muda di Kota Piring di Kampung Melayu dan di Kampung Bulang. Masa muda mereka ketika tinggal di muara sungai Riau.Sosok kampung Bulang, Kota Piring, Tanjung Unggat, dan kampung-kampung kecil yang sudah lama ditinggalkan itu, tiba-tiba muncul satu persatu. Rumah-rumah panggung. Lapangan main sepak raga, bukit menganjung layang-layang, dan jendela rumah Tengku Muda Muhammad yang lebar. Tiba-tiba di jendela itu melintas wajah menawan Tengku Buntat, anak perempuan semata wayang Tengku Muda Muhammad. Gadis tercantik di Riau, gadis yang menjadi impian para pemuda di sana. Baik yang berdarah Melayu, maupun Bugis. Orang memanggilnya Cik Puan Bulang. Nama pujiannya Bulang Cahaya. Begitulah pesona gadis Melayu itu dan meruntuhkan iman para pemuda di sana. 29


Bulang Cahaya

Rupanya di antara anggota rombongan ada yang menyaksikan tingkah Raja Husin yang tersenyum sendiri, lalu dia berdehem, dan dehemam yang beberapa kali itu membuat Raja Husin tersentak dari lamunan. Raja Husin menoleh ke arah mereka, tersenyum, tetapi kembali mengarahkan matanya ke langit-langit dan perabung rumah kediaman Raja Djaafar. Dia baru sadar betapa besar dan bagusnya rumah itu. Rumah limas 4 bandung. Besar tesergam. Semua perabot rumah kelihatan mewah dan mahal. “Abang Djaafar memang sudah berhasil menjadi saudagar. Kaya!� kata hati Raja Husin. Kabar Raja Djaafar menjadi pengusaha timah, kaya, mmang sudah luas merebak di Daik dan Riau, Husin sudah lama mendengar kabar, bahwa sejak meninggalkan Daik dan menetap di Kelang, Raja Djaafar oleh kerabatnya diajak berusaha. Mereka membuka pendulangan timah di Selangor. Lumbung-lumbung timah binaan mereka maju pesat, dan hasilnya diperdagangkan sampai ke negeri Belanda. Raja Djaafar berhasil menjadi saudagar timah yang kaya, dan punya beberapa buah lumbung. Karena itu tak heran kalau rumahnya begitu besar dengan berbagai barang mahal yang ada di dalamnya. Lebih tiga tahun lalu Djaafar dikabarkan sudah beristeri dan kini sudah berputera seorang dan masih berusia 8 bulan. “Berumah tangga di usia yang hampir 40 tahun, sungguh agak terlambat. Nyaris jadi bujang telajak, gara-gara patah hati,� gumam Husin. Rumah besar itu terasa lengang, nyaris tanpa penghuni lainnya. Apalagi rumah itu sampai 4 bandung. Raja Djaafar dan isterinya Raja Lebar, tinggal di bagian depan, sementara berberapa saudara dan kerabat lainnya di bandung lain. Saudara-saudaranya ini juga menjadi pengusaha timah, dan sudah berkeluarga. Tetapi adiknya Raja Idris dan Raja Ahmad, tetap di Riau bersama adik perempuannya, Raja Hamidah, yang menjadi permaisuri Sultan 30


Luka yang Berdarah Kembali

Mahmud, di Lingga. Mereka membantu pemerintahan Riau, di bawah perintah Yang Dipertuan Muda. Raja Husin kembali menatap ke arah langit-langit rumah. Memandang hiasan dinding dengan ukiran Melayu Bugis. Warna merah, kuning dan hijau, tampak merata di antara kisi-kisi jendela, kosen pintu, dan langit-langit rumah. Di celah-celah atap sirap gaya bugis itu, dia menatap masa-masa muda mereka dengan Djaafar. Raja Husin kembali tersenyum, dan menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tak percaya apa yang sedang disaksikannya. Tiba-tiba,tanpa sadar, matanya beralih ke sosok Raja Djaafar yang masih tercegat di depan jendela. Tangan Djaafar bertelikung di pinggangnya. Raja Husin menatap tubuh tegap itu dari arah belakang. Dalam usianya yang sudah lebih 40 tahun, Djaafar memang masih tampak segak. Rambut hitamnya yang agak berombak tersisir rapi dan dibiarkan agak memanjang.Kulitnya kelihatan makin gelap. Mungkin akibat pengaruh panas di lumbung-lumbung timahnya. Baju Teluk Belanganya tampak ketat, karena tubuhnya tampak makin berisi, gempal, tidak seperti masih di Riau, agak ramping. “Lima tahun memang telah membuat abang Djaafar berubah. Mungkin dia sudah dapat melupakan semua yang dulu menyakitkan. Sekarang, di suruh kembali ke Riau, apa luka itu tak akan berdarah kembali?� Raja Husin bergumam sendiri, berbisik sendiri, dan ikut merenung jauh ke sela-sela helai rambut Djaafar yang kadang tampak bergerak, karena tepisan angin pantai yang menerpa jendela. Angin yang merangkak menuju malam, mulai terasa dingin dan tajam.

31


Bulang Cahaya

32


Burung Elang Berekor Panjang

2. Burung Elang Berekor Panjang “HUSIN, buat ekornya agak panjang. Sebab badan layanglayang ini cukup besar. Nanti tak naik. Kalaupun naik, berat ke depan,” kata Raja Djafar sambil menganjung kerangka layanglayang berbentuk burung elang itu, yang sudah dibungkus dengan kertas minyak, ke atas kepalanya. Raja Husin yang duduk di depan dan sedang mengelem ekor layang-layang mendongakkan kepala ke arah layang-layang. ” Tak usah panjang betul. Ini kan burung elang, bukanya ular. Kalau terlalu panjang, dia tak bergoyang. Tidak mengigal,” kata Raja Husin sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Adinda kan tahu, beta ini pemuja burung elang. Bukannya ular. Burung elang selalu menujukkan kegagahan, kejantanan. Sedangkan ular, kan lambang sifat yang culas, tak setia. Manalah Buntat tertarik dengan ular? Apa adinda lihat sifat beta seperti ular? Culas, suka mengintip, atau mencuri-curi pandang?” sergah Raja Djaafar dengan suara nyaring tetapi dengan senyum yang kental di sudut bibirnya. “Tidak. Abang Djaafar memang elang. Garuda. Makanya, selalu ingin menerkam semua mangsa. Tapi Buntat tidak terlalu suka yang suka main terkam. Dia lembut, perasa. Jadi, kalau Abang jadi elang, ya, jadilah elang kurik, jangan jadi elang laut. Elang kurik, tiap dia menukik, pasti mengeluarkan suara nyaring dan merdu. Itu kan suara kerinduan, suara kasih sayang ,” celoteh Raja Husin lagi. “Ya, sudah. Hampir Ashar. Siapkan ekor layang-layang itu, nanti tidak sempat lagi akan dinaikkan. Angin sudah mati lagi,” Raja Djaafar mengalih pembicaraan. 33


Bulang Cahaya

Tak sampai seperempat jam, layang-layang putih dengan ekor yang panjang itu siap. Mereka sudah akan beranjak menuju lapangan sepak raga, untuk menaikkan layang-layang, ketika tiba-tiba Raja Djaafar berbalik ke belakang, dan mencari-cari lagi sisa kertas yang tadi dikemas Raja Husin. “Untuk apa lagi, dah selesai semua. Pasti naik. Abang jangan bimbang,” kata Raja Husin. “Bukan bimbang. Tapi beta cuma lupa. Mestinya beta buat tulisan di layang-layang ini, supaya Buntat menyaksikannnya kalau si elang ini melenggang di atas bumbungan rumahnya,” sahut Raja Djaafar, yang terus mencari-cari sisa kertas. Dia duduk kembali dan mulai mengunting kertas sisa, menjadi huruf-huruf Arab Melayu, dan menyuruh Raja Husin menempelkan di dada si burung elang. Djaafar memang dialiri darah seni. Tulisan Arab Melayunya bukan main bagus. Chad-chadnya tegas, seperti chad tulisan Persia. “Ha, kan hebat! Bulang Cahaya!” kata Raja Djaafar sambil menganjung si elang ke atas kepala dan membelek kata-kata yang terukir indah di dadanya. “Abang Djaafar memang hebat. Cerdik!” Puji Raja Husin. ”Ini cara yang sangat berkesan dalam meluahkan kasih sayang. Bulang Cahaya. Hemm, memang Tengku Buntat itu cahaya di Kampung Bulang, tak ada taranya. Di seluruh Riau sekalipun,” begitu Raja Husin terkagum-kagum sambil menatap Raja Djaafar yang berdiri segak dengan layang-layang besar di tangannya. Raja Husin makin sadar, betapa cerdasnya teman karibnya itu. Anak bangsawan Bugis Melayu, yang tampan. Badan yang kukuh, tinggi ramping, tapi sigap, dengan raut muka tegas, dan senantiasa lembut dan tersenyum. Cuma,menurut Husin, sahabatnya itu agak peragu. Selalu saja sulit membuat keputusan yang tegas, kalau berhadapan dengan masalah pribadinya. Agak 34


Burung Elang Berekor Panjang pembimbang, dan tidak tahan digoda dan diajuk orang. “Memang elang. Memang garuda..... “ Raja Husin terus terkagum-kagum dan terkekeh-kekeh. Mereka kemudian bergegas ke tengah kampung dan menuju ke lapangan yang biasa untuk sepak raga dan bermain layanglayang. Sejumlah anak muda sudah berkumpul dan menganjung layang-layang mereka. Lebih sepuluh layang-layang sudah mengapung diudara. Melenggok, dan berbagai rupa. Raja Djaafar memegang tali, mengulurnya, sementara Raja Husin mengarak si elang menuju ke ujung lapangan dan menganjung . “Sudah, tarik ... “ teriak Raja Husin. Raja Djafaar mengentak teraju, menaikkan layang-layang itu, sedikit demi sedikit. Angin barat yang bertiup tidak bergitu kecang menerpa si elang, menggenjotnya ke atas. Pelan, dan makin tinggi. “Jangan terlalu tinggi Abang naikkan. Nanti Cik Puan Bulang tidak sempat menyaksikan bagaimana kasih sayang Abang di luahkan,” kata Raja Husin. “Beta ingin si elang ini melintas di atas bumbungan rumahnya. Biar dia menyaksikan si elang melenggang. Angin kan bagus, ke arah kampung Bulang,” kata Djaafar, seakan begitu yakin layanglayang itu bisa melintas di atas rumah Tengku Buntat yang jauh di ujung kampung. Layang-layang meninggi, tetapi karena Djaafar mengulur talinya panjang-panjang, maka tampak talinya agak melentur dan layang-layang itu tidak naik tegak ke atas, tetapi mengapung jauh ke arah barat, menuju ke arah kampung Bulang. “Husin, pegang tali. Beta ingin berdiri di tebing bukit. Beta ingin melihat bayang-bayang Buntat. Apakah dia menjenguk dari tingkap, atau turun ke tengah lapang,” kata Djaafar, sungguhsungguh. 35


Bulang Cahaya

Raja Husin kembali ke tengah lapangan, dan menggantikan Djaafar memegang tali layang-layang. Sementara Djaafar berlari menuju tebing bukit, dan memandang jauh ke seberang lapangan, ke arah kampung Bulang. Terlalu jauh, memang. Terlalu sayup. Tapi dari puncak Bukit, Djaafar bisa menyaksikan Kampung Bulang yang jaraknya dari lapangan itu sekitar 200 meter, berdenyar-denyar di bawah matahari petang. Dia melihat salah satu bumbungan rumah terbesar di kampung itu, berkilau-kilau dengan jendela-jendela lebar menghadap ke jalan. Tak ada sosok yang ke luar rumah siang itu. Tetapi Djaafar yakin, melalui jendela, Tengku Buntat akan melihat si elang melenggang di atas atap rumahnya. Buntat akan melihat kata-kata gagah di dada si elang, pertanda letupan cintanya yang bagai tak tertahankan. Sebab, begitulah biasanya, setiap mereka bermain layang-layang. Dia akan mengajuk hati Buntat begitu malamnya dia datang bertandang ke rumah Buntat. “Bagaimana layang-layang Abang petang tadi?” Buntat biasanya menyambutnya dengan senyum, dan jeling mata yang penuh rindu. “Buntat lihat, agak berat sebelah. Layanglayang perahu Cina Tengku Ilyas, lebih tinggi. Lebih tegak,” jawab Buntat sambil mengilai. Raja Djaafar mendengus dan mencebek bibir. Dia tahu Buntat bergurau. Sengaja memanas-manaskan hatinya. Tetapi menyandingkan layang-layangnya dengan layang-layang Tengku Ilyas, membuat hatinya berbulu. Dia tahu, dia cemburu pada Tengku Ilyas, anak Syahbandar Riau itu. Memang itulah salah satu anak muda yang gagah dan anak orang kaya yang menjadi saingannya. Tapi dia tahu, Buntat juga sedang mengajuk hatinya. “Mana beta akan kalah dengan si Ilyas itu. Biar putih tulang, daripada putih mata,” begitu dia membalas gurau Buntat. Raja Djaafar tak perduli kalau layang-layangnya tidak naik 36


Burung Elang Berekor Panjang tinggi, karena keberatan ekor .Atau hanya melenggok-lenggok di atas bumbungan rumah Tengku Buntat. Sebab layang-layangnya memang bukan untuk bersabung, tetapi layang-layang indah. Dan layang-layang berekor panjang ini tidak boleh diganggu, apalagi disambar. Itu sudah aturan. Bahwa layang-layang bersabung, adalah layang-layang tak berekor. Layang-layang lain yang berekor atau berhias, hanya akan saling beradu tinggi, beradu tegak. Dan layang-layang Djafaar, tak memerlukan semua itu. Dia hanya perlu melayang di atas bumbungan rumah Buntat. “Ini layang-layang rindu,” katanya selalu kepada Husin. Artinya kalau rindunya sedang menggelegak, dan lama tak bertemu Buntat, maka layang-layang lah jadi juru bicaranya. *** DARI tengah lapangan, Djaafar memandang ke arah pantai Kampung Melayu. Beberapa perahu wangkang, sedang menghilir bersama arus sungai Riau yang mengalir ke arah muara, makin kencang, karena surut. Airnya gelap karena di bawahnya lumpur. Namun dalam. Perahu ratusan ton dapat keluar masuk jauh ke hulu sungai. Sungai itu lebarnya lebih dari 60 meter, dan di bagian muaranya hampir 200 meter antara tebing seberang dengan seberangnya lagi. Di air yang coklat dan senantiasa beriak kecil itu tiba-tiba dia melihat wajah Tengku Buntat bagai dalam bayangan cermin. Tersenyum, melambai, dan seakan selalu berbisik, seperti kata-kata yang kerap dikatakanya bila Djaafar bertandang dan mengajuk hatinya. “Alah, Abang Djaafar. Buntat ini apalah. Karena tak ada rotan, Abang Djaafar mencari akar. Padahal, Buntat ini kan budak Melayu yang hodoh. Manalah anak Raja Bugis akan tertarik.” Djaafar tersenyum, terhekeh-kekeh, kalau ingat bagaimana dia membalas ajukan Buntat. “Bagi anak Bugis ini, hitam macam 37


Bulang Cahaya

keling pun kalau dia mau, dia ambil. Yang penting kan suka sama suka.” “Itulah orang Bugis. Suka main paksa,” kilah Buntat lagi sambil mengilai. Kalau sudah begitu, beberapa kuntum melati terlempar dari rambutnya, saat dia menyelakkan rambut dan menggoyanggoyangkan kepalanya. Itulah gerakan yang memberahikan dan selalu membenam di hati Djaafar. Sering terbawa-bawa ke dalam mimpi. “Sudahlah Husin, sudah menjelang Maghrib .Kita pulang dulu,“ pekiknya dari ujung lapangan. Raja Husin tersenyum dan mulai menggulung benang dan menurunkan layang-layang. Sambil menggulung, dia berpantun: Layang-layang bertali benang Putus benang, tali belati Cinta yang ikhlas cinta kukenang Cinta sejati kubawa mati “Sudahlah, pantun sekeranjang pun tak ada gunanya. Buntat tak menjenguk sama sekali. Jangan-jangan si Ilyas itu yang menunggu tangga, maka Buntat berkelam di bilik,“ Raja Djaafar menggerutu. Sementara Raja Husin mengilai geli melihat sahabatnya cemburu berat. Djaafar memang sangat cemburu, kalau Tengku Buntat sampai jatuh ke tangan pemuda lain. Tak perduli dia itu keturunan Melayu atau Bugis. Di awal-awal pertarungan merebut hati Buntat dulunya, dia sampai menghunus badiknya ketika sekelompok pemuda yang dipimpin Tengku Ilyas, mencegatnya ketika pulang bertandang dari rumah Buntat. “Oi orang Bugis tak tahu diri. Coba-coba pula nak memikat hati anak dara Melayu. Sudahlah menumpang di negeri orang, 38


Burung Elang Berekor Panjang nak merajalela pula,“ sindir Tengku Ilayas, menjelang Djaafar dan Husin sampai ke pangkalan tempat mereka menambat sampan. Suasana memang agak gelap, karena cahaya bulan agak terlindung pepohonan kayu ara. Tapi, sekilas Djaafar menangkap arah datangnya suara, dan dia tahu suara siapa. “Cih penakut! Jangan cuma berani sembunyi, dan besar bual. Keluar dan berhadapan secara jantan. Anak Bugis ini kalau sudah berkehendak tak akan mundur. Biar mati bersimbah darah,“ kata Djaafar, sambil mengencangkan ikatan sarungnya, dan mengisar sarung badiknya ke depan. “Ayohlah Liyas, jangan jadi jantan penakut. Buntat tak kan tergila-gila dengan orang yang bermulut besar,“ ejek Djaafar. Terdengar suara semak terkuak. Djaafar mencabut badiknya. Husin bergeser ke sisi Djaafar, memegang hulu kerisnya. Keduanya menangkap sosok Tengku Ilyas muncul dari balik semak. Lalu menyusul Tengku Harun, Tengku Sidik, dan seorang lagi yang jarang ditemui Djaafar. Sama-sama memegang hulu keris. Empat lawan dua. “Tinggalkan Buntat! Jangan lagi ke Kampung Bulang! Kalau datang juga, buruk padahnya!“ kata Ilyas mengancam dengan suara serak. Agak gemetar, dan pucat di bawah sinar bulan 14 hari. Seperti suara orang takut-takut berani. Djaafar meludah. “Engkau bukan Tengku Muda. Bukan Datuk Temenggung, yang berhak melarang. Tepi kain Buntat pun kau tak dapat menjamahnya, apalagi hendak memiliki. Engkau Liyas, cuma dapat mengintip dari balik semak!“ ejek Djaafar lagi. Ilyas sudah tak tahan lagi diejek dan sudah akan mencabut kerisnya. Juga Harun dan Sidik. Akan terjadi pertumpahan darah, kalau saja saat itu, Panglima Sulung, salah satu orang kepercayaan Tengku Muda, tidak melintas di situ. Panglima Sulung, rupanya baru datang dari Kota Piring, dan akan singgah ke rumah Tengku 39


Bulang Cahaya

Muda. Dia terserempak dengan anak-anak muda yang akan bertikam di bawah bayang-bayang bulan itu. Dia bergegas, dan memekik keras. “Tahan!“, lalu berdiri di tengah jarak kedua pihak yang akan berkelahi. Dia melihat ke arah Raja Djaafar dan menatap mata anak Bugis yang membara dan siap membunuh. Lalu ke Tengku Ilyas, anak Melayu, yang walau tubuh tinggi dan kekar, tapi agak lembek dan separoh gerun. “Hem, empat lawan dua? Berebut apa?“ katanya minta penjelasan. Tak ada yang menjawab. Kedua pihak saling memandang. Tiba-tiba Ilyas mundur beberapa langkah, dan menarik lengan Harun. “Kelak, kita selesaikan anak Bugis itu,“ katanya. Lalu berempat mereka kembali ke arah semak dan menghilang ke dalam gelap. Sementara Djaafar dan Husin, mengendorkan emosi. Djaafar menyarungkan badik, dan Husin menarik napas lega. “Maaf kami Panglima. Sekedar membela diri,“ kata Husin, dan menyorong tangan minta maaf. Juga Djaafar. “Sudahlah, jangan semua sengketa diselesaikan dengan badik. Ada cara lain. Darah muda harus dikawal. Tak kan jadi pemimpin kalau terlalu pemanas,“ kata Panglima Sulong memberi nasihat. Djaafar dan Husin mengangguk, dan pamit. “Beta segan dengan Panglima Sulung. Orangnya arif dan adil. Kalau tidak... “ Djaafar membiar kata-katanya tergantung. Tapi Husin mengerti. Mereka memang amat hormat pada Panglima yang satu ini. Setelah kejadian itu, meski Ilyas beberapa kali memancing perkelahian, tapi Djaafar dan Husin, mencoba menghindar. “Beta bukan takut. Tapi Buntat tak hendak menjadi kekasih, kalau sampai soal ini diselesaikan dengan senjata,“ Djaafar memberi alasan, ketika pertama kali mereka berserempok dengan Ilyas dan Djaafar menyabarkan diri, sehingga Husin tertanya-tanya. Karena tak 40


Burung Elang Berekor Panjang biasanya sahabatnya itu menjadi begitu penyabar. Menurut Djaafar, sehari setelah peristiwa di tebing sungai itu, dia bercerita pada Buntat. Tapi Buntat langsung marah. “Jangan hamba ini jadi barang taruhan. Apalagi sampai berbunuh-bunuhan. Kalau sampai begitu, tak satupun yang dapat. Tidak juga Abang Djaafar. Apa hamba ini barang taruhan? Kepada siapa hamba ini memberikan hati dan cinta, tidak ditentukan oleh senjata dan kuasa. Tapi dari dalam diri ini. Tak dapat dipaksa. Kalau Abang Djaafar tak juga jadi sabar, dan menyelesaikan perseteruan dengan badik seperti perangai orang Bugis lainnya, tinggalkan Buntat sekarang. Buntat tak mau!“ tangis Buntat menyeruak dari beranda rumah tempat mereka bertemu. Djaafar tersengat hatinya. Matanya menatap perabung rumah Tengku Muda dan menarik napas. ”Sudahlah. Abang sudah memutuskan mencintai Buntat lahir batin. Apa adanya. Apa yang terbaik buat Buntat, Abang turut, sepanjang harkat dan martabat Abang tidak sampai terinjak-injak... “ kata Djaafar memberi jaminan. Dan sejak itu, dia terus berjanji pada dirinya untuk menjadi lebih sabar, lebih arif, dan menghindar dari perkelahian. Jika bertemu Tengku Ilyas dan teman-temannya di jalan, dia tetap berjalan lurus ke depan. Mengisar sarung badik ke depan, tapi tak memperdulikan musuhnya. ”Waspada saja. Kalau tidak sampai mengancam nyawa, biarkan si Liyas itu mati rancak sendiri,“ katanya pada Husin. “Yang penting bukan mengalahkan si Liyas, tapi menjaga hati Buntat,“ lanjutnya. Perseteruan keduanya terus membara. Tapi tak ada badik dan keris yang tercabut. “Kita buat layang-layang indah saja, tak usah layang-layang untuk bersabung. Yang penting, hati Buntat untuk kita,“ kelakarnya. 41


Bulang Cahaya

42


Ranjang Pengantin Melayu Bugis

3. Ranjang Pengantin Melayu Bugis DJAAFAR memang keturunan Bugis. Tapi bukan bugis tulen. Ayahnya adalah Raja Haji, juga bukan Bugis murni , karena masih mengalir darah Melayu dari sebelah ibu,Tengku Mandak. Tapi datuknya, Daeng Celak, memang Bugis asli. Bangsawan lagi. Menurut cerita ibunya, Daeng Celak adalah salah satu dari 5 bangsawan Bugis Luwu yang datang merantau ke semenanjung Melayu. “Dari mana ibunda tahu ceritanya ? “ tanya Djaafar pada ibunya. Ketika itu usianya baru masuk 16 tahun. Djaafar sangat dekat pada ibunya. Mereka berdua sering duduk-duduk di ruang Dalam istana Kota Piring. Berbagi cerita. Kadang petang hari. Tapi lebih sering sebelah malam, menjelang tidur. “Ya, dari ayah ananda. Dia mendapat cerita dari datuk ananda Daeng Celak “ kata ibunya, “ Tapi ibunda juga selalu bertanya dan mendapat cerita dari orang-orang tua,“ sambil mendelikkan matanya, pura-pura marah karena Djaafar tampak seperti kurang percaya. “Datuk ananda Daeng Celak itu, adalah yang paling gagah diantara lima bersaudara itu. Orangnya segak.Kulitnya hitam manis. Tubuhnya gempal, tapi sangat lemah lembut. Raut wajahnya selalu simun , tidak keras seperti saudaranya yang lain. Yang paling seram wajahnya, adalah Daeng Perani. Misainya lebat dan matanya selalu kemerah-merahan,“ lanjut ibunya. “O, itu sebabnya mengapa datuk diberi nama Daeng Celak “ kata Djafar, setengah bertanya, setengah bercanda, untuk menunjukkan rasa humornya. 43


Bulang Cahaya

Tapi ibunya mengangguk. “Kalau begitu, datuk suka bersolek?“ kelakar Djaafar lagi. Celak itu, memang salah satu alat berdandan. Di sapu di alis mata, sehingga tampak hitam. Juga di bulu mata, sehingga tampak menonjol, dan menantang. Lelaki, perempuan, ketika itu kalau pergi ke keramaian memakai celak. Ibunya lantas menceritakan siapa-siapa saja adik beradik datuknya itu. Mereka itu adalah Daeng Perani, Daeng Marewa, Daeng Manambun dan Daeng Kumasi. Mereka berlima adalah putera dari Daeng Rilaka, bangsawan Kerajaan Luwu di Sulawesi. Mereka berlayar jauh ke barat, karena tidak mau lagi melihat pertentangan dan perebutan kekuasaan yang tak henti-hentinya di dalam negeri mereka, Kerajaan Luwu. Semula mereka ingin merantau menuju pulau Jawa. Di sana ada seorang datuk luar mereka yang menjadi orang kepercayaan kompeni Belanda. Mereka ingin ikut dan mengabdi pada datuk luar tersebut.Tetapi karena sejak awal mereka tidak begitu suka terhadap kompeni Belanda, akhirnya mereka meninggalkan pulau Jawa, dan memilih terus berlayar ke barat, menuju semenanjung tanah Melayu. Mereka menjelajah Pantai Timur Sumatera.Mulai dari Palembang, Bangka, terus ke Jambi, Siak, Bengkalis, sampai ke Johor. Bahkan sampai ke Kembodja. “Makanya salah satu putera datuk ananda Daeng Perani, diberi nama Daeng Kembodja. Karena dia dilahirkan dalam perjalanan pulang dari Kembodja, dan lahir di Pulau Siantan, salah satu pulau di Pulau Tujuh“, cerita ibunya lagi. Setelah lebih kurang lima tahun malang-melintang, datukdatuk mereka terlibat dalam konflik politik di Kerajaan Johor. Ketika itu terjadi sengketa perebutan tahta kerajaan antara Tengku Sulaiman bersaudara,keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah yang berkuasa di Johor dengan Raja Kecik keturunan Sultan Mahmud, Sultan Johor sebelumnya. Sultan Abdul Jalil, menjadi sultan Johor, 44


Ranjang Pengantin Melayu Bugis setelah Sultan Mahmud tewas dibunuh Megat Sri Rama, panglimanya sendiri, orang dari Bintan, yang memberontak. Kata ibunya lagi, Sultan Abdul Jalil Riayatsyah itu, sebelum menjadi Sultan, dahulu namanya Tun Abduljalil. Dia adalah Bendahara Kerajaan Johor. Ketika Mahmudsyah tewas terbunuh, dia tidak meninggalkan seorang pun putera mahkota atau pewaris lainnya yang dapat menggantikannya. Maka menurut tradisi dan adat istiadat Kerajaan Johor, tahta jatuh ke tangan Bendahara, yang sebenarnya juga masih kerabat Sultan, namun dari garis keturunan yang agak jauh . Meskipun banyak ditentang oleh para pembesar kerajaan, terutama dari para pengikut setia Sultan Mahmudsyah , Tun Abdul Jalil akhirnya berhasil menjadi Sultan dan diberi gelar Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. “Memang banyak pengikut Mahmudsyah menuduh Tun Abdul Jalil lah yang merancang dan menghasut Megat Sri Rama agar memberontak. Mereka menyebar berita, Tun Abdul Jalili itu tahu Sultan tidak berputera, maka dia menyuruh Megat Sri Rama membunuh Sultan, agar dia dapat menjadi sultan. Kan Bendahara itu berhak jadi Sultan, hujjah mereka,“ cerita ibunya lagi. Tetapi, kata ibunya lagi, 20 tahun setelah Sultan Abdul Jalil Riayatsyah dinobatkan jadi Sultan Johor, muncul seorang bernama Raja Kecik, yang mengaku dirinya sebagai putera Sultan Mahmud. Putera dari salah seorang selirnya. Ketika Mahmud mati terbunuh, selirnya yang hamil tua berhasil dilarikan oleh salah seorang panglimanya. Kononnya, Raja Kecik dibesarkan di Minangkabau, di Istana Pagaruyung. Setelah dewasa, Raja Kecik datang ke Johor, dan dia menuntut agar tahta kerajaan diserahkan kepadanya, karena dialah pewaris sah Sultan Johor. Tapi Sultan Abdul Jalil Riayatsyah menolak. Maka Raja Kecik pun melakukan pemberontakan. Didukung oleh para pengikut Sultan Mahmud dan orang-orang Selat (Suku Laut) yang berdiam di selat Temasek, 45


Bulang Cahaya

di pulau Rempang dan Galang, akhirnya dia berhasil merampas tahta kerajaan, dan menyingkirkan Sultan Abdul Jalil. Bahkan dalam satu pertempuran, Sultan Abdul Jalil Riayatsyah tewas dibunuh oleh Panglima Sekam, orang kepercayaan Raja Kecik. Putera-puteri Sultan Abduljalil, seperti Tengku Sulaiman dan saudara-saudaranya Tengku Tengah, dan Tengku Mandak, tidak bisa menerima begitu saja kekalahan itu. Mereka marah terhadap penghianatan Raja Kecik, yang semula berjanji akan mengambil alih tahta dengan damai, dan sudah pula diadakan perundingan, tetapi kemudian Raja Kecik berhianat dan membunuh Sultan Abdul Jalil.Karena itu, mereka kemudian meminta bantuan pihak-pihak lain yang setia pada ayahnya. Namun, bantuan yang diperoleh tidak cukup kuat untuk mengalahkan Raja Kecik. Akhirnya Tengku Sulaiman bersaudara minta Daeng Marewa bersaudara untuk membantu mereka melawan dan menyingkirkan Raja Kecik dari tahta Kerajaan Johor. Tengku Sulaiman bersaudara mendengar kelima anak bangsawan Bugis itu bukan main gagah dan beraninya. Telah tersebar kabar, mereka telah mengalahkan banyak perompak dan lanun. Mereka juga dikabarkan telah membantu para raja-raja di selatan negeri Johor mempertahankan tahta mereka dari serangan para pemberontak. “Kalau anak-anak bangsawan Bugis itu mau membantu kami dan mengalahkan Raja Kecik, kami mau berbuat apa saja. Tak usahkan menjadi penanak nasi, menjadi nasinya sekalipun kami mau,� begitu kononnya kata Tengku Tengah, salah seorang anak Tun Abdul Jalil itu memberi janjinya kepada kelima anak bangsawan Bugis Luwu itu. “Bunda dengar dari cerita orang-orang tua yang tahu ihwal itu, niat Tengku Tengah meminta bantuan anak-anak Bugis itu, bukan semata-mata karena Raja Kecik sudah merampas tahta Kerajaan Johor dan membunuh ayah mereka Tun Abdul Jalil.Tapi, 46


Ranjang Pengantin Melayu Bugis Tengku Tengah juga sakit hati kepada Raja Kecik, telah memberinya malu. Konon, sebelum Raja Kecik merebut tahta kerajaan, dia sudah datang bertemu Tun Abdul Jalil dan ingin mengikat persaudaraan. Lalu dia meminang Tengku Tengah untuk dijadikan isterinya. Tun Abdul Jalil setuju dan mereka mengikat pertunangan. Tetapi begitu Raja Kecik melihat adik Tengku Tengah yang bernama Tengku Kamariah, serta-merta hatinya berubah. Tengku Kamarian lebih memikat hatinya. Dia minta pertunangan dibatalkan, dan ingin mengawini Tengku Kamariah. Tun Abdul Jalil menolak, tetapi Raja Kecik mengancamnya. Akhirnya Tun Abdul Jalil mengalah. Pertunangan dibatalkan. Raja Kecik mengawini Tengku Kamariah, meskipun perkawinan itu nyaris secara paksa “ cerita ibunya. “Pengkhianatan Raja Kecik itu,lanjut ibunya, menimbulkan kemarahan dan dendam Tengku Tengah. Kemarahannya itu dia tunjukkan benar saat dia dan saudara-saudaranya bertemu dengan Daeng Celak bersaudara. Kononnya, karena begitu marahnya, sambil melempar salah satu gewang pengancing kebayanya, Tengku Tengah berkata: “Inilah saat kami membalas sakit hati dan menebus malu,” dan Tengku Tengah menatap mata Daeng Marewa, salah satu bangsawan Bugis itu, seakan meminta jawab, ketika itu juga. Seakan-akan ingin mengugat, “Berani tidak hai anak-anak Raja Bugis?” Ternyata datuk-datuk Raja Djaafar, Daeng Celak bersaudara, bersedia membantu keturunan Tun Abdul Jalil tersebut. Tetapi ada syaratnya. Ada imbalannya. Imbalan yang layak. “Saudarasaudara sebelah Melayu kan tahu kami ini orang-orang perantauan. Tak ada harta benda dan sahabat handai. Jadi kami ini ingin jugalah berkampung halaman dan menetap di tanah Melayu ini,” kata Daeng Marewa, saudara nomor dua dari lima bersaudara itu. Yang tertua adalah Daeng Perani. 47


Bulang Cahaya

“Apa yang Datuk ananda bersaudara minta sebagai imbalan? Menikah dengan Tengku Tengah?“ tanya Djaafar pada ibunya. Dia seperti tak sabar menunggu lanjutan cerita ibunya. “Bukan. Imbalan yang diminta oleh datuk-datuk ananda itu, yang utama adalah, apabila mereka menang dan berhasil mengalahkan Raja Kecik, maka kelima bangsawan Bugis dan keturunannya harus diangkat menjadi Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda Kerajaan Johor, serta memegang kendali pemerintahan dalam bidang pertahanan dan keamanan negeri. Sementara keturunan Tun Abdul Jalil akan menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar yang memegang kendali pemerintahan dalam masalah agama, adat dan pemerintahan umum“, cerita ibunya. Rupanya, lanjut ibunya, Tengku Sulaiman dan saudarasaudaranya setuju, sekalipun ditentang banyak kerabatnya yang lain, seperti Bendahara Pahang, Tun Abdul Majid, Temenggung Abdul Jamal dan Sultan Terengganu. Tengku Sulaiman bersaudara serta Daeng Celak bersaudara kemudian membuat perjanjian . Sumpah Setia antara kedua belah pihak yang mengikat sampai ke anak cucu. “Namanya Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis,” tambah ibunya lagi. “Akhirnya mereka berperang melawan Raja Kecik ? “ “Ya, apalagi. Itulah janji mereka. Mana ada orang Bugis itu tak menepati janjinya ? “ Djaafar mengangguk-anguk kecil.Di dalam batinnya dia bangga akan sikap kesatria para datuknya. Dia sendiri juga ingin mewarisi sikap itu, termasuk sikap kesetiaan orang Bugis dalam berjanji. Perang saudara perebutan tahta Kerajaan Johor itu berlangsung beberapa tahun. Akhirnya, Raja Kecik kalah, tahta kerajaan jatuh kembali ke tangan Tengku Sulaiman atas bantuan Daeng Marewa bersaudara dan sekutunya. Ibunya memang tidak 48


Ranjang Pengantin Melayu Bugis menceritakan bagaimana jalannya perang saudara itu berlangsung. “Ayahanda ananda dan datuk ananda, memang tak mau bercerita soal perang itu. Dan ibunda pun, segan untuk bertanya. Bunda tidak seperti ananda yang rajin bertanya“, lanjut ibunya. “Tetapi, kenapa Yang Dipertuan Besar Sulaiman memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Johor ke Riau?“ tanya Djaafar lagi, meskipun ibunya sudah lebih satu jam bercerita. Sang ibu,tampaknya tak sampai hati membiarkan pertanyaan anaknya itu tanpa jawab. Biarpun malam sudah mulai larut, dan dirinya letih. “Sehabis perang itu, rupanya sudah sulit untuk membangun negeri Johor. Segala bangunan dan istana sudah porak poranda karena perang. Harta benda habis. Johor dan negeri di sekitarnya itu kononnya sudah nyaris menjadi padang terkukur. Tak bisa lagi untuk mencari kehidupan. Disamping itu, siang malam sisasisa laskar Raja Kecik terus mengganggu, sehingga keadaan sangat tidak aman. Atas usul Temenggung Abdul Jamal, mereka pindah ke pulau Bintan ini. Kan tidak begitu jauh. Berlayar tak sampai sehari ke arah selatan Johor, masuk ke selat Batam, Bulang, dan terus muara Bintan, dan masuk ke Ulu Sungai Riau. Disini kan tempatnya tersembunyi. Susah Raja Kecik mencari dan menyerang balas. Kata Temenggung, ini pindah sementara saja. Kelak, kalau Raja Kecik sudah kalah dan Johor aman, ya, pindahlah lagi kembali ke Johor. Kan memang disana awal mulanya kerajaan ini “ jelas ibunya. “Apa dahulunya Bintan ini masuk jajahan kerajaan Johor? “ Djaafar balik bertanya. “Ya. Tapi istilahnya bukan jajahan. Bintan ini namanya daerah pegangan Temenggung. Dan menurut sejarahnya, sudah kedua kalinya, Bintan ini menjadi ibukota kerajaan . Yang pertama dulu, waktu Sultan Malaka Mahmudsyah, Sultan Malaka yang pertama, 49


