SUDUT PANDANG
16
EDISI 1049/ 23 - 29 SEPTEMBER 2019
Jangan Gunakan Tarian Sakral Raih Rekor Muri
Gubernur Bali Wayan Koster menyebut seni budaya yang ada di Bali bukan seni biasa, melainkan berakar dari karya yang diciptakan untuk kepentingan upakara. Di mana kepentingan agama dan upakara agama dijalankan dengan satu tradisi adat istiadat yang juga diisi dengan unsur seni. “Itulah kelebihan kita di Bali, ada gamelan serta tarian. Tariannya bersifat sakral karena dipentaskan saat ada upacara agama,” kata Gubernur Koster di hadapan awak media seusai prosesi ‘Penandatanganan Keputusan Bersama Tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali’, di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Jayasabha, Denpasar, pada Selasa (17/9) pagi. Ia melihat, banyak seni tari sakral yang banyak bergeser dan mulai dipentaskan untuk kepentingan komersialisasi. Dipentaskan di sembarang tempat bahkan dijadikan alat untuk mendapatkan penghargaan seperti Rekor MURI. “Kondisi ini kami anggap desakralisasi, yang akan menurunkan kesakralan, akan menggeser dan merusak tatanan seni budaya yang diwariskan leluhur. Untuk itulah dalam rangka menguatkan adat dan kebudayaan lokal, saya pandang penting untuk memprioritaskan menjaga, melestarikan dan memelihara tatanan seni tradisi yang kita punya, khususnya tari sakral,” ujar Gubernur kelahiran Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng ini. Gubernur menegaskan, masyarakat juga perlu memahami pentingnya hal ini, dan memang harus dijaga bersama kesakralannya, sebagai suatu karya kreatif yang dibuat untuk upakara
keagamaan, adat, agama dan budaya dalam satu kesatuan. Namun demikan, Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini tak menampik pula bahwa banyak seniman yang mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan suatu tarian baru dari tarian-tarian sakral tersebut. Langkah ini sama sekali bukan untuk mengekang kreativitas, seniman, sanggar seni, serta sekaa yang ada di Bali. “Silahkan berkreasi dengan berbasis kepada seni tradisi sakral, namun tentu dibedakan dari garapan dan kemasannya. Namanya pun beda. Ini semata-mata untuk kepentingan penguatan kesakralan tari tradisi kita, agar kita punya ‘pagar’ untuk mengontrol hal tersebut. Mudah-mudahan ini jadi langkah penting kita untuk memajukan kebudayaan di Bali, ” katanya lagi. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) juga menyampaikan rasa apresiasinya dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh berbagai pihak dan lembaga yang berkepentingan. “Jika saya mengambil sudut pandang seniman, maka akan sangat berbeda orientasinya jika kita membawakan tarian yang sakral. Ini karena orientasinya 100 persen adalah persembahan kepada Tuhan, bukan untuk menghibur apalagi komersil. Kalau demikian sudah menyimpang namanya,” ujar pria yang juga seniman tari ini. Sementara itu, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof I Gede Arya Sugiartha menyebut daftar tarian yang disakralkan tersebut sudah melaui
kajian antara lain melibatkan tim dari ISI Denpasar, dinas Kebudayaan provinsi Bali serta Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali. “Kesepakatan ini tentu akan diteruskan dengan sosialisasi lebih lanjut ke masyarakat, agar tidak terjadi salah pemahaman. Sekali lagi ini bukan mengekang kreativitas, namun upaya untuk mendudukkan seni sakral ini di tempat yang semestinya. Unsur nilainya bisa berkembang lagi di masyarakat,” urainya. Di kesempatan tersebut juga, Budayawan Prof Dr Made Bandem menyebut pendataan tarian sakral yang disusun tersebut berdasarkan kepada rumusan di tahun 1971 dengan klasifikasi bertajuk ‘Wali, Bebali dan Bali-Balihan’ yang diartikan sebagai wali (sakral) atau bebali (upacara) dan balih-balihan (hiburan). “Tari wali dan bebali dapat ditarikan