24
What’s Up
Edisi 878/ 7 - 13 Desember 2015
Dari Transmigran Jadi Pengusaha Kehidupan masyarakat di Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat di Kabupaten Bima dan Dompu, yang berdasarkan hasil penemuan Balai Arkeologi Denpasar terhadap benda-benda yang diperkirakan milik warga perkampungan yang tertimbun material gunung Tambora yang meletus tahun 1815, teridentifikasi sebagai masyarakat yang makmur. Tanah subur itu lenyap tak berbekas dihantam aliran piroklastik dari letusan gunung Tambora.
D
ua abad yang lalu, tanda-tanda kehidupan itu mati seketika. Kaki gunung Tambora, khususnya yang berada di bagian barat ini, akhirnya hanya meninggalkan sisa gundukan tumpahan lahar dan material yang menurut Igan S. Sutawijaya, geolog yang pernah meneliti sisa letusan Gunung Tambora, diperkirakan mencapai 150 kilometer
kubik, membuat denyut jantung kota di Kerajaan Tambora yang berjarak sekitar 25 kilometer di arah barat dan Kerajaan Pekat yang berjarak sekitar 30 kilometer dari gunung Tambora bagian barat arah selatan itu melemah. Sejak itulah wilayah kaki Gunung Tambora ini lalu “tertidur” dalam waktu yang sangat lama. Tanda-tanda kehidupan nyaris tidak ada. Menu-
Wisma Darussalam di Kadindi, penginapan milik H. Syahbuddin seorang transmigran yang sukses
rut Sekretaris Daerah Kabupaten Dompu, H. Agus Bukhari, di wilayah Pekat hanya ada beberapa warga yang mendiami wilayah ini di beberapa tempat saja. Mereka tinggal terpencar di lokasi-lokasi yang memungkinkan untuk membuat rumah-rumah, tidak terkonsentrasi di satu tempat. Hingga akhirnya tanda kehidupan yang jelas itu mulai tampak kembali ketika di tahun 1970. Wilayah ini dibuka untuk ditempati melalui program transmigrasi yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, tahun 1970. inilah pertama kalinya wilayah kaki Gunung Tambora bagian barat, hutan-hutannya dibuka kembali setelah lebih dari 150 tahun “mati”. Salah satu transmigran yang mengikuti program transmigrasi pertama ke wilayah ini adalah H. Syahabuddin asal Lombok Timur. Kisah perjuangan membuka hutan belantara yang lebat dengan pepohonan yang rindang adalah tantangan tersendiri bagi H. Syahabuddin dan para transmigram asal pulau Lombok yang waktu itu berjumlah 177 orang. Mereka sengaja didatangkan untuk membuka wilayah ini dan menempatinya hingga hari ini. Kesuburan areal kaki gunung Tambora bagian barat ini mengantarkan para petani transmigran ini sukses mendapatkan kehidupan yang layak. Sebagai salah seorang pionir/transmigran yang pertama kali membuka dan menempati wilayah yang kini bernama Kadindi ini berkembang dengan begitu baik sehingga menjadi sebuah kecamatan bernama Pekat. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di lokasi ini, ia tercengang
melihat hutan belantara yang begitu lebat, karena di sanalah ia akan tinggal. Ia akan tinggal di antara semak belukar. “Melihat kondisi itu, saya hampir saja ingin lari pulang kembali ke Lombok dan membatalkan niat transmigrasi waktu itu,” ujarnya. Namun nasib membawanya kini menjadi warga Kadindi Dompu. Di tengah segala keterbatasan yang amat sangat, Syahbuddin mulai bekerja keras untuk menjadi petani yang sukses sejak pembagian jatah tanah yang diserahkan kepada masing-masing transmigran seluas dua hektare di tahun 1971, setahun setelah mereka berhasil membuka hutan belantara ini. Atas kesabaran dan kerja kerasnya, Syahbuddin yang akhirnya memboyong istri dan anak-anaknya untuk tinggal di Kadindi ini, bersama-sama bekerja keras menggarap dua hektar lahan tersebut. Meski banyak yang tidak sabar tinggal di sini lalu menjual lahan-lahan jatah mereka, namun Syahbuddin dan keluarganya memilih menetap dan tidak lagi ingin kembali ke Lombok melainkan fokus bekerja menggarap lahan yang diberikan oleh pemerintah itu. “Tanah ini demikian subur sekali, sampai-sampai saya tiap tahun dapat membayar tanah-tanah yang jatah transmigran lain yang dijual,” ujarnya. Tanah-tanah itu pun kembali ia garap dan seluruhnya menghasilkan. Hal inilah yang menjadikan ia sebagai salah seorang transmigran yang sangat sukses. Ia menjadi salah seorang petani yang sukses di Desa Kadindi hingga akhirnya berkembang menjadi pengusaha transportasi, hingga memi-
H. Syahabuddin
liki penginapan. Itu tidak diraihnya dengan mudah melainkan telah melewati kerja keras dan menempuh masa yang cukup panjang. Bahkan bus-bus yang pertamakali menghubungkan Kadindi dengan desa-desa lainnya hingga ke Dompu pernah dimiliki oleh Syahbudin. Ia kini memiliki puluhan hektare lahan yang terus menghasilkan. “Dulu awalnya saya hidup penuh perjuangan, kini saya menikmati hasilnya. Kuncinya adalah sabar dan mau menerima kesulitan apapun yang dihadapi dengan keikhlasan,” katanya. Kini, selain memiliki banyak aset, Syahbuddin juga menjadi salah seorang tokoh Kadindi yang disegani. -Naniek I. Taufan
redaksi@tokoh.co.id, iklan@tokoh.co.id
mingguantokoh
@mingguantokoh
mingguantokoh
www.tokoh.co.id