Bulang Cahaya

diserang Peringgi . Karena tidak kuat menghadapi serangan Peringgi itu, Sultan Mahmudsyah mengungsi ke Bintan, membangun ibukota baru di hulu sungai Bintan. Pusat pertahanan mereka ada di Kota Kara, di sebelah utara. Dari sanalah mereka melanjutkan perlawanan melawan Peringgi “ lanjut ibunya. Djaafar mengangguk, tapi balik bertanya. “Apa tempat yang kita diami sekarang, sama dengan ibu negeri kerajaan Malaka dulu?“ Ibunya tersenyum, karena putera tertuanya ini amat cerdas, dan sangat berminat terhadap soal-soal pemerintahan. Dia mendengar dari beberapa pembesar istana, Djaafar memang rajin bertanya kepada mereka tentang hal ihwal kerajaan, terutama tentang pemerintahan dan adat istiadat, serta hubungan dengan pihak-pihak di luar Riau. “Tidak, anakku. Ulu Riau ini dahulunya bernama Sungai Carang. Negeri ini pertama kali didirikan oleh Sultan Johor Tun Abdul Jamil. Baginda selalu berpergian ke rantau jajahannya, dan singgah di sungai carang ini. Karena letaknya yang bagus, maka Baginda membuat sebuah negeri disini. Namanya negeri Riau. Sungainya Sungai Carang. Sekarang ini, kita menamakannya Ulu Riau, karena sungai yang terbentang mulai dari muaranya di Kampung Bulang itu, sampai ke hulu tempat Yanag Dipertuan Besar beristana, adalah sungai Riau. Bunda kurang tahu, siapa agaknya yang dahulunya memberi nama Ulu Riau,“ tambah ibundanya. “Ya, Ulu Riau ini memang bagus letaknya. Payah musuh untuk menyerang. Kan di muaranya ada pulau Penyengat. Ada tanjungtanjung yang boleh dipasang meriam untuk menangkis serangan,“ kata Djafar. Meski masih belia, dia sudah banyak memahami arti perang dan pertahanan negeri. Karena ayahnya Raja Haji, selalau menjelaskan padanya hal-hal yang menyangkut ilmu perang. 50


Ranjang Pengantin Melayu Bugis “Ya, kata ayah ananda, keputusan pindah ke Riau ini, sangat bijak. Karena itu, dahulunya, meskipun Raja Kecik terus menyerang, tapi dia tidak dapat merebut kembali tahta kerajaan Johor,“ jelas ibunya lagi. “Berkali-kali dia menyerang,setelah dia berhasil mengumpulkan kekuatan lagi. Dia memburu Tengku Sulaiman dan Daeng Marewa bersaudara. Berkali-kali pecah perang saudara di perairan Riau. Lagi-lagi Raja Kecik kalah. Akhirnya dia melarikan diri ke Siak Sri Indrapura, dan mendirikan kerajaan di sana, dan melupakan kerajaan Johor selamanya . Lalu, lanjut ibunya lagi, Tengku Sulaiman, kemudian dinobatkan menjadi Sultan Johor dan Riau oleh Daeng Marewa bersaudara. Gelarnya Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Sementara Daeng Marewa, saudara kedua lima bersaudara itu, dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda Johor-Riau, sebagaimana perjanjian persekutuan dan sumpah setia mereka di Johor. Semenjak itu, Johor sebagai pusat kerajaan telah ditinggalkan, dan pusat pemerintahan pindah ke Riau yang beribu kota di Ulu Riau. Sedangkan Johor menjadi daerah taklukan dan dipegang oleh seorang Temenggung, yaitu Temenggung Johor. Demikian juga dengan Pahang, di sebelah timur semenanjung, juga menjadi salah satu daerah taklukan, dan dipegang oleh seorang Bendahara, yaitu Bendahara Pahang. Hanya Terengganu yang berdiri sendiri, dan mempunyai sultan sendiri. Tetapi mereka adalah sekutu yang paling dekat dari Sultan Johor. “Orang-orang Terengganu itu, tak begitu suka kepada datuk ananda bersaudara,karena menganggap orang-orang Bugis itu telah merampas hak dan kekuasaan orang-orang Melayu. Tapi ibunda sendiri, tak begitu bersetuju. Kalau dulu orang Melayu dan Bugis tidak bersatu, manakan menang melawan Raja Kecik? Kalau dulu Melayu dan Bugis berseteru, manakan dapat merebut tahta Johor?“ 51


Bulang Cahaya

ibunya berdalih. ”Setelah Daeng Marewa wafat,” cerita ibunya lagi, ”dia digantikan oleh adiknya Daeng Celak, datuk Djaafar, sebagai Yang Dipertuan Muda II.” Sampai pada bagian ini, mata Djaafar berbinar, karena datuknya sendiri yang menjadi Yang Dipertuan Muda. Berarti dia adalah kuturunan langsung salah satu yang Dipertuan Muda Riau.Daeng Celak, setelah wafat diganti oleh Daeng Kembodja, anak Daeng Perani. ”Meskipun bangsawan Bugis Luwu ada berlima, tetapi yang memilih menjadi Yang Dipertuan Muda di Johor-Riau hanya berdua saja. Tiga lagi, yaitu Daeng Perani, Daeng Manambun dan Daeng Kumasi memilih hijrah dan menetap di daerah lain. Daeng Perani menjadi Raja Muda di Selangor. Daeng Manambun dan Daeng Kumasi, ke Kalimantan, dan menjadi Raja Muda di Pontianak dan Pemangkat,” lanjut ibunya Setelah Daeng Kembodja wafat, maka yang menggantinya adalah Raja Haji, ayah Djaafar. Dia adalah anak tertua dari Daeng Celak, hasil perkawinan dengan Tengku Mandak, anak perempuan kedua Sultan Johor Abdul Jalil Riayatsyah. “Ketika menang perang saudara itu, memang bukan hanya jabatan Raja Muda saja yang diberikan oleh Tengku Sulaiman bersaudara kepada Daeng Marewa bersaudara, tetapi juga ranjang pengantin. Daeng Marewa dikawinkan dengan Tengku Tengah, dan datuk ananda Daeng Celak dikawinkan dengan Tengku Mandak. Hanya adik mereka, Tengku Kamariah, yang memilih sehidup semati dengan Raja Kecik dan menetap di Siak sebagai permaisuri “ kisah ibunya. Djaafar mendengar cerita ibunya sampai larut, dan dia begitu bahagia mendapat cerita yang sangat panjang dan penuh riwayat. Sejarah nenek moyangnya. Sejarah negeri Johor dan Riau, tempat 52


Ranjang Pengantin Melayu Bugis dia kini dibesarkan. Apalagi, kemudian, ibunya menceritakan, bahwa perkawinan antara keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah dan bangsawan Bugis Luwu itu, justru dilakukan serentak,besarbesaran dan sangatlah meriah di Ulu Riau. Keramaian beragam macam. Ada pertunjukan Makyong, Mandora, Joget, dan lainnya, tujuh hari tujuh malam. Orang-orang Bugis perantauan yang ada di Johor, Malaka, dan lainnya, berdatangan ke Riau. “Waktu itu, sumpah setia Melayu-Bugis dikukuhkan lagi. Dan dimaklumkan lagi kepada khalayak ramai,“ kata ibunya melanjutkan cerita. “Pihak Melayu dan Bugis mengibaratkan mereka seperti sepasang mata. Orang Melayu adalah mata yang kanan, dan orang Bugis, mata yang kiri. Jika sakit mata kanan, maka mata kiripun sakit,” ibunya menggambarkan bagaimana hubungan pihak Melayu dan Bugis. Waktu itu. Dalam berbagi kekuasaan dan tugas, tambah ibunya, juga disepakati di depan umum. Orang Bugis mengumpamakan mereka sebagai pihak lelaki, yang mencari makan, sedangkan pihak Melayu yang diibaratkan perempuan. Pihak Bugislah yang mengepalai urusan perekonomian. Juga angkatan perang, untuk mengawal negeri. Pihak Melayu melalui Yang Dipertuan Besar, menjadi penjaga agama, adat-istiadat dan pemerintahan di dalam negeri. Karena itu para Laksamana, Panglima Perang dan Hulubalang, di bawah kuasa Yang Dipertuan Muda. Sementara Datuk Bendahara, Datuk Temenenggung, di bawah kuasa Yang Dipertuan Besar. Dari peristiwa persekutuan itulah kemudian Kerajaan Riau dibangun. “Dulu, waktu ibukota masih di Johor, orang menyebutnya kerajaan Johor. Sekarang karena ibukotanya di Riau, maka disebut kerajaan Riau,“ tambah ibunya. Sekarang ini, lanjut ibunya, jumlah penduduk di Riau terus 53


Bulang Cahaya

bertambah, dari hari ke hari. Terutama keturunan Bugis. Ada juga saudagar-saudagar Arab serta India. Sementara yang menetap di Johor makin berkurang. Johor memang sudah hampir kosong, meskipun sudah aman. “Apakah kelak kita akan kembali ke Johor, dan berkerajaan disana?“ tanya Djaafar, sekedar ingin tahu. Sebab, meski masih remaja, dia sudah merasakan adanya pertelingkahan kaum anatara pihak Melayu dan Bugis. Banyak orang-orang Melayu yang ingin memindahkan kembali pusat kerajaan ke Johor. Tapi pihak sebelah Bugis menganggap Riau adalah tempat yang paling tepat, dan Johor harus dilupakan. “Tak ada yang tahu “ jawab ibunya. “Tapi kata ayah ananda, di Riau lah kita akan berkerajaan selamanya. Di Johor, Malaka, sudah ada Belanda. Tidak aman dan selalu dimata-mata. Tapi di Riau, tak ada Belanda. Dan kitalah yang berkuasa “ lanjut ibunya. Wanita anggun, cantik, separuh baya itu, kemudian bangkit dari duduknya di Dalam Besar, bahagian istana tempat keluarga Yang Dipertuan Muda sering berkumpul. Dia, meletakkan ram sulamannya di atas meja. “Sudah hampir tengah malam. Sudah dingin. Tidurlah,“ katanya sambil menepuk bahu anaknya. *** SULTAN Riau , Sulaiman Badrul Alamsyah dengan bantuan Bangsawan Bugis yang menjadi Raja Muda-nya, berhasil membangun Riau. Memajukan ekonomi, dan menjalin perdagangan sampai ke Siam, Kemboja dan bahkan ke Sulu di selatan Filipina. Di samping dengan Kalimantan, Jawa dan Maluku. Sehingga Riau terkenal dan menjadi salah satu kawasan yang diperebutkan antara Kompeni Belanda dan Inggris karena hasil timah, gambir, getah dan hasil hutan. Ranjang pengantin Melayu Bugis di Johor dan Riau inilah yang menjadi teras dari munculnya dinasti baru Kerajaan Johor, 54


Ranjang Pengantin Melayu Bugis yaitu dinasti Abdul Jalil Riayatsyah (Tun Abdul Jalil) , menggantikan dinasti Mahmudsyah yang dahulunya bertahta di Malaka. Imperium Melayu Bugis yang tegak di Johor, Riau dan Lingga, begitulah kelak kerajaan itu dinamakan, bertahan lebih dari 100 tahun sebelum negeri itu terbelah dua, tenggelam dalam cengkeraman Inggris dan Belanda.

55


Bulang Cahaya

56


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang

57


Bulang Cahaya

4. Dendam Sejarah di Teluk Ketapang RAJA Haji, ayah Djaafar, adalah yang Dipertuan Muda Riau IV, tetapi dialah yang pertama dari keturunan Bugis Melayu, hasil dari politik ranjang Melayu-Bugis. Karena itu dia memakai gelar Raja sebagai gelar bangsawannya, bukan Daeng seperti Datuknya Daeng Celak. Demikian juga anak-anaknya, semua memakai gelar bangsawan Raja. Anak-anak Raja Haji itu selain Raja Djaafar, di antaranya adalah Raja Hamidah, Raja Idris, Raja Ahmad, Raja Siti, dan beberapa lagi meskipun dari ibu yang berbeda-beda. Raja Djaafar adalah yang tertua dan satu ibu dengan Raja Idris dan Raja Ahmad. Sedangkan Raja Hamidah, meskipun nomor dua tertua, tapi dari ibu yang lain, bersama Raja Siti. Masih banyak saudara-saudaranya yang lainnya dari isteri ayahnya yang lain pula. Ibu Raja Djaafar, adalah Tengku Putih, bangsawan Johor. “Isteriisteri ayah Ananda yang lain, adalah anugerah,” kata ibunya suatu kali. Salah satu isteri anugerah itu adalah Raja Perak, ibu Raja Hamidah, puteri dari Daeng Kembodja, masih sepupu jauh ayahnya. “Isteri anugerah?“ sela Djaafar, ketika mendengar ibunya menyebut kata itu. Meskipun masih muda, tapi raja Djaafar sudah tahu, apa itu permaisuri, apa itu selir. Tapi isteri anugerah, baru sekali itu dia mendengarnya. “Isteri anugerah itu, kata ibunya, adalah isteri yang diperoleh ayahnya, sebagai balas jasa karena ayahnya telah membantu beberapa kerajaan dalam berperang melawan musuh, termasuk Belanda. Itu hal yang biasa bagi orang berkerajaan.” “Biasanya disebut juga Nikahul siasah“ lanjut ibunya. 58


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Raja-raja yang sudah dibantu itu, menyerahkan puteri terbaiknya, sebagai tanda terima kasih, dan mengikat persaudaraan. Lahir batin. Makin banyak negeri-negeri atau raja-raja yang dibantu, maka makin banyaklah isteri anugerah itu diperoleh. Ayah Djafar, memperoleh isteri anugerah itu antara lain dari Mempawah, di Kalimantan, dari Jambi, dan beberapa tempat lainnya. Tetapi karena mereka itu isteri Yang Dipertuan Muda, mereka tidak disebut permaisuri, dan tidak ada pula yang disebut selir atau gundik. Sebutan permaisuri dan selir, hanya untuk Sultan atau Yang Dipertuan Besar. Raja Djaafar akhirnya paham, bahwa isteri anugerah itu, bagian dari perkawinan politik di masa Kerajaan Riau, untuk membangun persahabatan dan juga sebagai pampasan perang. Salah satu isteri anugerah ayahnya, yang oleh ibunya disebut ibu tirinya itu, yang paling dikaguminya adalah Ratu Emas, anak Sultan Jambi, karena orangnya selain cantik, juga sangat berani dan cerdas. Ayahnya, sangat menyayangi Ratu Emas ini. Semasa ayahnya menjadi Yang Dipertuan Muda Riau, pusat kediaman dan istana Yang Dipertuan Muda dipindahkan dari Ulu Riau ke sebuah pulau kecil di tengah-tengah sungai Riau itu, yaitu Pulau Biram Dewa. Tidak begitu jauh, hanya lebih kurang setengah jam berperahu menghilir dari Ulu Riau, tempat istana Yang Dipertuan Besar. Ayahnya membangun istana yang baru di Beram Dewa. Megah, berdinding kaca, bertembok kokoh. Sebagian temboknya terbuat dari susunan piring-piring porselen dari negeri Cina. Pilar istana itu bersaput perak dan tembaga. Istana itu kemudian dinamakan Istana Cahaya, dan tempat kediamannya di sebut sebagai Kota Piring. Semua kaum keluarganya tinggal di sini. Ayah Djaafar, Raja Haji, memang seorang yang kaya. Kekayaan itu, terutama diperolehnya dari hasil cukai dan jual beli 59


Bulang Cahaya

timah serta candu di peraiaran Riau. Dia membeli banyak barang indah dan mewah itu dari Malaka, yang ketika itu dikuasai oleh Kompeni Belanda. Di samping banyak pula dari hasil rampasan perang. Djaafar ingat, ada botol-botol madu buatan negeri Filipina ,dan barang-barang lainnya yang menghiasi istana itu, termasuk permadani Persia. Semua isteri dan anak-anak Raja Haji mempunyai tempat dan ruang tinggal di istana itu. Ada taman yang luas tempat bermain. Ada serambi tempat menerima tamu, dan sekali sekala dipakai untuk mengadakan pertunjukan kesenian, seperti zapin. Atau tempat membaca barzanji, syair-syair dan hikayat-hikayat lama, seperti Ratib Daman. Sebuah kehidupan yang mewah. Namun juga penuh adat-istiadat. Sementara Sultan atau Yang Dipertuan Besar beristana di Ulu Riau atau Riau Lama, agak ke hulu dari Kota Piring. Istana Yang Dipertuan Besar juga indah dan besar yang juga dibangun oleh Raja Haji. Setelah Sultan Sulaiman Badrulalamsyah wafat, dia digantikan anaknya Tengku Abdul Jalil. Tetapi hanya sebentar dan meninggal dalam perjalanan dari Rembau, Selangor, menuju Riau. Tengku Abdul Jalil digantikan oleh anaknya yang masih sangat kecil yaitu Mahmud, yang ketika dilantik masih berusia belum 12 tahun. Belum akil balig. Kematian Sultan Abdul Jalil dalam perjalanan, menjadi perbincangan kalangan kerajaan yang berasal dari keturunan Melayu. Karena mereka menuduh kematian itu telah direncana. “Yang Dipertuan Besar Abdul Jalil sengaja diracun,� tuduh mereka. Tujuan pembunuhan itu, agar sultan dari keturunan Melayu sejati, yaitu Melayu Johor segera berakhir dan diganti dengan keturunan Melayu-Bugis. Itulah sebab,meskipun masih kecil, Mahmud segera dilantik menjadi sultan. Sebab Mahmud, adalah anak Sultan Abdul Jalil yang diperoleh dari isterinya dari puak Bugis, salah seorang anak dari Daeng Marewa. 60


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Pelantikan Mahmud ini sempat menimbulkan sengketa karena ditentang oleh pihak Melayu. Tetapi dengan kehebatan Daeng Kembodja yang menjadi Yang Dipertuan Muda waktu itu, tak ada yang berani menghalangnya. “Barang tahu semuanya. Inilah dia Sultan Johor yang baru. Sesiapa yang menentangnya, akan berhadapan dengan beta,� kata Daeng Kembodja, sambil mencabut halemangnya dan mendudukkan Mahmud di singgasana. Peristiwa inilah yang selalu dianggap menjadi punca perseteruan antara pihak Melayu dan Bugis. Punca dari pelanggaran terhadap sumpah setia Melayu-Bugis yang dibuat di masa awal persekutuan mereka di Johor dahulunya. Di tengah suasana dendam dan kecemburuan itulah, Raja Haji, ayah Djaafar memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda, menggantikan Daeng Kemboja. Raja Haji memang seorang pemimpin yang bijak dan berani. Ketika dia dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda, usianya hampir 50 tahun. Kaya raya dan matang . Dia sudah menjadi Kelana, yaitu suatu jabatan calon Yang Dipertuan Muda. Dia sudah malang-melintang di berbagai negeri dan ceruk rantau. Pergi dari satu perang ke perang yang lain. Raja Djaafar dapat mengingat dengan jelas bagaimana kharisma ayahnya. Belanda sangat segan dan hormat pada ayahnya. Karena itu utusan Belanda selalu datang ke Riau dan membawa hadiahhadiah, atau sebaliknya ayahnya diundang ke Malaka oleh Gubernur Malaka. Raja Haji juga mengerahkan armada-armada Riau berkeliaran di Selat Malaka. Patroli itu ditugaskan untuk merampas semua kapal-kapal asing yang berani masuk ke wilayah Riau tanpa izin. Termasuk Belanda. Riau ketika itu adalah salah satu pusat perdagangan timah dan candu, serta gambir. Ulu Riau, pusat kerajaan, berkembang maju. Penambahan penduduknya 61


Bulang Cahaya

berlangsung cepat. Bandar itu dikatakan didiami lebih dari 90 ribu jiwa. Perdagangan ramai. Sangking banyaknya perahu-perahu yang berlabuh dan bertambat di pelabuhan Riau, diibarat seperti susunan ikan yang dicucuk insangnya. Berderet-deret. Panjang. Teratur. Tetapi lima tahun setelah menjadi Yang Dipertuan Muda, ayah Djaafar akhirnya bentrok dengan Belanda. Punca sengketa mereka adalah soal sebuah kapal dagang Inggris bernama Betsy. Meskipun usia Djaafar ketika itu baru masuk 17 tahun, tapi dia ingat bagaimana ayahnya dan para pembesar kerajaan menjadi begitu marah dan dendam kepada kompeni Belanda, karena merasa martabat, marwah dan kedaulatan kerajaan Riau telah dicabar. “Orang-orang Belanda itu sungguh tak tahu malu. Kapal Inggris itu hak kerajaan Riau, karena masuk ke pelabuhan Riau. Kalau pun ada perjanjian bahwa kapal itu harus dibawa ke Malaka, tapi kitalah yang harus membawanya dan bukan mereka harus merampas. Lagi pula candu yang ada di kapal mesti dibagi dua,” katanya ayahnya penuh amarah. “Sebaiknya tuanku berangkat ke Malaka dan berjumpa dengan Gubernur,” kata Panglima Kubu. “Untuk apa ke Malaka. Dia kan sudah membawa paksa kapal itu ke Malaka. Kita telah dihina,” timpal ayahnya geram. “Gubernur Malaka itu harus diberitahu bahwa tindakan membawa sepihak kapal Betsy ke Malaka itu suatu penghinaan. Kita terikat pada perjajian Linggi, yang mulia,” lanjut panglima kepercayaannya itu lagi. Perjanjian Linggi itu adalah perjanjian yang pernah dibuat antara Kerajaan Johor-Riau dengan kompeni Belanda yang menguasai Malaka ketika itu, setelah Johor-Riau kalah dalam perang di Linggi. Perang itu, kononnya berkobar karena hasutan pihak Melayu, dan ketika itu, sebelah paha ayahnya sempat luka 62


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang parah tertusuk bayonet dan menyebabkan ayahnya agak pincang. Perjanjian Linggi itu ditandatangani oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Kembodja dengan Gubernur Belanda di Malaka, yang kemudian ketika ayahnya menggantikan Daeng Kembodja, diperbaharui lagi. Perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa semua kapal-kapal asing yang dirampas di wilayah itu, menjadi milik bersama. Jika Belanda berperang, maka Riau harus membantu. Begitu sebaliknya. “Bagaimana mulanya sengketa kapal candu itu, Panglima,“ tanya Djaafar pada Panglima Kubu. Djaafar memang ingin benar tahu, karena inilah peristiwa yang paling besar yang pernah didengarnya, yang menyebabkan ayahnya ingin memerangi Belanda. Menurut Panglima Kubu, sengketa itu dimulai ketika sebuah kapal dagang Inggris yang bernama Betsy, masuk ke Riau dan berlabuh di Pulau Bayan. Kapal itu membawa lebih 1.000 peti candu. Kapten Robert Goddes yang menjadi nakhoda kapal itu mengaku, kapalnya terpaksa merapat ke Riau, karena dihantam angin ribut. Padahal sebenarnya mereka akan pergi ke Batavia. “Kalau angin sudah reda, kami akan berlayar lagi ke Batavia,“ ujarnya melalui seorang penterjemah kepada Syahbandar Riau, Encik Malik, yang datang memeriksa. Syahbandar Malik melaporkan hal itu kepada Sultan Mahmudsyah, dan Sultan Mahmud minta Yang Dipertuan Muda Raja Haji untuk menyelesaikannya. “Patik rasa, kalau kapal Inggeris itu mau menjual candunya, kita boleh membelinya untuk kita perdagangkan lagi, daripada jatuh semuanya ke tangan Kompeni,“ kata Raja Haji memberi saran. “Kalau ayahanda merasa patut, ya anaknda mengikut saja. Tetapi apakah kita tidak melanggar perjanjian dengan Belanda? Mana tahu mereka menuntut kita, karena candu itu akan dibawa 63


Bulang Cahaya

ke Batavia,“ Sultan Mahmudsyah agak ragu. Keraguan Sultan Mahmudsyah, juga dibenarkan Raja Tua, penasehat kerajaan. “Yang Dipertuan Muda perlulah menyuruh sekretaris kerajaan menyimak lagi surat perjanjian Linggi itu. Jangan sampai kelak Belanda di Malaka mendapat helah untuk mendakwa Riau,“ kata Raja Tua . “Kalau begitu kita tahan dulu kapal Inggris itu. Lalu segera kita hantar surat ke Malaka dan memberitahu Gubernur Malaka, bahwasanya kita sedang menahan kapal itu dengan segala muatannya. Apa pendapat mereka,“ kata Raja Haji memberi saran.Tapi tampak benar dia ingin soal itu segera diputuskan. Sebetulnya, tanpa meminta petimbangan dari para penasehat kerajaan pun Raja Haji boleh memutuskan sendiri. Sebab, sebagai Yang Dipertuan Muda, tugas dan wewenang dialah untuk mengatur soal keamanan dan perhubungan dagang dengan pihak luar.Tapi karena ada Yang Dipertuan Besar, dan Raja Haji tak mau dinilai semena-mena, maka dia mau terus bermusyawarah. Akhirnya Yang Dipertuan Besar sepakat, dan Raja Haji segera menyuruh sekretaris kerajaan membuat surat, dan mengutus dua Silawatang nya ke Malaka, Encik Samad dan Daeng Usman. Dalam urusan antar mengatar surat dan perjanjian, kerajaan Riau memang mempunyai petugas khusus yang bergelar Silawatang. Mereka ini kebanyakan mahir berunding, dan pandai berbahasa lain, selain bahasa Melayu. “Segera berangkat, dan sampaikan surat ini. Bicarakan, dan minta jawaban segera “ perintah Raja Haji. Sementara utusannya berangkat ke Malaka, Raja Haji mengirim utusan lain bertemu Nakhoda Robert Goddes. Bertanya apakah Robert Goddes mau menjual candu itu kepada Riau. Tetapi, belum lagi surat Sultan Riau diterima Gubernur 64


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Malaka, dan utusan Raja Haji berangkat pergi berunding, tibatiba datang sebuah kapal Perancis bernama Saint Thresse dengan kaptennya Barbaron Mathurin. Kapal itu langsung merepat ke kapal Betsy. Kemudian orang Perancis itu mengutus dua orang warga Malaka, seorang Melayu bernama Encik Kamis dan seorang Keling bernama Encik Tambi, untuk menghadap Sultan dan Yang Dipertuan Muda. Begitu mereka tiba di istana, keduanya menyampaikan, bahwa candu yang berada di dalam kapal Betsy itu, adalah kepunyaan Tuan Barbaron Mathurin. Candu-candu itu sudah dibelinya dengan harga lebih kurang dua puluh ribu uang Spanyol. “Jadi tuan Barbaron akan mengambil candu-candu itu, dan membawa kapal Inggris itu ke Malaka,“ kata Encik Kamis utusan Barbaron. Sultan Mahmudsyah dan Raja Haji terkejut, karena sebelumnya Kapten kapal Betsy, Robbert Goddes, tidak pernah mengatakan bahwa candu-candu itu sudah dibeli orang. “Bila masa terjadi jual beli? Kapten Goddes berkata, candu itu mau di bawa ke Batavia!“ Raja Haji berkata dengan keras kepada kedua utusan Barbaron Mathurin itu. Kedua utusan itu, meskipun tampak terperanjat, tapi dengan cerdik berkelit. Mereka mengatakan, pihak yang akan menerima candu-candu itu di Batavia, adalah Tuan Barbaron itulah. “Karena kapal Betsy itu terlalu lama di perjalanan dan belum sampai ke Batavia, maka Tuan Barbaron datang mencari kapal itu . Dan dia mendapat kabar kapal itu di Riau, maka masuklah Tuan Barbaron ke Riau.“ kata Encik Tambi. Keling itu tampaknya memang pandai bersilat lidah, dan mengira Raja Haji dan para Laksamana Riau tidak paham seluk beluk pelayaran di Selat Malaka. “Dalih! Tuan Barbaron dan kapal Therese itu, adalah perompak di selat Malaka. Tuan Barbaron itu, dalam kawalan dan lindungan Gubenur Malaka. Beta sudah pernah tersampok dengan 65


Bulang Cahaya

kapal perompak itu,“ sergah Raja Haji. Laksamana Ibrahim mengangguk dan membenarkan ingatan Raja Haji, karena dia pernah bersama berpatroli di laut Riau dengan Yang Dipertuan Muda, dan bertemu dengan kapal Barbaron. “Kapal tuan Barbaron itu dikawal dua buah kapal perang Belanda,“ tegas Laksamana Ibrahim. Kedua utusan Barbaron terdiam dan mati kutu. Raja Haji lalu memerintah kedua utusan itu untuk segera pergi. “Beritahu tuan Barbaron. Ke luar dari Riau segera, atau beta serang!“ Kedua utusan ketakutan setengah mati melihat api kemarahan Raja Haji. Keduanya lalu berlari meninggalkan balairung istana dan bergegas menuju perahu yang membawanya ke Ulu Riau.Mereka segera berkayuh menuju muara sungai Riau, mencari kapal Saint Theresse yang berlabuh di pulau Bayan. Raja Haji sendiri, sehabis mengusir dua utusan itu, bersiap akan kembali ke istananya dan akan berkemas untuk segera mengusir kapal Perancis itu. Tapi, tiba-tiba dari pelabuhan, berlarilari seorang punggawa dan memberitahu, kapal Betsy telah dilarikan ke luar Riau. “Kapal Inggeris itu sudah berlayar bersama kapal Perancis. Mereka menghala ke selat Galang,“ kata punggawa itu. “Bedebah! Bila mereka lari? Bukankah utusan mereka sedang berunding di istana,“ Raja Haji tak percaya “Sudah lebih sejam yang lalu, Tuanku. Rupanya, utusan itu hanya dalihnya, untuk mengulur waktu supaya dapat lari ke luar Riau,“ kata Punggawa itu lagi. Bukan main marahnya Raja Haji. Dia memerintah Laksamana Ibrahim untuk mengejar kapal-kapal itu dan menangkapnya. 66


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang “Kalau patut dibakar, ya dibakar,“ perintahnya. “Tampaknya, Gubenur Malaka berada dibelakang orang Perancis itu. Kalau kita serang dan tangkap kapal-kapal itu, berarti kita akan bersengketa dengan Belanda. Apakah tidak lebih baik kita kirim utusan ke Malaka, dan bertanya. Kita pun sudah berkirim surat ke sana,“ Laksamana Ibrahim memberi pendapat. Pendapat itu menahan langkah Raja Haji. Dia ingat dua silawatang nya sedang ada di Malaka. Kalau sampai kapal-kapal musuh itu ditangkap dan dibakar, kedua utusannya akan ditangkap dan dibunuh juga. Raja Haji menahan geram. “Kalau begitu, beta akan ke Malaka. Biar beta bertemu Gubenur Malaka. Biar tahu hitam putihnya. Kalau akan berperang, ya berperanglah! “ pekik Raja Haji. “Itulah sebab, akhirnya Yang Dipertuan Muda berangkat ke Malaka,“ cerita Panglima Kubu lagi. Kini Djaafar menjadi lebih paham mengapa ayahnya begitu marah, dan akhirnya memilih jalan perang. “Memang sepatutnya lah Belanda itu diperangi, karena mereka tidak bersetia pada janji,“ ujarnya. Tapi setibanya dirumah, ketika dia ceritakan apa yang disampaikan Panglima Kubu, Ibunya mengajaknya duduk di Dalam Besar, dan membisikkannya sebuah kisah lain, tentang ihwal mengapa ayahnya sangat marah dan dendam pada Belanda. “Ayah ananda pernah merasa sangat terhina dan dipermalukan oleh orang Belanda sebelum ini,“ cerita Ibunya. “Setelah ayahanda menjadi yang Dipertuan Muda ? “ “Belum. Masih sebagai Kelana Jaya Putera “ “Apa sebabnya?“ “Dulu, ayah ananda pernah mendapat anugerah seorang perempuan Cina, dari Raja Tua Terengganu. Orangnya sangat 67


Bulang Cahaya

molek dan sudah masuk Melayu. Itu anugerah, tanda persaudaraan dan Raja Tua Terengganu mengajak berdamai dan menghapus sengketa,“ lanjut ibunya. Djaafar sempat melihat ibunya menerawang jauh. Memandang ke luar tingkap Dalam Besar dan seakan-akan mengenang suatu peristiwa yang pedih dan pahit. “Dahulunya, di masa Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja, pihak Melayu dan Bugis memang berseteru. Orang-orang Pahang sangat benci kepada orang Bugis. Tapi, ketika kerajaan Terengganu diancam orang Siam, ayahanda ananda datang ke sana dengan pasukan orang-orang Bugis dan membantu Raja Terengganu. Mereka melawan orang Siam bersama-sama, sampai orang-orang Siam itu mundur dan kembali ke negerinya. Karena berhutang budi itulah, Raja Terengganu menghadiahkan ayahanda ananda perempuan Cina itu,“ cerita ibunya lagi. Raja Djaafar tersenyum sejenak, meskipun dia tahu, ketika bercerita itu, ibunya tampak getir. Mungkin cemburu. Djaafar tersenyum karena membayangkan jalan hidup ayahnya. Ternyata, lelaki segak berahang kukuh dan gagah itu, banyak mendapat isteri anugerah dari mana-mana. “Ternyata ananda punya juga ibu tiri orang Cina. Tetapi ananda tak pernah melihatnya,“ dia berkelakar, tapi juga menyelidik. “Belum sempat jadi ibu tiri ananda. Belum dinikah!“ ujar ibunya “Amboi! Apa yang menjadi penghalang?“ desak Djafar. “Itulah kehendak Tuhan...Sejak semula ayahanda ananda bimbang dan mencurigai ada maksud jahat dibalik anugerah perempuan Cina itu,“ cerita ibunya. “Siapa yang bermaksud jahat?“ desak Djaafar. “Tun Dalam. Dia itu kan putera mahkota Terengganu, dan 68


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang dia sangat bencikan orang Bugis. Rupanya benar. dah Allahtaala menunjukkannya,“ lanjut ibunya. Djaafar tercengang. Tertunduk, dan menyesal karena telah mengolok-olok ayahnya tentang perempuan Cina itu. ”Lalu,” ibunya bercerita lagi. ”Tak lama setelah perempuan Cina itu dibawa ke Riau, datanglah sebuah kapal dagang Belanda, dari Malaka, berlabuh di pulau Bayan, di muara Riau. Nakhodanya, orang Belanda, turun ke darat, dan datang ke istana di Ulu Riau. Katanya mau berdagang. Tapi saat bersiar-siar di istana, rupanya, nakhoda Belanda itu, terserempok dengan perempuan Cina, anugerah Raja Terengganu itu. Kononnya Orang Belanda itu langsung terkesima dan jatuh hati, melihat kecantikannya. Dia tergila-gila padanya. Meskipun sudah diberitahu, bahwa perempuan itu milik Raja Haji, si Belanda tidak perduli. Berkali-kalilah kapal dagang itu datang bolak-balik ke Riau. “Entah bagaimana caranya, dia dapat melarikan perempuan milik ayah ananda itu, dan membawanya ke kapalnya. Lalu dibawanya berlayar. Kononnya di bawanya menuju Pulau Siantan,“ lanjut ibunya. Raja Haji marah dan merasa terhina, dan dia mengerahkan kapal perangnya, mengejar si Belanda ke Laut Cina Selatan. Apalagi kemudian Raja Haji mendapat kabar, bahwa Kapaten kapal dagang Belanda itu adalah orang upahan Tun Dalam, yang sengaja dusuruh datang ke Riau untuk memberi malu Raja Haji. “Orang Belanda itu disuruh membuat kerusuhan di Riau, supaya kelak ayahanda ananda bersengketa dengan Belanda. Dan mudahlah Belanda mencari sebab menyerang Riau,“ jelas ibunya. “Kalau sudah tahu semua itu muslihat, mengapa ayahanda kejar juga kapal Belanda itu?“ tanya Djaafar ingin tahu. “Itu soal marwah, bagaimanapun, perempuan itu sudah 69


Bulang Cahaya

diamanahkan dibawah lindungan ayahanda ananda. Makanya ayahanda ananda merasa bertanggungjawab,“ lanjut Ibunya. Tetapi, lanjut ibunya lagi, sudah takdir. Saat kapal Belanda itu sedang berlayar,turun angin ribut di laut Siantan, dan kapal Belanda itupun pecah. “Semua isi kapal tenggelam, termasuk Nakhoda Belanda itu, dan perempuan anugerah itu,“ tambah ibunya. Gagal membalas dendam, dan kehilangan salah satu wanita yang diamanahkan kepadanya, membuat Raja Haji, marah kepada semua orang Belanda. Dia menuduh Gubernur Malaka ikut bertanggungjawab atas penghinaan itu dan telah dihasut oleh Tun Dalam “Haram jaddah! Rupanya ada bangsa yang tak beradat dan tidak bermalu!“ pekiknya. Djaafar paham sekarang, mengapa sikap benci ayahnya pada Belanda di Malaka itu bertumpuk-tumpuk. Bukan soal perempuan, tapi soal kehormatan. Soal harga diri. Soal harkat dan martabat sebagai seorang bangsawan Riau. *** PETANG hari, setelah mengusir utusan Barbaron, Raja Haji, pergi ke Malaka. Tapi di tengah perjalanan, dia berpikir, bahwa sangat berbahaya kalau dia langsung ke Malaka. “Beta akan masuk dalam sarang harimau. Dengan tipu helah mereka, beta boleh ditangkap. Kita ke Muar saja. Itukan masih jajahan kita. Kelak kirim kabar ke Malaka, dan beritahu beta hendak berunding,“ katanya kepada Laksamana Ibrahim. Orang kepercayaannya itu setuju, dan kapal perang mereka mengarah ke Muar. Sehari setelah sampai ke Muar, mereka mengirim utusan ke Malaka, dan memberitahu bahwa Yang Dipertuan Muda Riau, ingin bertemu Gubernur Malaka. Gubernur Malaka, de Bruijn juga cerdik, dan tidak mau 70


