Tokoh Edisi 994 | Tokoh

Page 9

Bumi Gora

24

Edisi 994/ 5 - 11 maret 2018

Armita Budiyanti bersama suami dan dua anaknya

Tetap bijaksana dan kuat menghadapi kenyataan yang sesungguhnya pahit, bukanlah persoalan mudah. Dibutuhkan keberanian lebih untuk bisa menerima kenyataan tersebut dengan hati yang terbuka. Armita Budiyanti merupakan salah satu perempuan yang mampu menyikapi kenyataan pahit tersebut dengan tetap bijaksana. Tekanan psikologi dalam menghadapi sakit kanker payudara yang dideritanya, tidak membuatnya kehilangan semangat. Bahkan di awal sakitnya itu, Armita yang biasa disapa Tita itu telah menyiapkan diri untuk menerima kenyataan tersebut.

F

oto-foto terbaru Tita di media sosialnya dengan keadaannya hari ini berkepala botak ia unggah sedemikian rupa. Di foto tersebut, Tita tersenyum mengirim ‘kabar’ bahwa ia baik-baik saja. Tidak hilang kecantikannya meski tanpa mahkota. Karena mahkota sesungguhnya bagi Tita adalah keluasan hati yang mampu mene­rima semua kenyataan yang ada, sepahit apapun, dengan tetap tersenyum. Tita memang perempuan kuat yang tidak membiarkan dirinya kalah oleh penyakit. Tidak hanya dalam hal menghadapi sakitnya ini, Tita rupanya adalah perempuan yang tegar. Bagaimana tidak, perjalanan hidup yang sudah dilaluinya selama ini tidaklah mudah. Namun ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak keadaan. Karena itulah ia belajar berkompromi terhadap hidupnya. “Begitu banyak ujian yang datang. Dan dari semua yg pernah terjadi, saya menyadari akan lebih sakit rasanya bila saya menolak keadaan ini. Saya akhirnya belajar berkompromi

dengan hati, mencoba untuk belajar ikhlas dan mengampuni,” ujar Tita yang bekerja di Humas Kota Mataram.

Tita sendiri mengaku bahwa dirinya bukan orang yang religius, tetapi ia percaya pada semua yang terjadi pada dirinya telah ada dalam rencana

Memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK), jangan dianggap sebagai beban dan hukuman dari Tuhan, sehingga para orangtua tidak percaya diri, malu, bahkan menyembunyikan anaknya di rumah, sehingga tidak ada akses pendidikan yang layak dan tepat untuk anak. Demikian yang disampaikan Ketua Panitia “Workshop Fasilitasi Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus” Jero Jemiwi, S.Sos., M. Fil.H di sela-sela acara yang berlangsung Rabu (28/2) di Kampus STPBI-SPB, Denpasar.

Suasana “Workshop Fasilitasi Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus” Armita (tengah) bersama pemenang paduan suara

Tuhan. “Saya yakin, Tuhan merencanakan semua hal baik adanya. Kare­ na itu saya hanya perlu kerendahan

Belajar dari Pengalaman Ibunda dan Ibu Mertua Salah satu kekuatan Tita menghadapi sakitnya itu adalah ia melihat ibunya sendiri yang begitu tegar dan kuat menghadapi sakit yang sama. Farida Sungkar, ibundanya itu adalah seorang janda yang divonis kanker payudara saat usianya yang sudah lanjut. Ibunda itu menjalani kehidupannya dengan begitu sabar. Ia berpikir, jika Ibundanya saja yang sudah lanjut usia bisa bertahan dan masih tetap semangat untuk berjuang, ia juga pasti bisa seperti Ibundanya itu. “Kalau mama saya saja bisa melalui semua itu sendiri dan masih semangat untuk berjuang hingga sekarang, maka saya juga harus bisa. Saya harus bisa melewati semua ini seperti Ibu saya,” katanya. Tita sadar betul, bahwa Ibundanya itu terus berjuang sendiri melawan rasa sakitnya, agar Tita dapat tetap tersenyum. Jadi ia merasa, kini ia pun harus membuat Ibunda dan anak-anaknya serta semua orang tersenyum, karena kebetulan beberapa waktu terakhir ini Tita kerap mengunjungi orang-orang yang sakit dan selalu berusaha membuat mereka semua tersenyum. Selain Ibundanya, Tita juga dekat dan melihat langsung Ibu mertuanya dengan penyakit yang sama. Kekuatan untuk melawan sakit dan berjuang untuk sembuh berasal dari pengalaman dua perempuan terdekatnya tersebut, Ibunda dan Ibu mertuanya. Dalam tahun yang sama, kedua orang yang disayanginya itu diketahui sama-sama menderita sakit kanker payudara. “Kondisi keduanya

