24
Edisi 901/ 16 - 22 MEI 2016
Target Satu Juta Wisatawan Senggigi lengang. Tiga Gili sepi. Kawasan wisata alam Sembalun dan Tete Batu hening. Tidak ada lagi hiruk pikuk wisatawan yang hilir mudik berbelanja di beberapa artshop Senggigi, di restoran-restoran gili di pinggir pantai, di warung-warung penduduk di Sembalun dan Tete Batu. Demikian juga dengan objekobjek wisata lainnya. Kegiatan kepariwisataan nyaris berhenti berdetak.
P
ara guide dan pedagang asongan souvenir berbincang satu sama lain sebelum akhirnya satu per satu mundur dari harapan kehidupan pariwisata yang samar-samar, kemudian selanjutnya pulang kampung untuk bertani dan beternak kembali, mengojek dan menjadi tukang reparasi alat elektronik. Bahkan ada yang akhirnya memilih untuk menjadi TKI dan TKW. Di kawasan-kawasan wisata yang tadinya diramaikan oleh sebagaian besar wisatawan mancanegara, seperti Senggigi dan tiga gili, kini tak ada lagi wisatawan berlalu lalang. Tak terdengar lagi riuh musik dan live musik di kafekafe. Semua lesu dan ”pucat pasi”. Kalau pun ada wisatawan mancanegara yang terlihat, satu dua orang, mereka yang masih bertahan dan memang menetap di sekitar kawasan-kawasan tersebut. “Pariwisata NTB, khususnya Lombok, berada di ”titik nol”,” ungkap
Rosa Stuart, salah seorang pelaku pariwisata yang merintis pariwisata di Nusa Tenggara Barat. Inilah kondisi pariwisata Nusa Tenggara Barat ketika terpuruk pada era 1997-1998. Keterpurukan kepariwisataan NTB merupakan risiko langsung dari situasi global, maupun peristiwaperistiwa lokal yang menorehkan citra negatif bagi NTB. Misalnya krisis keuangan yang melanda dunia, krisis politik dalam negeri, serangan WTC (World Trade Center), Bom Bali, isu terorisme, atau kerusuhan massal berbau SARA di Lombok yang terjadi bulan Januari tahun 2000. “Dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat NTB khususnya sektor pariwisata,” kata Rosa. Berbagai upaya coba dilakukan oleh Pemda NTB bersama pelaku pariwisata saat itu, agar kepariwisataan tidak mati suri dan keterpurukan makin dalam. Upaya-upaya yang terus dilakukan seperti penyuluhan masyarakat,
Gili Trawangan salah satu objek wisata di NTB yang kini kembali menjadi primadona pariwisata NTB dengan tingkat kunjungan wisatawan yang sangat tinggi
meningkatkan jaminan keamanan bagi wisatawan, sambil terus melakukan promosi baik di dalam maupun di luar negeri. Kepariwisataan NTB berusaha bertahan di tengah badai, di tengah gejolak situasi sosial politik dan ekonomi dunia yang mengguncang sendi perekonomian tiap negara. Berbagai persoalan lainnya juga menghantam pariwisata NTB pada pertengahan tahun 1997, dan grafik kunjungan wisatawan ke NTB mulai menurun drastis di awal 1998. Mulai dari krisis moneter dunia yang berdampak menghantam perekonomian termasuk Indonesia dan secara khusus NTB. Sesungguhnya pada tahun 1998 pariwisata NTB sudah mulai membaik. Pemerintah Daerah NTB berupaya keras memulihkan pariwisata NTB. Namun, di tengah upaya serius Pemerintah
Bangkit dengan Modal Rp 500 Ribu Mewarisi usaha keluarga, meneruskan, dan mengembangkannya, memang kelihatan mudah. Semua itu tetap memerlukan trik dan pengelolaan yang baik. Jika tidak, bisa jadi usaha warisan yang dulunya besar malah jadi gulung tikar. Namun, lebih berat lagi jika sebuah usaha itu benar-benar dimulai dari nol, dengan modal minim. Diperlukan strategi yang lebih dahsyat untuk bisa merebut pasar. Berikut ini penuturan Ni Nyoman Ayu Upadani (40). Bu Candra, demikian sapaan
akrab ibu tiga putri ini. Ia adalah pemilik “Candra Collection”, usaha sandal berbahan kulit yang dikombinasi dengan etnik Bali di kawasan Desa Pemogan, Denpasar. Usaha ini dirintisnya bersama sang suami, I Gede Darmayasa, sejak 17 tahun lalu. “Waktu itu kami masih mengontrak kamar kos yang ukurannya hanya 3x3 meter. Tempat kami tinggal tersebut sering dibilang kapal pecah karena semuanya menumpuk disana, tempat tidur dan tempat barang-barang dagangan,” ucap Bu Candra dengan mata berkacakaca. Dari ruang 3x3 meter inilah semuanya bermula. Perempuan energik ini menuturkan, dulu ia bekerja sebagai karyawan hotel. Karena prestasi kerjanya bagus, jabatannya naik hingga menjadi guest relation officer (GRO). Setelah 8 tahun bekerja disana, ia mengandung anak pertama, dan memutuskan berhenti bekerja karena payah. Untuk mengisi kevakumannya, Ni Nyoman Ayu Upadani alias Bu Candra Bu Candra mendengan usaha sandalnya