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang datang sendiri ke Muar. Dia mengirim Abraham de Wind untuk mewakilinya. Akhirnya, kedua pembesar itu, bertemu di Muar, di rumah peristirahatan Yang Dipertuan Muda. “Kami minta separuh dari 1000 peti candu itu menjadi hak Riau,“ kata Raja Haji, yang diterjemahkan oleh Encik Yakop Rappa, salah seorang kepercayaannya dan pandai dalam masalahmasalah perdagangan. “Tetapi, kamilah bersama Tuan Barbaron yang membawa kapal England itu ke Malaka. Berarti tidak ada hak Riau untuk minta bagian ,“ jawab Abraham. Angkuh dan sombong. “Tapi kapal Betsy itu dibawa keluar dari Riau. Itu wilayah kekuasaan kami. Pihak Tuan membawa kapal itu secara paksa ke Malaka, tanpa izin kami. Itu namanya merampas! Melanggar perjanjian damai kita,“ balas ayahnya. “Di dalam perjanjian , tidak ada kewajiban pihak Nederland membagi rampasan, kalau yang menangkapnya pihak Nederland, di dalam daerah kekuasaan kami. Kapal dan candu itu sudah dibeli oleh Tuan Barbaron. Jadi pihak Belanda merampasnya dari Tuan Barbaron, di Malaka. Bukan di Riau. Tapi bagaimana pun Tuan Gubernur telah berkirim surat ke Batavia meminta petunjuk, apakah tuntutan Riau boleh dikabulkan,“ dalih Abraham de Wind lagi. “Cih! Tuan-tuan disini pandai berdalih. Kami tak mau hak kami dirampas. Kami tak mau kedaulatan negeri kami dilanggar. Pihak Malaka telah melanggar perjanjian yang sudah kita buat. Apalagi tuan Barbaron dan kapalnya itu adalah perompak. Tuantuan di Malaka melindunginya. Kalau begitu, tak ada gunanya perjanjian kita yang sudah ada selama ini,” kata ayahnya. Lalu dia menunjukkan surat perjanjian Linggi itu. Surat Perjanjian itu dibuat antara Gubernur Belanda di Malaka dengan Kerajaan Riau itu. Raja Haji lalu merobek-robek surat perjanjian itu, dan 71


Bulang Cahaya

mencampakkannya ke dalam keranjang sampah. “Kalau begitu kita berperang “ katanya. Lalu dia bergegas meninggalkan ruang pertemuan di Muar itu, dan segera kembali ke kapal kebesarannya Bulang Linggi, dan memerintah semua armadanya kembali ke Riau. “Kita akan berperang. Biar Belanda itu tahu dan membayar penghinaan mereka kepada Riau,“ teriaknya dari haluan Bulan Linggi, dan memerintahkan semua armada berangkat meninggalkan Muar. “Panglima, sesampai di Riau, persiapkan perang. Semua penjajab kita yang belum bermeriam, pasangkan. Beri tahu semua batin, untuk mengirim barisan pendayung dan pertikaman. Kubu Teluk Keriting dan Penyengat segera dikukuhkan,“ katanya memberi perintah kepada Panglima Ahmad dan Panglima Kubu, begitu masuk kedalam tenda perahunya. “Perintahkan semua kapal-kapal perang Riau merampas semua kapal-kapal Belanda yang melalui Selat Malaka dan Selat Riau. Suruh Laksamana Jahan berjaga di depan Pulau Sambu dan Batam, tangkap semua kapal Belanda yang lewat,“ perintah Raja Haji lagi. Sejak kejadian itu, Belanda memang panik. Banyak laporan yang mereka terima yang mengatakan kapal-kapal dagang mereka dirampas di laut oleh kapal perang Riau. Kapal-kapal perang mereka diserang. Tidak Cuma kapal Belanda. Kapal asing lainnya, juga diserang. Termasuk kapal dagang dari Cina. Belanda menderita kerugian besar. Mereka melapor ke Batavia, dan minta petunjuk bagaimana menghadapi Raja Haji. Akhirnya, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, memerintahkan Gubenur Malaka, untuk menyerang Riau. Mereka mengirimkan satu ekpedisi besar menuju Riau. Untuk menekan dan menghukum Riau. 72


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Lebih 20 kapal perang datang, membawa hampir 1.000 serdadu, dengan kapal komando Malaka Walvaren. Mereka mengepung Riau dari laut. Kapal-kapal perang itu berjejer di depan Pulau Penyengat dengan mulut-mulut meriam yang diarah ke muara Riau. Kemudian mereka memaklumkan perang, dan mulai menembakkan meriam-meriam mereka ke arah kubu-kubu Riau yang ada di Teluk Keriting, Penyengat, Pulau Bayan dan Tanjungpinang. Djaafar ingat bagaimana perang antara Riau dan Belanda itu meletus. Djaafar dan saudara-saudaranya melihat dari Kampung Bulang dan Kampung Melayu bagaimana perang berkecamuk. Dentuman meriam, dan semburan asap mesiu membahana ke udara. Semua orang dewasa pergi berperang. Menghunus badik, membawa tombak, membawa senapang. Djaafar sebagai anak tertua, tidak diizinkan ikut berperang, walaupun dia sudah menghadap ayahnya dan minta ikut serta melawan Belanda. “Ananda belum boleh ikut berperang. Ananda belum berlatih menjadi laskar, belajar berperang. Ananda adalah putera tertua, dan bakal pengganti ayahanda nanti sebagai Yang Dipertuan Muda. Tetaplah di dalam Riau, membantu pertahanan di garis belakang. Jaga ibu dan adik-adik Ananda, supaya ayahanda tidak bimbang berjuang,“ katanya ayahnya. Sebagai perintah, sebagai nasehat, sebagai ujud kasih sayang. Djaafar memang kecewa, dan merasa hampir tak berguna. Sudah dewasa. Orang berperang, dia tinggal di ibu kota. Tapi dia sadar, sejak dari masih kanak-kanak, ayahnya memang tidak ingin mendidiknya sebagai panglima perang. Tapi lebih diarahkan menjadi seorang pejabat pemerintahan yang berilmu, cerdas, dan bermartabat. �Biarlah para panglima dan hulubalang dari rakyat biasa yang berperang. Ananda, putera ayahanda, belajarlah menjadi ahli pemerintahan. Belajar bahasa, dan adat berkerajaan. 73


Bulang Cahaya

Ilmu agama, dan pergaulan dunia,“ nasehat ayahnya. Dengan perasaan sedih dan setengah hati, Djaafar, Husin dan pemuda sebaya, bertungkus-lumus menyusun batu-batu, kayukayu dan lainnya untuk membangun benteng. Di setiap dua puluh depa, dipasang sebuah meriam. Djaafar dan beberapa temannya mengangkut bubuk mesiu, dan menyimpannya dalam tong yang dibungkus dan dijaga dari rembesan air hujan. Siang malam, pinggangnya di selip badik. Lelaki tak berbadik, itu bukan lelaki,� begitu ayahnya selalu berkata, dan selalu mengajarkannya bagaimana merawat badiknya. Djaafar melihat bagaimana ayahnya dengan gagah berani bertempur melawan Belanda. Setiap istirahat perang menjelang malam, beberapa panglima ayahnya, seperti Panglima Ibrahim, Panglima Ahmad dan abang sepupunya Raja Ali, yang sudah ikut berperang, bercerita bagaimana ayahnya pindah melompat dari satu penjajab ke penjajab lain, di tengah tengah hujan peluru meriam Belanda, memimpin pertempuran. Panglima Ibrahim bercerita bagaimana ayahnya bersama ratusan prajurit Riau menghancurkan serdadu Belanda yang menyerbu pulau Penyengat. Sudah beberapa bulan berperang, tapi armada Belanda tidak berhasil memasuki muara Riau. Banyak kapal perang mereka tenggelam. Banyak serdadu mereka terbunuh. Belanda sebenarnya berharap Riau akan kalah dan menyerah setelah mereka mengepung dan memblokade laut, dan merampas semua kiriman bahan makan yang akan masuk ke Ulu Riau. Tapi, Belanda tidak tahu, diam-diam Raja Haji memerintahkan agar laskarnya menggali sebuah terusan melalui sungai Carang itu, tembus ke laut sebelah timur, dan tidak tampak oleh armada Belanda. Dari sanalah semua bahan makanan yang datang dari Inderagiri, Asahan, dan dari pulau-pulau disekitar Riau, masuk ke pusat kerajaan, sehingga strategi Belanda gagal. 74


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Pada suatu siang , sehabis gemuruh tembakan meriam,terdengar pekikan yang riuh rendah. “Hore...hore.... kita menang... Belanda lari... Belanda lari...” begitu pekik orang-orang di Teluk Keriting dan Batu Hitam. Pekik itu kemudian menjalar sampai ke Kampung Melayu, Kampung Bulang dan Tanjung Unggat. Hari itu sudah hampir setahun perang berlangsung . “Ada apa panglima ? “ tanya Djaafar kepada Panglima Daeng Talibing, yang hampir tiap hari pulang balik dari medan perang ke Ulu Riau. Waktu itu, mereka sedang berada di benteng Teluk Keriting, mengantar bubuk mesiu untuk benteng itu. Dari arah benteng itu, mereka melihat asap hitam membumbung dari dekat pulau Paku, dan lambung sebuah kapal perang, tampak sedang terbakar. Pulau Paku terletak persis di tengah alur laut antara Tanjung Buntung dan pulau Penyengat. Tapi, mereka juga menyaksikan banyak kapal perang Belanda mulai membentang layar dan berlayar meninggalkan perairan Riau. “Kapal perang Walvaren tenggelam terkena meriam Tanjung Buntung,“ cerita Panglima Talibing. Kapal perang Walvaren itu, adalah kapal komando armada Belanda. Walvaren meledak di dekat Pulau Paku, terkena tembakan meriam dari kubu Batu Hitam dan Tanjung Buntung. Arnoldus Lemker yang menjadi pemimpinnya dan ratusan serdadu Belanda tewas, bersama kapal komando itu. Dia itu sebetulnya Wakil Gubernur Malaka. Dulu yang memimpin perang Laksamana Togar Abo, tapi dia sudah ditarik pulang ke Batavia. Sekarang armada Belanda lainnya diperintahkan mundur. Dan mereka kembali ke Malaka,“ lanjut Panglima Talibing setelah dia baru sebentar tadi diberitahu beberapa hulubalang Riau yang menyelidik sebab-sebab Belanda mundur. “Apakah mereka benar-benar sudah kalah?“ desak Djaafar lagi. Raja Husin duduk disisinya, mendengar dengan mata yang membesar. Beberapa anak muda lain, mengerubungi Daeng 75


Bulang Cahaya

Talibing. Mereka ingin tahu bagaimana Belanda sampai kalah. “Belum. Armada mereka masih banyak. Lebih dari 10 yang besar-besar masih tangguh. Mereka masih punya Laksamana Togar Abo sebagai pemimpin perang. Arnold Lemker itu hanya pengganti sementara. Sekarang mereka diperintah kembali ke Malaka, karena Malaka diserang oleh pasukan Selangor,“ cerita panglima Talibing, sambil bersandar di dinding benteng Teluk Keriting. “Pasukan Selangor? Pamanda Raja Lumu turun menyerang Malaka? Hebat! Kalau Riau dan Selangor bersatu, pasti Belanda akan kalah“ pekik Djaafar, gembira karena pamannya Raja Ibrahim yang juga dipanggil Raja Lumu itu, ikut menyerang Belanda di Malaka. Raja Ibrahim adalah yang Dipertuan Muda Kerajaan Selangor, di semenanjung Malaka. Dia putera Daeng Perani, dan sekutu Riau. Selangor sama seperti Riau, sangat dendam dan benci pada Belanda. Raja Djaafar dan teman-teman sebayanya segera kembali ke Ulu Riau, untuk mendengar kabar lebih lanjut. Djaafar sendiri sudah tidak sabar untuk bertemu ayahnya, dan meminta ayahnya bercerita tentang perang. Sesampai di Ulu Riau mereka mendapat kabar bahwa akan ada pesta besar merayakan kemenangan itu. Pesta tanda penghargaan dan terima kasih kepada semua pasukan Riau yang sudah berperang mati-matian melawan Belanda. Perayaan itu akan diadakan besar-besaran dan semalam suntuk. Raja Djaafar dan teman-teman sebayanya, seperti Raja Husin ikut bergembira-karena ayahnya dan orang-orang Riau merayakan kemenangan. Semalam suntuk joget dan pesta ria berlangsung di Tanjungpinang, Kampung Melayu, Kampung Bulang, sampai ke Ulu Riau. Istana Yang Dipertuan Besar di Ulu Riau bermandi cahaya. Demikian istana Yang Dipertuan Muda di Kota Piring. Orang bersuka ria. 76


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Mata Raja Djaafar berbinar-binar menatap sosok ayahnya. “Sungguh perkasa ayahanda! Kulitnya macam tak tembus peluru. Kebal. Sakti,” katanya kepada Raja Husin, memuji kehebatan ayahnya berperang. Dia begitu kagum dan bangga terhadap kegagahan ayahnya yang dapat mengalahkan Belanda. Di tengahtengah riuh-rendah pesta semalaman suntuk itu, dia melihat ayahnya berdiri dengan gagah di tengah orang ramai, menyaksikan tempiksorak kemenangan. Dia dengar bagaimana ayahnya mengumumkan dengan suara keras kepada khalayak yang menghadiri pesta kemenangan itu, keputusan mereka untuk terus berperang melawan Belanda. “Kita akan menghancurkan Belanda-Belanda kafir itu. Kita akan kejar dan serang mereka sampai ke Malaka sekali pun. Siapkan semua armada dan meriam kita. Kita ambil kembali negeri Melayu ini dari tangan orang-orang kafir itu,” kata ayahnya berapiapi. Lalu suara tempik-sorak setuju bergemuruh. Lautan obor dan nyala api bagai tarian perang mulai marak dan bergelombang di tengah-tengah larut malam. Gegap-gempita, seakan-akan Ulu Riau akan pecah oleh kegembiraan dan kemenangan itu. “Apa kita memang akan berperang lagi melawan Belanda dan menyerang ke Malaka? Apakah ananda boleh ikut serta berperang?“ tanya Djaafar pada ayahnya, setelah pesta kemenangan selesai dan ayahnya kembali ke istana. Djaafar bersimpuh di dekat ayahnya yang kebetulan sedang melunjurkan kakinya di samping meja tamu, di Dalam Besar. Adiknya Raja Hamidah dan Raja Idris, duduk juga disampingnya. Ibunya sedang menghidangkan kopi dan buah hulu Kamboja, penganan yang paling disukai ayahnya. “O, ya. Kita harus terus berperang melawan Belanda. Kita akan menyerang ke Malaka. Paman ananda Raja Lumu sudah 77


Bulang Cahaya

lebih dahulu menyerang. Sekarang mereka sedang berperang. Kita akan segera berangkat. Kalau Riau dan Selangor bersatu, insyaallah Malaka akan jatuh, dan kita akan mengusir Belanda dari Tanah Melayu,“ ayahnya bicara dengan suara yang tegas sambil menepuk bahu Djaafar. “Apa kapal perang kita masih cukup? Apa laskar kita masih banyak? Mengapa kami yang muda-muda ini tidak boleh ikut berperang? Bukankah sudah banyak laskar yang tewas? “ Djaafar mendesak ayahnya untuk memberi peluang dirinya ikut berperang. Dia merasa sudah sangat siap dan tidak takut mati. “Hhm.... kapal perang kita masih banyak. Prajurit Riau masih beribu-ribu orang. Tak ada yang kita takutkan. Tapi ananda, tak usah ikut berperang. Ingat pesan ayahanda. Ananda itu calon Yang Dipertuan Muda. Harus belajar memerintah. Belajar adat istiadat dan agama. Nanti, kalau ayahanda dan pasukan Riau berangkat ke Malaka, ananda dan keluarga kita ikut Yang Dipertuan Besar saja ke Johor, dan berkampung disana.“ “Mengapa ke Johor? Mengapa tidak ke Malaka saja, supaya ananda dapat melihat bagaimana perang berlangsung?” ”Johor itu jauh dari Malaka. Jadi Belanda tidak mudah untuk menyerangnya. Ananda kan tahu, dalam rombongan ananda ada Yang Dipertuan Besar. Tidak boleh sampai jatuh ke tangan Belanda. Kalau sampai jatuh, berarti negeri kita jatuh dan kita kalah,“ ujar ayahnya. Suaranya tegas dan keras, tampak sebagai perintah. Djaafar terdiam. Dia paham kini mengapa ayahnya memaksanya untuk tidak ikut berperang. Itulah siasah. Itulah cara berpemerintahan. Biar Raja Muda kalah, tapi Sultan tidak boleh ditaklukkan agar kerajaan tetap berdiri. Dari cerita beberapa pembesar dan hulubalang, Djaafar tahu, bahwa tidak semua pembesar Riau setuju kalau pasukan Riau 78


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang menyerang Malaka. “ Negeri baru habis perang. Banyak laskar dan hulubalang yang cedera. Mereka masih penat. Banyak parit kota yang harus dibangun,“ alasan mereka. Tapi ayahnya, tampak tidak perduli dengan lalasan itu. “Sekaranglah waktunya, selagi Belanda lemah dan kucarkacir. Lebih separoh perahu perangnya tenggelam. Sekarang, kakanda Raja Lumu sudah menyerang, dan Malaka benar-benar sudah terkepung. Kalau tidak sekarang, tak akan ada lagi kesempatan kita orang Riau menghalau Belanda itu “ hujjahnya berapi-api, di hadapan yang Dipertuan Besar, ketika mereka rapat, membicarakan serangan ke Malaka itu. “Beta rasa, ayahanda Yang Dipertuan Muda benar. Sekaranglah waktunya. Beta ikut mana yang baik. Beta pun ingin ikut berperang, menjaga marwah negeri,“ kata Sultan Mahmud. Melengking, keluar dari kerongkongan bangsawan muda yang belum 30 tahun usianya. Panas dan emosional. *** SUBUH, sebulan selepas kemenangan itu, setelah rencana menyerang Malaka itu disetujui, ayahnya dan seluruh armada Riau bertolak lagi menuju Malaka. Keputusan menyerang ke Malaka, ke sarang musuh itu, juga didorong oleh ajakan sepupunya Yang Dipertuan Muda Selangor, Raja Ibrahim, yang juga membenci Belanda. Begitu dia tahu Riau berperang melawan Belanda, dia pun terjun membantu dan menyerang Malaka dari semananjung. Dengan dua kekuatan itu bergabung, mereka yakin Belanda dapat diusir dari Malaka dan Riau. Ratusan perahu perang berjajar meninggalkan muara Riau. Laut putih oleh layar, bagaikan awan yang berarak. Bergelombang maju bersama sentakan angin Selatan. Di bahagian belakang puluhan kapal perang ukuran 50 sampai 60 depa membentangkan 79


Bulang Cahaya

layar, dan membawa ratusan pasukan Riau. Lebih 1000 orang berangkat, menyerang ke Malaka. Di dermaga Ulu Riau dan Kota Piring, isak tangis memecah subuh. Suami isteri yang berpisah, dan terisak dalam pelukan. Ayah dan anak bertangisan. Ibu-ibu yang melepas kepergian buah hatinya berangkat perang. Djafar menyaksikan kekebrangkatan itu dari tepi darmaga. Melihat bagaimana pasukan Riau berangkat menembus angin, mermpuh gelombang. Dan menyongsong peluru. Hatinya ngilu, menyadari dirinya yang sudah hampir 20 tahun umurnya, masih berdiri di dermaga, dan tidak ikut menghunus keris. Raja Djafaar dan saudara-suadaranya menyusul tiga hari kemudian bersama rombongan yang Dipertuan Besar. Pasukan ayahnya berkubu di Tanjung Palas, sebuah pulau , di seberang kota Malaka. Tetapi tidak tercapai oleh tembakan meriam benteng Malaka. Djaafar dan saudara-saudaranya, serta rombongan yang Dipertuan Besar Mahmudsyah menuju Muar, di Johor dan berkampung sementara di sana. Di Muar sudah tersedia rumah besar tempat Sultan Mahmud tinggal dan memerintah. Sedangkan untuk keluarga Yang Dipertuan Muda disediakan rumah yang lain. Cukup besar dan lapang untuk menampung lebih dari 20 orang.Dari keluarganya, yang ikut berperang bersama ayahnya, hanya ibu tirinya Ratu Mas, yang kata ayahnya sangat gagah berani, dan tak kenal takut. Dialah yang mendampingi ayahnya di medan perang, siang malam, dan ikut menikam musuh. Djaafar tidak dapat menyaksikan bagaimana jalannya perang di Tanjung Palas dan Teluk Ketapang, karena jarak antara Muar dan Malaka cukup jauh, hampir setengah hari berperahu. Hari demi hari dia menunggu kesempatan untuk ikut ke Tanjung palas. Tetapi tetap belum ada kesempatan. Berbagai kerabat dekatnya ada yang pulang mengambil perbekalan perang ke Muar, dan dari merekalah dia mendapat 80


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang kabar jalannya perang. Kabarnya, perang tersebut sama hebat dengan perang di Riau. Ayahnya dikabarkan mengamuk bagaikan singa luka, menerjang musuh. Mereka menyerang ke daratan Malaka, dan menyerang benteng-benteng pertahanan Belanda disana. Tangan kanannya menggenggam keris dan tangan kirinya mengacungkan kitab Dalail Khairat, tak kenal takut terhadap serbuan musuh dan hujan peluru. Memberi komanda untuk menyerang. “Selama lebih kurang tiga bulan berperang, sudah banyak pertahanan Belanda jatuh. Benteng Semabok, Bunga Raya, Bukit Cina dan Bandar Hilir sudah kita tawan. Tinggal benteng utama di kota Malaka saja yang belum jatuh,“ cerita Panglima Ahmad, ketika datang ke Muar, tiga bulan selepas perang meletus, mengambil perbekalan sambil melihat keadaan Yang Dipertuan Besar dan keluarga Raja Haji. “Sedikit hari lagi kita pasti menang. Orang-orang Belanda itu sudah hampir menyerah. Kota Malaka sudah terkepung dan mereka sudah kehabisan makanan. Benteng mereka akan segera jatuh ke tangan Riau,” cerita Panglima Ahmad lagi pada ibunya. “Pasukan Riau dibantu Yang Dipertuan Muda Selangor. Tak kuasa Belanda mnentangnya. Mereka hanya bertahan di dalam benteng saja ,” lanjutnya. Dalam masa perang berkecamuk itu. Yang Dipertuan Besar Mahmud datang juga ke Tanjung Palas melihat pasukan dan kubu pertahanan Riau disana. Tapi hanya sekejap karena Raja Haji segera menasehatkan Yang Dipertuan Besar itu agar segera kembali ke Muar, dan tidak usah ikut berperang. “Biarlah patik saja yang berperang. Patik sudah tua, tetapi Tuanku masih muda. Patik sudah banyak dosa, biar patik menerima hukumannya. Beta ingin syahid fisabilillah dan mendapatkan 81


Bulang Cahaya

fadilah . Tidak boleh sampai kedua-dua kuasa negeri yang tewas “ katanya memberi nasehat. “ Lagi pula patik mempunyai keturunan dan sanak keluarga. Perlulah ada yang membimbing dan menjaganya nanti,“ lanjut ayah Djaafar. Akhirnya Sultan Mahmud mengalah, dan kembali ke Muar. Djaafar sangat gembira mendengar kabar ayahnya terus menerus mengalahkan Belanda. Dia sudah membayangkan akan berjalan-jalan di Kota Malaka, melihat gedung-gedung dan kapalkapal perang Belanda yang dirampas ayahnya. “Sin, kita ke Malaka kelak. Beta hendak melihat pelabuhan dan benteng Belanda itu ,” kata Djaafar suatu malam pada Raja Husin. Husin ikut mengangguk dan juga punya hasrat yang sama. ”Hamba ingin pakai baju Belanda dan topi berbulu,” kelakar Raja Husin. Sampai bulan ke enam, pasukan Riau masih meraja lela menyerang benteng Malaka. Belanda bertahan disana dan terkurung. Tapi, satu hari, menjelang Subuh, lebih kurang delapan bulan setelah perang kedua ini dimulai, dia menyaksikan ibunya menangis, sambil memeluk adiknya, Raja Ahmad. Daeng Talibing, yang menjadi pengawal keluarganya, berbisik pada Djaafar. “Daeng, jangan menangis. Yang Dipertuan sahid fisabililah,” katanya dengan mata merah dan butir air mata di sudut matanya. Djaafar terperangah. Menatap tak percaya. Tak yakin, lelaki gagah perkasa, dengan halemang di pinggangnya itu bisa sahid. “Puang, siapa Belanda yang bisa mengalahkannya,” tanya Djaafar penasaran. Dia membayangkan ayahnya berkelahi dan bertikam dengan serdadu Belanda. Melawan kelewang, melawan bayonet tentera Belanda. Tak ada yang bisa mengalahkannya. “Dia kebal. Dia sakti,“ kata hati Djaafar. “Tak ada yang bisa menyentuhnya dari dekat, Daeng. Tapi barisan senapang Belanda menaburkan peluru. Peluru pecah, 82


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang ketika Yang Dipertuan akan merebut Benteng Malaka,” kata Daeng Talibing. “Belanda rupanya berhasil mendatangkan bantuan kapal perang dan makanan dari Batavia. Begitu dapat bantuan, mereka balik menyerang kita. Yang Dipertuan Muda tak mau mundur, dan terus bertempur, sampai di pantai kota Malaka. Disitulah peluru tabur menembus tubuh Tuanku,“ Daeng Talibing bercerita dengan suara serak. Menahan duka, dan mengelap air matanya. Djaafar termangu. Hatinya bagaikan amblas karena kehilangan lelaki yang paling dikaguminya. Lelaki gagah, ayahnya. Dia masuk ke dalam, dan melihat ibunya sembab. “Daeng, ayahmu sahid,” bisik ibunya nyaris tanpa suara. Djaafar mengangguk, dan bersimpuh di lantai. Dia mendengar tangis adiknya, Raja Hamidah, menggerung-gerung. Adiknya Raja Idris terpekur memandang lantai. Berita ayahnya tewas , membuat Raja Djaafar sangat terluka. Dia merasakan suatu kehilangan yang tak kepalang. Dia sadar, perasaan kehilangan itu, karena dia memang sangat dekat dengan ayahnya. Di antara saudara-saudaranya dia termasuk yang selalu diajak mengembara dari satu tempat ke tempat lain di kawasan daerah taklukan Kerajaan Riau. Dia pernah dibawa ke Asahan, ke Bangka, ke Pontianak, dan semenanjung Malaka. Ikut bertempur dengan ayahnya melawaan kapal-kapal perang Belanda di Selat Malaka. Semua kenangan bersama ayahnya melintas di matanya. Dia seperti melihat dari dekat dan jelas, saat ayahnya tertawa terbahak-bahak menyaksikan meriam Bulang Linggi menenggelamkan kapal-kapal musuhnya. “Sekali kita turun perang, kita harus menang. Kalau pun kalah, harus kalah secara jantan. Syahid fisabililah,” kata ayahnya sambil menepuk-nepuk bahunya. Dan sekarang, tepukan sayang itu seperti terasa di bahunya. Penuh kasih sayang, tapi menggugat. Air mata Djafar 83


Bulang Cahaya

menetes. “Dia memang sudah syahid. Fisabililah,” gumamnya dengan pedih, tetapi bangga. Gumam itu terdengar olehnya bagai sebuah jeritan, parau, basah oleh kesedihan dan kehilangan. Tiba-tiba, dia merasakan kemarahan yang besar. Seakan, saat itu, kalaulah bisa, dia ingin mengamuk. Menikam, menebas leher para musuh ayahnya, dengan halemang ayahnya. Dia marah karena tak bisa membela ayahnya. Membunuh pembunuh ayahnya. Dia marah. Dia dendam! Darah pahlawan dan semangat perang memang membekas di hati Djaafar akibat pengaruh ayahnya yang sangat terkenal keras, pemberani, dan oleh Belanda dijuluki “Raja di Laut “. Apalagi di antara saudara-saudaranya hanya dia yang menurut ayahnya berdarah prajurit. Suasana Muar begitu mencekam.Tak banyak yang mau bicara. Para lelaki berjalan tunduk dan lunglai. Para wanita bicara pelan sekali, dan bahkan seakan berbisik, dan sesekali menangis. Mata mereka memancarkan suasana luka dan dendam. Tetapi juga jejak putus asa. Di tengah suasana muram demikian, tiba-tiba Djaafar berpikir: siapa yang harus tampil memimpin? Memimpin perang dan pembalasan perang itu? Memimpin orang-orang yang semuanya seperti sudah kehilangan pegangan. Semua seperti pasrah dan menyerah. “Ibunda, siapa yang akan memimpin kita berperang lagi melawan Belanda ? Kenapa ananda tak boleh menggantikan ayahanda. Biar ananda menghadap Yang Dipertuan Besar. Biarlah ananda tewas, agar terbalas dendam kita semua“ tiba-tiba Djaafar bersimpuh di depan lutut ibunya. Ibunya terkesima. Matanya membesar, dan tiba-tiba dia meraung. “Tidak anakku. Tidak Daeng,“ pekiknya. “Kita bukan tandingan Belanda. Kita sudah kalah dan tak berdaya,“ lanjut ibunya. Djaafar terpekur. Menyesal dan nelangsa, karena merasa 84


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang sangat tak berguna. Tak berdaya. Dia mencekal hulu kerisnya, berlari ke luar rumah dan terjun ke halaman. Dia mencar-cari Daeng Talibing, panglima Ahmad, untuk diajak berunding. Tapi tak satu pun yang terlihat. Akhirnya dia terduduk di tepi tebing pantai. Kecewa. Bingung. “Apa yang harus beta lakukan? Beta kan anak Yang Dipertuan Muda?“ keluhnya. Dari pantai itu,dia memandang jauh ke tengah laut. Dia membayangkan dirinya berlayar dengan kapal perang menuju Malaka dan menyerang Belanda disana. Dia menikam-nikam mata kerisnya ke pasir pantai. Melampiaskan kemarahan ke pasir yang putih dan basah itu. Dia ingin menjerit. Tiba-tiba dia bingkas, dan ingin berlari ke kediaman Yang Dipertuan Besar. Menghadap dan minta izin memimpin pasukan Riau untuk meneruskan perang. Tapi belum lima belas langkah dia berlari, matanya tertumbuk dengan beberapa buah perahu perang yang berlayar perlahan, dengan layar yang nyaris tercabik-cabik. Warna layarnya hampir semuanya hitam , seperti bekas mesiu. Perahu-perahu itu, ada tiga buah, merapat ke arah pelabuhan Muar. Dia melihat sesorang bingkas dan turun dari perahu perang, dan berlari ke arah rumah tempat keluarganya berkumpul. “ Hhm bunda Ratu Mas....“ katanya. Djaafar pun mengalihkan larinya kembali ke rumah. Melihat kelebat ibu tirinya itu, pikiran Djaafar menjadi lebih jernih. Ternyata, ibu tirinya, masih hidup, dan kembali ke Muar. Kini dia sadar, satu-satunya orang yang dia lihat masih menyisakan semangat untuk melawan, adalah ibu tirinya itu. Dia ingin segera bergabung dengan ibu tirinya, dan ikut berperang. Dia tidak boleh lagi berdiam diri di rumah, dan bertahan di garis belakang. “Beta mesti berperang. Harus berperang “ katanya sambil berlari pulang. Di rumah, dilihatnya, suasana agak ramai. Dan terdengar 85


Bulang Cahaya

percakapan dengan suara yang keras. Ada teriakan, dan ada tangisan. Bercampur baur. “Beta akan lakukan apa saja agar kompeni keparat itu tidak merebutnya,” pekik ibu tirinya histeris. Djaafar naik ke beranda rumah dan menyaksikan ibu tirinya tercegat dengan tangan di pinggang. Matanya sembab, tapi mukanya merah padam. Ibu tirinya kemudian bercerita, dengan suara parau, bagaimana jenazah ayahnya Raja Haji, telah dirampas kompeni Belanda, dan dibawa masuk ke dalam benteng. Ibu tirinya telah berjuang untuk merebut kembali jenazah itu dan membawanya pulang ke Muar, tapi tak berhasil. Penjagaan demikian ketat, dan siapapun melintas di depan benteng itu, akan ditembak. Tak kurang dari 25 laskar Riau yang dipimpin ibu tirinya tewas ditembak, karena terjebak di dekat benteng, saat hendak merebut kembali jenazah Raja Haji. Ibu tirinya mendesak para panglima dan hulubalang yang masih tersisa itu untuk membantunya merebut jenazah Yang Dipertuan Muda Raja Haji dari tangan Belanda. Tapi tak ada dukungan yang berarti. Semua tertunduk, dan tidak hendak bicara. “Apa yang terjadi dengan kita semuanya ini? Orang Riau? Orang Bugis, orang Melayu? Tak berdaya lagi? “ tantangnya. Tak ada yang menjawab. Akhirnya Raja Djaafar sadar, hanya sebatas itulah kekuatan yang dapat ditunjukkan oleh ibu tirinya. Kekuatan seorang wanita. Sementara para pendekar dan hulubalang lainnya, terutama dari sebelah Melayu, sudah enggan mencabut keris. Apalagi Yang Dipertuan Besar masih sangat muda. Tidak dapat melakukan apapun tanpa dukungan Yang Dipertuan Muda. Sedang sebagian besar penasehat dan pembesar, serta hulubalang kerajaan telah ikut terkubur di Tanjung Palas. “Semua kekuatan kita sudah lumpuh. Kita kembali saja dahulu ke Riau. Berlindung, sambil menyusun kekuatan baru,” 86


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang tiba-tiba sebuah suara parau dan penuh rasa pedih terdengar dari sebelah kiri para kerabat dan pembesar yang berkumpul di ruang depan . Suara Raja Ali, sepupu Djaafar, anak almarhum Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja. Usianya sekitar 28 tahun. Muda dan segak, tetapi agak pemarah dan cepat emosi. Pemberang. Tapi dia sudah ikut berperang dengan Raja Haji sejak di Riau, dan terus ke Malaka. “Kita sudah mengirim utusan ke Pontianak dan Mempawah. Minta bantuan dari sana, tetapi tidak dapat datang dengan segera. Dari Asahan dan Inderagiri pun demikian. Jadi menurut pendapat beta, kita berundurlah dulu. Jangan kita mati sia-sia,“ lanjutnya. Artinya, Raja Ali mengajak mengalah dulu dan kembali ke Riau. Berdamai dengan Belanda, dan kemudian diam-diam mengatur perlawanan baru. Beberapa pembesar yang hadir, ada yang mengungkapkan keberatan, karena kalau munddur ke Riau, berarti akan jatuh dalam kekuasaan Belanda. Tapi Raja Ali yang sudah banyak pengalaman dalam perang dan pemerintahan, coba menyakinkan mereka. “Kita harus melindungi Yang Dipertuan Besar. Membawanya ke satu negeri yang kuasa Belanda tak mencapainya. Kalau sampai Yang Dipertuan Besar jatuh ke tangan Belanda, berarti kita tidak mempunyai Raja lagi. Berarti kita tak bernegeri lagi,” hujahnya. Ratu Emas, ibu tiri Djaafar meraung. Dia turun kembali ke halaman, dan berlari ke arah dermaga dan terjun ke penjajabnya. Terdengar sayup pekiknya kepada armadanya untuk segera berangkat ke Malaka. Djaafar tercenung. Semula dia ingin benar bergabung dengan ibu tirinya, melawan Belanda. Tapi, mendengar pendapat sepupunya Raja Ali yang sudah tidak lagi bersemangat, dan mengajak agar dipakai siasat, berperang diam-diam, dan kembali dulu ke Riau, hatinya jadi bimbang. Dalam hatinya, dia membenarkan pendapat sepupunya. “Jangan kita mati sia-sia, tanpa 87


Bulang Cahaya

tujuan,“ kata-kata itu diingatnya dengan baik. Usul Raja Ali itu segera disampaikan pada Sultan Mahmudsyah. Baginda sudah mendengar tewasnya Yang Dipertuan Muda. Ketika beberapa pembesar sebelah Bugis tiba di kediamannya, dia sedang berunding dengan beberapa penesehatnya. Wajahnya pedih, da matanya sembab. Tampaknya dia habis menangis. Dan ketika dia menyuruh para petinggi sebelah Bugis itu naik, suaranya parau. “Suruh pejabat negeri yang lain, yang masih ada, berkumpul. Kita lanjutkan musyawarah ini,“ perintahnya. Lalu semua pejabat negeri yang masih ada datang berhimpun di kediamannya dan berunding. Sultan Mahmud meminta semua pembesarnya memberi pendapat terhadap usul Raja Ali itu. Meskipun usianya muda, tetapi tampak sekali dia sudah bijak memimpin dan berani membuat keputusan. “Beta pikir, sebaiknyalah kita berundur dulu kembali ke Riau. Baik buruk kita berkumpul disana dan menyusun kekuatan baru untuk melawan. Sebahagian besar rombongan kita adalah perempuan dan anak-anak. Jangan sampai mereka terkorban siasia. Kita menghindar dulu,“ katanya. ”Tapi, Belanda pasti mengejar kita. Kita tak kuat lagi melawan,” Hulubalang Ansyar memberi pendapat. Orang Siantan ini, termasuk pembesar angkatan perang Riau yang masih selamat kembali, dan mundur ke Muar. “Hamba dan pasukan orang-orang Bugis, akan menyingkir ke luar Riau, mencari bantuan. Hamba akan ke Sukadana dan Mempawah. Kelak kami akan kembali membawa pasukan bantuan,“ kata Raja Ali. “Bagaimana kalau sampai Belanda mengejar ke Riau dan Yang Dipertuan Besar ditawan Belanda?“ tanya Hulubalang itu lagi. 88


