24
Februari identik dengan momen Valentine dan kali ini berlanjut dengan Imlek. Ada berbagai macam cara dilakukan untuk mengungkapkan rasa kasih dan sayang juga merayakan Imlek. Mulai dari berbagi kado, coklat, memberikan angpao hingga ucapan selamat melalui media sosial.
A
Sudut Pandang
Edisi 992/ 19 - 25 Februari 2018
pa yang dilakukan Angeliqa Wu agak berbeda. Ia memilih berbagi ilmu. Menurut perempuan yang sering disapa Indah ini, sebagai pemilik Angeliqa Wu Fashion Design Course, ketika berbicara tentang berbagi kasih, ia tidak terpaku dengan momen khusus hari kasih sayang semata. Untuk berbagi ia memiliki program tersendiri dan lebih memilih berbagi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, yaitu ilmu mendesain. “Saya memberikan kursus atau pelatihan gratis. Disamping itu, sebagai seorang desainer, saya juga memberikan busana karya saya ke beberapa kegiatan pelelangan dan hasil penjualannya sepenuhnya digunakan untuk kegiatan social,” ujarnya. Untuk kegiatan pelatihan gratis menjahit dasar mulai dilakukan sejak tahun 2016. Sedangkan yang reguler biasa
Ajarkan Berbagi sejak Dini diadakan setiap bulan . Kelas yang diadakan setiap bulan tersebut katanya materinya berbeda-beda, seperti menjahit menggunakan mesin, menjahit dengan tangan, menjahit bunga korsase hingga memasang payet yang simpel pada brokat. Pada kesempatan lainnya, Indah juga bersedia memberikan ilmunya untuk mensuport kegiatan pelatihan b a g i Y PAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat). Aksi berbagi gratis ini dilakukan, menurut Indah motivasinya adalah untuk meletakkan dasar agar dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap dunia fashion. “Kami memilih materi dasar menjahit karena ilmunya bisa digunakan untuk kebutuhan seharihari. Kelas gratis ini juga dapat diikuti oleh masyarakat umum mulai usia 6 tahun ke atas,” jelas anggota IFC (Indonesia Fashion
Chamber) Denpasar ini. Selama ini, ia melihat peserta pelatihan sangat antusias dan senang dengan ilmu baru yang mereka peroleh. “Harapan kami, ilmu atau keterampilan yang kami bagi bisa bermanfaat. Jika selanjutnya berminat untuk mengembangkan dan mempelajari lebih dalam lagi. Materi yang sudah diperoleh tersebut, nantinya bukan hanya bisa menjadi modal dasar keterampilan untuk menghasilkan karya namun juga dapat menambah
Angeliqa Wu
Reward untuk yang Berhasil “Kasih sayang bagi saya bukan hanya milik dua insan yang sedang kasmaran. Kasih sayang adalah milik semua mahluk ciptaan-Nya karena Yang Maha Pencipta menciptakan kita dengan kasih sayang-Nya (Arrahman dan Arrohim),” ungkap Fitri Nugrahaningrum, Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) NTB. Sebagai penyandang tuna netra, kasih sayang adalah hal yang utama yang bisa dibagi oleh Fitri kepada semua orang. Baginya, mata boleh tak bisa melihat tetapi hati harus memiliki kasih sayang yang senantiasa bisa dibagi. Cara ia membagi kasih sayang itu yakni dengan merelakan waktu dan tenaga bahkan materi untuk membimbing dan mengajar anak-anak di lingkungan sekitar tempatnya tinggal di Kediri Lombok Barat dalam komunitas yang dibentuknya bernama Samara Lombok. Yang sering dilakukannya untuk memperlihatkan kasih sayang kepada anak-anak di Samara Lombok, ia memposisikan dirinya sebagai teman bermain mereka, saat santai sehingga mereka bisa dekat dengan dirinya. Selain itu ia memposisikan dirinya sebagai guru saat mendidik anakanaknya ini sehingga mereka menghormati dan menghargai nya. “Saya menjadi seorang ibu atau kakak saat mereka curhat sehingga mereka merasa nyaman,” katanya. Ia juga selalu berbagi pujian kepada mereka yang berbuat dan berprilaku baik. Baginya, kasih sayang tidak hanya berbentuk cinta atau memberi kesenangan saja, bahkan marah, ngomel itu pun disebutnya sebagai salah satu bentuk kasih sayang. “Karena dengan marah dan ngomel itu kita