Edukasi

9

ABK Adalah Guru

Armita Budiyanti

Kompromi terhadap Hidup

Edisi 994/ 5 - 11 maret 2018

sama-sama parah,” katanya. Dari sana ia belajar menghadapi sakit, melawan rasa takut dan berjuang untuk bisa sembuh. Antara Ibunda dan Ibu mertua diketahuinya memiliki perbedaan dalam menyikapi penyakit tersebut. Menurutnya, Ibu mertua sangat takut untuk memeriksakan dirinya ke dokter, sehingga sangat terlambat menerima tindakan medis. Ibu mertuanya meninggal akibat kanker empat tahun yang lalu. “Ibu mertua saya terlambat menerima tindakan medis akibat rasa takutnya,” kata istri dari Herry Soebagio ini. Sementara itu Ibundanya tergolong lebih kuat sehingga lebih cepat menerima tindakan medis. Berangkat dari pengalaman itulah, ditambah lagi dengan dukungan yang kuat dari suami dan anak-anak yang terus memberinya semangat, Tita menjadi lebih kuat pula menghadapi semua proses tindakan medis yang dilaluinya. “Mereka memberi dukungan penuh saat saya tidak ingin menunda operasi,” ujar perempuan 41 tahun ini. Kekuatan lain yang mendorong Tita untuk berjuang melawan sakit dan agar kembali sehat adalah juga demi masa depan dua buah hatinya, Dandy Alviyando (18) dan Kevin Leonidas (10). Mereka inilah yang menjadi semangat baginya. “Salah satu yang menjadi sumber semangat saya adalah anakanak. Saya harus tetap kuat untuk mereka,” katanya. Selain kuat Tita juga adalah perempuan yang logis dalam berpikir. Usianya yang masih muda tidak membuatnya takut kehilangan estetika tubuhnya melainkan ia hanya berfokus pada kesehatannya. “Estetika tubuh tidak lagi menjadi hal penting tetapi kesehatanlah yang nomor satu,” hanya itu yang ada dalam pikirannya. Demikian pula dengan kepalanya yang kini ia gunduli akibat kemoterapi yang dijalaninya. Tita tetap tampil dengan senyumannya yang ikhlas meski masih setidaknya lima kali lagi ia harus menjalani kemoterapi tersebut. (Naniek I. Taufan)

hati untuk menerima dan menjalani setiap ujian ini,” katanya. Kanker payudara tentu saja menjadi momok yang sangat menakutkan bagi setiap perempuan. Tetapi Tita mencoba melawan semua rasa takut itu dengan keyakinan bahwa rencana Tuhan padanya sangatlah baik. Ketika ia mendengar vonis dokter yang menga­takan bahwa ia mengidap tumor, Tita teringat beberapa orang yang sebelumnya yang mengalami hal yang sama yang pernah ia kunjungi. “Banyak di antara mereka yang kondisinya jauh lebih parah dari saya. Saya merasa seperti dihadapkan pada dua pilihan saat itu, menyerah pada nasib, dan itu berarti saya kalah terhadap penyakit atau saya maju berjuang untuk melawan penyakit ini,” katanya. Begitu mengetahui bahwa ia mengidap tumor, Tita segera mengambil keputusan untuk mengobatinya. Ia tidak larut dalam kesedihan melainkan bergerak secepat mungkin menghadapinya. Tita baru menemukan benjolan di payudaranya pada bulan Oktober 2017. Baginya semua itu terasa begitu cepat. Kecepatannya bertindak itulah yang telah menyelamatkan hidupnya. “Saya harus cepat mengambil keputusan untuk kelangsungan hidup saya,” ujar Tita. Bulan November 2017, Tita menjalani operasi pengangkatan tumor. Namun ternyata tumor itu diketahui adalah kanker ganas yang berpotensi menyebar. Awal januari 2018, Tita kembali menjalani operasi yang disebutnya operasi radikal. Ope­ rasi ini untuk pengangkatan payudaranya sebelah kiri. (Naniek I. Taufan)