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang “Utuslah Raja Tua dan Indera Bungsu untuk berunding dengan Belanda. Kalau kita harus mengalah, ya, mengalah, asalkan saja kita tetap boleh berkerajaan. Yang Dipertuan Besar, tidak boleh sampai ditawan, dan kerajaan Riau harus tetap ada. Meskipun hanya sebuah jajahan Belanda “ lanjut Raja Ali. Akhirnya Sultan Mahmud memutuskan, kembali ke Riau, dan akan segera berunding dengan Belanda. “ Kalau harus mengaku kalah, ya, kita lakukan. Tapi pandai-pandailah Raja Tua dan Indera Bungsu berunding “ katanya lagi. Ketika musyawarah itu bubar, Sultan sudah merintahkan, segera berangkat ke Riau. Tinggalkan semua harta benda yang tidak perlu. “Pokoknya, dahulukan nyawa. Anak-anak dan perempuan “perintahnya. Menjelang magrib, delapan perahu besar, berlayar meninggalkan Muar, menuju Riau. Angin selatan, telah menolong rombongan itu, berlayar laju, sehingga tak ada kapal perang Belanda yang mengejarnya. Belanda yang baru menang perang, lagi membersihkan Malaka dari reruntuhan, dan mayatmayat yang bergelimpangan. Dalam hati, Djaafar memuji usul yang diajukan sepupu jauhnya itu. Kalau diturutkan kemarahan, memang dia rela berperang sampai mati. Tetapi, semuanya akan hancur, dan mereka tak akan mampu mengalahkan Belanda. Tapi kalau kembali dulu ke Riau, dan menggalang kekuatan lagi, mereka bisa kembali melawan Belanda dengan kekuatan yang lebih besar. “Mungkin saja dengan bantuan ayahanda Raja Selangor, atau Mempawah, Belanda bisa dikalahkan,“ kata hatinya. Sebelum berangkat, Raja Djaafar sempat berjalan berdua dengan sepupunya Raja Ali dan mereka bercakap sepanjang jalan. Djaafar menyimpan banyak pertanyaan muskil yang mengganggu hatinya. “Menurut Kakanda, apa yang menyebabkan kita kalah. 89


Bulang Cahaya

Bukankah sebelumnya kita sudah menawan benteng Semabok, Bunga Raya, Bandar Hilir, dan hanya tinggal benteng kota Malaka saja yang belum jatuh. Itupun sudah terkepung dan menunggu takluk saja “ Raja Ali tercenung. Dia mengurut janggutnya yang sudah mulai panjang dan belum dicukur. Kebiasaan memelihara janggut itu persis seperti ayahnya almarhum Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja. Karena itu ayahnya itu setelah meninggal disebut Marhum Janggut. “Kakanda rasa, karena kita tidak mempunyai angkatan laut yang kuat. Meskipun kapal perang kita banyak, tetapi kecil-kecil. Penjajab kita hanya bermeriam dua belas. Sedangkan Belanda, kapal perangnya sedikit, tapi besar-besar. Meriamnya sampai lima puluh.“ “Tetapi bukankah kapal perang Belanda itu sudah banyak yang tenggelam ?“ “Ya. Tetapi tujuh hari sebelum Yang Dipertuan Muda syahid, Belanda mendapat bantuan kapal perang dari Batavia, lebih kurang tiga belas buah. Besar-besar. Konon yang memimpinnya Laksamana Jakob van Braam, seorang laksamana yang handal, dan sudah berperang di merata negeri di Eropa.“ Raja Ali menceritakan, bagaimana keadaan perang menjadi berbalik. Semula Belandalah yang digempur dan bertahan. Tapi begitu kapal-kapal perang baru itu tiba, maka pihak Riaulah yang diserang habis-habisan. Terjadi perang besar-besaran. Kapal perang Belanda menembakkan meriam mereka, dan menenggalamkan hampir semua penjajab dan kapal perang Riau. “Tembakan meriam mereka macam hujan dan pelurunya bertaburan ke mana-mana. Itulah yang menewaskan Yang Dipertuan Muda Raja Haji “ lanjut Raja Ali. “Satu persatu panglima dan hulubalang kita tewas. Akhirnya 90


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang kita terpaksa mundur, dan kalah,“ suara Raja Ali terdengar gemetar menahan kecewa Raja Djaafar terpaku mendengar cerita itu. Tak terasa airmatanya meleleh, membayangkan betapa berani dan nekadnya ayahnya melawan Belanda. Hanya dengan membawa laskar yang sedikit, dan armada perang yang kecil-kecil. “Hanya kehendak Allah Taala saja, kalau ayahanda sampai menang,“ ujarnya parau. Matanya basah, dadanya sesak. Tapi, dia masih sempat melambaikan tangan melepas keberangkatan sepupunya itu ke Sukadana. “Jaga adinda Hamidah,“ Djaafar berkata dengan pedih pada sepupunya, ketika melihat adiknya Raja Hamidah ikut pergi bersama sepupunya mengungsi ke Kalimantan. “Entah berjumpa lagi, entah tidak,“ katanya nyaris tak mampu menahan raungan tangis. *** SETELAH kembali ke Riau, Djaafar tinggal bersama ibu dan saudara-saudaranya di Kota Piring. Hanya adiknya, Raja Hamidah yang dibawa ke luar Riau oleh sepupunya Raja Ali. Mereka pergi ke Sukadana, dan menetap sementara di sana. ”Adinda tetap di Riau sajalah. Biar Kakanda ke Sukadana dan mencari bantuan di sana. Di Sukadana ada ayahanda Daeng Kemasi dan Daeng Manambun. Di Riau Adinda dapat membantu Yang Dipertuan Besar dan menjaga saudara-saudara kita yang lain. Adindalah satu-satunya yang sangat diharapkan jadi pelindung dan menjaga marwah orang-orang Bugis,“ kata Raja Ali memberi nasihat. Djaafar kembali kecewa dan merasa dikecilkan.Tapi dia sadar dan tahu bahwa dia memang harus menerima kenyataan itu. Selain memang masih muda, dia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi, sehari sebelum mereka mundur ke Riau, 91


Bulang Cahaya

paman jauhnya Raja Ibrahim, Yang Dipertuan Muda Selangor, datang ke Muar melihat anak-anak saudaranya yang ada disana. Dia juga menyarankan agar Djaafar dan keluarga Yang Dipertuan Muda Raja Haji, tetap di Riau. Kalaupun Djaafar tidak betah, Raja Ibrahim mengajaknya ke Selangor dan belajar memerintah di sana. �Ayahanda bisa melindungi ananda sekeluarga kalau memang Riau kurang aman,“ begitu kata Raja Ibrahim . Djaafar memang sangat hormat dan segan dengan paman jauh yang satu ini. Pamamnya itu, selalu menjadi orang yang dijadikannya tempat bertanya apa yang muskil. Pamannya itu pun, sekarang sedang mundur ke Selangor, setelah mereka gagal menanklukkan Malaka. Mereka juga merasakan kekalahan yang besar. Dan sedih, karena banyak pahlawan mereka yang tewas. Tetapi keadaan di Riau sudah semakin kurang aman. Sultan Mahmud dan para pembesar negeri Riau selalu khawatir, sewaktuwaktu Belanda akan datang ke Riau dan merampas tahta kerajaan, sekalipun sudah ada perjanjian damai. Karena sejak selesai perang, Belanda terus-menerus merasa diganggu oleh pasukan Raja Ali yang menyerang mereka di perairan Riau atau dekat perairan Kalimantan. Kata Belanda, Raja Ali bersekutu dengan para lanun dari Kalimantan dan Zulu. Mereka menuduh Sultan Mahmud melindungi Raja Ali dan pasukannya, karena itu mereka merencanakan akan menghukum Riau, jika masih terus melindungi Raja Ali. Untuk mengawasi Riau, Belanda menempatkan seorang Residen di Pulau Bayan dengan membangun benteng dan menempatkan satu garnizun di sana. Pulau Bayan itu luasnya tak sampai 500 depa persegi. Tetapi strategis. Persis di depan muara sungai Riau. Jadi apapun pergerakan orang Riau, akan diawasi pihak Belanda. Raja Ali dan sekutunya memang ingin membalas dendam. 92


Dendam Sejarah di Teluk Ketapang Beberapa bulan setelah Belanda menempatkan Residennya, Raja Ali dan pasukannya menyerang Pulau Bayan. Mereka menyerang David Ruhde, Residen Belanda di sana dan mengusirnya dari pulau itu. David dipaksa kembali ke Malaka dengan hanya pakaian sehelai sepinggang. Serangan Raja Ali itu menimbulkan kemarahan yang besar pada Belanda. Mereka segera menyiapkan ekpedisi untuk menghukum para pembesaran Riau, terutama keturunan Bugis yang mereka nilai sebagai biang keladi perlawanan itu. Atas nasihat para pembesarnya, Sultan Mahmudyah akhirnya meninggalkan Riau dan pindah ke Lingga, jauh ke selatan pulau Bintan. Hampir semua penduduk Riau yang berdiam di Ulu Riau pindah dengan perahu-perahu dan kapal perang. Lebih kurang 200 perahu. Hampir semua kerabat kerajaan ikut pindah, termasuk Raja Djaafar dan saudara-saudaranya. Mereka membangun kediaman baru di Daik, di Pulau Lingga. Sultan Mahmud membangun sebuah istana di Kota Damnah dengan bantuan orang-orang dari Bangka dan Kalimantan. Daik terletak di bagian hulu Sungai Daik, dan sangat sulit dimasuki dari luar. Di muara sungai itu ada Pulau Kelombok, dan Mepar, bak sebuah benteng alami. Di pulau itulah dibangun pertahanan, dibangun benteng, dan dipasangi meriam-meriam. Berjejer mengarah ke muara sungai, yang akan menyerang siapapun musuh yang masuk ke Sungai Daik. Perkiraan para pembesar Riau ternyata benar. Kira-kira tiga bulan setelah serangan Pulau Bayan itu, Belanda mengirimkan ekpedisinya dipimpin oleh Laksamana Pieter van Braam ke Riau .Ingin menghukum Sultan Mahmud yang mereka tuduh menjadi dalang penghancuran kediaman Residen David Ruhde dan melindungi orang-orang bugis pimpinan Raja Ali. Tetapi ketika mereka tiba di Tanjungpinang, Sultan Mahmud sudah tak ada. Sudah pindah ke Lingga. Meskipun mereka mendapat informasi 93


Bulang Cahaya

Mahmud pindah ke Pulau Lingga, tetapi ekspedisi itu tidak meneruskan pengejarannya. Mereka bertahan dan merebut kembali kawasan sekitar Ulu Riau dan Tanjungpinang. Hanya saja mereka mengirim utusan dan mendesak Sultan Mahmudsyah untuk mematuhi perjanjian kalah perang yang sudah ditanda tangani. Dan karena Residen David Ruhde telah diserang, dan menyerang itu, menurut mereka adalah orang Bugis dari Riau, maka Sultan Mahmud harus membayar denda. Karena masih baru saja kalah perang, dan negeri masih kacau balau, akhirnya Sultan Mahmud bersedia membayar denda daripada bersengketa lagi dengan Belanda. Tak kurang dari enampuluhribu gulden Belanda yang harus ditanggungnya. “Sampaikan kepada abang Ali, berhentilah menyusahkan Beta. Tak ada lagi harta benda kita untuk membayar,“ katanya menahan marah. Setelah menerima pembayaran denda, Belanda memutuskan membangun benteng baru dan kediaman baru untuk residennya. Tempat yang dipilih adalah Tanjungpinang, di seberang Pulau Bayan. Jaraknya dari Ulu Riau sekitar satu jam dengan perahu. Di sini mereka membangun benteng yang kuat, membangun pusat perkampungan baru untuk para serdadu mereka, sehingga dalam waktu hanya beberapa bulan, Tanjungpinang menjadi tempat yang ramai. Benteng itu mereka beri nama Kronprijn. Banyak serdadu Belanda yang ditempatkan di sini sehingga penduduknya tidak hanya orang-orang Cina para pekebun gambir saja seperti sebelumnya. Belanda menjadikan Tanjungpinang sebagai pelabuhan angkatan lautnya dan mengawasi pelayaran di Selat Malaka.

94


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam

5. Mengasah Pedang, Membarakan Dendam TIDAK semua para pembesar Keraajaan Riau pindah ke Lingga bersama Yang Dipertuan Besar Mahmudsyah. Yang ikut pindah ke Lingga kebanyakan keturunan Bugis. Sedangkan para pembesar keturunan Melayu, terutama keluarga Temenggung Abdul Jamal dan Bendahara Abdul Majid pindah ke daerah lain. Temenggung Abdul Jamal dan keluarga besarnya pindah ke Pulau Bulang, sebuah pulau yang terletak di antara Bintan dan Singapura, yang dahulunya disebut Temasek. Pulaunya besar, dan setengah hari pelayaran sudah sampai ke Singapura. Di masa Kerajaan Johor dahulunya, pulau ini memang merupakan daerah taklukan Johor dan di bawah kekuasaan Temenggung Johor. Sedangkan keluarga Bendahara pindah ke Pahang, di semenanjung Melayu di pantai timur, tak jauh dari Terengganu. Kawasan ini memang daerah dalam kekuasaan Bendahara. Di sini Belanda belum menancapkan kuasanya. Daerah kekuasaan Belanda masih di pantai barat semenanjung dan berada di bibir Selat Malaka, seperti Malaka dan Penang. Keluarga Temenggung Abdul Jamal dan Bendahara Majid memang sejak dulu tidak suka sekampung dengan keturunan Bugis. Ketika duhulunya pecah perang antara keturunan Sultan Johor Abdul Jalil melawan Raja Kecik, dan mereka pindah meninggalkan Kota Tinggi, ibu kota kerajaan mereka di Johor menuju Riau, mereka membangun kampung sendiri-sendiri. Temenggung Abdul Jamal di Kampung Bulang, sedangkan Bendahara dan saudara maranya di Kampung Melayu. Sedangkan Yang Dipertuan Besar beristana di Ulu Riau, dan Yang Dipertuan Muda di Kota Piring. 95


Bulang Cahaya

Para keturunan Bugis lainnya membangun kampung di Kampung Bugis dan Senggarang, berseberangan di muara sungai dengan pihak Melayu. “Untuk apa bersekampung dengan keturunan perampas hak-hak orang Melayu,“ kata para pembesar Melayu meluapkan rasa benci mereka. Kampung Melayu dan Kampung Bulang dulunya berpenduduk lebih dari seribu jiwa. Letaknya memang agak di bagian muara sungai Riau. Jika kapal-kapal atau perahu masuk ke hulu Riau, akan bisa melihat kedua kampung itu berjejer di tepi pantai sebelah selatan. Sedangkan pantai-pantai muara sebelah utara, seperti Senggarang dan Kampung Bugis, untuk orang-orang Bugis. Rumah-rumah model Malaka berjejer di kedua bibir pantai kampung-kampung tersebut. Yang membedakan adalah, rumah-rumah keturunan Bugis di Senggarang dan Kampung Bugis, kebanyakan beratap sirap, yaitu atap kayu yang ditarah tipis, dan bercat merah dan kuning. Sementara di Kampung Melayu, kebanyakan berwarna kuning dan hijau, dengan atapatap limas dan atap daun. Salah seorang keturunan Temenggung Johor yang tinggal di sini, di Kampung Bulang, adalah Tengku Muda Muhammad, anak tertua Temenggung Abdul Jamal. Mereka ini keturunan Melayu Johor. Mereka memilih tinggal di sini karena memang kurang begitu setuju kepada keputusan Tengku Sulaiman meminta bantuan kepada orang-orang Bugis. Mereka ingin dari pihak Melayu saja bersatu menentang Raja Kecik. Tetapi pendapat mereka tidak didengar Tengku Sulaiman dan saudara-saudaranya. Ketika terjadi perang saudara melawan Raja Kecik, mereka memang ikut bergabung dengan Daeng Marewa bersaudara. Tetapi begitu Tengku Sulaiman yang kemudian dilantik menjadi sultan, dan melantik pula Daeng Marewa ebagai Yang Dipertuan Muda, mereka menyatakan ketidaksetujuan mereka dan melawan 96


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam diam-diam. Karena itu, mereka memilih tinggal jauh dari ibukota kerajaan. Mereka memilih Kampung Melayu, dan Kampung Bulang. Dan sekali-sekali kembali ke Johor dan Pahang atau ke Terengganu. Pertentangan antara pihak Melayu dan Bugis itu memang terus merebak. Seperti api dalam sekam.Orang yang sangat membenci pihak Bugis itu, adalah Tun Dalam, putera mahkota Terengganu. Meskipun Terengganu itu bukan termasuk bagian dari Kerajaan Johor, tetapi karena Tun Dalam beristerikan salah seorang puteri Bendahara Pahang, maka dia lebih banyak berada di Riau ketimbang di Terengganu. Dan secara diam-diam dia menggalang perlawanaan menentang pihak Bugis dalam segala hal. “Sampai bila orang-orang Bugis itu akan bersimaharajalela di Riau, menindas dan merampas hak-hak orang-orang Melayu?” kata Tun Dalam suatu kali di depan mertuanya, Bendahara Majid, dan Temenggung Abdul Jamal. “Seharusnya kita memang tidak bersetuju kalau pihak sebelah Bugis terus-menerus mengambil kuasa atas kerajaan. Tetapi, Yang Dipertuan Besar sudah membuat ikrar sumpah setia. Pihak Bugis memang telah berjaya mengalahkan Raja Kecik. Adat orang Melayu pantang memakan sumpah!“ jelas Bendahara . “Apa ikatan setia Melayu-Bugis itu tidak boleh diubah? Ini kan negeri orang-orang Melayu? Cukuplah Daeng Marewa dan Daeng Celak saja yang dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda. Mengapa pula Daeng Kembodja juga dilantik? Dia kan cuma anak Daeng Perani, jadi anak saudara Daeng Celak. Bukan adikberadik sebagaimana ikrar? “ sanggah Tun Dalam. Bendahara Majid dan Temenggung Abdul Jamal meskipun maklum akan kekesalan Tun Dalam, tetapi lebih tahu asal usul ikrar sumpah setia dan kesepakatan antara Tengku Sulaiman 97


Bulang Cahaya

dan Daeng Marewa bersaudara. Makanya dia berdua lebih suka menentang secara diam-diam, dari pada berdepan, apalagi sambil bersilang keris. Mereka memilih, lebih baik berdiam di Kampung Bulang dan Kampung Melayu, jauh dari pihak-pihak Bugis. Jika sudah kesal benar, mereka kembali ke Johor atau Pahang. Bila ada panggilan dari Sultan, baru mereka kembali lagi ke Riau. “Itulah kita orang-orang Melayu, penakut sangat. Suka merajuk, takut dengan keris Bugis,� Tun Dalam selalu mengejek. Sambil menjaga jarak dengan pihak Bugis, Tun Dalam dan beberapa pemuka muda Melayu itu diam-diam terus melawan, dan mencarin akal untuk mengenyahkan pihak Bugis dari Riau. Suatu ketika, hampir-hampir saja mereka berhasil mengusir orang-orang Bugis dari Riau. Yakni ketika Tun Dalam berhasil membujuk Gubernur Belanda di Malaka untuk menyerang orang-orang Bugis di Linggi, Selangor. Tun Dalam berhasil meyakinkan Gubernur Belanda di Malaka, bahwa dia diutus oleh Sultan Sulaiman untuk minta bantuan Belanda agar mengusir orang-orang Bugis dari Riau, karena orang-orang Bugis di bawah pimpinan Yang Dipertuan Muda Daeng Kembodja telah menghalang-halangi niat Yang Dipertuan Besar Sulaiman untuk bekerjasama dengan Belanda. “Orang-orang Bugis itu tak mau Kerajaan Riau berdagang dengan Belanda. Semua timah, candu, dan hasil bumi lebih suka mereka jual ke orang-orang Cina dan Inggris di selat, dari pada ke Malaka,“ hujjah Tun Dalam. Tun Dalam ibarat sengaja melempar api, selagi rumput kering. Belanda memang sudah lama kurang senang dengan sepak-terjang orang-orang Bugis yang berkuasa di Riau. Mereka terus mengganggu armada Belanda yang melewati Selat Malaka dari utara ke selatan, dari India ke Jawa. Kadang-kadang kapal dagang Belanda mereka rampok di laut. Meskipun pihak Belanda belum mempunyai bukti untuk menuduh orang-orang Bugis. 98


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam Orang-orang Belanda di Malaka juga tahu, bahwa orang Bugis Riau bersaudara dengan orang-orang Bugis di Selangor. Mereka itu diam-diam membangun aliansi dagang dan kebencian. Benci pada Belanda. Membangun kekuatan perang untuk menguasai Selat Malaka. Adanya permintaan Sultan Riau yang disampaikan Tun Dalam itu dapat dijadikan alasan bagi Belanda untuk menyerang orang-orang Bugis. “Apa betul Sultan Sulaiman minta Belanda membantu menentang Bugis? Apa ini bukan hanya keinginan Terengganu atau Tun Dalam saja?“ Gubernur Malaka mencoba mendapat ketegasan Tun Dalam. “Tuan Gubernur boleh tanya Sultan Sulaiman. Sekarang ini para pembesar Bugis itu sedang berkumpul di Linggi. Mereka sedang menyusun rencana untuk menyerang Malaka,“ hasut Tun Dalam lagi. Informasi yang diperoleh Belanda, memang membenarkan apa kata Tun Dalam . Waktu itu para tokoh Bugis seperti Daeng Perani, Daeng Kembodja, dan Raja Haji, sedang berada di Linggi dan Selangor. Pasukan Bugis memang dikabarkan sedang berjagajaga di Linggi. “Mau apa mereka?“ tanya Gubernur Malaka. Ya. Mau apa mereka? Pertanyaan yang terlalu baik bagi Tun dalam. Umpan sudah termakan. Api sudah membesar, dan tinggal mencari kipas, untuk membuat nyala itu berkobar. “Inilah waktunya pihak Belanda bertindak. Kami orang Melayu akan membantu, dan tuan-tuan orang Belanda kelak bolehlah berdagang di Riau dan aman. Tidak ada lagi pengacaupengacau Bugis,” katanya. “Riau dan Johor itu memang milik kami orang Melayu. Dulu kita hidup damai dan bebas berdagang. Tapi sekarang, orang Bugis yang berkuasa, dan kita tidak boleh lagi berdagang bersama-sama,“ Tun Dalam terus memanas-manasi 99


Bulang Cahaya

Gubernur Malaka. Perang meletus di Linggi dan Rembau, dan Belanda hampir berhasil mengalahkan orang Bugis. Bahkan ketika itu Raja Haji, ayah Djaafar, sempat luka parah terkena sangkur di pahanya. Tetapi orang-orang Bugis Riau yang bergabung dengan pasukan Bugis di Selangor, dapat menahan serdadu-serdadu Belanda tersebut. Banyak korban yang jatuh. Dan rupanya pihak Bugis mendapat informasi bahwa yang berada di balik perang itu adalah Tun Dalam. Maka Yang Dipertuan Muda Selangor Daeng Perani, mengirim utusan untuk berdamai dengan Belanda, sambil menyampaikan bukti bahwa Belanda telah dibohongi Tun Dalam. “Tak ada perintah dari Sultan Sulaiman untuk menyerang Bugis,“ kata mereka. Semua itu ulah Tun Dalam dan beberapa pembesar Melayu. Akhirnya, Belanda setuju berdamai dan dibuatlah perjanjian di Linggi. Gagal mengusir Bugis, meminjam tangan Belanda, Tun Dalam kembali ke Riau dan menyusun kembali rencana untuk membalas dendam. Berkali-kali Tun Dalam menghadap Sultan Sulaiman dan mendesak agar orang-orang Bugis diusir ke luar Riau, namun Sultan Sulaiman tetap keberatan. Meskipun dalam hati kecilnya setuju dengan hujjah Tun Dalam, apalagi sejak Yang Dipertuan Muda Riau dipegang Daeng Kembodja yang terkenal kasar dan sangat melecehkan orang Melayu, namun Sultan tak mau cedera janji. “Sumpah Setia Melayu-Bugis itu adalah hukum. Kita harus menghormatinya,“ kata Sultan. Apalagi, mereka sudah ada yang kawin dengan wanita-wanita Melayu, keturunan Sultan, jadi, “Mereka sudah menjadi saudara sendiri. Dendam yang lama itu dikuburkan sajalah,“ kata Sultan lagi. Sultan Sulaiman menunjuk bukti. Adiknya Tengku Tengah kini menjadi isteri Daeng Perani dan jadi Raja Muda di Selangor. Adiknya Tengku Mandak, menjadi isteri Daeng Celak. 100


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam “Beta sendiri juga beristeri keturunan Daeng Marewa. Jadi tak perlulah kita berdendam terus-menerus. Kita sudah tak berharta benda lagi, jadi berhentilah berperang,“ lanjut Sultan Sulaiman. Tapi Tun Dalam tak pernah menyerah. Apalagi diam-diam Tengku Muda Muhamamad, anak Temenggung Abdul Jamal juga menunjukkan sikap membenci orang-orang Bugis. Sampai Sultan Sulaiman meninggal, bara dendam terus berkobar. Apalagi setelah mereka mengetahui, Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah yang mengganti Sulaiman, baru beberapa bulan menjadi Sultan, tiba-tiba meninggal secara mendadak di dalam perahunya sekembali dari Selangor. “Yang Dipertuan Besar Abdul Jalil bukan wafat karena sakit, tetapi diracun Daeng Kembodja,” kata Tun Dalam di depan para pemuka pihak Melayu. “Ketika berangkat ke Rembau, Yang Dipertuan Besar sehat wal afiat. Tiba-tiba dikabarkan jatuh sakit.Kemudian dikatakan wafat dalam perjalanan balik ke Riau,” lanjutnya. “ Apa artinya itu? Daeng Kembodja dan pihak Bugis sudah merencanakan kematian Sultan Abdul Jalil untuk merebut kekuasaan, agar jabatan Sultan jatuh ke tangan keturunan Bugis,“ Tun Dalam terus berkobar-kobar. “Sekarang mereka hendak melantik Tengku Mahmud yang masih kanak-kanak. Baru 10 tahun. Mengapa? Kan ada Tengku Idris pamanda Sultan Abdul Jalil. Dia boleh dan berhak jadi Sultan , karena lebih dewasa,“ Tun Dalam berapi-api mengetengahkan wasangkanya. “Betul, tetapi Mahmud kan anak darah daging Sultan Abdul Jalil. Meskipun masih kanak-kanak, dia berhak. Itu adat-istiadat Kerajaan Johor,” sanggah Temenggung Abdul Jamal, meskipun hati kecilnya membenarkan Tun Dalam. Karena Mahmud masih terlalu kecil. Kalau sampai dia yang dilantik jadi Sultan, berarti kendali pemerintahan akan dipegang oleh Yang Dipertuan Muda, Daeng Kembodja, dari sebelah Bugis. Jangan-jangan nanti 101


Bulang Cahaya

Mahmud pun akan dicelakakan, agar kekuasaan sepenuhnya jatuh ke tangan pihak Bugis. “Bukan soal hak, tetapi soal patut dan tidak patut. Pihak Bugis memang berkehendak Mahmud, karena budak kecik kan lebih mudah diapa-apakan, daripada yang sudah dewasa,” lanjut Tun Dalam. “Lagi pula, dalam garis darah, Mahmud itu sudah keturunan Bugis, bukan lagi Melayu asli. Ibunya kan Daeng Putih, anak Daeng Celak. Dengan begitu, kita tidak lagi beraja dengan orang Melayu dan keturunannya. Tetapi sudah dikuasai oleh darah bugis,” Tun Dalam terus membakar emosi pembesarpembesar Melayu. Hujjah-hujjah itu akhirnya berhasil juga memaksa sebagian pembesar Riau dari sebelah Melayu untuk mencoba menahan keinginan Daeng Kembodja melantik Tengku Mahmud. “Ananda Mahmud masih terlalu budak-budak. Masih senang bermain. Sedangkan Sultan itu adalah perkara besar, dan urusan orang-orang yang sudah dewasa,” kata Bendahara Majid ketika bersama beberapa pembesar Melayu lainnya hadir di balairung kerajaan atas undangan Daeng Kembodja untuk melantik Tengku Mahmud sebagai Sultan Riau yang baru menggantikan Sultan Abdul Jalil. “Istiadat Kerajaan Johor ada menyebutkan bahwa apabila Sultan wafat dan tidak ada keturunan langsung yang patut untuk menggantikannya, maka darah daging yang lain dapat menggantikannya. Adik almarhum Sultan Sulaiman, Tengku Idris, kan boleh menggantikannya. Dia juga seorang yang patut,” Temenggung Abdul Jamal memberi alasan tambahan. Tapi Daeng Kembodja seperti batu karang. Kukuh dan tak mau menerima pendapat orang lain. “Sumpah setia Melayu-Bugis tatkala di Johor dulu sudah menyatakan bahwa yang berhak menjadi Yang Dipertuan Besar 102


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam adalah keturunan Tengku Sulaiman. Keturunan, bukan saudara mara. Kami pihak sebelah Bugis tidak mau berhianat dan tidak amanah. Apapun terjadi, ananda Mahmud harus dilantik dan dirajakan di Riau,” kata Daeng Kembodja dengan marah. Kemudian sambil menyentak halemangnya, dia kembali berujar: “Sekarang, siapa saja yang berkeberatan dengan dirajakannnya ananda Mahmud, silakan maju. Halemang ini akan menjadi penentu,” katanya, sambil mengangkat tubuh Tengku Mahmud yang masih kecil itu, dan mendudukkannya di atas singgasana. Daeng Kembodja kemudian berdiri di samping singgasana dan melafazkan kata-kata pelantikannya. Pihak-pihak sebelah Melayu terdiam. Menunduk, dan satupersatu meninggalkan balairung, kembali ke kampung mereka. Termasuk Tun Dalam. “Tunggu, akan kutebas leher Si Kembodja yang pongah itu,” katanya geram sambil melirik Tengku Muda Muhammad di sebelahnya. “Bagaimana, anak Temenggung. Anak Melayu. Masih nak bersembunyi di balik kain sarung juga?” sindirnya pada Tengku Muda Muhammad. *** SESUDAH peristiwa pelantikan Sultan Mahmud itu, memang tidak tampak pertentangan terbuka antara kedua pihak. Tetapi Tun Dalam dan beberapa pembesar Melayu lain terus berusaha menyingkirkan orang-orang Bugis dan keturunannya dari Riau. Niat itu tidak kesampaian, karena Tun Dalam diperintahkan ayahnya pulang ke Terengganu dan dilantik menjadi Sultan, menggantikan ayahnya yang sudah uzur. Tun Dalam lah yang menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sementara ayahnya menjadi Raja Tua saja. Daeng Kembodja sendiri wafat, bukan oleh tikaman keris Tun Dalam.Tetapi dalam perjalanan dari Selangor ke Riau, Daeng Kembodja jatuh sakit.Berat. Lalu meninggal. Giliran pihak sebelah Bugis menuduh Daeng Kembodja 103


Bulang Cahaya

telah termakan racun yang diberikan oleh orang suruhan Tun Dalam. Tun Dalam tidak perduli dengan kabar-kabar angin dan tuduhan itu. Kini dia sudah jauh di Terengganu.Tinggal Tengku Muda yang diam-diam melakukan perlawanan terhadap orangorang Bugis. Meskipun tidak sekasar Tun Dalam, tetapi kebenciannya kepada pihak Bugis tetap bagaikan bara.Tak terkecuali yang berdarah Melayu Bugis. Hanya terhadap Raja Djaafar, dia memang agak serba salah. Dia tahu, anaknya, Tengku Buntat, sedang jatuh cinta pada Raja Djaafar. Anak Bugis itu juga tidak sangat tampak kesombongan Bugisnya. Anaknya lembut, sopan, dan tahu adat-istiadat. Karena itu, meski dia masih sulit menerima kenyataan bahwa anaknya menginginkan suami keturunan Bugis, tapi sebagai anak Temenggung dan dituakan oleh parea pemuka Melayu, dia juga harus tegas dan konsekuen. Kalaupun nanti Djaafar menjadi menantunya, dia harus menguntungkan orang-orang Melayu dan mau menyingkirkan orangorang bugis dari pusat kekuasaan Riau. “Ayahanda lihat Ananda berbaik-baik benar dengan si Djaafar itu. Bahkan selalu pula anak Bugis itu bertandang ke rumah. Ananda tahu apa yang sudah dilakukan orang-orang Bugis itu kepada kita, orang Melayu?� kata Tengku Muda suatu kali kepada anaknya, Tengku Buntat. Ia ingin mengajuk hati anaknya, dan ingin tahu sejauh mana sebetulnya hubungan kedua orang muda itu. Tengku Buntat terduduk. Wajahnya memucat dan nyaris layu. Hilang semu merah yang selama ini menjadi cahaya dan kecantikannya. Tubuh anak gadis itu tampak gemetar. Takut, cemas dan putus asa. Tengku Muda sadar hal itu. Dia tahu, pertanyaannya sudah dirasa anaknya sebagai isyarat hubungan cinta mereka akan kandas. Dia tahu hati anaknya kecut. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan, dia tidak meneruskan dengan pertanyaan 104


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam tajam lainnya. Sebaliknya, dia memandang anaknya sembari tersenyum, dan menunggu anaknya menjawab. Apapun jawabannya. Sikap lembut ayahnya, membuat Tengku Buntat terkejut, karena dia tahu bagaimana tak sukanya ayahnya kepada orangorang Bugis. Dia ingat betul bagaimana satu kali ayahnya setengah mengamuk, memberi tahu seisi rumah bahwa dia tak ingin kalau sampai ada anak-anak bujang keturunan Bugis datang bertandang ke rumahnya. “Kalian dengar semuanya... Aku haramkan anak orang-orang Bugis itu menjejakkan kaki ke tangga rumah. Jangan ada yang coba-coba menentang... Keris padahnya,� katanya setengah memekik. Buntat tahu, kata-kata itu ditujukan padanya sebagai peringatan. Makanya, ketika Buntat mendengar pertanyaan ayahnya soal Raja Djaafar yang bertandang ke rumah, hatinya langsung mengkerut. Tapi, aneh, ayahnya, justru tak memekik atau menjerit, tetapi bertanya sambil tersenyum.Namun senyuman itu sangat sulit ditebak. Buntat tahu bagaimana ayahnya biasanya menyebut orang-orang Bugis dengan nada jijik. Buntat sempat mengira sikap ayahnya yang lembut itu, tentulah karena dia merupakan satu-satunya anak perempuannya, sehingga ayahnya tak sampai hati untuk berlaku kasar. Buntat tahu, ayahnya memang sangat sayang kepadanya. Namun Buntat tetap yakin, sekalipun ayahnya sayang padanya, tapi kalau dia tetap berkukuh mencintai Djaafar, pastilah cepat atau lambat, dia dipaksa harus berpisah. Djaafar harus menyingkir dari sisinya, dari hatinya. Orang-orang Bugis harus menyingkir dari sisinya! “Ijah, apalah agaknya nasib kita yang tak tahu-menahu urusan orang tua ini. Mengapa aku jatuh hati kepada peranakan Bugis itu. Ini semua salah engkau Ijah... engkau yang selalu mendesak aku menerima Djaafar,� kata Buntat pada Tengku Khalijah, 105


Bulang Cahaya

sahabat karibnya, jauh sebelum pertanyaan ayahnya itu. Sebab jauh hari pun dia tahu cintanya pada Djaafar penuh bahaya. “Sudahlah, jangan dipikirkan sangat. Kita tengok saja perkembangan. Anak sungai lagi berubah, apalagi hati orang,“ kata Tengku Khalijah menenangkan sahabatnya. Maksud Khalijah, besok lusa, hati ayah Buntat pasti akan lunak, karena Buntat anak semata wayang. Lagi pula dalam Kerajaan Riau, bukan tak ada anak bangsawan Melayu kawin dengan keturunan Bugis. “Ayahanda Tengku Dalam kan sudah kembali ke Terengganu. Dia itu yang berkukuh kita dara Melayu tak boleh kawin dengan keturunan Bugis,“ lanjut Khalijah memberi semangat dan memebesarkan hati Buntat. Dan biasanya, kalau sudah mendengar nasehat sahabatnya itu, bangkit lagi harapan Buntat. Khalijah pun ingin mencari teman senasib, karena dia diam-diam juga sedang jatuh cinta pada keturunan Bugis. Buntat kembali tersadar dari lamunan. Suara ayahnya kembali menyentuh telingannya.”Sebaiknya Ananda ikut Ayahanda Tun Dalam ke Terengganu dan tinggal di sana. Di Riau keadaannya sulit. Sehabis perang ini, Belanda terus mengawasi kita. Sewaktuwaktu akan terjadi perang lagi,” katanya kembali mengajuk hati anaknya. Maksud Tengku Muda, kalau Buntat mau pindah ke Terengganu, maka dia akan lebih mudah menyelesaikan masalahnya. Cinta Buntat kepada Djaafar akan putus dengan sendirinya. Dan perjalanan waktu akan membuatnya lupa. Buntat tetap diam, menatap pedih ke arah ibunya, yang duduk di sebelahnya. Mereka saat itu sedang menyulam sarung bantal, ketika ayahnya datang dan menyelak tirai bilik Buntat. Jarum sulam di tangannya terhenti, dan pandangannya beralih ke luar jendela, jauh ke tengah lapangan sepak raga. Tengku Muda bersuara. Agak serak, seakan menahan emosi. “Kalau memang Ananda sudah ingin berumah tangga, 106


