24
Edisi 862/ 17 - 23 Agustus 2015
redaksi/iklan/langganan: tlp. (0361) 425 373, 416 676; faks. (0361) 425 373; e-mail: redaksi@tokoh.co.id, iklan@tokoh.co.id; website: www.tokoh.co.id
Pande
Nyoman
Ge d e
What’s Up
M a r u t h a
Rintis Industri Kerajinan Endek di Gianyar
nal sebagai salah satu pabrik tenun yang produksinya luar biasa besar dengan pegawainya yang mencapai ribuan orang.
Begitu pula dengan alat tenun bukan mesin yang digunakannya ketika itu adalah hasil buatan Pekak Togog sendiri. Kebisaannya ini, katanya
diperoleh karena ia bukan hanya sempat mengenyam pendidikan mengenai tekstil dan pewarnaan di Bandung sekitar tahun 1952 yang
Kota Gianyar merupakan ibu kota dari Kabupaten Gianyar, dan dikenal sebagai jantung seni Bali. Pujian mengenai potensi wisata Gianyar tidak hanya datang dari dalam negeri, akan tetapi juga dari mancanegara. Salah satunya karena di kota ini tersimpan salah satu kekayaan lokal, tenun ikat Bali yang lebh dikenal dengan sebutan endek.
M
enyebut nama kriya tenun asli Bali di Kabupaten Gianyar, tentu tak lepas dari keberadaan sosok yang yang penuh kreativitas ini, Pande Nyoman Gede Marutha (90) yang akrab disapa Pekak Togog. Ia adalah pendiri dan pemilik “Tenun Cap Togog” yang ada di kawasan Jalan Astina Utara, Gianyar. Betapa tidak, sejak tahun 1953, Cap Togog sukses berproduksi. Tenun Togog dirintis oleh Pekak Togog, di masa jayanya bersama usaha endek milik keluarganya yang lain yakni Cap Chili serta Putri Bali. Cap Togog dike-
Belum Jegeg kalau Belum Mengenakan Endek Cap Togog
Belakangan, promosi endek kembali gencar dilakukan oleh tiap pemerintah daerah termasuk Gianyar. Alhasil, endek kini mudah ditemukan di mana-mana serta dengan bangga dipakai siapa saja. Usaha yang sebelumnya sempat mati, perlahan kembali menggeliat. Hanya saja kali ini pasarnya beralih ke pasar lokal. Kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk lokal yang semakin tinggi menjadi peluang tersendiri. Tak hanya itu, kelemahan endek yang sebelumnya ada sambungan juga mulai bisa diatasi. Ia mengatakan kualitas produk kain tenun ikat sangat ditentukan oleh tiga unsur utama, yaitu bahan baku, pewarnaan dan desain. Dalam hal desain para pengrajin kain tenun ikat di Bali masih dapat bersaing dengan desain dari negara lain. Sebab yang berperan di sini adalah tangan dari penenunnya dengan unsur seni dan perasaan yang dituangkan di dalamnya. Inspirasi awal biasanya ia peroleh dari bentuk bentuk rumah bali candi, candi kurung dan candi bentar. Kemudian berkembang dengan gambar-gambar lain yang menjadi inspirasinya tidak ada di Bali tapi adanya di Mesir, makanya ada motif yang disebut Kute Mesir. Diakui oleh Pekak Togog yang masih penuh semangat ini, pesatnya perkembangan kain tenun ikat khas Bali menjadi t a n t a n ga n b e s a r bagi masyarakat Bali untuk menjaga kelestariannya. M a sya ra k a t B a l i juga ha rus ajeg , tetap memperhatikan aturan penggunaan kain tersebut. Namun, masalahnya dengan tingginya harga bahan baku yang 100% impor dan juga pengerjaan
yang masih secara tradisional, membuat produk ini semakin lama semakin sulit bersaing. Produksi menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) membuat produksi menjadi terbatas. Sebuah benang sampai akhirnya bisa menjadi selembar kain prosesnya bisa mencapai satu bulan. Karena itu jumlah produksi juga sangat terbatas. Proses yang panjang, bahan baku yang semuanya impor membuat endek harganya menjadi lebih mahal dibandingkan dengan produk tekstil lainnya. Di samping bahan baku, keterbatasan penenun juga menjadi masalah yang masih harus dihadapi hampir seluruh pengrajin. Saat ini, kata laki-laki yang sudah sangat lama bergelut dengan benang serta pewarnaan kain tenun ini sulit mencari anak muda yang mau belajar menenun. Semua penenun yang bekerja padanya merupakan orang-orang tua. Ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri karena akan kesulitan mencari regenerasi. Kini karena faktor usia pemilik dan kuranganya tenaga penenun, meski tidak sebanyak dahulu tapi masih tetap berproduksi dengan empat orang tenaga penenun yang senior dan andal demi mempertahankan keberadaan endek Cap Togog yang khas dan berkualitas sekuat tenaga. Ia berharap generasi muda tidak lupa pada sejarah, karena baginya sejarah itu
guru tertinggi. Namun, dengan penuh antusias ia menyatakan sebenarnya kalau orang mau belajar untuk bisa memeproduksi seperti Cap Togog, punya warna khas dan tidak luntur. “Nda perlu ngintip-ngintip. Datang langsung belajar dan saya mau dan sanggup ngajar, cukup 3 bulan saja pasti bisa,” cetus Pekak Togog yang mengaku semangatnya ini karena merasa almarhumah sang istri serasa masih bersamanya dan mensupportnya. Ia juga menyebutkan endek yang dihasilkan dari industri endek di Bali rata-rata masih menggunakan motif dan desain tradisonal, yang beberapa di antaranya hanya digunakan pada saat upacara adat. Kain-kain berbahan dasar katun, sutera dan rayon, yang diproduksi dengan keterampilan tinggi, yang disebut wastra dalam adat Bali, berperan sangat penting dalam upacara-upacara adat. Sejak lahir sampai meninggal, mulai pagi hari ketika matahari terbit sampai terbenam, orang Bali menjalani kehidupannya dengan berbagai upacara adat. Hingga di masanya ada slogan yang beredar di masyarakat menyebutkan, “Jika perempuan tidak pakai Cap Togog tidak bisa kelihatan jegeg dan laki-lakinya tidak bagus.” -ard
dibiayai oleh persatuan tenun Indonesia, juga rajin mengikuti berbagai kursus terkait usahanya. Karena itu, semua jenis warna sudah pernah dikerjakannya. Salah satunya warna biru unik bernama indigo yang sulit ditiru oleh pengrajin lainnya. Menurut ayah 8 anak ini, beberapa tahun silam, endek sempat menjadi salah satu produk andalan Bali. Di era 1970 hingga tahun 1980an, produksi songket, endek sempat mendomonasi pasar kain, bukan hanya di pasar nasional bahkan begitu dikenal di pasar internasional, hingga dunia ekspor. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya perusahaan tenun Cap Togog, Cap Chili, dan Putri Bali, juga beberapa perusahaan tenun lainnya ketika itu. Dikatakan oleh suami dari Pande Putu Srinadi, bahwa produk yang dihasilkan para pengrajin tradisional sebagian besar justru lebih banyak dipasarkan di pasar ekspor dibandingkan dengan pasar lokal. Pengerjaan endek dengan tangan merupakan salah satu eksklusivitas yang selama ini digunakan sebagai strategi branding, mengingat produk hand made biasanya identik dengan craftmanship. Pada umumnya pola hiasan pada kain endek utamanya adalah unsur flora dan fauna, wayang, serta kombinasi dari berbagai pola. Ada juga pola dari dongeng-dongeng suci atau mitologi Bali. Motif tersebut memberikan ciri khas tersendiri pada kain endek dibandingkan dengan motif-motif kain pada umumnya. Salah satu warna istimewa yang diproduksi Cap Togog adalah indigo, warna biru tua keungu-unguan, warna yang tidak mudah dibuat oleh pengrajin lain. Sebagai bagian dari budaya masa lampau, kain endek juga biasa dikenakan saat melakukan ritual adat masyarakat Bali. Selain itu kain endek hasil kerajinan tangan dengan menenun ini, sekarang bisa kita lihat dikenakan sebagai uniform oleh karyawan PNS maupun instansi swasta di Bali. –ard