Tokoh Edisi 947 | Tokoh

Page 10

10

Dalam beberapa tahun ini perkembangan film nasional semakin menggembirakan. Hal itu terlihat bukan hanya dari bermunculannya filmfilm berkualitas namun juga animo masyarakat menonton film Indonesia. Kalau dulu sempat terdengar kabar kalau film Indonesia sulit tayang lama di bioskop papan atas. Kalaupun bisa, hanya dua-tiga hari saja kemudian diganti dengan film impor.

N

Kreasi

amun, sejak sejumlah film nasional sempat mencapai box office bahkan di tahun 2016 banyak film Indonesia yang mencapai lebih dari 1 juta penonton--Film Warkop DKI Reborn 6,8 juta penonton, Ada Apa Dengan Cinta 2 jumlah penonton 3,7 juta orang, My Stupid Boss dengan 3 juta dan film Rudy Habibie 2 juta penonton, dll--- film nasional sepertinya makin eksis di bioskop papan atas di Jakarta. Animo masyarakat terhadap film nasional bergairah kembali, seiring dengan itu para sineas muda makin kreatif dan mumpuni membuat film-film bukan hanya bermutu tapi juga memiliki nilai jual. Hal ini juga diakui oleh insan perfilman nasional. Mereka menyambut gembira tren positif yang terjadi akhir-akhir ini. Kegembiraan atas perkembangan film nasional juga diungkap artis dan aktor senior, Connie Sutedja dan Anwar Fuadi. Dua insan film kawakan ini memulai debutnya di dunia perfilman di era 1960-an dan tetap eksis hingga saat ini. Mereka optimis mimpi kalangan perfilman khususnya agar film Indonesia menjadi ‘tuan rumah di negeri sendiri’ bakal terwujud. “Ini bukan harapan kosong. Kita semua optimis itu akan terwujud,” kata Connie semangat. Connie Sutedja yang memulai debutnya di dunia film Tanah Air sejak tahun 1965 telah merasakan manispahitnya perjalanan C o perfilman Indonesia.

Style

15

Penonton Tertawa Warna-warni Kebaya Stres pun Hilang

Edisi 947/ 3 - 9 APRIL 2017

Edisi 947/ 3 - 9 APRIL 2017

Gaya tradisional dan modern yang muncul secara bersamaan itulah gambaran koleksi dari salah seorang desainer kebaya papan atas Bali, Rhea Cempaka.

Wanita yang kini berusia 72 tahun ini mengaku, pernah merasakan film Indonesia terpuruk kemudian berjaya dan sekarat lagi. “Saat ini tanda-tanda kebangkitan film Indonesia sudah mulai terasa. Saya kira saat ini kita masih dalam proses bangkit kembali, karenanya masih fluktuatif, naik turun. Tapi apa yang terjadi akhirakhir ini adalah suatu yang baik. Saya optimis banget,” ujar Si Ibu ‘Hebring’, julukan populer Connie Sutedja karena penampilannya dalam sinetron populer “Pondokan” tahun 1990-an. Connie bisa dibilang adalah satu dari sedikit artis/aktor kawakan era 1960-an yang masih bertahan di jagad perfilman/sinetron sampai saat ini. Wanita kelahiran Tasikmalaya 10 November 1944 ini memulai debutnya pertama kali di layar perak

n n i e

S u te d j a

tahun 1965 lewat film ‘Madju Tak Gentar’ di tahun yang sama dia juga tampil dalam film ‘Langkah-langkah di Persimpangan’. Di tahun-tahun berkutnya nama wanita bernama asli Sukarni bin Sutedja ini makin berkibar lantaran setiap tahun film terbarunya tayang di bioskop. Ketika film komedi Benyamin dibuat berserial-serial meledak di pasaran, Connie pun ikut di dalamnya. “Hampir semua serial film Benyamin saya ikut kebagian peran. Di luar dugaan film-film itu meledak di pasaran, padahal ketika itu perfilman nasional sedang terpuruk,” ungkap Connie yang menjadi pemeran utama film ‘Singa Betina Dari Marunda’ tahun 1971. Film ini meledak di pasaran bahkan juga disukai masyarakat Singapura dan Malaysia. Lalu Connie pun sempat menceritakan sekelumit perjalanannya kariernya mengikuti perkembangan naik-turunnya perfilman Indonesia. Di masa jayanya film Indonesia juga bersaing dengan film impor dalam meraih penonton. Tapi kala itu, sekalipun film impor banyak beredar namun film nasional tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Yang menarik, di tahun 1970an itu ternyata masyarakat menyukai film komedi. Padahal ketika itu cerita-cerita drama begitu mendominasi. “Di awal tahun 1970-an film Indonesia sedang sekarat. Banyak film impor yang masuk. Kebetulan sutradara memiliki ide membuat film komedi ‘Benyamin Biang Kerok’ tahun 1972. Di luar dugaan film itu meledak di pasaran. Kita semua bingung, kok bisa ya. Padahal kata sutradara Nawi Ismail, dia bikin film itu ‘asal-asalan’ (ringan) saja, tapi justru meledak,“ kenangnya. Setelah dianalisa ternyata masyarakat suka nonton film komedi, film-film lucu yang bisa membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal sehingga stres pun hilang. Karena respons masyarakat yang luar biasa itu maka lahirlah film-film Benyamin berserial-serial. Itu juga sekaligus mengawali kembali kejayaan film Indonesia. Padahal dulu, lanjut mantan personil Golden Girls ini, film komedi yang dibuat Nawi Ismail ini adalah komedi ringan. Beruntung pemeran utamanya Benyamin punya kharisma yang kuat dan inilah yang membuat film komedi itu terasa hidup dan disukai masyarakat. “Dan saya ikut tampil hampir di semua serial film Benyamin,”

pada saya, kangen,” ungkap Connie. Melihat perkembangan perfilman saat ini, Connie mengaku optimis bahwa perfilman nasional akan bangkit kembali. “Tanda-tandanya” sudah terlihat, tren positif juga semakin tampak. “Jadi saya optimis sekali kerinduan semua orang bahwa film nasional akan menjadi ‘tuan rumah di negeri sendiri’ akan terwujud. Apalagi saat ini kita banyak memiliki anakanak muda yang kreatif dan berkemampuan tinggi, jadi itu (kebangkitan film nasional) bukan lah harapan kosong,” katanya.