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam masih banyak anak-anak bangsawan Melayu yang patut. Tengku Ilyas, Ayahanda tengok cukup sepadan. Atau Tengku Harun.” Tapi Buntat seperti tak mendengar. Dia tetap memandang jauh ke luar jendela. Pikirannya mengembara ke tebing-tebing dan pepohonan keremunting di padang sepak raga dan layang-layang. Jauh ke tengah-tengah belukar dan semak. Ke tempat-tempat yang selama ini dipakainya untuk bertemu dengan Djaafar. Tengku Muda kembali tersenyum, meskipun tampak hambar. “Esok Ayahanda akan ke Terengganu. Kalau berubah pikir, berkemaslah. Ibu Ananda juga akan pergi,” lanjutnya bergegas meninggalkan Tengku Buntat dan ibunya. Dalam perjalanannya menuju rumah Ayahnya yang tidak begitu jauh, Tengku Muda kembali berpikir dan menggali lebih dalam lubuk hatinya. Ah, beta sebenarnya tidak pernah membenci orang-orang Bugis membabi-buta, katanya dalam hati. Apalagi terhadap Raja Djaafar yang dia tahu sangat dicintai anaknya. Tetapi dia juga tahu, betapapun dia setuju menjodohkan anaknya dengan Raja Djaafar, namun pihak sebelah Bugis tidak akan mau membiarkan Djaafar kawin dengan Tengku Buntat. Dia sudah paham bagaimana pihak sebelah Bugis sangat menjaga panca kaki perkawinan puak mereka. Kalau Djaafar kawin dengan Buntat, maka Djaafar akan menjadi menantunya, dan berarti dalam panggilan sehari-hari Djaafar akan memanggilnya Ayahanda. Padahal, Djaafar adalah orang yang sepatutnya sekarang menjadi yang Dipertuan Muda menggantikan ayahnya Raja Haji yang gugur. “Tidak mungkin pihak sebelah Bugis mau berbapak kepada kita orang Melayu,” katanya berkali-kali kepada Isterinya Tengku Besar, ketika mereka mempertimbangkan hubungan Buntat dan Djaafar. “Tengok asal mula perkawinan puak Melayu dengan puak Bugis itu. Mereka itu hanya mau berabang kepada Sultan, tidak 107


Bulang Cahaya

kepada kita bangsawan rendah ini,” lanjutnya. “Tapi itu kan perkawinan yang diatur menurut asal mula sumpah setia. Ini kan sudah lama dan keadaan sudah berubah,” kata isterinya mencoba membela anaknya. “Siapa yang berubah? Daeng Kembodja tidak sama sekali mau berkawin dengan pihak Melayu. Yang Dipertuan Muda Raja Haji berkawin dengan Tengku Putih, anak Sultan Sulaiman. Jadi dia berbapak kepada Sultan,” lanjutnya. “Jadi tidak ada yang berabang atau berbapak kepada Temenggung atau Bendahara. Itulah culasnya orang-orang Bugis dalam merebut kuasa. Sampai ke soal perkawinan pun mereka bersiasat,” geramnya. Isterinya diam. Kata suaminya banyak betulnya, dan pihak Bugis masih selalu melihat perkawinan sebagai bagian dari politik mereka. Mereka hanya akan berkawin dengan anak raja-raja. “Jikalau aku ini menjadi Raja Muda, baru mereka akan berlutut. Kalau hanya Temenggung, orang-orang Bugis itu tak memandang sebelah mata,” lanjut Tengku Muda getir. Luahan perasaan itu, lebih merupakan rasa sesalnya terhadap pilihan anaknya untuk menjalin hubungan dengan Raja Djaafar. Dan anak Bugis yang satu ini , bukan main gigih dan beraninya. Meskipun dia tahu itu sulit dan ditentang pihak pemangku adat, baik pihak Bugis maupun Melayu, tapi dia nekad dan terus bertandang ke rumah Tengku Muda. “Katakan pada ayahanda Tengku Muda, jangan samakan beta dengan anak Bugis yang lain. Beta tak berniat hendak menjadi Raja Muda. Beta hendak menjadi saudagar,” kata Djaafar suatu ketika kepada seorang pembesar pihak Melayu yang disuruh Tengku Muda mengajuk hatinya. Tapi Tengku Muda tahu itu jawaban darah muda, jawaban seorang yang baru berumur 20 tahun dan belum dibebankan dengan berbagai tugas mempertahankan marwah dan hak puak mereka. 108


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam “Suka sama suka, tidak akan menyelesaikan masalah. Antara Bugis dan Melayu, ada jurang terpisah. Yang bersumpah setia sampai kiamat itu, Yang Dipertuan Besar. Para Temenggung, Bendahara, tidak. Kita bebas untuk tidak mendukung orang-orang Bugis,” katanya kepada beberapa pembesar Melayu. “Tetapi, kalau kita tak bisa mengalahkan orang Bugis dengan keris ,mengapa tidak dengan siasat?” kata Tengku Buang, salah seorang kerabat dekatnya. “Kalau Djaafar dikawinkan dengan Buntat, itu berati puak Melayu akan kembali meraih harkat dan martabatnya di Kerajaan Riau. Bukankah Djafaar itu satu-satunya calon Yang Dipertuan Muda? Kelak, anak Djafar dan Buntat, adalah calon Raja Muda dari darah Melayu yang lebih kental,” tambah Tengku Buang lagi. “Adinda fikir apa kata Abang Buang itu, ada benarnya. Orang Bugis itu dulu merebut kuasa di Riau, bukan semata-mata dengan perang, tetapi dengan ranjang juga,” Isterinya Tengku Besar memberi pendapat. Tengku Muda Muhammad terpekur. Hujjah kedua orang dekatnya itu, banyak benarnya.Pikiran demikian pernah jadi keinginannya, terutama setelah Daeng Kembodja mempermalukan puak Melayu di depan balairung. Tengku Muda ingat, malam itu, sekembali mereka ke Kampung Bulang, dari pelantikan Sultan Mahmud, dia merenung hakekat siasat orang-orang Bugis. Bagaimana mereka berkeras merajakan Tengku Mahmud sebagai Sultan. Bagaimana mereka mengatur perkawinan Tengku Abdul Jalil dengan Tengku Putih anak Yang Dipertuan Muda Daeng Celak. ”Mereka culas. Mereka licik. Tetapi itulah siasat. Tak perlu bersimbah darah,” katanya. Itu sebab, meskipun hatinya hambar, hubungan kasih sayang anaknya dengan Raja Djaafar dilihatnya sebagai peluang untuk merebut kembali harkat dan kekuasaan orang Melayu. ”Dulu 109


Bulang Cahaya

Tun Teja jugalah yang membuat negeri Melayu ini terhindar dari pecah-belah dan pertumpahan darah,“ katanya mengenang kisah sejarah negeri Melayu ini. Dia ingin menggunakan siasat ranjang pengantin sebagai cara untuk merebut kembali kekuasaan dan hak orang Melayu dari tangan pihak Bugis. Siasat itu, terus menguasai pikirannya, setelah berakhir Perang Riau. Perang yang telah menewaskan Raja Haji, Yang Dipertuan Muda IV di Tanjung Palas itu, telah mengubah banyak hal. Bukan saja kekuatan orang Bugis setelah perang itu menjadi sangat lemah, terpecah belah, tetapi juga, Raja Djaafar menjadi sosok yang sangat penting. Kini raja Djaafarlah calon utama yang akan menjadi Yang Dipertuan Muda Riau V, menggantikan ayahnya yang tewas. Meskipun usianya menjelang 20 tahun, tapi dialah anak tertua dari Raja Haji. “Kalau Buntat berkawin dengan Raja Djaafar, maka kelak, akan ada keturunan Temenggung yang akan jadi Raja Muda,“ katanya dalam hati. Itulah kesempatan pihak Melayu untuk mengambil alih teraju pemerintahan dari pihak Bugis. “Perang telah selesai.Keadaan telah berubah. Kalau Djaafar jadi dikawinkan dengan Buntat, maka perseteruan kita dengan pihak Bugis tak lah perlu diteruskan dan sampai bertumpah darah,“ begitu Tengku Muda mengemukakan isi hatinya kepada ayahnya Temenggung Abdul Jamal, begitu dia sampai di rumah ayahnya. “Tapi apa pihak sebelah Bugis, memang setuju?“ sanggah ayahnya, ragu. “Siapa lagi yang akan menentang. Kalau ditakdirkan, maka Djaafar-lah calon Yang Dipertuan Muda, menggantikan ayahnya. Tekad Raja Djaafar menyunting Buntat, rasanya tak terperikan. Ananda sudah coba mengajuk hati Buntat, tapi sepertinya kehendak mereka sudah tak bisa diubah. Ananda pikir, mencoba membela pendapatnya yang paling menentukan. Apa kata Raja 110


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam Ali, sepupu Djaafar. Jangan-jangan dia yang berkukuh akan menjadi Yang Dipertuan Muda. Sekarang ini dialah yang terus berperang dari pihak Bugis,“ hujjah ayahnya lagi yang sudah kenyang dengan segala tipu helah dan siasat politik di Kerajaan Riau Lingga itu. “Inilah saatnya kita dari pihak Melayu melakukan sesuatu. Inilah kesempatan kita. Kalau terlepas, kita akan kehilangan lagi peluang menaikkan martabat orang-orang Melayu,“ sanggah Tengku Muda lagi. Perdebatan dua beranak itu masih terus berlangsung, sampai akhirnya ayahnya mengalah, dan mengajak Tengku Muda berjumpa Bendahara Tun Abdul Majid dan minta pendapat. “Yang dapat meluluhkan hati Yang Dipertuan Besar itu, ya ayahanda ananda Bendahara Pahang “ ujar sang ayah. Mata Tengku Muda berkilat menunjukan kelegaan, dan juga kesempatan. “Mudah-mudahan, Buntat dapat berbuat seperti Tun Teja,“ ujarnya lagi dalam hati, membayangkan anaknya yang semata wayang itu. Akan halnya Bendahara Abdul Majid yang juga bergelar Bendahara Pahang meskipun tetap membenci pihak Bugis, tetapi makin terobati hatinya. Selain jabatan Bendahara sebagai penanggung jawab istana itu tetap dimuliakan Yang Dipertuan Muda , juga ketika Mahmud sudah berusia 18 tahun, dia mengambil anak Bendahara Pahang itu yang bernama Tengku Puan, sebagai permaisurinya . Ini atas saran dari Yang Dipertuan Muda Raja Haji. ”Ayahanda Bendahara itu, tetaplah harus kita dukung dan berada di dekat Sultan, supaya kepentingan kita orang Melayu itu, terjaga. Supaya Yang Dipertuan Besar tetap Melayu dan tidak dihayak-hayak Bugis. Jabatan Yang Dipertuan Besar itu hak orang Melayu,“ begitu Tun Dalam terus memberi petunjuk kepada 111


Bulang Cahaya

pembesar Melayu yang ada di Riau. *** TAPI perang Riau, memang telah mengubah segalanya. Juga mimpi ranjang pengantin Buntat dan Djaafar. Akibat perang Riau, dan perlawanan sisa-sisa laskar Riau yang dipimpin Raja Ali, membuat Belanda sangat membenci orang-orang Bugis. Karena itu, dalam perjanjian damai, dua bulan sehabis perang, antara Belanda dengan Sultan Mahmud, yang ditandatangani di atas kapal perang Belanda Utrech, Sultan Mahmud selain dipaksa untuk mengaku kalah perang dan tunduk pada Belanda, Riau juga harus berjanji untuk tidak lagi menjadikan orang Bugis dan keturunannya sebagai Yang Dipertuan Muda. Kalaupun Sultan Mahmud akan menunjuk seorang Raja Muda, maka pilihlah dari orang Melayu. Sumpah Setia Melayu-Bugis tidak boleh dipakai setelah perang itu. Isi perjanjian kalah perang itu, juga diketahui Tengku Muda, ayahnya Temenggung Abdul Jamal, Bendahara Pahang, dan para pembesar Melayu lainnya. Perjanjian ini memang memberi kesempatan orang-orang Melayu untuk mengambil alih kekuasaan Yang Dipertuan Muda. “Sekarang tinggal terpulang pada Yang Dipertuan Besar, siapa yang akan dijadikan yang Dipertuan Muda. Ayahanda rasa, Anandalah yang paling tepat,“ kata ayahnya. Bendahara Majid juga setuju. Tun Dalam mengirim utusan khusus ke Riau untuk mendesak agar jabatan Yang Dipertuan Muda Riau segera direbut. “Sekaranglah! Kalau tidak tak kan pernah lagi orang Melayu berkuasa di Riau,“ pesan Tun Dalam yang sekarang sudah menjadi Sultan Terengganu. “Apa patut Ayahanda menghadap Baginda Sultan?“ tanya ayahnya. Tapi Tengku Muda langsung menolak, kalau ayahnya langsung menghadap Sultan dan minta jabatan itu. 112


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam “Tak usahlah. Nanti kata orang, hidung tak mancung, pipi disorong-sorong. Pantang Ananda minta jabatan,“ kata Tengku Muda. Akhirnya, mereka sepakat menunggu, apa keputusan Yang Dipertuan Besar Mahmud. *** BEBERAPA bulan setelah perjanjian damai di atas kapal perang Utrecht itu, Sultan Mahmud memanggil Tengku Muda Muhammad dan beberapa pemuka kerajaan untuk menghadapnya di Ulu Riau. Sultan Mahmud dan Tengku Muda berselisih usia lebih kurang 11 tahun. Tengku Muda lebih tua, sekitar 37 tahun, karena itu Sultan Mahmud memanggil kakanda pada Tengku Muda. “Beta pikir, Kakanda Tengku Muda lah yang paling patut untuk menyandang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau menggantikan almarhum ayahanda Raja Haji Fisabilliah,” kata Sultan Mahmnud. Dia berdiri dan mundar-mandir di depan singgasananya. Para petinggi Riau, baik dari pihak Melayu, maupun Bugis yang masih bertahan di Riau, hadir.Sebahagian mengangguk setuju, terutama dari pihak Melayu. Sedangkan dari pihak Bugis, kecuali Raja Indera Bungsu, semua tampak terpekur. Tengku Muda Muhammad tampak tenang, namun tidak segera mengatur sembah, menerima atau menolak jabatan itu. Agak lama dia terpekur. Kemudian memandang ke kiri dan ke kanan. Melihat ke arah ayahnya Temenggung Abdul Jamal.Ayahnya, melipat tangannya di atas paha, dan menunduk, menghindar pandangan anaknya. Juga Bendahara Hasan, yang merasa sangat sulit dalam kedudukan ini, karena dia sendirinya sebenarnya adalah mertua Sultan. Salah satu anaknya Tengku Puan, dinikahi oleh Sultan, sebagai permaisuri pertama, setahun sebelum 113


Bulang Cahaya

perang dengan Belanda meletus. “Tetapi Tuanku, yang sudah-sudah, jabatan Yang Dipertuan Muda adalah haknya pihak sebelah Bugis. Apa kita tidak mengingkari sumpah setia?” Tengku Muda akhirnya bersuara. Kedengaran seperti orang yang terkejut, tapi tidak juga menolak. Suara kearifan yang sulit ditebak ke mana maknanya. “Tetapi, kita sudah kalah perang. Kita sudah menandatangani perjanjian damai dengan Belanda. Belanda tidak membolehkan pihak sebelah Bugis menjadi yang Dipertuan Muda. Mereka ingin orang-orang sebelah Melayu yang menjadi Yang Dipertuan Muda,” lanjut Sultan Mahmud. “Kakanda merasa mendapat kehormatan. Tetapi Kakanda fikir, cepat atau lambat orang-orang Bugis akan kembali ke Riau dan akan terjadi sengketa. Mengapa Kakanda tidak mengangkat ananda Raja Djaafar saja? Belanda boleh diberi tahu, bahwa dia bukan bugis tulen?” Tengku Muda mencoba mengajuk seberapa besar keinginan Sultan untuk mengangkatnya menjadi yang Dipertuan Muda. Sebab, bagi dirinya, saat itu, apakah dia yang akan ditunjuk menjadi Yang Dipertuan Muda ataupun Raja Djaafar, sama saja. Keduanya, akan menjadi peluang orang Melayu meraih kembali kekuasaan yang sudah lepas. Seperti serampang bermata dua, pikirnya. Tengku Muda sengaja memberi kesan kalau dirinya tidak terlalu berambisi menjadi Yang Dipertuan Muda. Sebab dia juga paham, Sultan Mahmud juga keturunan Bugis. Dia tidak dapat menakar seberapa jauh keinginan Sultan Mahmud untuk menyingkirkan orang Bugis dari Riau. Apa bukan hanya karena takut pada Belanda? Dan kelak begitu Belanda sudah tak berkuasa, Sultan Mahmud akan kembali membawa keturunan Bugis berkuasa di Riau? Tapi Sultan Mahmud tiba-tiba berbalik dan mengibaskan 114


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam tangannya, seperti rasa kesal yang tak berjawab. “Kontrak politik dengan Belanda itu berlaku untuk semua keturunan Bugis. Raja Djaafar kan puteranya ayahanda alamarhum Teluk Ketapang? Dia juga masih muda. Yang Dipertuan Besar muda, Yang Dipertuan Muda muda. Kepada siapa negeri akan berlindung?” suara Sultan Mahmud menggelegar menahan marah. Sambil bercekak pinggang dia menatap tajam ke arah Tengku Muda. “Sudah, beta tidak hendak dibantah lagi. Ini titah dan harus Kakanda laksanakan,” lanjut Sultan Mahmud. Dia memandang Bendahara Hasan dan Temenggung Abdul Jamal, untuk melihat gelagat, apakah kedua petingginya itu juga tidak setuju. Karena dalam aturan kerajaan, pengangkatan seorang Yang Dipertuan Muda memang harus disetujui juga oleh kedua pejabat ini. Karena tak ada reaksi, akhirnya Sultan Mahmud menganggap keputusannya sudah diterima. Tengku Muda terdiam, dan sekejap kemudian mengangguk. Lalu dia bangkit dan mengatur sembah. “Mohon ampun patik. Apapun titah akan patik junjung,“ katanya. Lega, dan seakan ada sebuah batu besar yang berhasil ia campakkan dari atas dadanya. “Allahuakabar… “ batinnya bersyukur. “Berkemaslah,“ kata Sultan Mahmud lagi. ”Segera Kakanda akan beta lantik menjadi Yang Dipertuan Muda Riau,“ lanjutnya. Kemudian memberi isyarat kepada Bentara Dalam dan sekretaris kerajaan, sebagai tangan kanan Bendahara yang bertanggung jawab dalam urusan dalam istana, untuk menyiapkan persalinan dan upacara pelantikan. Menjelang petang, pelantikan dilakukan di balairung istana Ulu Riau. Berlangsung sangat sederhana, karena keadaan Riau yang baru saja kalah perang. Semuanya dalam keadaan cemas, dan takut Belanda datang kembali ke Riau untuk menyerang dengan alasan mengejar orang-orang Bugis yang masih menentang 115


Bulang Cahaya

Belanda. ”Kakanda-lah yang berjaga-jaga di Riau. Buat yang patut, tetapi jangan sampai membuat marah Belanda. Kita belum siap untuk berperang lagi. Beta akan pindah ke Lingga dan berkerajaan di sana, supaya tak mudah Belanda menyerang kita. Di Lingga beta akan membangun kota baru, dan dari sanalah kelak kita mulai membangun Riau lagi,“ kata Sultan Mahmud. Tengku Muda mengangguk dan menerima titah. Secara sepintas matanya menangkap wajah dan sinar mata beberapa petinggi Riau. Yang sebelah Melayu tampak mengangguk-angguk dan lega. Tapi yang keturunan Bugis, kelam, geram dan benci. Hati Tengku Muda segera berdesir. Cepat atau lambat, pikirnya, perang saudara akan pecah. Karena Raja Ali yang sedang menyingkir ke Sukadana bersama sisa-sisa pasukan Riau, akan kembali ke Riau dan merampas kembali jabatan Yang Dipertuan Muda. Tapi, sekali ini, batin Tun Muda tiba-tiba kokoh seperti batu karang. Dia ingat harapan puak Melayu kepadanya. Dia ingat rasa sakit puak Melayu atas perlakuan pihak Bugis. “Biarlah.Kuasa sudah di tangan, keris sudah dicabut. Apa kata takdirlah,“ katanya meneguhkan hati. *** KEKUASAAN memang seperti candu. Memabukkan! Sejak menjadi Yang Dipertuan Muda itu perlahan-laha sikap Tengku Muda mulai berubah. Dendamnya kepada pihak Bugis, kembali membara. Karena kini, bukan hanya kemarahan atas perlakuan pihak Bugis kepada pihak Melayu yang bagai bara yang membakar hatinya, tapi dia juga harus segera mengasah kerisnya untuk mempertahankan jabatan Yang Dipertuan Muda. Hak orang Melayu yang selama bertahun-tahun sudah dirampas, dan kini sudah di tangan, tak boleh terlepas lagi. ”Biar putih tulang, jangan lagi putih mata,“ katanya sambil mencekal hulu kerisnya, sekitar dua 116


Mengasah Pedang,Membarakan Dendam bulan setelah dilantik. Dan tekad itu, meskipun tak pernah dia umbar pada sesiapapun, termasuk pada isteri dan ayahnya Temenggung Abdul Jamal, tapi dia tahu, ayahnya dan para pemuka Melayu tahu apa yang segera akan terjadi. Hari itu, dalam perjalanan ke rumah ayahnya dan akan bertemu dengan beberapa petinggi pihak Melayu, dia mulai menetapkan langkah-langkah strategisnya untuk mempertahankan kekuasaan dan daulat orang Melayu. Strategi untuk menghadapi pihak Bugis yang dalam perkiraannya kini sedang bersiap-siap akan merampas jabatan Yang Dipertuan Muda. “Dalam meraih sebuah kekuasaan, memang harus ada yang dikorbankan,“ katanya sambil bergumam. Berjalan tegak, dan diikuti sejumlah pengawalnya, para petikam Melayu, anak buah Panglima Sulong. Dan saat ini, dalam pikiran Tengku Muda, meskipun sangat berat, maka Tengku Buntat, anak semata wayangnya harus berkorban. ”Cintanya pada Raja Djaafar mesti dihentikan. Buntat harus diasingkan, agar tak ada beban perasaan yang harus ditanggung. Supaya beta lebih mudah membuat keputusan,“ katanya pada diri sendiri. Artinya, Buntat harus ikut merasakan perjuangan menegakkan harkat dan martabat orang Melayu. Mempertahankan kekuasaan yang sudah diraih. “Kalau karena cintanya pada Djaafar akan jadi halangan, maka Buntat harus rela dipisahkan. Sejarah takkan berulang!“ begitu dia meyakinkan diri. Matahari petang sudah akan rebah dan pendarnya tampak makin redup, ketika Tengku Muda meninggalkan rumah. Dari kejauhan Tengku Muda melihat bumbungan rumahnya di bawah bayang-bayang matahari petang. Berkilau tapi juga sendu. Di pelantar yang menghadap ke sungai, dia melihat sosok anaknya Tengku Buntat menyusur pelantar. Mengangkat pakaian yang sudah dijemur sepanjang hari. Asap dapur meliuk pelan dari arah dapur. Tengku Muda terenyuh. Dia dapat merasakan kepedihan sembilu 117


Bulang Cahaya

cinta yang akan disayatkannya ke hati anaknya. Dia, memang tak sempat merasakan perasaan rindu dendam seperti itu. Perkawinannya dengan isterinya, Tengku Besar, adalah perkawinan yang diatur dan dianggapnya sebagai takdir. Jodoh, begitu dia selalu mengatakan pada anaknya. Tak boleh ditolak, dan durhaka. Tak ada orang tua yang akan menganiaya anaknya.Tapi kewajiban terhadap negeri dan kaum, harus nomor satu. Dia tidak ingin mempersoalkan apakah perkawinannya telah menimbulkan luka, pada siapa. Isterinya cantik. Dia pun lelaki segak dan bangsawan. Dia mendengar bahwa Tengku Besar sebelum dijodohkan dengannya, jatuh cinta pada pemuda lain. Tapi setelah menikah, cinta Tengku Besar penuh dan sempurna. “Apakah Ayahandamu ini kejam pada Ananda?“ katanya seakan berbicara dengan bayangbayang Buntat yang mengabur di ujung petang.

118


Membawa Rindu, Membunuh Benci

6. Membawa Rindu, Membunuh Benci HANYA di Pulau Penyengat, matahari petang dapat memberikan pemandangan yang luar biasa indah. Tidak cukup cat sejagat untuk melukisnya. Semakin rebah cahaya matahari ke arah puncak-puncak pepohonan , semakin tampak mempesona sinar merah kekuning-kuningan yang jatuh ke helai-helai daun, dan reranting pohon. Panorama yang menakjubkan itu, yang tak mudah untuJk dilukis dengan segala puisi itu, akan tampak sebagai pemandangan yang menakjubkan dari pantai Kampung Bulang, Kampung Melayu dan Tanjung Unggat. Pulau Penyengat memang membelakangi mata angin barat, dan bila matahari petang akan tenggelam, pulau itu bagai bermandi cahaya merah. Indah dan menimbulkan rasa rindu dan kenangan jauh bagi siapapun yang menikmatinya. Bagi Butat, keindahan senja yang bemandi cahaya itu, akan semakin bertambah-tambah. Terutama setelah kehadiran pemuda segak, lembut dan cerdas, yang bernama Raja Djaafar. Memang, keduanya tidak pernah bergandeng tangan, bermesraan, apalagi bercumbu cium secara terang terangan. Adat istiadat dan martabat keluarga mereka mengharamkan hal itu. Namun beradu pandang, bertukar senyum, sudah cukup untuk membangkitkan gelora rindu dan menggerakkan gelombang frekuensi dari semua radar ciptaan Tuhan yang ada pada diri mereka. Saat-saat mereka bertemu, Djaafar kerap mencuri pandang, dan membayangkan kejelitaan kekasihnya itu. Terkadang, saat jarinya meremas-remas pasir di bibir pantai, dirinya membayangkan sedang meremas-remas jari Buntat. 119


Bulang Cahaya

Membayangkan dirinya menggosokkan bili-bilur pasir itu ke tubuh yang halus dan mulus itu. Lamunan Djaafar terkadang memang jauh melintasi pasir, melintasi pantai, menerobos jauh ke dalam hayal yang kadang tak terjangkau. Mereka berdua memang sedang larut dalam kerinduan itu. Sama dengan kerinduan mereka menunggu datangnya saat-saat sore hari. Saat-saat matahari lebih, dan memandikan cahayanya nun jauh di punggung Penyengat. Bermandikan harapan. Tetapi juga kecemasan, dan was-was, dan putus asa. Rasa harap, rasa rindu, rasa cemas dan was-was itu, telah lebih seminggu mengurung mereka. Apalagi saat-saat kabar perpindahan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmudsyah ke Lingga. Perpndahan itu, berarti juga perpisahan mereka. Mereka menjadi gundah, mereka menjadi resah. Mereka menelusur sampai ke ceruk paling lubuk dalam didiri mereka. Apa yang salah? Apa yang menjadi punca masalah? Mengapa harus berpisah? *** RAJA Djaafar berdiri di bawah tebing, sambil melempar batubatu kecil ke arah pantai. Sementara Tengku Buntat duduk di akar pohon yang merambat arah ke laut. Keduanya juga menyaksikan kembali menyaksikan keindahan matahari senja yang membasuh Penyengat itu, dari pantai Kampung Bulang, dari balik belukar tempat keduanya duduk saling berhadapan. Sudah lebih dari satu jam mereka di sana, dengan wajah pilu, mata sembab, dan hanya saling menatap dan bercakap sepatah dua. “Mengapa Abang Djaafar ikut ke Daik? Mengapa tidak ikut ke Bulang saja. Kan tidak ada yang melarang?� tanya Buntat. “Habis, nak ikut ke mana? Ke Bulang? Ayah Buntat tak kan berkenan, lagi pula sumbang. Kawin belum, nikah pun belum. Apa pula alasan untuk ikut dengan keluarga Temenggung?� jawab 120


Membawa Rindu, Membunuh Benci Djaafar sambil terus memandang ke arah air Sungai Riau yang sedang surut dengan lajunya. “Tapi ayah tak keberatan hubungan kita. Cuma Abang Djaafar saja yang tidak berterus terang, dan menunggu-nunggu?” “Siapa yang mengatakan Abang menunggu-nunggu? Ayah Buntat yang tiba-tiba mengubah janji. Semula bulan Zulhijjah nanti, Abang akan turun meminang. Tapi ayah Buntat minta ditangguhkan, sampai selesai keberangkatan Yang Dipertuan Besar ke Lingga dan kesibukannya sebagai Raja Muda,” suara Djaafar agak keras dan kasar. Ada nada kesal terdengar dan nyaris berikut prasangka. “Abang marah pada ayah? Abang sangka ayah memang tak ingin kita bersatu?” Buntat balik bertanya dengan suara bergetar. Tersinggung. “Biasanya Abang Djaafar tidak sekasar ini. Mengapa tiba-tiba berubah,” lanjutnya. Seperti ada rasa bersalah, dan menyesal telah mengucapkan kata-kata kasar di depan pujaan hatinya itu, Djaafar pindah dari bibir pantai ke sebelah Buntat. Duduk merapat dan menggenggam tangan Buntat. “Dari Daik pun, kalau hati tetap setia takkan ada salahnya. Yang susah itu kalau keluarga kita tak setuju. Pulau Bulang bukan pula terlalu jauh?” suara Djaafar terputus sampai disitu. Kini bibirnya yang berbicara penuh penyesalan itu, telah berganti dengan tangannya yang mulai secara lembut meremas jemari Buntat. Buntat merasa darahnya berdesir dan tubuhnya bangkit bagai mengigil. Emosi kecewanya reda. Di dadanya ada rasa bangga bahwa Djaafar tetap menyayanginya. Dia merasakan getaran cinta itu kembali menyergap dirinya, menyebabkan jantungnya berdegub kencang. Membakar berahinya. Tubuhnya menjadi lemah, menggigil. Pasrah! Dia tiba-liba merebahkan kepalanya ke bahu Djaafar dan membiarkan rambutnya menyambar muka Djaafar. Bau tubuh 121


Bulang Cahaya

Djaafar tiba-tiba menjalar ke segenap porinya. Buntat lemas dan tak berdaya melawan rasa rindunya. Rasa kehilangan yang sudah hampir seminggu, sejak Djaafar enggan bertandang ke rumahnya, gara-gara ayahnya menangguhkan rencana peminangan. Dan dia sendiri pun enggan pergi ke tebing tempat biasanya mereka bertemu. Kini dia menyesal, karena saling berprasangka. Dan Djaafar pun begitu. Kesal dan kecewa yang sempat menggumpal di dadanya, kini cair dan meleleh. Djaafar memang sempat kecewa. Dia sudah mengirim utusan untuk merisik. Selain memang istiadat Melayu begitu, juga karena Djaafar kepingin tahu apakah Tengku Muda betul-betul memang berkenan anaknya dipinang dan bermenantukan dia. Dia memutuskan segera meminang Buntat, karena sudah mendapat kabar akan terjadi eksodus besar-besaran keluarga kerajaan ke Lingga. Karena dia bertugas sebagai anggota kerajaan dan selalu di bawah perintah Yang Dipertuan Besar, berarti dia dan saudarasaudaranya juga harus pindah ke Lingga. Dan dia tahu Temenggung dan Bendahara tidak akan ke Lingga, karena mereka memilih pindah ke Bulang. Itu berarti dia dan Buntat akan terpisah. Sahabatnya Raja Husin pernah menasihatinya. “Sebaiknya Abang Djaafar ikut Buntat pindah ke Bulang. Kalau kelak betul-betul terjadi perpindahan ke Lingga, Abang kan punya alasan untuk tidak ikut menetap di Lingga. Apalagi hamba mendengar Buntat akan dikirim ke Terengganu,� kata Raja Husin, satu hari setelah tahu rencana kepindahan ke Lingga. Djaafar sudah tahu itu, dan dia juga berpikir begitu. Cuma apa mungkin semua terlaksana. Walaupun sejak lama dia tahu sikap Tengku Muda sangat baik kepadanya dan tak menghalangi hubungannya dengan Buntat, tapi dia juga dibisiki, bahwa pihak Melayu sangat mendendam kepada pihak Bugis. Datuk Buntat Temengung Abdul Jalil adalah orang yang paling tidak setuju 122


Membawa Rindu, Membunuh Benci perjodohan Djaafar dan Buntat. Kerabat Djaafar dari sebelah Bugis pun tidak juga setuju dengan pilihan Djaafar. “Sakit hati orang Melayu kepada kita orang Bugis dan keturunannya, takkan mudah hilang. Kalaupun dia berbaik sangka, dan mau menerima menantu keturunan Bugis, pasti ada apa-apanya. Mungkin itu siasat,” kata Raja Andak, pemegang kendali adat dari pihak Bugis. “Ayahanda Daeng Ibrahim pun rasanya tak setuju jika Adinda kawin dengan keturunan Melayu, kecuali memang dari sebelah Sultan,” kata Daeng Masadek, abang sepupunya. Raja Ibrahim, adalah abang sepupu Raja Haji Fisabililah, jadi paman Raja Djaafar. Dia adalah Sultan Selangor dan bergelar Raja Lumu. Dialah yang dulu mendesak Raja Haji mara menyerang Belanda ke Malaka, karena dia juga sudah menggempur kompeni di sana. Semua puak Bugis sangat menghormati Raja Lumu. Apalagi semenjak gugurnya Raja Haji, maka Sultan Selangor itu satusatunya yang dianggap pembesar sebelah Bugis yang paling menentukan. Djaafar sangat benci dengan alasan-alasan itu. Dia merasa kedua belah pihak terlalu larut dalam dendam. Seakan-akan hidup ini hanya penuh dengan sakit hati dan harus diselesaikan dengan senjata. Dia sangat setuju dengan pendapat Raja Indra Bungsu, salah satu pemuka sebelah Bugis, tapi berpikiran sangat terbuka. “Perkawinan juga dapat menyelesaikan sengketa. Sudah banyak kejadian demikian di dunia,” kata Raja Indra Bungsu, penasihat kerajaan yang disegani itu. Indra Bungsu setuju kalau Djaafar menjalin hubungan dengan anak Temenggung. Kalau mereka berjodoh, dia dapat menjadi tokoh pemersatu puak Melayu dan Bugis. Darah Bugis Djaafar yang sudah separoh Melayu itu, kalau disatukan dengan darah Melayunya Buntat, akan menghasilkan keturunan yang diterima 123


Bulang Cahaya

kedua belah pihak. “Ananda, kan darah dagingnya Raja Muda Almarhum Teluk Ketapang. Anandalah yang paling berhak menjadi Raja Muda. Kalau kelak Ananda sudah menjabat, tak ada lagi pertelingkahan Melayu-Bugis. Tengok Yang Dipertuan Besar. Dia kan berdarah Melayu-Bugis juga,” katanya. Itulah juga ambisi Djaafar sendiri, ingin pihak Melayu dan Bugis berhenti bersakit hati. “Kalau yang tua-tua, pastilah sulit untuk berbaik-baik lagi. Tapi yang muda-muda kan boleh,” ujarnya satu kali kepada beberapa pemuda sebayanya dari pihak Melayu dan Bugis. Djaafar sendiri tidak terlalu berambisi untuk menjadi Yang Dipertuan Muda atau pemimpin kerajaan. Sejak kecil dia memang bercita-cita tidak mau jadi pembesar negeri. Dia ingin jadi saudagar. Ingin berlayar dan berdagang ke seluruh dunia. Dia tak suka perang. Dia sudah jemu melihat darah dan pekik kematian di mana-mana, selama ikut ayahnya malang-melintang di selat Malaka. Tetapi, cintanya yang berkobar-kobar kepada Tengku Buntat, juga ingin dijadikannya bukti bahwa melalui perkawinan dia dengan Buntat perseteruan Melayu-Bugis itu bisa luluh, lenyap, dan terkubur selamanya. “Tak bisakah dendam masa lalu itu dihapus, dan kami yang muda-muda diberi kesempatan membuat pilihan sendiri? Ketika berperang melawan Kompeni, Melayu dan Bugis tolong-menolong, sama-sama sakit, sama-sama senang. Encik Kubu gugur di Teluk Keriting, Tun Mandar, Tengku Alang, semua gugur di Teluk Ketapang. Tak ada soal Bugis, tak ada soal Melayu. Semua karena Allah kita berjihad. Semua menurut titah Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda. Apa lagi?” katanya menentang para sesepuh adat. Kekerasan hatinya, membuat para petinggi sebelah Bugis mundur dan mencari jalan lain. Mereka kemudian mengirim utusan 124


