NINE
20
14 - 20 April 2014
18 Jam untuk Lontong Punia Dari subuh hari bahkan sebelum matahari tiba, para perempuan di Punia Saba Mata ram, telah disibukkan dengan aktivitas menyiapkan lontong untuk dijual ke pasar-pasar tradisional sekitar mataram. Separuh waktu dalam tiap harinya mereka habiskan untuk usaha berdagang lontong.
M
eskipun terbuat dari beras, lontong tidaklah dimakan sebagai makanan pokok seperti nasi, namun lebih sering dihidangkan sebagai makanan pelengkap, misalnya soto atau pelecing di Lombok. Biasanya, orang membuat dan menghidangkan lontong pada saat-saat tertentu saja, tapi mereka yang berjualan lontong tetap menyediakannya kapan pun dibutuhkan. Di pasar-pasar tradisi onal di Mataram dan sekitarnya seperti Pasar Cakranegara, Pasar Kebon Roek, Pasar Sindu, Pasar Pagesangan dan Pasar Karang Jasi, tidaklah sulit mendapatkan lontong
karena selalu tersedia. Mereka yang berjualan lontong di beberapa pasar tersebut berasal dari Punia Saba, Punia Jamak, Punia Karang Kelayu dan Punia Karang Kateng, Kelurahan Mataram Barat, Kota Mataram. Di Punia, khususnya Punia Saba, terutama penduduk asli nya, rata-rata mempunyai usaha pembuatan lontong dan kecambah. Usaha rumah tangga turuntemurun ini bisa bertahan hingga sekarang karena rata-rata dari mereka memang tidak memiliki pencaharian lain dan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Usaha ini digeluti oleh para perempuan di desa ini. Setidaknya begitulah dengan Halimah bersama ibunya Juhariah, yang kini melanjutkan usaha yang dirintis oleh neneknya dulu. Begitu pula dengan Nurinah, yang kini setiap hari membuat setidaknya 20 kg lontong yang siap dipasarkan. Para pedagang lontong ini menghabiskan waktunya untuk usaha rumah tangga tersebut setiap hari minimal delapan belas jam. Bayangkan saja, pagi pukul 06.00 sudah berangkat ke pasar untuk berjualan hingga pukul 11.00. Bahkan ada yang melanjut-
kan hingga sore hari. Pukul 14.00 mulai mengisi daun pisang dengan beras hingga pukul 17.00, dan sejak pukul 19.00 lontong mulai dimasak. Karena keterbatasan peralatan seperti panci besar, lontong dimasak beberapa kali naik. “Dua atau tiga kali kami harus mengisi kompor dan menambah air,” kata Halimah. Air memang harus terus ditambahkan hingga penuh dan lontong terendam air agar terasa lebih kenyal. Itu berarti tengah malam pun kegiatan ini terus berlangsung. Beruntung di kampung tersebut, karena para lelakilah yang biasanya menggantikan pekerjaan ini yang bangun dan menjaga api tengah malam. Kompor menyala
hingga pagi hari, adalah hal biasa di kampung tersebut. Sejak pukul 06.00, para perempuan Punia, dengan bakul-bakul berisi penuh lontong mulai bergegas menuju ke pasar tempat mereka berjualan. Dengan cidomo langganan yang setiap seminggu sekali dibayar, mereka berkelompok menuju pasar tujuan. Cidomo yang biasanya memuat delapan penumpang dan kusir, hanya bisa memuat paling banyak empat penumpang karena bakul-bakul lontong yang sesak. Setidaknya seorang membawa dua bakul besar. Pemandangan ini selalu terlihat di kampung tersebut sebagai ciri khas asal lontong yang banyak dikenal masyarakat Mataram. Bagaimana tidak, mereka bisa saja berada di satu pasar yang berarti harus membagi pelanggan, sementara satu orang setidaknya menyiapkan lontong dari 10 kg beras setiap harinya. “Sedapat mungkin harus laku semua,” kata Juhariah. Karena jika tidak, mereka akan mengalami kerugian berupa harga yang bisa saja turun drastis atau lontong akan basi jika harus dibawa pulang. Untuk itu, tidak jarang ia harus berjualan di dua pasar sekaligus. “Kalau tidak laku semua