di tempat dan waktu tertentu. Tari wali dipentaskan di halaman bagian dalam pura dan tari bebali di halaman tengah (jaba tengah, red) jadi dapat dikategorikan sebagai tarian sakral. Sebaliknya tari balihbalihan ditarikan di halaman luar pura (jaba sisi, red) dalam acara yang bersifat hiburan lebih ditekankan kepada sisi artistiknya dan bisa dipentaskan di tempat lain, untuk pariwisata dan lainnya,” ujar Prof Bandem. Dilanjutkan Prof Bandem, dalam data mutakhir yang disusun pada tahun 1992 oleh Listibya dimana terdaftar 6.512 kelompok seni di Bali yang 70 persen diantaranya mengusung tari kategori wali dan bebali. “Perkem-
Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali
bangan seni yang begitu pesat di Bali dan pada tahun 2015 kita menemukan 10.049 sekaa di Bali dan tetap sebagian besar pada wilayah tari wali dan bebali. Ini dasarnya sehingga perlu diproteksi lebih jauh lagi,” ujarnya. Dalam kesepakatan yang dibacakan oleh Kadis kebudayaan Provinsi Bali I Wayan Kun Adnyana, disebutkan bahwa dalam upaya Penguatan dan Pelindungan Kebudayaan Bali sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, melalui POLA PEMBANGUNAN SEMESTA BERENCANA, menuju BALI ERA BARU, maka dibuat Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali yang ditandatangani oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana M.Si, Bendesa Agung Majelis Desa Adat
(MDA) Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Umum Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Bandem, MA, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dr. I Wayan Adnyana, S.Sn., M.Sn, dan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum., serta disaksikan oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan Sekretari Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra. Adapun Jenis tari yang dimaksud antara lain: Tari Rejang, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede, Wayang Lemah, Topeng Sidakarya dan lain-lain dengan total 127 jenis tarian. “ Namun tidak menutup kemungkinan bisa bertambah lagi, dengan melihat aspirasi dan usulan masyarakat,” ujar Adnyana. (ast).
Terbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2019
Pemprov Bali Serius dalam Penguatan Desa Adat
Pemerintah Provinsi Bali serius dalam penguatan keberadaan Desa Adat di Bali. Hal ini telah dibuktikan dari terbitnya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, yang secara resmi telah diberlakukan tanggal 4 Juni 2019. Selain itu, Peraturan Gubernur Bali No. 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali, juga telah diundangkan tanggal 17 September 2019. Bahkan, Pemprov Bali telah membuat Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 7 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No.10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, yang diundangkan tanggal 17 September 2019. Dan akan dibangun Kantor Majelis Desa Adat Provinsi dan Kabupaten /Kota Se-Bali yang akan dimulai pada tahun 2020. Hal ini disampaikan Gubernur Bali Wayan Koster melalui press rilis resminya, Rabu (18/9) di Denpasar. Disampaikan Gubernur Koster, Penguatan Desa Adat di Bali dalam Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali antara lain memberikan pengakuan dan penghormatan atas kedudukan dan peran Desa Adat yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Desa Adat berkedudukan di
