31 Maret - 6 April 2014
24
Jangan Jatuh dan Tertimpa Tangga Tahun 2009 lalu, seusai Pemilu, pemberitaan dihebohkan dengan banyaknya calon anggota legislatif yang stres dan depresi karena gagal meraih kursi wakil rakyat yang terhormat. Bukan sekadar stres dan depresi, banyak juga yang menjadi gila, meninggal karena serangan jantung atau bahkan bunuh diri.
P
enyebab utama dari stres, depresi bahkan gila dan bunuh diri itu, bukan sematamata karena malu gagal menjadi wakil rakyat, tapi karena biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh tempat terhormat itu luar biasa besar itu, hilang tak kembali. Padahal untuk mendapatkan dana kampanye sebesar itu, seorang caleg telah mengeluarkan segala kemampuannya mulai menjual atau menggadaikan barang berharga miliknya hingga berutang kemana-mana. Tak heran kalau kemudian para caleg gagal ini, stress atau depresi ketika harapannya musnah. Kisahkisah caleg gagal jatuh bangkrut alias miskin mendadak, tentu sudah banyak kita dengar. Membayangkan tagihan utang yang menggunung, membuat mereka down dan akhirnya mendekam di rumah sakit jiwa. Bahkan ada yang bunuh diri karena tak kuat menanggung hutang yang harus dibayar. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Data Kementerian Kesehat an menyebutkan, paskapemilu 2009, sebanyak 7.376 caleg yang gagal terkena gangguan jiwa alias gila, yang terbanyak adalah caleg tingkat kabupaten/kota. Sebanyak 182.876 caleg berpotensi mengalami gangguan jiwa ringan. Sedang beberapa caleg lainnya dilaporkan bunuh diri. Diperkirakan, jumlah caleg stres dan depresi pada Pemilu 2014 ini akan meningkat sekitar 20%-30% dari sebelumnya. Hal ini diamini oleh Siti Zuhro, peneliti
Hamdi Muluk
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Ini karena mahalnya biaya kampanye dan ketatnya pertarungan di dapil, membuat para caleg yang gagal mengalami stres. Mereka yang kalah pasti stres berat. Mereka tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, sementara sudah habis-habisan. Itu sebabnya muncul fenomena caleg stres bahkan sampai bunuh diri,” ujar pengamat politik berambut pendek ini, di Senayan, Jakarta. Menurut Hamdi Muluk, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, fenomena maraknya caleg stres karena mereka tidak siap mental dan tidak mengkur kemampuan diri. Sosialisasi kampanye yang menghabiskan dana besar dan tekanan sosial menjadi penyebab utamanya. Tujuan mereka menjadi anggota legislatif adalah karena gaji besar dan menguntungkan dari sisi pendapatan.
Sehingga rela mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliaran untuk membiayai kampanyenya. Mereka berpikir uang yang dikeluarkan selama masa kampanye akan bisa kembali setelah menjabat. Mereka yang berpikir demikian, memiliki potensi mengalami gangguan jiwa, ketika gagal. “Kalau nggak siap mental dan risikonya, ya, stres,” ucapnya. Fenomena 2009 yang tak terduga membuat sejumlah rumah sakit mempersiapkan diri untuk menghadapi paskapemilu 2014. Hal ini sejalan dengan imbauan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri yang meminta agar rumah sakit menyediakan tempat khusus untuk merawat caleg yang stres paskapemilu 2014. “Jumlah orang stres di Indonesia setiap tahunnya bertambah. Kami juga memprediksi jumlah caleg stres usai pemilu akan cukup banyak khususnya mereka yang kalah. Karena itu kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah maupun rumah sakit agar menyediakan tempat khusus untuk caleg yang stres,” katanya. TARIF RP 75-250 RIBU Di Jakarta sendiri, setidaknya ada dua rumah sakit jiwa yang telah siap menampung calegcaleg stres, yakni, Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, Grogol Jakarta, dan, Rumah Sakit Khusus Duren Sawit, yakni rumah sakit pelayanan jiwa dan narkoba. RSJ Soeharto Heerdjan yang terletak di Jl Prof Latumenten No 1 Grogol Jakarta Barat, menjadi tempat para caleg menjalani tes kesehatan jiwa sebagai syarat ikut pemilu, telah menyediakan sejumlah ruang
