Sudut Pandang
32
“Nyungsang” Tayang Perdana 29 Maret 2018
Trailer film “Nyungsang” yang merupakan karya putra lokal Bali mendapat sorotan luas masyarakat. Setidaknya, dari 5.000 tiket yang ditargetkan, sudah terjual 5.200 tiket. Di akun sosial salah seorang kru Ketut Sandika, trailer film ini sedikitnya sudah dibagikan hingga 1.500 kali dan 2.400 komentar.
“A
stungkara sementara ini komennya positif, tidak tahu nanti jika sudah tayang perdana. Karena, kami memang bukan orang film. Kami hanya punya keberanian, nyali dan komitmen untuk pelestarian budaya, itu saja modalnya. Entah nanti di-bully atau seperti apa, itu adalah rwa bhineda yang tak bisa dihindari,” ujar Komang Indra Wirawan-yang akrab dipanggil Komang Gases, produser dan sutradara “Nyungsang”, saat ditemui Kamis (22/3) di salah satu pojok ruang kecil di kampus IKIP PGRI Bali. Di ruang inilah proses editing film ini digarap, dengan peralatan yang super minim. “Nanti sore kami rencana mau syuting ulang lagi beberapa adegan horor,” ucap kameramen Budi Mahayana yang dibenarkan Komang Gases. “Sebagai seniman, ketika ditonton berulang-ulang, saya masih merasa belum puas dengan hasil sebelumnya,” imbuh Komang Gases yang mengaku pembuatan film ini menelan total dana sekitar Rp 475 juta. Film layar lebar “Nyungsang” bergenre horor yang diangkat dari kisah
sangat kental di Bali dan masih diyakini. Kedua, memberikan kesempatan ruang kepada generasi muda bahwa kita bisa, bahkan mampu bersaing di papan nasional dan internasional kalau kita mau bersatu,” tegasnya. “Nyungsang” dalam film ini diartikan sebuah ilmu yang disalahgunakan. Sang sutradara ingin memberikan gambaran kepada penonton dan penikmat seni bahwa apapun yang kita pelajari sah-sah saja, baik itu ngiwa, tengen, dharma, ilmu pengeleakan, desti, dsb., jika dipelajari sebagai ilmu pengetahuan. “Tetapi ketika kita tak memiliki penuntun, guru, dan komitmen dalam diri, sehingga bersikap sekehendak hati, ilmu itu pasti akan disalahgunakan, berbalik, dan jadinya nyungsang,” jelasnya. Inilah yang dilakoni tokoh Odah (nenek), yang diceritakan demi mempertahankan garis keturunan, ia memohon anugerah. Dan ketika anugerah terkabulkan, disalah artikan sehingga tingkah lakunya terbalik atau nyungsang. Setting dan suasana dalam film ini
Sebagian kru dan pemain Film Nyungsang
nyata pengalaman mistis salah satu keluarga di Bali ini, akan tayang perdana Kamis, 29 Maret 2018 di Denpasar Cineplex. Film berdurasi 1 jam 15 menit ini dijadwalkan akan tayang sampai 11 April 2018. LESTARIKAN BUDAYA Komang Gases memaparkan ide awal pembuatan “Nyungsang” ini adalah pelestarian budaya. “Spirit film ini adalah tentang ilmu. Bahwa ilmu ngiwa, tengen, dharma, dan leak itu masih
dibuat senatural mungkin, tanpa harus mengorbankan kekuatan cerita dalam film. Semuanya diperhitungkan secara matang. Bahkan untuk kekuatan cerita nya, dipadukan dengan sastra, agar spiritnya bisa menyentuh hati para penonton. Meski demikian, pembuatan film yang didukung penuh IKIP PGRI Bali dengan melibatkan UKM Seninya, Gases Bali, Jagir, dan Palawara Studio ini bukannya tanpa kendala. Menurut Komang Gases, sejak awal pembuatan film ini sudah menemui bermacam tantangan, dimulai
