Tokoh Edisi 914 | Tokoh

Page 1

24

Sudut Pandang

Edisi 914/ 15 - 21 agustus 2016

Kibarkan Bendera Merah Putih Agustus menjadi bulan yang sangat penting karena, identik dengan bulan kemerdekaan. Se­ mangat merah putih mewarnai se­t iap kegiatan yang di­ lakukan masyarakat Indonesia. Apa aksi nyata yang mere­ ka lakukan dalam mengisi kemer­ dekaan?

M

enurut Eka Santhi Dewi, atau yang akrab disapa Iin, aksi nyata seman­ gat kemerdekaan, adalah men­ gibarkan bendera merah putih. Aksi ini mungkin bagi sebagian orang sangat sederhana, namun,

Rahayuni

Eka Santhi Dewi

mengibarkan bendera adalah hal wajib yang harus dilakukan. Ia melihat, banyak juga orang lain yang tidak mengibarkan bendera, bahkan, mereka tak punya ben­ dera merah putih. Dengan men­ gibarkan bendera merah putih kita menghormati jasa-jasa para pahlawan yang sudah berkorban demi kemerdekaan Indonesia, kata Iin.

Selain itu, aksi lain yang di­ lakukan adalah mencintai produk dalam negeri dengan bangga memakai produk lokal. Saya tidak suka pakai barang branding luar negeri yang kw-kw itu. Lebih baik saya pakai produk lokal dalam negeri yang asli. Itu menambah kecintaan saya kepada negeri sendiri, ucap ibu dua anak ini. Sebagai warga negara yang

baik dalam mengisi kemerdekaan, ia berusaha terus belajar. “Banyak hal yang bisa saya lakukan untuk menambah wawasan, mengisi diri dengan berbagai seminarseminar motivasi, kewirausahaan, agar perempuan menjadi lebih berdaya. Perempuan juga harus maju, dan berjalan sejajar dengan laki-laki, kata Iin. Sementara, bagi Made Raha­ yuni, mengisi kemerdekaan, perempuan harus bisa member­ dayakan diri dan juga menjadi motivasi bagi orang lain. Dengan usaha pelatihan kecantikan Can­ dra Dewi yang ia miliki, ia me­ ngajak para perempuan agar bisa menambah penghasilan. Selain bisa membuka salon sendiri, para lulusan Candra Dewi, bisa juga menerima panggilan merias dari rumah ke rumah. Sampai saat ini, Rahayuni sudah memberikan kursus kepada ribuan perempuan di Tabanan. Apa yang saya laku­ kan, hanya memiliki satu tujuan, agar perempuan bisa mandiri secara ekonomi, kata Rahayuni. Selain itu, bulan Agustus menja­

Bekali Ilmu Kewarganegaraan Sebelum ke Luar Negeri Bagaimana pengelola lembaga pendidikan memaknai hari ulang tahun kemerdekaan? Apa aksi nyata yang mereka lakukan dalam mengisi kemerdekaan? Berikut pemaparan Drs. IGB Arthane­ gara, S.H., M.H., M.Pd., Ketua YPLP IKIP PGRI Bali. “Menjelang 17 Agustus ini, kami Badan Penyelenggara Per­ guruan Tinggi IKIP PGRI Bali melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik dan mental. Bersifat fisik dengan mengadakan lomba-lomba dan menghias kam­ pus. Mentalnya, dengan melaku­ kan persembahyangan bersama, tabur bunga ke makam Pancaka Tirta. Juga diisi dengan ceramahceramah tentang nasionalisme, bela negara, dan semangat 45,” ujarnya saat ditemui di sela-sela pelepasan mahasiswa FPMIPA IKIP PGRI Bali, Jumat (12/8) di Hotel Nikki Denpasar. Arthanegara mengatakan, kita menyadari bahwa masa depan bangsa ada di tangan pemuda. Karena itu, pemuda seharusnya tak hanya pintar secara akademis, tapi juga mampu menghayati nilai-nilai luhur yang ada dalam dasar negara. Bagaimana pun hebatnya kita dalam akademis tapi jika mental/karakternya tak sesuai, bisa merugikan bangsa itu sendiri. Ia menuturkan pengalamannya saat dulu menjadi Ketua KNPI, selau menanamkan nilai-nilai tersebut. “Kita adalah orang Indonesia yang lahir di Bali, kita adalah orang Indonesia yang lahir di Sumbawa, kita adalah orang In­ donesia yang lahir di, Papua. Kita tidak dipisahkan oleh laut tapi kita dihubungkan sebagi Negara