erima penawaran iparnya (pemilik artshop) untuk membantu memasang mote pada produk-produk kerajinan seperti pada sandal dan baju. Ia juga mengkoordinir ibu-ibu lain di tempat indekos tersebut untuk mengerjakan hal yang sama. “Kan lumayan buat nambah-nambah pemasukan keluarga,” ujarnya. Sesekali waktu ia menjadi broker , membeli dan menjualnya kembali kepada tamu Jepang. “Saya jadi tangan kedua. Kadang-kadang, saya pesan sesuai permintaan pasar,” jelasnya. Setelah berjalan sekitar satu tahun, terbersit di benaknya untuk memproduksi sendiri, yang tentunya keuntungan yang didapat pasti akan lebih besar. Dengan modal Rp 500 ribu yang berhasil disisihkannya, Bu Candra dan suami memulai bisnis baru mereka, memproduksi sandal. Bu Candra mengaku banyak mendapatkan ilmu dari tukangtukang sandal yang dipesaninya. Dari sana kemudian ilmu itu dikembangkan. Pemasaran produknya hanya dari mulut ke mulut. “Saya mencoba mengontak tamu-tamu yang saya kenal dulu dan menawarkan produk saya. Hingga suatu saat di tahun 2008 saya mendapatkan undangan untuk pameran di Australia. Kesempatan itu saya manfaatkan sebaik-baiknya walaupun akomodasi harus ditanggung sendiri,” tuturnya. Kualitas produk menjadi prioritas utama yang diperhatikannya. Dari sanalah produknya dipercaya, dan terus mendapatkan pelanggan-pelanggan baru. Sembilan puluh persen
Daerah NTB dan pelaku pariwisata membangun citra ini, Lombok diguncang kerusuhan massa pada pertengahan Januari 2000. Badai itu datang menukik, menghantam dan menyapu bersih wisatawan di NTB khususnya di Lombok. Badai yang luar biasa besar itu bernama “Peristiwa 171”. Sebuah peristiwa yang mencengangkan terjadi di Pulau Lombok yang sebelumnya dikenal damai. Kerusuhan massa dengan membawa isu SARA, mengatasnamakan agama, pecah tak terelakkan. “Pariwisata NTB kembali terpuruk, nyaris mati. Butuh kerja keras untuk mengembalikan masa-masa emas pariwisata di era 1990-an.,” lanjut Rosa. Pasca peristiwa 171, Pemerintah Provinsi NTB mulai bahu membahu bersama pelaku pariwisatanya mengembalikan citra pariwisata NTB di mata dunia. produknya diekspor ke Australia, Italia, Perancis, negara Eropa lainnya. Dengan semangat dan tekad kuat “harus bisa”, pasutri ini bersamasama membesarkan usaha “Candra Collection”. Mereka rajin mengikuti pameran-pameran hingga ke Jepang dan Cina, serta mempromosikannya kepada teman-reman/relasi, juga melalui brosur. Selanjutnya, Bu Candra mulai melirik pasar lokal dengan memasok produk ke mal-mal besar di Jakarta dan Bali, persentase pemasarannya 50 persen ekspor dan 50 persen domestik. Apalagi sekarang ini “cintai dan pakai local brand” mulai gencar digaungkan. Persentase pemasaran produknya pun berbalik menjadi 70 persen domestik dan 30 persen ekspor. Meski 2 tahun terakhir ini daya beli masyarakat lesu, Bu Candra tak patah arang. “Saya berikan diskon-diskon, biar untung kecil yang penting tetap jalan,” ucapnya mencari solusi. Dalam perjalanan 17 tahun mengembangkan usahanya ini, Bu Candra mengisahkan, saat masih bermodal pas-pasan, produk sandalnya senilai Rp 14 juta pernah dibatalkan pembeli Eropa. “Saya shock waktu itu. Sudah modal pas-pasan, pembelian dibatalkan. Syukurnya ada support suami yang menguatkan saya. Dari pengalaman itu saya lebih bersemangat lagi untuk mengembangkan usaha agar lebih besar lagi. Astungkara, usaha dan kerja keras kami tak sia-sia hingga bisa seperti sekarang ini,” ujar Bu Candra. Meski sejak 6 tahun lalu suaminya mulai terjun di dunia properti di bawah bendera “Bintang Property”, namun keduanya masih saling support.