Fitri Nugrahaningrum, menujukan kasih sayang dengan berbagi hal-hal sederhana
berharap suami, keluarga anak-anak atau pun orang lain yang berbuat salah bisa berubah dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Tentunya marah dan ngomel untuk hal yang tidak kelewat batas dan mendidik. Fitri juga sering memberikan sesuatu yang sederhana sebagai reward mereka jika mereka berhasil dalam belajar maupun pergaulan. Reward itu seperti memberikan masakan yang mereka sukai (nasi goreng, mie goreng, bakso), membelikan peralatan sekolah atau mengajak mereka jalanjalan. Fitri juga sering memberi kejutan pada anak-anak yang berulang tahun dengan kado sederhana berupa do’a. Ia mengajarkan kasih sayang kepada anak-anak dengan cara membangun kerjasama di antara mereka, menghargai perbedaan, menerima kekurangan dan kesalahan orang lain dengan sportif serta selalu mengucapkan hal yang positif dan tidak mencela/mengolok orang lain. “Karena perbedaan itu indah,” katanya. Karena itulah baginya, kasih sayang itu tidak hanya diberikan pada waktu-waktu yang khusus saja seperti saat Valentine Day, saat ulang tahun, saat memperoleh prestasi dan lain-lain. “Kasih sayang diberikan setiap saat, setiap kondisi, setelah tidur hingga kita tidur lagi,” ujarnya. Sementara itu, Suryadi Mulawarman, koreografer Nusa Tenggara Barat yang bertangan dingin, sejak dulu ketika pertama kali pulang ke Lombok usai menyelesaikan studinya di IKJ Jakarta, telah berniat membagi ilmunya itu kepada calon-calon penari di NTB. Ia sangat ingin melahirkan penaripenari yang berkualitas dan bisa bersaing pada level nasional bahkan internasional. Kala itu ia juga punya harapan ingin membawa penaripenari NTB untuk pentas ke luar negeri dan mendapat apresiasi yang luar biasa. Kedua hal itu hari ini telah tercapai. Pendiri Sak-sak Dance ini tidak berhenti sampai di situ, ia terus membagi ilmunya guna melahirkan koreograferkoreografi baru di NTB yang berkualitas dengan pendekatan dan penciptaan karya melalui proses penelitian dan analisis. Hal ini menurutnya sudah mulai ada namun masih harus ia ‘kejar’ lagi. “Saya sangat ingin juga berdialog secara terbuka dengan kreator-kreator tari di NTB untuk berbagi dan berdiskusi tentang bagaimana memahami tari, karya tari, tari klasik, tari tradisi, tari kreasi, tari kontemporer, tari post modern dan sebagainya. Pokoknya semua hal mengenai tari, termasuk apa sebenarnya penata tari, pencipta tari (koreografer), kreator tari, penggiat tari, penata gerak dan lainnya,” ungkap Suryadi. Ia menjadi bahagia karena dalam perjalanannya itu ia pernah berkarya atau mencipta tari yang terinspirasi dari perempuan-perempuan Sasak Samawa Mbojo. Selain itu kebahagiaannya juga dirasakan ketika ia bisa berkolaborasi dengan hampir seluruh seniman lintas seni yang ada di Lombok. (Naniek I. Taufan)
penghasilan,” papar Indah. Ia juga menekankan kembali terkait kegiatan berbaginya melalui kelas gratis yang regular. “Kami memang menyelenggarakannya tiap bulan, tapi bisa saja menjadi dua kali sebulan, tergantung dari jumlah peminat dan antusiasme dari peserta yang ingin ikut,” lanjutnya. Ke depannya ia bakal mengembangkan beberapa kelas gratis lainnya, yang simpel tapi bermanfaat. Apalagi, lanjutnya saat ini anak– anak usia 6 hingga 15 tahun sudah mulai tumbuh minatnya untuk belajar mengenai dunia fashion. “Kami ingin membuat kelas jahit untuk anak-anak Sekolah Dasar. Kami ingin sekali desainer muda –desainer muda bermunculan,” tandasnya. Masih bicara kebiasaan berbagi, bukan hanya di hari kasih sayang, Indah mengatakan jika orangtuanya selalu menekankan padanya sejak masih kecil, berbagi dengan ketulusan dan keikhlasan kita pada sesama akan membawa kebahagiaan tersendiri.”Kita memberikan apa yang kita miliki kepada orang lain yang memerlukan, baik dalam bentuk materi atau non