Kesatuan Republik Indonesia”. Ka­ limat tersebut selalu diungkapkan­ nya dalam pidato/sambutannya. Dalam kondisi kekinian, dengan padatnya kesibukan dan pengaruh teknologi yang makin gencar, kekuatan nasionalisme ini dika­ takannya harus lebih lagi diper­ tahankan. Ia kembali ke memori silam ketika di tahun 1965 ia mendapatkan beasiswa belajar ke Negeri Tiongkok. Saat itu, orangorang yang akan bersekolah ke luar negeri diberikan pembekalan/ pendidikan kewiraan, kemiliteran, cinta pada tanah air, dan diajak ziarah ke makam pahlawan. Hal ini dikatakannya sangat banyak bermanfaat, paling tidak untuk dirinya saat itu. “Jika saja saya tidak mendapatkan pembekalan ini, jiwa nasionalisme itu tak ditananamkan, ketika ada kemelut di dalam negeri (waktu itu G30S PKI), mungkin saya lebih memilih tinggal di luar negeri dengan segala kenyamanan­ nya, daripada kembali ke Indo­ nesia dengan kemelutnya,” tutur Arthanegara. Jujur ia mengakui, jika kembali ke Indonesia kondisi agak melarat. Sementara di LN, pagi sudah bisa minum bir, dan Sabtu-Minggu bisa dansa. Namun karena kecintaannya pada tanah kelahiran, karena rasa nasionalisme yang ditanamkan be­ gitu kuat oleh pemimpin-pemimpin terdahulu, ia memutuskan pulang ke Indonesia. “Apapun yang terjadi, write or wrong is my country. Meski hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Itu yang memotivasi saya secara pribadi waktu itu tahun 1965, makanya memilih pulang,” ujarnya. Ia juga bersyukur sebelum be­

Drs. IGB Arthanegara, S.H., M.H., M.Pd.

Drs. I Wayan Suaba, MBA

rangkat ke Tiongkok, seorang tokoh waktu itu mengajaknya berkeliling di Jakarta. Ia diajak ke Hotel Indonesia, hotel terbe­ sar di Indonesia, melihat betapa megahnya hotel itu dan belajar naik lift. Diajak ke Senayan, bahwa kita juga punya lapangan hebat . “Saya sangat bersyukur sekali, sehingga ketika di LN saya tidak lagi terbengong-bengong melihat hotel dan lapangan yang besar. Bahwa Indonesia juga punya yang hebat, tidak sampai bengong dan membanding-bandingkan apa yang ada di luar negeri dan di dalam neg­ eri. Nilai-nilai itu yang ditanamkan sehingga menimbulkan kebanggaan menjadi warga Negara Indonesia,” tuturnya. . Karena itu ia menegaskan, dalam pendidikan karakter inilah peluang kita menanamkan nilai cinta tanah air dan kepribadian bangsa. Ia juga mengatakan, berorganisasi itu sangat penting. Saat jadi pemuda