di pasar pagi Karang Jasi, saya bawa ke pasar sore Cakranegara,” ujar Juhariah yang terpaksa harus men inggalkan rumahnya hingga sebelas jam lamanya. Karena esoknya ia harus tetap berjualan kembali, di rumahnya, Halimah anaknya, sudah menyiapkan daundaun pisang berisi beras yang siap dimasak berikutnya. Memang, jika berkunjung ke kampung tersebut pagi hari, jarang sekali bisa menemui para penjual lontong ini karena saat itu mereka tengah berjualan di pasar. Namun, ketika tengah hari tiba, menelusuri lorong-lorong sempit tempat me reka tinggal, terlihat aktivitas pembuatan lontong dan tauge sedang dilakukan. Di rumah-rumah sederhananya, sembari ngobrol dan menonton televisi, tangan-tangan terampil para pembuat lontong ini asyik membungkus beras dengan daun pisang berwarna hijau segar. Tumpukan lontong siap masak biasanya diisi sehabis menunaikan Shalat Dzuhur hingga menjelang Shalat Ashar bahkan menjelang Magrib. Daun pisang berisi beras tersebut kemudian dimasak selama lima hingga tujuh jam. Sebagian pedagang, lebih memilih memasak hingga tujuh jam karena akan membuat lontong tahan lama. “Kalau dimasak lima jam bertahan cuma setengah hari, tapi kalau tujuh jam lontong bisa bertahan sehari,” kata Sahriah yang diiyakan Halimah. Namun bagi yang membuat lontong dalam jumlah lebih dari 10 kg beras, mau tidak mau memasaknya kurang dari tujuh jam. Karena waktu yang tersedia dari sore hingga pagi tidak cukup karena harus beberapa kali memasaknya. Ini tidak menjadi soal karena penjualan lontong sejauh ini menurut pengakuan mereka lancar-lancar saja. “Kalau pun ada yang tersisa bisa dikukus lagi untuk dijual esok harinya,” kata Halimah. Lontong Punia yang dikenal padat dan harum, ternyata tidak ditambah apa-apa kecuali sematamata beras murah yang mudah mengembang. “Kalau beras bagus, karena tidak mengembang tentu keuntungannya akan sangat tipis,” ungkap Sahriah. Padahal, lanjutnya, dengan naiknya harga beras dan minyak tanah saja mereka kini ha nya bisa mendapatkan keuntungan yang sangat tipis. Meski demikian, usaha ini tetap lancar dan tak ada alasan tidak terus dilanjutkan. “Apa
boleh buat, kalau tidak buat lontong tidak ada biaya hidup seharihari,” tambah Halimah. Kalau dulu, enam lontong ukuran besar dijual dengan harga Rp 1.000, kini hanya bisa dijual sebanyak lima buah. Kalau di bawah itu, pembeli tidak akan mau membeli kalau tidak benar-benar butuh, sementara lontong ini hanya makanan sampingan, ujarnya. Namun para pedagang lontong ini tetap merasa bersyukur, sejauh ini penjualan lancar-lancar saja. Setiap hari mereka membutuhkan 10 kg hingga 30 kg beras dengan harga Rp 3.200 hingga Rp 3.500 per kilogramnya. Ditambah lagi dengan kebutuhan minyak tanah untuk memasak lontong dari 10 kg beras sebanyak 10 liter, harga per liter Rp 3.000 dan daun pisang Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu per orang. Oleh karena itu masing-masing pedagang lontong setidaknya membutuhkan 300 kg beras dan 300 liter minyak tanah serta Rp 300 ribu daun pisang setiap bulannya. “Beruntung ada orang yang mau memberikan pinjaman beras yang dibayarkan setiap beras tersebut habis terpakai,”
bisa mendapatkan bantuan modal entah dari siapa. Lontong yang enak dan menarik adalah yang padat dan berwarna hijau. Tidak semua orang bisa berhasil membuat lontong yang padat dalam satu atau dua kali kesempatan. Kebiasaan menjadi faktor utama menghasilkan lontong yang enak. Karena soal warna yang hijau segar sangat tergantung pada daun yang dipakai. “Daun yang dipilih jangan terlalu tua dan berwarna hijau,” kata Halimah. Biasanya, kalau daun pisang berwarna kuning, lontong juga akan berwarna sama. Sementara untuk membuat lontong yang padat, daun pisang harus diisi dengan tiga perempat beras atau seperti kebiasaan. Hal inilah yang sulit dilakukakan karena juga, kata Halimah, tergantung jenis berasnya. Bagi mereka yang sudah terbiasa membuat lontong, soal jenis beras sudah tidak lagi menjadi persoalan, karena hampir setiap jenis sudah dikuasainya. “Beras yang tidak mengembang harus diisi lebih banyak dari beras biasa yang mengembang agar tidak lembek dan berair,” katanya. Kualitas lontong yang berada pada posisi paling bawah lebih baik ketimbang yang di atas. “Yang paling bawah termasak sempurna karena tetap terendam dalam air,” katanya. Sementara untuk membuat lontong yang di atas tetap terendam air, harus selalu ditambahkan air ketika air mulai menyusut. Agar lontong tahan lama harus dimasak minimal tujuh jam. “Semakin lama dimasak, semakin tahan lama,” ujar Sahriah. Memasak lontong sebaiknya di atas api yang tetap menyala, ka rena akan mempengaruhi kualitas lontong nantinya. Karenanya, para pedagang lontong di Punia ratarata memakai kompor untuk memasak. Jika memakai kayu bakar,di samping memasaknya menjadi