Membawa Rindu, Membunuh Benci ke Selangor, dan mengabarkan tentang pembangkangan Raja Djaafar. Mereka menilai kenekatan Djaafar mengawini gadis cucu Temenggung Johor itu, akan membuat martabat pihak Bugis tergugat. Djaafar mendengar kabar itu, tetapi dia tetap tak perduli. “Barangkali kami akan berpatah arang. Barangkali pertalian darah Bugis kami akan tercedera. Tapi beta sudah memutuskan, tetap kawin dengan Buntat. Adinda Husin pergilah merisik. Bawa keluarga yang mau membantu. Kalau memang Tengku Muda menolak, barulah kita menyerah. Itupun belum tentu. Kalau Buntat setuju, beta akan larikan dia. Biasa, anak Bugis melarikan anak gadis orang,” Djaafar membuat keputusan dengan perasaan meluap-luap. Tapi ternyata, semua harapan jadi pudar. Cerita dari Buntat bahwa ayah ibunya akan menerima, ternyata keliru. Air muka Tengku Muda yang ramah dan selalu memberi harapan selama ini, teryata tak bisa diduga. Jawaban yang datang setelah Raja Husin dan kerabatnya merisik, membuat hati Djaafar ngilu dan marah. “Tunggulah dulu, sampai selesai kepindahan Yang Dipertuan Besar ke Lingga. Lagi pula beta lagi sibuk sebagai Yang Dipertuan Muda yang baru saja dilantik. Pertalian keluarga antara kedua pihak, tak dapat dilakukan serta-merta. Banyak adat-istiadat yang harus dipertimbangkan. Kita lihat dulu bagaimana perkembangan sebulan dua ini. Beta khawatir ada titah lain dari Sultan,” kata Tengku Muda kepada rombongan yang datang meminang. “Ditangguhkan? Berapa lama? Apa ditangguhkan atau ditolak? Kalau ditangguhkan sampai berbulan-bulan, dan Sultan pindah ke Lingga, apa artinya?” Djaafar tak dapat menahan emosinya. Hatinya tiba-tiba berdetak. Mungkin ada muslihat lain, di sebalik penangguhan itu. Karena itu dia memutuskan tidak akan datang saat pelantikan Tengku Muda menggantikan ayahnya 125


Bulang Cahaya

sebagai Yang Dipertuan Muda. Bukan karena kecewa bahwa Sultan tidak memilih dia sebagai Yang Dipertuan Muda sekalipun dia berhak, karena dialah anak Raja Haji. “Beta memang tidak ingin jadi Raja Muda. Masih seumur jagung, belum berpengalaman dan tak ada pegangan untuk menjadi Raja Muda,“ katanya jujur, dan secara jujur juga mengaku memang Tengku Muda-lah yang paling layak. Bukan cuma mampu memimpin negeri, juga memang berhak. “Ini negeri orang Melayu, biarlah orang Melayu menjadi pemimpinnya. Kita orang-orang Bugis, hanya menumpang kasih. Menumpang mencari hidup,” katanya lagi tanpa menghiraukan latar belakang sejarah perkerabatan antara pihak Melayu dan Bugis di Johor dan Riau. Tapi, hatinya juga berkata, jangan-jangan Tengku Muda sebenarnya ingin menjodohkan Buntat dengan pihak Melayu. Dengan kerabat dekatnya, seperi Tengku Mansyur atau Tengku llyas. Kedua jejaka itu memang sejak lama menjadi saingannya merebut hati Buntat, tetapi Buntat memilih dia sebagai kekasih. “Dia memang tak mau bermenantukan Bugis. Benci betul agaknya dia dengan keturunan Daeng Rilaka ini. Tapi apakah aku ini yang minta dilahirkan sebagai anak Bugis?” jerit hatinya setelah penangguhan itu. Dia marah, dia ingin mengamuk, dan dia nyaris mau bersumpah untuk tidak lagi datang bertandang dan bertemu Buntat. Tapi, hampir setiap hari, Tengku Khalijah menyampaikan kabar, Buntat ingin bertemu. Bahkan, malam sehabis Tengku Muda dilantik, Buntat menungu Djaafar di pantai sampai larut malam. Tapi Djaafar tetap bergeming. Namun, karena besok dia harus membuat keputusan akan ke Daik atau ke Selangor, maka akhirnya dia ingin bertemu Buntat. Apalagi Husin dan Khalijah terus mendesak mereka. Husin tahu dibalik kemarahannya itu, Djaafar masih sangat mencintai Buntat. Masih mendambakan Cik Puan 126


Membawa Rindu, Membunuh Benci Bulang itu. Karena itu Djaafar memutuskan pergi lagi ke tebing cinta mereka itu, dan memberi tahu Husin agar Buntat mau bertemu. “Kalau dia marah, biarlah. Hari ini, biar jelas hitam putihnya. Agaknya, cinta itu tak harus bersatu. Tak harus bernikah kawin. Menyimpan orang yang kita suka dalam hati, dan dibawa ke liang lahat pun, tidak akan kalah indahnya hidup ini,” katanya dengan suara serak ketika menugaskan Raja Husin menyampaikan pesannya kepada Buntat. Sekarang mereka bertemu. Sekarang mereka bertengkar. Sekarang Buntat rebah di bahunya. Menangis. Sekarang seluruh tubuhnya bergetar oleh rangsangan keinginan yang bergelora, yang mengencang di seluruh jaringan darahnya. “Apa yang harus kita lakukan. Di sini sudah hampir dua jam. Sebentar lagi Yang Dipertuan Muda akan resah mencari anaknya. Kalau kita terserobok di sini, buruk padahnya. Kita akan memberi malu keluarga. Tak akan ada yang mau mengampuni kita. Cacat! Sumbang!” katanya berbisik ke telinga Buntat. Buntat hanya menangis. Terus menangis. Tak ada jawaban. Tak ada keputusan. Sementara matahari merah yang menerpa wajah mereka kini sudah berganti kelam. Gelap. Bayang-bayang air sudah hilang, dan gemerisik semak-semak semakin sunyi. “Adinda lihat, di seberang tebing, kunang-kunang sudah mulai keluar. Sudah malam. Pulanglah. Kita putuskan, berpisahlah dulu sementara,” bujuknya. Plung! Sebutir batu tercebur di ujung kaki mereka. Buntat tahu, itu petanda dari Tengku Khalijah. Kalau bukan waktunya sudah habis, pastilah ada bahaya. Ada yang datang, atau mencari. Buntat bangkit dari bahu Djaafar. Menaikkan kain sarung menutup kepala. Mengelap matanya yang basah, lalu bangkit. Tanpa suara, tanpa ucapan apa pun. Dia beranjak menuju 127


Bulang Cahaya

tebing, dan lesap ditelan gelap. Aneh. Djaafar pun seperti terpaku menghadapi saat-saat yang pedih seperti itu. Bisu dan kelu. Dia baru tersadar ketika Buntat sudah tak lagi di sisinya. Setelah dia sendiri dan suasana tebing menjadi demikian sunyi. Dia melorotkan tubuhnya dari tebing, dan bersandar pada tumpukan akar kayu. Pantat celananya mencecah pasir, dan dia membiarkan dirinya setengah terbaring di pasir tebing, mengganjal kepalanya dengan kedua telapak tangannya, dan memandang langit malam yang kelam. Dia mencoba bayangkan kembali saat-saat perpisahan yang menyakitkan itu. Saat-saat percintaan mereka, saat-saat kebersaamaan yang meletupkan cinta mereka, yang marak dan membakar hidup mereka selama ini. Angin malam yang tajam, menepis muka Djaafar dan menyisakan pedih di matanya. Ternyata dia menangis. Ternyata, dia nelangsa saat mengenang perjalanan cinta mereka. “Bertemu di Pengujan, apakah akan berpisah di Bulang? “ katanya setengah meratap. *** KENANGANNYA berkelebat, dan sosok Pulau Pengujan yang berpasir putih dan deretan pohon kelapa yang berjajar bagaikan serdadu perang itu, muncul di ingatannya. Djaafar ingat waktu itu, di Pulau Penghujan, saat mandi Safar, sekitar 2 tahun lalu. Ketika itu dia dan Raja Husin sedang menyusur pantai putih Pulau Penghujan, mencari remis. Pulau itu cukup luas. Agak jauh dari Ulu Riau. Harus berperahu sekitar dua jam baru sampai. Tapi pemandangannya sangat indah. Perayaan mandi Syafar itu sudah menjadi tradisi. Diadakan tiap tahun sekali, pada bulan Syafar, Rabu ketiga. Raja Haji memilih Pulau Pengujan sebagai tempat perayaan, dan dia mengajak semua 128


Membawa Rindu, Membunuh Benci kerabat kerajaan, baik Bugis maupun Melayu.Dan kalau sudah tiba perayaan mandi Syafar itu, hampir sepanjang pantai dipenuhi orang, terutama kerabat Yang Dipertuan Muda Raja Haji. Mandi Safar itu kononnya untuk menolak bala, dan oleh Raja Haji, pulau Penghujan dijadikan tempat upacara itu, karena di sana terdapat air pancuran dan sungai air tawar yang deras. Anak-anak bujang dan dara tak melewatkan kesempatan itu, karena di sanalah mereka akan mencari kesempatan menemukan jodoh. Djafaar dan Husin mencari tempat di bibir pantai, batas antara pasir dan lumpur, mereka sedang menggeser-geser pinggir telapak kakinya ke pasir putih, untuk mencari-cari remis, kerang kecil yang biasa menyisip di bawah-bawah pasir. Tidak banyak yang mencari remis. Sebagian besar memilih berkarang mencari ketam dan kerang. Tapi banyak juga yang mencari gonggong. Gonggong ini sejenis siput laut, tetapi hanya ada di perairan Riau saja. Karena siput ini hanya hidup di laut yang ditumbuhi pohonpohon Setu. Pohon ini berdaun panjang, hijau, dan tumbuh di pasir yang bercampur lumpur. Di situlah gonggong ini hidup. Dagingnya enak dimakan setelah direbus dahulu. Untuk mengeluarkan dagingnya dari cangkang, harus dicungkil dengan peniti atau penusuk kayu yang tajam. Tiba-tiba Djaafar mendengar jerit kesakitan dan arah pantai, serta suara minta tolong. Dia menoleh ke arah karang, dan melihat dua dara sedang panik ketakutan. dan berteriak kesakitan. “Husin, siapa itu, dan mengapa mereka?� tanya Djaafar. “Entahlah, mungkin terkena sengat sembilang,� jawab Raja Husin. Ikan sembilang dan ikan lepu memang suka bersembunyi di lumpur-lumpur dangkal dan sela-sela batu. Ikan sembilang itu, bentuknya seperti ikan lele. Tubuhnya hitam, mulutnya bermisai. Bisanya yang berada pada ujung duri siripnya, bukan main sakitnya 129


Bulang Cahaya

kalau sampai terpijak. Ikan lepu juga begitu. Badannya agak pendek, tapi gemuk. Sirip belakangnya, kalau terkejut, langsung mengembang, dan tulang-tulang yang penuh bisa itu berdiri. Itulah cara ikan-ikan tersebut membela diri dari musuh pemangsanya. “Pergilah tolong,” lanjut Djaafar sambil mendorong bahu Husin ke arah karang dan kedua dara. Husin berjalan ke tempat kejadian itu. Rupanya dia cepat tahu siapa kedua dara. Cucu Temenggung Abdul Jamal, gadis yang paling cantik di Kampung Bulang. Anak-anak muda menjulukinya Bulang Cahaya, karena tak ada gadis lain yang mampu menandingi kecantikannya. Yang seorang lagi Tengku Khalijah, anak Bentara Dalam, Tengku Daud. “Abang Djaafar, itu kan anak Tengku Muda. Tengku Buntat. Ayolah kita tolong. Ini kesempatan membuat budi. Mana tahu jatuh hati kelak dia pada kita,” kelakar Husin. Djaafar memang pernah beberapa kali berpapasan dengan Buntat ketika dia pergi bermain ke Kampung Bulang. Biasanya pada musim sepak raga dan layang-layang mereka menyeberang dari Kota Piring ke Kampung Melayu dan Kampung Bulang, bertandang dan bermain di sana. Waktu itulah dia sempat melihat Buntat. Kadang-kadang di tengah jalan arah ke lapangan sepak raga. Terkadang dekat jendela rumahnya yang besar. Djaafar memang sempat berdenyar dadanya ketika menangkap kilatan mata Buntat. “Cantik sungguh,” gumamnya. Dia pernah menanyakan siapa dara itu. Husinlah yang memberitahu, bahwa itu adalah cucu Temenggung Johor. Dia juga selalu mendengar, bagaimana para bujang dan jejaka memuji kecantikan Buntat dan berusaha menjeratnya. Cuma, Djaafar waktu itu memang tidak terlalu mata keranjang. Dia sudah punya permaianan mata di Kota Piring, anak Daeng Andak. Cantik juga, dan lemah-lembut. Meskipun dadanya 130


Membawa Rindu, Membunuh Benci berdenyar ketika bertemu pandang dengan Buntat, tapi belum membuat dia harus jatuh-bangun untuk mengejarnya. Karena itu, ketika Husin mengajaknya menolong Buntat, Djaafar pergi benarbenar dengan rasa belas kasihan untuk menolong. “Mengapa?” tanya Djaafar ke arah teman Tengku Buntat. Dan dia melihat Buntat memegang telapak kakinya, dan menangis menahan sakit. “Kak Buntat disengat Sembilang,” kata gadis di sebelahnya yang tampak pucat ketakutan. “Kalau boleh, tolonglah. Dia tak dapat berjalan,” lanjutnya. Djaafar menoleh ke arah Husin minta pendapat. Husin mengangguk. Djafaar menekuk kedua lututnya ke pasir, dan minta izin memegang kaki yang sakit. Jarinya menyentuh kulit kaki yang mulus itu, dan melihat warna biru, lebam di telapak kaki kirinya. “Bisanya mesti dikeluarkan dulu. Pakai pisau. Kelak kalau sudah ditoreh dan darahnya di keluarkan, bisanya berkurang. Mau di keluarkan darahnya? Tak takut sakit?” tanyanya beruntun ke arah Buntat. Buntat, tampaknya masih terus menahan sakit.Butir-butir peluh menempel di dahinya. Wajahnya pucat dan nyaris tak bisa bicara. Lama tak ada jawaban, sampai dara temannya ikut bertanya. “Kalau tak boleh berjalan, bagaimana kita akan pulang. Datuk Temenggung jauh di ujung pulau,” kata dara itu lagi. Djaafar menatap lekat wajah Buntat. Dalam masa-masa yang sangat tegang itu, dia meyaksikan keindahan wajah dara yang tibatiba membuat seluruh dadanya berdebar. “Cantik. Sungguh belum pernah ada yang secantik ini,” katanya dalam hati. Sambil menunggu jawaban, matanya mengembara mulai dari baris alis hitam lebat di atas sepasang kelopak mata yang memeram 131


Bulang Cahaya

menahan sakit, terus ke hidung yang mancung, dengan kedua pinggir yang bersemu merah. Terus ke bibirnya yang melengkung, bagai sepasang puncak bukit. Kesumba, dan bergaris-garis indah, membelah sisi-sisi bibirnya. Tiba-tiba Djaafar sadar, betapa kurang ajarnya dia. Dia melepas tangannya, dan melepas napas. Rupanya sikapnya itu membuat Buntat terkejut dan menduga orang yang akan menolongnya itu akan pergi, karena dia tak mau ditoreh telapak kakinya. “Ijah, biarlah kakiku ditoreh saja. Bisanya tak tertahankan lagi,� suaranya yang halus akhirnya keluar dan titik-titik peluhnya mulai menetes. Djaafar mendengar itu. Dia mencabut badik kecil dari pinggangnya, menunduk, dan kembali memegang kaki indah yang putih dan bersemu merah bercampur lebam itu. Kemudian dia membalik perlahan telapak kaki gadis itu, mencari bekas tikaman sengat sembilang itu. Sret ! Dia menoreh telapak kaki Buntat yang membiru. Goresan kecil dan agak dalam itu segera kelihatan berdarah. Merah kehitam-hitaman. Djaafar terus menekan goresan itu sampai darahnya terus mengalir ke luar. Cukup lama juga, dan dia mendengar bagaimana Buntat terus mengaduh dan menjerit sakit. Jaritan itu terdengar seperti suara yang merengek dan manja. Saat menoreh, saat menekan bekas torehan dan mengeluarkan darah bisa sembilang itu, wajahnya begitu dekat dengan wajah Buntat, sehingga dia bisa merasakan desiran napas Buntat. Harum bau napasnya, harum bau rambutnya, dan terasa getaran yang bangkit dari tubuhnya. Tiba-tiba tubuh Djaafar seakan mengigil, berdenyar, dan hanyut. Untung dia kembali sadar, meski menyesali apa yang sedang dinikmatinya itu, berlalu. Kemudian dia merobek tepi kain sarung yang melilit dipinggangnya, memintalnya seperti seutas tali. Mengikatnya ke 132


Membawa Rindu, Membunuh Benci pergelangan kaki Buntat, di atas luka yang ditorehnya, dengan cengkaram yang cukup keras. “Biar diikat, agar bisanya tidak naik ke atas,” katanya nyaris mengelus betis yang bak jantung padi itu, membersihkan butiran pasir yang melekat di betis yang halus dan mulus itu . Kemudian dia membungkus telapak kaki itu dengan sisa kain yang lain. Sehingga bekas luka itu terlindung dari pasir. “Kalau sudah bisa berjalan, biar dipapah saja. Dan jangan kena pasir,” nasihatnya kepada dara sahabat Buntat. Suaranya serak dan gemetar menahan gejolak yang nyaris tak kuat ditahannya. Karena sengatan bisa ikan Sembilang itu memang baru terjadi, dan bisanya belum menjalar jauh, pertolongan Djaafar dan Husin itu cepat mengatasi rasa sakit Buntat. Setelah meringis beberapa saat, dia dapat berdiri. Dengan terpincang-pincang dia meraih tangan temannya untuk berjalan. “Ijah, kita pulang sajalah dulu,” katanya. Wajahnya yang pucat, sudah mulai berdarah dan bersemu merah. Dia menatap lama ke arah mata Djaafar. Tersenyum dan pergi meninggalkan keduanya. Djaafar terpana dan terus menatap Buntat pergi meninggalkan pantai, menuju ujung tanjung. Dia melihat lenggok pinggul dan gaya berjalan Buntat yang gemulai. Pikirannya menerawang. Dia baru tersadar, setelah Husin mengejutkannya dengan pertanyaan setengah berkelakar. “Apa... kita masih akan mencari remis atau duduk termenung saja di bawah tebing sambil mengenang Buntat?” kata Raja Husin. Djaafar terkejut dan tersipu menatap wajah sahabatnya. “ Ya Tuhan, cantiknya Sin...“ katanya sambil mengeleng-geleng kepala. “Mati beta Sin... “ lanjutnya sambil ketawa. Sambil saling mengejek, mereka akhirnya kembali ke arah tebing, dan kembali mengais-ngais pasir mengumpulkan remis. 133


Bulang Cahaya

Tapi pikiran Djaafar sudah tidak lagi kepada remis. Pikirannya terus terbayang-bayang dengan wajah Buntat. Dengan hidung mancungnya. Dengan belahan bibirnya. “Husin, kau tengok dia tersenyum tadi,” kata Djafaar tibatiba menjadi begitu tergila-gila pada bayangan Tengku Buntat. Bagai tak puas memberi komentar apa yang baru saja terjadi. “Ya, tersenyum. Tapi berterima kasih pun tidak. Padahal sudah ditolong,” ejek Husin. “Ah, tidak, dia tadi lama memandang beta. Baru kemudian tersenyum. Terima kasih itu kan tak perlu pakai mulut. Pakai mata pun cukup,” kilah Djaafar. “ Amboi! Iya-lah! Kalau sudah mulai mabuk ya semuanya kena,” ejek Husin lagi. Mereka terkeh-kekeh berdua. Sejak itu, sejak mata badik dan telapak kaki bertemu, sejak anggukan dan kilatan mata beradu, keduanya diam-diam membangun rindu. Husin yang jadi perantara pihak Djaafar, dan Tengku Khalijah, dara yang menjadi temannya di pantai itu, yang jadi penghubung Buntat. Bulan demi bulan hubungan mereka merambat maju. Dari saling bertatap dari seberang lapangan sampai sembunyi-sembunyi bertemu di tebing kampung Bulang. Memang sulit mereka membangun cinta, tetapi keduanya merasakan betapa indahnya hubungan itu. “Husin, seperti inikah cinta Khais dan Laila itu?“ katanya setengah berkelakar kepada sahabatnya. Tengku Buntat mengaku , sebenarnya dia takut dan malu kalau ada pihak yang tahu hubungan mereka.Tapi dasar Djaafar berdarah Bugis, dia terus nekad. Akhirnya dia memberanikan diri bertandang ke rumah Tengku Muda. Geger. Anak-anak muda yang memburu Tengku Buntat geger. Marah, kecewa, iri. Tapi Djaafar jalan terus. Sekali dua kali dia melihat wajah masam Tengku Muda, ayah Buntat, waktu dia bertandang. Tetapi segera sirna, begitu Buntat datang dan menyilakan Djaafar naik. 134


Membawa Rindu, Membunuh Benci Keadaan tambah lega dan penuh kerinduan, jika Tengku Besar, ibunda Buntat, ikut masuk dan melayani mereka berbual, sampai satu dua jam. Akhirnya Tengku Muda mulai biasa, dan membiarkan kedua bujang dara itu membangun cintanya. Cuma Datuk Buntat, Temenggung Abdul Jamal yang nyaris tak bisa diajak berdamai. Sorot benci dan dendam senantiasa ada, seperti bara api. “Biarlah. Orang tua memang begitu. Cepat atau lambat dia akan setuju,” kata Buntat suatu senja menenangkan perasaan Djaafar yang gundah melihat sikap datuk Buntat membenci pihak Bugis. *** DJAAFAR tersadar dari lamunannya. Dingin mulai menyegat dan malam terasa makin gelap. Sementara Husin yang sudah datang menjemputnya, duduk termenung agak jauh di sebelahnya. “Rupanya, betul juga kata orang tua-tua. Jodoh, rezeki dan maut itu, di tangan Tuhan. Ya, terserah jodohlah. Kalau memang ada, ya bisalah kusunting Buntat. Kalau tidak, kubawa luka ini sampai mati,” katanya dengan suara berat. Entah Husin mendengar atau tidak. Djaafar beranjak meninggalkan pantai, menuju ujung tanjung, tempat sampan mereka ditambat. Dia naik ke sampan tanpa sepatah kata. Raja Husin berkayuh dan mengikut arus ke Kota Piring. Djaafar memandang pecikan air yang berkilat-kilat karena sentuhan dayung Husin. Seperti lagu yang penuh lara. Djaafar seakan melihat wajah Buntat pada sibak air, pada derai kayuh di sisi sampan. Seakan tak ada lagi harapan mereka akan bersatu. Seakan mereka akan membawa bara cinta mereka sampai ke akhir hayat. “Husin, mengapa beta dahulunya jatuh cinta pada Buntat? 135


Bulang Cahaya

Kalau tahu akan sepahit ini, kenapa beta tak dilarang sejak dulu?“ dia menggeram, menyalahkan karibnya. Husin terpegun sejenak, dan mengarahkan haluan sampan ke dermaga. “Sudah tahu peria pahit, mengapa digulai dalam kuali. Sudah tahu bercinta sakit, mengapa kini disesali?“ Husin berpantun, dan membuat Djaafar menghentak lantai sampan dan nyaris karam. “Kalau gagal merebut cinta, jangan bunuh diri jadi pilihan. Kalau jantung hati tetap setia, akhir hayat pun tak terpisahkan,“ kembali Husin mengusik. Djaafar naik ke dermaga, membiarkan Husin sendiri menambat sampan. Dia bergegas menuju istana kediaman Yang Dipertuan Muda, dan meluru ke biliknya yang berada di Dalam Besar. Dia membanting pintu, dan telungkup di ranjangnya. “Huh, anak Bugis menangis? Anak Yang Dipertuan Muda meratap dan patah hati? Dengan apa akan membalas dendam sejarah? Dengan apa akan menghadang musuh, kalau dengan perempuan saja sudah menyerah?“ pikirannya berkecamuk. Tak bisa lelap. Sebentar bangkit, tegak dan rubuh lagi. Sampai dini hari, sampai ayam berkokok. “Daeng, sudah Subuh,“ tiba-tiba suara halus ibundanya terdengar menyeruak dari celah-celah pintu. Djaafar terkejut. Bangkit, dan beranjak ke jendela. Dia memandang ke seberang sungai, dan menangkap asap yang berarak ke langit. “Akhirnya berpisah juga kita... “ keluhnya, seakan menyumpah matahari pagi yang bangkit dan membakar lukanya.

136


Desau Air, Hanyutlah Kasih

7. Desau Air, Hanyutlah Kasih MUARA Sungai Riau tampak penuh sesak dengan perahu. Lebih dari 200 perahu berjajar dan mulai menurunkan dayungdayungnya. Mereka sedang menunggu perintah Sultan Mahmud untuk bertolak menuju Lingga. Hari itu, Sultan memang sudah membuat keputusan akan meninggalkan Ulu Riau, dan pindah ke ibukota kerajaan yang baru di Daik, Lingga. Di seberang barat, di Kampung Bulang, kepulan asap pagi, tampak membubung. Dari arah jendela yang menghadap ke sungai, Tengku Buntat berdiri memandang sedih ratusan perahu itu. Dia tak tahu di perahu yang mana Djaafar berada sekarang. Dia ingin melambaikan tangannya, tanda selamat jalan, tapi akan dilambaikan ke mana. Dia benar-benar sedih. Hampir semalam suntuk dia terus menangis dan tak tidur sepicing pun. Dia merasakan telah ditinggalkan begitu saja, disisihkan dan dibiarkan sendiri. Dia merasa hubungannya dengan Djaafar berakhir sudah. Mereka memang telah terpisah kini, sekalipun hatinya tetap ikut ke mana Djaafar pergi. Sehari dua nanti giliran rombongan mereka pula akan bertolak ke Pulau Bulang. Lebih 100 perahu yang sudah bersiapsiap. Mereka meningalkan Riau dan pindah ke sana. “Satu di Lingga, satu di Bulang, entah kapan dapat berjumpa. Tak usahkan sejauh itu, antara Kota Piring dengan Bulang saja, sudah susah bertemu. Ini kan pula berhari-hari berlayar,� katanya penuh kecewa kepada Tengku Khalijah. Seperti sudah habis harap, walaupun Khalijah terus membujuk dan membesarkan hatinya. Khalijah yakin, Djaafar tak akan melupakan dia begitu saja. “Cinta Kak Buntat berdua, bukan cuma sebulan dua. Tapi 137


Bulang Cahaya

sudah tiga tahun. Takkanlah abang Djaafar akan lupa begitu saja. Kelak pasti dia memberi kabar, atau datang ke Bulang,” bujuk Khalijah. Tapi Buntat memang tak berharap banyak lagi. Setelah pertemuan petang hari terakhir kemarin, dia sudah siap untuk kehilangan. Dan dia memang sudah sejak lama bersiap untuk itu. Tengku Buntat menuju lemari, membuka pintunya, dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain yang tersimpan di rak lemari. Empat bulan sebelum perpisahan yang sedih ini, dia sudah menyiapkan kenang-kenangnya untuk Djaafar. Dia menyulam tiga helai sapu tangan. Saputangan putih, berenda merah. Di sudut saputangan, dia taruh sulaman dua ekor burung Perkit. Di bahagian tengah, dia sulam pantun. Kalau roboh kota Malaka Papan di Jawa dinda tegakkan Kalau sungguh bagai dikata Nyawa dan badan dinda serahkan Pantun itu, ketika dia tunjukkannya pada Khalijah, sahabatnya itu, mengikik. “Jangan tahu Datuk Temenggung. Nanti sapu tangan ini kena bakar,“ kelakarnya. “Ijah, antar sapu tangan ini ke Abang Djaafar. Biar dia mengingat kita dari jauh. Katakan cuma ini pengganti diri,“ ujarnya parau menahan sedih. Dia lalu melipat lagi saputangan sutera itu lebih kecil dan mengikatnya dengan pita merah hati. Lalu menyerahkannya pada Khalijah. “Hati-hati, jangan sampai dilihat orang,“ pesannya. Khalijah memang tak pernh membantah apapun permintaan Tengku Buntat. Dia mengangguk dan keluar dari pintu belakang 138


Desau Air, Hanyutlah Kasih yang menghadap sungai. Tapi Khalijah bimbang, apakah dia harus mengantar sendiri saputangan itu ke Kota Piring dan mengayuh sampan, atau menunggu di seberang, dan mencari kesempatan mengirimkan pesan pada Raja Husin agar bertemu di kampung Bulang. Dia berjalan ke arah tanjung, tempat yang paling sering dia lakukan jika ingin bertemu Husin. Kebetulan, saat dia lagi mengintip ke arah dermaga Kota Piring, dia melihat Husin lagi hilir mudik dari salah satu perahu besar yang akan berangkat ke Lingga. Menengok ke sana, menoleh ke sini. Seperti orang sedang mencari sesuatu, menunggu seseorang. Ketika Husin menoleh arah ke kampung Bulang, Khalijah melambai. Husin terlonjak dan nyaris terbang ke perut sampannya, karena tahu bahwa Khalijah menunggunya. Dia bergegas melepas tali sampan, dan menyeberang ke Kampung Bulang. “Untung Abang Husin menoleh, jadi lambaian Ijah cepat dilihat. Kalau tidak Ijah harus mendayung ke seberang...“ ajuk Khalijah. “Perasaan Abang , seperti ada yang menunggu. Sejak pagi Abang hilir-mudik, kalau-kalau Ijah keluar ke pelantar. Tak tenteram rasanya hati, kalau pergi tak memberi tahu,“ kata Husin lega. Seperti mendapat durian runtuh, karena bertemu Khalijah. Khalijah mengulur bungkusan kecil itu. “Jangan sampai tidak. Berikan ke Abang Djaafar. Ini amanah orang. Meskipun, sebetulnya, pantang memberi sapu tangan. Kata orang, padah!“ katanya sambil menjeling Raja Husin. “Sedap ya abang Djaafar. Pergi jauh, ada yang dikenang. Ada yang dicium, ada yang dapat dibawa peneman tidur. Hamba ini, hendak mengenang pakai apa? Kalau sedih, mengelap pakai tepi baju sendiri!“ kata Raja Husin setengah nelangsa. “Alamak kasihannya! Apa memang sudi menerima kenangan? 139


Bulang Cahaya

Ini! Kalau tak sudi, campakkan saja ke sungai,“ kata Khalijah tersenyum sambil menyerahkan bungkusan kecil yang diselipkannya di balik baju kutangnya. Raja Husin menyambar pemberian itu, dan mencium baunya. ”Amboi! Ada juga yang sudi,“ katanya setengah menjerit. “Hus! Jangan memekik, kelak didengar orang!“ kata Tengku Khalijah, meski pun dia sangat suka. Dia tersenyum, wajahnya bersemu dan seakan melepas beban yang berhari-hari mengeram di dadanya. Sejak beberapa bulan ini, dia dan Raja Husin memang sedang membangun cinta. Dulu, Khalijah menjalin hubungan cinta dengan Tengku Ilyas, setelah Ilyas tahu Buntat menolak cintanya. Tapi sejak ada kabar Tengku Muda dan pihak Melayu tidak mau Buntat kawin dengan keturunan Bugis, dan mau menjodohkan Buntat dengan pemuda keturunan Melayu, maka dia mulai menjauhi Khalijah dan mengejar Buntat. Khalijah merasa terhina, dan memutuskan menerima cinta Raja Husin yang sudah lama mengejarnya. “Biar sajalah, aku dan Buntat mengejar keturunan Bugis. Keturunan Melayu, tak dapat dipercaya. Tak setia,“ katanya. Dia tahu, meski keluarga Buntat akan menjodohkan Buntat dengan Ilyas, tapi Buntat sudah bertekad tak kan mau menerimanya. “Biar jadi gadis tua, hamba tunggu juga Abang Djaafar,“ katanya pada Khalijah. “Kalau berjodoh nanti, kita buat rumah berdekatan. Biar dapat mengulang terus kisah kita tiap hari,“ kelakar Khalijah. Khalijah menggenggam tangan Husin, meremasnya. Kepingin dia rebah di bahu Husin. Tapi di tempat yang terbuka itu, Khalijah khawatir ada yang melihat. Husin paham, dan dia menggenggam lebih erat tangan Khalijah. Meremasnya. “Jangan bersedih. Besok lusa, Abang ke Bulang. Kita 140


Desau Air, Hanyutlah Kasih berjumpa lagi. Katakan pada Buntat, abang Djaafar tak tidur semalaman. Pagi ini pun matanya masih sembab, dan merah,“ Husin menyampaikan keadaan sahabatnya. Dia melihat ke arah tanjung, dan melihat orang-orang sudah mulai ramai hilir-mudik. “Pulanglah, nanti ditengok orang,“ katanya. Mereka berpisah. Husin mengayuh kembali sampan ke Kota Piring, dan Khalijah menyelinap kembali ke rumah Buntat. “Sudah?“ tanya Buntat begitu Khalijah menjenguk muka di pintu biliknya. “Tidak ditengok orang, kan?“ lanjutnya. Khalijah tersenyum mengangguk. Dia masih menurunkan getaran hatinya, setelah bertemu Husin. “Abang Djaafar tak tidur semalaman. Berat betul dia mau ke Lingga,“ lanjutnya. Buntat mendesah. Dalam hatinya, bukan cuma Djaafar saja yang tak tidur semalaman. Bantalnya juga sudah basah, dan air matanya sudah kering semalaman. “Tak ada yang tahu beratnya hati ini Ijah...“ Buntat kembali mendesah. Menangis…. *** TENGAH hari terdengar genderang dan terompet kebesaran, tanda rombongan Yang Dipertuan Besar berangkat pindah ke Lingga. Tengku Buntat tengkurap di bantal, menangis. Dia tak mau melihat perahu-perahu itu berlayar membawa pergi cinta dan kepedihan hatinya. Khalijah duduk dekat jendela melihat perahu-perahu itu bergerak. Melihat rempakan dayung mencecah air dan berkayuh membawa perahu-perahu itu bergerak meninggalkan Ulu Riau dan Kota Piring. Perahu-perahu besar berdayung banyak itu begerak menghilir sungai Riau. Bagaikan susunan armada perang. Riuhrendah dengan tempik-sorak. Pukulan gong dan ketawak, dan juga hati-hati yang hanyut bersamanya. “Sudah berangkat mereka. Tak usah ditangisi lagi. Kalau 141


Bulang Cahaya

jodoh, ya abang Djaafar pasti kembali,“ kata Khalijah seakan tanpa beban, meski sudut matanya basah. Tengku Buntat terus terisak-isak. Tak bisa bicara. Tak ada yang akan dikatakan lagi. Kerongkongannya tersekat. Matanya sembab. “Kau tak sedih, Ijah?” tiba-tiba Buntat bertanya lagi dengan suara nyaris tak terdengar. “Ya, sedih jugalah. Tapi kasih kami kan baru seumur jagung. Ibarat kata pantun: Asal kapas menjadi benang. Asal benang menjadi kain. Barang yang lepas jangan dikenang. Sudah menjadi orang lain. Ya berserah sajalah,“ kata Khalijah, nyaris tanpa emosi. Wajahnya sendu memandang jauh ke muara Sungai Riau, ke arah ratusan perahu yang mulai membentang layar, bergerak makin laju menuju ke laut lepas. Derap dayung perahu-perahu besar itu dan gemuruh air yang terdengar sayup, bagai tak hilang-hilang dari telinga mereka. Khalijah memandang ke arah laut lepas sampai layar perahu rombongan Sultan Riau itu lenyap dan tak lagi kelihatan. Dua hari kemudian, Buntat bersama keluarganya juga berlayar menuju Pulau Bulang. Dia menoleh terakhir kali ke arah tebing tempat dia selalu bertemu Djaafar sambil membayangkan pertemuan terakhirnya kemarin yang penuh air mata. Air sungai tampak hitam, bergerak cepat ke hilir karena surut. Ombak sungai berderu pelan, seperti gesekan biola yang ngilu mengiringi kepergiannya. Khalijah melambai dari perahu lain. Buntat mengangguk, dan masuk ke dalam tenda perahu. Bersandar di bahu ibunya, dan kembali menangis. “Naikkan layar,“ perintah Tengku Muda. *** KHALIJAH benar. Meskipun Djaafar pada mulanya merajuk, dan hampir 3 bulan tak memberi kabar berita, tetapi akhirnya 142


Desau Air, Hanyutlah Kasih dia tak tahan. Secara sembunyi-sembunyi, dia datang ke Pulau Bulang dari Daik. Dia memang bersembunyi, dan tidak mau bertemu langsung, dengan Buntat, takut Tengku Muda mengetahui dan mengurung Buntat. Dia mengutus Raja Husin untuk menyampaikan pesan, sementara dia menunggu di perahu, sambil melihat kediaman Buntat dari jauh dan berharap Buntat ke luar rumah dan dia dapat menyaksikan wajah yang dirindukannya itu. Kalau boleh berbisik pada angin dan menyuruh angin mengantar kerinduannya ke rumah Buntat, dia akan lalukan itu. Atau dia bisa mengirimkan suaranya dari jauh, dan memekikkannya ke arah rumah Tengku Muda, supaya Buntat menoleh dan melihat ke arah perahunya. Tubuhnya memang agak menyusut sekarang. Sering tak tidur karena memendam rindu. Tapi, dia mencoba mengalihkan semua kepedihan itu, kepada kerjanya membantu kerajaan. Berpergian ke berbagai daerah di Lingga sesuai titah Sultan. “Sulit benar membunuh rindu,“ katanya suatu hari pada Husin. Itulah sebabnya, akhirnya dia memutuskan pergi ke Pulau Bulang, menyewa perahu dagang orang China, berdua Husin. “Jangan sampai ada orang di istana yang tahu kita ke Bulang,“ pesannya pada Husin. Sahabatnya itu tentu mengerti, sebab diapun dirundung rindu. Tiba di Pulau Bulang, Husin mencari akal menghubungi Khalijah. Dia berhasil mencegatnya, ketika Khalijah akan ke rumah Buntat. Hampir saja Khalijah memekik, karena terkejut, tak menyangka, dan juga bahagia. Untung saja Husin segera mencegahnya, agar orang-orang kampung itu tidak heboh. “Beritahu Buntat, Abang membawa pesan dari abang Djaafar. Cari tempat bertemu, agar tidak dilihat orang,“ katanya pada Khalijah. ”Segeralah!” katanya lagi karena melihat Khalijah masih 143


Bulang Cahaya

tercegat, menggenggam tangan Husin, dan belum mau pergi. Akhirnya, Khalijah sadar dan bagai peluru dia berlari ke rumah Buntat dan memberi tahu. Tengku Buntat pun nyaris memekik dan tak percaya. Lama dia memandang mata Khalijah, khawatir saahabatnya itu mainmain dan membohonginya sekedar untuk memLesarkan hatinya. Dia tak mudah percaya, karena Khalijah kerap mengarang cerita yang indah-indah tentang kedatangan Raja Djaafar, agar sahabatnya tidak tambah menderita. Tubuhnya layu dan tak bergaiarah, karena rindu. “Kau bohong Ijah? Kau memperdaya beta ya?“ katanya sambil meremas tangan Khalijah, meminta kepastian. Khalijah mengangguk. Wajahnya tulus dan jujur. “Demi Tuhan...“ katanya bersumpah. Mereka akhirnya mengendap lewat pintu belakang, dan menuju kebun kelapa yang sedang sunyi, lebih kurang 100 depa dari rumah Buntat. Kemudian Khalijah pergi mencari Husin. “Abang Djaafar sudah mengatakan, dalam hatinya hanya ada Kak Buntat. Apapun terjadi, dia takkan dapat memupus begitu saja Kak Buntat dari hatinya,” kata Raja Husin pada Buntat dan Khalijah, begitu Husin sampai di tempat pertemuan. Mereka bertiga duduk di bawah pohon kelapa, beralaskan pelepah yang sudah kering. “Tapi mengapa dia tidak ke Bulang?” Buntat menyela dan seperti tak percaya apa yang disampaikan Husin. “Dia dilantik jadi pembantu sekretaris Sultan. Banyak kerjanya dan nyaris tak sempat istirahat. Di samping itu, dia dikirim juga ke Malaka dan Selangor bersama rombongan Sultan, bertemu Gubernur Malaka, dan pembesar lain,” lanjut Husin menggambarkan kesibukan sahabatnya itu. “Tapi apalah arti kabar, kalau orangnya entah dimana,” keluh 144


Desau Air, Hanyutlah Kasih Buntat lagi. Kabar tak mengobat rindu. Malah menambah sakit dan kecewa. “Apa abang Djaafar masih marah, karena saat bertemu terakhir sekali, Buntat tak memberi keputusan apa-apa?“ lanjut Buntat lagi. “Sabarlah, satu hari nanti pasti abang Djaafar datang langsung ke Bulang. Dia sekarang tak tentu kerja. Badannya agak susut, dan banyak bermenung,” cerita Husin lagi mengharapkan simpati Buntat. “Ini kenang-kenangan dari abang Djaafar,“ kata Husin sambil mengangsur sebuah bungkusan kecil. Buntat menyambutnya. Tapi belum mau membukanya, sampai Khalijah yang merebut dan membuka. Sehelai saputangan sutera putih. Pinggirnya berenda biru. Di tengahnya, ada sulaman Gunung Daik dan sebait pantun: Anak Endung Raja Sulaiman Duduk di tingkap melambai angin Kalau rindu pandanglah laman Di situ tempat kita bermain Buntat tampak murung. Hati kecilnya tetap sulit percaya bahwa cinta mereka akan bertaut semula. Siang malam, dia memang berharap, Raja Djaafar tiba-tiba muncul di depannya. Datang dan berbicara dari hati ke hati. Melepas rasa rindu yang tersimpan selama berbulan-bulan ini. Firasat nya mengatakan Raja Djaafar ada di Bulang. Bila dia memandang ke ujung tanjung, ke arah perahu-perahu berlabuh, dadanya berdesir.Dia seakan menangkap kelebat tubuh Djaafar melintas, memandang dari jauh. Melambai. Tetapi terkadang begitu hati kecilnya tersadar dan tahu itu hanya angan, bayang-bayang itu lenyap, dan dia merasakan kehilangan yang sangat dalam. “Beta ini bodoh Ijah. Rindu seorang. Sedangkan orang lain 145


Bulang Cahaya

tak perduli...� katanya dengan mata yang basah mencurah rasa pedih hatinya pada Tengku Khalijah, kalau rindunya sudah tak tertahankan. Memang Khalijah-lah sahabatnya, satu-satunya, tempat dia mencurah duka dan rindunya. Cuma Khalijah-lah yang tahu lubuk hatinya yang paling dalam. “Kalau sampai engkau pun pergi dari samping beta, lebih baik beta mati sajalah, Ijah...“ jerit hati Buntat.