dulu, Arthanegara pernah menja­ bat sebagai Wakil ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) Bali, anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sekre­ taris Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)-milik Partai Nasional Indo­ nesia (PNI). “Karena pengalaman berorganisasi itu banyak membantu kita berpikir krtitis, sehingga tidak menelan mentah-mentah apa yang kita dengar. Karena pelajaran di Tiongkok waktu itu penuh dengan doktrin-doktrin komunis yang san­ gat berbeda dengan prinsip kita, dan waktu itu kita siap dan sering beragumentasi dengan dosen. KURANG SOSIALISASI Sementara, dalam pengamatan Ketua Yayasan Pelangi Dharma Negara Drs. I Wayan Suaba, MBA, sebetulnya dasar-dasar jiwa nasion­ alisme yang sudah ditanamakan kepada anak-anak sekarang teru­ tama melalui lembaga pendidikan

di hal yang spesial baginya, karena ia berkesempatan bersama para seniman di Buleleng melakukan aksi berkarya bagi bangsa lewat berkesenian. Bersama artis multi talenta Putri Suastini, ia berkesem­ patan berbagi dengan para seni­ man di Buleleng. Satu puisi karya Dhenok yang berjudul Percakapan Anak dan Bundanya, menjadi satu puisi yang dibacakan Rahayuni. Ia mengatakan, tujuan kegiatan terse­ but, adalah untuk melestarikan seni budaya dan memberdayakan perempuan di bidang kesenian. Sementara, bagi Rathi, bu­ lan Agustus menjadi momen is­ timewa, karena selain Austus bulan kemerdekaan, Agustus juga merupakan hari ulangtahunnya. Ia melakukan aksi nyata dengan ber­ bagi dengan sesama yakni mem­ berikan bantuan sembako kepada 3 keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Renon. “Kegiat­an ini hanya salah satu kegia­tan seder­ hana yang saya lakukan untuk mengisi kemerdekaan agar men­ jadi orang yang lebih bermakna, kata Rathi. -Wirati Astiti dikatakannya sudah bagus. Hanya saja sosialisasi untuk pengarah­ annya masih kurang. Untuk itu ke depannya, Suaba yang juga Bendesa Adat Desa Pekraman Kelating, Tabanan ini berharap di desa-desa saat apa kegiatan adat, menyelipkan kegiatan darma wa­ cana, memberikan pendalaman apa saja, seperti cara sembahyang, bebantenan, termasuk wawasan kebangsaan, seperti jiwa bela neg­ ara dan bagaimana menjadi warga negara yang baik dan benar. Pesraman kilat yang meng­ hadirkan unsur penegak hukum atau sulinggih, selama ini dini­ lainya kurang mengena. Karena biasanya selepas kegiatan itu, apa yang didapatkan juga lepas karena kurang menyentuh ke akarnya. Karena itu ia kembali menegaskan sosialisasinya harus terus digen­ carkan dan kontinyu. Ia mengajak kita melongok kembali ke zaman dulu, namun bukan berarti ingin seperti dulu. Ia berpendapat Penataran P4 seharusnya tidak dihapuskan, se­ hingga Pancasila tak sekadar hapal tapi benar-benar dijiwai. “Ayo kini kembali tanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dan memperkuat jiwa kebangsaan kita,” ujarnya. Hal itu pula yang kerap ia sam­ paikan kepada para kepala sekolah (TK, SD,SMP Pelangi Dharma Nusantara yang berada di bawah naungan Yayasan Pelangi Dharma Negara). Bagaimana melaksana­ kan pendidikan yang baik dan be­ nar sebagaimana visi misi yayasan yang ingin membantu pemerintah untuk ikut mencerdaskan tunas bangsa menjadi anak berbudi luhur, beretika, cerdas dan hor­ mat pada tiga guru, guru rupaka (orangtua), guru pengajian (guru di sekolah), dan guru wisesa (pemerintah). Dalam kaitan peringatan 17 Agustus, Suaba memberikan ara­ han kepada kepala-kepala seko­ lah untuk mengadakan kegiatankegiatan yang dapat memupuk rasa nasionalisme dan kebang­ gasaan. –Inten Indrawati

redaksi@tokoh.co.id, iklan@tokoh.co.id

mingguantokoh

@mingguantokoh

mingguantokoh

www.tokoh.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.