Tokoh Edisi 887 | Tokoh

Page 1

24

Edisi 887/ 8 - 14 Februari 2016

Harga Bunga Naik 10 Kali Lipat Jelang Galungan, penjualan buah-buahan meningkat. Hal ini diungkapkan Ni Ketut Niarti, seorang pedagang di Pasar Batu Kandik, Denpasar. Dari pengalamannya, penjualan buah melonjak tiga hari sebelum Galungan.

P

asokan buah didapatkan perempuan asal Batu Kandik ini daru berbagai tempat, salah satunya Jawa Timur (Jatim). “Buah naga pasokannya

dari Jatim,” ujar ibu dua anak ini. Namun, cuaca yang tak menentu ini kadang membuat kiriman menjadi terlambat. Sementara itu, Nanik, seorang pedagang bunga di Pasar

Kumbasari menuturkan bunga pacar yang mengalami kenaikan paling tinggi. “Kalau hari biasa itu per kantong plastik seberat 5 kg, harganya cuma Rp 3 ribu, sekarang per kantong plastik yang sama menjadi Rp 30 ribu. Kenaikan bisa 10 kali lipat,” ujarnya. Seperti halnya Niarti, ia juga musim hujan memengaruhi kondisi bunga. Musim hujan membuat bunga pacar cepat busuk. Karena itu, pasokan agak tersendat se-

Sudut Pandang

Ni Ketut Niarti, pedagang buah di Pasar Batu Kandik

dangkan permintaan tinggi. Selain bunga, janur juga mengalami lonjakan permintaan. ”Janur saya datangkan dari Jawa karena ukurannya lebih besar daripada janur Bali. Soal harga, janur Jawa juga lebih murah

dibanding janur Bali,” ungkap Nanik Pada hari biasa, Nanik menjual janur 20 sampai 30 lonjor sedang­kan menjelang hari raya Galung­an ia bisa menjual lebih dari 40 lonjor. -Juni/Suarni

Turunkan Ego, Naikkan Perasaan

I Made Adi Surya Pradnya

Ni Made Budiasih

Hari Raya Galungan adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan sekali, pada Buda Kliwon Dungulan. Kata Galungan dalam bahasa jawa Kuno berarti menang. Makna dari perayaan Hari Raya Galungan ini adalah untuk merayakan kemenangan dharma.

Lontar Sundarigama menuliskan ngaran galungan patitis ikang yan yasa samadi galang apadang wehat kene sarwa biya karyaning jagat. Artinya, pada saat Galungan, umat Hindu beryoga. Hasil beryoga untuk membersih­kan diri dari segala cobaan dan godaan. Galungan juga bermakna kemenangan dharma

atas adharma. “Kita memerangi adharma, yang ada dalam diri kita sendiri. Ini dilakukan tiap hari. Puncaknya saat Buda Kliwon Dungulan,” ujar Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag,M.Fil.H, dosen Teologi IHDN Denpasar. Ia menjelaskan rangkaian Galungan dimulai dari Sugian Jawa (Wraspati Wage Sungsang) yang bermakna pembersihan buana agung (alam semesta), selanjutnya Sugian Bali (Sukra Kliwon Sungsang) yang berarti pembersihan dalam diri kita sendiri. Setelah itu Penyekeban (Redite Paing Dungulan), Penyajaan (Soma Pon Dungulan), dan Penampahan Galungan (Anggara Wage Dungulan). Ni Made Budiasih, S.Ag., M.Ag menambahkan pada saat Galungan, bhatara-bhatari turun dari kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan yang dilakukan di Pura,

Sanggah/Pame­rajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu. Ucapan terima kasih ke hadap­an Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning juga diwujudkan dalam bentuk penjor. Pemasangan penjor biasanya dilakukan saat Penampahan Galungan. Pada sore harinya, segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan. Mengenai penjor, Adi Surya dan Budiasih mengakui sekarang banyak penjor kreatif. “Penjor-penjor saat ini sangat kreatif. Hal terpenting dari penjor Galungan itu ada pala bungkak, pala gantung, plawa serta biji-bijian.

