Tokoh Edisi 876 | Tokoh

Page 1

24

What’s Up

Edisi 876/ 23 - 29 November 2015

Pengalaman Guru Modeling

Tidak Ada Model Instan Mengembangkan usaha sekolah modeling ternyata gampanggampang susah. Hal ini diakui oleh Ari Agung, model senior Bali, pemilik Montana Modeling sejak tahun 1983 ini. Banyak hal yang mesti dikuasai seorang model, bukan hanya sekadar lenggaklenggok. Apalagi untuk bisa sukses mengotimalkan citra produk yang akan ditampilkannya.

P

embentukan kepribadian pun sangat penting agar bisa mencuri perhatian penonton. Model juga harus disiplin dan beretika.Karena itulah Ari Agung menjelaskan pentingnya sekolah model. Walaupun seseorang sudah memiliki bakat sebagai model, akan lebih baik apabila dibekali dengan pendidikan menjadi model.”Jika hanya punya bakat tapi tidak punya kemampuan, calon model tersebut tidak akan bisa memenuhi kebutuhan untuk menjadi seorang model profesional,” terangnya. Pada masanya Ari Agung dikenal sangat ketat dan on time. Para model tidak

boleh diantar orangtuanya. Namun, usai show dia akan mengantarkan semua modelnya sampai ke rumah masingmasing. “Saya tidak memberikan izin melanjutkan kegiatan lain setelah kami selesai show. Ini tanggung jawab kami pada orangtua mereka. Hal ini juga untuk menepis persepsi salah dari masyarakat dengan kesan negatifnya,” katanya Ari Agung mengatakan kelas modeling yang dibukanya saat sebelum bom Bali pertama tahun 2002 muridnya tergolong banyak. Namun setelah kejadian bom, perlahan murid–muridnya mulai menyusut. “Tdak berhenti namun tidak terlalu ramai,” cetusnya sampai akhir­

Pengabdian Guru Nila

Nila dalam ruangan kelas ketika mengajar anak-anak dusun di SDN Tambora

Mengajar di sekolah yang berada di tengah kebun kopi yang dikelilingi hutan di kaki Gunung Tambora, adalah pengalaman tersendiri dalam pengabdian Nila Wijiastuti sebagai guru honorer di SDN Tambora di Desa Oibura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. 50 murid yang berasal dari perkampungan sekitar kaki Gunung Tambora yang menuntut ilmu di sekolah terpencil dengan segala keterbatasan ini adalah penghibur bagi Nila. Hari-hari guru muda berusia 30 tahun ini adalah mengajar meski ia harus keluar masuk hutan dari dan menuju tempat tinggalnya di Dusun Pancasila Desa Tambora Kecamatan Pekat, Dompu NTB. Lulusan IKIP PGRI Jember ini begitu mencintai profesinya sebagai guru di sekolah terpencil seperti ini, demi mengantarkan ilmu bagi anak-anak dusun di sekolah ini. Delapan tahun terakhir Nila merelakan waktu dan tenaganya untuk mengabdi sebagai guru sukarela di sekolah nan jauh di ujung utara Pulau Sumbawa ini dengan ikhlas. Tidak banyak orang yang mau bersusah payah keluar masuk hutan seperti halnya Nila untuk mengajar dengan penuh keikhlasan di sekolah yang serba terbatas dan tidak menjanjikan kenyamanan fasilitas ini karena banyak sekolah yang lebih baik dan mudah dijangkau. Beberapa guru yang ditempatkan di sekolah ini, menurut Nila biasanya hanya datang satu atau dua kali saja saat pertama kali ditugaskan, lalu setelah itu nyaris tak pernah kembali lagi ke sekolah yang jarak tempuhnya 6-7 jam dari Kota Dompu dan Bima ini. “Kasihan anak-anak Tambora jika tidak ada guru yang mau mengajar mereka,” ungkap Nila tentang mengapa ia bergitu bersemangat mengajar meski harus menghadapi kesulitan-kesulitan

