MINGGUAN TERBIT SEJAK 15 AGUSTUS 2016 E-mail: ekbisntb@gmail.com
SENIN, 9 APRIL 2018
Ekbis NTB
4 HALAMAN NOMOR 27 TAHUN KE 2 TELEPON: Iklan/Redaksi/ Sirkulasi (0370) 639543 Facsimile: (0370) 628257
Kekuatan Ekonomi dan Dunia Usaha NTB
Alat Dapur Monjok Baru yang Bersaing dengan Produksi Pabrik TIDAK hanya Babakan yang dikenal sebagai sentra kerajinan perabotan rumah tangga yang terbuat dari stainless steel dan aluminium. Tetapi kawasan Monjok Baru juga sejak dulu dikenal sebagai sentra kerajinan ini, terbukti dari banyaknya warga yang berprofesi sebagai perajin perabotan rumah tangga ini. Hasilnya pun tidak kalah dengan perabotan rumah tangga produksi pabrik. Halaman 2
Sektor Perdagangan Paling Tinggi Serap KUR di NTB SEKTOR perdagangan besar dan eceran di NTB tercatat yang paling tinggi menyerap Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari perbankan. Berdasarkan data dari SKIP, dari jumlah realisasi KUR sampai bulan Maret 2018 sebesar Rp 179 miliar, nilai KUR untuk pedagang besar dan eceran mencapai Rp 109,7 miliar. Dari angka itu jumlah debitur sebanyak lebih dari empat ribu debitur. Halaman 3
Pangkas Peran Tengkulak SEJAUH ini petani di NTB masih sangat bergantung kepada para tengkulak dalam memasarkan hasil produksi pertaniannya. Kerjasama semacam ini sudah berjalan sangat lama seiring dengan konsep saling membutuhkan. Namun keterlibatan tengkulak yang terlalu besar terhadap mata rantai penjualan produk justru sering tidak menguntungkan petani yang menjadi produsen produk. Karena petani sering mendapat untung yang tak besar atau bahkan sering rugi meskipun harga sedang bagus di pasaran. Anggota Komisi II Bidang Pertanian DPRD NTB Dr. TGH. Hazmi Hamzar kepada Ekbis NTB mengatakan, pemerintah sangat perlu menjembatani antara petani dengan pasar. Karena pola ini akan sangat membantu petani dalam memasarkan hasil produksinya dengan harga yang lebih bagus. “Pemerintah harus mampu menjembatani kepentingan petani dengan pasar. Bagaimana kita menyalahkan tengkulak, karena petani juga selama ini kerjasama dengan tengkulak,” Hazmi. Hazmi menegaskan, yang menjadi persoalan selama ini adalah jalur distribusi barang. Peran pemerintah yaitu memotong jalur distribusi penjualan produk pertanian. Ini harus dilakukan agar harga di pasaran tidak terlalu diatur oleh para tengkulak. Harus diakui, para tengkulak sangat jeli m e m p e rhatikan permintaan dan stok produk di pasaran. Begitu juga terkait dengan informasi turun naikknya h a r g a barang, mereka memahaminya dengan baik sehingga harga diatur sesuai dengan kondisi.
Keterlibatan tengkulak dalam menyerap hasil pertanian di NTB sangatlah besar. Banyak hasil pertanian, seperti padi, jagung, bawang merah, bawang putih, kedelai dan hasil bumi lainnya dibeli tengkulak. Peran besar tengkulak tidak bisa dipungkiri. Saat Bulog sebagai badan usaha milik pemerintah yang ditugaskan menyerap hasil pertanian tidak mampu menyerap hasil pertanian, salah satunya bawang merah, tengkulaklah yang menjadi pengendali.
