24
Sudut Pandang
Edisi 930/ 5 - 11 DESEMBER 2016
Percaya Tuhan Pasti Beri yang Terbaik Aria Indrawati boleh dibilang beruntung. Di negeri yang masyarakatnya masih kental perlakuan diskriminatifnya pada kalangan disabilitas, Aria yang tunanetra berhasil mencapai pendidikan tinggi bahkan lulus sebagai sarjana hukum di sebuah perguruan tinggi swasta. Untuk mencapai hasil itu bukan hal yang mudah.
B
ukan karena otaknya tak mampu mencerna pelajaran di sekolah umum, tapi lebih kepada penolakan pihak sekolah untuk menerimanya sebagai murid. Untuk membuktikan dirinya mampu, Aria yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) bukan saja harus bermental baja, tapi juga belajar super keras agar mendapat nilai baik dalam semua pelajaran di sekolahnya. Usahanya tidak sia-sia. Aria pun menjadi salah satu siswa berprestasi di sekolahnya dan berhak masuk ‘kelas teladan’, yakni kelas tempat berkumpulnya siswa-siswa pintar di sekolah itu. Sejak saat itu ‘mata’ orang-orang di lingkungan sekolahnya ‘terbuka’ bahwa Aria lebih dari sekadar mampu dalam menyerap pelajaran di sekolah umum. Nilainilai yang didapatnya pun mampu melampaui teman lainnya, dan ia pun berhasil lulus dengan predikat terbaik kedua untuk jurusan IPS. Di sisi lain, upaya Aria bukan hanya belajar giat tapi dia juga mengembangkan sikap bersahabat kepada semua temannya. Dia bukan pribadi yang tertutup. Karena itu, pada akhirnya sebagian besar orang di lingkungan sekolahnya bisa menerimanya dengan terbuka. Ketika lulus SMA, Aria kembali harus menerima penolakan dari pihak universitas negeri tempatnya mendaftar dan sempat dinyatakan lulus. Ketika tahu ia tunanetra, pihak universitas pun dengan berbagai alasan, menolaknya. “Memang tidak mudah untuk tunanetra mendapat akses pendidikan, penolakan-penolakan dari sekolah-sekolah umum sudah saya rasakan semua. Jadi ketika berhasil masuk sekolah umum, saya berupaya keras dengan belajar
Aria Indrawati
giat agar tidak diremehkan. Itulah pengalaman saya,” kata Aria yang sempat menjadi dosen di Universitas 17 Agustus. Menurutnya, tidak ada orang di dunia berkeinginan atau memilih sebagai tunanetra namun ketika hal itu terjadi pada dirinya, tak mungkin ditolak. Ia pun sempat mengalami pergolakan batin yang dahsyat sebelum akhirnya bisa menerima keadaan dan bersyukur atas anugerah Tuhan. “Aku percaya, dilahirkan menjadi seorang tunanetra bukanlah sebuah ‘kebetulan’. Tapi ini adalah rencana Tuhan untukku, dan aku percaya itu pasti yang terbaik,” ucap Aria yang kini juga aktif di Yayasan Mitra Netra sebagai Kepala Humas. Akses pendidikan untuk kalangan tunanetra, kata Aria, sampai saat ini bisa dibilang masih sangat terbatas. “Pertuni menginginkan anak-anak tunanetra di seluruh Indonesia bisa bersekolah karena sampai saat ini jika melihat data yang ada, masih banyak sekali anak tunanetra tidak dapat sekolah. Bahkan menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah keseluruhan anak disabilitas di Indonesia, termasuk tunanetra, yang bisa bersekolah hanyalah 12%,” ungkap wanita kelahiran 1965 ini. Karenanya, tutur Aria, memperoleh kemudahan akses bagi anakanak tunanetra untuk sekolah menjadi salah satu yang diminta Pertuni
