Edisi Senin, 21 Mei 2018 | Suara NTB

Page 1

HARIAN UNTUK UMUM TERBIT SEJAK 1 MARET 2004 LANGGANAN LOMBOK Rp.85.000 SUMBAWA Rp.90.000 ECERAN Rp 5.000

SENIN, 21 MEI 2018

SUARA NTB Pengemban Pengamal Pancasila

Gerai Suvenir Gulung Tikar dan Monopili Pemodal Banyak gerai suvenir dan artshop tutup karena persaingan tidak sehat dan monopoli pemodal besar. Tidak ada opsi pekerjaan lain membuat mereka berpotensi menambah angka kemiskinan baru. Hanya uluran tangan pemerintah dan inovasi usaha yang mampu membuat mereka beranjak dari keterpurukan.

(Suara NTB/ars)

SEPI – Suasana lengang di jalur industri gerabah Banyumulek Kecamatan Labuapi. Tidak ada kesibukan layaknya pusat kerajinan. Di sini, puluhan artshop tutup sejak beberapa tahun lalu, termasuk Pasar Seni di seberang kantor desa ini. SITUASI ini seharusnya tidak terjadi jika melihat angka- angka yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB dan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).Dalamperhitungan,sektorpariwisata memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja pada Februari 2018 untuk penyedia akomodasi dan makan minum sebagai salah satu sektor yang berhubungan dengan pariwisata, yakni sebesar 4,71 persen. Kontribusinya terhadap pertumbuhanekonomi padatriwulansatu tahun 2018 sebesar 2,36 persen. Pada angka berbeda tahun 2017, data DPMPTSP, realisasi PMA sektor pariwisata pada 2013 sebesar Rp 146,5 miliar. Tahun 2014 meningkat menjadi Rp 1,65 triliun, 2015 menjadi Rp 2,15 triliun, 2016 menjadi Rp 2,1 triliun dan 2017 sebesar Rp 1,43 triliun untuk PMA sektor pariwisata. Jika pariwisata belum berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi, menurut Kepala BPS Provinsi NTB, Endang Tri Wahyuningsih cukup beralasan. Ia menilai belum tumbuhnya ekonomi kreatif, terutama persoalan di industri. Sebab industri belum maksimal digarap oleh masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan produsen-produsen luar mengambil manfaat. ‘’Misalnya, beberapa produk yang dipasarkan kepada wisatawan, seperti ketak dan kerajinan-kerajinan kreatif lainnya. Tidak boleh produk lokal yang dihasilkan di NTB dijual ke orang luar, lalu di poles lagi dan di jual kembali di NTB,” sesalnya. Karena itu pekerjaan rumah pemerintah daerah adalah menggarap bagian hulu, industrinya. Mengemas produk lebih baik lagi. Kemiskinan di Pusat Kerajinan Angka kunjungan wisata yg mencapai 3,5jutadanakannaikjadi4jutapertahun. Pertanyaan besarnya, apa detteren effect peningkatan ekonomi pariwisata dengan kesejahteraan masyarakat? Pesatnya angkakunjungantidakberbandinglurusdengan kesejahteraan . Efek tetes pariwisata

belum berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor yang bergantung pada industri kerajinan. seperti artshop, kerajinan cukli, suvenir khas lokal lainnya. Pusat kerajinan gerabah di Desa Banyumulek, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat menjadi contoh paling nyata. Badai krisis usaha mereka dihantam ketika peristiwa bom Bali 2002 lalu. Perajin gerabah sebelumnya, lebih dari 2.000 orang.MeskipariwisataNTBberanjakbangkit sampai pada level saat ini, nasib mereka tidak berubah. Banyak yang akhirnya bangkrut dan tidak sedikit jatuh miskin. Sebagian menyelamatkan diri dengan membangun usaha, seperti kios dan gerai ponsel. Jumlah artshop yang sebelumnya 50usaha,nyarissemuanyatiarapdanhanyaempatusahayangbertahanhinggakini. Kondisi saat ini, dari 2.600 KK masyarakat Desa Banyumulek, setengahnya atau sekitar 1.200 KK terkategori miskin sesuai data disampaikan Sekdes Suhaili. Dominasi Pengusaha Pemerhati pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, Drs. I Putu Gede, M.Par., mengatakan, terjadi kecenderungan peningkatan jumlah wisatawan. Terutama wisatawan lokal yang banyak memburu cinderamata. Hanya saja, belanja cinderamata berupa pusat oleh-oleh di banyak sudut di Pulau Lombok dominan milik pengusaha bermodal. “Artinya ini menutup peluang dari UsahaMikro,Kecil,danMenengah(UMKM) yang kecil-kecil itu,” ujar Putu Gede. Selain itu, menurut Putu Gede, pusat oleh-oleh itu, banyak mendatangkan produk dari luar NTB. Barang-barang itu banyakdidatangkandariYogyakartaatau Bali dengan partai besar dan harga yang lebihmurahdibandingkandenganartshop kecil. Ketua STP Mataram ini khawatir, jika kondisi itu terus dibiarkan berlangsung, akan berpengaruh pada peningkatan kemiskinan. Terlebih lagi ketika orang dari luar membawa gagasan, ide,