Selama masa pemulihan ini, pariwisata terus bergulir meski belum menggembirakan, namun telah tampak denyutnya kembali. Langkah-langkah taktis mendobrak terobosan untuk mengangkat kembali pariwisata NTB terus berlanjut. Perjuangan meraih kembali kejayaan pariwisata NTB tentu membutuhkan langkahlangkah yang inovatif, kreatif dan strategi yang tepat. Tahun 2008 pariwisata NTB mulai bangkit dengan ditempatkannya sektor pariwisata sebagai prioritas pembangunan di Nusa Tenggara Barat. Kebijakan politik yang diambil Pemerintah Provinsi NTB di bawah pimpinan Gubernur TGH. M. Zainul Majdi dan Wakil Gubernur Ir. H. Badrul Munir, M.M., kala itu dengan menempatkan sektor pariwisata sebagai unggulan pembangunan, menjadikan pariwisata NTB menuju kebangkitannya yang ke II dengan program Visit Lombok Sumbawa 2012. Program unggulan ini diyakini memiliki multiplier effect yang dinilai berkontribusi signifikan menekan dampak krisis ekonomi global, menghindari pemutusan hubungan kerja yang berimplikasi meningkatnya jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Program VLS 2012 dengan target kunjungan “satu juta wisatawan”, waktu itu merupakan gerakan bersama untuk menjadikan NTB sebagai sebuah destinasi yang berdaya saing di level nasional bahkan internasional. Selain itu, berbagai terobosan dalam bidang pariwisata telah mengantarkan pariwisata NTB kini berada posisi yang stabil. -Naniek I. Taufan BISNIS DAN NGAYAH SAMA-SAMA JALAN Selain menjalankan bisnis sandalnya, Bu Candra yang tergabung dalam organisasi Iwapi Badung dan KCKB (Komunitas Cinta Kamen Bali) ini juga aktif di masyarakat. Sebagai istri kelian Banjar Mekar Jaya, Pemogan, ia ngayah menggerakkan ibu-ibu PKK di banjarnya. Berbagai kegiatan dilakukan, seperti pelatihan kewirausahaan, demo masak, dan pelatihan tata rias. Sebagai pebisnis ia berprinsip, apa pun ilmu yang didapat selalu dibagikannya dengan PKK banjar. “Tujuannya, supaya ibu-ibu PKK yang tak punya pekerjaan memiliki keterampilan agar ke depannya bisa mandiri,” ucapnya bersemangat. Ia mengaku makin bersemangat karena tiap kegiatan yang dimotorinya selalu direspons antusias oleh ibu-ibu PKK. Seperti pelatihan tata rias (membuat sanggul Bali) yang dilatih oleh Salon Agung beberapa waktu lalu, langsung mereka praktikkan di rumah. Hasilnya, mereka share ke Bu Candra. Demikian halnya dengan pelatihan membuat dupa, bahkan kini ada ibu PKK yang sudah memasarkan dupa hingga ke luar Denpasar. “Ada perasaan bangga dan puas, bahwa apa yang kami bagi tidak sia-sia dan bermanfaat untuk mereka,” ucap Bu Candra yang berkomitmen mengembangkan ibuibu PKK Banjar Mekar Jaya ini. Saat ini, baru berjalan pula kursus Bahasa Inggris yang syaratnya membayar dengan sampah plastik. Ke depannya, Bu Candra sudah berancang-ancang akan mengadakan pelatihan daur ulang sampah. –Inten Indrawati
redaksi@tokoh.co.id, iklan@tokoh.co.id
mingguantokoh
@mingguantokoh
mingguantokoh
www.tokoh.co.id