Anwar Fuady

tambah Connie yang meski usianya menjelang 73 tahun tetap eksis di dunia akting. Sampai sekarang film-film lawas itu masih diputar di berbagai pelosok daerah lewat layar tancap. Bahkan salah satu televisi berbayar juga menyetok film-film lawas tersebut untuk para pelanggan yang merindukan film lama. “Saya saja sampai heran, film saya ‘Singa Betina dari Marunda’ yang rilis tahun 1971 ada di tv berbayar itu. Saya sampai ketawa ngeliat akting saya masa itu, masih muda, badan masih lansing. Saya pakai baju harem yang ‘udelnya ke mana-mana’ hahaaha,” tutur Connie sambil tertawa ngakak. Baginya berakting di depan kamera sudah mendarah daging. Karenanya Connie mengaku tetap berakting meski usianya sudah 70 tahun lebih. Bahkan Connie juga tak merasa keberatan harus bermain sinetron stripping yang konon sangat menguras tenaga karena waktunya yang panjang. Wanita yang menghidupi dirinya dengan berbisnis barang antik—selain main sinetron--mengaku sangat merindukan bisa bermain film kembali. “Sudah lama saya tidak main film. Saya ingin sekali. Soalnya beda ya ‘ruh’ layar kaca (sinetron/FTV) dan layar lebar (film),” katanya. Beberapa waktu lalu dia sempat mendapat tawaran bermain film, namun terpaksa ditolaknya karena saat itu dia terikat kontrak dengan serial populer ‘Tukang Bubur Naik Haji’. “Itu serial stripping, jadi tidak mungkin saya tinggalkan. Jadi dengan sangat menyesal, tawaran main film saya tolak walau ingin sekali. Sekarang, kan, Tukang Bubur Naik Haji sudah selesai, saya berharap ada tawaran main film mampir

PERHATIKAN NILAI JUAL Di sisi lain Connie berharap agar pemerintah juga membantu mewujudkan hal ini dengan berbagai regulasi di semua bidang. Misalnya, pembatasan impor film asing, mendorong bioskop-bioskop menayangkan film nasional lebih lama dan lebih banyak, dll. “Saya yakin bantuan dan dorongan pemerintah akan sangat membantu dalam terwujudnya film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” katanya. Hal senada juga diungkap oleh Anwar Fuady, aktor senior yang memulai debutnya di perfilman nasional tahun 1968 lewat film ‘Manusia dan Peristiwa’. Menurutnya, dalam beberapa waktu terakhir ini telah lahir banyak film-film berkualitas yang bukan saja bagus secara kualitas namun juga disukai masyarakat. Sineas-sineas muda yang kreatif telah berhasil menggaet masyarakat Indonesia untuk menonton film karya anak bangsa. Jumlah penonton yang mencapai jutaan adalah suatu hal yang luar biasa. Hal ini harus terus ditingkatkan, kata Anwar. Ta p i t a m b a h n y a , h a n y a memperhatikan mutu film saja tidak akan bisa berjalan. Karenanya pembuat film harus juga memperhatikan’nilai jual’ film tersebut. “Film bermutu tapi tidak memiliki nilai jual, percuma. Tidak ada yang nonton. Karena itu kualitas dan nilai jual harus seiring sejalan. “ “Namun dengan adanya filmfilm yang sangat menonjol saat ini, yang berhasil menggaet jutaan penonton, hal ini menandakan para sineas muda kita sudah menjalankan itu. Mutu dan nilai jual. Jika ini konsisten berjalan, saya yakin kebangkitan film Indonesia akan segera terwujud,” ungkap mantan Ketua PARSI ini. (Diana Runtu)

B

egitu juga dengan pilihan warnanya menjadikan kebaya -kebaya ini semakin istimewa. Putih menjadi salah satu warna favorit saat memilih kebaya. Sebab palet ini mampu menghadirkan kesan bersih dan elegan. Apalagi

untuk kegiatan berbagai upacara di Bali. Agar lebih menarik dimunculkan dengan motif atau detil yang berbeda maupun dengan variasi pada warna selendangnya. Penampilan dengan warna cerahpun tetap menarik dengan kesan ceria dan dinamis untuk melakukan kegiatan.

Begitu juga kebaya dengan payet bunga atau bordir bunga untuk kesan feminin. Selanjutnya penyematan aksesori dengan desain tradisional tampil sebagai pemanis kebaya. Selain itu, lanjut Ketua Asbest Kota Denpasar ini, warna dan model kebaya menentukan keindahan kebaya saat dikenakan. Warna kebaya yang cocok dengan warna kulit dan sesuai dengan karakter diri akan sangat elegan dan menyatu dengan yang mengenakan dan kecantikannya pun semakin terpancar. (Sri Ardhini)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.