MINGGUAN TERBIT SEJAK 15 AGUSTUS 2016 E-mail: ekbisntb@gmail.com
SENIN, 7 AGUSTUS 2017
Ekbis NTB
4 HALAMAN NOMOR 47 TAHUN KE 1 TELEPON: Iklan/Redaksi/ Sirkulasi (0370) 639543 Facsimile: (0370) 628257
Kekuatan Ekonomi dan Dunia Usaha NTB
TERISPIRASI dari pengalamannya selama bekerja di luar daerah membuat M. Zainuri Hamka tidak mau hanya berdiam diri setelah pulang kampung. Untuk itu, pengusaha muda asal Praya Lombok Tengah ini berusaha memanfaatkan berbagai macam potensi yang ada di sekitarnya menjadi bahan berguna. Seperti menggunakan kerang, fiber, kayu, bambu dan lainnya. Halaman 2
Masih Mendominasi, Penyaluran Kredit ke Sektor Konsumtif
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Lampu Dinding dan Lampu Tidur Unik yang Diminati Wisatawan
PENYALURAN kredit perbankan di NTB masih didominasi oleh sektor konsumtif. Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit konsumtif mencapai angka 52 persen per Juni 2017. Selanjutnya penyaluran kredit untuk perdagangan besar dan eceran baru mencapai angka 26 persen, diikuti oleh sektor-sektor lainnya dengan jumlah persentase yang relatif kecil. Halaman 4
(Ekbis NTB/uki)
Petani garam di Desa Belo, Kecamatan Palibelo Bima sedang memproses garamnya.
Raihan Anwar
Impor Garam,
Ancaman bagi Petani Pemerintah akhirnya membuka keran impor garam dari negara Kangguru Australia. Langkanya garam di negara dengan pantai terpanjang di dunia ini menjadi salah satu alasan pemerintah mengimpor garam, terutama garam untuk industri. Lantas bagaimana nasib petani garam di NTB? NAIKNYA harga garam di pasaran sebenarnya membuat petani garam di Desa Belo, Kecamatan Palibelo, Kabu-
menjualnya, kini mulai memberikan keuntungan. Harga garam yang semula dihargai untuk ukuran 50 kilogram atau per sak Rp 15.000 hingga paling mahal Rp 50.000. Sekarang , dengan berat yang sama harganya menyentuh angka Rp 200.000. Keuntungan berlipat juga dinikmati petani garam lainnya di NTB. Di Lombok Timur (Lotim) misalnya. Petani garam di
paten Bima bisa tersenyum lebar. Garam yang selama ini dibeli dengan harga murah dan harus bersusah payah
sana bisa menjual satu sak garam berisi 50 kg senilai Rp 400.000. Keuntungan penjualan yang jarang didapat, jika harga garam tidak mengalami kenaikan di pasaran. Naiknya harga garam juga membuat petani garam di Bima bisa semakin semangat untuk berproduksi. Seperti dituturkan Nurdin, salah satu petani garam di Desa Belo.
Bersambung ke hal 3
Cetak Tambak Garam Baru KALANGAN DPRD NTB mendorong agar Pemprov NTB lebih banyak lagi mencetak tambak garam baru yang dianggap potensial. Karena dari sisi ekstensifikasi selama ini terlihat masih kurang upaya untuk memperluas lahan tambak baru. Padahal peluang NTB untuk mencetak lahan tambak garam masih sangat besar. Baik itu di wilayah pesisir Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa. Anggota Komisi II Bidang Pertanian DPRD NTB, Raihan Anwar, SE, M.Si mengatakan, di Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara serta beberapa titik di Pulau Sumbawa masih memiliki potensi yang besar untuk perluasan lahan tambak. Tinggal kebijakan pemerintah daerah yang masih ditunggu untuk program perluasan ini. Untuk menjaga agar petani garam tetap untung dalam usaha ini, Raihan meminta agar Harga Eceran Tertinggi (HET) garam disesuaikan kembali. Saat ini harga garam di pasaran masih tinggi, sehingga banyak petani yang juga diuntungkan. Namun saat stok pasar sudah normal kembali, harga garam kembali jatuh. Karena itu perlu HET yang baru agar ini bisa menguntungkan petani.
Bersambung ke hal 3
(Ekbis NTB/uul)
PEMINDANGAN - Fauziah sedang menabur garam di atas ikan yang baru dibeli dari nelayan. Fauziah yang bergerak di usaha pemindangan ikan ini mengaku harus membeli garam dengan harga mahal Keruak Lotim Produksi garam di Desa Pijot Kecamatan Keruak, Lotim
Produksi garam di Desa Pijot Kecamatan Keruak, Lotim
Pengusaha Akui Sulit Dapatkan Garam di Pasaran Tolak Impor Garam, Dorong Intervensi Perbaikan Infrastruktur
YAYASAN Perlindungan Konsumen (YPK) meminta petani garam tidak dijadikan kambing hitam atas kekurangan produksi garam yang memicu kenaikan harga beberapa waktu terakir. Pemerintah daerah diminta introspeksi diri. Meskipun kekurangan produksi garam terjadi akibat anomali cuaca. Ketua YPK Provinsi NTB, H. Moh. Shaleh, SH, M.Si., menegaskan, tidak lantas kemudian ada pihak yang dipojokkan. Berbicara peningkatan produksi menurutnya cukup banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya mengoptimalkan teknologi produksi garam. Ini yang menurutnya belum dilakukan oleh pemerintah. Saat ini harga mulai tinggi, tentu dampaknya merugikan konsumen. Oleh karenanya, jika pemerintah pusat memberlakukan kebijakan impor, tidak disalahkan jika garam impor tersebut masuk ke NTB. Sebab itulah solusi jangka pendek yang bisa menetralisir harga di pasaran.
