23 - 29 Juni 2014
24
Melestarikan Legong di Jakarta Mengembangkan budaya leluhur dan menjaga eksistensinya, di kota metropolitan seperti Jakarta yang sangat plural, bukan hal yang mudah. Namun, dengan dedikasi yang tinggi dan ketekunan, tujuan mulia itu bisa tercapai. Itu terlihat dari kiprah Bengkel Tari Ayu Bulan yang usianya Oktober tahun ini genap 20 tahun. Adalah dedikasi yang tinggi dari Dr. dr. Ayu Bulantrisna Djelantik yang kemudian menurun kepada anak didiknya, yang menjadikan komunitas tari Bali khususnya tari-tarian berakar legong bisa bertahan puluhan tahun.
N
i Nyoman Trianawati, koordinator Bengkel Tari Ayu Bulan di Jakarta menuturkan, komunitas ini didirikan Ayu Bulan di Bandung, Jawa Barat pada 1994. Pada masa itu perkembangan legong, khususnya di luar Bali, belumlah seperti sekarang. “Dulu di sanggar-sangar tari, legong hanya masuk dalam salah satu kurikulum pelajaran tari Bali. Jadi setelah belajar sejumlah tari Bali, tingkatan terakhir itu biasanya diajarkan legong, itu pun dengan versi yang terbatas,” ujarnya. “Legong itu di kurikulum pelajaran tari Bali berada di tingkat advance kare na memang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi,” tambah Putri Minangsari
alias Mimi dan Adrienna Hamidah Wallis, yang ikut mendampingi Nyoman saat berbincang-bincang seputar perkembangan komunitas legong di Jakarta. Baik Nyoman, Mimi dan Adrienna, baru bersentuhan dengan legong sepenuhnya saat mereka menetap di Bandung untuk kuliah. Ketiganya masuk Bengkel Tari Ayu Bulan, yang ketika itu baru didirikan. “Untuk menjadi penari legong, tidak mudah. Kami dites dulu oleh Bu Bulan. Kebetulan juga, saat itu akan ada pementasan. Bu Bulan ingin penari-penari yang sudah jadi,” ungkap Nyoman yang dites melakukan agem. “Ternyata agem saya salah, lalu Bu Bulan membetulkan,” ujar Nyoman sembari tertawa. “Namun akhirnya saya lolos juga jadi penari legong setelah Bu Bulan melihat saya menari,” tambahnya lagi. Lain lagi dengan cerita Rienna yang sangat mencintai
tari-tarian Bali, khususnya legong, meski ia bukan berasal dari Bali. “Saya besar di Jakarta, sejak usia lima tahun sudah belajar berbagai tari-tarian daerah, namun yang utama adalah tarian Bali. Ketika saya pindah ke Bandung untuk kuliah, dapat info ada bengkel tari yang baru buka khusus mengajarkan legong. Rasanya senang banget. Waktu di Jakarta hanya diajarkan satu versi yakni Legong Keraton. Setelah masuk bengkel Bu Bulan, saya baru tahu kalau ternyata legong memiliki banyak versi,” ungkap wanita asal Ternate ini. Entah bagaimana, tarian legong membuatnya ‘tergila-gila’. “Pokoknya aku suka banget. Ini tarian klasik banget. Beda dengan tarian lain. Ibaratnya, orang belajar tidak sekadar menghafal
saja tapi juga harus mendalami sehingga dapat menjiwai. Jadi bukan sekadar hafal dan lentur,” ungkap Rienna. Hal itu pun diiyakan oleh Nyoman dan Mimi. Ketiganya mengakui mempelajari dan menguasai tarian ini, merupakan tantangan tersendiri bagi mereka. Bahkan, sekalipun telah puluhan tahun menekuni tarian ini, tetap saja mereka merasa harus terus belajar
untuk menyempurnakan. “Tarian ini tingkat kesulitannya tinggi. Bagi kami yang hobi menari ini justru merupakan tantangan tersendiri,” tambah Nyoman yang meski telah kembali ke Jakarta (1997) tetap berupaya melestarikan tarian legong. SOSIALISASI KE SEKOLAH-SEKOLAH Untuk menyebarluaskan legong, Nyoman bersama teman-temannya berinisiatif masuk ke sekolah-sekolah di Jakarta. “Ternyata banyak yang tidak tahu legong. Maka momen itu kami gunakan sekaligus untuk memperkenalkan legong. Waktu kami menari di depan murid-murid, kami membawakan Legong Lasem, mereka bengong… hahhha. Apalagi ketika ada salah satu gerakan yang seperti ka yang…wahh mereka teriak...,” ungkap ibu satu anak ini. Para murid itu tampak tertarik. Namun saat itu, Nyoman dan teman-temannya datang ke sekolah-sekolah bukan berniat mencari murid sanggar tari, namun lebih kepada memperkenalkan budaya Bali. “Kami waktu itu bukan mencari murid, tapi lebih pada memperkenalkan tarian Bali. Jika mereka tertarik, bisa belajar di mana saja karena di Jakarta kan ada banyak sanggar tari Bali,” ucapnya. Soal awal terbentuknya komunitas legong di Jakarta, alumni Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, Bandung mengatakan, ketika ada tawaran pementasan tari tahun 2002. Maka ia pun mengumpulkan temantemannya alumni Bengkel Ta r i A y u Bulan, Ban dung, yang kebetulan sudah menetap kembali di Jakarta. “Waktu itu kami berempat tanpa Rienna yang kuliah di Australia. Saya baru bertemu Rienna kembali saat di toko buku. Akhirnya kumpul lagi di Jakarta dan kami mengembangkan komunitas legong di sini,” ujarnya.
