14 - 20 April 2014
24
Ada Uang Ada Suara “Bu…apa sudah punya calon legislatif yang bakal dipilih?” tanya seorang lelaki mendekati beberapa wanita yang baru datang ke sebuah TPS di lingkungan Kelurahan Sungai Bambu, Jakarta Utara. Awalnya para ibu ini diam saja, karena memang mereka tak mengenal lelaki itu. Sebelum masuk mendaftar di TPS, langkah mereka terhenti di papan yang ditempel nama-nama caleg partai yang ikut berlaga.
M
ereka tampak kebingungan melihat begitu banyak caleg yang nama dan fotonya terpampang jelas, namun tak satupun mereka kenal. Makin bingung lagi, ketika melihat nama-nama dan foto para calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang memang tidak mewakili parpol sehingga tidak ada lambang parpol yang menyertai penampilan mereka. “Saya pilih yang mana nih? Lho kok ini cuma foto-foto dan nama, tidak ada nama partainya,” ujar seorang ibu sembari menunjuk kertas nama-nama calon anggota DPD Jakarta. Laki-laki yang sebelumnya sempat menyapa para ibu ini, langsung mendekati mereka lagi. “Apa ada yang dikenal, bu?” tanyanya. “Tidak ada, nggak tahu mau pilih yang mana,” ucapnya. Laki-laki ini pun menanyakan, apakah sudah punya nama partai? Dua di antara tiga ibu itu pun menyebut nama sebuah partai. “Nah, ibu kebetulan, kalau ibu pilih partai itu, ini saya punya nama calon,” ucapnya sambil menyebut nama calon yang dibawanya. Sepertinya, kedua ibu itu tertarik, lalu meminta ditunjukkan nomor urut dan namanya. Setelah itu, ketiga ibu itu pun masuk ke TPS dan tak lama kemudian mereka pun masuk bilik suara. Saparuddin, atau biasa yang disapa Udin, setelah menawar-
kan calonnya tidak lantas pergi. Dia tetap di halaman TPS. Ia pun kembali mendekati para ibu tersebut, “Bagaimana bu, apakah mencoblos calon saya,” tanyanya dengan tersenyum. “Iya, dari pada bingung,” ucap salah satu dari ibu tadi sambil berjalan pergi. Udin pun tersenyum senang. Meski tidak ada bukti bahwa ibu itu mencoblos calon yang disodorkan calo itu, namun Udin mengaku percaya. Menurutnya, ia yakin yang dikatakan ibu tersebut benar. Udin tidak memberi uang ataupun ‘hadiah’ pada ibu-ibu itu. Hanya ucapan terima kasih. Lalu, bagaimana Udin bisa mendapat bayaran karena tidak ada bukti bahwa seseorang menyoblos? Menurut Udin, uang yang diterimanya tidak banyak, hanya beberapa ratus ribu saja. Tapi ia menolak menyebut berapa persisnya. Ia pun tak seberapa ngotot memperjuangkan calonnya, karena sadar sulit untuk mendapatkan bukti pasti soal pencoblosan, apalagi kamera ataupun hand phone tidak diperkenankan dibawa masuk bilik pencoblosan. “Ya jadi soal kepercayaan aja, sih. Lagian, saya nggak berani maksa, takut,” ucapnya sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Lagi pula, ia pun sempat didamprat warga ketika mencoba menawarkan calonnya pada beberapa warga yang kebetulan laki-laki. “Saya didamprat, bahkan diusir. Padahal saya menawarkan
baik-baik, tidak memaksa. Tapi bapak-bapak itu marah. Saya jadi takut,” jelasnya. Dia sendiri tak berharap banyak dari upayanya menyodorkan calon, apalagi, memang dia tidak memberi hadiah apapun pada warga yang berjanji akan menyoblos calonnya. “Tidak ada uang, tidak ada sembako, Upaya saya ini kan juga maksud menolong buat mereka yang bingung memilih,” kilahnya. Tapi lucunya, tambah Udin sembari meringis, ada juga warga yang ketika ditawari calonnya, malah menjawab,”Ada uang, ada suara!” Ternyata bukan hanya Udin yang jadi calo suara di TPS itu. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan pekerjaan yang sama. Modusnya sama seperti Udin, mereka mendekati warga yang datang ke TPS, khususnya mereka yang terlihat bingung di depan papan nama-nama caleg yang berlaga di pemilu legislatif 2014 ini. Usaha mereka tak selalu disambut baik. Seorang oknum keamanan misalnya, yang mencoba menitip calonnya, kena damprat warga dan diusir. “Anda ini, bukannya menjaga keamanan malah nyodor calon. Pergi sana!” ujar seorang bapak berang. Si oknum keamanan ini dengan wajah merah padam, langsung pergi. Rupanya dia khawatir peristiwa itu akan berbuntut panjang karena memang tugasnya di TPS itu untuk menjaga keamanan bukan ‘nyambi’ menyodorkan calon. Modus calo suara memang macam-macam. Ada yang seperti Udin, yang relatif aman, tapi ada juga yang mengarah pada tindak kriminal seperti yang terjadi di beberapa TPS. Yakni, dengan mendaftar sebagai pemilih dengan membawa KTP orang lain. Alasannya, tidak mendapat undangan pemilih, jadi menggunakan KTP. Mereka kabur ketika petugas TPS terlihat curiga.