dengan dana sangat terbatas. ”Karena itu, sejak awal saya mengajak semua yang terlibat duduk bersama dan mengatakan bahwa penggarapan film ini adalah murni untuk pelestarian budaya, sehingga saat ini belum bisa memberikan honor yang sesuai. Untungnya teman-teman semua mengerti dan begitu mendukung,” ungkap Komang Gases. Selain tidak memiliki pengalaman di dunia perfilman karena memang bukan orang film, kendala juga ada pada alat yang dimiliki yang sangat sederhana. “Kami juga agak susah mengumpulkan kru yang banyak dalam waktu yang sama, karena kami sadar kami tidak bisa memaksa waktu mereka,” ucapnya tersenyum. Jika terkait hal-hal mistis yang terjadi saat syuting, jangan ditanya lagi. Beberapa kru dan pemain mengaku mengalaminya. Sementara Komang Gases mengaku enjoy saja karena sudah terbiasa dengan hal seperti ini. “Meskipun saya tahu saat syuting ada sekelebatan bayangan dan sebagainya, ya saya diam saja. Jika saya beritahu dan mereka lari, kita tidak jadi syuting dong. Karena kadang kita syuting sampai jam 2 dini hari. Astungkara tidak diganggu, karena kami juga sudah minta izin secara niskala,” ujar Komang Gases yang sering nyalonarang dan juga mendapatkan gelar Doktor Leak ini. Sebut saja salah satu lokasi syuting yang ekstrim adalah di tengah hutan di Sangeh. Herannya, saat syuting di pohon-pohon besar itu, bisa tidak ada kera sama sekali. Bahkan, ia juga melibatkan keponakannya yang baru berusia 1 tahun diajak syuting disana. Uniknya ketika adegan bermain dengan buthabuthi yang notabene berias seram, si bayi diam saja. Tetapi ketika diletakkan dan didiamkan, ia justru menangis. “Mereka yang tahu tentang perfilman mengatakan kami ini gila. Karena idenya hanya sebatas ngobrol-ngobrol biasa, alat yang digunakan sangat sederhana, dan teman-teman kru yang kami ajak sangat minim. Tapi melihat hasilnya, mereka kagum sekali,” tandasnya. (Inten Indrawati).
Edisi 996/ 26 maret - 1 april 2018
Film Nyungsang
Libatkan Dosen dan Mahasiswa IKIP PGRI Bali Film merupakan sebuah karya seni. Film juga bisa menjadi salah satu alat komunikasi massa. Karena itu, Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum. menegaskan bahwa film juga harus mengikuti tuntutan zaman. “Jika saya amati sekarang ini masyarakat cenderung menyukai film bergenre horor dan humor dengan menggandeng selebgram Bali Puja Astawa. Karena itu, kedua genre ini kami kolaborasikan dalam sebuah karya film Nyungsang, yang juga sarat dengan nilai budaya Bali,” ucap Rektor IKIP PGRI Bali saat diwawancarai Tokoh terkait film perdana produksi IKIP PGRI Bali dan Gases Bali ini. Ide untuk membuat film Nyungsang yang mengangkat kisah nyata ini seja tinya sudah ada sejak 2 tahun lalu, namun baru tahun ini bisa terealisasi dan filmnya siap tayang akhir maret ini. Rektor Made Suarta yang juga turut mengambil peran dalam film ini, menjelaskan, Nyungsang bukanlah soal posisi bayi yang terbalik dalam kandungan, namun Nyungsang adalah sebuah ilmu tetapi dilakoni dengan salah. Seniman Arja ini mengatakan, dirinya bersama para seniman IKIP PGRI Bali sudah biasa terlibat dalam penggarapan sinetron, tampil dalam pementasan arja, drama klasik, dll. “Namun, kali ini, dalam pembuatan film layar lebar ini, tantangannya luar biasa. Selain menyita banyak waktu, tenaga, dan biaya, juga sangat
Dr. I Made Suarta
berisiko. Syutingnya tidak main-main, mengambil tempat di lokasi-lokasi angker seperti di dalam hutan dan di kuburan, dari sandyakala sampai malam, auranya mistisnya kental sekali,” kisah Made Suarta yang berperan sebagai pamannya Luh Tu Nesti, tokoh pelurusan. Sebagai lembaga keguruan, IKIP PGRI Bali mencoba mengambil langkah-langkah baru yang bersifat tradisional (selain arja, drama klasik) melalui film. Hal ini sekaligus juga sebagai bentuk promosi untuk lebih menggaungkan lagi nama IKIP PGRI Bali di masyarakat luas. Terlebih, LPTK pencetak calon guru ini memiliki Fakultas Sendratasik (Seni drama tari dan musik) dan UKM Seni. “Pemainnya mahasiswa dan dosen IKIP PGRI Bali serta artis lokal,” Komang Gases. ucapnya. –ten a dan sutradara
art
Rektor Made Su
Rektor IKIP PGRI Bali Made Suarta dalam sebuah adegan Film Nyungsang
redaksi@cybertokoh.com, iklan@cybertokoh.com
cybertokoh
@cybertokoh
@cybertokoh
www.cybertokoh.com