S

atu harapan besar, ada satu kesadaran yang muncul dar i semua pihak. Ada perubahan paradigma lama tersebut menjadi paradigma baru, yakni mengganggap ABK itu adalah guru kita semua. Guru kesabaran, guru ketelatenan, guru ketelitian, dan guru kita untuk bersyukur. Pasti ada satu kelebihan si anak yang tidak dimiliki kita semua. “Kemampuan para orangtua, para guru, dan para pihak terkait untuk menggali kemampuan anak tersebut, itulah yang menjadi satu PR kita,” ujar Jero Jemiwi. Karena itu pula, pada workshop yang digagas Paiketan Krama Bali ini, mengundang setidaknya 60 orang peserta yang terdiri atas para orangtua, guru, LSM, yayasan dan praktisi yang terkait langsung dengan ABK. Menghadirkan narasumber psikolog dari Jepang Chisako Highasitani bersama timnya, yang sudah berpengalaman memberikan pembekalan kepada guru bagi ABK. Workshop ini diharapkan menjadi suatu media berkumpul bagi pihak-pihak yang memang terkait langsung dengan ABK, sehingga mereka bisa sharing masalah di lapangan dan solusi mana yang berhasil atau tidak. Hal senada disampaikan Kabid Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Dinas Pendidikan Provinsi Bali I Made Wididharma, yang mengatakan workshop ini merupakan suatu wahana, sarana untuk mengimplemetasi program-

program atau kegiatan-kegiatan yang ada di pendidikan khusus, khususnya bagi ABK. Ketua Yayasan Widya Ulangun, Dr. I Nyoman Gde Astina, M.Pd. selaku tuan rumah menyatakan sangat senang mendapat kesempatan dikunjungi para peserta workshop dari seluruh Bali. Ketua III bidang Pawongan Paiketan Krama Bali I Made Dwija Suastana, S.H., M.H., mewakili Ketua Umum Dr. Ir. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc. mengatakan workshop ini sekaligus sebagai media pengenalan Paiketan kepada komponen masyarakat yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus. “Untuk praktisnya implementasi berupa focus discussion, dengan menggali permasalahanpermasalahan yang ada di masingmasing pendidikan khususnya di kebutuhan khusus. Dari permasalahan-permasalahan itu nanti akan kita angkat terutama kaitannya dengan kualitas atau akses pendidikan kita, sarana prasana pendidikan kita. Ia melanjutkan, yang lebih penting juga kompetensi guruguru yang mengajar di sekolah terutama yang menangani anak berkebutuhan khusus. Itu yang diharapkan dan itu yang menjadi tonggak baru nanti untuk bisa dieksplorasi bahwa ABK perlu mendapat perhatian yang lebih serius lagi. “Walaupun sudah dapat perhatian, lebih ditingkatkan lagi. Karena mungkin banyak juga anak tercecer di desa-desa, yang perlu digali, disosialisasikan, sehingga