146


Membawa Dendam ke Temasek

8. Membawa Dendam ke Temasek KEPUTUSAN Belanda untuk tidak memburu Sultan Mahmud dan pembesar Riau yang pindah ke Lingga, memang memberi kesempatan bagi Mahmud untuk membangun negerinya. Dia mulai membangun ibukota kerajaannya di Daik. Membuat istana, dan berangsung-angsur memperbaiki perangkat pemerintahannya. Lebih dari tiga tahun keadaan damai itu dirasakan. Sampai suatu hari, menjelang Zuhur, serombongan utusan Belanda, tiba di Daik, dan minta bertemu dengan Sultan Mahmud. Yang Dipertuan Besar Riau itu, agak terkejut karena utusan yang datang itu, bukan hanya Residen Belanda di Tanjungpinang, tetapi juga utusan Gubenur Malaka. Sultan Mahmud lama merenungi sampul kertas kuning, bercap Raja Belanda, yang merupakan surat yang dikirim Gubernur Jendral Belanda di Batavia itu. Dia merasa selama tiga tahun ini, tidak pernah membuat Belanda marah. Semua perintah Belanda yang dikirim ke Riau diikuti. Dia sudah melarang Raja Ali, pembesar keturunan Bugis yang menyingkir ke Sukadana itu, untuk mengganggu Belanda. Setelah peristiwa penyerangan Pulau Bayan itu, tak pernah lagi Raja Ali mengganggu. Kalaupun ada, itu jauh di Selat Karimata, di wilayah Kerajaan Mempawah dan Pontianak. Demikian juga dengan Yang Dipertuan Muda Muhammad di Riau. Semuanya patuh dan taat pada Belanda. Mengapa ada surat penting seperti ini? Belanda ingin memakzulkannya? Tapi akhirnya dia menyuruh sekretaris kerajaan, Raja Sulaiman, untuk membuka surat, dan membacakan isi. “Barang hadir semuanya, dan mendengar isi surat Yang Terhormat Gubernur Jenderal ini,“ katanya memberi perintah. 147


Bulang Cahaya

Dadanya berdegub. Cemas, tak menentu. Raja Sulaiman pun membuka sampulnya, menarik keluar dua helai surat yang ditulis di kertas putih, lalu membacakannya secara perlahan, dengan suara yang cukup keras. Semua yang hadir terperanjat dan tercengang. “Apa? Kerajaan Belanda mengembalikan Riau ke tangan Beta? Riau bukan daerah jajahan lagi? “ Sultan Mahmudsyah bagai tak percaya. Dia menatap mata utusan Belanda yang duduk di kursi di hadapannya. Utusan itu mengangguk. “Surat itu, adalah sebuah surat keputusan, yang hakekatnya menegaskan, bahwa semenjak diterimanya surat keputusan itu, Kerajan Riau-Lingga menjadi negeri yang merdeka dan berdiri sendiri dan tidak lagi di bawah Kerajaan Belanda. Tidak lagi tunduk pada semua perjanjian yang sudah pernah dibuat antara kedua belah pihak,“ kata Raja Sulaiman, menjelaskan lagi makna surat keputusan yang dibuat dalam bahasa Melayu itu. “Hanya saja kelak, jika Belanda kembali berkuasa di wilayah semenanjung dan Hindia Belanda ini, mereka akan berunding kembali dan menjadi sekutu. Tetapi, sekarang ini, Riau merdeka, dan tidak boleh takluk kepada Inggris. ‘ Lanjut Raja Sulaiman. Utusan Belanda yang ada lima orang itu, yang berpakaian putih-putih, bertopi kop putih, dan bersepatu lars hitam, tersenyum, dan mengangguk-angguk. “Yang Dipertuan Besar Riau Lingga dan daerah takluknya sekarang bebas dan boleh mengatur negerinya sendiri. Meskipun Kerajaan Inggris sekarang menguasai wilayah semenanjung dan Hindia Belanda, tapi Yang Dipertuan Besar jangan sampai bersekutu dengan mereka,“ kata utusan Gubernur Malaka itu. Lebih dari satu jam utusan itu berbincang dan menyampaikan berbagai harapan agar Riau-Lingga tetap menjadi sekutu Belanda. Kemudian setelah diberi jamuan sebagai mana biasanya, lalu mereka 148


Membawa Dendam ke Temasek bertolak kembali ke Malaka. Sultan Mahmud mengantar tamunya sampai ke tangga istana. Melambaikan tangan tanda selamat jalan, dan kembali ke singgasannnya dengan wajah gembira. Tersenyum. “ Ya Allah, telah Engkau limpahkan karunia-Mu. Ampun hamba ya Rab..,“ Sultan Mahmud memanjatkan doa syukur dan menadahkan tangan. Begitu utusan itu bertolak, Sultan Mahmud pun segera bermusyawarah dengan para pembesarnya. Baginda mengaku agak terperanjat dengan kedatangan utusan Belanda itu, tapi segera maklum bahwa Belanda memang telah kalah perang dan sekarang Inggris yang menang. Sudah agak lama Baginda mendengar kabar angin tentang pecahnya perang di Eropa. Kononnya, di kerajaan Belanda terjadi perpecahan dan perebutan kekuasaan. Ratu Belanda melarikan diri, dan negerinya dikuasai oleh para pemberontak. Tetapi, Ratu Belanda itu, telah berlindung ke Inggeris dan bekerja sama untuk melawan musuh-musuhnya. “Itu artinya, sekarang ini, semua jajahan Belanda di semenjung dan Hindia Belanda itu, dipegang oleh Inggris “ kata seorang pembesar Melayu yang datang dari Malaka, bercerita. “Jadi dengan Surat Keputusan ini, maka seluruh perjanjian dan kontrak politik dengan Belanda, termasuk perjanjian di kapal perang Utrecht telah batal. Riau bebas menentukan pemerintahan sendiri “ kata Baginda Mahmud. Sultan Mahmud pun sudah mendapat tahu, bahwa Belanda telah angkat kaki dari Tanjungpinang. Bandar itu sekarang kosong, tinggal orang-orang China dan Keling yang ada di sana. Semua harta benda orang Belanda ditinggalkan di sana, termasuk senjata dan mesiu yang ada di Benteng Kroonprijns. Yang menjaganya adalah beberapa serdadu, orang Melayu dan Ambon, serta beberapa peranakan Bugis. 149


Bulang Cahaya

“Beta pikir, kita harus segera mengambil kuasa di Tanjungpinang dan Ulu Riau. Membangun kembali warisan kerajaan kita, dan memperkukuh keamanan di sana,“ katanya. Lalu Sultan Mahmud memberi perintah agar Yang Dipertuan Muda Muhammad yang sedang bermukim di Pulau Bulang, segera berangkat ke Tanjungpinang, dan membangun pemerintahan di sana. “Tak usah lagi datang ke Lingga untuk menjunjung titah. Langsung ke Tanjungpinang, dan berkerajaan di sana,“ perintah Yang Dipertuan Besar. “Kirim segera utusan ke Bulang dan bawa titah beta,“ katanya Malam harinya, tanda bersyukur atas kemerdekaan yang diperoleh, Sultan Mahmud memerintahkan diadakan doa selamat dan bertahlil di Mesjid Sultan.Dia menyuruh menghimpun semua pembesar dan para tetua masyarakat yang ada di Lingga. “ Kalau Allah berkehendak, maka jadilah Kehendak Nya itu. Mulai sekarang semakin rajinlah kita bersyukur, dan membangun kembali negeri Lingga dan Riau ini “ katanya kepada semua jamaah yang hadir. *** SETELAH menerima perintah, maka Yang Dipertuan Muda Muhammad pun berangkat ke Riau, dan menjalankan tugas Yang Dipertuan Muda dari sana. Mereka membangun sebuah rumah yang cukup besar di Kampung Tambak, di pinggir pantai. Ratusan perahu perang Melayu Riau juga ikut kembali ke Riau. Yang tetap tinggal di Pulau Bulang adalah Temenggung Abdul Jamal, Bendahara Tun Abdul Majid, dan kaum keluarga yang lain. Sedangkan semua orang Melayu yang menjadi prajurit dan barisan pertikaman Riau ikut ke Tanjungpinang dan berkampung di sana. 150


Membawa Dendam ke Temasek “Ananda sajalah dulu yang kembali ke Riau. Ayahanda dan Bendahara biar di Bulang saja dulu. Mana tahu keadaan berubah. Belanda tak boleh terlalu dipercaya. Sudah beberapa kali kita diperdaya,“ kata ayahnya Temenggung Abdul Jamal. Tengku Muda paham. Tempat yang baru itu di Tanjungpinang,memang tidak berapa jauh dari tempat mereka yang lama, yaitu Kampung Bulang. Dari jendela rumah yang baru, Tengku Buntat, bisa melihat ujung tanjung Kampung Bulang. Jelas. Kalau memakai perahu, tak lebih dari sepuluh menit, sampai di Tanjung Unggat, dan dari sana sudah akan dapat berjalan kaki ke Kampung Bulang dan Kampung Melayu. Bekas rumah mereka yang lama yang ditinggalkan kosong, juga nampak dari jauh. Rumah itu sekarang ditempati orang-orang Melayu yang baru datang dari Pulau Bulang, para kerabat Yang Dipertuan Muda. Tapi perpindahan itu tidak membuat Tengku Buntat bahagia. Sebaliknya hatinya makin hancur. Karena, hampir setiap saat hatinya selalu tercekat. Kenangannya selalu mengembara jauh jika dia melihat pantai dan tebing Kampung Bulang, tempat di mana mereka selalu bertemu dan menjalin kasih. Jika kenangan itu muncul, dia selalu hanyut dan kerinduannya menjadi makin dalam. Dalam lamunannya selalu saja terbayang Djaafar berdiri di tebing Kampung Bulang, atau sesekali terdengar seperti suara memanggilnya dari arah seberang kampung itu. Dan yang paling menyakitkan, seakan selalu terdengar dengung layang-layang di atas bumbungan rumahnya, layanglayang putih berekor panjang yang dilepas Raja Djaafar. ‘Bulang Cahaya’, tulisan di dada layang-layang itu, seperti terdedah di depan matanya. Kenangan itu membuat Buntat seperti kehilangan gairah hidup. Asyik termenung, dan tubuhnya menjadi susut. Pesona kecantikannya makin suram dan raut wajahnya yang lonjong dan 151


Bulang Cahaya

penuh berisi, kini menjadi makin tirus dan kurus. “Bulang tak lagi bercahaya,“ begitu Khalijah selalu mengingatkan Buntat tentang kondisi fisik dan wajah sahabatnya itu. Tapi Buntat nyaris tak perduli. “Biar sajalah beta mati berangan,“ katanya putus asa. Tengku Besar, ibunya, juga menjadi makin risau melihat keadaannya. Tetapi Tengku Muda Muhammad sendiri, karena kesibukan sebagai Yang Dipertuan Muda, memang makin jarang memperhatikan perkembangan anaknya. Dia merasa, dengan memisahkan Buntat dan Djaafar, cepat atau lambat, kisah cinta itu akan berakhir dan Buntat akan siap memilih jodohnya yang baru. Itulah yang dikatakannya berkali-kali ketika isterinya menyampaikan kerisauan melihat perkembangan Tengku Buntat. “Biarlah. Darah muda memang begitu. Kelak kalau keduanya sudah jarang bertemu dan berkirim kabar, akan hilang perlahanlahan. Adinda kan begitu juga dahulunya,“ kata Tengku Muda memberi alasan. “Biarkan anak-anak muda Melayu itu bertandang ke rumah dan menghibur Buntat. Atau kalau dia hendak bermainmain ke Terengganu atau ke Pahang, biarlah dia ke sana. Kakanda Tun Dalam pun sudah lama menyuruh dia ke Terengganu menemui anaknya Tengku Hamidah,” tambah Tengku Muda memberi jalan keluar. Sudah berkali-kali saran demikian disampaikan, tapi tak pernah diacuhkan Buntat. Dan juga isterinya. Isterinya tetap diam dan tidak menanggapi. Dia tahu, memutuskan cinta bagi anaknya bukan perkara mudah. “Bagi wanita, cinta bukan sembarang hal. Lebih pahit dirasa, dari indah dikenang,” katanya kepada dirinya sendiri. Karena dirinya telah pernah merasakan kegetiran itu, ketika cintanya kepada Tengku Said, anak Panglima Bandar Johor , putus di tengah jalan, dan Tengku Besar dipaksa menikah dengan Tengku Muda Muhammad. 152


Membawa Dendam ke Temasek Buntat merasa sangat nelangsa. Hati yang mulai akan bertaut kembali di Pulau Bulang, dengan kedatangan secara sembunyisembunyi Raja Djaafar dan dengan sabar mengajuk hati lewat Raja Husin, kini kembali putus, karena Buntat pindah ke Tanjungpinang. Sekarang tak usahkan Raja Djaafar, Raja Husin pun yang biasanya selalu datang ke daerah pihak Melayu membawa titah Yang Dipertuan Besar, juga tak lagi muncul. Sehingga kabar berita dari Djaafar benar-benar tak pernah ada lagi. Hanya dengan merisik sana-sini, Buntat tahu Djaafar masih tetap di Lingga, dan menolak diajak pamannya, Raja Lumu, pindah ke Selangor. Dia tetap mengabdi pada Sultan Mahmud sebagai wakil sekretaris kerajaan. Ini membuat hati Buntat makin pedih, dan hidupnya kehilangan gairah. Yang Dipertuan Muda Muhammad, tetap tak mau perduli lagi dengan kisah cinta anaknya. Dia kini merasa kewajibannya mempertahankan kekuasaan di tangan orang Melayu dan mencegahnya dari dirampas kembali oleh orang Bugis, jauh lebih penting. Sekarang ini dia mulai memerintahkan angkatan perangnya untuk berjaga-jaga. Dia sudah mendapat informasi, bahwa pihak Bugis meminta Raja Ali kembali ke Riau. “Sekarang Belanda kalah dan Inggris yang berkuasa. Dengan begitu perjanjian Belanda dan Riau di kapal Utrecht, tidak berlaku lagi. Itu berarti, orang Bugis boleh kembali jadi Raja Muda di Riau,� begitu kabar angin yang berhembus dari mulut beberapa pemuka sebelah Bugis. Desas desus itu telah dilaporkan kepada Yang Dipertuan Muda Muhammad. “Itu berarti, cepat atau lambat Raja Ali akan muncul ke Riau dan menuntut kembali jabatan Yang Dipertuan Muda,� geram Tengku Muda . Meskipun dia tidak terlalu takut, tetapi perkembangan keadaan itu, mulai mempengaruhi pikirannya. 153


Bulang Cahaya

Tengku Muda mulai mengumpulkan kekuatan orang-orang Melayu. Dia mengangkat beberapa panglima baru. Dia membeli berpuluh penjajab baru, untuk bersiap-siap perang di laut. Meriam dan mesiu peninggalan Belanda di Benteng Kroonprijns diambilnya, untuk memperkuat angkatan perangnya. Tiap hari dia memerintahkan angkatan perangnya berpatroli di laut, di belakang Pulau Penyengat, sampai ke perairan Lingga.Mengawasi kalaukalau armada orang Bugis di bawah pimpinan Raja Ali, masuk ke Riau. Di Tanjungpinang, prajurit-prajurit Tengku Muda berjaga siang malam, mulai dari Teluk Keriting sampai ke Senggarang. Lebih 200 orang disuruh berjaga-jaga di Pulau Penyengat Indra Sakti. Benteng di Pulau Bayan juga diperbaiki dan dijaga lebih dari 100 orang pasukan. Dugaan Tengku Muda tak meleset. Tak sampai sebulan kemudian, ada berita dari Lingga bahwa Raja Ali sudah tiba di sana bersama pasukannya, lebih dari 300 orang dengan sekitar 30 perahu penjajab. Kabarnya Raja Ali langsung menghadap Sultan Mahmud, dan mohon agar jabatan Yang Dipertuan Muda dikembalikan kepada pihaknya. Karena mereka berpegang kepada Sumpah Setia Melayu-Bugis, dan jabatan Raja Muda adalah hak mereka. Di Lingga, Sultan Mahmud, memang sudah lama juga mengetahui hal itu dan sudah menyangka akan terjadi lagi gugat menggugat jabatan Yang Dipertuan Muda itu . Dia memang serba salah. Tetapi dia merasa apa yang dituntut Raja Ali itu sudah tidak sepatutnya lagi. Keadaan sudah berubah. Sejak kalah perang dulu itu, sebenarnya persekutuan pihak Melayu dengan Bugis sudah putus. Sekalipun dia adalah peranakan Bugis dari sebelah ibu, tetapi dia lebih suka kalau keadaan damai di kerajaan itu tetap dipertahankan. Dia ingin orang Melayu dan 154


Membawa Dendam ke Temasek Bugis hidup berdampingan dan saling membantu. “Di diri beta ada darah Melayu, ada darah Bugis. Bukankah elok kalau orang Melayu dan Bugis juga berdamai, sebagaimana beta tidak memihak kepada siapapun,” katanya kepada semua pembesar negeri, ketika mendapat laporan tentang niat pihak Bugis untuk meminta kembali jabatan Yang Dipertuan Muda. Karena itu, ketika Raja Ali datang menghadap dan meminta kembali jabatan Raja Muda, Sultan Mahmud dengan lembut minta Raja Ali melupakan saja keinginan itu. “Sekarang jabatan Raja Muda itu sudah dipegang oleh Tengku Muda Muhammad. Beta yang melantiknya. Ini sudah disepakati semua pihak, baik Bugis maupun Melayu, dan disaksikan olen tiga penasehat utama kerajaan, yaitu Raja Tua, Datuk Bendahara dan Raja Indrabungsu. Residen Belanda pun ada menyaksikannya. Ini sesuai dengan perjanjian di atas kapal Utrecht. Sumpah Setia Melayu-Bugis itu sudah tidak dapat dipakai lagi,” kata Yang Dipertuan Besar itu. Raja Ali marah. Beberapa pembesar sebelah Bugis yang selama ini patuh pada Sultan, ikut pula mendukung keinginan Raja Ali. Terutama Raja Andak dan Daeng Matakoh. Karena itu Raja Ali makin berani, apalagi dia merasa sejak kalah perang dia telah berjuang mati-matian melawan Belanda dan mengusir mereka dari Riau. Dia menggugat, karena dulu dialah yang memerintah para lanun dari Kalimantan untuk menyerang David Ruhde, Residen Belanda di Pulau Bayan, sampai residen itu kucar-kacir dan lari ke Malaka. Dialah yang membantu Sultan Mahmud membangun Daik, dengan mendatangkan orang-orang dari Bangka. Namun sekarang, karena Sultan Mahmud menolak, maka dia pun mengancam. Sambil meletakkan keris di muka Sultan, dia berikrar, “Kalau patik tidak dapat mengambil secara baik, patik akan ambil 155


Bulang Cahaya

secara perang,” katanya. Tanpa menunggu jawaban Sultan, Raja Ali dan para panglimanya kembali ke armada perangnya, dan berlayar menuju Riau. “Kita serang Tengku Muda, dan rampas kembali jabatan Yang Dipertuan Muda. Itu hak orang Bugis. Kita berdosa kalau sampai hak itu terlepas ke tangan orang lain,” katanya memerintahkan para panglima dan pasukannya menyerbu ke Riau. Dengan rasa marah dia memerintah semua penjajabnya yang 30 buah itu dipasangi meriam, dan ditambah mesiunya. Barisan pertikamannya pun dibagi merata ke semua penjajab. “Sumpah setia Melayu-Bugis tidak boleh cedera, dan hak pihak Bugis untuk menjadi Raja Muda,” katanya dengan geraham yang menggeram. Di Riau, begitu mendapat kabar sikap Raja Ali yang membangkang perintah Yang Dipertuan Besar, Tengku Muda Muhammad pun sudah bersiap. Begitu tiang-tiang perahu dan layar putih pasukan Raja Ali muncul di belakang Pulau Penyengat, mereka segera menyambutnya dengan tembakan meriam dari Pulau Penyengat dan serangan meriam dari puluhan penjajab. Tengku Muhammad memimpin sendiri pertempuran itu. Raja Ali tidak menyangka bahwa pihak Melayu sudah bersiap begitu rupa. Pasukan Raja Ali menjadi kalang kabut. Lebih dari 8 penjajab besarnya tenggelam kena tembakan meriam. Dia memerintahkan pasukannya mundur, dan berlindung di sekitar Pulau Los dan Penghujan. “Dari siapa si Muhammad itu tahu kita mau menyerang Riau? Pasti ada pembelot. Haram jadah!” katanya menyumpah. Tetapi Raja Ali bukan sembarang orang. Dia salah satu Panglima Raja Haji yang kenyang dengan perang, terutama perang melawan kompeni Belanda di Tanjung Palas. Dia mewarisi benar 156


Membawa Dendam ke Temasek sikap keras dan kasar ayahnya Daeng Kembodja yang bergelar Marhum Janggut itu. Lebih dari 8 tahun, dia malang-melintang, mulai dari Siantan, Pontianak, sampai ke Bangka, Palembang, Jambi dan Inderagiri. Pasukannya juga handal-handal. Barisan pertikaman Bugis-nya bukan kepalang jago dalam perang sosoh, asalkan saja mereka bisa mendarat. Sedangkan Tengku Muda Muhammad, memang tidak begitu berpengalaman. Pasukannya terdiri orang-orang Melayu yang kalah berani dengan orang Bugis dalam hal berperang. Sungguhpun lebih banyak jumlahnya, tapi mereka cepat gerun kalau sudah melihat orang-orang Bugis mengamuk. Setelah lebih 20 hari berperang, siang-malam, dan saling mengendap, akhirnya pelan-pelan pasukan Raja Ali mulai memenangkan pertarungan. Pulau Penyegat sudah mereka kuasai. Mereka merampas Senggarang dan Kampung Bugis. Kemudian hari kesebelas, mereka merebut Pulau Bayan. Raja Ali langsung menjadikan pulau itu sebagai kubu dan pusat komandonya. Mereka tinggal menyerbu Tanjungpinang. Tampaknya Yang Dipertuan Muda Muhammad, makin terdesak dan bakal kalah. Sultan Mahmud mendapat laporan tentang perang saudara itu. Dia murka dan gundah. “Raja Ali benar-benar mendurhaka pada Beta,“ katanya geram. Baginda juga mendapat laporan yang mengatakan Sultan Ibrahim, Sultan Negeri Selangor, yang merupakan tokoh pihak Bugis yang sangat disegani itu, segera akan mengirim bantuannya untuk memperkuat pasukan Raja Ali. Begitu juga dengan peranakan Bugis yang ada di Mempawah dan Singkawang. Sultan Mahmud segera memerintah beberapa panglima untuk segera ke Riau, dan menyuruh perang itu dihentikan. Mereka diperintahkan segera berdamai. Baginda sendiri akan datang ke Riau, dan Raja Ali serta Yang Dipertuan Muda Muhammad disuruh 157


Bulang Cahaya

menghadap nya di pulau Bulang. “Perintahkan keduanya menghadap beta di rumah ayahanda Bendahara. Berhenti berperang. Kalau tidak, berarti mereka keduanya durhaka!“ pekik Sultan Mahmud dengan marah. Perintah Sultan Mahmud rupanya berhasil menghentikan pertumpahan darah, sekalipun sebagian pasukan Raja Ali sudah mendarat di Tanjung Unggat dan bersiap menyerang Tanjungpinang. Orang-orang Bugis itu segera berundur, dan mengatur pasukannya di Pulau Bayan. “Mundur dulu. Beta hendak melihat, apa kehendak Yang Dipertuan Besar. Kita tidak mendurhaka, tetapi menuntut hak. Menegakkan adat istiadat kerajaan,“ kata Raja Ali pada para hulubalangnya. Tengku Muda Muhammad yang sudah mulai terdesak, agak lega karena pasukan Bugis mundur. Dia berkesempatan mengatur kembali pasukan dan pertahanannya di Tanjungpinang. “Panglima, atur kembali pasukan kita. Perkuat benteng di Tanjung Unggat dan Teluk Keriting. Beta hendak menghadap Sultan, supaya tahu apa kehendak Raja Ali dan pihak Bugis. Beta sudah dari dulu berkata, jangan diadu Melayu dengan Bugis. Tapi Baginda takut dengan Belanda. Sekarang terimalah padahnya!“ kata Tengku Muda, kepada Panglima Sulung, andalannya. Suaranya mengaum bagaikan suara harimau. Subuh-subuh, Raja Ali berangkat membawa sejumlah pembesarnya berlayar ke Pulau Bulang. Sedangkan Yang Dipertuan Muda Muhmmad, dengan rasa sakit hati dan dendam, satu jam kemudian, juga berangkat dengan beberapa panglimanya menuju pulau Bulang. Sisa pasukan kedua belah pihak saling berjaga, dan menunggu perintah, apakah akan berdamai atau terus berperang. Rupanya, begitu mereka sampai, Sultan Mahmud sudah menunggu di sana. Dia sudah tiba sejak tengah malam, dengan 158


Membawa Dendam ke Temasek perahu kerajaan dan beberapa pembesar dan penasehat kerajaan. Mereka bermalam di Pulau Bulang, di rumah Bendahara Tun Abdul Majid. Sultan Mahmud memang masih muda. Tetapi amat cerdas. Dalam usia yang masih relatif muda bagi seorang Sultan, dia tampak sudah sangat matang dan dewasa dalam mengambil berbagai keputusan. Tapi, dia tampak memang sangat emosional ketika kedua pihak yang bertikai itu masuk menghadap. Dia langsung mengumbarkan rasa marahnya, karena keduanya lebih suka memilih berperang dan berbunuhan, daripada menyelesaikan secara damai. Dia marah, karena seharusnya, dengan enyahnya Belanda dari Riau dan keputusan Inggris yang membiarkan Riau berdaulat, baik pihak Melayu mapun Bugis, segera bergandeng bahu membangun negeri. “Negeri kita ini sudah porak-poranda, karena kalah perang. Banyak rantau pulau yang kosong, tidak berpenduduk, karena telah ditinggalkan. Pelabuhan menjadi sepi. Cukai tak ada. Timah tidak dilombong, kebun-kebun gambir jadi hutan. Banyak anakanak dan kaum kerabat kehilangan pegangan hidup. Sekarang kita berbunuhan lagi,� katanya meluapkan marah. Ruang tengah kediaman Bendahara yang cukup luas, dan memang menjadi semacam balai pertemuan itu, seperti bergetar karena dentuman suara Sultan Mahmud. Mukanya merah. Tinjunya menghentak pegangan kursi kebesaran tempat duduknya. Berkalikali, serentak dengan ledakan emosinya. Para pembesar, baik pihak Melayu maupun Bugis semua bungkam. Kedua pihak sama menyadari, bahwa mereka memang salah, tapi keduanya juga tak mau mengalah. Perang saudara itu, bukan lagi semata-mata soal perebutan kuasa jabatan yang Dipertuan Muda. Tapi sudah menyangkut marwah dan martabat 159


Bulang Cahaya

kedua belah pihak. Pihak Melayu tidak mau lagi orang Bugis berkuasa dan menguasai Riau dengan semena-mena, tanpa memberi kesempatan orang Melayu untuk mengatur negerinya sendiri. Sebaliknya, orang Bugis merasa hak mereka dirampas. Dulu mereka mati-matian membela orang Melayu, sekarang mereka mau dicampakkan. “Ampun Tuanku,“ tiba-tiba Raja Ali mengangkat sembah dan minta bicara. Dia tahu dia lancang, karena belum ada perintah dari Sultan untuk bicara. Tapi dia sudah tidak dapat menahan diri lagi. ”Patik memahami kemarahan Tuanku. Patik juga tahu kehendak Yang Dipertuan Muda Muhmammad,” kata Raja Ali sambil memadang ke segala penjuru, namun menghindar menatap Sultan Mahmud. “Tetapi, kami sebelah Bugis juga minta hak-hak kami yang sudah disepakati sejak diikrarkannya Sumpah Setia Melayu-Bugis dikembalikan. Patik pikir, selagi negeri ini bernama Riau, Sumpah Setia itu tak bisa dihapus. Yang memisahkankan kita adalah Kompeni Belanda. Setelah mereka enyah, persaudaraan kita tetap bertaut kembali. Pihak Melayu dengan haknya, dan pihak Bugis dengan haknya,” lanjutnya. Sultan Mahmud masih diam. Dia masih memendam marah. Raja Ali segera akan berbicara lagi, tapi tiba-tiba, Raja Andak, salah seorang penasehat kerajaan, yang dianggap ketua dan pemangku adat dari pihak keturunan Bugis, menyela dan mengatur sembah. “Ampun patik Tuanku! Kepergian ananda Raja Ali ke Sukadana, juga karena ingin menyelamatkan tahta kerajaan Riau. Kalau terjadi apa-apa di Riau, pihak Raja Muda masih berkuasa. Dan kami bagi sebelah peranakan Bugis, sudah melantik Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda menggantikan Almarhum Teluk Ketapang,” lanjutnya. Suaranya berat, penuh pengaruh. 160


Membawa Dendam ke Temasek Pembesar-pembesar Melayu segera berbalik pandang dan waspada. “Mengapa pula Raja Andak ikut bicara? Sultan tidak bertanya padanya,“ kata Bendahara Tun Abdul Majid berbisik pada Temenggung. Tapi Sultan tampaknya tak mau mencegah. Baginda memandang Raja Andak. Beralih ke Raja Ali. Seakan memberi kesempatan mereka untuk meluahkan semua perasaan. Tengku Muda marah mendengar hujjah pihak peranakan Bugis itu. Terlebih karena ikut campurnya Raja Andak. Dia mengakkan badannya, dan menekan kedua tangannya yang terkepal ke lantai balai. Dia memandang majelis yang hadir di kediaman Bendahara itu dengan mata yang menyala. “Apa hanya pihak sebelah Bugis saja yang berjuang untuk menyelamatkan Riau? Apa kami pihak Melayu tidak? Tengku Muhammad ini tidak meminta jabatan Raja Muda. Tapi Yang Dipertuan Besar berkehendak demikian. Raja Tua dan Indra Bungsu pun begitu. Lalu apakah jabatan beta ini akan dirampas begitu saja? Apa tidak ada aturan di negeri ini lebih adil dan dihormati semua kaum?� Tengku Muda Muhammad berbicara berapi-api. Suasana balairung menjadi sangat tegang. Kedua belah pihak seperti sudah bersiap-siap hendak beramuk. Terdengar pergeseran duduk di lantai. Berderit, dan tiap orang sudah menggeser sarung badik dan keris ke depan pinggang. Sultan Mahmud segera sadar, pertikaian itu tidak akan selesai, dan perdamaian itu sulit diwujudkan, kalau dia tidak segera membuat keputusan. Sultan Mahmud tahu memang sulit baginya untuk menyingkirkan salah satunya. Dia memang tak begitu suka pada Raja Ali. Terlalu kasar dan ambisius. Apalagi setelah Raja Ali membangkang ketika menghadapnya di Lingga. Dia sudah akan menjatuhkan hukuman pada anak Bugis itu, membuangnya dari 161


Bulang Cahaya

Lingga. Namun dia juga sadar, pengaruh pihak Bugis di sekelilingnya, sangat kuat. Raja Andak, Daeng Matakoh, Daeng Ibrahim, dan beberapa pembesar lagi. Termasuk Raja Sulaiman, Sekretaris Kerajaan. Beberapa panglima andalannya juga keturunan Bugis, dan pendukung Raja Ali. Tak mudah baginya menyingkirkan Raja Ali. Tapi, Tengku Muda Muhammad pun tidak bisa dikesampingkan. Selain ayahnya adalah Temenggung, Tengku Muda itupun dilantik jadi Yang Dipertuan Muda atas perintah dirinya sebagai Sultan. Apakah dengan tekanan pihak Bugis, Tengku Muda harus disingkirkan? Apakah keputusan yang sudah dia buat, oleh seorang Sultan, harus dimansyuhkan? Memang harus ada keputusan. “Titah Sultan harus didengar dan dilaksanakan. Kalau tidak, tak ada gunanya beta jadi Yang Dipertuan Besar,“ katanya dalam hati. Hanya saja, cara damai apa yang harus ditempuh, agar memuaskan semua pihak. “ Bagaimana beta tidak melukai perasaan kedua pihak? “ batinnya lagi. Sebelum berangkat ke Bulang, Baginda memang sudah mengumpulkan semua pembesarnya. Minta nasehat, minta pendapat. Tetapi tak ada yang benar-benar berkenan di hatinya. Dia akhirnya bangkit dari kursi kebesarannya, dan maju ke arah kedua Raja Muda itu. “Perang saudara ini harus dihentikan. Kalau tidak kita semua akan binasa dan Kerajaan Riau ini akan runtuh,“ katanya dengan suara yang pedih dan hampir tak berdaya. “ Sebelum beta menjatuhkan putusan yang belum tentu baik untuk kita semua, apakah Kakanda berdua mempunyai usul untuk menyelesaikan sengketa itu, selain dari beradu senjata dan membunuh para perajurit kita?“ Tangannya bertelikung di punggung, dan ganti memandang dari Raja Ali ke Tengku Muda. Meminta jawaban. 162