Penjor adalah simbol dari diri kita, yang bermakna ego diturunkan dan perasaan dinaikkan,” ujar Adi Surya. Sementara itu, I Ketut Metra, seorang pedagang penjor musiman di Br. Den Yeh, Peguyangan Kaja mengatakan mendapatkan janur dan bambu dari Petang. Ia menghabiskan modal sekitar Rp 7 juta untuk menyiapkan semua perlengkapan. “Selain menjual perlengkapan penjor saya juga sering menerima pesanan penjor yang sudah jadi, tetapi saya hanya menerima pesanan di sekitaran sini saja,” ujarnya. Biasanya empat hari sebelum Penampahan Galungan sudah banyak pembeli yang datang untuk membeli perlengkapan penjor. Kalau bahan tersisa biasanya ia titip di warung saudaranya yang menjual perlengkapan penjor. –Rukanta/Vijay/Pasek

Proses Pengenalan Agama pada Anak Dalam perhitungan kalender Bali, wuku Dungulan adalah saat yang paling dinantikan seluruh umat Hindu di Indonesia pada umumnya, tidak terkecuali keluarga kecil yang satu ini. Galungan mereka maknai selain sebagai hari raya umat Hindu sebagai bentuk perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma melainkan juga sebagai sebuah pembelajaran dan pengamalan tradisi, adat dan budaya Hindu Bali dalam keluarga kecilnya. “Berbagai persiapan kami lakukan dalam menyambut hari raya Galungan. Kami mengawali perayaan Galungan pada hari Senin yang merupakan hari Soma Pon Dungulan yang biasa disebut sebagai hari Penyajian Galungan kami sebut sebagai “harinya wanita” yang dalam tradisi keluarga kami merupakan hari untuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk menyambut Galungan,” ucap Senja Pratiwi Dananjaya. Kegiatan pada hari Penyajaan Galungan ini, lanjutnya mereka awali dengan membeli buah, dan jajan serta bahan keperluan mejejahitan. Kemudian dilanjutkan dengan membuat jejahitan berupa berbagai jenis sampian yang dilakukan bersama dengan ibu mertua dan putri sulungnya Anindhita Indivara. “Biasanya saat majejaitan anak sulung saya selalu ikut duduk dan menemani kami sambil bertanya tentang berbagai jenis jejahitan yang kami buat. Ada ketertarikan dan keinginannya untuk membantu kami bahkan dia juga suka bertanya

kenapa Galungan dirayakan? Mengapa melakukan persembahyangan dan menghaturkan sesajen di berbagai tempat?” ujarnya dan mengatakan tak lupa dalam kesempatan tersebut, ia manfaatkan dengan baik karena merupakan saat terpenting untuk mendidik, memberi pengenalan dan pembelajaran Agama Hindu di Bali dengan tradisi, adat dan budaya yang terkandung didalamnya. Hari berlanjut menuju Anggara Wage Dungulan atau yang biasa kita sebut sebagai hari Penampahan Galungan. Hari ini dalam keluarganya disebut sebagai “harinya pria” walaupun tidak didominasi karena persiapan Galungan masih terus berlanjut, namun pada saat Penampahan Galungan, suami dan ayah mertuanya sudah mulai melakukan persiapan juga. Membuat penjor adalah kegiatan pertama yang dilakukan, seni tradisi dan budaya terlihat jelas. Antusias anak keduanya, Madhava Devarha membuat persiapan dan perayaan Galungan menjadi lebih berwarna. “Walaupun belum dapat membantu dan terkadang membuat “kericuhan kecil” namun ketertarikannya merupakan pembelajaran sejak dini apa dan bagaimana Galungan itu dirayakan. Setelah selesai membuat penjor, kegiatan Penampahan Galun-

