24
Sudut Pandang
Edisi 949/ 17 - 23 APRIL 2017
Jatuh bangun dalam berbisnis itu biasa. Namun berbisnis dengan minim risiko menjadi hal luar biasa yang diterapkannya dalam bisnis tekstil yang serius dilakoninya sejak tahun 1998. Semangat Kartini untuk membantu kaumnya, menjalankan bisnis tanpa modal ini menjadi wujud nyata prinsip “berbagi”-nya kepada sesama. “Itulah alasan saya membuka Ode-nant,” ujar Cok Mirah, S.E., owner Ode-nant Textile.
Besar dengan Prinsip Berbagi
O
de-nant Textile yang tahun ini memasuki tahun keempat kian lama kian besar. Hal ini bisa dilihat dari bertumbuhnya jumlah member yang terhitung per Desember 2016 mencapai angka tiga ribuan. “Ini dikarenakan kami memakai sistem penjualan yang berbeda dari toko-toko lainnya, yakni sistem setengah retail dan setengah direct selling (berbagi keuntungan). Jika di toko lain, keuntungan dinikmati sendiri, tetapi di Ode-nant, setengah dari keuntungannya itu diberikan kepada member dan koordinator dalam bentuk diskon dan komisi. Dan kami semua disini sudah seperti keluarga,” ucap Cok Mirah yang kompak menjalankan bisnis tekstil ini bersama suami Cokorda Gde Agung, S.H. LAKUKAN DENGAN HATI Ode-nant memproduksi batik dan bekerjasama dengan perajinperajin lokal dalam pengadaan kain endek. Cok Mirah mengaku, alasan kuatnya mendirikan Ode-nant ini
Cok Mirah bersama suami Cokorda Gde Agung yang bersama-sama menjalankan bisnis tekstil
adalah sebagai tempat berbagi dan membantu mereka yang ingin berbisnis dan memperoleh penghasilan. “Tanpa modal dan bahkan bisa dikatakan tanpa risiko, mereka sudah bisa menjalankan bisnis. Karena kami memberikan pinjaman barang. Jika laku, dibayar, jika tidak laku dikembalikan. Modalnya hanya tekun,” ucap ibu dari Cokorda Istri Eka Pratiwi dan Cokorda Gde Ananta Wijaya ini. Untuk mencapai seperti sekarang ini, tentunya perlu perjuangan keras,
tekun dan ulet. Cok Mirah benar-benar merintisnya dari awal, meski bakat bisnis diakuinya sudah tampak sejak ia masih berstatus mahasiswi di Fakultas Ekonomi Unud. Pada saat itu, sembari kuliah, ia nyambi memegang authorized dealer satu merek kosmetik di Denpasar. Ia menangkap peluang lain yang lebih baik dengan mencoba-coba berjualan kain batik. “Waktu itu batik memang lagi booming, sementara endek belum se-booming sekarang. Ada salesman yang nawarin batik,
saya coba saja menjualkannya ke keluarga, dan teman-teman, ternyata banyak yang berminat. Pengambilan batik saya lumayan, sampai 1.000 pcs sebulan,” kisah ujar perempuan kelahiran Denpasar yang menikah ke Puri Singapadu, Gianyar ini. Produk-produk batik itu juga didisplay di toko kosmetikanya. Tidak itu saja, beberapa brokat yang dinilainya bagus, dibeli, dipajang dan dijualnya kembali di toko tersebut. Ia mengamati, kebutuhan masyarakat Bali akan brokat, kamben (kain) batik maupun endek cukup besar. Melihat peluang pasar yang cukup menjanjikan ini, apalagi banyak produk tekstil yang didatangkan dari luar Bali, Cok Mirah dengan sang suami Cokorda Gde Agung, S.H. kemudian merintis usaha, membuka grosir batik, brokat dan endek tahun 1998 dengan bendera Toko Pratiwi Textile di Jalan Tukad Yeh Aya, Renon Denpasar. Motif-motif batik dari luar Bali dikombinasikannya dengan motifmotif Bali, dengan ragam pilihan jenis kain/kelas, seperti katun, dobi, sutra dan ATBM. Untuk pemasaran produknya tersebut, ia memakai konsep reseller. Perkembangannya cukup bagus dan omzet penjualannya pun lumayan. Hingga suatu saat, hatinya tergerak untuk membantu memberikan peluang bisnis bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan atau yang menginginkan penghasilan lebih.Tahun 2013 ia pun membuka Ode-nant Textile di Jalan Kenyeri, Denpasar. Di tokonya ini, Cok Mirah mencoba menerapkan