dalam pengabdiannya ini. Meski hanya sebagai guru honorer sejak tahun 2007 hingga kini, Nila menerima pengabdian ini sebagai bagian dari keinginannya melihat anak-anak dusun tersebut bisa mendapatkan pendidikan seperti halnya anak-anak lain di kota-kota. Meski medan jalan menuju sekolah ini terbilang berat, terutama di musim hujan, tidak membuat Nila menyerah. Hujan yang datang akan membuat jalan tanah berukuran kecil dan di bagianbagian tertentu bisa dibilang setapak ini, menjadi sangat licin dan berbahaya bagi keselamatannya, namun tidak membuat semangatnya surut. Ia terus memacu sepeda motornya, menaklukkan jalanan licin tersebut demi sebuah pengabdian. Ia bertekad harus sampai di sekolah ini tiap hari. Hanya karena alasan yang luar biasa saja yang membuatnya tidak hadir di sekolah. Jalan licin dan berbahaya, bukan perintang bagi guru dengan honorer tak seberapa dibandingkan gaji dan tunjangan sertifikasi guru di masa ini, dalam mengabdi bagi dunia pendidikan. “Kalau saya tidak masuk sekolah, kasihan anak-anak jadi tidak bisa belajar,” katanya. Tentu saja ini menjadi beban tanggung jawab tersendiri bagi Nila mengingat anak-anak yang bersekolah di SD ini juga datang dari kampungkampung sekitar hutan tersebut (Kampung Timur, Kampung Bali dan Dusun Tambora) dan guru yang mengajar di sekolah ini hanya lima orang termasuk di dalamnya juga Kepala Sekolah. Mereka juga menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah tidak mudah. Keterbatasan membuat mereka harus berjalan kaki dan berjuang melewati hutan dan jika hujan tiba, tidak jarang mereka basah ketika sampai di sekolah. -Naniek I. Taufan

nya beberapa tahun terakhir Ari Agung memilih mendidik secara privat. Teknik mengajar modeling yang biasa digunakannya ketika mengajar di kelas selama ini adalah standar mengajarnya seorang Titik Qadarsih. Ada senam kaki, senam tangan dan calon model pun mesti mengenakan baju senam.“Untuk menjadikan seorang model yang berkualitas dan terdidik tidak mudah. Semua dilakukan perlahan termasuk dalam menggunakan alat-alat bantu, agar langkah lebih lurus serta badan yang luwes dan indah di atas catwalk. Semuanya menuntut disiplin yang ketat tidak ada yang instan. Sebab, selain ekspresi, kelenturan tubuh penting untuk di foto atau pemotretan,” paparnya sambil menambahkan untuk kepribadian mereka juga diberikan pelatihan seperti cara berdiri, duduk, naik tangga, hingga cara berkomunikasi dan tata busana juga wawasan lainnya agar menjadi diri sendiri yang hangat, ramah dan beretika

Ditanya suka dan duka sebagai guru modeling, ibu dua anak ini mengatakan, baginya bisa mendidik calon model dengan benar adalah sebuah kebahagiaan. Sebab, ia bisa membentuk setiap model mampu tampil percaya diri dan berhasil memunculkan karakternya masing-masing. “Cobalah perhatikan model-model catwalk yang dulu dengan sekarang,” katanya. Bicara duka, dikatakannya yang sangat diingat adalah saat-saat awal membuka sekolah modeling. “Kala itu dunia model dan semua yang ada di dalamnya, oleh sebagian masyarakat masih mendapat cap negatif dan dianggap tak jauh dari dunia glamor, kelas premium bahkan ada yang menganggap tidak ada unsur edukasinya,” ujarnya. “Saat ini juga kami tidak bisa lagi mengajar seperti dahulu. Sebab anak sekarang susah diberi pengarahan. Mereka cepat bosan, tidak mau belajar dari awal tapi ingin cepat jadi model dan langsung ikut fashion show. Apalagi kalau dia merasa

Ari Agung

tinggi dan cantik maunya segera diajak show meskipun jalannya belum lurus dan belum luwes juga,” lanjutnya. Masih soal anggapan yang miring terlanjur melekat tersebut, menurut pemilik Montana Modeling ini anggapan itu salah. Sebab, terjun di dunia modeling justru mendatangkan dengan berbagai manfaat sekaligus memiliki nilai edukasi. Kalau pun ada yang kurang baik itu berpulang kembali pada oknumnya. – Sri Ardhini