Rienna sendiri setelah dari Bandung, melanjutkan kuliah di Sidney University, Australia. Setelah tawaran pementasan pertama itu, Bengkel Tari Ayu Bulan Jakarta pun menjadi sering mendapat tawaran tampil. Salah satu pementasan terbesar mereka adalah saat pergelaran akbar yang merupakan kolaborasi kesenian klasik Jawa dan Bali bertajuk, “The Amazing Bedoyo Legong Calonarang, kreasi dua maestro tari, Ayu Bulantrisna Djelantik dan Retro Maruti. Pertunjukkan ini melibatkan sekitar 50 orang, 18 di antaranya adalah penari. “Pertunjukkan ini mendapat sambutan hangat, sampai-sampai kami diundang ke Singapura untuk menampilkan Calonarang. Setidaknya enam kali
Diakui Mimi yang juga berprofesi sebagai penulis, tidak mudah menjaga eksistensi komunitas tari karena banyak anggotanya sudah berkeluarga dan memiliki kesibukan masing-masing. Di sisi lain, mengembangkan komunitas ini bukan tantangan yang ringan. “Kalau dibilang sulit, ya sulit ya. Misalnya saja kalau kita mau mencari tempat pementasan atau sponsor itu tidak mudah,” tuturnya, Meski begitu, para penari Bengkel Tari Ayu Bulan, Jakarta tetap semangat. Mereka tetap rajin berlatih, setidaknya seminggu sekali. “Bahkan di sela-sela kesibukan kerja, kami sempat-sempatkan tetap berlatih,” katanya. Hasilnya bisa terlihat, tarian legong khususnya makin dikenal dan mereka kerap
kami menampilkan Calonarang, yakni tahun 2006, kemudian tahun 2007, dan 2009. Setidaknya enam kali digelar. Bahkan kami diundang ke Singapura untuk menampilkan sendratari ini,” ujar Mimi sembari menambahkan awalnya pertunjukkan ini adalah untuk memeriahkan HUT ke-30 kelompok tari Padnecwara milik Retno Maruti.
mendapat undangan pementasan. Di antaranya di kedutaan besar negeri sahabat, TIM, Galeri Indonesia Kaya, dll. Tapi, banyaknya tawaran pementasan itu kadang membuat mereka kewalahan. Jumlah penari yang tidak mencukupi. Untungnya, sejak awal tahun 2014 ini, pendiri Bengkel Tari Ayu Bulan membuka kelas baru untuk tarian Bali, dengan begitu nantinya bisa dijaring bibit-bibit baru. Studio ini menjaring anak-anak dan orang dewasa yang tertarik mempelajari tari-tarian Bali. “Kelas baru ini dibuka sekaligus di dua tempat, yakni di bilangan Bintaro dan di Ciragil, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ini karena banyak permintaan ingin belajar tari pada Bu Bulan. Pesertanya cukup banyak, baik anak anak maupun orang dewasa, Harapan kami dari sana akan bermunculan banyak penari yang potensial, khususnya untuk legong,” ungkap Mimi yang bersama teman-temannya tengah sibuk mempersiapkan pementasan Legong Semarandana dalam rangka HUT ke-20 Bengkel Tari Ayu Bulan. –Diana Runtu
MELESTARIKAN BUDAYA Menurut Mimi, melestarikan budaya warisan leluhur seyogianya merupakan kewajiban putra-putri Bali. Apalagi, ucapnya, mereka yang tinggal di luar Bali. Itu juga yang ditanamkan ayahnya kepada mereka sejak kecil. “Kami bersaudara empat orang, semuanya perempuan. Sejak kecil kami wajib belajar tari-tarian Bali. Jadi setidaknya, sekalipun besar di Jakarta, kami tahu budaya sendiri. Setelah dewasa, kesadaran melestarikan budaya kami, khususnya tari-tarian, muncul dengan sendirinya,” tutur Mimi yang sempat lama vakum dari pentas tari karena mengurus keluarga.