(Ekbis NTB/rus)
Bersambung ke hal 3
BERDASARKAN catatan Badan Pusat Statistik (BPS), keuntungan yang diambil oleh pengepul/tengkulak, khususnya untuk komoditas hortikultura bawang merah tercatat tertinggi ke dua di Indonesia. Ini berdasarkan catatan BPS yang melihatnya dari pola distribusi yang baru dirilis pada bulan Maret 2018 lalu. Tingginya keuntungan yang diperoleh para tengkulak ini tentu tidak sepadan dengan keuntungan yang diperoleh petani. Sebagai contoh, harga jual beli bawang merah dari petani ke pengepul di sebagian wilayah di Kabupaten Bima masih belum berpihak pada petani. Pasalnya harga jualnya akan disesuaikan dengan musim serta tergantung kondisi pasaran. Memasuki musim panen harganya turun drastic. Sedangkan pada musim tanam harganya melonjak tinggi. Inilah realita yang dihadapi petani bawang di Bima yang merupakan
sentra penanaman bawang di NTB, selain di Lombok Timur dan daerah lainnya. Seperti diakui Salmah, petani bawang merah asal Desa Risa, Kecamatan Woha. Menurutnya, saat musim atau masa panen, harga bawang bisa menurun di bawah angka Rp1 juta atau kisaran Rp800.000 per kuintal setara 100 kilogram. Kondisi ini tentu saja membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Para petani hanya bisa pasrah. ‘’Seperti masa panen bulan lalu harganya di bawah Rp1 juta. Pengaruh turunnya karena banyaknya bawang di pasar. Dan sekarang musim tanam, saya dengar harganya naik,’’ katanya saat dihubungi Ekbis NTB, akhir pekan kemarin. Menurut dia, harga ini sangat merugikan petani. Sebab harganya tidak sebanding dengan biaya saprodi dan perawatan selama masa tanam. Seperti harga pestisida (obat-obatan) misalnya, sangat membengkak.
Bersambung ke hal 3
Petani Dambakan Diserahkan ke Mekanisme Pasar Keberpihakan Harga
Bersambung ke hal 3
(Suara NTB/dok)
Sebab hal itu akan nenyulitkan bagi daerahdaerah yang membutuhkan komoditi tertentu. Sementara yang mengawasi perdagangan antarpulau ini adalah Karantina. “Kita hanya mengatur pola distribusinya. Di satu sisi, daerah surplus terhadap komoditi tertentu. Di satu sisi juga, daerah mengalami kekurangan komoditi tertentu. Itu yang tidak diinginkan,” kata Kepala Dinas Perdagangan Provinsi NTB, Dra. Hj. Putu Selly Andayani, M. Si., pada Ekbis NTB belum lama ini.
(Ekbis NTB/dok)
Butuh Penetapan HET untuk Bawang Merah YAYASAN Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) NTB melihat perdagangan bawang merah di pasaran yang masih dicengkeram kuat oleh tengkulak harusnya tidak terjadi. ‘’Harusnya konsumen berurusan langsung dengan pengusaha, tidak perlu ada pakai tengkulak. Justru tengkulak itu yang memainkan harga,” terang Ketua YLKI NTB H. M. Saleh saat ditemui Ekbis NTB pekan kemarin. Ia menerangkan, ada ruang yang lebih leluasa jika produsen berurusan langsung dengan konsumen. ‘’Inilah yang harusnya bisa difasilitasi oleh pemerintah. Jadi kalau kita menggunakan tengkulak masa kita memberikan keuntungan bagi orang yang tidak pernah kerja, tidak pernah keluar keringat,” tegasnya.