wilayah Provinsi Bali. Desa Adat berstatus sebagai subyek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali. Menjadikan Desa Adat sebagai pelembagaan dalam pelaksanaan tatanan kehidupan masyarakat Bali sesuai dengan kearifan lokal Sad Kerthi,” ungkapnya. Lebih lanjut, pengaturan yang jelas mengenai kategori Krama beserta swadharma (kewajiban) dan swadikara (hak) masing-masing terdiri atas : Krama Desa Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu. Selain itu, perubahan status hak dan fungsi atas tanah Desa Adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan. Ditambahkan Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini, penegasan dan perluasan tugas serta wewenang Desa Adat termasuk kewenangan lokal bersakala Desa Adat yang meliputi: 1. Mengatur, mengurus, dan mengayomi penyelenggaraan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan Desa Adat; 2. Memelihara dan mengembangkan sistem dan pelaksanaan hukum adat; 3. Menyelenggarakan Sabha Desa Adat dan Kerta Desa Adat; 4. Memajukan adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal masyarakat Desa Adat; 5. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan nilai-nilai Sad Kerthi; 6. Menyelenggarakan Pasraman berbasis keagamaan Hindu untuk pengembangan
Gubernur Wayan Koster
jati diri, integritas moral, dan kualitas masyarakat Bali; 7. Memelihara keamanan Desa Adat; 8. Mengembangkan perekonomian Desa Adat; 9. Menjaga keberlangsungan status hak atas tanah Padruwen Desa Adat; Serta menjaga kesucian, kelestarian, kebersihan, dan ketertiban Palemahan Desa Adat. “Memperjelas tugas dan kewenangan Pemerintahan Desa Adat yang terdiri atas Prajuru, Sabha Desa, dan Kertha Desa. Tak hanya itu, juga memperjelas tata kelola kelembaga Adat di Desa Adat meliputi : Paiketan Pamangku; Paiketan Serati; Paiketan
Wredha; Pacalang; Yowana Desa Adat; Paiketan Krama Istri Desa Adat; Pasraman; dan Sekaa dan Lembaga Adat lainnya. Mengatur dengan jelas Padruwen dan Utsaha Desa Adat. Mengatur Anggaran Belanja dan Pendapatan Desa Adat,” jelasnya. Selain itu juga diatur tata hubungan dan kerjasama Desa Adat : Kerjasama Desa Adat dengan Desa Adat lain; Kerjasama Desa Adat dengan Desa/ Kelurahan; Kerjasama Desa Adat dengan pihak lain. Sementara Peraturan Gubernur Bali No. 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali mengatur antara lain Pendapatan Desa Adat bersumber dari: pendapatan asli Desa Adat; hasil pengelolaan padruwen Desa Adat; alokasi APBD Provinsi; bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota; bantuan Pemerintah Pusat; hibah dan sumbangan (dana punia) pihak ketiga yang tidak mengikat; dan pendapatan lain-lain Desa Adat yang sah. “Dana alokasi APBD Provinsi, bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan bantuan Pemerintah Pusat, ditransfer langsung ke rekening Desa Adat; tidak lagi melalui BKK (Bantuan Keuangan Khusus) ke Desa Dinas. Dengan Pergub ini penggunaan keuangan Desa Adat menjadi lebih terencana, terarah, dan akuntabel, sehingga Prajuru Desa
Adat dapat melaksanakan tugasnya dengan aman, nyaman, dan tidak dihantui ketakutan masalah hukum. Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD Provinsi dapat digunakan untuk: membiayai operasional, menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Desa Adat, dan meningkatkan pelayanan Krama Desa Adat,” tegas Gubernur asal Desa Sembiran, Tejakula, Buleleng ini. Dengan dibentuknya Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 7 Tahun 2019, maka untuk pertama kali sepanjang sejarah Pemerintah Provinsi memiliki perangkat daerah yang khusus menangani urusan yang berkaitan dengan Desa Adat. “Majelis Desa Adat Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Bali akan disediakan kantor, dilengkapi dengan tenaga administrasi, peralatan kantor, dan biaya operasional untuk menunjang tugas Majelis dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan Desa Adat,” imbuhnya. Semua kebijakan tersebut merupakan bukti nyata kesungguhan Gubernur Bali dalam memperkuat Desa Adat sebagai jantung peradaban Bali sebagai implementasi Visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. (ast).
redaksi@cybertokoh.com, iklan@cybertokoh.com
cybertokoh
@cybertokoh
@cybertokoh
www.cybertokoh.com