24
What’s Up
Edisi 855/ 29 Juni - 5 juli 2015
Kreativitas Hindari Monoton Pesta Kesenian Bali masih menjadi tujuan bagi masyarakat. Hal ini diungkapkan Luh Gede Herryani, S.H., M.Kn. Menurutnya taksu PKB yang dimulai tahun 1979 dan digagas Gubernur Bali ketika itu Prof. IB Mantra sebagai wadah memamerkan kreativitas pengrajin dan aspirasi berkesenian Bali gaungnya masih sangat kuat.
A
jang yang tahun ini digelar untuk ke37 kalinya ini bisa diartikan program pemerintah untuk menggencarkan promosi kerajinan lokal dari usaha kecil menengah daerah. “Kehadiran PKB hingga saat ini masih mendapat respons positif, melihat cukup ramainya pengunjung lokal dan dari luar Bali. Perannya untuk mempromosikan kesenian dan produk unggulan Bali memang tak bisa terbantahkan, meski masih ada yang mengeluhkan persembahan keseniannya belum banyak berubah dan harga sewa stan yang meningkat dari tahun sebelumnya,” katanya. Notaris asal Buleleng ini juga mengatakan para produsen kerajinan di Bali yang hadir di PKB,
sebagian terlihat sudah memiliki kreativitas yang bagus dan lebih kuat. Sepetrti wujud-wujud desain aksesorinya juga menarik idenya begitu luas mulai dari benda untuk kegiatan ritual, kehidupan seharihari, hingga dari wujud tumbuhan dan binatang juga ada. Selanjutnya jika kita sempat melihat secara perlahan dan lebih detil cukup banyak pula produk hasil kerajinan tangan masyarakat Bali yang unik yang ditampilkan, meski belum merata semuanya. Baik melalui Drekaransda Kabupaten Kota maupun yang tampil secara aktif atau mandiri. “Kreativitas selalu diperlukan untuk menghindari kemonotonan., Perlu gagasan atau inovasi baru agar tidak mandeg dan menarik pastinya,” cetusnya.
Dewi Anyar
Ny. Bintang Puspayoga
Luh Gede Herryani
Selanjutnya ia juga menyinggung jika perkembangan kesenian yang ada di Bali sangat dipengaruhi perkembangan pariwisatanya. Rupanya, banyak produk kerajinan yang dipasarkan di Bali saat ini tidak hanya berasal dari Bali saja. Karenanya, kerajinan Bali sendiri harus bersaing dengan produk dari daerah lain. “Meski begitu, kerajinan karya pengrajin Bali, seperti yang ada di arena PKB masih tetap eksis dan diminati oleh pengunjung lokal utamanya maupun tamu domestik karena ide kreatifnya,”kata Luh De. Namun demikian menyoal tentang kualitas produk, ia mengatakan mungkin untuk selanjutnya penekanan akan kualitas ditingkatkan sekaligus disesuaikan dengan tema PKB yang tengah diusung. “Pastinya bukan sebatas memindahkan pasar seni ke tempat yang lain.Sebab harus diakui masih banyak produk yang dipajang juga biasa ditemui di pasar-pasar seni
selama ini. Kalaupun ada jangan sampai mendominasi tapi tetap ada peningkatan sebab Bali selama ini dikenal dengan kesan seni kreatifnya ,”ujarnya.
bersyukur selain ia secara mandiri ikut di PKB ini, selama ini Pemerintah Kota Denpasar juga ikut menggencarkan promosi melalui ‘website’ gratis yang disediakan dilengkapi dengan memberikan pelatihan kepada UKM untuk lebih mengetahui dan memahami standar pasar internasional untuk mengantisipasi MEA. Sedangkan Ny. Bintang Puspayoga, Ketua WHDI Provinsi Bali yang juga istri Menteri UMKM Puspayoga ketika berkesempatan mengunjungi beberapa stan pengrajin yang berada di bawah panggung terbuka Ardha Chandra menyatakan , bahwa kreativitas pengrajin Bali luar biasa. Karya-karya mereka yang dipajang terlihat semakin bervariasi dan memiliki inovasi serta keunikan tersendiri. Baik untuk produk fashion maupun handycraft lainnya. Melihat hasil karya cipta seni yang ada, PKB katanya masih menjadi kebanggaan lokal, nasional bahkan dunia. – Sri Ardhini
PKB MASIH JADI KEBANGGAAN Sementara Dewi Anyar yang mengikuti PKB untuk keenam kalinya menyampaikan jika sampai dengan minggu kedua pengunjung belum terlalu ramai. Penjualan juga belum ada peningkatan. “Semoga hari berikutnya bisa lebih bergairah pengunjungnya datang dan berminat pada produk-produk lokal,” harapnya. “Kami hadir disini juga ingin turut bersama-sama semua pihak untuk mengajak masyarakat berkampanye untuk mau menggunakan dan lebih mencintai produk lokal. Ini akan membantu meningkatkan perekonomian khususnya bagi para pelaku UKM kita,” lanjut Dewi yang tetap