produk, dan sebagainya, sedangkan masyarakat hanya menonton. “Dalam konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat itu, masyarakat yang diuntungkan. Kalau berbanding terbalik, tidak tercapai konsep pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dicanangkan,” kritiknya. Oleh karena itulah, diperlukan peranan pemerintah untuk memediasi. Pemerintah perlu melakukan koordinasi antarapihakterkaitataustakeholders,masya rakat, dan pemerintah sendiri dalam pengembanganUMKM. Namunia memberi catatan, ada kelemahan pada produk UMKM seperti manajemen produksi yang kalah dengan pemodal besar. Modal UMKM yang kecil juga semakin menyulitkan untuk bersaing. “Begitu juga homeindustry harus bisa membuat produk itu berkualitas, unik, kreativitas, jangan peniruan, tapi autentik. Murni buatan lokal,” ujarnya menyarankan. Ia juga menyoroti promosi perajin dari UMKM yang sangat kurang. Karena itu, UMKM juga harus membangun jejaring. Kecenderungannya, industri kecil tidak memiliki jejaring terutama travel agent atau agen perjalanan yang sering membawa tamu. “Itu kan tidak terbangun, kalau di pusat oleh-oleh yang masuk ke sana jelas ada guide fee, belanja berapa dapat berapa? Yang dibangun oleh pusat oleh-oleh, kerjasamanyasudahjelas.TapidiUMKM kan tidak begitu,tidak berani,” jelasnya. Anggaran Pemprov Cekak Ketika semua harapan membangkitkan komoditi usaha kerajinan lokal itu bertumpu pada pemerintah, ekspektasi itu tidak bisa diharapkan jika melihat kondisi Pemprov saat ini dengan anggaran cekak. Kepala Dinas Perindustrian (Disperin) NTB, Dra. Baiq Eva Nurcahyaningsih, M. Si mengaku belum bisa menjelaskan saat ditanya soal formula untuk memotivasi pengusaha kecil. Eva mengaku sedang fokus membahas anggaran untuk tahun 2019 mendatang. Ketika ditanya soal Disperin yang minim anggaran untuk melakukan pembinaan terhadap industri kreatif khususnya kerajinan? Eva tak menjawab. Berdasarkan data Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur NTB akhir masa jabatan 20132018 yang dipeorleh Suara NTB, anggaran bidang perindustrian sejak lima tahun terakhir berjumlah Rp 55 miliar. Setiap tahun, anggaran untuk bidang perindustrian paling cekak, berkisar antara Rp 7 sampai Rp 17 miliar. Ini pun harus dibagi dengan seabrek program lainnya. (bul/ars/ron/nas)

Dulu Jutawan, Kini Terpuruk dan Jadi TKI ERA tahun 2000 menjadi masa keemasan gerabah Banyumulek, Kecamatan Labuapi Lombok Barat. Begitu juga sentra kerajinan lainnya di Rungkang Jangkuk, Kelurahan Sayang Sayang Mataram. Masa kejayaan itu runtuh ketika bom meluluhlantakkan Legian, Kuta, Bali, berdampak terpuruknya industri kerajinan gerabah hingga cukli yang jadi sektor andalan ekspor. Efek bom sudah berlalu, pariwisata Bali dan NTB merangkak pulih. NTB bahkan mencatat rekor kunjungan hingga 3,5 juta wisatawan tahun 2017. Semuasektorekonomiyangbergantungdari kunjungan wisata meraup untung. Tapi rupanya tidak dengan kerajinan rakyat seperti gerabah dan cukli. Alih alih mengembangkan usaha, modal mereka cekak akibat sirkulasi barang macet. “Saya bingung bagaimana membahasakan. Lihat saja sendiri. Dari 100 artshop, sekarang hanya tinggal empat yang bertahan. Gerai gerai gerabah berubah jadi kios. Benar benar sudah terpuruk,” tutur Sekertaris Desa Banyumulek, Suhaili kepada Suara NTB akhir pekan lalu. Gerabah tidak lagi menjadi sumber pendapatan menjanjikan. Para perajin kocar kacir, gerai tutup, mereka dipaksa memilih profesi lain meski tidak menjanjikan. “Ada yang jadi buruh tani, ada yang jadi TKI,” ungkapnya. Menyusuri Desa Banyumulek setelah melewati gapura pada siang itu, ibarat masuk ke perkampungan “mati”. Tidak ada denyut kesibukan layaknya sebuah kawasan industri kerajinan. Sepi. “Kalau dulu, saya seminggu bisa dapat Rp 1 juta. Itu dulu. Kalau kerajinan gerabah yang dulu hidup sampai sekarang, mungkin bisa sampai puluhan ratusan juta saya dapat,” cerita manis Jumrah, pemilik salah satu artshop yang gulung tikar. Tahun2006menjadiTKIadalahkeputusan paling mungkin bagi Jumrah sebagai pelarian untuk menyalamatkan ekonomiistridanduaanaknya.Tigatahun berkeringat bekerja di majikan di sektor industri kerajinan di Malaysia, ia meraup ringgit. Waktu itu pemuda kampung yangkenegerijiranbukanhanyadia,banyakwargalainyangeksodusmenjadiTKI. Para tekong yang giliran ‘panen’. Jumrah memutuskan pulang tahun