kepada pemerintah. “Jadi salah satu permintaan Pertuni kepada pemerintah daerah khususnya adalah harus membawa semua anak tunanetra ke sekolah dan untuk itu harus difasilitasi dengan fasilitas pendidikan yang memang khusus dibutuhkan anak tunanetra,” katanya. Diakuinya, sejak UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disahkan dan diberlakukan, perhatian pemerintah sudah mulai dirasakan. Namun, karena UU ini masih baru, jadi memang belumlah seperti yang diharapkan. Menurutnya, ada banyak hal yang diharap Pertuni segera dilakukan pemerintah selain masalah akses pendidikan. “Layanan bank misalnya, sangat kami rasakan sekali masih terkendala. Masih ada perbedaan misalnya di bank yang sama tapi berbeda perlakuan, ada yang bisa ada yang tidak bisa. Tunanetra bisa menabung tapi tidak boleh punya ATM, dan berbagai masalah lainnya. Karena itu saat ini kami sedang mendorong OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk membuatkan guide line tentang masalah ini,” tuturnya. Hal yang juga terkait dalam kehidupan sehari-hari adalah transportasi. Sebagaimana diketahui transportasi merupakan hal yang sangat terkait dengan kehidupan sehari-hari, demikian halnya dengan tunanetra. Sayangnya fasilitas transportasi yang ada masih dirasakan belum ‘ramah’ terhadap penyandang disabilitas, khususnya tunanetra. Di kota- kota besar kebanyakan sudah memiliki fasilitas yang bisa memudahkan kalangan difabel. “Di Jakarta, yang saya tahu salah satunya adalah di Stasiun KA Gambir yang sudah memiliki fasilitas bantuan. Tapi bagaimana dengan kota-kota kecil, saya berharap hal ini diperhatikan. Saya berharap pemerintah harus mulai punya kesadaran untuk melaksanakan tugasnya, nggak usah menunggu masyarakat marah-marah dulu,” katanya lagi. Hal yang tak kalah penting adalah perhatian pada akses pekerjaan, baik itu formal maupun kewirausahaan. Pemerintah, menggelontorkan banyak dana untuk UKM, diharapkan juga mengucur pada tunanetra yang menekuni kewirausahaan. (dianaruntu@cybertokoh.com)
Gali Potensi Selama ini, keberadaan penyandang disabilitas cenderung diabaikan dalam hakhaknya. Salah satunya terkait hak hidup. Banyak yang masih memberi stigma ‘kutukan’ ataupun ‘malapetaka’ bagi mereka yang berkekurangan secara fisik maupun mental. Tak jarang, pandangan semacam ini justru datang dari keluarga dekat. Para penyandang disabilitas pun sering mengalami nasib kurang menyenangkan. Entah dikucilkan, dikirim ke panti, atau yang terburuk, dipasung. Menurut Ketua National Paralympic Commite (NPC) Kabupaten Buleleng I Komang Sarira, S.S., keberadaan UU yang mengatur hak penyandang disabilitas diharapkan mampu memberikan kesamaan dalam bidang pendidikan dengan orang normal pada umumnya. Ia menambahkan, anak dengan kebutuhan khusus jika dilatih dengan baik maka akan mampu berprestasi sesuai dengan bakat yang dimilikinya. “Kalau mereka berprestasi ini akan menjadi motivasi untuk penyandang disabilitas yang lain dan menjadi kebanggaan bagi diri sendiri dan keluarga,” jelasnya. Pada dasarnya penyandang disabilitas memerlukan pendidikan seperti layaknya anak normal, namun pandangan orangtua yang beranggapan bahwa pendidikan untuk disabilitas tidaklah begitu berguna, padahal sebaliknya bahwa pendidikan disabilitas sangatlah berguna untuk menggali potensi anak tersebut sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya dibalik kekurangan yang dimiliki. Sarira menambahkan, keberadaan Sekolah Luar Biasa di Buleleng rupanya belum mampu menyadarkan betapa
I Komang Sarira, S.S.