Kepayang Tari Joged Menggerayangi Bali Tari Joged tak pernah lekang di tengah kehidupan masyarakat Bali, sejak zaman kerajaan dulu, hingga era globalisasi sekarang. Tengoklah gairah pementasannya di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 yang sedang digelar. Penampilan tari Joged duta Kota Denpasar (16/6), Kabupaten Karangasem (17/6), dan utusan Kabupaten Gianyar (20/6) di panggung terbuka Ksirarnawa, begitu semarak dirubung penonton. Parade Joged Bumbung yang dipentaskan pada sore hari itu menjadi salah satu tontonan favorit masyarakat. Sudah pasti, suguhan tari joged kabupaten lainnya akan semarak disesaki penggemar seni pertunjukan yang senantiasa mengundang keriuhan ini. Ngibing atau bagian tari ibingibingan adalah menu utama euforia keriuhan dalam pertunjukan joged. Para penonton pria yang berpartisipasi menari ke tengah arena pentas itu diundang lewat sentuhan kipas penari joged. Sebuah selendang diselempangkan terlebih dahulu di pinggang pria yang kena jawat sebelum berinteraksi menari. Pengibing yang memiliki keterampilan tari biasanya menunjukkan kemampuannya menimpali penari joged. Sedangkan pengibing yang tak punya kemampuan menari sering hanya unjuk kelucuan dan kesalahan tingkah. Tontonan joged di tengah arena
PKB sungguh menjadi hiburan yang riang ringan penuh tawa dan canda. Bagaimana dengan pentas tari joged di luar PKB? Belakangan, di sejumlah sudut di penjuru Bali, tari ibing-ibing secara elegan dan ceria seperti itu kurang tampak lagi. Begitu pula pada sebagian penari joged, tak perlu tersipu malumalu lagi ketika kena curi colek atau cium pengibing. Keindahan seni tari dalam pertunjukan joged masa kini cenderung tak menghiraukan estetika dan kesantunan. Erotisme dan sensualitas penari joged yang vulgar dan birahi agresif yang dipertontonkan si pengibing tampaknya menjadi menu utama. Banyak kalangan yang meri-
saukan nuansa mesum yang dibeber dalam pentas joged seperti itu. Citra tari joged pun tersungkur jadi kesenian rendahan. Hingga kini keberadaan joged bugil ria itu terus merebak, yang, dapat dipantau di You Tube dengan laku yang makin keblabasan. Hujatan apa yang mesti diberikan kepada tari joged seperti itu? Striptease ala Pulau Dewata? Sungguh ini adalah sebuah fenomena yang membingungkan dan menyesakkan dada. Joged sebagai sebuah ungkapan estetik dan media interaksi sosial, ternyata di suatu tempat terjerumus dalam jurang nista. Dari sejumlah sudut Bali, lewat kemajuan media telekomunikasi yang canggih
dan instans seperti sekarang tersebar tanpa batas ke segala penjuru dunia, menebar citra dan menciptakan image pada masyarakat, kesenian, dan budaya Bali. Joged porno itu telah mengerayangi, mencoreng moreng wajah Bali dan Indonesia. Upaya “pembinaan“ agar tari joged kembali pada relnya pun sempat digalakkan. Pada penghujung tahun 2005, Pemda Bali pernah menggelar lomba tari joged santun di Taman Budaya Denpasar. Secara berturut-turut sejak tiga tahun terakhir ini, Pemda Bali juga mendatangi langsung sekaasekaa joged agar kembali pentas yang lebih beretika. PKB juga menggelar tari joged dalam format lomba yang kriterianya mengedepankan sajian seni pentas estetis dan etis. Kabupaten Buleleng yang dicurigai memiliki penari atau grup joged erotis porno pernah menyelenggarakan lokakarya untuk menggariskan rambu-rambu estetika dan etika yang wajib ditaati oleh para penari atau grup joged. Berhasilkah segala upaya itu? Kiranya tidak! Biasanya, joged yang tampil dalam lomba atau dalam ruang publik yang formal adalah joged “baik-baik“. Sementara joged porno tetap liar dalam pangkuan komunitas-komunitas yang gamang dan permisif. Kejutan-kejutan budaya dan carut marut kehidupan rupanya bereskalasi pada sikap permisif sebagian masyarakat kita. Pola-pola moral yang
terdegradasi dalam kepanikan yang serba boleh itu, virusnya kini membiak di tengah-tengah masyarakat dalam segala implementasinya. Mungkin tari joged yang makin rajin diunggah di You Tube tersebut merupakan representasi dari telah runtuhnya tatanan kesantunan dan keluruhan budaya yang kita bangga-banggakan selama ini. Faktanya, sebagian masyarakat Bali, bisa menerima, suka menonton, bersemangat ngibing tari joged erotis nan meragsang itu. Hadirnya tari joged porno agaknya tak bisa dilepaskan, salah satunya, dari kehidupan “porno“ yang merubung masyarakat kekinian. Estetisasi seks tubuh perempuan kini gencar diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi masyarakat global. Di tengah ideologi pasar yang berorientasi uang dan tekanan ekonomi, para penari atau grup joged dengan modal kultural dan tubuh perempuan memasrahkan nasibnya berkiprah menggamit peluang di tengah persaingan hidup yang amat ketat ini. Jika saja ada kegiatan atau pekerjaan lainnya yang lebih menjanjikan untuk menyambung hidup, mungkin tak ada para perempuan Bali yang membenamkan martabat diri dan keluarganya menjadi penari joged porno yang honornya hanya cukup untuk beli gincu dan bedak murahan. -Kadek Suartaya