RSJ Soeharto Heerdjan
rawat inap dengan biaya bervariasi dari Rp 75.000 hingga Rp 250.000 per-malam. Menurut Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Soeharto Heerdjan, M Reza Sjah, sebenarnya rumah sakitnya tidak secara khusus menyiapkan ruangan untuk caleg-caleg stres. Namun, melihat fenomena paskapemilu 2009, rumah sakitnya juga mengantisipasi hal tersebut. Dia sendiri tidak mengetahui persis apakah tahun 2009 lalu, ada caleg gagal yang mengalami gangguan jiwa masuk rumah sakitnya atau tidak karena dalam biodata pasien tidak tertulis pekerjaan sebagai caleg. “Mungkin ada, namun data semacam itu dirahasiakan oleh dokter. Lagipula kalau berdasarkan formulir yang diisi pasien, tidak ada yang menyebut pekerjaan caleg,” jelasnya. Bisa jadi juga, data tersebut tidak disampaikan, karena rasa malu berobat ke rumah sakit jiwa. “Penilaian masyarakat, kalau berobat ke rumah sakit jiwa, negatif. Karena ini adalah rumah sakit khusus. Kalau rumah sakit lain, kan, tidak ketahuan karena gabung dengan pasien lain,” tambahnya. Menurutnya, caleg yang menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, umumnya dikarenakan terjadinya gangguan psikosomatis. Gangguan yang disebabkan faktor psikis ini merupakan gangguan gangguan kesehatan yang sering dialami karena seseorang stres. Gangguan psikosomatik terjadi akibat adanya gangguan
Diperkirakan, jumlah caleg stres dan depresi pada Pemilu 2014 ini akan meningkat sekitar 20%-30% dari sebelumnya.
Ruang rawat inap RSJ Soeharto Heerdjan
keseimbangan saraf otonom, sistim-hormonal tubuh, gangguan organ-organ tubuh serta sistem pertahanan tubuh. Berbagai kelainan organ yang terjadi dapat dihubungkan dengan faktor-faktor yang menyebabkan kelainan organ tersebut. Berbagai keluhan yang dapat timbul saat seseorang mengalami stress antara lain sakit kepala, pusing melayang, tangan gemetar, sakit leher, nyeri punggung dan otot terasa kaku, banyak keringat terutama pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, selain itu ujung-ujung jari tangan dan kaki terasa dingin, gatal-gatal pada kulit tanpa sebab yang jelas. Mereka juga bisa mengalami nyeri dada, nyeri ulu hati, mual, perut kembung dan begah serta diare. Gangguan yang terjadi akibat stres bisa multi organ. Proses penyembuhannya bisa dengan meminum obat psikofarma dan konseling hingga sembuh. Sedang jangka waktu penyembuhan, tergantung pada berat ringannya gangguan. “Jika ringan, hanya sekitar dua mingguan. Tapi bila berat, bisa sampai berbulanbulan,” ujarnya. Tapi, tidak semua orang yang terkena depresi harus mendekam di rumah sakit jiwa. Jika yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah maka tak akan sampai kena gangguan jiwa. “Tidak perlu dirawat,” ucapnya. Sebenarnya, lanjut Reza, setiap caleg yang akan berlaga dalam pemilu telah diperiksa kesehatan jiwanya di rumah sakit. Ini adalah salah satu persyaratan yang harus dimiliki caleg. Untuk mendapatkan surat tersebut, caleg benar-benar harus menjalani serangkaian tes, baik tertulis maupun wawancara. Materi tes tersebut khusus dirancang oleh psikolog untuk melihat dan menilai kepasitas mental seseorang. Pertanyaan cenderung berulang-ulang untuk melihat konsistensi jawabannya. “Jadi akan terlihat kalau seseorang itu berbohong atau tidak dari jawabanjawabannya. Dari tes juga akan terlihat apakah dia rentan terhadap stress, depresi, dll,” ujarnya. Jadi nantinya, dalam surat keterangan sehat jiwa tersebut, akan terlihat kondisi kejiwaan caleg yang bersangkutan, misalnya, apakah rentan stres, depresi, dll. “Hasil tes akan menjelaskan kondisi kejiwaan seseorang. Nah, soal memutuskan apakah seorang jadi caleg atau tidak, tetap saja parpol yang ber sangkutan,” tuturnya. –Diana Runtu