Pegiat pemilu bersih melakukan aksi kampanye tolak politik uang
sumber foto ppp.or.id
Suasana pemilu
Jika Udin boleh dibilang sebagai pemain baru dalam menjajal bisnis sebagai calo suara, lain halnya dengan Idham Kholid yang terlihat lebih berpengalaman. Ia mengaku sudah 10 tahun menggeluti pekerjaan ini karena hasilnya yang lumayan. Karenanya, tak heran kalau namanya sudah cukup dikenal sebagai calo suara. Ajang Pemilu kali ini, misalnya, menjadi kesempatannya mendulang rezeki. Terlebih dia bukan hanya piawai dalam urusan blusukan mencari suara bagi caleg-caleg tertentu yang menjadi kliennya, tapi juga jago dalam pengumpulan massa. Pada kampanye pemilu legislatif lalu, ia juga bertindak sebagai koordinator pencari massa untuk partai-partai tertentu. Menurutnya, ini tidak sulit dilakukan, selain pekerjaan sebagai koordinator massa bayaran bukan hal yang baru, ia juga telah memiliki jaringan yang bisa menyediakan stok massa bayaran. Harga per kepala antara Rp 25 ribu-35 ribu tergantung jumlah uang yang didapat, dan berapa banyak massa yang digarap. Ia sendiri tidak bekerja sendirian. Setidaknya timnya berjumlah 5 orang, mereka adalah teman-teman dekatnya. Lalu, apakah ia juga membagi-bagikan uang atau sembako pada orangorang yang digarapnya? Aam mengaku, tidak selalu. Kadang ia membagi-bagi uang, namun itu tidak banyak, pun harus dilaku-
foto solo pos
kan dengan hati-hati. Sedangkan sembako, ia lakukan juga. Atas kerja kerasnya di lapang an, tentu saja Aam, begitu namanya akrab disapa, mendapat bayaran tertentu dari kliennya. “Adalah imbalannya, masak nggak ada, kan saya dan teman-teman sudah kerja. Jumlahnya tidak besar, tapi lumayan lah. Saya sih tidak mematok harga berapa, tergantung kesanggupan saja. Biasanya satu suara diharga sekitar Rp 25.000,” tutur lelaki yang mulai menggeluti bisnis ini sejak pemilu 2004. Dari imbalan yang didapat tersebut, biasanya hanya 1020% masuk kantong pribadi, sedang sisanya, dibagi pada tim juga untuk keperluan lain. Tapi, jumlah itu, tidak termasuk biaya operasional yang telah ditanggung klien. Untuk mendapatkan suara yang diinginkan, ia harus pandaipandai me-maintenance orang yang digarapnya. “Jadi tidak bisa hanya sekali ketemu orang, kasih duit terus pergi begitu saja. Kita harus beberapa kali datang ke rumah orang-orang itu, istilahnya menjalin silaturahmi. Misalnya, datang bawa sembako, atau kasih uang, atau apa saja. Jadi mereka akan ingat kepada kita. Nanti kalau mendekati hari ‘H’ datang lagi, jadi orang-orang itu akan ingat,” tutur Aam yang mengaku lebih senang menggarap massa atau pemilih para ibu-ibu karena para ibu tidak banyak bertanya ini-itu. –Diana Runtu