Bersambung ke hal 3
(Ekbis NTB/dok
Jangan Salahkan Petani Garam
MAHALNYA harga garam sejak sebulan terakhir secara nasional mencuri perhatian berbagai kalangan, termasuk kalangan pemerintah. Beragam upaya sedang dilakukan untuk menstabilkan harga garam tersebut, termasuk rencana mendatangkan garam dari Australia sebanyak 75 ribu ton. Sementara di dalam daerah, potensi garam lokal akan semakin ditingkatkan untuk meningkatkan produksi. Ampuhkan upaya itu? Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI) Rusdianto Samawa kepada Ekbis NTB mengatakan, pihaknya selama ini juga konsen dalam upaya mendorong perbaikan nasib petani garam. Secara umum FNI menolak kebijakan impor garam pemerintah karena itu dinilai sebagai pilihan yang keliru. Sebaiknya pemerintah memberdayakan petani garam lokal karena potensinya sangat besar.
Bersambung ke hal 3 Data Sebaran dan Produksi Garam
(Ekbis NTB/ham)
Garam Impor Belum Dibutuhkan di NTB PEMPROV NTB memastikan, stok garam di dalam daerah masih kuat memenuhi kebutuhan lokal. Apalagi saat ini musim panen garam sedang berlangsung. Karenanya, pihak Pemprov NTB memandang garam impor belum terlalu dibutuhkan di NTB. ‘’Tapi soal garam impor, itu urusan pemerintah pusat. Apakah NTB akan dapat atau bagaimana, pusat yang menentukan nanti,’’ kata Kepala Dinas Kelautan Perikanan Provinsi NTB, Ir. L. Hamdi, M. Si., pada Ekbis NTB, Sabtu (5/8). Menurutnya, persoalan garam hanya karena kurangnya produksi secara nasional. L. Hamdi Bersambung ke hal 3
MAHALNYA harga garam industri paling berpengaruh terhadap industri-industri, terutama yang membutuhkan garam dalam jumlah banyak. Seperti usaha pemindangan ikan dan telur asin di Kota Mataram. Pengusaha yang bergerak di bidang usaha ini kesulitan mendapatkan garam sebagai bahan baku usahanya. Seperti yang dialami warga yang bergerak pada usaha pemindangan ikan di Pondok Perasi, Ampenan. Kampung nelayan ini terkenal sebagai salah satu sentra pemindangan ikan khususnya di Kota Mataram. Tumpukan ikan yang disusun dalam keranjang dan ditaburi garam sebelum direbus, menjadi pemandangan biasa di daerah ini. Fauziah, salah seorang pembuat ikan pindang di daerah ini mengatakan, dirinya sudah puluhan tahun melakukan pekerjaan ini. ‘’Saya melakukannya sejak saya masih kecil sampai sekarang,’’ ujarnya pada Ekbis NTB, Rabu (2/7). Membuat ikan pindang, ujarnya, tidak membutuhkan waktu yang lama. ‘’Cukup direbus dalam air 10 menit saja sudah jadi ikannya,” tukasnya. Ia yang dibantu anaknya membersihkan ikan tampak terampil mengolah ikan segar menjadi pindang. Hari itu, Fauziah membuat 15 keranjang ikan dengan isian 6-7 ikan tongkol. ‘’Harganya bisa Rp 200-300-an ribu per keranjang dengan harga satuan Rp 7 ribu saya beli di nelayannya,’’ katanya. Ia mengeluhkan harga ikan dan garam yang mahal sehingga membuat harga ikan pindang juga ikut naik. ‘’Ketersediaan garam sama ikannya sekarang ini sulit,’’ tambahnya. Ketersediaan garam yang cukup langka menjadi salah satu kendala Fauziah. ‘’Saya biasanya beli 2 karung garam untuk produksi dengan harganya sekarang Rp 600 ribu/karung,” katanya. Diakuinya, dulu biasanya membeli garam seharga Rp 250 ribu/karungnya yang habis dalam waktu 2 bulan. “Makanya sekarang kita pakai garamnya sedikitan biar hemat,” ujarnya. Ia biasa membeli garam pada penjual di dekat rumahnya yang juga mengatakan garam mulai sulit dicari. Sama seperti yang dialami Fauziah, Ahmad Elef, pengusaha telur asin di Dasan Cermen juga mengalami hal yang sama. “Harga garam dulu biasanya hanya Rp 200-250 ribu/karung ukuran 50 kg, sekarang harganya Rp 600 ribu,” katanya. Ia biasanya membeli garam langsung kepada pengepul garam yang datang langsung ke tempat produksinya. “Katanya mereka ambil garam di Bima atau Lombok Timur,’’ katanya.
Bersambung ke hal 3