konsep berbeda, yakni direct selling, penjualan melalui koordinator dan member, di samping retail. Ia mengumpulkan 20 teman seperjuangannya dulu saat menjalankan usaha kosmetika, dijadikan sebagai koordinator. Mereka diberikan tantangan untuk menjalankan bisnis tekstil yang menjalankan konsep “membantu masyarakat Bali yang ingin berpenghasilan di tekstil, dan berkelanjutan”. “Konsep Ode-nant, menjalani bisnis bersama. Fee untuk para koordinator dan member diambil dari keuntungan toko yang dikurangi, sehingga tak menaikkan harga produk. Mungkin ini juga yang membuat Ode-nant berkembang pesat seperti sekarang,” ucap putri Tjokorda Arnawa Pemayun, S.H., dan Indrawati ini bersyukur. Bahkan, di tahun 2014, Ode-nant telah hadir di Jalan Mawar, Gerokgak Gede, Tabanan, atas permintaan salah seorang koordinator di Tabanan yang memang gencar dan tekun melakoni bisnis ini. Terkait hambatan dalam berbisnis, seperti ditipu atau produk dibajak, semua pernah dilaluinya. Saat dalam kondisi terpuruk itu, Cok Mirah selalu mengingat petuah Ajik (ayah)-nya. Bahwa, hukum karmapala tetap berjalan. Yang paling penting adalah tetap berusaha dengan jujur, sehingga orang akan percaya kepada kita. Dengan rule itulah Cok Mirah bersama suami menjalani bersama bisnis tekstil Pratiwi dan Ode-nant. Cok Mirah percaya dan yakin, apapun pekerjaan yang dilakukan dengan hati dan selalu bekerja keras, hasilnya pasti baik. (Inten Indrawati)
Sukses Karier dan Rumah Tangga Hari Kartini yang diperingati tiap 21 April terwujud sebagai peringatan dan penghormatan atas perjuangan kaum perempuan, simbol kesetaraan gender, serta emansipasi wanita. Kini, perjuangan Raden Ajeng Kartini kini berbuah manis. Segala keterbatasan yang mengungkung hak-hak wanita berhasil dihilangkan. Setelah beberapa tahun peringatan tersebut dilakukan, sudah menjadi tugas kaum perempuan untuk melajutkan perjuangan itu. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Undiksha Singaraja, Ratna Artha Windari, S.H.,M.H. Menurutnya, kaum wanita untuk dapat disebut pejuang “Kartini” masa kini harus menghadapi tantangan yang berbeda. Ketika dulu seorang Kartini harus bergerilya memperjuangkan hak-hak wanita agar mendapatkan pendidikan layak, kini kaum “Kartini” harus bergumul dengan stigma-stigma masyarakat. “Era kini, perempuan dituntut tidak hanya pintar melainkan juga cerdas,” ungkapnya. Baginya, ketika wanita diberi hak setara dengan pria, berpendidikan tinggi dan bekerja untuk mendukung finansial keluarga, masalah selanjutnya adalah bagaimana ia bisa menjalankan kodratnya sebagai seorang perempuan. Menjadi wanita karier yang sukses sekaligus ibu dalam rumah tangga misalnya. Kebanyakan masyarakat berpikir, menjadi wanita karier sukses atau ibu rumah tangga yang bahagia adalah sebuah pilihan. Sejatinya,
jika kebetulan berada dalam posisi tersebut, sewajarnya ada yang harus dikorbankan. Padahal, masih banyak wanita karier sukses, namun berhasil pula menangani tugas rumah tangganya selama masih mampu merancang manajemen waktu. “Jangan sampai perempuan yang memiliki karier bagus, namun lupa menjadi sosok perempuan secara kodrati,” imbuhnya. Perempuan modern, seringkali dihadapkan pada situasi dilematis, antara mengikuti arus modernisasi dengan segenap dinamikanya atau tetap menjadi sosok perempuan yang sarat sentuhan nilai tradisi, lembut, serba mengalah, dan pasrah. Perempuan yang akrab disapa Ratna ini mengaku disamping sebagai seorang wanita yang sangat menghormati pekerjaannya, dirinya juga tidak lupa akan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. “Tidak hanya memenuhi kewajiban dalam keluarga, tetapi perempuan Bali merupakan perempuan tangguh yang harus memenuhi kewajiban dalam menyama braya,” jelasnya. Dalam lingkup keluarga, kata dia, peran perempuan sebagai seorang ibu sangat mempengaruhi pembentukan karakter sang anak. Menciptakan anak-anak yang dapat menonjolkan karakter bangsa serta memiliki etika dan sopan santun yang tinggi merupakan impian dari salah satu bentuk perjuangannya sebagai Kartini masa kini. Inilah sebab, mengapa seorang ibu harus memiliki wawasan luas meskipun tidak mengenyam pendidikan tinggi. “Ibu yang memiliki waktu yang paling lama bersama anaknya,” ungkap perempuan kelahiran 15
Dr. Ni Made Ary Widiastini, S.ST.Par.,M.Par.