Proses pembuatan lontong
lanjut Halimah. Karena itulah usahanya terbantu dan berjalan hingga kini. Dari 10 kg beras ia tidak bisa memerincikan berapa keuntungan bersih yang diperolehnya kecuali cukup untuk membiayai kehidupan sederhananya bersama orangtua. Dari keuntungan yang tipis tersebut ia hanya bisa berkata, mau apa lagi, hanya inilah pekerjaan yang sudah biasa dilakukannya. Dan, ketika mempunyai keinginan menggantinya ia tidak punya pilihan lain karena secara otomatis setiap hari ia harus mengerjakan usaha turuntemurun ini. Ia hanya berharap
lama, juga api harus tetap dijaga agar tetap menyala sehingga waktu istirahat tidak akan banyak. Lontong Punia, tidak hanya dijual di pasar, melainkan juga menerima pesanan. Bukan hanya lontong tetapi juga ketupat. Saatsaat ramai pembeli dan pemesan lontong Punia terjadi selama bulan puasa, Lebaran Idul Fitri, Lebaran Topat, Lebaran Idul Adha dan Tahun Baru. Saat itu pembuatan lontong bisa mencapai dua kali lipat dari biasanya. Itu berarti keuntungan pun bisa bertambah, kata Halimah. -Naniek I. Taufan
INSPIRASI
14 - 20 April 2014
5
Aty Fathiyah
Rezeki Badan Gemuk Memiliki tubuh besar adalah anugerah dan harus disyukuri, bukannya malah bersungut-sunggut, apalagi menganggap kegemukan itu sebagai sebuah bencana dalam hidup. Sikap penuh rasa syukur inilah yang selalu ditunjukkan artis sinetron Aty Fathiyah lewat penampilannya yang penuh percaya diri dan selalu ceria.
“Y
a aku bersyukur dengan apa yang aku miliki. Nggak masalah dengan badan besar, bahkan kadang aku nggak merasa lho kalau punya badan besar hahahaha. Aku ini baru ngeh punya badan besar, kalau mau masuk ke suatu tempat atau duduk dan merasa kesempitan atau ada yang keinjek kaki gua…hahaha,” ujar pemeran Bu RT dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri ini sembari tertawa ngakak. Sikap positif yang ditunjukkannya ini, menurut Aty, telah terbentuk sejak kecil. Bisa jadi, tuturnya, karena hampir sebagian besar keluarganya juga bertubuh tinggi besar sehingga ia tak merasa berbeda daripada yang lain. Namun lebih dari itu, pola didik orangtua yang paling berperan dalam terbentuknya sikap positif
dalam dirinya. Dulu, tuturnya, ibunya pernah memberi wejangan, “Kita hidup jangan mengikuti standar dunia, jangan biarkan kita terbawa standar dunia. Standar kita adalah standar Tuhan. Jadi apa pun yang terjadi dalam hidup kita adalah kemauan Allah.” “Wejangan itu sekaligus mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur. Jadi aku easy going sajalah,” tambah Aty yang sempat beberapa tahun menetap di Bali. Itu sebabnya, lanjutnya, meski sejak kecil bertubuh subur namun ia tak pernah merasa minder. Sebaliknya, ia tumbuh sebagai gadis ceria dan mudah bergaul. “Menurutku, yang terpenting adalah bagaimana bisa membawa diri di mana pun berada. Bersikap baik pada semua orang. Juga, kita harus membuat ‘plus-plus’ (prestasi) yang banyak. Sehingga