Bersambung ke hal 3
Bersambung ke hal 3 Hj. Putu Selly Andayani
M. Saleh (Ekbis NTB/dok)
Keuntungan Tengkulak Bawang Merah di NTB Tertinggi Kedua di Indonesia
(Ekbis NTB/dok)
PETANI bawang merah di Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) sangat mendambakan keberpihakan harga. Pasalnya, persoalan harga jual atas komoditi hortikultura ini selalu menjadi keluhan terbesar. Seperti pengakuan Usman, petani asal Penanggak, Desa Tirtanadi yang dikonfirmasi Ekbis NTB. Ia mengatakan, melihat tata niaga bawang merah selama ini memang sangat fluktuatif. Kebingungan petani, harga tidak berpihak saat terjadinya penanaman serentak. Yakni kala petani di daerah-daerah penghasil di seluruh Indonesia ini melakukan penanaman secara bebarengan. Pada situasi seperti itu, harga bawang ini berada dibawah Rp1 juta perkuintal basah. Bahkan sempat tembus Rp 300500 ribu saja perkuintal. Saat harga jauh dibawah standar keuntungan nilai produksi petani tersebut, maka sudah jelas petani merugi besar. Biaya produksi bawang merah ini kata Usman sangat besar. Perhektarnya bisa menelan biaya Rp100 juta. Biaya ini jauh lebih tinggi dibandingkan komoditi tembakau Virginia. Menanam bawang ini butuh spekulasi tinggi. Utamanya terhadap keadaan cuaca. “Kalau cuaca tidak bagus, harga hancur, itulah yang membuat petani pusing,” urainya. Untuk wilayah Lotim, musim tanam yang baik itu berada pada bulan Juni sampai Juli. Yakni saat cuaca bagus, tidak terlalu panas dan dingin. Kekhawatiran terbesar petani adalah saat menaman di musim hujan dan kemarau yang ekstrim. Pengalaman sejumlah petani di wilayah Subak Lendang Mudung Pringgabaya dan Tirtanadi ini petani butuh ekstra biaya dan tenaga untuk merawat bawang merahnya agar bisa selamat dan ‘’lulus’’ hingga panen. Lebih jauh soal harga, bagi pengepul-pengepul kecil selama ini memang lebih banyak mengambil keuntungan dari nilai jual petani. Hanya saja salama ini masih dianggap wajar karena melihat para pengepul ini juga mengeluarkan biaya untuk pengangkutan dari sawah keluar.
PEMERINTAH daerah tak bisa mengintervensi pasar, ketika keuntungan tengkulak, khususnya untuk komoditas bawang merah di NTB tertinggi kedua di Indonesia, setelah Jambi. Yang bisa dilakukan adalah memantau stabilitas harganya dan menjaga ketersediaan stok tetap terjaga. Dalam rapat koordinasi perdagangan di Jakarta belum lama ini, instruksi Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita sangat jelas disampaikan. Untuk kebutuhan bahan pokok pangan, semua daerah ditegaskan tidak boleh melakukan/membuat regulasi terhadap bahan pokok kaitan dengan perdagangan antarpulau.
TGH. Hazmi Hamzar
KEUNTUNGAN yang diambil oleh pengepul/tengkulak, khususnya untuk komoditas hortikultura bawang merah tercatat tertinggi kedua di Indonesia, setelah Jambi. Tata kelola mata rantai pasarnya perlu dicarikan jalan keluar, agar nikmatnya hanya tak dinikmati sepihak. Tingginya keuntungan pengepul ini disinggung Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, Endang Tri Wahyuningsih. Dalam rilis bulanan di kantornya di awal pekan kemarin, persoalan ini disinggung secara khusus, kaitannya dengan inflasi. Endang menyebut keutungan tengkulak untuk komoditas Endang Tri Wahyuningsih bawang merah ini mencapai 87,7 persen. Cukup besar. “Itu pola dis-
tribusi yang baru dirilis pada Maret kemarin (2018),” kata Endang. Keuntungan tersebut dapat diatur karena mata rantai pemasarannya dikuasai sendiri oleh pengepulnya. Mereka bersentuhan langsung dengan petani, dan membangun ikatan emosional yang kuat. ‘’Nah ketika barang telah dibeli oleh pengepul, lalu dijual kembali kepada konsumen dengan harga tinggi. Siapa yang menikmati margin itu, ya pengepulnya kan,’’ ujar Endang dengan nada tanya. Karena itu, Endang mengatakan, perlu adanya pembatasan harga pembelian yang diatur oleh pemerintah. Sehingga harga tidak diatur oleh sekelompok pihak. ‘’Di sinilah juga perlunya tim Satgas Pangan berger-
ak,’’ imbuhnya. Atau alternatif lainnya, pengaruh tengkulak ini bisa dibatasi. Misalnya, Perum Bulog yang ikut melakukan pembelian. Itu bisa saja kata Endang. Sehingga, harga pembelian kepada petani, tidak leluasa dikuasai sendiri oleh pengepul. Tidak saja bawang, demikian juga untuk cabai. Keuntungan yang diambil oleh pengepul di NTB mencapai 44 persen lebih. Dengan melihat kondisi ini, jelas yang mengatur pasar adalah pengepul. Hal ini berlaku karena adanya ikatan batin yang kuat antara produsen/petani dengan pengepul. Ikatan inilah yang menurut Endang harus dikendalikan.
Bersambung ke hal 3