Senja Pratiwi Dananjaya dan keluarga

gan dilanjutkan dengan “ngelawar”. “Walaupun suami dan ayah mertua saya tidak melakukan ritual “nampah” tapi esensi dari Penampahan Galungan tetap terjaga. Diawali dengan pembuatan bumbu-bumbu dan kemudian meraciknya sampai pada tahap “mebat” adalah hal yang tidak terlewatkan,” papar ibu tiga anak ini. KESEIMBANGAN HIDUP Pada Hari raya Galungan, keluarga Senja sudah mulai bersiap-siap dari pukul 04.00, dan mulai melakukan ritual menghaturkan sesajen dan sarana upakara, yang biasa disebut “mebanten”. Setelah mebanten di rumah dilanjut-

kan menuju “Merajan Ageng” yang terletak di rumah kakek dari sang suami. “Walaupun Merajan Ageng ini letaknya tidak lebih 200 meter dari kediaman kami, tapi kami sudah terbiasa menyebutnya dengan istilah “pulang kampung”. Di sana melakukan ritual yang hampir sama dengan di rumah. Yang berbeda adalah Situasinya yang sangat ramai karena dikunjungi saudara dan kerabat, baik untuk melakukan persembahyangan maupun sekedar bersenda gurau. Terasa sekali suasana hari raya Galungan,” terangnya Setelah menyelesaikan segala ritual persembahyangan di Merajan Ageng, tidak lupa kita melakukan “road show” istilah ini memang sangat familiar dalam keluarganya untuk menyatakan sekarang saatnya melakukan persembahyangan keliling ke PuraPura sebagai perwujudan “sembah bhakti lan matur suksma ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa”. Pura-Pura itu terletak berdekatan dengan rumah mulai dari Pura Dalem Balun Sesetan, Pura Panti, Pura Banjar dan Pura Kahyangan Tiga. Selain itu Senja dan keluarga masih melanjutkan persembahyangan di Padmasana Pura Unud karena kebetulan ia, suami dan ibu mertuanya merupakan dosen yang mengabdikan diri di Unud.Sebelum sore hari biasanya mereka telah menyelesaikan seluruh

“road show” yang diakhiri dengan persembahyangan di Puri Candi Narmada. “Setelah selesai kami ngelungsur banten bersama-sama. Anak sulung yang paling bersema­ ngat karena dia merasakan bahwa hari raya Galungan adalah hari raya dimana kita bisa melihat betapa Ida Sang Hyang Widi Wasa melimpahkan segala anugerahnya dan kita wajib mensyukuri dengan segala apa yang ada,” ujarnya Perkataan putrinya ini pula yang membuatnya sangat bangga sebagai orang tua karena sedari kecil sudah menyadari apa arti dari keseimbangan hidup yang tidak diukur hanya dengan bersenang senang saja, melainkan dengan menghaturkan yadnya suci sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan yang diberikannya. “Hal yang dilakukannya pada saat ngelungsur adalah dengan memisahmisahkan jenis buah maupun kue ketempat yang telah saya pesiapkan, selain sambil menikmati juga sembari menunggu “sekaa” anak anak kecil dari banjar kami untuk melestarikan budaya ngelawang,” katanya. Hiburan ini, lanjut Senja menjadi tontonan yang seru bagi keluarganya, terutama anak –anaknya mengetahui betapa luhurnya budaya yang diwariskan kepada generasi ini. Sebagai penghargaan atas seni yang ditampilkan, layaknya pertunjukan seni keliling, banyak warga lain juga ikut menyaksikan dan memberikan sesari sebagai wujud apresiasi yang luar biasa. – Sri Ardhini

redaksi@tokoh.co.id, iklan@tokoh.co.id

mingguantokoh

@mingguantokoh

mingguantokoh

www.tokoh.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Tokoh Edisi 887 | Tokoh by e-Paper KMB - Issuu