Soroti Pengangkatan Guru Setahun dua tahun terakhir ini tak ada pengangkatan guru. Meski demikian minat masyarakat memilih profesi guru dengan melanjutkan ke sekolah keguruan, masih bagus. “Tak ada perubahan signifikan. Kalau pun angkanya menurun sedikit itu masih wajar. Tahun lalu kami menerima mahasiswa baru 700an, tahun ini 625 orang, jadi menurut saya ini masih stagnan,” ujar Rektor IKIP PGRI Bali Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum. Menurutnya, respons masyarakat ini tak lepas dari makin diperhatikannya nasib guru oleh pemerintah, dengan adanya sertifikasi guru. Namun di sisi lain, Made Suarta menyoroti tentang pengangkatan guru. Baginya, guru dan tenaga medis itu harus diangkat, tidak bisa tidak. “Pengangkatan pegawai mungkin saja bisa ditunda, tetapi yang terkait dengan kesehatan, terkait dengan kecerdasan bangsa, itu tak bisa ditunda. Guru harus diangkat. Hanya saja cara/sistemnya ada yang diangkat berdasarkan sistem kontrak, guru tidak tetap, ataupun guru tetap. Yang jelas kebutuhan akan guru tak akan pernah berhenti,” ujarnya. Suarta menegaskan, fakta di lapangan, banyak sekali guru yang pensiun. Jadi, pertimbangan ini (pengangkatan guru) menurutnya tak bisa ditawartawar lagi, karena guru berkaitan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia mengatakan, di IKIP PGRI Bali, rata-rata per tahun menamatkan 1.000 calon guru, itu pun 50 persennya sudah bekerja. “Sisanya yang 50 persen itu bisa mengisi guru-guru yang pensiun itu,” ujarnya. Sebetulnya kekurangan guru merupakan gejala nasional, realita di lapangan termasuk di Bali. Berdasarkan informasi dari media cetak pun, mulai dari Jembrana, Buleleng, Tabanan, Gianyar, Klungkung, dan hampir di setiap kabupaten/kota di Bali itu kekurangan guru. Angkanya tak lagi puluhan, namun sudah ratusan di masing-masing kabupaten di semua jenjang pendidikan. Terkait dengan hal tersebut, Suarta yang vokal berteriak agar “pemerintah tidak menutup mata dan telinga” akan krisis guru di setiap kesempatan termasuk di media ini, kini bisa tersenyum lega. Paling tidak, pemerintah melalui media cetak telah menyikapinya dengan wacana akan mengangkat guru yang akan aktif per 2016 ini, termasuk guru Bahasa Bali. “Katanya pengangkatan guru akan dilakukan secepat mungkin dan akan dimanfaatkan tenaganya tahun ajaran 2016. Ini bagian dari sikap pemerintah yang sudah membuka mata dan telinga,” ujarnya sumringah. Dari pengamatannya, di sekolah-

sekolah yang kekurangan guru, kepala sekolah mengambil kebijakan dengan mengangkat guru-guru honorer, guru tidak tetap (GTT) yang mengajar di sekolah tersebut. “Dalam hal tanggung jawab, GTT itu berbeda dengan guru tetap. Guru tetap, selain mengajar dia juga mendidik dan terlibat penuh, sementara GTT tak sejauh itu. Tapi mungkin saja tak semua GTT seperti itu,” ucapnya. Jika saja pemerintah komitmen dan konsisten dengan ucapannya dalam rangka peningkatan kualitas, tentu pengangkatan guru tak bisa diabaikan.

Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.

Bagaimana kita berbicara kualitas, sementara salah satu komponen/bagian dari peningkatan kualitas adalah guru saja masih kurang. “Di sisi lain, pemerintah menuntut peningkatan kualitas. Ini sudah tak relevan. Yang namanya guru, apalagi guru mengajar rangkap, apalagi guru mengajar tidak sesuai dengan bidang studi, janganlah berbicara kualitas di sana. Karena dengan mengajar rangkap sudah otomatis konsentrasi guru terpecah, tentu bisa dibayangkan kualitas apa yang diharapkan dari situasi seperti itu. Di sinilah pemerintah harus segera menyikapi kekurangan guru ini,” tegasnya lagi. Namun, Made Suarta optimis, tahun depan respons masyarakat akan makin bagus lagi seiring dengan adanya wacana yang diembuskan Wagub belum laam ini. “Pasti ada angin segar bagi dunia keguruan. Tidak ada pilihan lain, harus ada pengangkatan guru. Lucu kalau kita berbicara kualitas, tapi SDM/tenaga gurunya tidak ada. Sehebat apapun sarana prasarananya, jika yang menggerakkan (guru) tidak ada, mau bagaimana?,” ungkapnya. Kalaupun nantinya ada pengangkatan guru, Suarta berharap tak ada kepenti­ ngan politis di dalamnya. Pengangkatan guru tak boleh sembarangan, harus disesuaikan dengan kebutuhan. “Kalau saja pemerintah konsisten setiap tahun mengangkat guru, tentu tak akan terjadi seperti ini,” tandasnya. –Inten Indrawati

Email: redaksi@tokoh.co.id, iklan@tokoh.co.id

mingguantokoh

@mingguantokoh

mingguantokoh

Website: www.tokoh.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.