dengan demikian tiap tahun penerimaan dari peserta didik ABK terus meningkat,” ucapnya. Workshop dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi dengan penyampaian materi dari narasumber, dilanjutkan sesei kedua diisi dengan dengan diskusi yang dibagi dalam 4 grup. Chisako Higashitani mengatakan, ada dua langkah yang harus dilakukan untuk menangani ABK, yakni mengubah keadaan tersebut dan mengubah pola perkembangannya. Mengubah keadaan ini bisa dilakukan dengan penyesuaian lingkungan. Misalkan, menyesuaikan ruangan atau kotak penyimpanan dengan membedabedakan warna. Sehingga, anak tahu, mana tempat puzzle, dsb. “Penyesuaian ini akan menurutkan anak, dan anak akan bilang oh, itu mudah bagi saya…” contohnya. Hal utama yang juga perlu menjadi perhatian para orangtua atau guru terhadap ABK adalah, mempertahankan postur yang tegak. Perkembangan seluruh fisik anak ini juga akan berpengaruh ke otak. Hal yang paling sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan melihat cara anak memegang pensil, dan menggerakkan pensil dengan tiga jari. Dalam sesi diskusi grup, para peserta diajak mencari solusi dan berlatih untuk memperbaiki cara memegang pensil dengan alatalat sederhana. Beberapa trik ini bertujuan untuk melatih dinamika tangan anak. “Memegang pensil dengan cara yang tidak standar itu, berat. Dari cara anak memegang pensil inilah kita tahu masalah anak,” ucap Chisako Highasitani. Pada workshop ini, diajarkan teknik-teknik secara keilmuan yang efektif digunakan. Apakah ini akan bermanfaat bagi orangtua? Jero Jemiwi mengatakan, sikap orangtua harus matang, siap, dan

Mendongeng Lima Menit Made Taro

SEBUTIR GABAH

Perempuan tua itu tinggal sendirian di rumahnya di lereng bukit. Di negeri itu ia merasa dirinya miskin. Ia juga tidak suka bergaul, bahkan dengan tetangganya yang paling dekat. Ia memang sengaja menghindari pergaulan, karena dalam setiap pertemuan, seseorang harus berderma untuk kemanusiaan. Dewa Wisnu yang bersemayam di langit, melihat sikap kikir perempuan tua itu. Menurut catatan, perempuan itu tak lama lagi akan mati, tetapi segera akan lahir kembali. Dewa Wisnu menginginkan, dalam kelahirannya kembali, perempuan itu harus berubah sikap. Ia harus merasakan bagaimana nikmatnya rezeki dan suka berderma. “Wahai, Dewata!” demikian panggil Dewa Wisnu kepada seorang dewata. “Datanglah ke rumah perempuan kikir itu! Ambil sesuatu yang menjadi miliknya!” “Segala perintah Tuanku hamba junjung tinggi,” jawab dewata yang setia itu. Setelah sampai di rumah perempuan kikir itu, sang Dewata mengubah dirinya menjadi seekor gagak. Sambil mengintai, gagak itu bertengger di sebuah pohon. Tibalah waktu yang dinanti-nanti. Perempuan kikir itu keluar dari dapur membawa sebesek gabah. Ia mencuci gabah itu sebelum memasaknya. Namun belum sempat menimba air, sekonyong-konyong seekor gagak merampas gabah itu. Belum sempat terbang kembali, perempuan itu dengan sigap menangkap gagak itu. Ia pelintir leher gagak itu, lalu membuka paruhnya lebar-lebar. Ia ambil semua biji gabah. Gagak itu meronta-ronta. Untunglah ia berhasil melepaskan diri. “Ampun Dewa Junjunganku!” kata gagak siluman dewata itu, di depan Dewa Wisnu. “Hamba gagal. Tak suatu pun yang hamba rampas. Perempuan itu menangkap hamba. Untunglah hamba berhasil melespakan diri.” “Tunggu dulu!” kata Dewa Wisnu. Dewa penguasa kehidupan itu lalu membuka paruh gagak. Ia meraba-raba bagian dalam dan atas paruh itu. “Ini dia, sebutir gabah!” kata Dewa Wisnu sambil memperlihatkan sebutir gabah yang menempel di bagian atas paruh gagak. “Setelah menjalani kematian, perempuan kikir itu akan segera lahir kembali. Ia akan kuberi sebutir gabah. Semoga dengan sebutir gabah itu ia belajar hidup dan suka berderma.

punya paradigma baru yang menganggap ABK bukan lagi musibah tapi seorang guru yang dihadirkan oleh Tuhan yang diyakini pasti ada pesan di balik kehadiran ABK, pasti ada satu kemampuan khusus. “Kepercayaan diri, kesadaran

dan kesabaran orangtua itulah modal dasar. Ketika sudah sabar, sadar, dan percaya diri maka kemampuan alami ABK pun akan muncul, sehingga solusi itu akan sesuai dengan situasi dan kondisi,” tandasnya. (Inten Indrawati)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.