Membawa Dendam ke Temasek Kedua tokoh yang berseteru itu, terpekur, dan tampak berpikir keras untuk menjawab. Tapi tiba-tiba, Raja Andak, kembali mengatur sembah dan angkat bicara. Dia berdehem, dan pihak Melayu pun langsung berpaling dengan kepala tegak. Reaksi seperti itu sudah selalu terjadi, bila Raja Andak angka bicara. Karena bagi pihak Melayu, Raja Andak ini, orang yang sulit ditebak. Dialah tokoh di belakang layar semua tindak-tanduk pihak Bugis selama ini. Apa yang dikatakannya, selalu menjadi ikutan pihak Bugis. Dialah yang menjaga semua kepentingan pihak Bugis, termasuk menempatkan para pembesar keturunan Bugis di sekeliling Sultan, serta mengatur perkawinan antara para bangsawan kerajaan dengan pihak sebelah Bugis. Pihak Melayu juga menuduh tokoh inilah yang menyingkirkan atau mengganjal kepentingan pihak Melayu. Temenggung Abdul Jamal menggelarnya, ular tedung, “Setiap waktu akan mematuk orang Melayu,“ geram Temenggung. “Patik rasa, Tuankulah yang harus memutuskan. Kami semua akan menurut, apapun keputusannya,“ kata Raja Andak. Dia menunggu apa reaksi Sultan. Kalau Sultan berbalik dan meminta dia mengajukan usul, maka dia sudah siap. Sejak dari Lingga dia sudah menyiapkan suatu usul, bagi menyelesaian perseteruan itu. Apa yang akan dikatakannya itu, sudah sejak lama dia pikirkan. Tinggal menungu waktu. Perang saudara itu, menurutnya, hanyalah saat yang menjadi sebab, dan sebuah keputusan memang harus dibuat. Oleh Sultan, agar semuanya patuh. “Berperang itu tidak mesti pakai senjata. Menang pun tidak mesti dengan tikaman,“ begitu katanya kepada beberapa pembesar pihak Bugis, sebelum meninggalkan Lingga. “Kita harus bersiasat. Siasat itu milik orang yang cerdik,“ ujarnya memberi petuah. Raja Andak sudah lama tahu bahwa Yang Dipertuan Besar Mahmud berkeinginan benar untuk memperoleh seorang 163


Bulang Cahaya

lagi permaisuri dari keturunan bangsawan, dan memperoleh seorang putera mahkota yang gahara. Sebelumnya Baginda memang sudah mempunyai seorang permaisuri yang gahara yaitu Tengku Puan, anak Bendahara Pahang. Tapi sudah bertahuntahun menikah, si permaisuri itu belum lagi memberikan seorang keturunan yang kelak menjadi calon pewaris tahta Kerajaan Riau Lingga yang gahara. Sedang dua orang permaisurinya yang lain yang ada sekarang, bukan dari keturunan gahara. Yang seorang , Encik Maryam namanya, anak seorang Datuk Bandar, keturunan Melayu. Dan seorang lagi, Encik Makoh, anak seorang saudagar Bugis. Keduanya memang orang patut-patut, tapi bukan berdarah Raja. Karena itu, Raja Andak melihat, jalan damai yang menguntungkan bagi semua pihak, khususnya pihak Bugis, dapat melalui celah permaisuri ini. Kalau Sultan setuju, maka, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampau,“ batinnya merancang. Raja Andak, memandang lurus ke arah Sultan. Yang Dipertuan Besar tampaknya masih sulit membuat keputusan. Akhirnya Baginda berbalik dan memberi isyarat agar Raja Andak menyampaikan usulnya. “Patik pikir, alangkah baik kalau kedua pihak saling mengalah, demi masa depan kerajaan ini. Kita hentikan perang, dan kita selesaikan melalui pertautan darah dan persaudaraan. Perjalanan Kerajaan Riau Lingga ini masih jauh, masih banyak musuh yang harus ditentang. Karena itu, patik pikir, pihak Melayu dan Bugis haruslah bersatu padu. Harus ada ikrar yang sama keramatnya dengan Sumpah Setia Melayu-Bugis, agar pertentangan kaum ini tidak menghancurkan kita semua,“ katanya memulai usulnya. Sangat samar, dan sulit ditebak. Yang Dipertuan Besar Mahmud pun tampak mengerutkan kening. 164


Membawa Dendam ke Temasek “Ayahanda Raja Andak belum menyebutkan secara persis apa usulan itu. Beta menunggu agar segera membuat keputusan!“ kata Mahmud setengah memerintah. Namun nadanya ramah, karena Mahmud sangat menghormati Raja Andak. “Patik pikir, pertelingkahan kita selama ini, karena baik pihak Melayu maupun pihak Bugis, sama-sama merasa berhak akan negeri ini, dan memegang kekuasaan. Selagi penguasa mahkota Kerajaan Riau ini bukan darah sejati Melayu-Bugis, selama itulah kita akan saling berdendam. Karena itu, patik mohon ampun, kalau usulan patik ini tidak disukai. Tetapi patik tidak sama sekali berniat durhaka. Patik dengan tulus ikhlas ingin agar negeri Riau-Lingga ini berkembang sampai ke akhir zaman,“ Raja Andak bertutur dengan lemah-lembut dan membiar hadirin menebak-nebak arah pembicaraannya. Raja Andak ini, memang handal dalam hal berdebat dan meyakinkan lawan bicaranya. “Apa sebenarnya yang sedang direncanakan Raja Andak?“ kembali Bendahara membisik Temenggung. Hadirin tampak gelisah, belum dapat menangkap maksud Raja Andak. Yang pasti dada mereka berdesir dan merasa Raja Andak kembali akan menyakiti pihak Melayu. “Segeralah Ayahanda memberi taklimat pasti, apa yang Ayahanda ingin beta lakukan,“ kembali Sultan Mahmud mendesak. Raja Andak tersenyum mengatur sembah. “Patik usulkan agar dilakukan pertautan darah antara pihak Melayu dan pihak Bugis. Maksud patik, bagaimana kalau sekiranya...“ dia kembali menahan napas, menggantung cakapnya, dan setelah seakan menunjukkan rasa cemas takut ditolak Sultan, dia berkata lagi. “Bagaiamana sekiranya Ananda Baginda Tengku Besar Husin dijodohkan dengan Tengku Buntat, puteri Ananda Tengku Muda, sehingga kelak putera keduanya akan menjadi pewaris kerajaan 165


Bulang Cahaya

yang sudah menyatukan kedua darah kita. Darah Bugis dan Melayu. Tidak lagi ada yang akan diperseterukan,“ kata-kata Raja Andak mengalir bagaikan air bah. Dia istirahat sejenak menikmati keheningan balai yang sedang merenungkan usulannya, sambil menjeling ke arah Tengku Besar Husin, salah satu Putera Mahkota Kerajaan Riau Lingga yang duduk di sebelah Bendahara . Belum sempat hadirin menarik napas lepas dari rasa terkejut atas usul yang tak terduga itu, belum sempat ntuk memutuskan setuju atau tidak, Raja Andak sudah memulai lagi. “Bagaimana kalau sekiranya, demi kebaikan kita bersama dan kebesaran kerajaan ini, Tuanku berkenan berjodoh dengan ananda kami Tengku Hamidah, puteri almahum Syahid Fisabilillah. Inilah persetiaan kami bagi sebelah Bugis untuk membalas budi baik dan anugerah Tuanku selama ini,“ sebuah tawaran perjodohonan yang sangat mengejutkan dan tak tersangka-sangka. Tak pernah terbetik dan tidak pernah dikira oleh yang hadir di majelis. Tidak terpikir oleh Sultan, oleh Temenggung, Bendahara, bahkan Tengku Muda dan Tengku Husin sekalipun. Balairung itu benar-benar senyap. Sultan Mahmud tanpa sadar duduk kembali ke singgasananya, dan terpekur. Masingmasing pihak merenung. Ada yang mencoba melihat buruk baiknya, ada yang justru mencari isyarat ke mana muslihat Raja Andak akan berujung. Tengku Muda Muhammad seperti terkunci mulutnya. Sultan Mahmud, menarik nafas dalam, mengumpulkan kata-kata. Temengung Abdul Jamal dan Bendahara Tun Abdul Majid, saling berpandangan, namun tak mampu berkata-kata. “Bagaimana dengan Kakanda Tengku Muda Muhamad dan kakanda Raja Ali? Bagaimana dengan kedudukan Yang Dipertuan Muda? “ Sultan Mahmud tiba-tiba memecahkan keheningan, sehingga semua yang hadir memandang kepadanya. 166


Membawa Dendam ke Temasek Raja Andak menggosok-gosok kedua telapak tangannya, seakan-akan begitu sulit untuk menyampaikan. “Menurut patik, kalau Baginda sudi, sebaiknya ananda Raja Ali-lah yang menjadi Yang Dipertuan Muda. Ini bukan soal Bugis, bukan soal Melayu. Tetapi hemat patik Sumpah Setia MelayuBugis-lah dahulunya yang menjadi sejarah adanya negeri Riau Lingga ini. Patik rasa sudah sepatutnya pihak Bugis mengambil kembali haknya itu,“ dia berhenti sejenak lagi. Membiarkan balai itu senyap dan degub jantung hadirin berdenyut kecang “Akan halnya ananda Tengku Muda Muhammad, patik rasa patutlah dianya dianugerahi jabatan mulia sebagai Temenggung Riau. Sebab, setahu patik, sejak zaman Malaka dahulunya, Riau ini menjadi pegangan seorang Temenggung. Datuk Sri Udana yang pertama memegangnya. Tetapi setelah beliau meninggal, tak ada lagi yang menggantikan. Dalam daerah jajahan, Riau ini masuk ke dalam jajahan Temenggung Johor. Jadi sewajarnyalah ananda Tengku Muda yang mewarisinya.“ Kembali balairung itu senyap. Tarikan nafas hadirin pun nyaris tak terdengar, kecuali keriut bunyi lantai, karena ada yang menggerakan badannya karena gelisah. Tetapi, akhirnya, para petinggi kerajaan yang hadir dari kedua belah pihak, dapat menangkap maknanya, dan kemana siasat Raja Andak akan dilabuhkan. Jika usulan itu diterima Sultan, berarti akan terjadi pertukaran darah dan ranjang pengantin Melayu-Bugis kedua kalinya setelah pernikahan politik yang besar di zaman Daeng Marewa dahulunya. Dan yang kali ini, menjadi lebih strategis dan penuh muslihat. Sekilas tampak, seakan darah Melayu dan Bugis akan disatukan dan Riau membangun dinasti baru. Tapi kalau diurai sampai ke ujung, ada pihak yang dengan sangat cerdik sedang menuju puncak kekuasaan. 167


Jika Sultan Mahmud mengawini Raja Hamidah, maka bukan saja Sultan Mahmud akan mendapat seorang permaisuri yang gahara, karena Raja Hamidah adalah anak Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IV, tetapi juga akan memadamkan rasa kecewa keturunan Raja Haji Fisabilillah seperti Raja Djaafar, Raja Idris, Raja Ahmad, yang merasa merekalah yang paling berhak menjadi Yang Dipertuan Muda V menggantikan ayah mereka. Dengan Raja Hamidah menjadi permaisuri, berarti kedudukan keturunan Raja Haji menjadi lebih tinggi, dan makin dekatlah darah Bugis ke singgasana Sultan, yang selama ini menjadi hak pihak Melayu. Tidak seperti selama ini hanya sampai pada jabatan Yang Dipertuan Muda. Kelak, kalau sesuai dengan takdir, keturunan Sultan Mahmud dari permaisurinya Raja Hamidah ini, adalah yang paling berhak menjadi Sultan Riau-Lingga menggantikan Sultan Mahmud. Darah putera mahkota itu nanti akan bersebati di dalam darah Melayu-Bugis-nya, karena Sultan Mahmud adalah sultan berdarah Melayu meski ibunya keturunan Bugis. Sedangkan Raja Hamidah adalah peranakan Bugis-Melayu , karena ayahnya keturunan Bugis , meskipun ibunya masih termasuk Bugis asli . Perjodohan Tengku Husin dengan Tengku Buntat pun, seperti serampang bermata dua. Jika kelak ditakdirkan Tengku Husin menjadi pengganti Sultan Mahmud, maka Tengku Buntat akan menjadi permaisuri yang gahara, karena dianya adalah puteri dari keturunan Temenggung Johor. Anak mereka nanti yang akan mewarisi tahta, juga berdarah Melayu- Bugis, karena Tengku Husin adalah anak kandung Sultan Mahmud, namun dari permaisuri berdarah orang bugis kebanyakan. Perjodohan ini akan meredam kemarahan Temenggung Abdul Jamal dan Tengku Muda. Meskipun perjodohan ini akan membuat sakit hati Bendahara Pahang, karena merasa terhina anaknya Tengku Puan telah diduakan. Tapi dalam siasat jangka panjang, jauh lebih baik. 168


Membawa Dendam ke Temasek Tampaknya pihak Melayu sedang diadu melalui rasa sakit hati keturunan Bendahara Pahang dengan keturunan Temenggung Johor . Kini mereka boleh saling curiga dan kelak dengan mudah akan disingkirkan dari istana. Sedangkan jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga V yang diberikan kepada Raja Ali, akan memadamkan kemarahan pihak Bugis yang merasa budi mereka selama ini akan dikesampingkan dan Sumpah Setia Melayu-Bugis akan dihapus. Artinya, jabatan Yang Dipertuan Muda, kekallah di tangan keturunan Bugis. Hanya pihak Melayu yang akan makin kehilangan hak-hak istimewa mereka. Jabatan Temenggung Riau yang ditawarkan kepada Tengku Muda Muhamad, meskipun kedengarannya baik, dan berkuasa, dan ada tiga pembesar Melayu yang jadi Temenggung setelah Temenggung Johor dan Temenggung Muar, tetapi jelas merendahkan kuasa Tengku Muda Muhammad. Dulu dia Yang Dipertuan Muda, duduk sejajar dengan Datuk Bendahara dan Tengku Besar atau Putera Mahkota. Tapi dengan jabatan Temenggung, meski kuasanya besar, tetapi setingkat dibawah Raja Muda. Setingkat di bawah keturunan Bugis. Sangat tidak adil dan menyakitkan. “Cis, itu rupanya siasat Raja Andak,“ desis Temenggung, Bendahara dan Tengku Muda hampir serendak, dan mereka nyaris bangkit dari bersila karena marah. Untung mereka masih sadar untuk mengendalikan diri. Ketiganya saling berpandangan, meski berjarak karena duduk yang agak berjauhan. Saat para pembesar Melayu itu lagi terkesima, tersengat, dan belum menentukan sikap, Sultan Mahmud yang semula lama terpekur, bangkit dari kursinya dan berdiri di hadapan hadirin. “Bagaimana dengan usulan ayahanda Raja Andak ini? Apakah semua pihak menjadi paham dan bersetuju?“ katanya dengan suara 169


Bulang Cahaya

yang tercekat menahan perasaan yang bercampur-baur. Tak menyangka, ada usulan begitu. Lega akan ada jalan keluar, tapi bimbang apa yang kelak akan terjadi. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia tidak boleh lagi memberi peluang untuk perdebatan. Dialah yang harus memutuskan. Dia yang harus memberi titah, disetujui atau tidak disetujui. Atau kalau tidak, dia akan membiarkan perang saudara itu terus meletus lagi. Kali ini hitam katanya, ya hitamlah. Putih katanya, ya putihlah. “Beta ini Sultan.Yang Dipertuan Besar, sudah 30 tahun lebih memerintah. Mengapa harus bimbang?“ batinnya menggugat. “Beta sudah merenung. Beta sudah menyiasat makna dan hakekat usulan ayahanda Raja Andak. Beta tahu, memang tidak mungkin dapat memuaskan semua pihak, tapi belum tentu juga akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar bagi kerajaan kita. Beta pikir, inilah usul yang patut kita terima. Beta perintahkan ini dijalankan. Segeralah!“ ujarnya dengan suara yang sudah mulai teratur. Tegas dan tegar. Matanya menyapu ke semua arah, ke wajah para pejabat-pejabat kerajaan. Menyelidik, mengawasai dan waspada. Suasana mulai mencair. Dari segala sudut terdengar suara. Mula-mula berbisik. Lama-lama makin keras. Ada yang setuju, dan memuji Raja Andak. Tapi ada yang menentang. Ada yang menuduh, ada yang membela. Suara-suara mulai berbaur dan seperti dengung lebah. Tapi segera senyap lagi, karena dengan suara lebih keras, Sultan Mahmud menyampaikan lagi titahnya. “Yang pertama , beta putuskan mengembalikan jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga kepada pihak Bugis, dan dengan itu beta akan melantik Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda. Sedangkan Yang Dipertuan Muda Tengku Muda Muhammad, akan dilantik menjadi Temenggung Riau. Kedua, anaknda Tengku Muda Muhammad, yaitu Tengku Buntat akan dikawinkan dengan 170


Membawa Dendam ke Temasek putera beta Tengku Long . Dan ketiga, beta sendiri, akan memperisterikan adinda Raja Hamidah,“ ujarnya dengan hampir satu nafas. “Beta pikir, inilah cara yang adil demi kepentingan kerajaan ini di kemudian hari,“ lanjutnya . ”Barang siapa tidak bersetuju segera angkat bicara,“ tambahnya lagi, dan kembali duduk ke singgasananya. Memandang hadirin, dan menunggu reaksi. Mendengar titah Sultan Mahmud yang kedua kalinya itu, Tengku Muda Muhammad dan ayahnya, Temenggung Abdul Jamal, sudah tidak dapat menahan diri. Dan mereka keduanya langsung mengatur sembah dan mohon bicara. Tetapi, Tengku Muda yang lebih dahulu mengambil kesempatan setelah Sultan Mahmud mengangguk. “Ampun Tunku! Patik hormat dan patuh pada perintah Yang Dipertuan Besar, tetapi patik rasa keputusan Tuanku kurang adil, dan menzalimi kami pihak Melayu. Hamba menolak jadi Temenggung Riau. Kalau Baginda berkehendak juga mencabut kembali jabatan yang Dipertuan Muda itu dari tangan patik, ambillah. Tapi patik tak hendak menjadi Temenggung Riau,“ ujar Tengku Muda dengan muka yang merah padam. Dia ingin berdiri sambil memegang hulu kerisnya, namun ditahan oleh ayahnya. “Sabar Ananda,“ bisik ayahnya. ”Pantang orang Melayu mendurhaka,“ kata ayahnya dengan suaranya yang gemetar. Tubuhnya yang sudah tua itu tampak berguncang menahan marah. “Kalau kita tak setuju, kita berundur saja. Kita kembali ke Johor, dan melupakan Riau,“ lanjut ayahnya. “Atau kita bisa ke Terengganu,“ lanjutnya lagi. Tengku Muda Muhammad terduduk kembali. Matanya merah menahan marah. Tapi dia mengalih panadangan dari Sultan ke Raja Ali. Dadanya menggelegak. Kalau diturutkan hatinya, mau dia bertikam di depan Sultan dan mempertahankan harga dirinya. 171


Bulang Cahaya

Tiba-tiba, dia menaikkan paha sebelah kananya, menekan ujung telapak kakinya, sementara lutut sebelah kirinya bertumpu ke lantai balai, seperti seorang utusan yang baru tiba dan akan menyampaikan kabar penting kepada Sultan. Dia mengatur sembah dan menghadapkan mukanya kepada Sultan. “Patik serah sepenuhnya anak patik Tengku Buntat dalam lindungan Baginda, dan dia-lah yang menjadi pengganti patik menjunjung titah,” katanya dengan suara serak. Bergetar dan menahan marah. “Patik ingin bercocok tanam di Temasek, dan berniaga. Patik ingin melupakan urusan negeri. Sudah cukuplah apa yang patik lakukan untuk Baginda, selama ini. Patik semakin tua, ingin bersara,” katanya sambil menggenggam hulu kerisnya. Matanya merah, tapi dia tidak tampak menangis. Matanya menatap ke arah ayahnya Temenggung Abdul Jamal, kepada Bendahara, kepada Raja Tua. “Patik serahkan kembali keris dan pesalinan patik,” katanya, sambil berundur ke belakang barisan para pembesar negeri. Bersiap akan meninggalkan balai. Dia merasa dirinya kini, bukansiapa, tidak lagi berhak duduk dan ikut serta dalam pertemuan itu Sultan Mahmud, tampak terkesiap. Kecewa. Wajahnya merah, dan merasa titahnya tidak dipatuhi. Merasa Tengku Muda telah mendurhaka padanya. Darah mudanya menggelegak. Tetapi dia segera sadar, dia adalah Sultan, dan dia melihat Tengku Muda sungguh-sungguh. Memang tidak mau mundur dari keputusannya, dan sangat kecewa. Sultan Mahmud surut dari marah. Dia melambai Sekretaris Kerajaan. Begitu pejabat urusan dalam kerajaan itu mendekat, dan berbisik. “Kakanda Tengku Muda Muhammad tampaknya marah dan menolak keputusan beta. Tapi kakanda Tengku Muda bersedia menghentikan perang dan pertumpahan darah, serta tidak menolak 172


Membawa Dendam ke Temasek anaknya Tengku Buntat menikah dengan putera beta Tengku Husin. Itu yang terpenting. Artinya kakanda Tengku Muda masih menghormati beta. Dia memang anak Melayu jati. Beta banyak berhutang budi pada ayahanda Temenggung dan kakanda Tengku Muda. Baiklah, beta luluskan permintaan Tengku Muda Muhammad. Beta ampunkan mereka anak-beranak,” ujarnya. Dengan suara parau, seakan menahan kepedihan . Balairung itu kembali hening. Semua orang terdiam, terpekur, atau hanya berbisik. Menunggu apa lagi yang akan terjadi. Siapa lagi yang akan menolak titah dan mendurhaka. Dan Sultan Mahmud pun menunggu, siapa lagi yang akan mengajukan keberatan. Tapi, semuanya senyap. Bendahara, Temenggung, Raja Ali, Raja Andak, semuanya terpekur. “Baiklah Datuk Bendahara, dan semua pembesar negeri, bersegeralah kerja yang baik ini. Beta akan lantik Yang Dipertuan Muda Raja Ali di Lingga sepulang dari Bulang,“ katanya. Sejurus, sebelum meninggalkan balai, Sultan Mahmud, kembali membuat keputusan yang mengejutkan, dengan cara menghadiahkan Pulau Penyengat Indra Sakti kepada calon permaisurinya, Raja Hamidah. “Pulau Penyengat dan Ulu Riau itu beta serahkan kepada adinda Raja Hamidah dan saudara-saudaranya keturunan Ayahanda Fisabilillah. Akan menjadi daerah permakanan adinda Hamidah dan saudara-saudaranya. Membangun istana di sana. Beta berhutang budi kepada keturunan dan saudara mara Allahyarham Syahid Fisabilillah. Inilah yang beta dapat lakukan,“ katanya. Balairung kembali terhenyak. “Beta sendiri memutuskan tetap di Lingga dan berkerajaan di sana, sampai beta rasa sudah patut pindah kembali ke Riau, atau kita kembali lagi ke Johor “ katanya sambil berdiri dan 173


Bulang Cahaya

membetulkan letak kain songketnya. Dia memberi tahu sekretaris kerajaan, apa yang patut dilakukan, dan kemudian bergegas pergi dan memerintahkan untuk segera berangkat kembali ke Lingga. Majelis itu kemudian bubar. Semua mulai meninggalkan balai kediaman Bendahara. Beberapa petinggi pihak Melayu masih bertahan di situ, terutama Bendahara Tun Abdul Majid dan Temenggung Abdul Jamal. Tapi Tengku Muda Muhammad tak tampak. Rupanya, belum lagi perdamaian selesai dilakukan, Tengku Muda langsung berlayar pulang ke Tanjungpinang. Dia mengerahkan semua pendayung perahu perangnya untuk secepatnya sampai di Tanjungpinang. Kalau biasanya jarak Pulau Bulang-Tanjungpinang ditempuh dalam 4 jam, kali ini tak sampai 3 jam, dia sudah menjejakkan kaki di dermaga. Ia berlari ke rumah, dan menyampaikan semua keputusan Sultan kepada isteri dan anaknya. Tengku Buntat meraung, menangis, dan menjerit. Tak terbayang olehnya, bahwa akhirnya dia harus menjadi isteri Tengku Husin, Tengku Long, putera Sultan Mahmud. Orang yang baru beberapa kali dilihatnya, tapi belum dikenalnya. Tak terbayangkan olehnya, betapa hancur hati Djaafar mendengar itu. Padahal mereka sudah sepakat akan segera mewujudkan persatuan cintanya, begitu sengketa antara ayahnya dan pihak Bugis selesai. Dia dan Djaafar begitu yakin perang akan berakhir, karena Yang Dipertuan Besar telah datang mendamaikan, dan cinta mereka tak akan terhalang lagi. Hubungan mereka yang sudah kembali bergelora setelah perpisahan di Ulu Riau itu, bersambung kembali atas lindungan dan dorongan dari Raja Indra Bungsu, salah satu penasehat Sultan yang disegani. Mengapa tiba-tiba semua berubah? “Besok kita segera berangkat ke Temasek. Beta tak mau singgah lagi di Pulau Bulang. Biarkan saja Ayahanda Temenggung di sana. Kita membuat negeri baru di Temasek,� katanya kepada 174


Membawa Dendam ke Temasek isterinya Tengku Besar. Dia memanggil Panglima Sulung dan Bentara Rajab, dan memberi tahu para pengikutnya. “Kalau saudara-saudara semua mau ke Temasek, bersama beta, silakan. Kalau tidak, silakan memilih. Pindah ke Lingga, atau ke Pulau Bulang. Tapi jangan pindah ke Kampung Bugis atau Pulau Bayan. Jangan jadi pengikut Raja Ali. Haramkan itu, demi Melayu,” katanya kepada Panglima Sulung. “Tidak akan ada yang mengabdi kepada orang-orang Bugis itu, Tuanku. Kami akan balik ke Reteh. Kami akan melawan dari sana. Kami akan berkerajaan di sana dan tuanku boleh datang dan menjadi raja di sana,” kata Panglima Sulung dan pengikutnya berikrar. Jumlah mereka memang cukup banyak. Sebab Panglima Sulung yang berasal dari Reteh itu membawa serta pengikutnya lebih dari 300 orang. Belum lagi keluarga lainnya. “Tapi sebelum panglima balik ke Reteh, tolong hantarkan dulu ananda beta Tengku Buntat ke Lingga. Dia akan berkawin dengan Tengku Husin, dan beta telah menyerahkan kapada ayahanda Temenggung untuk menjadi wali. Besok ananda Buntat akan bersama panglima ke pulau Bulang bertemu datuknya, dan setelah itu ke Lingga,” kata Tengku Muda kepada Panglima Sulung. Suaranya kering. “Menurut Raja Tua, perkawinan Tengku Buntat dan Tengku Husin itu akan diserentakkan dengan pernikahan Sultan dengan Raja Hamidah,” lanjut Tengku Muhammad. Sultan katanya lagi, berkehendak perkawinan itu dilangsungkan secara meriah dan besar-besaran. Tengku Buntat terus meraung dan menangis sehabis mendengar keputusan Sultan ini. Ternyata dirinya telah menjadi taruhan untuk mendamaikan sengketa ayahnya dengan Raja Ali. Dua kali dia pingsan. Dua kali ibunya, Tengku Besar, harus 175


Bulang Cahaya

mengusap mukanya dengan air, agar segera sadar. “Bunda, apalah malangnya nasib ananda ini. Sampai hati ayahanda mengizinkan ananda dinikahkan dengan Tengku Husin. Apalah kata abang Djaafar. Tolonglah ananda, Bunda,“ katanya menjerit-jerit. Seisi rumah menjadi kalang kabut. Ayahnya masuk ke dalam bilik, dan coba membelai rambutnya. “Kita ini rakyat, tak boleh mendurhaka pada perintah Sultan. Jika Ananda menurut, itu berarti Ananda juga menyelamatkan jiwa ayahanda. Kalau tidak, ayahanda akan dihukum. Akan dipancung!“ lanjut ayahnya. Mata ayahnya berkaca-kaca menahan sedih. Dia mengerti perasaan anaknya. Tapi, dia harus membuat putusan. “Biarlah ayahanda saja yang membuanag diri. Ananda jangan. Di tangan Ananda harkat dan martabat orang Melayu diletakkan. Pandai-pandailah membawa diri. Tunjukkan bahwa Ananda adalah anak Tengku Muda. Cucu Temenggung,“ ayahnya terus bicara dan nyaris setengah meracau. Karena Buntat terus terdiam, antara sadar dan tak sadar, maka Tengku Muda keluar bilik. Turun tangga dan menuju pelabuhan, tempat perahu-perahu penjajabnya bersusun dan menunggu perintah. Panglima Sulung keluar dari tenda dan berjalan ke arah Tengku Muda. “Bila Raja Muda mau ke Temasek?“ “Besok siang, setelah Panglima berangkat dulu ke Bulang. Ananda beta lagi bersedih. Biarlah dulu. Memang berat, tapi tak apalah. Kelak dia akan sadar, apa arti keputusan beta itu,“ Tengku Muda mencoba meluapkan kesedihan hatinya pada panglima Sulung. Jarang dia begitu sedih. Dia lelaki yang kukuh dan tegar. Tapi karena ini menyangkut harga dirinya yang terampas, dan 176


Membawa Dendam ke Temasek

177


Bulang Cahaya

178


Membawa Dendam ke Temasek penderitaan anak semata wayangnya, dia tidak lagi merasa malu untuk menangis. “Kalau kelak kita harus berperang lagi melawan orang Bugis itu, Tuanku perintahkan sajalah. Hamba dan laskar akan segera datang dari Reteh. Biar kita mati bersama. Tak boleh harkat orang Melayu itu diinjak-injak,“ Panglima Sulung bicara dengan gagah dan membesarkan hati Tengku Muda. Tengku Muda tetap terpekur dan menutup muka dengan kedua belah telapak tangan. Dia mendengar apa yang dikatakan Panglima Sulung, tapi pikirannya kembali ke rumah. Dia tak tahu, apa yang sedang terjadi dengan anaknya. Dia berharap Buntat segera tenang dan memahami apa yang sudah diputuskannya. Dia sendiri berharap segera bisa meninggalkan Riau. Meninggalkan negeri yang sudah membuat dirinya luluh-lantak, dan seakan tak berharga. “Kezaliman seperti inilah dulu yang membuat Megat Sri Rama mendurhaka. Ada saatnya orang tak dapat lagi menahan diri dihina dan direndahkan,“ katanya pada dirinya, sambil meninju-ninju bangku tempat duduknya. Angin petang berhembus lembut. Ada gerimis yang jatuh, dan membasahi baju dan tanjaknya. Tengku Muda menanggalkan tanjak dan mencampaknnya ke sungai. Arus surut yang deras menelan tanjak itu ke dalam alur yang gelap dan kelam.

179


Bulang Cahaya

9. Sembilu Cinta di Ulu Hati RAJA Djaafar tersadar dari lamunan panjangnya. Angin utara yang dingin menerkam dahinya yang basah oleh keringat. Rambutnya agak berkecai diterpa angin, dan leher baju teluk belanganya juga basah oleh keringat. Tangannya masih mencengkam plang jeruji jendela itu. Terasa basah oleh keringat yang mengalir dari telapak tangannya. Hatinya terasa makin pahit, bila mengenang hari-hari terakhir di Lingga, hari-hari terakhir cintanya pada Buntat. Raja Djaafar mengenang kembali apa yang dilakukannya begitu mendengar kabar Tengku Buntat akan dikawinkan dengan Tengku Husin. Dia betul-betul naik pitam. Perkawinan itu bukan saja merampas dan menghancurkan cintanya pada Tengku Buntat, tetapi terlebih karena perkawinan itu akan diadakan di Daik pula, di depan batang hidungnya. “Betul-betul aniaya! Betul-betul zalim!� pekiknya sambil menyambar keris. Dia meluru ke dalam biliknya, membebat pinggangnya dengan kain merah, dan mengikat kepalanya dengan destar putih. Ketika akan mengenakan sandalnya, dia terserempuk dengan Raja Husin yang kebetulan baru sampai di beranda rumahnya. Djaafar langsung beteriak, “Biarkan beta mati. Malam ini, beta akan mengamuk. Ini, bukan lagi tipu daya, tapi sudah aniaya. Akan beta bunuh semua orang yang merancang penganiayaan itu. Zalim! Zalim!� pekiknya. Raja Husin terperangah. Lama dan hampir tak percaya melihat keadaan sahabatnya itu. Tapi kemudian dia sadar dan melihat keadaan itu sangat berbahaya. Dia tahu Djaafar orangnya lembut 180


Sembilu Cinta di Ulu Hati dan penyabar. Tapi kalau dia sudah menghunus badik, dan menyatakan siap mati, itu berarti akan ada pertumpahan darah. Raja Husin bagai terjun dari tangga dan berlari ke seberang jalan, menuju rumah besar kediaman Raja Andak. Di sana, dia tahu ada Sultan Selangor, Raja Ibrahim, paman Djaafar, yang kebetulan sedang berada di Daik, mencoba mendamaikan pihakpihak yang bersengketa. Dia memberi tahu mereka keadaan yang sedang terjadi, dan minta Raja Ibrahim datang meredamnya. “Hamba rasa, hanya Ayahanda saja yang bisa menahannya. Abang Djaafar sudah akan turun mengamuk. Tak pernah dia begitu,” kata Raja Husin. “Cih, anak tak tahu malu,” Raja Ibrahim menggeram, setelah menerima laporan. “Apa dia kira cuma Tengku Buntat seorang perempuan di dunia ini. Itulah, kalau hanya satu perempuan saja yang ditengok tiap hari,” katanya keras. Dia menoleh ke arah Raja Indra Bungsu, orang yang sangat dekat dengan Djaafar. “Coba Adinda yang membujuknya. Jangan memberi malu. Dia itu kan calon Yang Dipertuan Muda nantinya,” katanya kepada Raja Indra Bungsu. “Kalau sudah tenang, suruh kemari, dan bertemu kakanda,” lanjutnya. Dengan kaki berat, Raja Indra Bungsu turun ke jalan dan menyeberang ke arah rumah tempat Djaafar dan adik-adiknya berdiam. Dari jauh dia melihat kelebatan tubuh Djaafar, mengenakan sandal, dan bingkas menuju tangga rumahnya. “Ananda! Tunggu! “ serunya, setengah agak berlari karena melihat Djaafar sudah akan memintas jalan menuju ke arah jalan, ke istana Sultan Mahmud. Djaafar yang sedang diamuk marah itu, sempat terkejut karena suara panggilan itu memang agak keras. Tapi dia sudah hafal suara yang memanggil itu. Dia berhenti dan menoleh. “Ayahanda, tak usah ikut campur lagi. Ini sudah menyangkut


Bulang Cahaya

harga diri dan harkat hidup ananda sebagai lelaki. Biarlah selesai hari ini. Biar tahu hitam putihnya. Kalau memang durhaka, biarlah ananda durhaka,� katanya penuh emosi. Tapi Raja Indra Bungsu, sebagaimana ciri khasnya sebagai penasihat Sultan, tetap tenang. Sambil membaca Selawat dalam hati, dan menekuk ibu jarinya dalam-dalam ke tengah pusaran telapak tangannya, dia membaca serapah : Walyatalattap wala yusirannabikum ahada. Kullu Nafsin Zaikatul Maut. Lalu dia tepuk bahu Djaafar. Begitu Djaafar terkejut, Raja Indra Bungsu pun berkata penuh kasih sayang. “Mengapa Ananda tak berpikir panjang. Jangan hidup siasia, dan bodoh. Pantang anak Bugis mati sia-sia,� katanya membujuk. Djaafar memang terkesiap dengan tepukan Raja Indra Bungsu di bahunya. Darahnya agak tersirap dan detak jantungnya seperti akan lepas. Namun rasa gerun dan terpana yang muncul tiba-tiba, segera hilang dan marahnya bangkit kembali. Semangatnya seperti kembali ke dalam tubuh dan memberikannya beribu-ribu dorongan. “Bagi ananda, dari pada berputih mata, biarlah berputih tulang. Kalau mau menolak, biarlah dulu-dulu. Kalau


TO BE CONTINUED...


TO BE CONTINUED...



















TENTANG PENULIS Rida K Liamsi, dilahirkan di Dabosingkep, Provinsi Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Pernah lama menjadi guru Sekolah Dasar, sebelum terjun jadi wartawan. Pernah 8 tahun jadi wartawan Majalah TEMPO, lima tahun di harian Suara Karya, sebelum pindah ke Harian Riau Pos, yang terbit di Pekanbaru. Kini menjadi CEO Riau Pos Group yang mengelola kelompok bisnis media di bawah bendera Jawa Pos Group. Group Riau Pos itu mempunyai bisnis media di Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara dan di Nangroe Aceh Darussalam. Juga mempunyai beberapa TV lokal. Sudah menulis sajak-sajak sejak masih di sekolah menengah pertama . Beberapa sajaknya pernah dimuat di majalah sastra Horison, beberapa surat kabar dan majalah budaya lainnya. Kumpulan sajaknya yang pertama, ODE X, terbit dalam bentuk stensilan tahun 1981. Pernah bersama Hasan Junus dan Eddy Mawuntu menerbitkan kumpulan essei dan puisi yang diberi nama JELAGA, di Tanjungpinang. Beberapa sajaknya pernah dimuat dalam beberapa antalogi puisi yang terbit di Pekanbaru. Tahun 2003, menerbitkan kumpulan sajaknya yang kedua TEMPULING. Banyak menulis artikel-artikel budaya, dan menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan budaya, terutama tentang kebudayaan Melayu. Novel BULANG CAHAYA ini merupakan novelnya yang pertama. Tanda komitmennya terhadap perkembangan sastra dan budaya, Rida juga mendirikan sebuah yayasan budaya yang diberi nama Yayasan SAGANG. Melalui yayasan ini, sejak tahun 1997 telah menerbitkan majalah budaya yang diberi nama SAGANG. Yayasan ini juga setiap tahunnya, sejak tahun 1996, telah memberikan penghargaan kepada para seniman/budayawan, karya-karya budaya, serta institusi budaya yang bernapaskan budaya Melayu, dengan anugerah yang diberinama ANUGERAH SAGANG.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.