2008membawaringgityanglumayah. Apakah hasilnya dipakai buka usaha gerabah? Ternyata tidak. Gerabah masih lesu. “Kalau saya buka usaha gerabah lagi, siapa yang mau beli? Itu masalahnya,” keluh kesahnya. Uang itudiputuskantidakdiputaruntukkerajinan yang pernah membuatnya berjaya. Rasa nyaman menjadi TKI ditularkan ke warga lainnya yang hidupnya “ngos ngosan” bertahan di daerah. Jumrah menjadi calo atau pelaksana lapangan (PL) sebuah Perusahaan PengerahTenagaKerjaIndonesiaSwasta (PPTKIS). Satu per satu para mantanpengerajingerabahdanpemilikartshop berhasil dibujuk. “Dalam sebulan, ada 10 sampai 15 orang saya berangkatkan.Daripadamerekaluntang lantung ndak ada kerjaan di sini (Desa Banyumulek, red), kasihan mereka,” ujar warga RT 06 ini. Setelah berhasil menjelaskan cerita sukses menjadi TKI di kampungn(Suara NTB/ars) ya, Jumrah membayangkan nasib NYARIS BANGKRUT - Ahmayadi (50) sama dialami warga yang hidup di sedang menyelesaikan pesanan gerabah sentra kerajinan kampung lain. pusat lampu hias.Warga yang sudah menjadi perkerajinan di Kota Mataram seperti di ajin sejak 15 tahun lalu ini adalah sebagian RungkangJangkuk,GunungSariLom- kecil yang bertahan. Jika tidak ada pemebok Barat, Penujak Lombok Tengah san, ia terpaksa menjual keliling produknya. jadi sasaran ekspansinya sebagai PL. Dari sejumlah tempat itu, ia bisa membu- tidak bisa berbuat banyak, kita tidak bisa jukhinggalimaorangyangkehilanganpe- memaksakan belanja, tergantung dari orkerjaan untuk menjadi TKI. Jumrah han- ang yang bersangkutan. Tergantung dari yasatudari puluhanwargayangterpaksa produk mereka, berbelanja adalah satu alih profesi. Selebihnya ada yang berda- kesepakatan batin, dia butuh dan respek, dia belanja,” ujar Ainuddin. gang, buruh tani dan kuli bangunan. Disinggung terkait adanya fee yang membuat pramuwisata hanya menAkui Permainan Fee Salah satu yang disebut menjadi daya gantarkan wisatawan ke toko tertentarik pramuwisata membawa wi- tu, ia menegaskan, bahwa di seluruh satawan ke pusat oleh-oleh yaitu adanya dunia ada praktik seperti itu dan komisi yang relatif besar. Namun itu tidak diharamkan. Menurutnya tidak dibantah Himpunan Pramuwisata Indo- ada kesepakatan dan bukan berbennesia (HPI) NTB. Tidak ada kesepaka- tuk fee. “Itu komisi mereka dan tidak tan dalam berbisnis. “Di situ namanya ada kesepakatan,” tegasnya. Dijelaskannya, tidak ada kesepakamutualbenefit, jadi semua diuntungkan, orang yang membawa pergi ke sana (toko tan secara tertulis. Jika secara lisan, itu cinderamata) juga dapat,” kata Ketua sudah menjadi bagian dari komitmen HimpunanPramuwisataIndonesia(HPI) pengusaha. “Apakah ada patokan, atau art shop besar memberikan besar. Ndak Provinsi NTB, Dr. Ainuddin, SH.,MH. Ia menjelaskan, pramuwisata mem- ada, itu fitnah, yang kesepakatan lisan bawa wisatawan ke toko oleh-oleh atau itu tanya ke masing-masing art shop, apa artshop,tidakbisasemuawisatawanyang dasarnya dia (art shop) yang paling tahu. dibawa ke sana dipaksa belanja. Sangat Misalnya 20 persen, tapi itu keinginan bergantung dari produk yang dijual. “Kita art shop,” jelasnya. (ars/ron)

16 HALAMAN NOMOR 65 TAHUN KE 14 Online :http://www.suarantb.com E-mail: suarantbnews@gmail.com

TELEPON: Iklan/Redaksi/Sirkulasi (0370) 639543 Facsimile: (0370) 628257


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.