Desember 1983 tersebut. Perjuangan dalam memenuhi kodratnya sebagai seorang perempuan juga harus diimbangi perjuangan dalam kariernya. Sebagai Ketua di Jurusan yang baru beberapa tahun terakhir berdiri, dirinya ingin membawa jurusan tersebut eksis di publik. Tentu hal tersebut bukan perkara mudah, perlu dilakukan inovasi dan berani mengambil risiko. “Saya bukan tipe yang stagnan, sehingga ketika ada peluang harus dimanfaatkan guna memajukan jurusan ini,” tandasnya. MAJU UNTUK LINGKUNGAN Sementara itu, menurut Dr. Ni Made Ary Widiastini, S.ST.Par.,M. Par., Dosen D3 Perhotelan Undiksha
Ratna Artha Windari, S.H.,M.H.
Singaraja, perjuangan Kartini masa kini yang dimaksud begitu luas dan secara umum. Perjuangan tersebut tidak hanya dalam bentuk kesetaraan gender maupun emansipasi, melainkan terbebas dari sistem kapitalis. Selama ini kaum perempuan salah persepsi bahwa perjuangan Kartini hanya sebuah pembebasan gender, padahal perempuan saat ini dituntut berpikir maju tidak hanya untuk dirinya melainkan juga untuk lingkungan sekitar. “Sering sekali perempuan sekarang utamanya remaja kesulitan memilah mana yang baik dan tidak dilakukan. Hal tersebut tidak terlepas dari kemajuan teknologi,” ucapnya. Perjuangan kaum perempuan saat ini justru harus terbebas dari kapitalisme. Sistem Kapitalisme sejatinya
memang telah menghancurkan kehidupan manusia, termasuk kaum hawa (perempuan). “Hal yang paling sederhana sebagai bukti bahwa perempuan harus berjuang membebaskan diri dari kapitalisme adalah fashion. Dalam dunia fashion ada paradigma berpikir kapitalis, selama perempuan ada fashion akan tetap hidup, karena fashion itu adalah perempuan,” jelasnya. Dalam kungkungan sistem kapitalisme saat ini kaum perempuan dalam posisi serba salah. Di satu sisi mereka memikul amanah mulia menjadi benteng keluarga, menjaga anak-anak dari lingkungan yang merusak sekaligus mengurus rumah tangga. Di sisi lain mereka pun harus ikut bertanggung jawab menyelamatkan kondisi ekonomi keluarga dengan cara ikut bekerja mencari nafkah tambahan. “Perempuan harus mampu bersikap dan berprilaku sesuai dengan tempatnya, kalau istilah Balinya sesana manut linggih, linggih manut sesana,” jelasnya. Lalu berbondong-bondonglah kaum perempuan meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, eksploitasi habis-habisan atas diri merekalah yang terjadi. Mereka menjadi objek eksploitasi sistem kapitalisme yang memandang materi adalah segalanya. Model, sales promotion girl, public relation hingga profesi pelobi hampir senantiasa berada di pundak kaum perempuan. Mereka menjadi umpan dalam mendatangkan pundipundi rupiah. (Wiwin Meliana)
redaksi@cybertokoh.com, iklan@cybertokoh.com
cybertokoh
@cybertokoh
@cybertokoh
www.cybertokoh.com