orang jangan pernah menilai kita karena kita gendut tapi karena ‘plus-plus’ yang kita miliki. Jadi kita harus bisa mengubah pola pikir orang,” ungkap insinyur teknik industri lulusan Universitas Islam Bandung ini. Sikap dan keyakinan itu jugalah, yang membuatnya tidak pernah mengalami hambatan yang berarti dalam setiap aktivitasnya. Meski berkiprah di dunia hiburan di mana penampil an menjadi salah satu ‘modal’ utama, wanita cant ik keturunan Arab ini mengaku tak pernah tergoda untuk melakukan operasi mengecilkan ukuran badan. Padahal katanya, banyak pusatpusat perawatan kecantikan menawarkan program tersebut padanya. Ia juga tak pernah melakukan diet untuk tujuan serupa. Kalaupun diet, katanya, itu lebih pada diet kesehatan yang dilakukan semua orang termasuk mereka yang ukuran tubuhnya biasa-biasa saja. “Aku nggak pernah berpikir untuk operasi, untuk apa? Aku bersyukur kok diberi tubuh besar, nggak ada masalah. Justru aku merasa makin ke sini, rasa syukurku makin bertambah. Karena berkat tubuh besar ini, aku bisa mendapat banyak hal, termasuk rezeki dan karier yang bagus. Aku mendapat banyak kesempatan, yang belum tentu didapat kalau tubuhku tidak seperti ini. Aku juga menjadi makin mengerti bahwa di setiap anugerah Tuhan, pasti ada maksud-Nya. Aku juga bisa bergaul dengan ‘PD’ (percaya diri, Red.), beraktivitas dengan ‘PD’ juga, jadi tidak ada masalah. Dengan semua yang aku dapat ini, lalu untuk apa operasi? Aku nggak pernah membayangkan,” ungkap Aty yang baru saja menyelesaikan syuting FTV terbarunya yang berjudul Anak Toke. Tidak seperti sebagian orang bertubuh besar lainnya yang menderita obesitas saat usia tertentu, sedang Aty mengaku, sejak lahir ia telah bertubuh besar. Ia terlahir dengan berat tubuh 4,8 kg. Berat tubuhnya ini tak pernah turun, bahkan terus meningkat. Hingga akhirnya mencapai 89 kg saat kelas VI SD. “Jadi aku ini beda dengan orang lain yang baru gemuk saat usia tertentu atau kegemukan yang naik-turun, sedang aku tidak.
Sejak lahir aku sudah bertubuh besar, berat badan tidak pernah turun,” tutur finalis Putri Impian 2005 ini. Sekarang, tambahnya, berat badannya sekitar 126 kg. Ini sudah lumayan turun karena ia pernah mencapai berat 145 kg. Beruntung, Aty memiliki tinggi yang lumayan, yakni, 171 cm, sehingga tubuhnya yang bongsor tidak terlalu terlihat menonjol. Apalagi, ia selalu modis sehingga enak dilihat. “Sebelum aku terjun ke dunia akting, aku juga kerap membawakan baju-baju besar,” ucapnya. Aty mulai menyeriusi dunia entertainment setelah masuk sebagai salah satu finalis Putri Impian, sebuah acara reality show yang ditayangkan televisi swasta nasional, yang para pesertanya adalah perempuan-perempuan muda berbadan bongsor. Berbeda dengan pemilihan Miss Big, masa karantina Putri Impian memakan waktu cukup lama yakni 1,5 bulan. “Konsepnya beda ya, ka rena ini adalah program televisi. Tapi terus-terang, waktu itu aku kurang merasa nyaman. Aura persaingannya luar biasa ketat, aku nggak bisa enjoy. Mungkin mindset aku dengan yang lain berbeda, jadi nggak ketemu,” ucap Aty yang terhenti di babak delapan besar. Selepas dari Putri Impian,
justru tawaran tampil di berbagai event off air berdatangan, termasuk tampil di sinetron maupun film. Begitu juga permintaan iklan. Tapi penampilannya sebagai ibu RT di sinetron komedi Suamisuami Takut Istri yang membuat namanya dikenal publik. Wajahnya yang cantik, dengan tubuh yang subur, namun bawel setengah mati. “Sebenarnya itu bukan aca ra televisi pertama, sebelumnya aku sudah tampil di Kecil-kecil Ngobyek 120 episode, Rahasia Ilahi, dan lain-lain cuma mungkin sinetron Suami-Suami Takut Istri masa tayangnya cukup lama 3,5 tahun, makanya jadi lebih diingat,” ungkap Aty yang kerap dipanggil Dedew ini. Kariernya di dunia akting, boleh dibilang relatif stabil. Selain banyak tawaran sinetron dan FTV, ia juga tampil di sejumlah film, di antaranya SSTI: The Movie yang diproduseri oleh Anjasmara, dan Kabayan Jadi Milyuner. Ia mengaku sangat enjoy di dunia akting karena merasa bebas berakspresi. Di luar sinetron, ia juga tampil sebagai presenter sejumlah acara, di antaranya kuis-kuis. Pembawaannya yang lincah, ramah, dan rada centil ini bisa jadi menjadi salah satu sebab kenapa pekerjaannya di dunia hiburan tidak pernah sepi. “Ini adalah rezeki badan gemuk,” katanya sambil tertawa. – Diana Runtu
“Kita hidup jangan mengikuti standar dunia, jangan biarkan kita terbawa standar dunia. Standar kita adalah standar Tuhan. Jadi apa pun yang terjadi dalam hidup kita adalah kemauan Allah.”