pentingnya pendidikan ditengah keterbatasan fisik maupun mental. Bahkan tidak jarang orangtua yang memiliki anak dengan kelainan fisik malah merasa malu dan tidak mengizinkan anaknya mengenyam pendidikan. “Bagi orangtua, untuk apa menyekolahkan anak yang memiliki keterbatasan fisik dan mental,” tambahnya. Dirinya sangat berharap kesadaran dari keluarga untuk menyekolahkan anaknya di SLB. Menurut Binpres NPC tingkat provinsi Bali tersebut dengan adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas, merupakan langkah progresif untuk menghilangkan stigma terhadap penyandang disabilitas. Tantangan selanjutnya adalah kesiapan sekolah untuk memfasilitasi siswa penyandang disabilitas. “Semoga pemangku kebijakan dapat memberikan perhatian khusus bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Semoga tak ada lagi diskriminasi di masa depan,” pungkasnya. (wiwinmeliana22@ cybertokoh.com)
Berdayakan Kaum Disabilitas agar Mandiri Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung I.B. Oka Dirga mengatakan, saat ini jumlah penyandang disabilitas di kabupaten Badung 2223 orang. “Data ini terus kami perbaharui tiap tahun. Kecacatan bisa karena disebabkan dua hal yakni kecelakaan atau emergency dan cacat dari lahir, sehingga memperbaharui data sangat penting kami lakukan,” katanya. Pelayanan kepada kaum disabilitas dimulai dari pemberdayaan. Dalam artian, pemberian pelatihan keterampilan sesuai dengan kecacatan mereka. “Tujuan dari kegiatan pemberdayaan tenaga kerja disabilitas ini untuk mendorong jiwa kewirausahaan yang mandiri pada tenaga kerja disabilitas agar menjadi unit ekonomi yang mandiri,” ujarnya. Menurut dia, kegiatan ini untuk
meningkatkan akseskecantikan. Sementara, abilitas atas kesempatan bagi penyandang disabiliats kerja bagi tenaga kerja yang permanen atau cacat disabilitas serta menciptetap, juga difasilitasi dentakan lapangan kerja bagi gan pemberian bantuan tenaga kerja penyandang alat sesuai tingkat kecadisabilitas di sektor incatan mereka. formal sekaligus menguSaat peringatan Hari rangi angka pengangguran. Disabilitas, Pemkab BaIa menambahkan, pemberdung merayakan bersama dayaan penempatan tenaga kaum disabilitas dengan kerja disabilitas ini untuk mengadakan acara syumemberikan kesempatan kuran di Wantilan DPRD yang sama tanpa diskrimiBadung. Acara diisi dennasi untuk memperoleh gan pameran hasil karya pekerjaan bagi tenaga kerja para kaum disabilitas dan disabilitas. pertunjukkan kesenian I.B. Oka Dirga Pelatihan keterampilan dari mereka. yang sudah diberikan seperti menjahit, Untuk saat ini, kata Oka Dirga, para dismengukir, menyablon, massage, dan salon abilitas memiliki kelompok sesuai dengan
kecatatan mereka. Misalnya, kelompok massage. Mereka diberikan kesempatan memakai gedung LPK di Abiansemal untuk berwirausaha. Tarif yang dikenakan kepada konsumen murni untuk kemajuan kelompok mereka masing-masing. Salah satu kelompok yang juga sudah sukses dibina, adalah kelompok menjahit di Desa Munggu. “Mereka ini sudah mandiri dan bisa menghasilkan,” ucapnya. Rencana ke depan, untuk tahun 2017, pelatihan keterampilan kepada kaum disabilitas akan lebih intensif diberikan. Selain itu, sembari menunggu aturan dari Pusat rencana akan dibuatkan Perda bagi kaum disabilitas. “Pusat masih merancang aturan untuk bisa membuat perda, se hingga kalau sudah ada perda, bisa kami fasilitasi dengan lebih baik,” kata Oka Dirga. (wirati.astiti@cybertokoh.com).
redaksi@cybertokoh.com, iklan@cybertokoh.com
cybertokoh
@cybertokoh
@cybertokoh
www.cybertokoh.com