materi itu, sama dengan menabung kebaikan untuk nantinya,” ucapnya lulusan KvB Institute of Technology, Sydney, Australia ini. Indah juga menyampaikan sangat bersyukur telah diajarkan kebiasaan berbagi. Kebiasaan baik yang telah ditanamkan oleh keluarganya ini pun dijadikannya tradisi yang baik, yang kemudian ditularkannya kepada anakanaknya. Yang paling simpel ia mengajarkan pada anak-anaknya, mereka adalah istimewa dan bermanfaat bagi orang lain ketika bersedia berbagi atas apa yang mereka miliki sejak dini. Ia mengaku sangat bahagia saat bisa berbagi ilmu atau kebisaannya kepada orang lain. “Saya sudah di dunia pendidikan sejak 2002. Saya sangat mencintai dunia pendidikan. Karenanya saya ingin terus belajar serta mengembangkan ilmu-ilmu yang baru untuk kemudian saya bagikan pada para siswa. Momen indah saya adalah saat melihat siswa-siswa saya berhasil dan menjadi ‘orang’ yang berguna. Hikmah dari berbagi ini selain membahagiakan juga membanggakan saya,’ katanya. (Sri Ardhini)
Hadiah dari Langit
Di akhir 2016 ketika mendapat kabar dari Prof Yudi, ISI Yogya, saya akan diberikan doktor honoris causa, saya langsung menyatakan rasa haru dan hormat saya atas hadiah dari langit itu. Tak terbayangkan setelah 47 tahun meninggalkan Yogya membawa ijazah SH yang tak pernah saya pergunakan, saya kembali untuk diberi DR.HC. Ketika berada di AS (Fulbright 1985-1988) Prof. James Brandon dari Universitas Hawai pernah memberikan saya formulir untuk study. Tapi saya merasa tidak berbakat jadi ilmuwan. Saya lebih memilih kerja kreatif di lapangan. Kalau sekarang saya harus memikul DR.HC, saya merasa malu bila tak punya alasan mengapa saya berani menerima penghargaan terhormat dari sebuah lembaga yang terhormat seperti ISI Yogya itu. Saya bukan peneliti. Tetapi proses kreatif puluhan tahun di lapangan memaksa saya bertempur dengan berbagai kasus kreatif. Itu membetot saya selangkah demi selangkah merakit jurus-jurus penyelamat untuk menjawab, menerobos dan menjinakkan tantangan dan
keterbatasan. Antara lain, saya sampai pada jurus: Bertolak Dari Yang Ada; Teror Mental; dan Teater Tontonan. Ternyata jurus rakitan itu, dapat dipakai menghadapi berbagai kasus lain dan bisa terpakai tak hanya oleh saya sendiri, juga orang lain. Lewat jurus-jurus itulah, saya jadi menghayati kembali kearifan lokal Bali: desa-kalapatra (tempat-waktu-situasi). Sehingga saya bisa melihat berbagai fenomena dan situasi dari sudut pandang yang lain/baru. Di antaranya: betapa hebatnya warisan kearifan lokal dalam teater tradisi/rakyat kita. Interaksi yang mendalam antara teater modern dan teater tradisi/rakyat saya rasakan telah melahirkan apa yang saya sebut TRADISI BARU. Yakni saat untuk tidak lagi membiarkan referensi Barat mendominasi teater Indonesia. Semua referensi setara. Sudah lama saya ingin memaparkan itu. Penghargaan DR.HC ini bagai saat untuk meletusnya seluruh kandungan pikiran saya itu. Tulisan tersebut sudah saya terbitkan dalam buku hibah yang terbit bulan Agustus 2017 dengan judul TRADISI BARU. Paling tidak kendati itu hanya pengalaman personal, rasa malu, cemas dan gamang saya berakhir. Maka saya pun dengan mantap melangkahkan hati ke Yogya dengan Argo Lawu, sebagai prajurit untuk menerima (pada 21 Februari ini), tugas kehormatan yang mudahmudahan tak akan pernah membuat ISI Yogya dan beliau-beliau yang berada di belakang hadiah dari langit itu, menyesal mempercayakannya pada saya. Salam hormat dan terimakasih serta rasa kangen saya yang tak pernah pupus pada Yogya yang membuat saya jadi prajurit teater. (Putu Wijaya)
redaksi@cybertokoh.com, iklan@cybertokoh.com
cybertokoh
@cybertokoh
@cybertokoh
www.cybertokoh.com